• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biji Kakao

Biji kakao merupakan biji dari buah pohon kakao (Theobroma cacao). Pohon kakao merupakan pohon yang tumbuh di kondisi iklim tropis. Buah kakao yang belum matang berwarna cerah, biasanya hijau, merah, atau ungu. Ketika sudah matang buah kakao akan berwarna kekuningan hingga jingga. Buah kakao muncul langsung dari batang pohonnya. Letak buah yang tidak terlalu tinggi memudahkan buah kakao untuk dipanen. Pemanenan pohon kakao tidak mengenal musim, buah kakao dapat dipanen sepanjang tahun. Sejak fase munculnya buah hingga buah yang menjadi matang buah kakao memerlukan waktu 5 bulan. Keterlambatan waktu panen akan berakibat pada berkecambahnya biji di dalam. Buah kakao yang masak berisi sekitar 30-40 biji yang terbungkus oleh lapisan lendir (Ching Lik Hii and

Flávio Meira Borém, 2020).

Buah kakao terdiri atas 4 bagian, yaitu kulit, plasenta, pulp serta biji. Biji terdiri atas 2 bagian, yaitu kulit biji (testa) dan keping biji terihat pada Gambar 2.1. Keping biji merupakan bagianter besar dari biji yaitu 86–90%, sisanya merupakan kulit biji mencapai 10–14%. Pulp merupakan lapisan lendir dari biji kakao terdiri atas 80–90% air, dan gula 4-8%. Komposisi pulp yang demikian merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme (Ching Lik Hii and Flávio Meira

(2)

Gambar 2. 1 Buah Kakao

Sumber : (Ching Lik Hii and Flávio Meira Borém, 2020)

Grade Kadar Air

Basah 40 - 50 % Grade AA 6 – 7 % Grade A 7 – 8 % Grade B 7,5 % Grade C 8 – 9 % Ditolak 10 % +

Tabel 2. 1 Tabel kadar air biji kakao

Sumber : (Balitbang, n.d.)

2.2 Fermentasi Biji Kakao

Biji kakao dengan mutu yang baik dapat ditentukan pada proses pengolahan biji kakao. Proses fermentasi merupakan salah satu tahap pengolahan biji kakao sebelum dilakukan pengeringan. Biji kakao yang telah difermentasi akan memiliki warna yang lebih pucat dibandingkan dengan biji kakao yang belum difermnetasi. Adapun biji kakao yang belum difermentasi memeiliki warna keunguan sedangkan yang sudah difermentasi memiliki warna coklat sempurna. Proses fermentasi juga

(3)

akan mempermudah untuk melepaskan lapisan pulp yang membungkus biji setelah dikeringkan.

Gambar 2. 2 Fermentasi Biji Kakao dengan Kotak Kayu Sumber : (Ching Lik Hii and Flávio Meira Borém, 2020)

Fermentasi biji kakao dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode, yakni metode heap and box, dan metode tumpukan. Namun metode heap and box merupakan metode yang banyak digunakan oleh petani kakao. Metode tumpukan

(heap) biasa dilakukan di negara-negara Afrika, biji kakao akan ditumpuk diatas

tanah kemudian ditutupi dengan lapisan-lapisan daun pisang diatasnya (Baker,

Tomlins, & Gay, 1994). Metode ini biasa dilakukan dengan skala besar. Sedangkan

metode kotak (box) dapat dilakukan dengan menggunakan kotak kayu dangkal dengan kedalaman bervariasi antara 0.3 – 1 meter tergantung pada jumlah susunan yang dibuat. Metode fermentasi menggunakan kotak (box) dapat ditunjukkan pada Gambar 2.2. Hal ini bertujuan untuk untuk memfasilitasi aerasi dalam massa fermentasi yang menghasilkan oksidasi dan pengurangan keasaman kacang yang lebih baik (Ching Lik Hii and Flávio Meira Borém, 2020).

(4)

2.3 Pengeringan Biji Kakao

Proses pengeringan merupakan kelanjutan dari tahap oksidatif dari fermentasi yang berguna untuk mengurangi kelat dan pahit saat menjadi bahan makanan. Selain itu proses pengeringan dilakukan untuk menghasilkan biji kakao kering yang berkualitas,terutama dalam hal fisik, calon cita rasa, dan aroma yang baik. Jika pengeringan terlalu lambat, hal ini bisa menjadi ber bahaya karena bisa menstimulan kehadiran jamur yang bekembang dan masuk ke dalam biji. Sementara itu, pengeringan yang terlalu cepat juga bias mengganggu kesempurnaan reaksi oksidatif yang berlangsung dan dapat menyebabkan tingkat keasaman yang berlebih. Peningkatan suhu pengeringan akan meningkatkan kelat dan asamity sehingga temperatur pengeringan tidak lebih 65 ˚C - 70 ˚C (Wahyudi, T., &

Panggabean, 2008). Saat ini terdapat dua metode pengeringan biji kakao, yaitu

natural drying dan artificial drying.

1. Natural Drying/Pengeringan Natural

Natural drying atau pengeringan secara alami biji kakao dilakukan dengan cara menebarkan biji kakao diatas tanah secara langsung atau dengan penyangga, kemudian dikeringkan menggunakan panas sinar matahari. Pengeringan menggunakan sinar matahari memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, akan diperoleh warna biji kakao coklat kemerahan dan tampak lebih cemerlang. Warna dan kenampakan yang demikian inilah yang diharapkan dari biji kakao kering, sehingga pengeringan dibawah sinar matahari lebih disarankan untuk biji kakao. Namun demikian, pengeringan sinar matahari memiliki kendala yang disebabkan

(5)

kondisi cuaca terutama saat hujan. Metode pengeringan ini memerlukan waktu 5 hingga 7 hari untuk mencapai kadar air dibawah 10 %.

Gambar 2. 3 Pengeringan Natural Biji Kakao

Sumber : (Ching Lik Hii and Flávio Meira Borém, 2020)

2. Artificial Drying

Artificial drying merupakan metode pengeringan biji kakao dengan bantuan mesin. Untuk mendapatkan kualitas yang baik pengeringan biji kakao dengan bantuan mesin tetap dilakukan secara homogen. Berdasarkan mekanisme kerjanya mesin pengering dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni tipe batch (batch

drying) dan tipe kontinyu (continous drying). Tipe batch (batch drying) produk

akan dikeringkan didalam bak pengeringan kemudian kontak antara produk dan udara panas akan berlangsung lama atau berulang. Pada tipe kontinyu (continuous

drying) produk akan mengalir secara kontinyu melalui silinder atau konveyor

pengeringan sehingga hanya kontak dengan udara panas sekali saja. Saat ini terdapat berbagai macam jenis atau tipe mesin pengering yang banyak digunakan yaitu, try dryer, spray dryer, dan rotary dryer.

(6)

2.4 Mesin Pengering Tipe Rotary 2.4.1 Pemilihan Tipe Mesin Pengering

Mesin pengering tiper rotary atau yang sering disebut rotary dryer merupakan salah satu jenis mesin pengering yang mudah diopersaikan serta memiliki banyak kelebihan. Rotary dryer diklasifikasikan menjadi langsung

(direct), tidak langsung (in-direct), dan khusus. Klasifikasi rotary dryer berdasarkan

pada proses perpindahan panas secara langsung apabila aliran udara panas ditambahkan atau dikurangi secara langsung terhadap produk. Secara tidak langsung ketika pemanasan terhadap produk menggunakan media dinding logam silinder (Mujumdar, 2006).

Gambar 2. 4 Mesin Pengering Tipe Rotary Sumber : (Mujumdar, 2006)

Skema mesin pengering rotary pada umumnya dapat ditunjukkan pada Gambar 2.4. Pada pengeringan biji kakao dipilih rotary dryer dengan pemanasan secara langsung. Rotary dryer dengan pemanasan secara langsung (direct) biasanya di gunakan pada temperatur rendah hingga menengah. Temperature udara dapat diukur dan dikendalikan secara tidak langsung melalui lubang masuk atau keluar produk. Pengeringan menggunakan rotary dryer (direct) sangatlah sederhana dan

(7)

ekonomis. Kontak aliran udara panas temperatur rendah hingga menengah dikombinasikan dengan putaran serta pengaduk sangat aman untuk pengeringan biji kakao.

2.5 Proses Pengeringan

Proses pengeringan terjadi karena adanya proses perpindahan panas dari lingkungan kedalam bahan yang akan dikeringkan lalu dilanjutukan dengan perpindahan massa air yang ada didalam bahan keluar dan bercampur dengan udara lingkungan. Proses pengeringan terjadi akibat adanya penguapan kadar air didalam bahan. Penguapan dapat dilakukan dengan cara memanaskan udara pada ruang pengering sehingga kelembaban relativnya menurun atau dengan meningkatkan tekanan udara sehingga tekanan uap air pada bahan lebih besar dari pada tekanan uap air udara. Perbedaan tekanan ini mengakibatkan terjadinya perpindahan uap air dari bahan menuju ke udara (Nurba, 2008).

Ketika sebuah bahan padat basah dikenai pengeringan termal maka terjadilah dua proses yang timbul secara bersamaan yaitu (Mujumdar, 2006):

1. Transfer ataupun perpindahan energi (panas) dari lingkungan sekitar untuk menguapkan air yang ada pada permukaan. Proses perpindahan energi panas terjadi karena adanya perbedaan suhu udara pengering dengan suhu bahan yang dikeringkan, dimana suhu udara pengering lebih tinggi dari suhu bahan. Panas yang dialirkan melalui udara pengering akan meningkatkan suhu bahan, sehingga air dalam bahan akan berubah menjadi uap.

2. Perpindahan kelembaban internal kearah permukaan padatan dan penguapan lanjutan karena proses pertama tadi. Peningkatan suhu bahan

(8)

karena proses perpindahan panas akan menyebabkan tekanan uap air di dalam bahan lebih tinggi dari tekanan uap air pada udara pengering, perbedaan tekanan uap antara bahan dan udara pengering menyebabkan terjadinya perpindahan massa air dari dalam bahan menuju permukaan bahan.

Gambar 2. 5 Proses Pengeringan Pada Diagram Psikometrik Sumber : (Mujumdar, 2006)

Keterangan :

1-2 = proses pemansan udara

2-3 = proses terjadinya pengeringan

t = udara masuk ke bak pengering

p = udara pengeringan

o = udara keluar dari bak pengering

Gambar 2.5 menunjukkan terjadinya proses pengeringan dengan cara memanaskan udara pengering. Selama proses pengeringan nilai entalpi dan suhu bola basah udara berada pada kondisi tetap sementara suhu bola kering secara

(9)

perlahan akan turun diikuti dengan kenaikan kelembaban relatif, rasio kelembaban, tekanan parsial dan suhu pengembunan udara pengering.

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan

Menurut Estiasih dan Ahmadi (2011) Kecepatan pengeringan maksimum dipengaruhi oleh kecepatan perpindahan panas dan pindah massa pada proses pengeringan. Peripindahan panas dan pindah massa dipengaruhi beberapa faktor.

1. Luas Permukaan

Luas permukaan bahan yang akan dikeringkan mempengaruhi kecepatan pengeringan. Semakin besar dan tebal ukuran bahan maka proses pengeringan akan semakin lambat. Pada bahan tertentu biasanya ukuran bahan akan diperkecil terlebih dahulu agar proses pengeringannya lebih cepat.

2. Temperature

Ketika medium pemanas dan bahan memiliki perbedan temperature yang tinggi maka proses pengeringan akan semakin cepat. Hal ini dipengaruhi oleh proses perpindahan panas dan penguapan air dari permukaan bahan. Uap air akan meningkat ketika temprature udara yang diberikan semakin tinggi.

3. Kecepatan Aliran Udara

Kecepatan aliran udara akan mempengaruhi pergerakan udara yang ada pada bak pengering. Ketika udara mengalami pergerakan atau bersikulasi maka proses pengeringan akan semakin cepat. Sedangkan udara

(10)

yang diam akan menyebabkan kejenuhan udara yang dapat memperlambat proses pengeringan.

4. Kelembaban Udara

Semakin rendah kelembapan udara yang terdapat pada medium pengeringan, maka akan semakin cepat proses pengeringan. Udara dengan kelembaban yang rendah (udara kering) hanya sedikit mengandung uap air, sehingga kemampuan udara untuk mengikat uap air akan semakin tinggi. 5. Kadar Air

Kandungan kadar air setiap bahan dinyatakan dalam satuan berat. Kadar air dinyatakan dengan dua jenis yaitu basis basah (wet basic) dan basis kering (dry basic). Secara teoritis batasan maksimum basis basah adalah 100%, dan basis kering lebih rendah dari 100%. Kadar air basis basah (b,b) dapat ditentukan dengan persamaan 2.1 dimana kadar air basah menyatakan perbandingan antara berat air yang ada dalam bahan dengan total berat bahan.

𝑀 =𝑊𝑡−𝑊𝑑

𝑊𝑑 𝑥100% =

𝑊𝑚

𝑊𝑡 𝑥100% ……….………. (2.1)

Dimana:

𝑀 = kadar air berat basah (%) 𝑊𝑚 = berat air dalam bahan (gr) 𝑊𝑑 = berat kering mutlak bahan (gr) 𝑊𝑡 = berat total (gr)

Kadar air basis kering (b,k) merupakan kadar air yang dimiliki bahan setelah mengalami proses pengeringan dalam jangka waktu tertentu dan beratnya

(11)

menjadi konstan. Kadar air basis kering dapat ditentukan dengan persamaan 2.2 .

𝑀 =𝑊𝑚−𝑊𝑑

𝑊𝑚 𝑥100%……….. (2.2)

Dimana:

𝑀 = kadar air berat basah (%) 𝑊𝑚 = berat air dalam bahan (gr) 𝑊𝑑 = berat kering mutlak bahan (gr)

2.7 Laju Pengeringan

Laju pengeringan dalam proses pengeringan suatu bahan mempunyai arti penting, dimana laju pengeringan menggambarkan tentang bagaimana kecepatan pengeringan berlangsung. Laju pengeringan adalah banyaknya jumlah air yang di uapkan tiap satuan waktu atau penurunan kadar air suatu bahan tiap waktu (Nesri

& Aziz, 2016). Laju pengeringan dihitung dengan menggunakan persamaan (Chan & Darius, 2018).

𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 =𝑀𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑀𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟

𝑡 ……….(2.3)

Dimana :

Laju Pengeringan = laju pengeringan (g/menit)

𝑀𝑎𝑤𝑎𝑙 = massa bahan awal (g)

𝑀𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = massa bahan akhir (g)

(12)

Laju pengeringan dibedakan menjadi dua tahap yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan, proses ini terjadi pada lapisan air bebas yang terdapat pada permukaan produk bahan. Laju pengeringan konstan terjadi dalam waktu yang sangat singkat, besarnya laju pengeringan pada tahap ini dipengaruhi oleh a) Lapisan yang terbuka, b) Perbedaan kelembaban antara aliran udara dan produk, c) Koefisien perpindahan massa, dan d) Kecepatan aliran udara pengering (Nurba,

2008).

Gambar 2. 6 Diagram Laju Pengeringan Sumber : (Mujumdar, 2006)

Keterangan:

A = periode pemanasan

B = periode laju pengeringan konstan

C = periode laju pengeringan menurun pertama

D = periode laju pengeringan menurun kedua

(13)

𝑋𝑐 = batas laju pengeringan menurun

Periode laju pengeringan menurun dibagi menjadi dua proses. Proses pertama adalah perpindahan air dari dalam bahan kepermukaan dan dilanjutkan dengan perpindahan uap air dari permukaan bahan ke udara sekitar. Laju pengeringan menurun terjadi setelah periode pengeringan konstan selesai, pada tahap ini kadar air bahan lebih kecil dari kadar air kritis. Kadar air kritis adalah batas antara laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Pada tahap laju pengeringan menurun kecepatan aliran air bebas dari dalam bahan kepermukaan lebih kecil dari kecepatan pengambilan uap air maksimum dari bahan

(Nurba, 2008).

Proses pengeringan dengan laju menurun bergantung pada sifat alami bahan yang dikeringkan, perubahan volume bahan, bentuk serta tekstur bahan tersebut. Pada periode menurun laju perpindahan massa dikendalikan oleh perpindahan internal (Istadi, Sumardiono, & Soetrisnanto, 2002). Tahap awal proses pengeringan dimulai dengan periode pemanasan bahan, pada tahap ini laju pengeringan berlangsung secara maksimum. Tingkat pengeringan bahan dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik bahan, suhu, kelembaban relatif udara dan kecepatan udara pengering. Sementara proses pengeringan akan terus berlangsung sampai terjadi kesetimbangan antara permukaan bahan dan bagian dalam bahan serta permukaan bahan dengan udara pengering.

Laju pengeringan pada biji-bijian dan bahan basah dapat dirumuskan dengan persamaan berikut (Bala, 2017):

𝑑𝑊

(14)

Dimana :

𝑑𝑊

𝑑𝑡 = kecepatan kelembapan (kg/s)

𝑚𝑎 = laju aliran massa udara kering (kg/s)

𝐻1,2 = rasio kelembaban (kg,kg)

2.8 Sifat-Sifat Udara

2.8.1 Rasio Kelembaban ( Humidity Ratio )

Rasio kelembaban (Humidity Ratio) didefinisakan sebagai perbandingan massa uap air (𝑊𝑤) dengan massa udara kering (𝑊𝑎). Untuk menghitung rasio kelembaban digunakan persamaan gas ideal. Udara dianggap gas ideal karena temperaturenya lebih tinggi dibandingkan dengan temperature jenuhnya dan uap air dianggap gas ideal karena tekanannya dianggap lebih rendah dari tekanan jenuhnya.

𝑃𝑤𝑉 = ( 𝑊𝑤 𝑀𝑤)𝑅0𝑇𝑎𝑏 ………...………..(2.5) 𝑃𝑎𝑉 = ( 𝑊𝑎 𝑀𝑎)𝑅0𝑇𝑎𝑏 ………..(2.6) Dimana :

𝑃𝑤 = tekanan uap air (Pa)

𝑃𝑎 = tekana udara kering (Pa)

V = volume (𝑚3)

𝑊𝑤 = massa udara (kg)

(15)

𝑊𝑎 = temperature (˚K)

𝑀𝑎 = konstanta gas (Nm/kg mol ˚K)

𝑅0 = berat mol udara kering (kg/mol)

𝑇𝑎𝑏 = berat mol air (kg/mol)

Menurut Hukum Tekanan Parsial Dalton, tekanan total adalah jumlah dari tekanan uap air (𝑃𝑤) dan tkanan udara kering (𝑃𝑎)

𝑃 = 𝑃𝑎− 𝑃𝑤 ……….. (2.7)

Dimana :

P = tekanan total (Pa)

𝑃𝑎 = tekanan udara kering (Pa)

𝑃𝑤 = tekanan uap air (Pa)

Persamaan 2.7 di subtitusikan dengan persamaan 2.5 dan 2.6, sehingga menjadi

(𝑃 − 𝑃𝑎)𝑉 = (𝑊𝑤

𝑀𝑤)𝑅0𝑇𝑎𝑏 ………..(2.8)

(𝑃 − 𝑃𝑤)𝑉 = (𝑊𝑎

𝑀𝑎)𝑅0𝑇𝑎𝑏 ………..(2.9)

Berdasarkan definisi rasio kelembaban dinotasikan dengn H sehingga persamaannya adalah

𝐻 = (𝑊𝑤

𝑊𝑎) ………..………. (2.10)

(16)

H = rasio kelembaban ( Kg uap air/ kg udara)

𝑊𝑤 = massa uap air (kg uap air)

𝑊𝑎 = massa udara kering (kg udara)

Dengan mensubtitusikan persamaan 2.10 dengan persamaan 2.8 dan 2.10 maka persamaannya menjadi 𝐻 =𝑊𝑤 𝑊𝑎 𝐻 =𝑀𝑤 𝑀𝑎 (𝑃 − 𝑃𝑤 𝑃 − 𝑃𝑎 ) 𝐻 =𝑀𝑤 𝑀𝑎 ( 𝑃 − 𝑃𝑤 𝑃 − (𝑃 − 𝑃𝑤)) 𝐻 =𝑀𝑤 𝑀𝑎 ( 𝑃 𝑃 − 𝑃𝑤) Dengan nilai 𝑀𝑤

𝑀𝑎 = 0,622 maka persamaan rasio kelembaban menjadi

𝐻 =0,622 𝑃𝑤

(𝑃−𝑃𝑤) ……… (2.11)

Dimana :

H = rasio kelembaban (kg uap air/kg udara)

𝑃𝑤 = tekanan parsial uap air (Pa)

𝑃𝑎𝑡𝑚 = tekanan atmosfer (Pa)

(17)

2.8.2 Kelembaban Relatif (RH)

Didefinisikan sebagai perbandingan tekanan uap parsial (𝑃𝑤) terhadap tekanan uap jenuh (𝑃𝑆), pada suhu konstan yang hasilnya dinyatakan dalam satuan %. Berdasarkan definisi tersebut maka kelembaban relatif dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai berikut

𝑅𝐻 =𝑃𝑤

𝑃𝑠 ………...…….……….. (2.12)

Dimana :

RH = realtife humidity (%)

𝑃𝑤 = tekanan parsial uap air (Pa)

𝑃𝑆 = tekanan uap saat terjadi saturasi (Pa)

2.8.3 Volume Spesifik

Volume spesifik adalah volume ruang yang diisi oleh 1 kg udara kering. Sedangkan volume spesifik udara lembab didefinisikan sebagai volume total 1 kg udara kering dan uap air yang menyertainya. Berat spesifik udara lembab sama dengan kebalikan dari volume spesifik. Dengan menggunakan Hukum Amagat volume spesifik udara lembab dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘= (0.00283 + 0,00456𝐻)(𝑇𝑎+ 273,15)……….(2.13)

Dimana :

H = rasio klemebaban (kg/kg)

(18)

2.8.4 Tekanan Uap

Tekanan uap didefinisiakan sebagai tekanan parsial yang diberikan oleh uap air yang ada di udara lembab. Tekanan yang diberikan udara sepenuhnya jenuh dengan uap air disebut tekanan uap jenuh dinotasikan dengan 𝑃𝑠. Persamaan tekanan uap jenuh sebagai fungsi suhu dirumuskan oleh Chambell (1977)

𝑃𝑠 = exp{52,576 −6795,5

𝑇𝑎𝑏 − 5,028𝐼𝑛( 𝑇𝑎𝑏)] ………..…….………….. (2.14)

Dimana :

𝑃𝑆 = tekanan uap jenuh (Pa)

𝑇𝑎𝑏 = temperature (˚K)

2.8.5 Entalpi

Entalpi adalah kandungan panas pada suatu zat tertentu. Entalpi pada udara lembab adalah kandungan panas pada udara lembab per berat udara kering pada suatu suhu tertentu.

ℎ = 1,0048𝑇𝑎 + 𝐻(2501,64 + 1,88𝑇𝑎) ……….…………. (2.15)

dimana :

h = entalpi udara lembab (kj/kg)

𝑇𝑎 = temperature (˚C)

(19)

2.9 Diagram Psikometrik

Grafik psikrometri dapat digunakan untuk mengetahui sifat termodinamika udara pada satu atmosfer yang meliputi suhu bola kering, suhu bola basah, temperatur titik embun, rasio kelembaban, kelembaban relatif, volume lembab dan nilai entalpi. Grafik psikometri yang ditunjukkan pada Gambar 2.7 dapat mengilustrasikan bagaimana kondisi suatu udara dapat ditentukan melalui dua garis propertis untuk menentukan propertis lainnya.

Gambar 2. 7 Diagram Psikometrik Sumber : (Sahay, K.M. & Singh, 2001)

Untuk mendapatkan analisa sifat termodinamika udara pada diagram psikometrik, maka dapat dianalisa berdasarkan proses pengeringan sebagai berikut

(20)

1. Sensible Heating and Cooling : selama proses sensible heating and cooling terjadi tidak ada perubahan pada pada nilai rasio kelembaban. Pemanasan diberikan ke udara kering atau pendinginan dilakukan pada pertukaran udara. Proses heating and cooling ditunjukkan pada Gambar 2.8 dimana terjadi perubahan nilai temperature pada bola kering dan basah, entalpi, volume spesifik, dan kelembaban relative. Namun rasio kelembaban, temperature titik embun, dan tekanan uap udara lembab tidak mengalami perubahan.

Gambar 2. 8 Sensible Heating and Cooling Sumber : (Sahay, K.M. & Singh, 2001)

2. Sensible Heating and Humidifiying : dalam banyak sistem pengeringan udara panas, energi diangkut ke udara pengering melalui penyalaan lagsung burner. Pada proses ini panas tidak hanya diberikan pada udara kering tetapi dalam jumlah kecil uap air juga ditambahkan pada udara kering. Dalam proses ini terjadi peningkatan nilai entalpi, rasio kelembaban, tekanan uap air, temepratur bola basah dan kering, temperature titik embun, dan volume spesifik udara, dan kelembaba relative. Hal ini tergantung pada jumlah energi dan uap air yang diberika pada udara. Proses ini dapat dijelaskan pada Gambar 2.9.

(21)

Gambar 2. 9 Sensible Heating and Humidifiying Sumber : (Sahay, K.M. & Singh, 2001)

3. Cooling with Dehumidifiying : udara didinginkan dibawah titik embun untuk mendinginkan bahan. Karena pada titik embun udara sudah jenuh terhadap uap air. Pada proses ini nilai kelemababan relatif, temperatur bola basah dan kering, entalpi, dan volume spesifik akan menurun. Proses ini dapat dijelaskan pada Gambar 2.10.

Gambar 2. 10 Cooling and Dehumidifiying Sumber : (Sahay, K.M. & Singh, 2001)

4. Drying : untuk pengupan uap air, energi energi yang dibutuhkan hanya melalui uadara kering. Tidak ada jumlah energi dalam bentuk konduksi atau radiasi yang ditransimiskan ke dalam bahan dari lingkungan. Saat udara kering melewati bahan basah, panas sensible diubah menjadi panas laten. Oleh karena itu terjadi peningkatan uap air di udara. Pada proses pengeringan terjadi penurunan pada temperatur bola kering, tetapi nilai

(22)

rasio kemebaban, kelembaban realtiv, tekanan uap air, dan titik embun akan mengalami kenaikan. Proses pengeringan ditunjukka pada Gambar 2.11. Dalam proses pengeringan entalpi temperature bola basah tetap konstan.

Gambar 2. 11 Drying

Sumber : (Sahay, K.M. & Singh, 2001)

5. Mixing of Air Streams : dalam banyak sistem pengeringan berkelanjutan, penacampuran dua aliran udara dari kondisi yang berbeda. Kondisi udara campuran daapat diketahui melalui diagram psikometrik. Kondisi ini dapat ditunjukkan pada Gambar 2.12. Terdapat perbedaan kecepatan aliran udara, temperature dan rasio kelembaban pada kedua aliran.

Gambar 2. 12 Mixing of Air Streams Sumber : (Sahay, K.M. & Singh, 2001)

2.10 Konsentrasi Basis Massa

Konsetntrasi basis massa merupakan salah satu gaya pendorong (driving

force) terjadinya perpindahan massa. Untuk mendefinisikan konsentrasi basis

(23)

jenis, yaitu zat A dan B, yang masing-masing zat dapat dinotasikan sebagai 𝑀𝑎 dan

𝑀𝑏, dan ketika dijumlahkan menjadi 𝑚. Pemisalan ini dapat diilustrasikan pada Gambar 2.13.

Gambar 2. 13 Zat A dan Zat B dalam Satu Ruang Volume Sumber : (Cengel & Ghajar, 2006)

Untuk mengetahui nilai konsentrasi basis massa zat A maka dapat dinyatakan menggunakan persamaan sebagai berikut (Cengel & Ghajar, 2006) :

𝜌𝑖 = 𝑚𝑎

𝑉 ………...…………..……….. (2.16)

Dimana :

𝜌𝑖 = Kerapatan atau density (𝑘𝑔/𝑚3)

𝑀𝑎 = Massa zat A (kg)

V = Volume (𝑚3)

Dengan cara yang sama konsentrasi basis massa zat B dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut :

𝜌𝑖 = 𝑚𝑏

(24)

Dimana :

𝜌𝑖 = Kerapatan atau density (𝑘𝑔/𝑚3)

𝑀𝑏 = Massa zat B (kg)

V = Volume (𝑚3)

Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi basis massa didalam satu ruang volume merupakan penjumlahan dari zat yang ada didalamnya.

Konsentrasi basis massa juga dapat dinyatakan dalam bentuk fraksi massa. Menggunakan persamaan yang sebelumnya maka fraksi massa zat A dapat dituliskan menjadi persamaan sebagai berikut :

𝑊𝐴 = 𝑚𝑎 𝑚 = 𝜌𝑎 𝜌 ………..………....……….. (2.18) Dimana : 𝑊𝐴 = Fraksi massa M = massa (kg)

Ρ = kerapatan atau density (𝑘𝑔/𝑚3)

2.11 Konsentrasi Basis Mol

Zat A dan B pada ruang volume juga dapat dinyatakan dalam bentuk konsentrasi basis mol. Zat A dan B dapat dinotasikan sebagai 𝑁𝐴 dan 𝑁𝑏, dan jika dijumlahkan akan menjadi N. untuk menentukan nilai konsentrasi basis molnya maka dapat digunakan persamaan sebagai berikut ;

(25)

𝐶𝐴 = 𝑁𝐴

𝑉 dan 𝐶𝐵 = 𝑁𝐵

𝑉 ………..………...…………(2.19)

Dimana :

C = Konsentrasi basis mol (𝑚𝑜𝑙/𝑚3)

N = jumlah mol (mol)

Sedangkan untuk fraksi mol dinyatakan dengan persamaan berikut

𝑦𝐴 = 𝑁𝐴 𝑁 = 𝐶𝐴 𝐶 ………...…………(2.20) Dimana : y = fraksi mol N = jumlah mol

C = konsentrasi basis mol (𝑚𝑜𝑙/𝑚3)

Konsentrasi basis massa dan konsentrasi basis mol dapat dihubungkan dengan parameter molekul, yang dinotasikan dengan MR. Parameter molekul dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

𝑁 = 𝑚

𝑀𝑅 ………...……….(2.21)

Dimana :

N = jumlah mol (mol)

m = massa (kg)

(26)

2.12 Perpindahan Massa

Perpindahan massa terjadi akibat adanya perbedaan konsentrasi antara dua medium yang berbeda. Proses perpindahan massa sama seperti perpindahan panas. Massa yang berdifusi dianggap sebagai panas yang bergerak dan tempat massa berdifusi disebut medium tempat panas bergerak. Perpindahan panas dapat dijelaskan dengan Hukum Fourier sedangkan perpindahan massa dapat dijelaskan dengan Hukum Fick’s. Perpindahan massa terjadi melalui dua hal yaitu perpindahan massa secara konduksi dan perpindahan massa secara konveksi (Muhardityah &

Hazwi, 2014).

2.12.1 Perpindahan Massa Konduksi

Hukum Fick’s menyatakan bahwa laju perpindahan massa disuatu tempat

dalam campuran gas, larutan cair atau padatan sebanding dengan perbedaan konsentrasi pada tempat tersebut (Cengel & Ghajar, 2006).Perpindahan massa akan terjadi pada tempat yang memiliki konsentrsai tinggi menuju tempat berkonsentrasi rendah.

Gambar 2. 14 Perpindahan Massa Konduksi Sumber : (Cengel & Ghajar, 2006)

(27)

Untuk menghitung laju perpindahan massa secara konduksi digunakan

Hukum Ficks, sehingga laju perpindahan massa secara konduksi dapat dirumuskan

dengan persamaan berikut (Cengel & Ghajar, 2006).

𝑁 = −𝐷𝐴 𝑑𝜌 𝑑𝑥= 𝐷𝐴 (𝜌𝐴−𝜌𝐵) 𝐿 ………..……… (2.20) Dimana : N = laju penguapan (kg/s)

D = koefisien difusi suatu zat pada mediumnya (m2/s)

A = luas penampang perpindahan massa (m2)

𝜌𝐴 = kerapatan atau density zat A (kg/m3)

𝜌𝐵 = kerapatan atau density zat B (kg/m3)

L = ketebalan dinding benda (m)

2.12.2 Perpindahan Massa Konveksi

Perpindahan massa secara konveksi adalah mekanisme perpindahan massa antara permukaan suatu benda dan fluida bergerak, yang melibatkan difusi massa dan gerakan fluida. Semakin cepat pergerakan fluida maka akan semakin besar massa air pada bahan yang diuapkan. Laju perpindahan massa konveksi dirumuskan dengan persamaan berikut (Cengel & Ghajar, 2006).

(28)

Gambar 2. 15 Perpindahan Massa Konveksi Sumber : (Cengel & Ghajar, 2006)

𝑀𝑒𝑣𝑎𝑝 = ℎ𝑚𝐴(𝜌𝑎,𝑠− 𝜌) ……….………. (2.21)

Dimana :

𝑀𝑒𝑣𝑎𝑝 = laju penguapan (kg/s)

𝑚 = koefisien perpindahan massa konveksi (m/det)

A = luas penampang perpindahan panas (m2)

𝜌𝑎,𝑠 = massa jenis pada permukaan benda (kg/m3)

Gambar

Gambar 2. 1 Buah Kakao
Gambar 2. 2 Fermentasi Biji Kakao dengan Kotak Kayu  Sumber : (Ching Lik Hii and Flávio Meira Borém, 2020)
Gambar 2. 3 Pengeringan Natural Biji Kakao  Sumber : (Ching Lik Hii and Flávio Meira Borém, 2020)
Gambar 2. 4 Mesin Pengering Tipe Rotary  Sumber : (Mujumdar, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul

Berdasarkan uraian tersebut maka menarik untuk dilakukan suatu penelitian dengan judul : “ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK PERALATAN BELA

Peserta yang hadir pada saat pembuktian kualifikasi adalah pimpinan atau penerima kuasa dari pimpinan perusahaan yang namanya tercantum dalam akte pendirian atau perubahan

Hasil: Prosedur restrain yang diakukan di UPIP sebagian besar kurang sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, diikat dalam waktu lebih dari 4 jam, Pelaksanaan

Pemeliharaan tanaman pakcoy harus dilakukan dengan prosedur yang sudah diten- tukan seperti layaknya melakukan penyiraman pagi dan sore setiap hari, memberikan pupuk pada tanaman

1) Kebijakan, standar pengembangan dan pedoman penyusunan serta evaluasi mutu laboratorium/bengkel/studio dirumuskan oleh LP3M. 2) Rumusan kebijakan dan standar

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar asiatikosida di dalam ekstrak etanol 70% pegagan, selain itu juga membandingkan jumlah kadar asiatikosida yang

Kesimpulan hasil penelitian ini adalah bahwa circuit training (latihan zigzag, suad jump, lompat rintangan, push up, sit up, sprint dan black up ) sangat