• Tidak ada hasil yang ditemukan

JIMVET E-ISSN : Juni 2018, 2(3):

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JIMVET E-ISSN : Juni 2018, 2(3):"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

318

KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI ACEH MENGGUNAKAN SEMEN BEKU SAPI BALI, SIMENTAL,

DAN LIMOSIN DI KECAMATAN MESJID RAYA KABUPATEN ACEH BESAR

The Success of Artificial Insemination (AI) of Aceh Cow by Using Frozen Semen of Bali Cow, Simental, and Limosin in District Mesjid Raya, Regency of Aceh Besar

Nanda Balia Tarmizi1, Dasrul2, Ginta Riady2

1Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala 2

Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala

E-mail: nandabalia123@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan keberhasilan Inseminasi Buatan pada sapi aceh menggunakan semen beku sapi bali, sapi simental, dan sapi limosin di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Materi penelitian terdiri dari 30 orang responden dan 61 ekor induk sapi aceh yang dipelihara masyarakat di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survey, dengan pengambilan sampel secara purposive sampling. Data diperoleh dari hasil IB sapi aceh oleh petugas inseminator, dan hasil wawancara berupa kuesioner dengan peternak. Data dianalisis menggunakan analisis diskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingkat Conseption Rate (CR) sapi aceh menggunakan semen beku sapi Bali adalah 63,15%, lebih tinggi dari semen beku sapi Simental sebesar 54,54% dan sapi Limosin sebesar 60,00%. Nilai Service Per Conception menggunakan semen beku sapi Bali adalah 1,42 kali lebih rendah dari semen beku sapi simental dan semen beku sapi Limosin yaitu 1,54 dan 1,55.

Kata Kunci : Inseminasi Buatan (IB), sapi aceh, sapi bali, simental dan limosin.

ABSTRACT

This study aims to determine whether there are differences in the success of Artificial Insemination on Aceh cows using frozen semen of Bali cows cattle, simental cows and limousine cows in the District Mesjid Raya Aceh Besar regional. The research material consisted of 30 respondents and 61 cows of Aceh cattle that are herded by society in District Mesjid Raya Regency of Aceh Besar. The method used in this study is the survey method, with sampling by using purposive sampling. The data obtained from AI results of aceh cows by the inseminator officer, and interview in the form of quisioners with farmer. Data were analyzed using using purposive sampling. The data obtained from AI results of aceh cows by the inseminator officer, and interview in the form of quisioners with farmer. Data were analyzed using descriptive analysis. The result of this research shows that the level of Conseption Rate (CR) of Aceh cows using frozen semen of Bali cows is 63,15%, higher than Siment cattle semen 54,54% and Limousine cows is 60,00%. The value of Service Per Conception using frozen semen of Bali cattle was 1.42 times lower than semen frozen simental cows and frozen Limosin cows of 1.54 and 1.55.

Keyword : Artificial Insemination (AI), Aceh cow, Bali cow, simental and limosin.

PENDAHULUAN

Sapi aceh merupakan salah satu rumpun sapi potong lokal Indonesia yang mempunyai keseragaman bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi dengan baik pada keterbatasan lingkungan yang buruk seperti krisis pakan, air, penyakit parasit dan temperatur panas (Gunawan, 1998). Oleh karena itu sapi aceh merupakan jenis sapi yang lebih tepat dan ekonomis dikembangkan pada pola dan kondisi peternakan rakyat (Diskeswannak, 2016).

Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Aceh tahun 2016, tingkat produktivitas dan mutu genetik sapi aceh relatif rendah, bahkan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan sapi aceh masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah serta kurang tersedianya pejantan sapi aceh unggul untuk mengawini sapi betina. Jika kondisi ini tidak diperhatikan maka dikhawatirkan populasi sapi aceh akan terancam punah.

(2)

319

Upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu dan produktivitas sapi aceh adalah aplikasi inseminasi buatan (IB) dengan menggunakan bibit sapi unggul. Inseminasi buatan adalah usaha manusia mengawinkan ternak dengan cara menyuntikkan semen yang telah diencerkan dengan pengencer tertentu ke dalam saluran reproduksi betina yang sedang birahi menggunakan metode dan peralatan khusus (Toelihere, 1993). Lebih lanjut Hastuti. (2008), menyatakan tingkat keberhasilan IB dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yaitu pemilihan sapi akseptor, pengujian kualitas semen, akurasi deteksi birahi oleh para peternak dan keterampilan inseminator.

Hafez. (2004), menyatakan salah satu parameter keberhasilan teknologi IB di lapangan adalah nilai Service per Conception atau S/C. Nilai S/C adalah jumlah IB yang dilakukan (service) untuk menghasilkan satu kebuntingan (conception). Selain itu keberhasilan IB juga ditentukan oleh sistem pencatatan (recording) terhadap aktivitas reproduksi ternak untuk mendukung manajemen perkawinan yang baik (Rizal dan Herdis, 2008).

Kecamatan Mesjid Raya merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang sebagian besar masyarakatnya petani peternak. Perkembangbiakan sapi aceh yang dipelihara masyarakat dilakukan melalui aplikasi teknologi IB dengan bibit sapi unggul diantaranya jenis sapi bali, sapi simental, sapi limosin, dan peranakan ongole (PO) dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi (Diskeswannak, 2016). Namun sampai saat ini data yang pasti tentang tingkat keberhasilan IB pada akseptor sapi aceh menggunakan semen beku sapi unggul (sapi bali, sapi simental, dan sapi limosin) belum pernah dilaporkan. Hal ini berdampak tidak baik terhadap perkembangan populasi sapi di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.

Berdasarkan pernyataan di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat keberhasilan inseminasi buatan pada induk sapi aceh dengan menggunakan semen beku sapi bali, sapi simental dan sapi limosin di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.

MATERIAL DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskeswan Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini mulai bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2017. Alat-alat yang digunakan meliputi seperangkat Alat-alat inseminasi (gun IB, plastik sheat, glove, gunting steril, container nitrogen cair, thowing boks dan termos.

Bahan yang digunakan sebanyak 30 peternak dan 30 ekor aseptor sapi aceh betina memiliki kondisi birahi minimal 2A+ yaitu “abang” (labia minor memerah), “anget” (suhu tubuh meningkat) dan berlendir (mucus yang berasal dari servix). Semen beku sapi bali, sapi simental dan sapi limosin yang diproduksi BIB Lembang Bandung, pelicin dan sabun. Pelayanan IB dalam penelitian ini dilakukan oleh inseminator setempat yang berpengalaman.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan metode survei lapangan. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan metode survei dan wawancara dengan peternak dan inseminator yang melaksanakan IB di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Wawancara dilakukan menggunakan kuesioner secara terstruktur. Pertanyaan pada kuisioner berisi mengenai karakteristik, pengetahuan, persepsi, jumlah ternak, serta pertanyaan mengenai pelaksanaan IB yang telah dilakukan. Data Sekunder dalam penelitian ini dikumpulkan dari laporan-laporan, catatan dan dokumen dari petugas inseminator lapangan dan Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Besar. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tingkat keberhasilan inseminasi dengan cara melakukan IB pada induk sapi betina aceh yang sedang birahi. Adapun pelaksanaannya dilakukan

(3)

320

dengan beberapa tahapan sebagai berikut : singkronisasi induk betina, pelaksanaan inseminasi dan pengamatan angka konsepsi (kebuntingan).

Sinkronisasi Birahi dan Inseminasi Buatan pada Induk Betina

Sebanyak 60 ekor sapi aceh betina berumur di atas 3 tahun atau sudah pernah beranak 1 kali digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya semua sapi betina aseptor tersebut disinkronisasi birahi dengan menggunakan hormon PGF2 secara intavulva dengan dosis 7,5 mg per ekor. Pengamatan birahi dilakukan dengan melihat gejala birahi yang timbul yaitu vulva merah, bengkak, basah dan lendir serviks. Selanjutnya ke 60 ekor induk aseptor yang sudah menunjukkan tanda-tanda berahi dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok 1 sebanyak 20 ekor di IB dengan menggunakan semen beku sapi bali, kelompok 2 sebanyak 20 ekor di IB dengan menggunakan semen beku sapi Simental dan kelompok 3 sebanyak 20 ekor di IB dengan menggunakan semen beku sapi Limosin. Inseminasi buatan dilakukan oleh tenaga inseminator terlatih setelah 9-18 jam tanda birahi terlihat.

Evaluasi Tingkat Keberhasilan Inseminasi

Evaluasi tingkat keberhasilan IB dengan menggunakan straw semen beku masing masing perlakuan (sapi bali, sapi simental dan sapi limosin) dilakukan dengan cara menginseminasikan pada induk sapi aceh betina birahi. Sebagai indikator keberhasilanan diamati service per conseption (S/C) dan conseption rate (CR).

a) Service per conseption (S/C) atau pelayanan IB per kebuntingan adalah jumlah inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadi kebuntingan, angka ini dapat digunakan untuk membandingkan efisiensi dari proses diantara individu sapi betina yang diinseminasi dengan semen yang subur (Rizal dan Herdis, 2008).

S/C =

x 100%

b) Conseption rate (CR) atau angka kebuntingan merupakan persentase betina yang buting pada IB yang pertama, yang ditentukan berdasarkan diagnosa kebuntingan melalui pengamatan tidak timbul kembali birahi induk betina aseptor dalam waktu 21 – 35 hari sesudah inseminasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut;

CR =

x 100%

Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Data yang diperoleh disederhanakan ke dalam bentuk tabel kemudian dilakukan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis gambaran umum lokasi penelitian, karakteristik dan persepsi peternak terhadap program Inseminasi Buatan di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Karakteristik Peternak

Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi umur peternak, pendidikan terakhir, pekerjaan utama, jumlah ternak sapi yang dimiliki oleh peternak dan pengalaman beternak. Karakteristik peternak responden di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 1.

(4)

321

Tabel 1.Karateristik peternak responden di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar (n=30 orang)

Variabel Karakter Responden Jumlah

Responden % Responden Umur  < 15 tahun 0 0,00  15 - 40 tahun 13 43,33  41 – 65 tahun 15 50,00  > 65 tahun 2 6,67 Pendidikan  SD 5 16,67  SMTP 11 36,67  SMTA 13 43,33  Perguruan Tinggi 1 3,33 Pekerjaan Utama  PNS 5 16,67  Wiraswasta 4 13,33  Peternak 6 20,00  Petani 15 50,00

Jumlah Sapi yang dimiliki

 1 – 5 ekor 26 86,67  6 – 10 ekor 3 10,00  > 10 ekor 1 3,33 Pengalaman Beternak  1 – 5 tahun 6 20,00  6 – 10 tahun 11 36,67  11 – 15 tahun 9 30,00  > 15 tahun 4 13,33 Umur Peternak

Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku dalam melakukan atau mengambil keputusan dan dapat bekerja secara optimal serta produktif. Seiring dengan perkembangan waktu, umur manusia akan mengalami perubahan dalam hal ini penambahan usia yang dapat mengakibatkan turunnya tingkat produktivitas seseorang dalam bekerja. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan komposisi penduduk, usia penduduk dikelompokkan menjadi tiga yaitu; a) Usia ≤ 14 tahun : usia muda/usia belum produktif, b) Usia 15-64 tahun : usia dewasa/usia kerja/usia produktif dan c) Usia ≥ 65 tahun : usia tua/usia tidak produktif.

Berdasarkan hasil perhitungan persentase kelompok umur sebagian besar umur peternak responden di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar adalah berumur antara 41-65 tahun sebanyak 50,00 %, diikuti dengan responden yang berumur antara 15-40 tahun sebanyak 43,33%, dan yang paling sedikit berada pada umur diatas 65 tahun sebanyak 6,67%. Hal ini menunjukkan bahwa peternak sapi di kecamatan Mesjid Raya kabupaten Aceh Besar berada pada umur yang produktif. Menurut Tarmidi (1992), pada kondisi umur 15-65 tahun, seorang termasuk dalam kategori umur produktif dengan kemampuan kerja yang masih tergolong baik dan kemampuan berpikir masih baik. Kondisi ini memungkinkan peternak mampu bekerja secara rasional dalam memenuhi seluruh kebutuhan ekonomi dan psikologi kehidupannya. Pada kondisi ini pula peternak memiliki situasi emosional yang lebih terkendali.

Tingkat Pendidikan Peternak

Tingkat pendidikan seseorang merupakan suatu indikator yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan suatu jenis pekerjaan atau tanggung jawab. Perbedaan tingkat pendidikan akan menyebabkan pula perbedaan cara dan pola pikir peternak

(5)

322

dalam mengadopsi berbagai inovasi dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha. Berdasarkan (Tabel 1) menunjukan bahwa jumlah peternak responden dengan tingkat pendidikan SMTA adalah kelompok responden yaitu sebanyak 43,33 %, kemudian diikuti oleh SMTP sebanyak 36,67%, SD sebanyak 16,67% dan Perguruan Tinggi sebanyak 3,33%. Hasil ini menunjukan bahwa rata-rata pendidikan peternak di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar relatif tinggi (Perguruan tinggi, SMTA dan SMTP berjumlah 83,336%). Tingkat pendidikan peternak mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Pendidikan yang lebih tinggi membuat seorang peternak cenderung mudah untuk menerima dan memahami informasi-informasi baru, baik dari penyuluh atau inseminator, maupun dari media massa.

Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang peternakan, khususnya Inseminasi Buatan (IB). Hal ini terlihat dari sistem pemeliharaan sapi saat ini sudah berkembang dari bersifat tradisional berkembang ke arah pemeliharaan ternak yang bersifat komersial. Sebagaimana dinyatakan Mosher (1987), bahwa tingkat pendidikan yang baik memiliki peran penting terhadap produktivitas usaha peternakan yang dilakukan. Meskipun demikian di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar masih ditemukan sebagian peternak yang berpendidikan rendah (SD) sebanyak 16,67%. Peternak yang berpendidikan rendah biasanya terlihat lebih sulit menerima inovasi teknologi baru yang berkaitan dengan usaha ternak dan cenderung menekuni apa yang biasa dilakukan oleh nenek moyang secara turun-menurun (Wirdahayati, 2010).

Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Disinilah peranan penyuluh atau inseminator diperlukan guna membantu para peternak meningkatkan pengetahuannya.

Pekerjaan Utama Peternak

Pekerjaan utama responden juga akan dapat menjadi pembeda bagi seseorang dalam berternak sapi potong yang menjadi kesibukan sehari-hari. Pekerjaan utama peternak responden di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar pada penelitian ini relatif bervariasi, yaitu sebagai petani sebanyak 50,00%, kemudian diikuti oleh peternak sebanyak 20,00%, PNS sebanyak 16,67%, dan wiraswata 13,33%. Hasil ini menunjukan bahwa sebagian besar responden IB di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar adalah petani bukan peternak murni. Hal ini menunjukkan bahwa peternak responden lebih banyak menggantungkan kebutuhan hidupnya dicukupi dari hasil pertaniannya, beternak hanya sebagai pekerjaan sampingan, sehingga waktu yang digunakan untuk usaha peternakan tidak optimal dalam pemeliharaan ternak. Kegiatan beternak hanya dilakukan disela-sela kesibukannya menjalankan pekerjaan pokoknya. Kondisi seperti ini menyebabkan usaha peternakan kurang mendukung produktivitas ternak serta nilai ekonomi ternak bagi keluarga sering terabaikan.

Tingkat Kepemilikan Sapi

Rata-rata tingkat kepemilikan sapi peternak responden di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar bervariasi antara lain 1 sampai 5 ekor sebanyak 64,52%, 6 sampai 10 ekor sebanyak 31,18%, dan >10 ekor sebanyak 4,30%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan sapi peternak sangat terbatas atau rendah. Rendahnya tingkat pemilikan tersebut karena tujuan memelihara ternak hanya sebagai usaha sampingan, ternak belum digunakan sebagai tujuan utama atau sebagai penghasilan pokok sedangkan usaha pokoknya adalah bertani. Menurut Tawaf dkk. (1993), usaha peternakan sapi potong di Indonesia sebagian

(6)

323

besar marupakan usaha peternakan rakyat dengan tingkat pemilikan 1-4 ekor per rumah tangga peternak. Pemeliharaan ternak oleh petani peternak masih merupakan usaha sambilan untuk pelengkap usaha taninya saja.

Pengalaman Beternak

Pengalaman beternak merupakan faktor yang penting bagi peternak dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan untuk menentukan jenis ternak yang dipelihara serta yang paling bermanfaat bagi mereka (Santoso dkk.,1983). Selanjutnya Delfina (2001), menyatakan bahwa pengalaman akan memengaruhi kemampuan seorang peternak untuk memelihara sapinya. Semakin banyak atau lama pengalaman peternak, maka semakin besar kemampuannya untuk beternak. Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara dengan responden dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar peternak sapi di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar baru memulai berternak antara 1 sampai 5 tahun dengan persentase sebesar 50,54%, kemudian diikuti antara 6 sampai 10 tahun sebanyak 40,86%, 11 sampai 15 tahun sebanyak 7,52%, dan hanya sebanyak 1,08% yang beternak lebih dari 15 tahun. Hasil ini mengindikasikan bahwa peternak responden yang berpengalaman rendah lebih mendominasi. Kondisi ini memungkinkan mereka sulit belajar dari pengalaman lapangan, sehingga akan sulit juga dalam menerima inovasi teknologi usahatani menuju perubahan baik secara individu maupun kelompok.

Kusnadi dkk. (1983), menyatakan bahwa umumnya pengalaman peternak berkorelasi positif terhadap produktivitas. Semakin lama pengalaman beternak maka produktivitas yang dihasilkannya pun semakin bertambah, karena semakin tinggi tingkat pengalaman beternak, maka ketrampilan dan sikap terhadap usaha ternak yang dikelolanya akan semakin baik. Pengetahuan Peternak

Pengetahuan adalah informasi yang diperoleh peternak mengenai teknologi inseminasi buatan. Pengetahuan peternak diukur berdasarkan pemahaman peternak secara umum terhadap tanda-tanda birahi pada sapi betina, kapan pengamatan berahi dapat dilakukan, lama siklus birahi, teknologi inseminasi buatan meliputi manfaat dari teknologi inseminasi buatan, faktor penentu keberhasilan inseminasi buatan dan waktu yang tepat untuk inseminasi buatan. Tingkat pengetahuan diketahui berdasarkan skor jawaban dari setiap responden. Semakin tinggi total skor, maka semakin tinggi pengetahuan responden tersebut. Kriteria nilai pangetahuan peternak dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Nilai Pengetahuan Peternak

No Kuesioner Kategori Nilai Skor

1. Benar ≤ 4 Kurang 1

2. Benar 5 – 6 Cukup 2

3. Benar 7 – 8 Baik 3

4. Benar 9 – 10 Sangat Baik 4

Data tingkat pengetahuan peternak responden tentang birahi sapi, inseminasi buatan dan waktu inseminasi buatan di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat Pengetahuan Peternak tentang Berahi, Inseminasi buatan, dan Penentuan Waktu Inseminasi

Kategori Nilai Responden jumlah

(7)

324  Pengetahuan tentang berahi

 Sangat Baik  Baik  Cukup  Kurang 3 8 12 7 10,00 26,67 40,00 23,33  Pengetahuan tentang IB  Sangat Baik  Baik  Cukup  Kurang 2 9 11 8 6,67 30,00 36,67 26,67  Penentuan Waktu

Inseminasi yang tepat

 Sangat Baik 4 13,33

 Baik 13 43,33

 Cukup 10 33,33

 Kurang 3 10,00

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3 diketahui tingkat pengetahuan peternak tentang berahi sapi di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar relatif rendah. Hal ini terlihat dari hasil jawaban peternak terhadap pertanyaan mengenai tanda-tanda berahi berupa keluar lendir, gelisah, menaiki dan dinaiki sapi lain dan nafsu makan menurun sebanyak 25,81%, dan sebanyak 33,33% peternak yang menandai berahi dengan keluar lendir. Hal ini berarti peternak tidak memastikan berahi dengan memeriksa alat kelamin luar sapi yang sedang berahi. Peternak menandai sapi yang sedang berahi dari perubahan perilaku sapi 40,86% yaitu gelisah, bersuara dan nafsu makan menurun. Pengetahuan peternak pada sapi yang dimilikinya sedang berahi relatif masih rendah. Hal ini dapat disebabkan kurangnya penyuluhan dari Dinas terkait mengenai hal deteksi berahi pada ternak sapi. Pemahaman masyarakat tentang usaha peternakan lebih kepada kegiatan turun-temurun dan ikut-ikutan saja. Disamping itu juga disebabkan pola pemeriharaan ternak masih bersifat tradisional atau ekstensifikasi.

Menurut beberapa ahli pola pemeliharaan ternak sapi yang masih ekstensif tradisional dan sistim perkawinan secara alami memungkinkan penurunan sifat yang negatif terhadap turunannya (Mirza dkk., 2008 dan Inue, 2012). Dalam upaya meningkatkan pengetahuan peternak tentang tanda-tanda berahi yang termasuk kategori kurang, maka perlu dilakukan program dan kegiatan penyuluhan dan pelatihan kearah peningkatan pengetahuan mereka.

Pengetahuan peternak tentang inseminasi buatan kategori baik sebanyak 45,16 %, kategori sedang sebanyak 29,03% dan kategori kurang sebanyak 28,61%. Pengetahuan peternak tentang inseminasi buatan seperti segera melaporkan ke Pos IB dan mengikat atau mengandang sapi yang yang menunjukan tanda berahi untuk diIB. Keadaan ini mempelihatkan bahwa peternak di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar sudah memahami apa yang akan dilakukan bila seekor sapi betina mengalami berahi. Hal ini akan mendorong pengembangan usaha yang lebih baik pula.

Pengetahuan lain yang tak kalah pentingnya yang harus dimiliki peternak adalah waktu yang tepat untuk mengawinkan ternak birahi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa sebanyak 21,25% memiliki pengetahuan yang baik mengenai waktu yang tepat untuk mengawinkan ternak dan memiliki pengetahuan sedang sebanyak 62,50%, sedangkan yang belum memiliki pengetahuan yang baik tentang waktu kawin sebanyak 16,25%. Hal ini dapat berkontribusi negatif terhadap keberhasilan inseminasi. Waktu mengawinkan ternak merupakan ukuran ketepan pelaksanaan perkawinan pada ternak, baik secara buatan maupun secara alami, waktu kawin yang paling baik untuk inseminasi pada sapi potong adalah mulai dari 9 jam setelah muncul tanda-tanda berahi yang sebenarnya sampai dengan 6 jam sesudah tanda berahi yang sebenarnya berakhir (Toelihere, 1993). Rendahnya pengetahuan responden terhadap waktu merupakan suatu masalah yang cukup serius yang perlu diatasi dengan berbagai kegiatan penyuluhan dan pelatihan.

(8)

325

Tingkat Keberhasilan IB pada Sapi Aceh Menggunakan Semen Beku Sapi Bali, Sapi Simental dan Sapi Limosin di Kecamatan Mesjid Raya.

Indikator tingkat keberhasilan IB pada penelitian ini diukur dari nilai angka konsepsi atau conception rate (CR) dan inseminasi per konsepsi atau service per conception (S/C) yang dihitung dari pelaksanaan IB oleh inseminator dan hasil wawancara 60 orang peternak yang sapi betinanya diIB. Sistem penilaian keberhasilan IB di Indonesia pada umumnya berdasarkan pada nilai CR dan S/C. Data Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan yang diukur berdasarkan CR dan S/C di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar bulan Maret sampai September tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Tingkat Keberhasilan Inseminasi buatan yang diukur berdasarkan Conseption Rate (CR) dan Service per Conseption (S/C) di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar

No. Parameter

Jenis Semen beku

Jumlah Sapi Bali Sapi

Simental

Sapi Limosin

1. Induk IB pertama (ekor) 19 22 20 61

2. Induk IB ke dua (ekor) 7 10 8 25

3. Induk IB ke tiga (ekor) 1 2 3 6

4. Jumlah service 27 34 31 92

5. Total induk di IB (ekor) 19 22 20 61

6. Induk bunting di IB pertama (ekor)

12 12 12 36

7. Angka kebuntingan (%) 63,15 54,54 60,00 59,23

8. Service/Conception (x/ekor induk bunting)

1,42 1,54 1,55 1,50

Jumlah Service atau Jumlah Pelayanan

Jumlah service adalah jumlah ternak yang dikawinkan pada periode tertentu. Berdasarkan tabel 4 menunjukan jumlah ternak sapi lokal (aceh) yang dikawinkan dengan IB oleh inseminator di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar bulan Maret sampai September tahun 2017 berjumlah sebanyak 61 ekor yang terdiri dari sebanyak 19 ekor menggunakan semen beku sapi bali, sebanyak 22 ekor menggunakan semen beku sapi simental dan sebanyak 20 ekor menggunakan semen beku sapi limosin. Dari data di atas diketahui bahwasanya jumlah pelayanan pada sapi simental dan sapi limosin lebih banyak dibandingkan dengan sapi bali.

Angka Kebuntingan atau Conception rate (CR)

Angka kebuntingan merupakan persentase betina yang bunting pada IB pertama. Rata-rata angka kebuntingan aseptor sapi aceh di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar selama pelaksanaan IB bulan Maret sampai September tahun 2017 adalah 63,15% menggunakan straw sapi bali, 54,54% menggunakan straw sapi simental dan 60,00% menggunakan straw sapi limosin. Hasil ini menunjukan bahwa angka kebuntingan aseptor sapi aceh menggunakan straw sapi bali lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan straw sapi simental dan sapi limosin. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan motilitas spermatozoa setelah thowing dari ketiga jenis straw tersebut. Sebagaimana dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya persentase motilitas dan integritas membran plasma spermatozoa sapi bali setelah pembekuan lebih tinggi dibandingkan dengan semen beku sapi simental dan limosin (Samsudewa dan Suryawijaya, 2008; Fitriani, 2016)

(9)

326

Secara keseluruhan rata-rata angka kebuntingan aseptor sapi aceh di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar selama pelaksanaan IB bulan Maret sampai September tahun 2017 adalah 59,23%. Angka kebuntingan yang diperoleh dari hasil penelitian ini tergolong rendah, jika dibandingkan dengan angka kebuntingan di negara maju dapat berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia angka kebuntingan sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika di bawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur (Toelihere, 1985).

Angka kebuntingan aseptor sapi aceh di kecamatan Mesjid Raya kabupaten Aceh Besar yang diperoleh pada penelitian ini juga lebih rendah jika dibandingkan dengan angka kebuntingan sapi hasil IB pada sapi bali di Halmahera Utara adalah sebesar 64,72% (Labetubun dkk., 2014), pada sapi pesisir di kecamatan Lengayang kabupaten Pasisir Selatan Sumbar 72,57% (Dilla, 2017), pada sapi simental di kabupaten Kendal 30,80% (San dkk., 2015). Namun lebih tinggi dibandingkan dengan angka kebuntingan pada sapi potong di Kenduren 44,67% dan angka kebuntingan sapi perah di Sembong 46,67% (Widodo, 2000).

Masih rendahnya angka kebuntingan ternak sapi setelah IB pada Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar erat kaitannya dengan kesuburan ternak yang rendah, sistem pemeliharaan ternak, pekerjaan utama, pendidikan dan pengetahuan peternak yang relatif masih rendah dalam mengelola ternaknya, diantaranya dalam mengenal tanda-tanda berahi serta pelaporan yang tepat pada inseminator bila sapi minta kawin sehingga ovum yang diovulasikan dapat dibuahi oleh spermatozoa dan terjadi kebuntingan. Sejalan dengan pendapat Partodihardjo (1992) bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi angka kebuntingan antara lain penyakit, kesuburan betina waktu inseminasi dan faktor kebetulan. Rendahnya angka kebuntingan ini juga dipengaruhi skor kondisi tubuh sapi aseptor, yang umumnya rendah (2-3). Hal ini bertujuan untuk menghindari kondisi yang tidak menguntungkan seperti menurunkan angka konsepsi, rendah yang kelahiran, gangguan pertumbuhan induk dan panjang calving interval (Inonue, 2014).

Service Per Conception (S/C)

Service Per Conception (S/C) adalah jumlah inseminasi buatan (IB) yang dibutuhkan seekor betina sampai terjadi kebuntingan. Angka S/C hasil inseminasi buatan di Kecamatan Mesjid Raya kabupaten Aceh Besar bulan Maret sampai September tahun 2017 tergolong normal yaitu 1,50 (Tabel. 4). Hal ini berarti dari satu koma lima puluh kali perkawinan dapat menghasilkan kebuntingan. Toelihere (1993) menyatakan bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6-2,0. Selanjutnya ditambahkan oleh Payne (1970) bahwa angka S/C untuk daerah tropis berkisar 1,3-1,6 dengan asumsi satu kali inseminasi jumlah sapi betina yang bunting sampai melahirkan 60-70 %.

Nilai S/C menunjukkan tingkat kesuburan ternak. Semakin besar nilai S/C semakin rendah tingkat kesuburannya. Tingginya nilai S/C disebabkan karena keterlambatan peternak maupun petugas IB dalam mendeteksi birahi serta waktu yang tidak tepat untuk di IB. Keterlambatan IB menyebabkan kegagalan kebuntingan. Selain faktor manusia faktor kesuburan ternak juga sangat berpengaruh, betina keturunan bangsa exotik cenderung kesuburannya rendah bila di IB, akan tetapi akan lebih baik bila dikawinkan secara alam (menggunakan pejantan pemacek).

Hasil S/C sapi aceh yang diperoleh pada penelitian ini lebih baik dibanding S/C program IB di Kabupaten Aceh Besar periode 2015-2016 sebesar 1,74 (Diskesnak Aceh, 2016) dan lebih baik dari yang diperoleh Labetubun dkk. (2014) pada sapi bali di Kabupaten Halmahera Utara Propinsi Maluku Utara S/C 1,54. Peningkatan nilai S/C di daerah ini tidak terlepas dari kerja inseminator yang selalu aktif dalam mengontrol ternak yang berahi setelah adanya laporan peternak. Disamping itu juga disebabkan karena peternak sudah mengetahui dengan jelas tanda-tanda berahi dan waktu yang tepat untuk mengawinkan sapinya.

(10)

327

Nilai S/C dipengaruhi oleh kemampuan peternak dalam mendeteksi birahi, keterampilan inseminator dalam meletakkan semen dalam saluran reproduksi betina, dan kesuburan betina itu sendiri (Hafez, 2000). Ditambahkan oleh Gordon (1996) bahwa S/C ternak yang di IB dipengaruhi oleh lingkungan, kemampuan ternak dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Tingginya nilai S/C di Kecamatan Mesjid Raya kabupaten Aceh Besar kemungkinan disebabkan oleh kemampuan ternak beradaptasi dengan lingkungannya. Selanjutnya Seoharsono dan Panggi (1978) mengemukakan bahwa untuk memperkecil nilai S/C diperlukan keterampilan inseminator, keterampilan peternak dalam mengelola ternaknya terutama dalam proses reproduksi.

Salisbury dan VanDemark (1985) menyatakan bahwa, angka konsepsi tertinggi akan tercapai bila sapi dikawinkan terhitung diantara pertengahan berahi sampai akhir birahi dengan hasil yang baik bila dikawinkan sampai 6 jam sesudah akhir birahi. Rendahnya S/C yang didapatkan dari penelitian berarti kesuburan sapi betina yang diinseminasi di daerah ini sudah tinggi, karena makin rendah angka S/C maka makin tinggi kesuburan betina dalam kelompok tersebut, sebaliknya makin tinggi angka S/C yang didapat maka makin rendahlah kesuburan kelompok betina tersebut (Toelihere, 1993).

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik beberapa simpul sebagai berikut;

1. Karakteristik peternak di Kecamatan Mesjid Raya kabupaten Aceh Besar seperti: umur produktif, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, pekerjaan pokok, kepemilikan ternak, kemampuan mendeteksi tanda-tanda estrus dan kemampuan menentukan waktu kawin dapat dinyatakan baik untuk mendukung keberhasilan program IB.

2. Keberhasilan IB di Kecamatan Mesjid Raya kabupaten Aceh Besar relatif baik hal ini ditandai dengan capaian rataan angka kebuntingan atau conception rate (CR) sebesar 59,23% dan rataan service per conception (S/C) sebesar 1,59. Angka kebuntingan atau conception rate (CR) sapi aceh menggunakan semen beku sapi bali adalah 63,15%, lebih tinggi dari semen beku sapi Simental (54,54%) dan sapi Limosin (60,00%) dengan nilai S/C menggunakan semen beku sapi bali adalah 1,42 lebih rendah dari semen beku sapi simental dan semen beku sapi Limosin yaitu 1,54 dan 1,55.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh, 2012, Banda Aceh Dalam Angka.

Delfina, Y. 2001. Faktor Penunjang Kegagalan Pelaksanaan IB di KPBS Pangalengan, Bandung (Periode Januari 1999 sampai Januari 2000). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Dilla, N.U. 2017. Pengetahuan Peternak Tentang Pemahaman Keterkaitan Gejala Berahi dengan Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi di Kecamatan Lengayang Kabuapaten Pesisir Selatan Sumatera Barat, (Periode April sampai Mei 2016). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh..

Dinkeswannak Aceh. 2016. Laporan Inseminasi Buatan Tahun 2016. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Aceh. Tahun 2016.

Fitriani. A.2016. Pengaruh lama thowing terhadap kualitas semen beku sapi simental, limousin dan bali Balai Inseminasi Buatan Tuah Sakato Payakumbuh. Thesis. Pascasarjana Universitas Andalas.

Gordon, I. H. 1996. Controlled Reproduction in Cattle and Buffaloes. CAB International.

Gunawan. 1998. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Aceh. Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Universitas Syiah Kuala, Sabtu 28 Maret 1998, Banda Aceh.

(11)

328

Hafez, E. S. E. 2000. Semen Evaluation in Reproduction In Farm Animals 7th Ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia.

Hafez, E. S. E. (2004). Reproduction in Farm Animals. 7th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. pp: 385-393 ; 394-398.

Hastuti, D. 2008. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Potong ditinjau dari Angka Konsepsi dan Service per Conception. Jurnal Fakultas Pertanian Universitas Wahid Hasyim. Mediagro .4. (1) Semarang.

Inounu. I. 2014. Upaya Meningkatkan Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Ternak Ruminansia Kecil. WARTAZOA Vol. 24 No. 4 Th. 2014 Hlm. 201-209.

Kusnadi, U., Soeharto PR. dan M. Sabrani. 1983. Efisiensi usaha peternakan sapi perah yang tergabung dalam Koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. 6-9 Desember 1982. Bogor. Hlm. 94-103

Labetubun, J., F. Parera. Dan S. Saiya. 2014. Evaluasi pelaksanaan inseminasi buatan pada sapi bali di Kabuapaten Halmahera Utara. Jurnal Agrinimal. 4(1):22-27.

Mosher, A. T. 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV. Yasaguna. Jakarta. Payne, W. J. A. 1970. Cattle Production in the Tropics Vol 1. Logman Group Ltd. London. Rizal, M dan Herdis. 2008. Inseminasi Buatan pada Domba. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm 1-6.

Salisbury, G. W. Dan N. L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Samsudewa, D, dan A. Suryawijaya. 2008. Pengaruh berbagai metode thowing semen beku sapi.

Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro Semarang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008.

San D.B.A., I.K.G. Yasemas, dan E.T. Setiatin. 2015. Evaluasi Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Sapi Simental-PO (SIMPO) Di Kecamatan Patean Dan Platungan, Kabupaten Kendal. Jawa Tengah. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Animal Agriculture Journal 4(1): 171-176.

Santoso, A. Djajanegara, dan B. Sudaryanto. 1983. Pengaruh Beberapa Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Sikap Peternak Sapi Potong Dalam Menyimpan Jerami Padi Sebagai Sebagai Persediaan Pakan Di Desa Wonokerto Kecamatan Purwodadi Kabupaten Subang. Puslitbang. Deptan. Bogor.

Soeharsono dan Panggi, 1978. Performabce Sapi perah di Indonesia. Seminar Produktifitas Ternak Sapi. Program penelitian Peternakan IPB Bogor.

Tarmidi, L.T. 1992. Ekonomi Pembangunan. Penelitian Antar Univer-sitas Studi Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta.

Tawaf R., Sulaeman, dan TS. Udiantono. 1993, Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah. Proseding Agroindustri Sapi Potong. PPA, Cides dan UQ. Jakarta.

Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa. Bandung. Hal 92-120. Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung.

Widodo Puji, 2000. Pengkajian Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan Pada Sapi Potong Di Kabupaten Daerah Tingkat II Blora, Jawa Tengah. Skripsi Sarjana Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Wirdahayati, R. B. 2010. Kajian Kelayakan dan Adopsi Inovasi Teknologi Sapi Potong Mendukung Program PSDS: Kasus Jawa Timur dan Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional dan Veteriner. Bogor 3-4 Agustus 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hlm 339-346.

Gambar

Tabel 1. Karateristik peternak responden di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar  (n=30 orang)

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi yang terpenting menurut penulis sesungguhnya bukan terletak pada banyaknya peraturan yang melarang kekerasan terhadap anak di lingkungan

Firli,Winda,Lais,Rian,Barka Mampu melakukan kegiatan menyapu halaman dengan mandiri namun masih membutuhkan sedikit pengarahan dari pembimbing Aulia,joni,eza masih

KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014. 12 598656 MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI

Pelaksanaan penilaian diawali dengan pendidik merumuskan indikator pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang dijabarkan dari Kompetensi Dasar (KD) pada

Tujuan kreatif dari perancangan desain kemasan Loenpia Nyonya Giok ini adalah menciptakan kemasan baru yang sesuai dengan sifat produk, praktis, dapat melindungi,

Saat ini komputer tidak hanya digunakan sebagai pengganti mesin ketik atau alat perhitungan biasa, namun lebih dari sekedar itu, komputer digunakan penyimpanan data. Salah

Kcstu p,ffim bdju tu tunFedi Lon'swr

Hipotesis yang diajukan terdapat hubungan yang positif antara konsep diri muslimah dengan intensi memakai jilbab.. Subyek penelitian diambil sesuai dengan kriteria yang