Makna Kekuasaan Membentuk Undang-Undang Oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Menurut
Undang-Undang Dasar 1945
Disusun Oleh
Sarah Maratussholichah
1111111449
Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA)
Serang – Banten
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka. Masyarakat merupakan negara yang jika cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.1 Pembentukan peraturan perundang
undangan sebagai wujud konkret pelaksanaan fungsi legislasi merupakan upaya merealisasikan tujuan tertentu (keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum), dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan perilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan.
Bangsa Indonesia beranggapan bahwa terjadinya negara merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Secara ringkas, proses tersebut sebagai berikut :2
1) Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
2) Proklamasi atau pintu gerbang kemerdekaan.
3) Keadaan bernegara yang nilai-nilai dasarnya adalah merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dan terbentuknya negara antara lain yaitu kekuasaan tertinggi, adanya wilayah dan adanya warga negara atau masyarakat, adanya pengakuan dari negara lain. Negara Indonesia adalah salah satu negara yang terbentuk secara politis, jadi memang pada dasarnya kekuatan atau naluri politis telah mengilhami lahirnya
1 .J. Van Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka Sarjana, Jakarta, 1980, Hlm. 105
negara ini. Paham mengenai negara ini tumbuh di Indonesia dikarenakan adanya hubungan dengan dunia Barat melalui perdagangan yang kemudian berubah menjadi hubungan kolonisasi. Berdasarkan hal tersebut menjadi dasar bahwa negara Indonesia mendapat dorongan dari luar.3
Indonesia sendiri yang berdasarkan pada Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 menegaskan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Artinya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar pada hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan pada sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, terdapat 3 (tiga) prinsip dasar wajib yang harus dijunjung oleh setiap warga negara, yaitu supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Dasar negara merupakan hal yang amat penting bagi suatu negara, sebab dari dasar negara itulah kemudian di susun UUD maupun konvensi serta peraturan perundang-undangan lainnya sehingga setiap bentuk kegiatan dari negara itulah haruslah selalu bersumber dari dasar negara, philosofische grondslag ,ideologi negara atau staatside.4
Sistem pemerintahan merupakan sistem yang di miliki di suatu negara, dalam pembentukan suatu negara pastilah memiliki sistem ,karena sistem yang mengatur bagaimana jalannya suatu negara, negara merupakan organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang mendiami suatu wilayah, dalam wilayah tersebut terdapat sistem pemerintahan, dimana sistem pemerintahan menunjukan bagaimana suatu kondisi negara. Sistem pemerintahan memiliki tujuan untuk menjaga stabilitas suatu negara. Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
3 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Publishing, Yogyakarta, 2009, Hlm. 179
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu sistem pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.
Sistem pemerintahan suatu negara tedapat 4 klasifikasi yakni Sistem Presidensial, Sistem Parlementer, Sistem Quasi dan Sistem Referendum Pada umumnya negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif. Sistem pemerintahan negara Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan berubahnya konstitusi yang digunakan di Indonesia.
Sekarang ini sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensial, tetapi pada kenyataannya dalam prakteknya sistem tersebut masih belum diimplementasikan secara murni dan konsekuen bahwa sistem negara ini benar-benar menerapkan sistem pemerintahan presidensial dengan presiden sebagai kepala negara dan juga sekaligus kepala pemerintahan (dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri). Dalam sistem presidensial negara Indonesia terlihat bahwa masih belum bisa membuat pembatas yang jelas antara posisi kewenangan eksekutif dan legislatif. Dalam konstitusi negara yang kita anut, dalam hal UUD 1945, terdapat aturan tentang apa-apa yang menjadi kewenangan presiden, masih sering bertabrakan dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh DPR. Indonesia adalah negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik dan menganut sistem pemerintahan presidensial dimana Presiden Negara Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara (head of state) dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of government) dan mengangkat serta memberhentikan para menteri yang bertanggungjawab kepadanya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945.5
Dalam sistem pemerintahan suatu negara terdapat teori pembagian dan pemisahaan kekuasaan antara eksekutif, legislatif,dan yudikatif itu bertujuan untuk meciptakan tata pemerintahan yang baik. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “ Makna Kekuasaan Membentuk Undang Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Menurut Undang-Undang Dasar 1945.”
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut diatas, maka dirumuskanlah beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia dalam Pembentukan Undang-Undang ?
2. Apakah Undang-Undang Dasar Memberikan Kekuasaan Penuh kepada DPR untuk membentuk Undang-Undang dan Teori apa yang di gunakan dalam hal ini ?
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian menurut penulis adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan makna kekuasaan menbentuk Undang-Undang oleh DPR dalam menjalankan pemerintahan.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana Undang-Undang memberikan kekuasaan penuh kepada DPR dalam membentuk Undang-Undang.
1.3 Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan suatu wacana yang diharapkan dapat berguna sebagai pemikiran dalam mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam Hukum Tata Negara.
b. Bermanfaat bagi penulis dalam bidang Ilmu Hukum pada khususnya terutama ilmu Hukum Tata Negara.
Hasil penelitian ini dapat membantu memberikan pemahaman mengenai makna kekuasaan lembaga negara dalam menjalankan pemerintahan.
1.4 Kerangka Pemikiran
Pemerintahan berasal dari kata perintah, dimana kata perintah tersebut mempunyai empat unsur yaitu ada dua pihak yang terkandung, yang kedua pihak tersebut saling terkait atau memiliki hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan.6 Apabila dalam suatu
negara kekuasaan pemerintahan, dibagi atau dipisahkan maka terdapat perbedaan antara pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurusi pelaksanaan roda pemerintahan (disebut eksekutif), sedangkan pemerintahan dalam arti yang luas selain eksekutif, termasuk lembaga yang membuat peraturan perundang undangan (disebut legislatif), dan yang melaksanakan peradilan (disebut yudikatif).7
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Presiden di samping berkedudukan sebagai “Kepala Negara” berkedudukan pula sebagai “Kepala Pemerintahan”. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden adalah “ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Presiden sebagai kepala pemerintahan, di dalam menyelenggarakan tugasnya sehari-hari, dibantu oleh menteri-menteri sebagai pembantu Presiden, Menteri-Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai pembantu Presiden Menteri-Menteri diangkat dan di berhentikan atas kehendak Presiden sendiri.8
Menurut Montesquieu dengan ajaran Trias Politica bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang masing-masingkekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, maka hal ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan
sewenang-6 S. Pamuji, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm. 3. 7 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, cetakan ketiga, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 21-22.
BAB II
Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia dalam
Pembentukan Undang-Undang
2.1 Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasannya dalam Pembentukan UU
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas dinyatakan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum. Itu berarti, hukum bukanlah sekedar produk yang dibentuk oleh lembaga tertinggi dan/atau lembaga tinggi negara saja, tetapi hukum juga yang mendasari dan mengarahkan tindakan-tindakan lembaga-lembaga tersebut. Hukum adalah dasar dan pemberi petunjuk bagi semua aspek kegiatan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Lembaga legislatif adalah parlemen yang merupakan pembuat undang-undang sesuai dengan kehendak rakyat. Di dalam negara demokrasi, rakyatlah yang menentukan hukum melalui wakil-wakilnya di parlemen yang dipilih langsung oleh rakyat sendiri. Kehendak mayoritas rakyat di dalam negara demokrasi menjadi kehendak negara, bahkan bisa menjadi hukum negara tanpa harus dipersoalkan baik buruknya Jadi kehendak rakyat menjadi sumber hukum yang mengikat Pengembangan ilmu di bidang perundangundangan dapat mendorong fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang sangat diperlukan kehadirannya, oleh karena di dalam negara yang berdasar atas hukum modern (verzorgingsstaat), tujuan utama dari pembentukan undang-undang bukan lagi untuk menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi untuk menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat9
Dewan perwakilan rakyat atau DPR termasuk ke dalam cabang kekuasaan Legislatif yaitu memiliki fungsi sebagai pengatur, dimana dalam pengaturan kekuasaan legislatif ini merupakan cerminan kedaulatan rakyat. Kewenangan dalam menetapkan suatu aturan pertama diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Dalam hal ini ada 3 hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen yaitu : 10
9Wahyu Nugroho, Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan Partisipatif Berdasarkan Cita Hukum Pancasila, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 10 No. 3,2013.
a. Pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara. b. Pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara.
c. Pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara.
Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut harus dilakukan dengan persetujuan warga negaranya sendiri dengan cara melalui perantara wakil-wakil mereka di parlemen sebagai wakil rakyat.
Fungsi pengaturan ini terwujud dalam fungsi pembuatan undang-undang, fungsi pengaturan ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi, dengan demikian kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk di ikat dengan norma hukum yang di maksud sebab cabang kekuasaan di anggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat, maka peraturan yang paling tinggi di bawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan di tetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif.11 Dalam sistem UUD 1945, peraturan inilah yang
dinamakan undang-undang yang di bentuk oleh DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden.
Selain itu, fungsi legislatif juga menyangkut empat bentuk kegiatan yaitu :12
a. Prakarsa pembuatan undang-undang (Legislative intiation). b. Pembahasan rancangan undang-undang (Law making process).
c. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (Law enactment approval).
d. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dari dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international aggrement and treaties or other legal binding documents).
Dalam hal pembentukan UU apakah UUD 1945 memberikan hak penuh terhadap lembaga legislatif yaitu DPR dalam pembentukan UU jawabannya adalah Undang-undang dasar tidak memberikan hak penuh kepada DPR dalam pembuatan
Undang-undang, dalam UUD di sebutkan bahwa Presiden sebagai lembaga eksekutif berperan juga terhadap pembuatan rancangan Undang-undang yang akan di buat, tugas Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yaitu mengesahkan dan di mintai persetujuan bersama DPR, apabila dalam pembuatan Undang-undang tidak ada persetujuan dari salah satu pihak semisalnya Presiden maka Undang-undang tidak dapat di sahkan atau batal demi hukum.
2.2 Teori Pembagian dan Teori Pemisahan Kekuasaan
Pemerintahan berasal dari kata perintah, dimana kata perintah tersebut mempunyai empat unsur yaitu ada dua pihak yang terkandung, yang kedua pihak tersebut saling terkait atau memiliki hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan.13 Apabila dalam suatu
negara kekuasaan pemerintahan, dibagi atau dipisahkan maka terdapat perbedaan antara pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurusi pelaksanaan roda pemerintahan (disebut eksekutif), sedangkan pemerintahan dalam arti yang luas selain eksekutif, termasuk lembaga yang membuat peraturan perundangundangan (disebut legislatif), dan yang melaksanakan peradilan (disebut yudikatif).14
Menurut C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution mengatakan: 15
Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military power or the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making law, thirdly financial power of the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it makes on the state behalf. Maksudnya pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan keluar. Oleh karena itu, pertama harus mempunyai kekuatan militer
13 S. Pamuji, Op.,Cit hlm. 3.
atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua, harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang-undang, yang ketiga, harus mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai biaya keberadaan negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Namun dalam perjalannannya, Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer karena kondisi dan alasan yang ada pada masa itu.Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945, tidak menganut suatu sistem dari negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas yang menurut kepribadian Bangsa Indonesia. Dapat terlihat dari waktu perencanaan, penetapan, dan pengesahan Undang-Undang Dasar.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Presiden di samping berkedudukan sebagai “Kepala Negara” berkedudukan pula sebagai “Kepala Pemerintahan”. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden adalah “ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Presiden sebagai kepala pemerintahan, di dalam menyelenggarakan tugasnya sehari-hari, dibantu oleh menteri-menteri sebagai pembantu Presiden, Menteri-Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai pembantu Presiden Menteri-Menteri diangkat dan di berhentikan atas kehendak Presiden sendiri.16
Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat menurut sistem ketatanegaraan UUD 1945 memberikan persetujuan kepada Presiden di dalam membuat UUD,selain dari pada itu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan,di dalam menjalankan kekuasaan Pemerintahan harus bertunduk kepada ketentuan-ketentuan UUD dan harus pula tertunduk kepada keputusan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan dalam pemerintahan ini Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada Presiden dan Menteri-Menterinya. Apabila Presiden melanggar ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Dasar maka Majelis
Permusyawaratan Rakyat dapat meminta untuk di adakannya sidang MPR untuk di minta pertanggungjawaban Presiden.
Dari teori sistem pemerintahan terdapat teori pembagian dan pemisahan kekuasaan, kekuasaan itu adalah ciptaan sekumpulan orang yang paling kuat dan berkuasa, permasalahan pembatasan kekuasaan (limitation of power) berkaitan erat dengan teori pemisahan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power). Penggunaan istilah, division of power,
separation of power, distribution of power, dan allocation of power, memiliki nuansa yang sebanding dengan pembagian kekuasaan, pemisahan kekuasaan, pemilihan kekuasaan ,dan distribusi kekuasaan. Pada umumnya doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya.17 Konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara
dalam tiga cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, padangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan rujukan doktrin separation of power
dizaman sesudahnya. Istilah “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica
atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangannya montesqieu harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing.18
Dalam pengalaman ketatanegaraan Indonesia, Istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diamentral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Montesquieu.19
BAB III
17Jimly Asshiddiqie, Op,Cit, Hlm.284-285. 18Ibid.,Hlm 285.
Pengaturan Mengenai Kekuasaan DPR dalam
Pembentukan UU
Terkait dalam pembahasan ini ada dasar-dasar hukum mengenai bagaimana kekuasaan DPR dalam pembentukan undang-undang terdapat dalam Pasal 20 ayat 1 yang berbunyi “ Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” dan dalam Pasal 20 ayat 2 berbunyi “ Setiap rancangan undang-undang di bahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Dalam pasal lain juga menyebutkan selain DPR yang mempunyai kekuasaan dalam pembentukan Undang-Undang ternyata Presiden juga memiliki hak dalam membuat rancangan Undang-undang seperti yang tercantum dalam Bab III tentang kekuasaan pemerintah negara Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”
Makna Kekuasaan Membentuk Undang-Undang Oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Menurut Undang-Undang Dasar 1945
4.1 Analisis Teoritis
Dalam hal ini pembagian kekuasaan ada yang bersifat horizontal dan vertikal, penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan bersifat vertikal dan horizontal dalam konteks vertikal pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan di maksudkan untuk membedakan antara kekuasaan pemerintah atasan dan kekuasaan pemerintah bawahan, yaitu antara pemerintahan federal dan negara bagian dalam negara federal atau di antara pemerintah pusat atau pemerintah provinsi dalam negara kesatuan. Perspektif vertikal dan horizontal ini juga dapat di pakai untuk membedakan antara konsep pembagian kekuasaan yang di anut di indonesia,sebelum perubahan UUD 1945 yaitu bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi di anggap berada ditangan rakyat dan di jelmakan dalam MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang di anut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapat dianggap sebagai pembagian kekuasaan dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal sedangkan sekarang setelah perubahan ke 4 sistem yang di anut oleh UUD 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balance.20
Berbicara mengenai makna kekuasaan lembaga legislatif dalam pembentukan undang-undang pasti berkaitan dengan lembaga eksekutif dan sistem pemerintahan di negara ini, Diketahui bersama bahwa secara teori sistem pemerintahan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem pemerintahan parlementer (parliamentary system) dan sistem pemerintahan presidensial (presidential system ). Walaupun dalam tatanan implementasinya ada sistem pemerintahan yang bersifat campuran (hybrid system). Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara lembaga legislatif
dengan lembaga eksekutif. Pemberlakuan sistem pemerintahan terhadap suatu negara tergantung pada kebutuhan, faktor sejarah dan kondisi sosio-politik suatu negara.Sistem parlementer adalah sistem yang menekankan parlemen sebagai subjek pemerintahan, sementara sistem presidensial menekankan peran presiden (eksekutif) sebagai subjek pemerintahan.21Keduanya memiliki
latar belakang berbeda yang menyebabkan berbeda pula dalam norma dan tatacara penyelenggaraan pemerintahannya. Karakter pemerintahan parlementer adalah pada dasarnya dominannya posisi parlemen terhadap eksekutif. sementara karakter sistem presidensial adalah pada dominannya peran presiden dalam sistem ketatanegaraan. Sistem parlementer dan sistem presidensial adalah dua hal yang berbeda, bukan merupakan tesis ataupun antitesa yang melahirkan sintesa.22
Namun demikian sekarang setelah UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan, dapat dikatakan bahwa sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan secara nyata dan beberapa bukti mengenai hal ini antara lain : 23
1) Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan presiden ke DPR. Bandingkan antara ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan. Kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang sebelumnya berada di tangan Presiden, sekarang beralih ke Dewan Perwakilan Rakyat.
2) Di adopsikannya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi.sebelumnya tidak di kenal adanya mekanisme semacam itu karena pada pokoknya undang-undang tidak dapat di ganggu gugat dimana hakim di anggap hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang. 3) Di akuinya bahwa lembaga pelaku kedaulatan rakyat itu tidak hanya
terbatas pada MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Presiden, anggota DPR, dan DPD sama-sama dipilih secara langsungoleh
21Endarman Ranadideksa, Arsitektur konstitusi demokratik mengapa ada negara yang gagal melaksanakan
demokrasi, Fokusmedia, Jakarta, 2007, Hlm.100
rakyat dan karena itu sama-sama merupakan pelaksana langsung prinsip kedaulatan rakyat.
4) Dengan demikian, MPR juga tidak berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan merupakan lembaga (tinggi) negara yang sama derajatnya dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya,seperti Presiden, DPR,DPD,MK,MA.
5) Hubungan-hubungan antarlembaga (tinggi) negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balance.
Dari ke 5 ciri tersebut di ata, dapat di ketahui bahwa UUD 1945 tidak lagi dapat di katakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal,tetapi juga tidak menganut paham trias politica Montesqieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif secara mutlak tanpa diiringi oleh hubungan saling mengendalikan satu sama lain.24
Terkait dalam pasal 20 ayat 1 mengenai pembentukan undang-undang oleh DPR terdapat suatu nilai konstitusi, dimana nilai konstitusi terbagi menjadi 3 yaitu nilai semantik suatu konstitusi mempunyai nilai semantik jika konstitusi tersebut secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk dari tempat yang telah ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi, konstitusi hanyalah sekedar istilah saja sedangkan pelaksanaannya hanya dimaksudkan untuk kepentingan pihak penguasa, lalu ada nilai nominal konstitusi yang mempunyai nilai nominal berarti secara hukum konstitusi itu berlaku, tetapi kenyataannya kurang sempurna, sebab pasal-pasal tertentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku, dan ada nilai Normatif suatu konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain, konstitusi itu dilaksanakn secara murni dan konsekuen. Dan Pasal 20 ayat 1 tersebut termasuk kedalam nilai konstitusi bersifat nominal karena di sebut berkuasa namun dalam prakteknya tidak, Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil namun dalam UU Pasal 20 ayat 2 menyebutkan ada campur tangan Presiden sebagai lembaga eksekutif dalam pembuatan undang-undang dan hal tersebut termasuk kedalam ciri sistem pemerintahan Parlementer.
Indonesia tidak sepenuhnya menganut sistem pemerintaha Presidensil karena eksekutif masih masuk ke dalam legislatif dan hal tersebut merupakan ciri dari sistem pemerintahan parlementer.
BAB V
A. Kesimpulan
Teori sistem pemerintahan terdapat teori pembagian dan pemisahan kekuasaan, kekuasaan itun adalah ciptaan sekumpulan orang yang paling kuat dan berkuasa, permasalahan pembatasan kekuasaan (limitation of power) berkaitan erat dengan teori pemisahan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power). Secara teori sistem pemerintahan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem pemerintahan parlementer (parliamentary system) dan sistem pemerintahan presidensial (presidential system ). Walaupun dalam tatanan implementasinya ada sistem pemerintahan yang bersifat campuran (hybrid system). Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara lembaga legislatif denganlembaga eksekutif.Pemberlakuan sistem pemerintahan terhadap suatu negara tergantung pada kebutuhan, faktor sejarah dan kondisi sosio-politik suatu negara.
Fungsi legislasi merupakan fungsi pembentukan undang-undang. Dengan doktrin pemisahan kekuasaan, kekuasaan legislatif dan eksekutif dipisahkan secara tegas antara fungsi dan lembaganya.Namun praktek di beberapa negara, pemisahan seperti itu tidak mutlak diterapkan.Dalam sistem presidensil, seperti di Indonesia dan Amerika terdapat perbedaan yang sangat mencolok terutama dalam keterlibatan Presiden dalam pembentukan undangundang. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, bahwa pemegang fungsi legislasi adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.Apabila tidak mendapatkan persetujuan bersama maka RUU tersebut tidak dapat menjadi undang undang.
negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik dan menganut sistem pemerintahan presidensial dimana Presiden Negara Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara (head of state) dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of government) dan mengangkat serta memberhentikan para menteri yang bertanggungjawab kepadanya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945.
B. Saran
Sistem pemerintahan parlementer tetap dianut di indonesia kalau kita melihat UUD RI Tahun 1945 dalam perspektif teori Montesqieu bahwa antar legeslatif yakni DPR dan Eksekutif yakni Presiden tidak ada pemisahan yang tegas antara keduanya. tetapi kita tidak dapat berkesimpulan bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut sistem parlementer karena banyaknya Pasal-pasal dalam UUD RI Tahun 1945 yang membenarkan bahwa besarnya kedudukan dan kewenangan Presiden sebagai Subjek Pemerintahan yang kuat dalam Konstitusi indonesia. kita juga tidak dapat mengatakan bahwa sistem pemerintahan indonesia menganut sistem campuran, karena menurut saya bahwa setiap negara mempunyai ciri khas masing-masing dalam praktek katatanegaraannya. Dan indonesia mempunyai ciri tersendiri dalam sistem pemerintahannya yang bersifat presidensial dan demikian juga negara lain. Jadi sampai saat ini sistem Pemerintahan indonesia lebih cenderung kepada Sistem Pemerintahan Presidensial. Dan terlebih lagi harus ada kejelasan dalam UUD bagaimana peran kepala negara agar tugas dan wewenangnya tidak tumpang tindih oleh tugas dan weweang DPR.
DAFTAR PUSTAKA
.J. Van Schmid, 1980, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka
Sarjana, Jakarta.
Niken Octa Silviana, 2010, Teori-teori Terbentuknya Negara, Bandung,.
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial, Publishing, Yogyakarta.
Mahfud MD, 2001,Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta.
S. Pamuji, 1988, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta.
Inu Kencana Syafiie, 2005, Pengantar Ilmu Pemerintahan, cetakan ketiga,
Refika
Aditama, Bandung.
Joeniarto, 1996,Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi,
PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta.
Endarman Ranadideksa, 2007,Arsitektur konstitusi demokratik mengapa ada negara
yang gagal melaksanakan demokrasi, Fokusmedia, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie,2012, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers,
Jakarta.
WebSite :
Sofian Effendi, Mencari Sistem Pemerintahan
Negara, http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/Effendi—Mencari-Sistem-Pemerintahan-Negara.pdf , dikunjungi tanggal 29/11/2014.
Wahyu Nugroho, Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan
Partisipatif Berdasarkan Cita Hukum Pancasila, Jurnal Legislasi