• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETOS KERJA DAN KEGAIRAHAN DALAM KEHIDUPAN PEMBANGUNAN EKONOMI. Oleh: Ita Rustiati Ridwan*) ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ETOS KERJA DAN KEGAIRAHAN DALAM KEHIDUPAN PEMBANGUNAN EKONOMI. Oleh: Ita Rustiati Ridwan*) ABSTRAK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ETOS KERJA DAN KEGAIRAHAN DALAM KEHIDUPAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Oleh: Ita Rustiati Ridwan*) ABSTRAK

Etos kerja merupakan modal utama dalam pembangunan masyarakat. keberhasilan suatu bangsa membentuk dirinya menjadi bangsa besar dan maju tidak cukup bermodalkan pada kekayaan alamnya tetapi tergantung pada pola kerja bangsa tersebut yang didasari oleh keyakinan yang kuat untuk berhasil.

Kemajuan teknologi hanya bisa tercapai apabila terjadi peningkatan produktifitas manusianya, karena manusianya lebih sehat, lebih terampil, lebih terididik, dan lebih termotivasi untuk bekerja.

Etos kerja dan moral yang tinggi akan memfungsikan teknologi tersebut yang akan melahirkan kemudahan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya, menghasilkan sesuatu yang berguna, efisien, bernilai tambah, meningkatkan mutu kerja, optimalisasi pemanfaatan sumber daya dan mengurangi kerusakan terhadap alam.

Mengutamakan etos kerja yang tinggi diikuti dengan kemampuan sumber daya lainnya dalam rangka meningkatkan semangat kerja tentu akan beortientasi kepada peningkatan mutu pembangunan terutama pembangunan ekonomi kita. Oleh karena itu, dalam makalah ini mengangkat tentang etos kerja dan kegairahan dalam kehidupan pembangunan ekonomi, tentunya etos kerja dilihat dari berbagai sudut pandang para ahli dan agama, maupun negara.

Kata kunci: Etos kerja, kewirausahaan, pembangunan ekonomi.

(2)

1. Pendahuluan

Clifford Geertz (ahli antropologi Amerika) mengatakan tentang etos kerja sebagai “suatu sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan dalam hidup”. Dalam konteks ini, dapat ditanyakan apakah kerja dianggap sebagai suatu keharusan demi hidup (sesuatu yang imperative dalam diri)? ataukah sebagai sesuatu yang terikat pada identitas yang bersifat sakral (sesuatu yang diberikan oleh agama)? Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong kita untuk mempersoalkan

kemungkinan-kemungkinan sumber motivasi seseorang atau

sekelompok orang dalam melakukan suatu tindakan yang berkaitan dengan partisipasi dalam pembangunan. Partisipasi dalam konteks ini

tidak ditekankan pada kemauan anggota masyarakat untuk

melaksanakan program-program pembangunan yang telah dirancang oleh pemerintah, tetapi lebih pada keterlibatan dalam membuat dan merumuskan strategi pembangunan yang realistis dan mendatangkan hasil yang optimal.

Max Weber, adalah orang yang tergolong paling lengkap dalam menjelaskan masalah etos kerja, khususnya tentang kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dan perilaku ekonomi. Pengamatannya bermula dari fakta sosiologis yang ditemukannya di Jerman bahwa sebagian besar dari pemuka bisnis, pemilik modal, tenaga-tenaga yang terlatih dibidang teknik dan perdagangan dalam industri-industri modern, manajer pabrik dan buruh lapisan atas di perusahaan-perusahaan besar adalah orang-orang protestan bukan orang katolik. Weber melihat adanya perbedaan aspirasi pendidikan keluarga protestan dan katolik. Banyak orang Protestan yang belajar di sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa modern, matematika dan ilmu pengetahuan alam serta mempersiapkan diri ke lapangan kerja industri perdagangan. Sedangkan orang-orang dari keluarga Katolik lebih suka belajar di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan humaniora dan bahasa klasik.

Dalam kaitannya dengan usaha tersebut, Weber menyusun suatu interprestasi terhadap salah satu ajaran Protestanisme, yaitu konsep panggilan atau beruf (bahasa Jerman), calling ( bahasa Inggris). Beruf atau panggilan merupakan konsepsi agama tentang tugas yang ditentukan oleh Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas dimana harus bekerja. Menurut konsep yang menjadi doktrin Calvinisme itu, jalan hidup yang diterima dari Tuhan tidak melewati moralitas duniawi dengan menjalani hidup yang menjauhi kesenangan jasmaniah di biara, tetapi dengan melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang sesuai dengan posisinya di dunia. Ditambahkan lagi bahwa kerja tidak diletakkan sebagai pemenuhan kebutuhan, tetapi sebagai suatu tugas suci. Sikap hidup keagamaan yang dikehendaki

(3)

oleh doktrin Calvinisme adalah innerwordly asceticism, yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja.

Teori yang dikemukakan Max Weber tersebut telah mempengaruhi jalan pikiran sejumlah pakar dalam melakukan studi tentang keterkaitan antara ajaran agama dan prilaku ekonomi di Indonesia. Salah seorang yang memakai teori weber dalam usahanya membuat analisis tentang Islam di Indonesia adalah D.M.G Koch, seorang sosialis Belanda. Ia mencoba menjelaskan munculnya Sarekat Islam di kalangan pedagang di Surakarta. Usaha serupa juga pernah dilakukan oleh Schrieke dalam membuat laporan tentang pemberontakan komunis di Sumatra Barat (1927). Ia melihat kemungkinan afinitas antara bangkitnya gerakan reformasi Islam di Minangkabau dengan kegairahan kehidupan ekonomi masyarakat yang melibatkan diri dalam ekonomi ekspor. Pengamatan sekilas terhadap sejarah kehidupan masyarakat kita memperlihatkan adanya keterkaitan yang signifikan antara kedalaman penghayatan agama dan kegairahan dalam kehidupan ekonomi. Kelompok-kelompok tertentu yang tergolong menjalankan syariat agama dengan lebih sungguh-sungguh dalam kehidupan sosial dan pribadinya, kelihatan lebih mampu beradaptasi dalam kehidupan ekonomi. Catatan sejarah memperlihatkan bahwa pada zaman kolonial Belanda pengusaha-pengusaha industri rokok kretek di Jawa Tengah pada umumnya berasal dari kalangan santri. Begitupun pula halnya dengan pengusaha-pengusaha batik dan perak di Yogyakarta.

Kecenderungan semacam itu kini memang sudah tidak tampak lagi karena kebijaksanaan-kebijaksanaan politik sejak Indonesia merdeka telah merubah tatanan ekonomi masyarakat kita. Terutama sejak awal tahun 1970-an takkala pemerintah tampil sebagai agen pembangunan ekonomi, terbuka luas kemungkinan bagi semua anggota masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi. Alhasil, keterkaitan yang berarti antara kedalaman penghayatan agama dan kegairahan dalam kehidupan ekonomi sekarang tinggal sebagai stereotype semata.

Istilah etos salah satu artinya adalah semangat, etos kerja artinya semangat bekerja. Siapa yang etos kerjanya tinggi selalu bergairah/ bersemangat dalam menjalani kegiatan kerja yang telah diputuskan menjadi bagian dari kehidupannya. Mereka seolah-olah tidak mengenal lelah dan putus asa dalam menggeluti tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam jiwanya telah terpatri motto "Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin" yang berasal dari salah satu ajaran agama Islam yang cukup hebat tapi kurang terlihat dalam kepribadian sebagian dari orang-orang Islam masa kini; padahal motto ini telah diluncurkan pada abad ke-7 yang lalu. Motto itu adalah bagian dari motivasi kerja berdasarkan ajaran Islam: "Siapa saja pada hari ini amalnya lebih baik dari kemarin maka tergolong orang beruntung, siapa yang amalnya

(4)

sama saja dengan kemarin, tergolong orang yang merugi dan apabila amalnya lebih rendah dari kemarin maka ia tergolong orang celaka".

Betapapun berat dan sulitnya kegiatan kerja yang menjadi tanggung jawabnya, ia selalu menggeluti tugasnya itu dengan rasa ikhlas dan lapang dada; ia senantiasa merasa senang dan tenang dalam menjalankan tugasnya. Dengan penuh kesadaran, tugas yang diembannya itu adalah salah satu ibadah bahkan setara dengan ibadah wajib menurut ajaran agama Islam. Apabila bekerja telah diyakini sebagai ibadah dan hal itu dila-kukannya secara rutin, dengan penuh kesadaran dan kecintaan maka apabila orang itu tidak melakukannya karena berbagai sebab maka ia merasakan ada sesuatu yang hilang atau tidak lengkap dalam dirinya. Siapa saja yang telah melakukan ibadah kepada Tuhan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya dan ibadah itu telah meresap dalam jiwanya dan menjadi bagian yang menetap dalam dirinya (kebiasaan) maka apabila kegiatan itu tidak dilakukannya, ia merasa gelisah. Siapa saja yang etos kerjanya tinggi pada umumnya akan merasa seperti itu apabila ia dalam keadaan menganggur atau suatu tugas yang tidak dikerjakan dengan tuntas. Dalam menumbuh kembangkan kegiatan belajar, bekerja, wirausaha dll sifat-sifat mental yang dipaparkan di atas harus ada. Dari sejumlah tokoh yang dipandang sukses dalam berbagai bidang, khususnya dalam dunia wirausaha memang terbukti memiliki sifat-sifat mentaert.

2. Membangun Etos Kerja Kewirausahaan

Istilah wirausaha atau kewirausahaan sering dipakai secara bergantian dengan istilah wiraswasta. Para ahli memandang istilah wirausaha dengan wiraswasta pengertiannya sama karena berasal dari kata yang sama (bahasa Inggris) “entrepreneur” yang berarti “pengusaha atau usahawan” (Echols dan Shadily, 1993:216) dan keduanya memiliki hakekat yang sama yaitu merujuk pada sifat, watak, dan cirri yang melekat pada wirausaha atau wiraswasta.

Defenisi wirausaha (entrepreneur) adalah orang yang inovatif, antivatif, inisiatif, pengambil resiko, dan berorientasi laba. Hal sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Robert D Hisrich dan Michael D Peter (1992:10) yaitu: aspek ekonomi, wirausaha adalah seseorang yang membawa sumber daya pekerjaan, material dan asset lain yang dikombinasikan sehingga menciptakan nilai tambah yang tinggi dibandingkan sebelumnya dan juga memperkenalkan perubahan-perubahan dan inovasi.

Karakterisitik kewirausahaan (entrepreneurship) seperti

dirumuskan McClelland (1961:90) adalah yang memliki prilaku sebagai berikut:

(5)

1) keterampilan mengambil keputusan dan mengambil resiko secara moderat, dan bukan atas dasar kebetulan belaka.

2) bersifat energik, khususnya dalam bentuk berbagai inovatif, 3) mengetahui hasil-hasil dari berbagai keputusan yang diambilnya 4) mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa mendatang; 5) memiliki kemampuan organisasi.

Salah satu sumber bala yang menimbulkan bencana nasional akhir-akhir ini adalah karena tidak dimilikinya etos kerja yang memadai bagi bangsa kita. Belajar dari negara lain, Jerman dan Jepang yang luluh lantak di PD II. Tetapi kini, lima puluh tahun kemudian, mereka menjadi bangsa termaju di Eropa dan Asia. Mengapa? Karena etos kerja mereka tidak ikut hancur. Yang hancur hanya gedung-gedung, jalan, dan infrastruktur fisik.

Max Weber menyatakan intisari etos kerja orang Jerman adalah : rasional, disiplin tinggi, kerja keras, berorientasi pada kesuksesan material, hemat dan bersahaja, tidak mengumbar kesenangan, menabung dan investasi. Di Timur, orang Jepang menghayati “bushido” (etos para samurai) perpaduan Shintoisme dan Zen Budhism. Inilah yang disebut oleh Jansen H. Sinamo (1999) sebagai “karakter dasar budaya kerja bangsa Jepang”.

Ada 7 prinsip dalam bushido, ialah : (1) Gi : keputusan benar diambil dengan sikap benar berdasarkan kebenaran, jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, terhormat, (2) Yu : berani, ksatria, (3) Jin : murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama, (4) Re : bersikap santun, bertindak benar, (5) Makoto : tulus setulus-tulusnya, sungguh-sesungguh-sungguhnya, tanpa pamrih, (6) Melyo : menjaga kehormatan martabat, kemuliaan, dan (7) Chugo : mengabdi, loyal. Jelas bahwa kemajuan Jepang karena mereka komit dalam penerapan bushido, konsisten, inten dan berkualitas.

Indonesia mempunyai falsafah Pancasila, tetapi gagal menjadi etos kerja bangsa kita karena masyarakat tidak komit, tidak inten, dan tidak bersungguh-sungguh dalam menerapkan prinsip-prinsip Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Etos kerja yang berkembang adalah etos kerja asal-asalan atau istilah Sinamo (1999) sebagai “etos kerja edan”, ialah : (1) bekerjalah sesuai keinginan penguasa, (2) bekerja sebisanya saja, (3) bekerja jangan sok suci, kerja adalah demi uang, (4) bekerja seadanya saja nggak usah ngoyo, tak lari gunung dikejar, (5) bekerja harus pinter-pinter, yang penting aman, (6) bekerja santai saja mengapa harus ngotot, (7) bekerja asal-asalan saja, wajar-wajar saja, kan gajinya kecil, (8) bekerja semau gue, kan di sini saya yang berkuasa. Ungkapan-ungkapan seperti tersebut di atas menggambarkan tidak adanya etos kerja yang pantas untuk dikembangkan apalagi menghadapi persaingan

(6)

global. Maka dari itu wajarlah jika bangsa ini harus menerima pil pahit bencana nasional krisis yang berkepanjangan yang tak kunjung usai.

Koentjaraningrat (1974:44-58) melihat merosotnya etos kerja bangsa Indonesia sejak zaman kemerdekaan, ditandai dengan melemahnya tanggung jawab, lahirnya mental suka menerabas, melemahnya penghargaan akan mutu dan menurunnya disiplin. Para pegawai memilki mental priyayi yang memandang kerja sebagai amal, yakni berupa hasil karya yang mewujudkan kebahagiaan- kebahagiaan berupa kedudukan, kekuasaan dan simbol-simbol lahiriah dan kemakmuran. Kurang tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan dipicu oleh kesukaran hidup, kemisikinan, kekurangan tenaga kerja, kurang perhatian akibat banyaknya kerja rangkap dan dirambah oleh mentalitas budaya yang berorientasi ke atas.

Untuk mencapai kualifikasi Wirausaha Unggul maka SDM Perusahaan harus memiliki Etos Kerja Unggul. Sinamo (1999) mengembangkan 8 Etos Kerja Unggulan sebagai berikut :

1) Kerja itu suci, kerja adalah panggilanku, aku sanggup bekerja benar. 2) Kerja itu sehat, kerja adalah aktualisasiku, aku sanggup bekerja

keras.

3) Kerja itu rahmat, kerja adalah terimakasihku, aku sanggup bekerja tulus.

4) Kerja itu amanah, kerja adalah tanggung jawabku, aku sanggup bekerja tuntas.

5) Kerja itu seni/permainan, kerja adalah kesukaanku, aku sanggup bekerja kreatif.

6) Kerja itu ibadah, kerja adalah pengabdianku, aku sanggup bekerja serius.

7) Kerja itu mulia, kerja adalah pelayananku, aku sanggup bekerja sempurna.

8) Kerja itu kehormatan, kerja adalah kewajibanku, aku sanggup bekerja unggul.

3. Etos Kerja Dalam Pembangunan

Pembangunan suatu bangsa adalah proses peningkatan dan pengembangan diri yang tak pernah berakhir, sepanjang bangsa tersebut ada. Tujuan utama pembangunan itu adalah pertumbuhan ekonomi dan pembangunan itu agar melaju lebih cepat yaitu melalui industri. Industrialisasi sebagai salah satu cara tertentu dalam mengelola produksi dengan penggunaan mesin dan pembagian kerja yang

kompleks, diharapkan produktivitas meningkat dan kemudian

berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Ciri utama

industrialisasi ialah penerapan teknologi dan adanya organisasi formal serta rasional, walaupun demikian sumber daya manusia tetap

(7)

merupakan faktor produksi sebagai peran kunci dalam keseluruhan proses produksi. Syarat khusus yang sesuai dengan tuntutan dunia industri adalah kemampuan, keterampilan dan nilai sumber daya manusia (SDM) atau etos kerja industrial.

Kemajuan teknologi hanya bisa tercapai apabila terjadi peningkatan produksi manusianya, karena manusianya lebih sehat, lebih terampil, lebih terdidik, dan lebih termotivasi untuk bekerja. Etos kerja dan moral yang tinggi memfungsikan teknologi tersebut yang akan melahirkan kemudahan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya, menghasilkan sesuatu yang berguna, efisien, bernilai tambah, meningkatkan mutu kerja, optimalisasi pemanfaatan sumber daya dan mengurangi kerusakan terhadap alam.

Sebagaimana yang menjadi tonggak utama dalam kemajuan pembangunan adalah: sumber daya alam, sumber daya manusia, entrepreneur dan kemitraan atau network. Sedangkan yang menjadi sumber daya pembangunan itu adalah sumber daya manusia di tambah dengan entrepreneur, dimana SDM menjadi sumber intellectual capital dan intellectual ability. Sumber intellectual capital adalah kompetensi meningkat kali comitmen (conduct) tinggi menghasilkan F (jaminan, intensive dan harapan) dan intellectual ability adalah kompetensi kali authority (kewenangan), kompetensi adalah creativity kali innovation dan creativity adalah ability to create (new and different) menghasilkan value added (nilai tambah) dan mampu menciptakan sesuatu hal yang baru dan bernilai tambah bagi pembangunan itu sendiri..

John W. Atkinson (1978, 1983) sebagaimana yang dikutip Stoner (1986:14-15) menyatakan bahwa semua orang dewasa memliki cadangan energi potensial. Energi potensial tersebut dilepaskan sesuai dengan dorongan yang timbul dan peluang yang ada. Perjuangan mencapai tujuan tertentu dipengaruhi oleh: 1). Kekuatan kebutuhan dan motif dasarnya. 2). Harapan yang dicanangkan akan keberhasilannya. 3). Nilai rangsangan yang melekat pada tujuan tersebut. Model prilaku yang diungkapkan Atkinson memperlihatkan variasi dorongan prilaku berdasarkan pada tiga hal: 1) kebutuhan akan prestasi, 2). Kebutuhan akan kekuasaan, dan 3). Kebutuhan akan afiliasi dengan orang lain.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas sehubungan dengan etos kerja dilihat dari kacamata Islam, etos kerja dari pendapat orang jepang, maupun para ahli sosiologi, dikaitkan dengan nilai-nilai falsafah yang kita anut Pancasila, etos kerja tentu akan menciptakan kinerja yang tinggi dan otomatis meningkatkan produksi.pembangunan dan pembinaan SDM melalui etos kerja yang tangguh oleh seluruh

masyarakat, bukan hanya terarah kepada aspek intelektual,

keterampilan, dan etos kerjanya, melainkan yang lebih utama kepada aspek moral dan mentalnya.

(8)

Penduduk sebagai SDM merupakan modal dasar dalam pembangunan. Terlebih bila manusianya dibekali dengan etos kerja yang tinggi maka potensi jumlah penduduk yang banyak akan mendukung meningkatnya produksi, berarti meningkat pula lajunya pembangunan ekonomi bangsa. Maka sangat berpengaruh erat antara etos kerja dengan pembangunan ekonomi tersebut.

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa etos kerja merupakan sikap terhadap kerja yang terbentuk dalam diri individu berupa sistem nilai dan sistem motivasional. Sikap yang terbentuk tersebut dipengaruhi pengalaman-pengalaman dan situasi lingkungan yang dihadapi. Sebagai dimensi kebudayaan, pembangunan harus mampu mewujudkan nilai-nilai kebudayaan modernisasi ekonomi. Pembangunan ekonomi tersebut harus merupakan penjelmaan dari suatu proses perubahan sosial kebudayaan.

4. Penutup

Istilah etos kerja salah satu artinya adalah semangat, etos kerja artinya semangat bekerja. Siapa yang etos kerjanya tinggi selalu bergairah/bersemangat dalam menjalani kegiatan kerja yang telah diputuskan menjadi bagian dari kehidupannya

Etos kerja adalah sejumlah nilai-nilai budaya yang diungkapkan oleh sikap dan tindakan seseorang atau sekelompok orang yang didalamnya terkandung nilai-nilai , moral dan pandangan tentang kerja. Etos kerja adalah sesuatu yang berada di belakang derajat dan kualitas kerja, seperti kerja keras, kerja tepat waktu jujur dan ulet dalam bekerja, berorientasi pada prestasi, kreatif dan berorientasi pada perubahan. Pembangunan suatu bangsa adalah proses peningkatan dan pengembangan diri yang tak pernah berakhir, sepanjang bangsa tersebut ada. Tujuan utama pembangunan itu adalah pertumbuhan ekonomi dan pembangunan itu agar melaju lebih cepat yaitu melalui industri.

Sebagai dimensi kebudayaan, pembangunan harus mampu mewujudkan nilai-nilai kebudayaan modern agar mampu menerima perubahan dari proses modernisasi ekonomi. Pembangunan ekonomi harus merupakan penjelmaan dari suatu proses perubahan sosial kebudayaan. Perubahan tersebut harus juga meliputi semua lembaga-lembaga hukum, kebiasaan konsumsi, taraf kebutuhan juga sifat-sifat kebutuhan manusia Indonesia. Menumbuhkan dorongan untuk kerja, perangsang kerja serta etika kerja. Pembangunan diharapkan juga merupakan upaya membentuk nilai-nilai hidup yang sesuai dengan tuntutan pembangunan.

Penduduk sebagai SDM merupakan modal dasar dalam pembangunan. Terlebih bila manusianya dibekali dengan etos kerja

(9)

yang tinggi maka potensi jumlah penduduk yang banyak akan mendukung meningkatnya produksi, berarti meningkat pula lajunya pembangunan ekonomi bangsa. Maka sangat berpengaruh erat antara etos kerja dengan pembangunan ekonomi tersebut.

Daftar Pustaka

Usman, Sunyoto, 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Abdullah, Taufik, (ed). 1986. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. LP3ES. Jakarta.

Mubyarto, et al.. 1991. Etos Kerja dan Kohesi Sosial. Aditya Media Yogyakarta.

Danuhadimedjo, Djatmiko. 1998. Kewirausahaan dan Pembangunan. Bandung: Alfabeta.

Alma, Buchari. 2000. Kewirausahaan. Panduan Kurikulum. Bandung. Alfabeta.

Referensi

Dokumen terkait

Terjadi jika sebagian besar darah yang keluar masuk ke dalam faring, tampon anterior tidak dapat menghentikan perdarahan, dan pada pemeriksaan hidung tampak perdarahan di

Simpangan baku(S) adalah nilai yang menunjukan tingkat variasi kelompok data atau ukuran standar penyimpangan dari nilai rata-ratanya... X = nilai rata-rata data n = jumlah data

Hasil wawancara dengan guru pada saat penelitian menyatakan bahwa dengan pembelajaran indoor siswa kurang antusias dan hasil belajar kognitif yang mencapai KKM

Kesimpulannya, yaitu:(1) Penerapan model kemitraan dalam mengoptimalkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan guna meningkatkan pelayanan pendidikan di Sekolah Dasar

NeXT atau the N ational e -education X change T echnology merupakan jejaring teknologi informasi dan komunikasi yang dikembangkan bersama oleh komunitas perguruan

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai implementasi capacity building dan pemberdayaan sumber daya manusia terhadap

Pencegahan preventif yang dilakukan oleh Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebaran Berita Hoax adalah dengan cara membentuk Satuan Tugas

Dalam undang – undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan di pasal 93 disebutkan bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan