• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dapat dirasakan dari perkembangan tersebut adalah kemudahan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dapat dirasakan dari perkembangan tersebut adalah kemudahan dalam"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Masalah Penelitian

Perkembangan ilmu dan teknologi telah terbukti dapat mempermudah manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Salah satu kemudahan yang dapat dirasakan dari perkembangan tersebut adalah kemudahan dalam berkomunikasi. Masyarakat kontemporer dapat dengan mudah memberi dan menerima informasi dengan menggunakan alat-alat teknologi seperti handphone dan televisi. Masyarakat kontemporer di seluruh dunia, termasuk masyarakat kontemporer di Indonesia dapat mengetahui berbagai informasi dengan menonton televisi. Salah satu informasi yang didapatkan dengan menonton televisi adalah informasi tentang produk-produk yang ditawarkan oleh para produsen melalui iklan yang ditayangkan di televisi.

Adanya iklan di televisi memang mempermudah masyarakat untuk mengetahui berbagai produk yang dibutuhkan. Permasalahan muncul ketika iklan ternyata tidak hanya menayangkan suatu produk, tetapi juga menyisipkan tanda-tanda yang tanpa disadari telah mampu menggerakkan hasrat secara halus sehingga mampu memengaruhi gaya hidup dan tingkah laku manusia. Tampilan iklan suatu produk yang nyaris sempurna karena penggunaan bahasa dan penampilan bintang iklan dengan disertai berbagai permainan tanda, seolah-olah menjelaskan apa yang ditawarkan dengan terbuka dan jelas. Pada akhirnya,

(2)

masyarakat menganggap bintang iklan sebagai cerminan dari produk yang ditawarkan.

Masyarakat tidak sadar bahwa penciptaan citra-citra yang dilihat di dalam iklan merupakan bentuk manipulasi dan simulasi yang mengarah dalam pembentukan gaya hidup baru bagi mereka. Baudrillard (dalam Budiman, 2002: 82), menjelaskan bagaimana simulasi dalam televisi telah mampu menciptakan berbagai macam realitas. Televisi dapat membuat realitas sosial menjadi hiperreal dan nonreal. Baudrillard mengungkapkan proses simulasi yang berlangsung di dalam iklan televisi dengan sebutan simulacra. Baudrillard mendefinisikan simulacra sebagaimana dikutip Qomariyah (2007: 51) bahwa simulasi dibangun berdasarkan model-model yang begitu cermat, semua model yang nyaris mendekati fakta.

Baudrillard (dalam Budiman, 2002: 82) memperlihatkan kemampuan berbagai simulasi menjadi realitas dalam beberapa tahap. Tahap pertama memperlihatkan bahwa simulasi masih merupakan refleksi dari sebuah realitas yang diacunya (a basic reality). Tahap kedua memperlihatkan bahwa simulasi telah menutup dan menyesatkan atau membelokkan realitas sehingga tidak lagi hadir apa adanya. Tahap terakhir memperlihatkan bahwa simulasi telah menutup ketakhadiran realitas acuannya dan akan meniadakan seluruh bentuk relasi dengan realitas apapun. Hyperreal adalah simulasi tahap lebih lanjut, yaitu ketika citra menjadi realitas. Hyperreal bukan tidak real melainkan lebih real dari yang real.

Baudrillard (dalam Soedjatmiko, 2008: 27-28) mengungkapkan situasi masyarakat kontemporer dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia dikelilingi oleh

(3)

faktor konsumsi yang begitu menyolok dengan ditandai oleh multiplikasi objek, jasa, dan barang-barang material. Sebuah konsumsi mengambil sebuah tanda. Konsumsi menjadi penting sejauh memenuhi ekspresi makna representasi serupa mimpi. Media massa berperan fundamental bagi representasi-representasi tersebut. Baudrillard (dalam Margaretta, 2006: 28), menerangkan bahwa manusia hidup pada periode objek. Objek tersebut tidak lagi memiliki makna karena kegunaan dan keperluannya juga tidak lagi memiliki hubungan yang nyata antara masyarakat. Komoditas dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan dan sebagainya.

Transformasi dan pergeseran yang terjadi dalam struktur masyarakat Barat kontemporer yang diakibatkan oleh tayangan iklan televisi sebagaimana yang diungkapkan Baudrillard, kemungkinan juga dialami oleh masyarakat kontemporer di Indonesia. Iklan televisi merupakan sarana efektif untuk memengaruhi masyarakat kontemporer di Indonesia agar tertarik dan membeli berbagai macam produk yang ditawarkan. Hal tersebut tampak dari besarnya biaya yang dikeluarkan produsen untuk penayangan iklan di berbagai stasiun televisi Indonesia.

Belanja Iklan di Indonesia memiliki pertumbuhan tahunan yang cukup signifikan. Contohnya, belanja iklan di Indonesia menghabiskan US$ 9,14 Miliar pada tahun 2013, meningkat 20% dari tahun 2012 yaitu sebesar US$ 7,26 Miliar. 60% belanja iklan tersebut terserap oleh stasiun televisi swasta tingkat nasional (Setianto, 2016: 295). Stasiun TV masih tetap mendominasi belanja iklan nasional dan tetap meraih belanja iklan terbesar.

(4)

Siaran televisi mampu menjangkau sekitar 79% total populasi atau 174 juta penduduk di Indonesia. Hal tersebut menjadi alasan pengikan lebih tertarik menayangkan iklan di televisi daripada media massa lainnya. Performa rating dan pangsa pemirsa yang tinggi selalu berbanding lurus dengan pendapatan iklan (Widyaningrum, 2008: 186-187). Pertumbuhan iklan di televisi tersebut dapat menjadi bukti bahwa iklan televisi merupakan sarana efektif untuk mempromosikan produk dan memengaruhi masyarakat untuk mengonsumsi produk yang ditawarkan.

Para pemasang iklan dapat mengetahui dan mengukur efek dari iklan dalam memengaruhi image, perilaku, dan sikap masyarakat terhadap merek yang diiklankan berdasarkan perubahan penjualan dan pangsa pasar (Sutherland, 2005: 81). Salah satu kategori produk yang gencar melakukan promosi melalui iklan di televisi adalah iklan produk kecantikan. Survei Research Indonesia (dalam Kasali, 2007: 28-29), pernah mencatat total biaya iklan untuk kategori sampo perawatan rambut mencapai RP, 47, 7 miliar. Biuti adalah salah satu produk sampo lokal yang membuktikan efektivitas iklan televisi. Produk Biuti mendadak laku keras dan dikenal masyarakat setelah 3 bulan melakukan promosi melalui iklan di televisi.

Tayangan iklan di televisi di indonesia berkembang dengan begitu pesat. Saat ini, muncul berbagai tayangan iklan di televisi tentang produk kecantikan yang mengaburkan pandangan masyarakat kontemporer di Indonesia tentang hal-hal yang bernilai. Iklan menyajikan berbagai citra dan tanda untuk merekayasa serta menyimulasi masyarakat ke dalam tatanan nilai yang tidak jelas

(5)

asal-usulnya. Pemahaman tentang nilai sangat penting bagi masyarakat kontemporer di Indonesia agar tidak salah dalam menangkap dan mewujudkan nilai di dalam kehidupan.

Penelitian ini berjudul Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer menurut J. Baudrillard dalam Perspektif Aksiologi Max Scheler: Kasus Iklan TV tentang Produk Kecantikan di Indonesia. Penelitian ini akan meneliti pengaruh iklan di televisi tentang Produk Kecantikan terhadap gaya hidup masyarakat kontemporer di Indonesia menurut Baudrillard sebagai objek material. Persoalan mendasar aksiologi muncul dalam perwujudan yang berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kaitannya dengan pengaruh iklan ditelevisi terhadap perilaku masyarakat yang memunculkan persoalan tentang nilai. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan aksiologi sebagai objek formal.

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki atau mempelajari tentang hakikat nilai (Kattsoff, 2004: 319). Usaha awal dari aksiologi adalah membedakan dan memisahkan nilai dari fakta. Nilai ditempatkan sebagai sesuatu yang memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan fakta (Wahana, 2004: 42). Aksiologi menjadi suatu kajian yang penting mengingat berbagai permasalahan terkait nilai yang kerapkali muncul dalam proses pergaulan antar manusia.

Manusia hidup di dunia ini selalu terkait dengan nilai. Nilai merupakan panduan hidup bagi manusia. Manusia dapat memilih dan menentukan berharga atau tidaknya sesuatu berdasarkan sistem nilai yang diyakininya, termasuk dalam kaitanya dengan upaya menyaring suatu informasi yang didapatkan. Contohnya, Manusia dapat menyaring berbagai informasi yang diketahuinya dari tayangan

(6)

televisi. Manusia dapat memilih informasi mana yang penting atau berguna dan informasi mana yang tidak penting atau tidak berguna. Permasalahan yang muncul terkait sistem nilai yang yang digunakan manusia yang digunakan untuk memberi arah dan pertimbangan diri tersebut adalah terkait subjektivitas dan relativitas penghayatan tentang nilai itu sendiri.

Sistem nilai yang dihayati oleh seseorang belum tentu merupakan sistem nilai yang objektif yang dapat dijadikan pedoman hidup oleh semua orang. Penangkapan dan penghayatan terhadap suatu sistem nilai oleh setiap manusia juga berbeda-beda dan dipengaruhi berbagai faktor, baik faktor individual maupun faktor sosial. Persoalan yang muncul selanjutnya adalah pertanyaan tentang keberadaan sistem nilai yang objektif yang berlaku bagi semua orang. Contoh pertanyaan tersebut memperjelas bahwa masih banyak persoalan tentang nilai yang masih rancu dan selalu dipertanyakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin kompleksnya permasalahan terkait nilai maka banyak tokoh yang mengungkapkan pandangan mereka untuk memperoleh jawaban serta pemahaman terhadap berbagai permasalahan mengenai nilai tersebut. Salah satu tokoh yang mengkritisi permasalahan nilai adalah Max Scheler.

Max Scheler adalah seorang filsuf yang mengarahkan dan mendasarkan pemikirannya pada masalah nilai. Max Scheler mengembangkan teori fenomenologi nilai berdasarkan pada cara pemahaman intuitif terhadap nilai. Menurut max Scheler sebagaimana dikutip Paulus Wahana (2004: 12),

(7)

pengalaman emosional terhadap nilai merupakan yang utama bagi seluruh pengalaman terhadap realitas.

Ada dua pandangan mengenai nilai, yaitu pandangan yang bersifat subjektif dan pandangan yang bersifat objektif. Pandangan subjektif berpendapat bahwa nilai tergantung dan ditentukan oleh subjek. Pandangan objektif berpendapat bahwa keberadaan nilai berlangsung secara objektif sehingga tidak tergantung dan tidak ditentukan oleh subjek. Max Scheler termasuk filsuf yang berpendapat bahwa nilai berada secara objektif dan tersusun secara hierarkis. Meskipun demikian, Scheler juga mengakui bahwa penangkapan dan perwujudan nilai memang tergantung pada subjek (Wahana, 2004: 14).

Max Scheler juga membedakan antara nilai dan hal yang bernilai. Menurut Max Scheler sebagaimana dikutip Paulus Wahana (2004, 14), nilai adalah kualitas yang membuat suatu hal menjadi bernilai, sedangkan hal yang bernilai merupakan suatu hal yang membawa kualitas nilai. Nilai memiliki dunianya sendiri yang keberadaannya tidak tergantung pada keberadaan dan perubahan dunia empiris. Dunia nilai merupakan tempat beradanya nilai-nilai, yang keberadaannya bersifat mutlak dan tersusun secara hierarkis.

Pemikiran Max Scheler terkait nilai dapat dijadikan pendekatan yang akan membantu menemukan jawaban terhadap persoalan-persoalan nilai yang terjadi di masyarakat kontemporer. Misalnya terkait nilai-nilai yang muncul pada iklan di televisi. Pandangan Max Scheler tentang nilai dapat dijadikan sebagai alat untuk membawa keputusan pembaruan bagi pandangan masyarakat terkait nilai

(8)

dari berbagai produk yang ditawarkan di televisi, khususnya produk-produk kecantikan.

Ada beberapa alasan mengapa penelitian ini dilakukan. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa iklan adalah sarana untuk menginformasikan suatu produk kepada masyarakat sebagai konsumen. Masyarakat dapat memilih berbagai alternatif produk yang dibutuhkan dengan menonton iklan. Permasalahannya adalah meskipun fungsi pokok iklan adalah untuk menginformasikan produk, namun informasi yang disampaikan seringkali berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. Terjadi inkonsistensi antara tayangan iklan dengan kondisi produk yang ditawarkan ketika masyarakat telah membelinya. Penelitian ini penting dilakukan untuk memahami iklan secara mendalam.

Meskipun dalam kenyataan konkret ditemukan banyak perbedaan antara produk yang ditayangkan dalam iklan dengan produk aslinya, namun masyarakat masih tetap membeli produk-produk yang ditawarkan di dalam iklan, bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan tetapi menjadi semacam tuntutan hasrat yang telah menjadi gaya hidup dan perilaku masyarakat kontemporer. Tujuan dari konsumsi dapat diungkap dan ditegaskan kembali dengan memahami iklan secara kritis.

Penulis mengkhususkan penelitian pada iklan di televisi karena televisi merupakan sarana komunikasi massa dan hiburan yang murah dan disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat. Iklan yang ditampilkan dalam televisi tidak sekedar suara, tetapi juga tampilan visual sehingga dapat lebih menarik. Iklan televisi layak untuk diteliti karena memiliki sasaran yang lebih luas.

(9)

Baudrillard mengungkapkan banyak hal terkait peningkatan produksi, peran media massa termasuk televisi sebagai alat komunikasi massa dalam menyalurkan barang-barang produksi sampai munculnya sikap-sikap yang tidak wajar yang terjadi di dalam masyarakat akibat adanya penawaran terhadap barang-barang produksi tersebut. Pandangan Baudrillard tepat digunakan untuk mendeskripsikan pengaruh iklan di televisi terhadap gaya hidup masyarakat kontemporer, khususnya di Indonesia.

Agar iklan di televisi dan gaya hidup dapat dipahami secara mendalam maka diperlukan pisau analisis yang tepat. Aksiologi, khususnya pandangan Max Scheler tentang nilai tepat untuk digunakan sebagai pisau analisis karena Max Scheler mengungkapkan banyak hal tentang hubungan dan peranan nilai bagi kehidupan manusia.

Intisari filsafat adalah analisis kritis terhadap konsep-konsep dasar yang dengannya orang berpikir tentang dunia dan kehidupan manusia (Gie, 1979: 12). Hasil ilmu tidak memiliki landasan yang kokoh jika konsepnya tidak dijelaskan dan dikuatkan. Ilmu dalam konteks penelitian ini adalah Aksiologi secara umum, dan khususnya teori nilai yang dikembangkan oleh Max Scheler. Teori tersebut digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami pengaruh iklan televisi bagi kehidupan manusia, khususnya terkait nilai-nilai yang terdapat didalamnya. Alasan-alasan tersebut lah yang menjadikan penelitian ini layak untuk dilakukan.

(10)

2. Rumusan Masalah

Pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, telah dijelaskan mengenai beberapa persoalan terkait pengaruh iklan tentang produk kecantikan terhadap gaya hidup masyarakat Indonesia menurut Baudrillard dalam perspektif aksiologi. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka kemudian dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang akan diteliti dan dikaji secara lebih lanjut dan mendalam dalam karya ini, yakni:

a. Apa bentuk pemikiran dari Jean Baudrillard, khususnya dalam menjelaskan iklan TV dan gaya hidup masyarakat kontemporer? b. Apa bentuk pemikiran aksiologis dari Max Scheler?

c. Apa kaitan iklan di TV tentang produk kecantikan dengan gaya hidup masyarakat kontemporer menurut pandangan Baudrillard dalam perspektif aksiologi Max Scheler?

3. Keaslian Penelitian

Fokus kajian dalam penelitian ini adalah pengaruh dari iklan di televisi tentang produk kecantikan terhadap gaya hidup masyarakat kontemporer di Indonesia yang dikaji dalam perspektif Aksiologi. Penelitian ini akan memaparkan sejauh mana iklan di televisi tidak hanya dijadikan sebagai sarana informasi untuk membantu mempermudah kehidupan manusia tetapi juga memiliki daya tarik tertentu dalam penyajiannya yang berpengaruh terhadap gaya hidup dan kehidupan masyarakat, khususnya terkait nilai-nilai yang diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat kontemporer.

(11)

Sejauh penelusuran yang dilakukan peneliti, sampai saat ini hasil penelitian mengenai Iklan di televisi tentang produk kecantikan menurut Baudrillard yang ditinjau secara filosofis melalui pisau analisis aksiologi Max Scheler belum pernah dilakukan. Akan tetapi, sudah banyak dilakukan penelitian baik itu dalam bentuk skripsi maupun laporan hasil penelitian tentang iklan di televisi dan gaya hidup dari sudut pandang ekonomi dan sosiologi. Pada intinya, hasil penelitian itu tidak bersinggungan dengan diskursus keilmuan filsafat. Mesipun demikian, penulis juga menemukan beberapa karya terkait dengan objek material dan objek formal yang hendak dikaji diantaranya:

a. Jurnal yang dipublikasikan University of Wisconsin Press, berjudul “Baudrillard's Noble Anthropology: The Image of Symbolic Exchange in Political Economy”, oleh Robert Hefner, Tahun 1977. Inti dari jurnal ini adalah analisis dan pemeriksaan dua gerakan utama dalam kritik Baudrillard, yaitu kritik kategoris ekonomi politik dan pernyataan dari kekhasan sosiologis primitif (the criticism of categoris of political economy and the assertion of the sociological distinctiveness of primitiviness).

b. Jurnal Sosial Politik yang dipublikasikan Inherent Digital Library UGM, berjudul “llusi Virtual: Kejayaan Media atas Audien? Telaah Kritis atas Teori Resepsi Media Jean Baudrillard”, oleh Budi Irawanto, Tahun 1998. Inti dari jurnal ini adalah analisis tentang kelebihan-kelebihan dan persoalan-persoalan yang inheren dalam komunikasi lateral yang lebih demokratis dan egaliter dari beragam produksi media

(12)

c. Jurnal yang dipublikasikan Dalhousie University, berjudul “Fashion, Theory, and the Everyday: Barthes, Baudrillard, Lipovetsy, Maffesoli”, oleh Michael Sheringham, Tahun 2000. Inti dari jurnal ini adalah analisis tentang teori dari Baudrillard, Simmel, dan teori yang muncul kemudian. Teori-teori tersebut setidaknya memiliki dua hal yang saling berhubungan erat namun agak berbeda. Secara historis, gaya tertentu yang diwujudkan secara konkret dalam pakaian, artefak, bentuk perilaku dapat dijelaskan dan diklasifikasikan.

d. Tesis S2 Fakultas Sastra Universitas Indonesia, berjudul “Perkembangan Pemikiran Jean Baudrillard dari Realitas ke Simulakrum”, oleh Bambang Utoyo, Tahun 2001. Inti dari penelitian ini adalah mengungkapkan periode perkembangan pemikiran Baudrillard yang dianalisis berdasarkan tulisan atau karya yang telah dibuatnya.

e. Jurnal yang dipublikasikan Universitätsverlag Winter Gmbh, berjudul “"Into the Void": The Hyperrealism of Simulation in Bret Easton Ellis's "American Psycho"”, oleh Martin Weinreich, Tahun 2004. Inti dari jurnal ini adalah analisis mengenai novel American Psycho karangan Bret Easton Ellis yang sengaja disusun dan ditulis oleh Ellis untuk menyampaikan kritik budaya dari kondisi sosial kapitalisme konsumen postmodern yang secara garis besar diungkapkan oleh jean Baudrillard. Dengan demikian, konsep hiperreality dan simulasi memberikan kerangka yang cocok untuk menafsirkan bentuk, isi, dan struktur dari novel “American Psycho”.

(13)

f. Jurnal Sosial Politik yang dipublikasikan Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga, berjudul “Gaya Hidup Santai Mahasiswa (Studi pada Mahasiswa Universitas Negeri Penikmat Coffee Shop di Starbucks Coffee )”, oleh Fika Okiriswandani, Tahun 2012. Inti dari jurnal ini adalah analisis tentang alasan mahasiswa secara sosial dan ekonomi mengikuti gaya hidup di starbucks coffee yang membuat sekelompok mahasiswa menikmati gaya hidup santainya dan munculnya high consumption (konsumsi berlebihan).

g. Tesis S2 Universitas Gadjah Mada berjudul “Makna Realitas Media Televisi Menurut Jean Baudrillard Dalam Perspektif Ontologi”, oleh Imam Mawardi, Tahun 2012. Inti dari penelitian ini adalah analisis dari makna realiatas media televisi menurut jean baudrillard yang kemudian dikaji dengan perspektif ontologi.

Berdasarkan penelusuran dan pengamatan mengenai karya-karya ilmiah di lingkungan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, penulis menemukan beberapa karya terkait dengan objek material dan objek formal yang hendak dikaji diantaranya:

a. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Pola Hidup Konsumtif dalam Persuasi Bahasa Iklan Televisi (Telaah Language Games Wittgenstein)”, oleh Martha Meilanti Butar Butar, Tahun 2003. Inti dari penelitian ini adalah mengungkapkan aturan-aturan main yang ada dalam bahasa iklan dengan menggunakan teori language games Wittgenstein.

(14)

b. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Analisis Pertarungan Konstruksi Citra Susilo Bambang Yudoyono-Yusuf Kalla VS Megawati-Hasyim Muzadi pada Iklan Kampanye Pilpres 2004 dalam Teori Simulasi Jean Baudrillard”, oleh: Ahmad Ghozi NuruL Islam, Tahun 2007. Dalam penelitian ini dibahas mengenai keberhasilan iklan SBY-Kalla dalam merekonstruksi Sosok Susilo Bambang Yudoyono sebagai sebuah ikon imajiner bagi pemilih potensialnya melalui beberapa karakteristik yang ideal dan menarik bagi setiap kelompok yang ditargetkan.

c. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Gaya Hidup Konsumtif menurut Perspektif Etika Utilitarianisme John Stuart Mill”, oleh: Margaretta Tri Purwantini, Tahun 2006. Penelitian ini membahas tentang prinsip utilitarian dalam masyarakat konsumen yang menekankan bahwa kebahagiaan itu diinginkan sebagai tujuan masyarakat konsumen yang dapat dilihat dari perilaku consumer yang membelanjakan uang dan memuaskan segala keinginannya yang dianggap merupakan jalan menuju kebahagiaan dan kepuasan.

d. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Refleksi Filosofis: Konsep Fenomenal Waktu Luang sebagai Pencipta Gaya Hidup Konsumerisme”, oleh Susanti Johana, Tahun 2006. Inti dari penelitian ini adalah pemaparan tentang fenomena waktu luang yang memicu munculnya gaya hidup individu di dalam masyarakat modern.

e. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Konsep Alienasi Masyarakat Konsumer Menurut Jean Baudrillard”, oleh: Aditya Permana,

(15)

Tahun 2009. Inti dari penelitian ini adalah aspek alienasi masyarakat konsumer yang berkaitan dengan reifikasi petanda atau keterpisahan dengan realitas.

f. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Friendster sebagai bentuk Ekstasi Komunikasi Jean Baudrillard”, oleh: Taufik Dwi Wijayanto, Tahun 2008. Inti dari penelitian ini adalah Ekstasi Komunikasi yang ada dalam Friendster yang terlihat dari fitur-fitur yang ada di dalamnya.

g. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Gaya Hidup Konsumtif dan kerusakan Lingkungan menurut Etika Ekosentrisme”, oleh Aditya Bayu Aji, Tahun 2009. Inti dari penelitian ini adalah pemaparan tentang sumbangan Ekosentrisme untuk mengatasi permasalahan lingkungan akibat gaya hidup konsumtif.

Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan, penulis belum menemukan skripsi maupun tesis di Fakultas Filsafat yang meneliti mengenai “Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer menurut J. Baudrillard dalam Perspektif Aksiologi Max Scheler: Kasus Iklan TV tentang Produk Kecantikan di Indonesia”.

(16)

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini sangat diharapkan mampu memberi sumbangsih yang besar dalam pemikiran terkait pengaruh iklan di TV terhadap gaya hidup masyarakat kontemporer dalam perspektif aksiologi, yang lebih spesifik pada beberapa hal yaitu:

a. Pada bidang ilmu pengetahuan, penelitian ini sangat diharapkan dapat menjadi sebuah pengetahuan baru, khususnya dalam hal metode dalam melihat beberapa fenomena yang ada dalam media TV, khususnya fenomena iklan dan kaitannya terhadap gaya hidup masyarakat kontemporer.

b. Pada bidang filsafat, penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam bentuk cara baca filosofis dengan menggunakan analisis simulasi dari Jean Baudrillard dan aksiologi Max Scheler, sehingga kemudian dapat menghasilkan sebuah metode filosofis yang baru dalam melihat berbagai macam fenomena dalam kehidupan dan pemikiran post-modern ini.

c. Pada dunia media, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah kritik dan bagi para pelaku dalam dunia media, khususnya agensi periklanan dan televisi sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik yaitu sebagai sarana pendidikan, penerangan, dan hiburan.

d. Pada kehidupan berbangsa dan bernegara, penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang besar bagi pembaruan cara pandang masyarakat kontemperer di Indonesia terhadap informasi yang diterima

(17)

dari media televisi, sehingga dari informasi tersebut dapat tersaring beberapa aspek positif di dalamnya.

e. Bagi Penulis, penelitian ini sangat diharapkan dapat membuka cakrawala dan menambah wawasan serta khasanah pengetahuan penulis, khususnya terkait pola dan bentuk informasi dalam media televisi, sehingga berguna dalam menganalisis berbagai persoalan yang muncul dari apa yang ditayangkan media televisi, khususnya persoalan informasi produk yang ditayangkan dalam bentuk iklan.

B. Tujuan Penelitian

Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan dalam rumusan masalah yaitu:

1. Mendeskripsikan dan kemudian menganalisis bentuk pemikiran Jean Baudrillard, khususnya dalam mengkritisi keberadaan Iklan di televisi.

2. Mendeskripsikan dan kemudian menganalisis bentuk pemikiran aksiologis Max Scheler.

3. Menganalisis, menerangkan dan mengungkap kaitan antara iklan di televisi dengan pola pikir dan gaya hidup masyarakat kontemporer menurut pemikiran Jean Baudrillard dalam perspektif aksiologi Max Scheler.

C. Tinjauan Pustaka

Iklan memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan masyarakat. Hal tersebut membuat banyak orang tertarik untuk mengkaji iklan. Peneliti menemukan beberapa tulisan ilmiah yang membahas tentang iklan. Tulisan-tulisan tersebut diantaranya adalah Tulisan-tulisan yang disusun oleh Martha Meilanti

(18)

Butar Butar (2003: 68) yang menjelaskan bahwa iklan merupakan sebuah teks sosial yang dapat digunakan untuk memahami dinamika masyarakat selama periode iklan tersebut dimunculkan. Iklan merupakan alat yang dapat dimanfaatkan dan dijadikan sebagai penanam citra produk perusahaan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi produsen dan biro iklan. Segala yang disajikan dan ditampilkan di dalam iklan dalam menggambarkan realitas dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk yang ditawarkan sehingga menghantarkan masyarakat pada pola hidup konsumtif dan pengkotak-kotakan status sosial.

Martha Meilanti Butar Butar (2003: 49) juga menyatakan bahwa teks iklan merupakan sarana penyampaian pesan atau informasi yang merepresentasikan realitas. Namun, iklan sebenarnya juga digunakan sebagai penggerak, motor pengubah kesadaran dengan membentuk alam fantasi dan realitas hiper. Iklan sebagai kelanjutan dari strategi pemasaran juga dapat merangkai masa lalu, masa kini, dan masa depan untuk menghasilkan makna yang ingin dilekatkan pada produk.

Iklan merupakan cara yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan penjualan yang menanamkan simbol, citra atas produk yang ditawarkan dan diarahkan kepada para calon pembeli potensial. Para pembuat iklan biasanya menggunakan artis-artis yang dianggap dapat merepresentasikan produk yang mereka tawarkan. Para pengiklan dengan sengaja menanamkan image atau citra produk yang diiklankan tersebut dalam pemikiran konsumen dengan menggunakan artis-artis tersebut sebagai bintang iklan,. Hasrat konsumen dapat

(19)

diarahkan dengan cara tersebut untuk mengonsumsi produk yang ditawarkan dengan harapan dapat menjadi seperti bintang iklan tersebut (Martha, 2003: 51).

Iklan juga dibahas oleh Shaharom Sulaiman (2004: 219). Iklan mempresentasi atau menggambarkan gaya hidup. Gaya hidup dicitrakan menjadi milik kelas tertentu dalam masyarakat yang dibentuk oleh mosaik objek sehingga membentuk semacam supersign. Contohnya, gaya pakaian, gaya rambut, dan lain-lain. Iklan juga membangun wacana lewat “retorika” citra dan akhirnya melahirkan “mitologi” masyarakat konsumer dimana mimpi-mimpi masyarakat tersalurkan. Produk konsumer merupakan suatu medium untuk membentuk personaliti, gaya, citra, dan peningkatan status sosial yang berbeda. Barang konsumen menjadi sebuah cermin bagi para konsumer dalam menemukan makna hidup.

Tulisan lain yang membahas iklan adalah tulisan ilmiah karya Margaretta Tri Purwantini (2006: 25). Penjelasannya diawali pembahasan tentang sistem produksi. Menurutnya, sistem produksi hanya dapat mempertahankan diri dengan menambah dan menciptakan kebutuhan baru. Tambahan produksi membutuhkan tambahan konsumsi. Masyarakat menjadi masyarakat konsumer. Manusia tidak hanya membutuhkan apa yang sebenarnya dibutuhkannya tetapi membutuhkan apa yang dibutuhkan oleh sistem produksi. Metode yang digunakan untuk mengubah kebutuhan menjadi keinginan adalah dengan menggunakan berbagai macam teknik promosi terutama teknik periklanan.

Iklan pada dasarnya merupakan sebuah sarana untuk menimbulkan keinginan di hati konsumen terhadap barang dan jasa yang tidak terlalu

(20)

dibutuhkannya. Kebanyakan dari kebutuhan ini dalam kenyataan bersifat artificial. Iklan meyakinkan para konsumen bahwa mereka memerlukan beberapa barang dan jasa tertentu (Margaretta, 2006: 25). Aditya Bayu Aji di dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa fungsi iklan tidak sekedar menawarkan tetapi juga membentuk gaya hidup masyarakat (Aji, 2009: 41).

Salah satu tulisan yang membahas gaya hidup adalah tulisan Susanti Johana (2006:92) yang menjelaskan bahwa gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan yang lain, yang khas, dan karena itu dapat dikenali. Gaya hidup adalah suatu cara terpola dalam penggunaan, pemahaman atau penghargaan artefak-artefak budaya material untuk menegosiasikan permainan kriteria status dalam konteks sosial yang tidak diketahui namanya. Gaya hidup merupakan makna simbolik dari artefak-artefak tersebut, yaitu apa yang terlihat merepresentasikan tentang dan melebihi identitas mereka yang jelas.

Kini gaya hidup menjadi segala-galanya dan segala-galanya adalah gaya hidup. Gaya hidup kini menjadi komoditas dan komoditaspun sepenuhnya dipermak untuk mengonstruksi gaya hidup. Manusia hidup dalam ekstasi akan gaya, dan gaya hidup pun senantiasa dilakukan lewat keindahan dan daya tarik semu yang mengendap di bawah permukaan pesan budaya sehari-hari dan membentuk manusia secara diam-diam. Gaya hidup telah menggiring massa dan dengan berbagai warna nilai-nilai yang ditawarkan dari segenap penjuru dunia yang memaksakan semacam ketidaksadaran massal. Ketidaksadaran sebagai

(21)

kesadaran baru yang hanya mementingkan permukaan, penampakan, penampilan, dan permainan tanda-tanda (Johana, 2006: 63).

Lebih lanjut, Susanti Johana (2006: 180-181), menjelaskan bahwa kapitalisme global menandai munculnya budaya konsumerisme yang diciptakan melalui simulacra. Masyarakat modern melakukan kegiatan konsumsi secara berlebihan, memandang objek konsumsi bukan hanya dari segi nilai guna suatu objek barang, tapi lebih diorientasikan pada kebutuhan akan harga diri (Prestige) dan status social.

Bambang Utoyo dalam tesisnya mengatakan bahwa meskipun Baudrillard bukanlah perintis dari wacana postmodernism, namun dalam karya-karyanya sekitar pertengahan 70-an sampai dengan sekarang nampak dengan jelas pemikirannya yang ekstrim dengan paradigma teori sosial postmodern. Baudrillard Sebagaimana dikutip Bambang Utoyo (2001:1), berpendapat bahwa sekarang masyarakat memasuki suatu tahapan baru dalam sejarah, yaitu suatu dunia simulasi, media, informasi, DNA, satelit, terorisme, cloning, postmodern art dan sebagainya.

Baudrillard (dalam Utoyo, 2001: 1 ), menunjukkan akhir dari jaman modern dan masuk ke jaman simulasi. Modernitas adalah jaman produksi yang dikendalikan oleh kaum industrial borjuis, dan jauh berbeda, jaman simulasi adalah jaman informasi dan tanda yang dikendalikan oleh models, codes dan cybernetics. Baudrillard sebagaimana ditulis Martin Weinreich (2004:66), mengatakan bahwa tenaga kerja di kota postmodern dalam arti tradisional telah

(22)

lenyap dan cara produksi telah dikalahkan oleh "revolusi struktural nilai” ("the structural revolution of value”).

Tulisan yang membahas simulacra diantaranya adalah tulisan yang disusun oleh Ahmad Ghozi NuruL Islam (2007: 294) yang menjelaskan bahwa di dalam simulasi iklan produk pabrikan, citra simulatif dapat tidak memiliki pertautan sama sekali dengan realitas faktual, sehingga dapat jadi semua simulacrum citrawi yaitu hasil daya olah imajinasi pembuat iklan, yang tidak jarang iklan tersebut kontradiktif dengan realitas faktual.

Tulisan lain yang membahas simulacra adalah tulisan dari Taufik Dwi Wijayanto (2008: 54) yang menjelaskan bahwa simulacra (simulacrum) adalah sesuatu yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain, semacam salinan (copy), replica, imitasi dan reproduksi dari sesuatu yang lain sebagai modelnya, akan tetapi simulacra adalah salinan dalam pengertian khusus yang dibangun bukan karena kesamaan melainkan oleh ketidaksamaan dalam pengertian penyimpangan atau perverse dari bentuk yang asli.

Taufik juga menjelaskan tentang hiperelitas, yaitu sebuah realitas semu yang tidak berpijak kepada kenyataan sesunguhnya dan hanya ada di alam maya. Hiperrealitas adalah konsep untuk menjelaskan fenomena sosial di mana manusia menganggap segala sesuatu yang dialaminya adalah realitas absolut padahal itu sebenarnya adalah kebenaran semu (bukan objek) yang dibuat melalui simulasi simbol-simbol, kode-kode yang dicitrakan sedemikian rupa dari sebuah objek yang benar (Wijayanto, 2008: 56).

(23)

Budi Irawanto (1998:99) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa Pandangan Jean Baudrillard terkait komunikasi massa dapat dijadikan pengibaratan betapa semunya realitas yang semula disangka sebagai yang nyata, Kini manusia terus-menerus diekspose oleh fakta-fakta maupun isyarat-isyarat yang ditransmisi ulang seketika dari berbagai kanal media massa. Dunia manusia sekarang ini dapat diibaratkan promosi iklan. Menurut Baudrillard sebagaimana dikutip Budi Irawanto (1988:100), menyatakan bahwa televisi dan media massa lainnya telah meninggalkan ruang yang dimediasi demi menyimpan kehidupan 'nyata' di dalamnya dan mengubah dirinya sendiri seperti yang dilakukan virus terhadap sel yang normal.

Dari uraian singkat mengenai penelitian-penelitian di atas belum ada yang secara langsung membahas mengenai pengaruh iklan di televisi terhadap gaya hidup masyarakat kontemporer di Indonesia dalam perspektif aksiologi, sehingga penelitian ini dirasa perlu dan relevan untuk dilakukan lebih lanjut.

D. Landasan Teori

Penelitian ini membahas pengaruh iklan di TV tentang produk kecantikan terhadap gaya hidup masyarakat kontemporer di Indonesia dari sudut pandang Aksiologi. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang masih relatif baru. Kajian tentang hakikat nilai berdiri sendiri sebagai cabang filsafat untuk pertama kalinya muncul pada paruh kedua abad ke-19.

Sebenarnya manusia telah memerhatikan nilai sejak dulu. Keindahan, kebaikan, dan kekudusan merupakan tema yang penting bagi para pemikir di

(24)

sepanjang jaman. Masing-masing tema tersebut pada awalnya dipelajari dengan cara tertutup atau terisolasi. Aksiologi lalu muncul sebagai cara pandang yang khas terhadap dunia, yaitu sebuah cara yang disebut nilai (Frondizi, 1963: 1-2).

Usaha awal pada aksiologi diarahkan pada nilai-nilai yang terisolasi tanpa terkecuali. Penelitian terhadap berbagai nilai yang terisolasi ini menemukan makna baru ketika nilai-nilai tersebut tidak hanya diikat menjadi satu tetapi juga mengarahkan semua riset atas hakikat nilai dalam proses pengkajian masing-masing kawasan ini sebagai satu keseluruhan (Frondizi, 1963: 2)

Usaha awal dari aksiologi ini merupakan langkah maju ke arah peningkatan kemampuan untuk mengkaji nilai sebagaimana adanya. Penemuan ini merupakan salah satu penemuan terpenting dalam filsafat dan secara mendasar mengandung arti pembedaan antara ada (being) dengan nilai (value) yang pada awalnya diukur dengan tolok ukur yang sama (Frondizi, 1963:2)

Salah satu masalah fundamental tentang nilai adalah masalah keberadaan nilai dalam realitas. Kemungkinan jenis keberadaan nilai sangat penting untuk diketahui agar manusia dapat menemukan dan memahami nilai. Ada tiga pandangan terkait masalah nilai dalam realitas. Pandangan yang pertama memasukan nilai pada pengalaman. Pandangan yang kedua menganggap nilai sebagai objek ideal yang merupakan hakikat atau esensi. Pandangan ketiga melihat nilai sebagai sesuatu yang keberadaannya bukan pada dirinya sendiri, melainkan berada dalam benda-benda yang mengandungnya (Carrier of Value). Pengertian nilai masih perlu dicari dan dijelaskan karena nilai tidak termasuk salah satu dari ketiga bidang realitas tersebut (Wahana, 2004:44).

(25)

Masalah fundamental tentang nilai lainnya yaitu masalah keberadaan nilai sebagai kualitas, masalah subjektivitas dan objektivitas nilai, dan masalah tentang cara menemukan nilai. Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin kompleksnya permasalahan terkait nilai maka banyak filsuf yang mengungkapkan pemikirannya sebagai usaha memberikan jawaban atas beberapa permasalahan fundamental tentang nilai tersebut. Salah satu filsuf yang mengkaji dan mengkritisi permasalahan nilai adalah Max Scheler.

Max Scheler (dalam Bertens, 1981: 109), mengatakan bahwa filsafat dan kehidupan konkrit adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Scheler selalu mengomentari masalah-masalah aktual. Scheler juga menaruh perhatian cukup serius terhadap sosiologi. Scheler menggunakan metode fenomenologis sebagai cara tertentu untuk memandang realitas. Fenomenologi merupakan suatu sikap, bukan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran (seperti induksi, deduksi, dan teknik berfikir lainnya). Manusia mengadakan suatu hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi dengan sikap fenomenologis tersebut.

Metode fenomenologis tidak diterapkan dengan mengajukan argumentasi, tidak menarik kesimpulan-kesimpulan deduktif, dan tidak merumuskan hipotesa yang kemudian diuji. Metode fenomenologis digunakan untuk melihat apa yang sudah ada dalam kesadaran manusia. Metode fenomenologis menunjuk pada apa yang manusia sadari berhadapan dengan alam nilai. “yang baik” adalah nilai. Relasi nilai-nilai merupakan inti tindakan moral (Scheler dalam Suseno, 2006: 15-16).

(26)

Max Scheler (dalam Bertens, 1981: 110) membedakan tiga jenis fakta yaitu fakta natural, fakta ilmiah, dan fakta fenomenologis (fakta murni). Fakta natural berasal dari pengenalan inderawi dan menyangkut benda-benda konkrit. Fakta jenis ini tampak dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah adalah fakta yang kaitannya dengan realitas inderawi semakin menipis atau mulai melepaskan diri dari pencerapan inderawi yang langsung dan semakin menjadi abstrak. Fakta ilmiah dapat dijadikan suatu formula simbolis yang dapat diperhitungkan dan dapat dimanipulasi. Fakta fenomenologis adalah “isi intuitif” atau hakikat yang diberikan dalam pengalaman langsung, tidak tergantung dari berada tidaknya dalam realitas di luar. Fakta fenomenologis selalu “diberikan” sepenuhnya (bukan sebagian saja seperti misalnya simbol-simbol) sehingga tidak mungkin terancam ilusi.

Menurut Max Scheler, nilai berasal dari dunia nilai yang keberadaannya secara esensial tidak tergantung pada objek bernilai yang bersifat empiris. Etika Max Scheler adalah etika material yang tidak empiris melainkan apriori. Nilai secara esensial ditemukan manusia mendahului pengalaman inderawinya dan secara apriori ditangkap manusia dari dunia nilai melalui perasaan emosinya. Keberadaan nilai dalam dunia nilai tidak tergantung pada objek bernilai maupun tujuan (Scheler dalam Wahana, 2004: 50-51).

Scheler (dalam Magnis, 2006: 16), menunjukkan bahwa nilai-nilai itu material dan apriori. “Material” bukan dalam arti “ada kaitan dengan materi” melainkan dalam arti “berisi”. “Materi” (isi) sebagai lawan “formal” (bentuk). Nilai selallu mempunyai isi. Misalnya “jujur:, “enak”, “kudus”, “benar”, “sehat”,

(27)

“adil”. Nilai bersifat apriori dalam arti bahwa manusia mengetahui nilai bukan karena pengalaman (secara aposteriori). Manusia mengetahui nilai secara langsung ketika manusia tersebut sadar akan nilai itu. Manusia tidak menciptakan nilai-nilai, melainkan menemukan nilai-nilai tersebut. Manusia dapat jadi buta terhadap beberapa nilai, sebagaimana mata di tempat gelap memerlukan waktu untuk melihat apa yang ada di sekelilingnya. Begitu juga mata hati manusia harus membiasakan diri untuk melihat nilai. Ketika manusia sudah menyadari sebuah nilai, maka kebernilaiannya tampak dengan sendirinya.

Menurut Scheler (dalam Magnis, 2000: 36), nilai tidak diketahui atau dipikirkan melainkan "dirasakan". Merasa bukan sekedar pada cerapan inderawi tetapi merupakan suatu kemampuan manusia yang khas (apriori emosional). Objek-objek inderawi "ditangkap" (Wahrnehmung), konsep-konsep dipikirkan (denken), sedangkan nilai dirasakan (Fuhlen). Menurut Scheler (dalam Suseno, 2006: 17), Nilai ditangkap bukan dengan pikiran melainkan dengan suatu “perasaan intensional”. Perasaan tersebut tidak dibatasi pada perasaan fisik atau emosi, melainkan sebagai keterbukaan hati dan budi dalam semua dimensi. Perasaan tersebut dikatakan “intensional” karena setiap nilai ditangkap melalui perasan yang terarah tepat padanya.

Nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, merupakan kualitas apriori dan juga tidak tergantung pada reaksi kita terhadap kualitas tersebut. Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung dan tidak berubah seiring dengan perubahan barang. Nilai tetap tidak berubah oleh perubahan yang terjadi pada objek yang memuat nilai bersangkutan. Nilai bersifat

(28)

absolut, tidak dipersyaratkan oleh suatu tindakan, tidak memandang keberadaan alamiah, baik secara historis, sosial, biologis ataupun individu murni. Hanya saja, pengetahuan kita tentang nilai lah yang bersifat relatif, sedangkan nilai itu sediri tidak relatif (Scheler dalam Wahana, 2004: 51-52).

Scheler (dalam Bertens, 1981: 112), menggolongkan nilai-nilai dalam empat kelompok berdasarkan penelitian fenomenologisnya. Kelompok pertama adalah nilai-nilai yang menyangkut kesenangan dan ketidaksenangan yang terdapat dalam objek-objek yang berkesuaian dengan makhluk-makhluk yang memiliki indera. Kelompok kedua yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan vitalitas. Kelompok yang ketiga adalah nilai-nilai rohani yang tidak tergantung dari hubungan timbal balik antara organisme dengan dunia disekitarnya. Kelompok keempat adalah nilai-nilai yang menyangkut “objek-objek absolut”. Nilai-nilai kelompok keempat ini terdapat dalam bidang religius. Contoh pada taraf manusiawi adalah orang suci, sedangkan contoh pada taraf supra-manusiawi adalah ketuhanan.

Menurut Max Scheler, terdapat suatu hierarki nilai yang bersifat apriori. Hierarki ini bersifat mutlak atau absolut dan mengatasi segala perubahan historis. Hierarki tersebut membangun suatu sistem acuan yang absolut dalam etika yang merupakan dasar untuk mengukur dan menilai bermacam etos dan segala perubahan moral dalam sejarah. Pada keseluruhan realitas nilai hanya terdapat satu susunan hierarkis yang menyusun nilai yang masing-masing memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih rendah dari pada yang lainnya. Susunan ini tidak terbatas pada nilai yang kita ketahui saja tetapi juga nilai yang belum kita

(29)

ketahui sekalipun sebenarnya memiliki tempatnya masing-masing dalam hierarki nilai (Scheler dalam Wahana, 2004: 59).

Hierarki nilai ditetapkan berdasarkan intuisi. Scheler (dalam Bertens, 1981: 113), menyebutkan lima kriteria untuk menentukan hierarki tersebut. Kriteria pertama adalah lamanya suatu nilai, kecenderungan intern untuk terus bertahan. Kriteria kedua adalah bahwa nila-nilai lebih rendah dapat dibagi-bagi sedangkan nilai-nilai yang lebih tinggi tidak mungkin dapat dibagi-bai. Kriteria ketiga adalah bahwa semakin tinggi suatu nilai maka semakin berkurang ketergantungan pada nilai-nilai lain. Kriteria yang keempat ialah bahwa nilai yang lebih tinggi menghasilkan rasa puas yang lebih mendalam. Kriteria kelima adalah bahwa nilai yang lebih tinggi kurang dialami dalam organisme subjek yang bersangkutan.

Scheler menentukan susunan nilai-nilai dengan begitu detail karena manusia harus mewujudkan nilai-nilai yang lebih tinggi dalam situasi konkrit. Oleh karena itu, perlu ditentukan tinggi rendahnya suatu nilai. Meskipun demikian, Scheler tidak menyebut nilai-nilai yang khas moral. Bagi Scheler, perbuatan-perbuatan moral manusia terarah pada nilai-nilai non moral. Nilai moral baru tampak jika manusia mewujudkan nilai-nilai non moral dengan cara semestinya. Scheler mengatakan bahwa nilai-nilai moral “membonceng” pada perbuatan-perbuatan yang merealisasikan nilai-nilai non moral (Scheler dalam Bertens, 1981: 112-113).

Secara garis besar, pandangan Max Scheler tentang nilai tersebut akan penulis gunakan untuk menganalisis obyek material, khususnya terkait pengaruh

(30)

iklan televisi terhadap masyarakat yang menyaksikannya menurut Baudrillard. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi cakupan pembahasan pada proses pembentukan gaya hidup masyarakat kontemporer di Indonesia akibat iklan-iklan yang ditayangkan pada media televisi menurut Baudrillard. Secara garis besar, uraian- uraian di atas akan dijadikan sebagai acuan atau landasan teori bagi penelitian ini.

E. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu buku yang berkaitan dengan iklan, gaya hidup dan pandangan Baudrillard tentang komunikasi massa. Setelah diperoleh data pustaka, kemudian pustaka terbagi menjadi dua yaitu yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder.

Kepustakaan primer merupakan sumber-sumber utama dari bahan dan objek materi serta objek formal penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah sebagai berikut.

a. Baudrillard, Jean, 1981, For a Critique of the Political Economy of the Sign, Judul Asli: Pour une critique de l'économie politique du signe (1972), Diterjemahkan dengan pengantar dari: Charles Levin, Telos Press, New York.

b. Baudrillard, Jean, 1983, Simulations, Judul Asli: Simulacres et simulation (1981), Alih Bahasa: Paul Foss, Semiotext(e), New York.

(31)

c. Baudrillard, Jean, 1998, The Consumer Society: Myths and Structures, Judul Asli: La Société de consommation (1970), Diterjemahkan dengan Pengantar dari: George Richer, Sage Publications Ltd: London.

d. Poster, Mark, 1988, Jean Baudrillard: Selected Writings, Standford University Pers, California.

e. Scheler, Max, 1973, Formalism in Ethics and Non-formal Ethics of Values, Judul Asli: Der Formalismus in der Ethik und die materiale Wertethik (1913), Alih Bahasa: Manfred S., Nort Western University Press, Evanston.

Selain karya-karya yang disebutkan di atas, beberapa buku ataupun karya yang dijadikan pustaka sekunder berupa tulisan dari sumber lain yang berupa buku maupun artikel yang berhubungan dengan penelitian yang membahas tentang pemikiran Jean Baudrillard, Iklan TV, dan pemikiran aksiologis dari Max Scheler. Pustaka sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut.

a. Armando, Ade, 2011, Televisi Jakarta di Atas Indonesia, Bentang: Yogyakarta.

b. Featherstone, Mike, 2008, Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Judul Asli: Consumer Culture and Postmodernism, Alih Bahasa: Misbah Zulfa Elizabeth, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

c. Hood, John, 2005, Selling the Dream: Why advertising is good business , Praeger Publishers: London.

(32)

e. Lechte, John, 2001, 50 Filsuf Kontemporer, Judul Asli: Fifty Key Contemporary Thinkers, Alih Bahasa: A. Gunawan Admiranto, Kanisius, Yogyakarta.

f. Magnis, Franz, 2000, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta. g. Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas

Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta.

h. Ritzer, George, 2010, Teori Sosial Post Modern, Judul Asli: The Post Modern Social Theory, Alih Bahasa: Muhammad Taufik, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

i. Sutherland, Max, 2005, Advertising and the Mind of the Consumer: Iklan yang berhasil, yang gagal, dan penyebabnya, Judul Asli: Advertising and the Mind of the Consumer: What works, What Doesn’t, and Why (2000), Alih Bahasa: Andreas Haryono, Penerbit PPM, Jakarta.

j. Wahana, Paulus, 2004, Nilai Aksiologis Max Scheler, Kanisius: Yogyakarta.

2. Jalannya penelitian

Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk memahami iklan dan gaya hidup sebagai objek material secara tekstual maupun kontekstual, kemudian peneliti akan menyampaikan kembali dan menganalisisnya menggunakan teori komunikasi massa Jean Baudrillard sebagai objek formal. Adapun langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu sebagai berikut.

(33)

a. Tahap persiapan diawali dengan mengumpulkan data yang berupa tulisan yang berhubungan dengan kajian penelitian. Setelah selesai mengumpulkan data, langkah selanjutnya adalah memilih dan menentukan tulisan yang terkait dengan pemikiran Baudrillard tentang iklan di TV dan pemikiran aksiologis Max Scheler. Tidak semua tulisan yang terkait objek material dan objek formal dipakai sebagai acuan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti juga melakukan kategorisasi. Data yang telah dipilih, dipelajari untuk diseleksi kembali dan dipisahkan berdasarkan kesesuaian dengan tujuan penelitian. Bahan yang digunakan terkait objek material hanya dibatasi pada tulisan, data dan pernyataan yang dapat menggambarkan Baudrillard tentang iklan di TV dan pernyataan yang dapat diuji dengan menggunakan aksiologi sesuai dengan kriteria ilmiah yang diajukan Max Scheler. Bahan yang terkait objek formal hanya dibatasi pada data dan tulisan yang terkait pemikiran aksiologi Max Scheler.

b. Tahap pembahasan mencakup penguraian masalah sesuai objek material dan objek formal kemudian dideskripsikan. Pada tahap ini, pembahasan tentang objek material hanya dibatasi pada tataran deskriptif untuk menggambarkan pemikiran Baudrillard tentang iklan di TV yang dapat diuji menggunakan pemikiran aksiologis Max Sheler. Pembahasan objek formal juga hanya dibatasi pada tataran deskriptif untuk menggambarkan pemikiran aksiologis Max Scheler.

(34)

c. Tahap akhir merupakan penulisan laporan penelitian yang akan dilakukan secara sistematis dan koherensi penelitian. Penggunaan data, tulisan dan pertanyaan pada penelitian disesuaikan dengan waktu dan tujuan penelitian. 3. Metode Analisis Data Penelitian

Metode dan unsur metodis yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis data yang telah terkumpul dan terverifikasi sebelumnya, agar agar mendapatkan hasil analisis yang lebih akurat dalam analisa terhadap objek material penelitian ini, antara lain adalah:

a. Deskripsi yang berfungsi untuk membantu memaparkan atau mendeskripsikan mengenai tayangan iklan di TV, pemikiran Baudrillard tentang iklan, dan pemikiran Max Scheler tentang nilai.

b. Abstraksi yang berfungsi untuk mendapatkan ataupun menggali substansi terdalam yang terkandung di dalam tayangan iklan, inti pemikiran Baudrillard tentang iklan serta inti pemikiran Max Scheler tentang nilai. c. Heuristik. Pada model penelitian aktual, proses heuristik menjadi penting

sekali untuk memberikan suatu pemecahan masalah atau pemikiran yang kreatif dan inovatif terkait masalah-masalah aktual yang dikaji.

d. Refleksi yaitu merefleksikan tayangan iklan di TV, pemikiran Baudrillard tentang iklan dan Pemikiran Aksiologis Max Scheler untuk memperoleh kebenaran mendasar dan menemukan makna di dalam hal-hal tersebut.

(35)

F. Hasil Dicapai

Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini diharapkan mampu untuk menjawab persoalan dalam rumusan masalah yaitu:

1. Pemaparan dan analisis bentuk pemikiran Jean Baudrillard, khususnya dalam megkritisi keberadaan Iklan di televisi dan gaya hidup masyarakat kontemporer.

2. Pemaparan dan analisis bentuk pemikiran aksiologis Max Scheler.

3. Analisis kaitan antara iklan di televisi dengan pola pikir dan gaya hidup masyarakat kontemporer menurut Jean Baudrillard dalam perspektif aksiologi Max Scheler.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian yang berjudul Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer menurut J. Baudrillard dalam Perspektif Aksiologi Max Scheler: Kasus Iklan TV tentang Produk Kecantikan di Indonesia ini terdiri dari enam bab, dengan perincian masing-masing sebagai berikut:

Bab Pertama berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang digunakan, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi riwayat hidup Max Scheler, karya-karya Max Scheler, tokoh-tokoh yang memengaruhi pemikiran Max Scheler, dan pokok-pokok pikiran Max Scheler yaitu hakikat nilai dan Hierarki Nilai.

(36)

Bab ketiga berisi riwayat hidup Baudrillard, karya-karya, tokoh-tokoh yang memengaruhi pemikiran Jean Baudrillard, dan pokok-pokok pikiran Baudrillard yaitu nilai tanda dan nilai simbol, masyarakat Konsumen, simulacra, dan Hiperrealitas. Bab ini juga berisi pemaparan tentang iklan yang meliputi, sejarah perkembangan iklan di Indonesia dan diskripsi beberapa iklan di televisi..

Bab empat adalah inti penelitian ini. Bab ini berisi jawaban pertanyaan ke tiga dalam rumusan masalah yakni tentang pengaruh iklan TV tentang produk kecantikan terhadap gaya hidup masyarakat kontemporer menurut Jean Baudrillard dalam perspektif aksiologi dari Max Scheler. Di bagian ini diupayakan pula analilis dan refleksi kritis mengenai proses perkembangan iklan serta refleksi kritis terhadap pemikiran dari Baudrillard dan Pemikiran Max Scheler.

Bab terakhir berisi kesimpulan yang meringkas seluruh pembahasan sejak awal dan saran bagi kemungkinan penelitian lanjutan berkaitan dengan aksiologi dan filsafat.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas bahwa orang tua yang memiliki anak tuna grahita memiliki beban yang berat terkait masalah psikologis

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka identifikasi masalah dari penelitian ini yaitu sebagian siswa mengalami kesulitan belajar mengenai materi gaya

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu, apakah kombinasi minyak atsiri kemangi dengan antibiotik ampisilin atau

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, masalah penelitian ini adalah : Bagaimana hubungan antara faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah: Bagaimana praktek pembuatan sertifikat

Berdasarkan judul penelitian dan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan, muncul permasalah an terkait dengan hal tersebut yaitu “apa sajakah implikatur

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah yang menjadi persoalan utama dan akan di bahas lebih lanjut dalam penelitian ini ialah bagaimana analisis

Berdasarkan uraian di bagian latar belakang, masalah mengenai kualitas dari sepatu Signore Full Black harus segera diperbaiki guna mengurangi terjadinya cacat produk