Kajian Etnografi Tanah Adat dan Sumbangannya
Terhadap Upaya Penyelesaian Sengketa Tanah
Adat di Kabupaten Humbang-Hasundutan,
Propinsi Sumatera Utara.
Bahan Presentasi pada “Seminar dan
Lokakarya Kajian Etnografi Tanah Adat
untuk Penyelesaian Konflik Agraria”,
Tim PeneliL
•
Kar$ni Pandjaitan-Sjahrir, Ph.D
(Penanggungjawab)
•
Drs. R. Yando Zakaria (Koordinator peneli$an)
•
Dr. Fikarwin Zuska
•
Dra. Frieda Amran
•
Yohana Pamella Berliana Marpaung, M.A.
Latar Belakang (1)
• Akhir 2016 Presiden Jokowi menyerahkan Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pencadangan hutan adat
untuk ‘masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta.
• Penyebutan ‘‘hutan adat masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta’
dan ‘silsilah Marga Marbun Lumban Gaol sebagai Marga Bius Huta’
telah menimbulkan kebingungan.
• Dalam pada itu, belakangan, menyusul pembentukan Badan Otorita
Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49/2016, muncul pula kekuaLran konflik tanah ini (termasuk konflik internal)
intensitasnya akan terus meningkat. Terutama di 7 kabupaten yang bersentuhan langsung dengan Danau Toba.
• Bagaimana susunan ‘masyarakat hukum adat’ di Kabupaten
Latar Blakang (2)
UUPA 1960 dan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah
• Pasal 2 ayat (1):
– Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada Lngkatan terLnggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
• Pasal 2 ayat (4):
– Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan Ldak bertentangan dengan kepenLngan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah. • Pasal 3
– Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2
Latar Belakang (3)
Logika Pengakuan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah/Hutan
Hutan adat diakui jika MHA ybs ditetapkan dalam Perda =
(1) UU Desa No. 6/2014:
desa adat adalah MHA yang: Pasal 97 ayat (2): Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya: (a) masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; (b) pranata pemerintahan adat; (c) harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau (d) perangkat norma hukum adat.
Pemberlakukan pemenuhan sayrat secara fakultaLf.
(2) Permendagri 52/2014: Menetapkan MHA, tp tdk ada rumusan tujuan: dgn mencerma$ (?) : (a) sejarah; (b) wilayah adat; (c) hukum adat; (d) harta/benda adat; dan (e) kelembagaan/
sistem pemerintahan adat. Ditetapkan dlm keputusan bupaL/walkot atau keputusan bersama kepala daerah, tanpa penjelasan dg ukuran untuk verifikasinya. Pemberlakuan pemenuhan syarat secara akumulaLf.
(5) Permen ATR 9/2015 à Permen ATR 10/2016:
Muncul nomenklaur baru hak komunal (bersifat perdata), hak ulayat (bersifat publik) Ldak disebut lagi;
Hak Komunal diberikan pada MHA, yg memenuhi syarat: (a) Msh dlm bentuk paguyuban; (b) ada kelembagaan dlm perangkat penguasa adatnya; (c) ada wilayah hukum adat yang jelas; dan (d) ada pranata dan perangkat hukum yg msh ditaaL.
Pemberlakuan pemenuhan syarat secara akumulaLf.
(3) Perber 4 Kementerian 2014 à Perpres 88 Tahun 2017: (4) Permen LHK 32/2015 tentang Hutan Hak: Mengatur pengakuan hak ulayat MHA; MHA diakui seturut per-UU-an yg ada (cq. Pasal 67, UU 41/1999 = MHA ditetapkan dulu dgn Perda); Ldak dijelaskan apakah Tim IP4T merujuk pada perda/sk yang sdh ada atau juga bisa melakukan penetapan tersediri. Pemberlakuan pemenuhan syarat secara akumulaLf.
Pertanyaan-pertanyaan pokok kajian
tenurial sistem
•
Sumber agraria dan SDA apa saja yang menjadi objek
hak?
à
Tata guna dalam pengerLan yang luas
•
Apa unit sosial dari hak-hak dimaksud?
à
subyek hak
à
sistem organisasi sosial yang terlibat dalam
penguasaan dan pemanfaatan obyke hak dimaksud
•
Bagaimana bentuk dan karakter hubungan antar aktor
dalam penguasaan dan proses-proses perolehan,
Tiga dimensi untuk pemahaman
tenurial sistem
Aspek sosial-poliLk organisasi komunitas dan supra-komunitas
Mekanisme penyelesaian sengketa
Sistem tenurial sebagai Sistem Sosial
yang Kompleks
Aspek struktur sosial Yang lebih luas
Aspek sosial-poliLk organisasi komunitas dan supra-komunitas
Mekanisme penyelesaian
sengketa
Lokasi PeneliLan
•
Kecamatan Sijamapolang
–
Desa Batunajagar
•
Kecamatan Lintongnihuta
–
Desa SiLo II
•
Kecamatan Dolok Sanggul
–
Desa Saitnihuta dan Desa Simarigung
•
Kecamatan Parlilitan
–
Desa Sihotang Hasugian Tonga, Desa Pusuk II, Desa
Gambaran Umum Lokasi PeneliLan
•
Kecuali di Kecamatan Parlilitan, desa-desa yang
menjadi lokasi peneliLan dilakukan dikenal sebagai
wilayah adat kelompok etnik Batak Toba.
•
Adapun pemukim utama Kecamatan Parlilitan berasal
dari kelompok etnik Dairi dengan pengaruh budaya
Batak Toba yang sangat kental sekali. Oleh sebab itu
pula muncul penyebutan baru Daito, yang pada
dasarnya merupakan gabungan singkatan dari Dairi
dan Toba.
Tanah Adat Batak Toba (Simbolon, 1998, Simanjuntak &
Situmorang, 2004; dan KarLni Sjahrir-Pandjaitan,
et.al.
, 2017)
Subyek hak
pihak yang mendapatkan hak untuk turut memanfaatkan dan/atau dapat memilikinya.
Obyek hak
jampalan (tempat (pengembalaan)
• Arena cadangan (Hauma
harajaon, tombak ripe, dll)
• Daerah suci (parsombaonan,
Asal-usul penguasaan tanah:
Tarombo
sebagai sumber sejarah tanah
•
Pembukan lahan
–
Lahan
huta
induk sudah sempit sehingga
huta
baru perlu
didirikan
–
Adanya tradisi mengajurkan anak laki-laki sudah menikah
untuk hidup mandiri (
manjae)
dengan keluarganya; dan
–
Adanya perperangan atau perkelahian antar-saudara
sehingga salah satu pihak harus pindah keluar dari
huta
à
Tantangan masyarakat adat dalam memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan
• Organisasi sosial yang memiliki kewenangan dan kecakapan untuk
mengurus urusan publik (bius dan huta) relaLf sudah sejak lama
memudar dan saat ini lebih banyak berfungsi sebagai idenLtas sosial-budaya saja. Misalnya dalam konteks penyelenggaraan paradotan.
• Urusan penguasaan tanah berpusat kepada sistem kekerabatan
yang berpusat pada marga raja bersama marga boru-nya.
• Dengan demikian, kapasitas masing-masing unit sosial tersebut
untuk mengakses proses poliLk legsilasi di parlemen daerah ataupun di ranah eksekuLf relaLf sangat terbatas.
• Ada tata-krama adat yang sulit untuk dilangkahi oleh pejabat
negara, yang bisa berdampak secara sosial-budaya dan juga dukungan poliLk.
• Pemberian otoritas penetapan pada pihak lain rawan menimbulkan
Dengan demikian,
•
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait
pengakuan hak masyarakat adat atas tanah mengalami
hambatan dari sisi kuanLtas (begitu banyaknya subyek hak
yang harus diakui), dan dari kualitas (kemampuan
masing-masing subyek hak itu mengakses proses-proses poliLk
legislasi dan eksekuLf).
•
Oleh sebab itu perlu dicari terobosan-terobosan hukum
(daerah) yang lebih memudahkan masyarakat adat, karena
pada dasarnya hak masyarakat adat atas tanah adalah hak
konsLtusional yang harus diupayakan pelaksanaannya oleh
pemerintah.
•
Terobosan itu dapat dilakukan melalui penyusunan dan
Permenagraria 5/1999
• BAB II:
– PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT
• Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada
dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat stempat.
• Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apanbila :
– terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan
hukm adatnya sebgai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerpkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
– terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari, dan
– terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan
Permenagraria 5/1999
• BAB III:
– PENENTUAN MASIH ADANYA HAK ULAYAT DAN PENGATURAN LEBIH LANJUT MENGENAI TANAH ULAYAT YANG BERSANGKUTAN
• Pasal 5
– PeneliLan dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.
– Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar pendanaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila
memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam danar tanah.
• Pasal 6