• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminology aktor-aktor yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminology aktor-aktor yang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Teori Peran

Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminology aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai pengacara, dokter, guru, orangtua, anak, wanita, pria, dan lain sebagainya, diharapkan agar seorang tersebut berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter aka ia harus mengobati orang sakit yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran social, kemudian sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagaian besar warga masyarakat Negara kita Indonesia akan menjadi murid sekolah ketika berusia lima atau enam tahun, menjadi peserta pemilu pada usia tujuh belas tahun, bekerja usia dua puluh tahun, dan pension usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan tahapan usia “age grading:.

Dalam masyarakat kontemporer kehidupan dibagi kedalam empat tahap, yaitu tahapa kanak-kanak, tahap remaja, tahap dewasa, dan tahap tua, dimana setiap tahap mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.

(2)

2.1.2. Sosialisasi

Broom (1981) dalam Rohidi (1984) mengungkapkan pemikiran sosialisasi dari dua titik pandang yaitu masyarakat dan individual (Kamanto Sunarto 1993:27). Sosialisasi menurut sudut pandang masyarakat adalah proses penanaman atau tranfer individu-individu baru anggota masyarakat ke dalam pandangan hidup yang terorganisasi dan mengajarkan mereka tradisi-tradisi budaya masyarakatnya. Dengan kata lain sosialisasi adalah tindakan mengubah kondisi manusia dari human-animal menjadi human-being untuk menjadi mahluk sosial dan anggota masyarakat sesuai dengan kebudayaannya. Sedang arti individual, sosialisasi merupakan suatu proses mengembangkan diri. Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi. Artinya sosialisasi diperlukan sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran diri. Bagi individu sosialisasi memiliki fungsi sebagai pengalihan sosial dan penciptaan kepribadian.

Sosialisasi memiliki fungsi untk mengembangkan komitmen-komitmen dan kapsitas-kapasitas yang menjadi prasyarat utama bagi penampilan peranan mereka di masa depan. Komitmen yang perlu dikembangkan ialah mengimplementasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat untuk menampilkan suatu peranan tertentu yang khusus dan spesifik dalam struktur masyarakat. Kemudian Berger mendefenisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society” proses melalui dimana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Kamanto Sunarto 1993:27). Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory), karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua yaitu: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi

(3)

2.1.3. Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Sekunder

Sosialisasi primer didefenisikan Peter.L.Berger dan Luckman sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mampu membedakan dirinya dengan orang lain disekitar keluarganya. Dalam tahap ini, orang-orang yang terdekat menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi bersama orang terdekat dengannya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi anatar anak dengan anggota keluarga terdekatnya. Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). (Kamanto Sunarto, 1993:23).

Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu kedalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru, sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami pencabutan identitas diri yang lama . (Kamanto Sunarto, 1993:31). 

2.1.4. Proses Sosialisasi

George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan (Prepatory Stage), tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk

(4)

memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.

2. Tahap meniru (Play Stage), tahap ini ditandai dengan sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri, nama orang tua, dan nama kakak atau abangnya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anaknya. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisis orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia social manusia berisikan banyak orang mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti.

3. Tahap siap bertindak (Game Stage) peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menetapkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanay kemampuan bermain secara bersama-sama. Anak mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya diluar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku diluar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku dikeluarganya.

(5)

4. Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage), pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tetapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara matang. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

2.1.5. Agen Sosialisasi

Fuuler dan Jacobs dalam (Kamanto Sunarto 1993:30-35) meengidentifikasikan lima agen sosialisasi utama yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa dan sekolah. Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Dalam hal ini yang menjadi agen sosialisasi adalah orangtua difabel yang bekerja sebagai tukang pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan.

2.1.6 Tipe Sosialisasi

Agar sosialisasi dapat berjalan dengan lancar tertib dan berlangsung terus menerus maka terdapat dua tipe sosialisasi yaitu sosialisasi formal dan sosialisasi informal. Sosialisasi formal adalah sosialisasi yang terbentuk melalui lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat yang memiliki tugas khusus dalam mensosialisasikan nilai, norma dan peranan-peranan yang harus dipelajari oleh masyarakat. Artinya adalah sosialisasi formal yang diberikan oleh guru-guru disekolah.

(6)

Sosialisasi informal adalah sosialisasi yang terdapat dalam pergaulan sehari-hari yang bersifat kekeluargaan. Artinya sosialisasi yang diberikan oleh keluarga seperti dengan diskusi dan penanaman norma-norma baik yang ada dikeluarga maupun yang ada dimasyarakat. 

(http://sharenexchange.blogspot.com/2010/02/sosialisasi-masyarakat8061.html diakses tanggal 21-02-2011 pukul 09.44)

2.1.7. Pola Sosialisasi

Bronfrenbrenner, Kohn dan Jaeger dalam (Kamanto Sunarto 1993;33) meyebutkan ada dua pola sosialisasi yaitu pola sosialisasi represif dan pola sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan, menekankan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Dalam hal ini yang dimaksud dari pengertian tersebut adalah apabila anak melakukan kesalahan pasti akan mendapat yang hukuman atau ganjaran. Sosialisasi partisipatoris merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting.

2.1.8. Peran dan fungsi Keluarga Keluarga

Keluarga adalah ikatan yang sedikit banyak berlangsung lama antar suami istri, dengan atau tanpa anak. Sedangkan mnurut Sumner dan Keller merumuskan keluarga sebagaiminiatur dari organisasi social, meliputi sedikitnya dua generasi dan terbentuk secara khusus melalui ikatan darah (Gunarsa,1993:230)

(7)

Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting didalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan antara laki-laki dan perempuan, hubungan ini sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Didalam keluarga memiliki sifat-sifat tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat.

2.1.8.1. Peran Keluarga Peranan Keluarga

Struktur dalam keluarga dimulai dari ayah dan ibu, kemudian bertambah dengan adanya anggota lain yaitu anak. Dengan demikian, terjadi hubungan segitiga antara orangtua-anak, yang kemudian membentuk suatu hubungan yang berkesinambungan. Peranan keluarga mengasuh membimbing, melindungi, merawat, mendidik anak, menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Orangtua didalam keluarga memiliki peran yang besar dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa kelak. Peran orangtua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Khairuddin.1997:34) 2.1.8.2. Fungsi- fungsi

UU No. 10 tahun 1992 PP No. 21 tahun 1994

Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut: a. Fungsi keagamaan

• Membina norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hdiup seluruh anggota keluarga

(8)

• Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari-hari kepada seluruh anggota keluarga

• Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam pengalaman dari ajaran agama

• Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang keagamaan yang kurang diperolehnya disekolah atau masyarakat

• Membina rasa, sikap dan praktek kehidupan keluarga beragama sebagai fondasi menuju keluarga kecil bahagia sejahtera

b. Fungsi budaya

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya mencari pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negatif gobalisasi dunia

• Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya dapat berperilaku yang baik sesuai dengan norma bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi

• Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras, dan seimbang dengan budaya masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma keluarga kecil bahagia sejahtera

(9)

• Menumbuhkan kembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antara anggota keluarga kedalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus menerus • Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar anggota keluarga secara kuantitatif dan kualitatif

• Membina praktik kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang

• Membina rasa, sikap, dan praktik hidup keluarga yang mampu memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera. d. Fungsi perlindungan

• Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga

• Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang datang dari luar

• Membina dan menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera

e. Fungsi reproduksi

• Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga sekitarnya

• Memberikan contoh pengamalan kaidah-kaidah pembentukan keluarga dalam usia, pendewasaan keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental

• Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara 2 anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga

(10)

• Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai modal yang kondusif menuju keluarga kecil sejahtera

f. Fungsi sosialisasi

• Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan utama

• Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam keluarga sehingga tidak saja dapat bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi orangtua dalam rangka perkembangan dan kematangan hidup bersama menuju keluarga kecil bahagia sejahtera g. Fungsi ekonomi

• Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera

• Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua diluar rumah dan perhatiannya terhadap anggota keluarga berjalan secara serasi, selaras dan seimbang

h. Fungsi pelestarian lingkungan

• Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan intern keluarga • Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan ekstern keluarga • Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya. http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=704 (diakses tanggal 6 April 2011).

(11)

Dari berbagai fungsi di atas ada 3 fungsi pokok keluarga, yaitu :

1. Asih adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan,pada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.

2. Asuh adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya selalu terpelihara sehingga memungkinkan menjadi anak-anak sehat baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

3. Asah adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya.

Peranan dan fungsi keluarga sangat luas, dan uraian mengenai ini sangat bergantung dari sudut orientasi mana dilakukan. Peranan dan fungsi keluarga diantaranya yaitu:

1. Dari sudut biologi, keluarga berfungsi untuk melanjutkan garis keturunan.

2. Dari sudut psikologi perkembangan, keluarga berfungsi untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian sehingga bayi yang kecil menjadi anak yang besar dan berkembang dan dikembangkan seluruh kepribadiannya, sehingga tercapai gambaran kepribadian yang matang, dewasa, dan harmonis.

3. Dari sudut pendidikan, keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal, yaitu tempat dimana anak mengembangkan dan dikembangkan kemampuan-kemampuan dasar yang dimiliki, sehingga dapat mencapai dan memaksimalkan potensi dan prestasi yang sesuai dengan kemampuan dasarnya. Dan memperlihatkan perubahan perilaku dalam berbagai aspek seperti yang diharapkan atau direncanakan kedua orang tuanya.

(12)

4. Dari sudut sosiologi, keluarga berfungsi sebagai tempat untuk menanamkan aspek social agar dapat menjadi anggota masyarakat yang mampu berinteraksi, bergaul, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pada dasarnya tugas pokok dari keluarga adalah:

a. Pemeliharaan fisik setiap anggota keluarganya

b. Pemeliharan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga

c. Pembagian tugas masing-masing anggota keluarga sesuai kedudukan masing-masing. d. Sosialisasi antar anggota keluarga

e. Pengaturan jumlah anggota keluarga f. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga

g. Penempatan anggota keluarga dalam lingkungan masyarakat h. Membangkitkan semangat dan dorongan para anggotanya

Ciri-ciri Struktur Keluarga Menurut Anderson Carter ciri-ciri struktur keluarga : 1. Terorganisasi : saling berhubungan, saling ketergantungan, antara anggota keluarga.

2. Ada keterbatasan : setiap anggota memiliki kebebasan tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing.

3. Ada perbedaan dan kekhususan : setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing (Goodej,1991:20).

2.1.9. Pola Asuh Orang Tua

(13)

dalam kehidupan sehari-hari. Kohn (dalam Taty Krisnawaty 1986:46) menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua meliputi cara orangtua memberikan peraturan-peraturan, hadiah, maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.

Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak-anaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: authoritarian parenting, authoritative parenting, permissive parenting (William.1991:70)

1. Authoritative Parenting (Pola asuh authoritatif/demokrasi)

Kebanyakan orang tua yang menerapkan pola asuh jenis autoritarian ini lebih memilih untuk bertindak rasional dan demokrasi terhadap anak-anaknya. Dalam penerapan pola asuh autoritatif (demokrasi) orang tua lebih banyak memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk melakukan apa pun, seperti belajar, beraktivitas, bermain, dan berkreasi mengikuti keinginan dan kemampuan dari anak-anaknya. Anak-anak bebas bersosialisasi dengan siapa saja yang ada di sekelilingnya, namun masih berada dibawah pengawasan kedua orangtuanya.

Disisi yang lain orang tua menunjukan sikap tegas dan konsisten dengan membuat peraturan dirumah, dan menerapkan disiplin, nilai-nilai dan aturan-aturan yang jelas serta tidak bisa dilanggar. Namun orang tua tetap mau mendengarkan keinginan dan pandangan dan pendapat dari anak-anaknya. Didalam pola pengasuhan demokrasi ini orang tua juga mendidik anak-anaknya untuk tidak meminta secara sesuatu berlebihan, dan tetap memikirkan kondisi dan kesanggupan kedua orangtunya untuk memenuhi permintaan derta keinginannya. Orang tua bernegosiasi dan menghargai hak anak sehingga ikatan kekeluargaan bagaikan hubungan antar

(14)

teman yang lebih erat dan akrab. Secara keseluruhan, pendekatan orang tua terhadap anaknya tercipta kehangatan dan mesra.

2. Authoritarian Parenting (Pola asuh otoriter)

Orang tua atau keluarga yang menggunakan metode pengasuhan otoriter ini menganggap bahwa anak adalah hak mutlak yang dimiliki oleh karena itu orang tua cenderung menerapkan standart mutlak pada anaknya. Orang tua menganggap mereka dapat memperlakukan anak-anak dengan sesuka hati. Orang tua selalu dianggap paling benar dan anak-anak-anak-anak salah. Orang tua suka memperlakukan anak secara kasar seperti dengan membentak, berlaku kasar, bahkan tega untuk memukul anak yang dianggap melenceng dari peraturan yang ada dirumah. Meskipun awalnya mungkin hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, agar anak-anak tidak berani melawan kedua orangtuanya. Padahal tanpa disadari orang tua yang menerapkan pola asuh ini, anaknya tersebut sebenarnya membantah segala aturan dan perintah yang ditetapkan oleh kedua orangtunya dirumahhnya. Sehingga di masa yang akan datang anak ini akan menentang aturan dan perintah dengan cara kekerasan juga.

Anak-anak yang dididik dengan pola asuh ini kebanyakan menuruti orangtuanya bukan karena rasa hormat, tetapi karena rasa takut akan hukuman yang akan diberikan kepadanya seandainya tidak menuruti, maka biasanya anak akan berdiam diri dan tidak berani untuk berinisiatif dalam melakukan sesuatu. Komunikasi yang tecipta diantara orang tua dan anak lebih bersifat satu arah dimana segalanya ditentukan oleh orang tua tanpa mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat, pikiran dan perasaan anak. Orang tua dengan pola pengasuhan seperti ini cenderung menjaga jarak dengan anaknya, dan jarang untuk mengajak anak berdiskusi tentang hal apa pun. Biasanya orang tua berbicara kasar kepada anak meskipun ingin meminta

(15)

bantuan dari anaknya. Tidak ada keramahan dan kelembutan dalam berkomunikasi diantara anggota keluarga. Anak akan menghindar dan menjauh dari orang tuanya ketika harus bertemu didalam suatu kondisi atau suatu ruang, karena anak merasa kaku dan takut bertemu orangtuanya.

Kebanyakan anak yang diasuh dengan pola pengasuuhan otoriter ini cenderung menarik diri secara social, kurang percaya diri, dan berkata dan bertingkah laku kasar. Pola pengasuhan ini sering kali menjadi pola pengasuhan warisanyang secara berulang-ulang diberikan kepada generasi keluarga berikutnya. Karena seseorang cenderung akan menerapkan pola asuh yang sama dirasakannya sebelumnya kepada keturunan berikutnya.

3. Permisive Parenting Style (Pola asuh permisif)

Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri dan self regulation anak. Orangtua yang permisif membuat beberapa peraturan dan mengijinkan anak-anaknya untuk memonitor kegiatan mereka sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat peraturan biasanya mereka menjelaskan terlebih dahulu, orangtua berdiskusi dahulu dengan anak dan orang tua tidak mau menghukum anak jika melakukan pelanggaran. Maccoby dan Martin (1983) menambahkan tipologi ini karena adanya tingkat tuntutan orangtua dan tanggapan yang ada. Dengan demikian pola asuh permisif terbagi dua jenis yaitu:

a. Pola asuh penyabar b. Dan pola asuh penelantar

(16)

a. Pola asuh penyabar

Pola asuh jenis ini bertolak belakang atau kebalikan dari pola pengasuhan otoriter. Orang tua yang mendidik anak dengan cara ini justru memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan anak-anak di posisi yang paling utama. Semua haapan dan keinginan anak dipenuhi tanpa bertanya apa alasan, dan tujuan anak menginginkan kemauannya dipenuhi. Selain itu orang tua juga tidak memikirkan apakah dengan memenuhi dan menuruti segala keinginan si anak tersebut akann member manfaat yang baik untuk si anak. Orang tua lebih suka anaknya memperoleh sesuatu dngan cara yang mudah tanpa perlu mempersulit diri si anak.

Didalam pola asuh ini, kasih sayang yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya terlalu berlebihan sehingga akan mencapai suatu tahap dimana orang tua tidak akan tega untuk menegur, atau mengajar anak dengan keras ketika si anak melakukan kesalahan. Karena takut anaknya menjadi sakit hati, sedih, kecewa, nakal, dan memberontak. Didalam pola pengasuhan ini orang tua cenderung bersikap sangat melindungi anak dalam kondisi apa pun, meskipun si anak sebenarnya didalam kondisi yang salah. Bagi orang tua, anak mereka selalu berada pada kondisi yang benar walaupunsebenarnya si anak melakukan kesalahan, sehingga mengakibatkan anak tidak disiplin dan melakukan segala sesuatu dengan sesuka hati.

Orang tua ttidak pernah berfikir bahwa anak yang diperlakukan seperti itu suatu saat nanti akan cenderung menjadi implusive (memerlukan dorongan dari orang lain), akan bersifat manja, kurang mandiri, egois dan mau menang sendiri, tidak percaya diri, sombong, dan lain-lain. Dari segi hubungan dengan dunia luar selain lingkungan keluarga, kebanyakan anak yang datang dari latar belakang dengan pola pengasuhan penyabar menjadi anak yang kurang matang secara sosial. Mereka tidak mau memikirkan perasaan dan hati orang lain karena hanya menuntut pemahaman dan pengertian dari orang lain terhadap diri mereka. Hal yang paling utama, mereka

(17)

harus menjadi yang pertama dalam segala-segalanya dengan kata lain selalu tidak memperdulikan orang lain.

Walaupun anak yang dididik dengan pola asuh ini kebanyakan akan cenderung menjadi implusive (memerlukan dorongan dari orang lain), manja, kurang mandiri, egois, mau menang sendiri, kurang percaya diri, sombong, dan masih banyak sisi negative yang timbul akibat pola asuh ini, namun pada kenyataannya banyak juga anak yang menjadi agresif, tidak patuh, dan menentang kedua orang tuanya. Hal ini dikarenakan orang tua tidak mau menegur, memarahi, ketika anak melakukan kesalahan atau tidak disiplin. Biasanya hal sperti mulai kelihatan apabila orang tua sudah mulai bertindak tegas, dan membatasi anak.

b. Pola asuh penelantar

Anak yang diasuh dengan pola ini adalah anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari oaring tuanya. Orang ttua selalu sibuk bekerja, sehingga lupa atas tanggung jawabnya sebagai ayah atau ibu yang merupakan sosok yang paling penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mental, fisik, dan psikologis anak. Orang tua banyak menghabiskan waktu hanya untuk kepentingan pribadinya, seperti bekerja, berbincang-bincang dengan teman, arisan, belanja, dan lain-lain. Terkdang orang tua yang menganut pola asuh ini akan memberikan uang yang bayak kepada anak agar anak tidak merasa kesepian. Anak dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan cara dan kemampuannya sendiri. Dan terkadang di tambah dengan pengalaman-pengalaman yang dilihat dan dirasakan anak dilingkungan sekitarnya tanpa mendapat tuntunan dari kedua orang tuanya. Selain itu tidak jarang juga ditemukan anak yang diterlantarkan oleh orang tuanya ini mendapatkan pendidikan akademik dan pendidikan agama yang menunjang kehidupannya di masa yang akan datang.

(18)

Terdapat berbagai macam alasan yang menyebabkan orang tua tega menerapkan pola asuh penelantar ini. Dan salah satu alasannya adalah anak yang ditolak kehadirannya didalam keluarga. Banyak kasus yang terjadi di dalam kehidupan nyata diaman orang tua yang menolak kehadiran anaknya tersebut karena anak adopsi, anak tiri, akan dari hasil perselingkuhan, dan anak yang kurang sempurna, seperti anak cacat fisik, cacat mental, dan cacat psikis. Anak yang tidak mampu uuntuk hidup sendiri dibiarkan terlantar tanpa diperhatikan. Orang tua menganggap bahwa memiliki anak dalam kondisi seperti itu malah memberikan kesusahan dan hanya akan menambah beban dalam hidup mereka.

Selain itu, yang menjadi factor pendukung seseorang menjadi orang tua mengasuh dengan pola ini yaitu factor kemiskinan. Mereka masih belum mampu untuk melakukan pekerjaan lain atau tidak bisa mendapsatkan pekerjaan yang lebih baik karena tidak memiliki pendidikan. Pola asuh penelantar merupakan pola asuh yang beresiko paling tinggi menyebabkan penyimpakan kepribadian dan perilaku anti social.

2.2. Difabel dan Tunanetra

Istilah difabel merupakan pengindonesiaan dari kependekan istilah different abilities people (orang dengan kemampuan yang berbeda). Dengan istilah difabel, masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula.

Istilah difabel pertama kali dicetuskan oleh beberapa aktivis di Yogyakarta yang salah satunya adalah almarhum Dr. Mansour Fakih pada awal tahun 1997 (Ambulangsih, 2007; 45) .

(19)

persepsi masyarakat umum pada nilai-nilai sebelumnya yang memandang seorang difabel adalah seseorang yang tidak normal, memiliki kecacatan sebagai sebuah kekurangan dan ketidakmampuan. Pemakaian kata difabel dapat dimaksudkan sebagai kata eufemisme, yaitu penggunaan kata yang memperhalus kata atau istilah yang digunakan sebelumnya. Tetapi secara luas Istilah difabel digunakan sebagai salah satu usaha untuk merubah persepsi dan pemahaman masyarakat bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan seorang difabel hanyalah sebagai seseorang yang memiliki perbedaan kondisi fisik dan dia mampu melakukan segala aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda. Pemakaian istilah difabel memiliki nilai lebih humanis dan sebagai suatu usaha untuk menghilangkan kekuatan ruang yang memiliki hubungan tidak adil/diskriminasi serta mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan mereka (Priyadi 2006; 23).

Dengan pemahaman baru itu masyarakat diharapkan tidak lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya. Difabel terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan lain-lain.

Tunanetra dari segi etimologi bahasa. “tuna” artinya “rusak” “netra” artinya “mata” atau dapat disimpulkan mata yang rusak. Sehingga tunanetra dapat disimpulkan yakni tidak berfungsinya indera penglihatan secara normal. Tunanetra termasuk kedalam bagian dari difabel. Karena tunanetra adalah suatu keadaan cacat fisik yang dapat digantikan dengan indera lain, seperti indera peraba, dan indera perasa. Berdasarkan Organisasi Badan Kesehatan Dunia WHO merillis data bahwa setidaknya ada 40 – 45 juta penderita kebutaan (cacat netra)gangguan penglihatan. Pertahunnya tak kurang dari 7 juta orang mengalami kebutaan atau permenitnya

(20)

terdapat satu pentuduk bumi menjadi buta dan perorang mengalami kebutaan perduabelas menit dan ironisnya, lagi-lagi wilayah dan negara miskinlah yang kebanyakan penduduknya mengalami kebutaan dan gangguan penglihatan, yaitu sekitar 90%.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial, jumlah penyandang cacat tuna netra tahun 2009 adalah sebanyak 3.474.035 orang, Sedangkan dari data Kemenakertrans tahun 2009, jumlah tenaga kerja penyandang cacat tunanetra yang bekerja sebanyak 2.137.923 orang. (http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=704 (diakses tanggal 6 April 2011).

2.2.1. Klasifikasi Tunanetra

Menurut Depdiknas kelasifikasi tunanetra secara garis besar dibagi lima yaitu: A. Berdasarkan tingkat kebutaannya yaitu:

1. Dikatakan buta total jika sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar. Kebutaan total memiliki keterbatasan dalam penglihatan antara lain:

- Tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak kurang dari 1 meter.

- Ketajaman penglihatan 20/200 kali yaitu ketajaman yang mampu melihat suatu benda pada jarak 20 kaki.

- Bidang penglihatnya tidak lebih luas dari 20 meter.

2. Dikatakan Low Vision bila masih mampu menerima rangsa cahaya dari luar. Berdasarkan definisi World Health Organization (WHO),seseorang dikatakan low vision apabila: - Memiliki kelainan fungsi penglihatan meskipun telah dilakukan pengobatan,

(21)

http://bamperxii.com/2008/11/penegertian-tuna-netra.html (diakses tanggal 7 April 2011 pada pukul 12.10 WIB)

B. Berdasarkan waktu terjadinya kebutaan:

1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir yakni yang mereka asma sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.

2. Tunanetra setelah lahir atau pas usia kecil yakni mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat da mudah terlupakan.

3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap peroses perkembangan pribadi.

4. Tunanetra pada usia dewasa pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latiha penyesuaian diri.

5. Tunanera dalam usia lanjut, sebagian besar sudah sulit untuk mengikuti latihan-latihan kecerdasan kinestetik yang berpengaruh terhadap gerak motorik seseorang penyandang (http://id.wikipedia.org/wiki/Anaka_berkebutuhan_khusus diakses tanggal 1 April 2011 pada pukul 11.12 WIB)

C. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan

1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision);yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti perogram-program pendidikan dan pampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang mengunakan fungsi penglihatan.

(22)

2. Tunanetra setengah berat (partially sighted);yakni mereka yang kehilagan sebagian daya penglihat,hanya menggunakan kaca pembesar.mereka mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang ercatak tebal.

3. Tunanetra berat (totally blind);yakni mereka yang sama ssekali tidak dapat melihat. D. Berdasarkan pemeriksaan klinis

1. Tunanera yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.

2. Tunanera yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.

E. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata:

1. Mayopia : adalah penglihatan jarak dekat, bayak yang tidak tetfokuds dan jatuh di belakang retina.penglihata akan terlihat jelas kalau objek didekatka. Untuk membantu peroses penglihatan pada penderita mayopi digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.

2. Hyperopia : adalah penglihatan jarak jauh,banyak yang tidak terfokus da jatuh didepa retina. Penglihatan akan terlihat jelas jika objek dijauhkan. Untuk menbantu peroses pemulihan pada penderita heyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa posotif. 3. Astigmatisme : adalah penyimpanan atau peglihatan kabur yang disebabkan karna

kerusakan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga banyak benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina.

(23)

2.2.2 Faktor Penyebab Tunanetra

Ada dua faktor penyebab seseorang menderita tunanetra yaitu:

1. Faktor endogen, ialah faktor dari dalam kandungan atau dapat dikatakan faktor genetic. Misalnya perkawinan antar sesama tunanetra, atau memiliki nenek moyang yang penyandang tunanetra.

2. Faktor eksogen atau faktor luar seperti:

a. Penyakit atau virus rubella yang menjadikan seseorang menjadi sakit campak, yang lama kelamaan akan mengganggu saraf penglihatan dan bias menghilangkan fungsi penglihatan secara permanen. Ada juga dikarrenakan oleh kuman syphilis, yang mengakibatkan kerapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan pandangan mata keruh.

c. Kecelakaan yaitu kecelakaan fisik akibat tabrakan yang berakibatkan langsung merusak saraf mata. Ada juga yang diakibatkan oleh radiasi ultra violet atau gas beracun yang dapat menybabkan seseorang kehilangan fungsi mata untuk melihat

Error!  Hyperlink  reference  not  valid..com (diakses tanggal 11 april 2011 pada pukul

(24)

2.3. Defenis Konsep

Penelitian ini mengenai interaksi sosial pada keluarga pasangan tuna netra ditujukan untuk mengetahui bagaimana cara interaksi yang dilakukan keluarga yang kedua orangtuanya adalah penyandang cacat tunanetra. Maka agar penelitian ini tetap terfokus dan tidak menimbulkan penafsiran ganda, maka digunakan beberapa defenisi konsep sebagai berikut:

1. Keluarga : Keluarga adalah sekelompok orang yang kedua orangtuanya adalah penyandang cacat tunanetra dan memiliki anak yang normal yang terikat oleh tali perkawinan.

2. Anak : Keturunan yang normal dari orang tua yang difabel yang bekerja sebagai tukang pijat. Yang berusia 0-30 tahun.

3. Pola asuh : kegiatan orangtua mengasuh, mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan melindungi anak sampai pada masa kedewasaan sesuai dengan norma yang ada didalam masyarakat.

4. Orangtua Difabel : Orangtua adalah penyandang cacat tunanetra yang memiliki kerusakan pada indera penglihatan (mata) yang mengakibatkan tidak berfungsi secara baik indera penglihatan atau buta.

5. Panti pijat : Panti pijat adalah tempat yang digunakan oleh penyandang cacat tunanetra dalam memberikan pelayanan pijat.

6. Lingkungan kelurahan Sei sikambing D Medan : adalah lingkungan tempat tinggal sekaligus tempat praktek pijat keluarga yang kedua orangtuanya difabel atau penyandang cacat tunanetra.

Referensi

Dokumen terkait

Tindakan ini seperti menutup suatu bagian dari layar, memotong video, menambahkan animasi, menambahkan potongan video lain ke dalam video presentasi, atau tindakan lain

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion  pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen

“Metode harga pokok pesanan adalah cara penentuan harga pokok produksi dimana biaya-biaya produksi dikumpulkan untuk pesanan tertentu dan harga pokok produksi per satuan produk

Selanjutnya kemampuan spiritual anak masih kurang, ini dibuktikan dengan hapalan huruf hijayiah dan doa sehari-hari.Tujuan penelitian ini, Mengetahui proses

(patuh) dan heterodoxy (menolak), yang menghasilkan doxa (kebenaran komunal yang tidak perlu dipertanyakan lagi) 8. Sepak bola sebagai olah raga terpopuler di Indonesia

Penyakit ini termasuk dalam penyakit daerah tropis dan penyakit ini sangat sering di jumpai di Asia termasuk di Indonesia Tujuan : Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada

Ia menegaskan bahwa kalau memang masyarakat hendak menjamin kemerdekaan agama dan hendak mene- gakkan kejernihan hidup antaragama di tengah jutaan penduduk Indonesia

Analisis (antai Marko) yaitu alat analisis yang dapat digunakan, misalnya untuk meramalkan pangsa pasar saat ini dan masa datang. !eknik  yang digunakan dalam analisis