• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi. Dinamika Gerakan Mahasiswa FISIP Unair Airlangga menurut Aktivis Mahasiswa. Dalam Perspektif Konstruksi Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi. Dinamika Gerakan Mahasiswa FISIP Unair Airlangga menurut Aktivis Mahasiswa. Dalam Perspektif Konstruksi Sosial"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi

Dinamika Gerakan Mahasiswa FISIP Unair Airlangga menurut Aktivis Mahasiswa Dalam Perspektif Konstruksi Sosial

Oleh : Reda Bayu Aqar Indra NIM: 070810631

Program Studi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik

Universitas Airlangga

Semester genap 2014/2015 ABSTRAKSI

Gerakan mahasiswa telah memberikan sumbangsih yang luar biasa terhadap perubahan sosial yang ada di Indonesia. Sejarah mencatat gerakan mahasiswa bergreak secara dinamis dengan pasang surutnya. Hal ini terjadi bagaimana gerakan mahasiswa merespon tantangan zaman. gerakan mahasiswa mengalami puncak kejayaannya di era 98 dengan menumbangkan rezim orde baru. Pasca reformasi, gerakan mahasiswa mengalami beberapa perubahan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pola berpikir para aktivis mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Teori konstruksi sosial milk Peter L. Berger dijadikan pisau analisis dlam mengungkap realitas yang terjadi. Temuan data bersifat deskriptif dar konsrtuksi sosial para informan karena peneliti menggunakan metodologi kualitatif yang berparadigma interpretatif.

Dari penelitian ini ditemukan beberapa data yang sesuai dengan teori Berger. Masuknya pengetahuan baru terhadap dinamika gerakan mahasiswa menjadi sebuah bentuk eksternalisasi yang memunculkan gagasan FISIP sebagai kampus gerakan. Selain itu, akibat intensnya para aktivis mahasiswa bersinggungan dengan dunia pergerakan, maka

(2)

par aktivis sepakat bahwa saat ini gerakan mahasiswa mengalami kemunduran, maka sosialisasi yang kerap mereka dapati adalah dengan menyelenggarakan kaderisasi dan pemantapan ideologi, selain itu juga mengubah orientasi gerakan menjadi lebih mengutamakan pada pengabdian masyarakat. Maka pada proses internalisasi para aktivis mahasiswa melakukan revitalisasi gerakan mahasiswa dengan jalan kaderisasi dan pemantapan ideologi, sedagkan beberapa lainnya dengan reorientasi gerakan mahasiswa. Kata kunci : Konstruksi sosial, Aktivis mahasiswa, dinamika gerakan mahasiswa

ABSTRACT

The student movement has proved to be exceptional to social change in Indonesia. History records the student movement moves dynamically with the ebb and flow. This happens how the student movement responding to the challenges of the times. student movement experienced its peak at age 98 with subvert the New Order regime. Post-reform, the student movement experienced some changes.

This study aims to analyze the pattern of student activists think the Faculty of Social and Political Sciences. Social construction theory belongs Peter L. Berger made knives analysis in uncovering the reality that happens. Findings of data descriptive of the social construction of the informants because researchers using qualitative methodology interpretive paradigm. From this research found that some of the data in accordance with the theory of Berger. The entry of new knowledge on the dynamics of the student movement into a form that gave rise to the idea of externalizing FISIP as campus movement. In addition, due to intense student activists in contact with the world movement, the activists agreed that the current student movement suffered a setback, the socialization that often they find is to organize the regeneration and strengthening of ideology, but it also changed the orientation of the movement to be more emphasis on devotion society. So in the process of internalizing the student activists to revitalize the student movement with the regeneration and strengthening of ideology, some other sedagkan with reorientation of the student movement.

Keywords: Construction of social, student activists, the dynamics of the student movement

(3)

Pendahuluan

Mahasiswa adalah sebuah lapisan masyarakat terdidik yang menikmati kesempatan mengenyam pendidikan di

perguruan tinggi. Sesuai dengan

perkembangan usianya yang secara emosional sedang bergejolak menuju kematangan dan berproses menemukan jati

diri, dan sebagai sebuah lapisan

masyarakat yang belum banyak dicemari

kepentingan-kepentingan praktis dan

pragmatis, alam fikiran mahasiswa

beorientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran. Karena orientasi idealis dan pembelaannya pada kebenaran, sebagian ahli memasukkannya ke dalam kelompok

cendikiawan.1

Orientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran membuat mahasiswa peka dan peduli terhadap persoalan-persoalan di lingkungannya terutama yang menyangkut

bentuk-bentuk pelanggaran dan

                                                                                                                         

1 Arief Budiman, ‘Peranan Mahasiswa sebagai

Inteligensia,’ dalam Aswab Mahasin dan Ismet Natsir (peny.) Cendekiawan dan Politik, LP3ES, 1983.

penyelewengan. Dalam konteks inilah, mahasiswa sering berperan mewarnai perkembangan masyarakat, perubahan

sosial dan kehidupan politik.2 Gerakan

sosial politik mahasiswa umumnya

berperan sebagai pembawa suara

kebenaran dan kontrol sosial terhadap

lingkungan sosial politik dan

penyelenggaraan pemerintahan sebuah

negara. Kajian tentang dinamika

pergerakan mahasiswa merupakan suatu kajian yang terus bergulir dari masa ke masa. Sungguh suatu kenyataan baik dari perspektif sejarah maupun dalam konteks realita bahwa dinamika pergerakan mahasiswa telah memberikan fenomena yang berlangsung terus-menerus seolah tidak berujung.

Gerakan Mahasiswa mulai

memainkan peranan dalam sejarah sosial sejak berdirinya universitas di Bologna, Paris dan Oxford pada abad Ke-12 dan

                                                                                                                         

2 A. Prasetyantoko dan Wahyu Indriyo. 2001.

Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Hak Azasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum

(4)

abad Ke-13.3 Semboyan mereka saat itu ialah Gaudeamus Igtiur, Juvenes Dum Sumus, artinya: "Kita bergembira, selagi

kita muda.4"

Tidak bisa dipungkiri mahasiswa adalah elemen pembaharu yang membawa perubahan pada sebuah bangsa. Pada saat berjuang biasanya mahasiswa mengusung

kata “idealisme” sebagai poros

perjuangannya. Mahasiswa tidak mampu menjadi agen perubahan dengan hanya berbekalkan idealisme dan semangat semata-mata tanpa kesadaran serta usaha-usaha untuk menguasai ilmu dan kemahiran yang dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Perjuangan golongan terpelajar untuk melakukan

perubahan secara berkesinambungan

memerlukan kekuatan yang boleh

                                                                                                                         

3 Yozar Anwar. 1981. Pergolakan Mahasiswa Abad

Ke-20: Kisa Perjuangan Anak-Anak Muda Pemberang. Jakarta: Sinar Harapan  

4 Kalimat ini merupakan baris pertama dari

lagu Gaudeamus, yang biasanya dinyanyikan pada saat Sidang Guru Besar memasuki ruangan. Menurut sejarahnya, lagu yang diciptakan pada abad pertengahan ini sering dinyanyikan para mahasiswa pada saat minum-minum, yang dicerminkan dari liriknya yang menggambarkan kehidupan mahasiswa yang bebas dan nyaris tanpa beban.

diterjemahkan dalam bentuk penguasaan

ilmu pengetahuan dan usaha-usaha

melahirkan cerdik pandai di kalangan mereka sendiri, dengan kata lain idealisme adalah sebuah pengejawantahan dari kematangan proses berpikir, dan tanggung jawab implementasinya di masyarakat.

Immanuel Kant, seorang filsuf asal Jerman pernah berkata bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang terjadi, tapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti. Maka dalam sejarah, gerakan mahasiswa telah menggoreskan tinta emasnya sebagai avant garde dalam setiap perubahan yang terjadi dalam tubuh bangsa ini. Topik mengenai gerakan mahasiswa seolah tak pernah habisnya untuk terus dikaji, begitu fenomenalnya gerakan mahasiswa sehingga diberikan label yang prestisius sebagai agent of change, agent of control dan berbagai

label lainnya.5

                                                                                                                         

5  Ichsan Pahruddin, “Pergerakan Mahasiswa”

diakses dari Ichsanpahruddin.wordpress.com diunduh tanggal 12 Desember 2014. 20.25 WIB  

(5)

Tak berlebihan jika mahasiswa diidentikkan dengan berbagai label, di antaranya sebagai agent of change, iron stock, social control dan moral force kadangkala menuntut pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam arti luas. Mahasiswa sebagai bagian masyarakat terdidik mesti merespon apa sebenarnya yang sedang terjadi di masyarakat. Berikut ini peneliti sajikan penjelasan singkat tentang agent of change, iron stock, social control dan moral force.

Dikatakan gerakan mahasiswa

ekstra parlementer, karena gerakan

mahasiswa ini merupakan

aktivitas/gerakan yang diselenggarakan

oleh mahasiswa diluar institusi

parlemen/institusi negara untuk

memberikan bantuan dan pembelaan (advokasi) terhadap kelompok/masyarakat yang dirugikan atas pelaksanaan kebijakan penguasa yang dirasa tidak memihak kepada kepentingan rakyat.

Gerakan mahasiswa ekstra

parlementer yang dilakukan merupakan

gerakan yang strategis, karena dari segi pendidikan formalnya, mahasiswa ada pada jenjang terakhir. Mahasiswa memiliki seperangkat ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk “menilai kebenaran”. Oleh karena itu mahasiswa akan memiliki

komitmen untuk memperjuangkan

kebenaran itu. Sehingga apabila ada sesuatu yang tidak benar, mahasiswa akan fokus untuk memperbaikinya. Pendekatan mahasiswa adalah pendekatan yang ideal, gerakan yang ditujukan untuk kebenaran, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Idealisme mahasiswa akan terusik apabila

terdapat “penyimpangan” pada

masyarakat. Itulah sebabnya mahasiswa disebut sebagai agent of change (agen perubahan) dan agent of control (agen pengawasan) terhadap apa-apa yang dianggap ketidakadilan, penindasan dan diskriminasi terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.

Akan tetapi, melihat kondisi seperti ini justru gerakan mahasiswa seolah

(6)

reformasi sehingga terpolarisasi kepada banyak kutub. Sebagian mahasiswa telah terlena dalam euforia reformasi sehingga cenderung lebih sering berkutat dengan bangku kuliahnya dibandingkan ikut dalam mempengaruhi proses politik bangsa ini. Menurut Yozar Anwar, pada dasarnya gerakan mahasiswa merupakan gerakan budaya, karena ia memiliki kemandirian dan berdampak politik yang sangat luas. Oleh karena itu mereka tidak boleh cepat puas dengan hasil yang dicapai.

Gerakan mahasiswa seharusnya senantiasa menggunakan asas kebenaran politik dan pengungkapan kebenaran publik sekaligus. Selain itu, budaya Indonesia yang cenderung cepat puas dengan keadaan dan tidak peduli dengan perkembangan karena sibuk sendirian, tidaklah patut menjadi paradigma gerakan

mahasiswa.6

                                                                                                                          6  Yozar Anwar. 1982. Protes Kaum Muda!.

Jakarta: PT Variasi Jaya.  

Ada pula yang terkooptasi oleh kepentingan politik sesaat, ataupun berafiliasi kepada partai yang sudah ada, sehingga pola gerakan dan isu yang dibangun sudah tereduksi oleh kepentingan golongannya. Ini merupakan gejala kemunduruan gerakan mahasiswa, karena stigma yang telah dikenakan kepada

mahasiswa sebagai gerakan yang

independen dan mengedepankan

kepentingan rakyat, bukan golongannya. Ketidakpastian politik di negeri ini, pasca reformasi yang digulirkan oleh gerakan mahasiswa, menggugah berbagai elemen bangsa untuk kembali mempertanyakan eksistensi gerakan mahasiswa dalam perjalanan politik bangsa ini. Gerakan

mahasiswa dituntut untuk kembali

melakukan perubahan signifikan guna memperbaiki kerusakan yang terjadi di

negeri ini.7 Dinamika gerakan mahasiswa

pasca reformasi ini ingin dijelaskan oleh peneliti berkaitan bagaimana konstruksi aktifis mahasiswa. Maka, dari paparandi                                                                                                                          

7  Ichsan Pahruddin, “Pergerakan Mahasiswa”

diakses dari Ichsanpahruddin.wordpress.com diunduh tanggal 12 Desember 2014. 20.25 WIB  

(7)

atas, penelitian ini akan difokuskan pada : 1) Bagaimana kondisi dinamika gerakan mahasiswa saat ini? 2)Bagaimana aktifis

mahasiswa mengkonstruksi dinamika

gerakan mahasiswa pasca reformasi? Kajian Teori dan Metode Penelitian Kajian Teori

Untuk relevansi analisis, maka peneliti menggunakan konsep teoritis dari Peter L. Berger dan Thomas Lukmann tentang kostruksi Sosial. Peter L. Berger dan Thomas Lucman mengedepankan praktek kultural sehari-hari lewat proses obyektifikasi. Penggunaan teori konstruksi dalam penelitian ini berfungsi untuk mengemukakan secara mendalam dan desktiptif tentang bagaimana kondisi dan konstruksi aktivis mahasiswa dengan adanya dinamika gerakan mahasiswa paska reformasi.

Dialektika Berger

Pada tahun 1960-an di Amerika, saat teori-teori fungsionalisme telah

ditinggalkan oleh sosiolog muda, Berger mengambil gagasan yang lebih humanis (subjektif, Weber dan Schutz) sehingga mudah diterima, dan di sisi lain

mengambil fungsionalisme (objektif,

Durkheim) dan konflik (dialektika, Marx). Berger mengambil sikap berbeda dengan Sosiolog lain dalam menyikapi “perang” antar aliran Positivistik dan Kritis dalam

Sosiologi. Berger cenderung tidak

melibatkan diri dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah

antara teori dialektika Marx,

fungsionalisme Durkheim dan

hermeneutika Weber. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan

Berger menekuni makna yang

menghasilkan realitas ganda masyarakat: masyarakat sebagai kenyataan subyektif

dan masyarakat sebagai kenyataan

obyektif yang terus berdialektika. Dalam bab kesimpulan di bukunya yang

dirumuskan bersama Luckmann;

Konstruksi Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan,

(8)

Berger secara tegas mengatakan bahwa Sosiologi merupakan suatu disiplin yang

humanistik. Berger dan Luckmann

meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif

melalui kekuatan konstruksi sosial

terhadap dunia sosial di seklilingnya,

“reality is sosially constructed”.8

Fokus studi Sosiologi menurut Berger adalah interaksi antara individu dengan masyarakat. Yaitu, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor

yang terlibat dalam gejala sosial itu.9

Metodologi Sosiologis Berger

mengacu pada tiga poin penting dalam kerangka teori Berger, yang berkaitan dengan arti penting makna yang dimiliki aktor sosial, yaitu:

                                                                                                                         

8http://xa.yimg.com/kq/groups/23312255/110912

6890/name/TOERI%20KONSTRUKSI%20SOSIAL_KE LOMPOK.doc.  Diunduh  pada  tanggal  24  Februari   2012.  

9  Samuel  Hanneman..  Peter  Berger,  Sebuah   Pengantar  Ringkas.  Depok:  Penerbit  Kepik.  2012.  

1. Semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk hidup dalam suatu dunia yang bermakna;

2. Makna manusia pada dasarnya bukan hanya dapat dipahami oleh dirinya sendiri, tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain.

3. Terhadap makna, beberapa kategorisasi dapat dilakukan, Pertama, makna dapat digolongkan menjadi makna yang secara langsung dapat digunakan

dalam kehidupan sehari-hari

pemiliknya; dan makna yang tidak segera tersedia secara ’at-hand’ bagi individu untuk keperluan praktis

membimbing tindakan dalam

kehidupan sehari-hari. Kedua, makna dapat dibedakan menjadi makna hasil tafsiran orang awam, dan makna hasil tafsiran ilmuwan sosial. Ketiga, makna dapat dibedakan menjadi makna yang diperoleh melalui interaksi tatap muka, dan makna yang diperoleh tidak dalam

(9)

interaksi (misalnya melalui media

massa).10

Berger dan Luckman mengatakan

institusi masyarakat tercipta dan

dipertahankan atau diubah melalui

tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya

yang menyeluruh, yang memberi

legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk

                                                                                                                         

10  Margaret M. Poloma, dalam bukunya: Sosiologi

Kontemporer (2007) mengemukakan metodologi dari Peter L. Berger dalam 3 premisa yang berkaitan dengan arti penting makna yang dimiliki aktor sosial.  

sosial serta memberi makna pada berbagai

bidang kehidupannya.11

Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, simbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan,

eksternalisasi, objektivikasi dan

internalisasi.12

a. Objective reality, merupakan suatu

kompleksitas definisi realitas

(termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.

b. Symblolic reality, merupakan

semua ekspresi simbolik dari apa                                                                                                                          

11   Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.  

(10)

yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media massa.

c. Subjective reality, merupakan

konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi

melalui proses internalisasi.

Realitas subjektif yang dimiliki

masing-masing individu

merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur

sosial. Melalui proses

eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan

objektivikasi, memunculkan

sebuah konstruksi objective reality

yang baru.13

Melalui pemikiran dialektika yang didapat dari Marx, teori Berger yang

menekuni makna “realitas” dan

                                                                                                                         

13   Dedy N Hidayat, Konstruksi Sosial Industri Penyiaran : Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran, Makalah dalam

diskusi “UU Penyiaran, KPI dan Kebebasan Pers, di Salemba. 8 Maret 2003

“pengetahuan”, dapat diringkas kedalam tiga tahapan simultan sebagai berikut:

1. Ekstrenalisasi: penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk dunia manusia (“society is a human product”);

2. Objektivasi: interaksi sosial dalam

dunia intersubjektif yang

dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, (“society is an objective reality”);

3. Internalisasi: ialah individu

mengidentifikasi diri di tengah

lembaga-lembaga sosial atau

organisasi sosial dimana individu

tersebut menjadi anggotanya,

(“Man is a sosial product”).14 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu

tersebut secara holistik (utuh). 15 Tipe

                                                                                                                          14  Op.  Cit  

15  Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.  

(11)

penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini bersifat deskriptif.

Pendekatan deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan

subyek/obyek penelitian (seseorang,

mahasiswa) pada saat sekarang

berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Lokasi penelitian

dilakukan di Universitas airlangga,

khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik. Pemilihan informan dalam

penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling. Informan yang dilibatkan dalam penelitian ini mahasiswa yang saat peneliti ini dilibatkan tergabung

dalam organisasi mahasiswa, yaitu

organisasi ekstra kampus dan intra kampus (BEM dan BLM). Jumlah informan dalam penelitian ini adalah enam orang. Studi ini menggunakan teknik pegumpulan data dengan menggunakan dua data, data

primer (wawancara mendalam dan

observasi) dan data sekunder (data pendukung seperti buku, buku, jurnal, dan

lain-lain). Langkah berikutnya adalah mengorganisasikan atau mengolah data yang dilakukan dengan beberapa cara yaitu pertama, membuat pemetaan (mapping). Langkag kedua adalah penyajian data, penyajian data lebih terfokus meliputi ringkasan terstruktur, dan sinopsis.

Pembahasan

Secara konseptual teori Berger lahir untuk merespon realitas ilmu-ilmu sosial yang, mengadopsi ilmu-ilmu alam baik dalam teori, metodologi, dan

epistemologi. Sebuah kerangka

pemikiran yang positivistik dalam ilmu sosial telah menghancurkan sisi internal manusia atau sisi humanistik

sehingga sosiologi pengetahuan

memberikan peluang baru bagi ilmu

sosial untuk bergerak dalam

menangani fenomena sosial dengan

memasukkan unsur humanistis

sekaligus fakta sosial.

Teori ini berusaha menengahi dari berbagai aliran yang berkembang

(12)

dalam pemikiran imu sosial. Seperti usahanya dalam menghadapi kanyataan sosial, yang tidak hanya bersifat objektif atau subjektif, namun lebih sebagai kenyataan sosial ganda yang

melibatkan proses dialektis

masyarakat.

Menurut dialektika Berger dan Luckmann, manusia adalah realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, seperti halnya realitas

obyektif mempengaruhi kembali

manusia melalui proses internalisasi. Dialektika antara diri (the self) dan dunia sosio-kultural berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen

simultan, yaitu eksternalisasi,

objektivasi dan internalisasi.

Melalui proses dialektika ini, realitas sosial dapat dilihat dari ketiga tahap tersebut. Sebagaimana dimulai dari proses eksternalisasi, dimulai dari tahap interaksi antara makna dengan

aktor terjadi pengenalan dan

pemahaman. Eksternalisasi menurut

Berger merupakan bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi baigan dari dunia sosiokulturnya. Dengan kata lain ekternalisasi terjadi pada tahap yang mendasar. Dalam satu pola perilaku, interaksi antar individu-individu untuk mengikuti tindakan sebagai sebuah kebenaran yang harus dilakukan.

Berikut sebuah skema tentang dialektika Berger yang digambarkan oleh peneliti untuk memudahkan

analisa. Pertama, pada proses

eksternalisasi, di sini aktivis

mahasiswa disimbolkan sebagai aktor. Proses eksternalisasi adalah proses dasar aktor menerima pengetahuan, pengetahuan ini didapatkan dari sebuah realitas yang objektif.

Pengetahuan di sini berkaitan dengan pemahaman aktivis mahasiswa tentang dinamika gerakan mahasiswa. Perlu diingat lagi, bahwa dalam proses ini hanya ada hubungan satu arah yakni dari struktur (masyarakat) kepada

(13)

aktor. Aktor hanya menerima kenyataan itu sebagai hal yang objektif tanpa memberi kritik. Mengingat baginya ini merupakan pengetahuan baru baginya. Setelah aktor memiliki pemahaman dasar dasar tentang dinamika gerakan mahasiswa barulah aktor masuk dalam tahap objektivasi.

Dalam proses objektivasi ini aktor akan berinteraksi dengan kampus dan stakeholder gerakan mahasiswa. Aktor mulai mendapati sebuah realitas yang benar-benar nyata dari kenyataan sebelumnya yang ditampilkan oleh realitas objektif.

Struktur dalam hal ini aktivis mahasiswa dengan komponen gerakan mahasiswa memberkan pemahaman baru bagi aktor, hingga aktor kemudian mengalami dilema karena mendapati sebuah kenyataan yang berbeda

(realitas berganda). Dua proses

penerimaan atas realitas ini yang kemudian membuat sang aktor harus menelaah kembali tentang realitas yang

sebenarnya terjadi, kritik intersubjektif mulai muncul dalam proses penelaahan kembali tentang dinamika gerakan mahasiswa ini. sampai kemudian aktor memiliki pemahaman sendiri tentang apa sebenarnya dinamika gerakan mahasiswa itu melalui konstruksinya sendiri tentang dinamika gerakan mahasiswa itu.

Dalam proses eksternalisasi

dinamika gerakan mahasiswa,

keseluruhan informan menyebutkan bahwa ia mendapatkan pengetahuan tentang dinamika gerakan mahasiswa dari berbagai sumber. Pertama, saat duduk di bangku sekolah, dari film yang ditonton dan organisasi yang diikuti. Kedua, setelah memasuki masa perkuliahan, khususnya saat diadakan orientasi mahasiswa. Masa orientasi ini memberikan dampak syang sangat penting karena pengetahuan informan akan dinamika gerakan mahasiswa yang hanya sekedar demo, berkembang mampu melihat gerak pasang surut

(14)

gerakan mahasiswa, bagaimana kondisi gerakan mahasiswa dalam konteks sejarah. Sedangkan dari aktivitas kesehariannya, mereka memahami bahwa gerakan mahasiswa terdiri dari beberapa organisasi dengan corak ideologi yang berbeda-beda.

Melalui momentum objektivasi, seseorang mulai melebur dengan banyak individu dan melakukan

interaksi. Pada momentum ini

seseorang membawa pemikiran

objektif dan hasil aktifitas

eksternalisasinya. Dengan demikian objektivasi merancang suatu proses di mana dunia sosial menjadi suatu realitas yang mampu menghambat juga

atau juga membentuk para

partisipannya.

Seluruh informan sepakat

bahwa saat ini gerakan mahasiswa mengalami kemunduran, hal ini bisa dilihat dari minat mahasiswa untuk bergabung dan berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa yang eksis di

kampus. Namun selanjutnya adalah bagaimana upaya yang ditempuh tiap-tiap informan di dalam organisasinya untuk meredakan sikap antipasti terhadap gerakan mahasiswa. Terdapat dikotomi dalam memberantas antipati terhadap gerakan mahasiswa, upaya pertama yang ditempuh adalah dengan melakukan kaderisasi dan pemantapan organisasi.

Setelah melalui tahap awal dalam sebuah momentum, masuklah pada tahap akhir yaitu proses internalisasi. Pada proses internalisasi ini individu melakukan peresapan kembali atas realitas yang terbentuk di masyarakat sebagai struktur yang

objektif dan mengaplikasikannya

dalam diri sebagai sebuah realitas subjektif.

Ada dua tahap penting sebelum merujuk pada proses bagaimana aktivis mahasiswa mengkonstruksi dinamika gerakan mahasiswa. Tahap tersebut yaitu pada tahap pengenalan atau

(15)

pemaknaan awal (eksternalisasi), melihat pemahaman mereka tentang dinamika gerakan mahasiswa. Lalu tahap yang kedua adalah upaya yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa, yaitu revitalisasi gerakan mahasiswa dan reorientasi gerakan mahasiswa.

Masing-masing informan

memiliki pemaknaan berbeda-beda tentang dinamika gerakan mahasiswa. Pemaknaan ini diperoleh dari beberapa tahapan yang kemudian membawa

mereka pada sebuah keyakinan

pemikiran (subjektivitas) untuk

bertindak atas wacana (objektivitas) yang selama ini mereka terima.

Pemaknaan akan dinamika gerakan mahasiswa ketika seorang aktivis mahasiswa sebelum memasuki masa perkuliahan hingga saat ini

menjadi pengurus organisasi

mengalami beberapa perubahan.

Perubahan yang muncul sebagai sebuah refleksi subjektif inilah yang

kemudian mengkonstruksi dinamika gerakan mahasiswa.

Refleksi dinamika gerakan mahasiswa yang dilakukan informan, menyatakan fakta bahwa FISIP sebagai

kampus gerakan mengalami

kemunduran dalam dunia pergerakan. Namun ada dua perbedaan dalam mengatasi kemunduran mahasiswa, yaitu yang pertama revitalisasi gerakan mahasiswa dan reorientasi mahasiswa. Mengembalikan Peran Vital Gerakan Mahasiswa

Kaderisasi dan pemantapan ideologi menjadi agenda penting dalam mengantisipasi kemunduran gerakan

mahasiswa, pandangan ini

dimunculkan oleh beberapa informan

karena melihat bahwa dengan

kaderisasi maka organisasi terus eksis

dan tidak kehilangan peminat,

bagaimanapun juga organisasi perlu regenerasi. Selain itu pemantapan ideologi sebagai basis pemikiran kader

(16)

organisasi mahasiswa menjadi agenda penting selanjutnya. Ideologi yang menjadi prinsip gerakan mahasiswa

perlu untuk dijadikan perhatian

selanjutnya.

Reorientasi Gerakan Mahasiswa Dalam proses awal, baik film maupun jenis organisasi kala duduk di sekolah memberikan pengaruh bagi mahasiswa untuk mengenalkan dunia

kampus, salah satunya gerakan

mahasiswa. Untuk merespon gerakan mahasiswa yang semakin melemah ini adalah dengan reorientasi gerakan mahasiswa atau mengubah orientasi gerakan mahasiswa, dalam hal gerakan mahasiswa yang selama ini terjebak dalam ranah politik bergeser ke ranah sosial dalam bentuk pengabdian masyrakat.

Kesimpulan

Gerakan mahasiswa saat ini sejatinya mengalami kemunduran. untuk

mengatasi hal tersebutm, , maka

muncullah dunia hal yaitu:

Mengembalikan peran vital gerakan mahasiswa dan Reorirntasi gerakan mahasiswa.

Mengembalikan peran vitasl

gerakan mahasiswa lahir karena disadari dan diakui bahwa mahasiswa saat ini tidak memiiki basis pemikiran yang kuat, maka dalam proses kaderisasi pemantapan ideologi menjadi agenda utama.

Sedangkan reorientasi gerakan mahasiswa menjadi solusi karena saat ini gerakan mahasiswa menuju titik jenuh jika hanya fokus pada isu-isu politik. Padahal realita di lapangan menjelaskan gerakan mahasiswa yang terlalu larut dalam agenda politik, khususnya politik kampus tidak akan menarik minta dari mahasiswa lain. Daftar Pustaka

Anwar, Yozar. 1981. Pergolakan

Mahasiswa Abad Ke-20: Kisah Perjuangan Anak-Anak Muda Pemberang. Jakarta: Sinar Harapan

(17)

Anwar, Yozar. 1982. Protes Kaum Muda!. Jakarta: PT Variasi Jaya.

Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES. Budiman, Arief. Peranan Mahasiswa

sebagai Inteligensia, dalam Aswab Mahasin dan Ismet Natsir (peny.) Cendekiawan dan Politik, LP3ES, 1983.

Hanneman, Samuel. Peter Berger, Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Penerbit Kepik. 2012.

Hidayat, Dedy N. Konstruksi Sosial Industri Penyiaran : Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran, Makalah dalam diskusi “UU Penyiaran, KPI dan Kebebasan Pers, di Salemba. 8 Maret 2003 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.

Poloma, Margaret M. dalam bukunya: Sosiologi Kontemporer. 2007

Prasetyantoko, A. dan Wahyu Indriyo, Wahyu. 2001. Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Hak Azasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum Internet

http://xa.yimg.com/kq/groups/23312255/1 109126890/name/TOERI%20KONS TRUKSI%20SOSIAL_KELOMPO K.doc.

Pahruddin, Ichsan. “Pergerakan

Mahasiswa” diakses dari Ichsanpahruddin.wordpress.com diunduh tanggal 12 Desember 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Dimulai dari identifikasi permasalahan menurut urusan pemerintahan dan analisis isu strategis dilingkungan masyarakat kabupaten Musi Rawas dengan melihat dampak

Makalah pertama membahas tentang pengembangan eksplorasi uranium dan thorium di Pulau Singkep dengan judul “Identifikasi Keterdapatan Mineral Radioaktif pada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah profitabilitas, kepemilikan manajerial, kebijakan dividen, kebijakan hutang dan keputusan

Pengaruh pendidikan karakter dan media massa terhadap sikap sopan santun siswa pada Mata Pelajaran IPS Kelas VIIMTSN Tambakberas Jombang. Hubungan antara

Adapun judul yang penulis ambil dalam penulisan laporan ini adalah “Pengaruh Cash Ratio, Debt to Equity Ratio dan Net Profit Margin Terhadap Kebijakan Dividen pada

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk memperoleh biaya transportasi yang optimal dalam pendistribusian keramik di Kota Palu dengan menggunakan

Batik merupakan suatu cara penerapan corak di atas kain melalui proses rintang warna dengan malam panas sebagai medium perintangnya, menggunakan alat canting, cap,

Hasil pengukuran volume pohon yang ditebang dan disarad dari 4 petak contoh dengan di HPH PT Dwima Jaya Utama berdasarkan Lampiran 2 disajikan pada Tabel 7.