BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sepuluh tahun terakhir, penggunaan pesawat tanpa awakyang
disebut sebagai drones telah menjelma sebagai suatu alat persenjataan yang dinilai penting dan cukup cekatan dalam menangani masalah terorisme dan militan di seluruh dunia.1 Keuntungan serta kelebihan menggunakan drones
dibandingkan senjata lain kemudian dikenal serta ditelaah lebih jauh oleh sejumlah badan intelejen dunia. Salah satu alasan utama beberapa negara yang sudah mulai mengoperasikan drones di lapangan adalah kemampuan senjata ini untuk mampu mengobservasi target atau objek, baik seorang individu, kelompok maupun berupa lokasi yang dituju selama berjam-jam lamanya, lalu kemudian dapat segera melakukan penyerangan tanpa harus menggunakan seorang pilot sehingga resiko terhadap keamanan pilot tersendiri terlindungi.2
Kombinasi kapabilitas yang dimiliki drones dinilai unik serta telah memberikan peluang bagi Amerika Serikat untuk membangun instalasi khusus dan mengembangkan penggunaan drones tersendiri. Amerika Serikat meyakini bahwa drones merupakan senjata mutakhir yang efektif dalam membasmi jaringan teroris dan telah dioperasikan semenjak masa pemerintahan Bush hingga Obama sekarang.3 Pada tahun 2009, Philip Alston menyatakan bahwa
penggunaan drones oleh Amerika Serikat dalam menarget militan di Pakistan dan Afghanistan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hukum Internasional.4 Semenjak era pemerintahan Bush telah berakhir, Amerika Serikat
diperkirakan telah melakukan setidaknya 45 penyerangan dengan menggunakan
drones terhadap Pakistan, seperti yang dilansir The New America Foundation.5
Semenjak saat tersebut hingga sekarang, Obama ditengarai telah melakukan
1 Richard N. Haass’s Speech. Conducting as President of Council on Foreign Relations. January 2013
2 Paul B. Stares and Micah Zenko. Enhancing U.S. Preventive Action, CSR No. 48. A Center for Preventive Action Report. October 2008.
3Tom Tschida, New tork Times, Predator Drones and Unmanned Aerial Vehicles
(http://topics.nytimes.com/top/reference/timestopics/subjects/u/unmanned_aerial_vehicles/index.htm l). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
4 UN News Centre, UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones by United States
(http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID= 32764&Cr=alston&Cr1. Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
5 Peter Bergen & Katherine Tiedemann, The Year of the Drone: An Analysis of US Drone Strikes in Pakistan,
2004-2010, NEW AMERICA FOUNDATION, 1 (2010), available at
http://www.newamerica.net/publications/policy/the_year_of_the_drone; The Bush Years: Pakistan Strikes 2004-2009.
penyerangan terhadap Pakistan dengan jumlah lima kali lipat lebih banyak dibandingkan pada masa pemerintahan Bush sebelumnya.6 Tentara militer
Amerika Serikat telah melepaskan serangan sebanyak 297 kali dan menyebabkan terbunuhnya 1.800 rakyat sipil.7 Penggunaan drones semakin
dikenal dengan adanya penyerangan yang menewaskan terdakwa teroris Osama Bin Laden di Pakistan pada 2011 silam.8
Amerika Serikat telah mereformasi salah satu kebijakan pertahannya untuk selalu mengandalkan penggunaan drones, yang digunakan untuk mendukung upaya tempur dalam memerangi kontraterorisme, termasuk disejumlah wilayah konflik-bersenjata, maupun di luar teritori Amerika Serikat.9 Drones Targeting atau kemampuan bekerja drones terbukti berhasil dalam mencari serta membunuh musuh yang memang sengaja menjadi target sekaligus memiliki efektivitas dibandingkan dengan penggunaan kekuatan tradisional lainnya.10 Akan tetapi, sejumlah kritikus pemerhati kebijakan pertahanan
Amerika berpendapat bahwa terdapat sejumlah alasan yang menyangkut masalah legalitas serta moralitas dalam menggunakan drones sebagai sebuah senjata untuk membunuh atau mencari pelaku terorisme dan kaum belligerent
dalam konflik non-tradisional, yang Amerika Serikat terus perangi.11
Hukum Internasional yang mewadahi tata cara perang ataupun pelaksanaan suatu agresi dirampungkan dalam sub-hukum yang disebut Hukum Humaniter Internasional.12 Keterkaitan penggunaan drones oleh negara manapun
diharuskan untuk sesuai dengan ketentuan berdasarkan Konvensi Jenewa, dengan pasal-pasal terkait. Hukum Humaniter Internasional sengaja dibuat untuk menciptakan kondisi yang sesuai serta cara yang ideal untuk menggunakan kekuatan bersenjata, akan tetapi penggunaan drones di dalam suatu perang harus
6 Lihat Covert War on Terror—The Data, supra note 16.
7Iraq An Attack Is Imminent, Articles of International Movement for A Just World (http://www.justinternational.org/
index.php?option=com_content&view=article&id=173&catid=44:archived-articles- 2002-older&Itemid=152). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
8 Bin Laden Is Dead. Obama Says. Doug Mills. New York Times (http://www.nytimes.com/2011/05/02/world/asia/
osama-bin-laden-is- killed.html?_r=1&pagewanted=all). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
9See, e.g., Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, Study on Targeted Killings, Human Rights Council, ¶¶ 7, 18-22, U.N. Doc. A/HRC/14/24/Add.6 (May 28, 2010) (by Phillip Alston).
10See, e.g., Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, Study on Targeted Killings, Human Rights Council, ¶¶ 7, 18-22, U.N. Doc. A/HRC/14/24/Add.6 (May 28, 2010) (by Phillip Alston).
11See, e.g., Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, Study on Targeted Killings, Human Rights Council, ¶¶ 7, 18-22, U.N. Doc. A/HRC/14/24/Add.6 (May 28, 2010) (by Phillip Alston).
12 Reference Guide to the Geneva Conventions
memenuhi sejumlah prinsip yang diadopsi dari Konvensi Jenewa, seperti
distinction, proportionality dan precautions.13 Sedangkan, penggunaan drones
yang telah dioperasikan belum menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip umum tersebut.14
1.2 Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaran di atas, terlihat bahwa penggunaan drones bukan merupakan hal baru dalam kebijakan pertahanan Amerika Serikat. Keinginan Amerika Serikat untuk memberantas jaringan terorisme dunia diimbangi dengan kemampuannya untuk menginstalasi sekaligus mengoperasikan drones secara mutakhir. Dalam waktu bersamaan, upaya ini turut menimbulkan keresahan
global, dimana masyarakat sipil turut menjadi korban., seperti yang terjadi di Pakistan. Oleh karena itu, penulisan ini dititikberatkan pada pemahaman seputar dampak serta legalitas atas penggunaan drones oleh setiap negara bangsaterutama Amerika Serikat.
Dengan demikian, maka penulis merumuskan pertanyaan tentang
bagaimana legalitas penggunaan drones dalam kekuatan bersenjata sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam payung Hukum Humaniter Internasional?, yang penulis rasa perlu untuk dikaji lebih lanjut.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan ini dibuat sebagai salah stau kewajiban akademis dalam mata kuliah Pengkajian Strategi sekaligus untuk memahami legalitas penggunaan
drones yang dilakukan oleh Amerika Serikat menurut Hukum Humaniter Internasional.
1.4 Kerangka Konseptual
1.4.1 Hukum Humaniter Internasional
Menurut kepustakaan hukum humaniter internasional, hukum ini kerap disebut dengan berbagai macam istilah, seperti; hukum perang (law of war) atapun hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict). Hukum perang
13 Texts and commentaries of 1949 Conventions & Additional Protocols
14 Robin Geib and Michael Siegrist, Has the Armed Conflict in Afghanistan Affected the Rules on the Conduct of
Hostilities?, International Review of ICRC, Volume 93 Number 881, March 2011.
adalah hukum yang mengatur tentang perang. Seperti yang Oppenheim ungkapkan, lalu dikutip oleh Yoram Dinstein, menyatakan perang adalah suatu pertarungan di antara dua Negara atau lebih melalui angkatan bersenjata mereka dengan tujuan menaklukkan satu dengan lainnya dan memaksakan syarat-syarat perdamaian yang menguntungkan pihak pemenang.15 Hukum humaniter tidak
memfokuskan pada sebuah legalitas dimana konflik bersenjata terjadi, namun menurut Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977, yaitu menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan (korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil) dan membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang .16 Hukum ini terkandung dalam Konvensi Jenewa.17
Setidaknya terdapat dua kondisi terkait dengan Hukum Humaniter Internasional, yaitu; jus ad bellum (law on the use of force) dan jus in bello (law in war). Jus ad bellum berotasi pada peraturan yang diatur dalam Statuta PBB atau peraturan yang mengesahkan suatu negara dalam mengambil tindakan kekerasan.18
Sedangkan, Jus ad bello merupakan bentuk aplikasi sejumlah peraturan yang dilakukan pada saat peperangan. Kedua kondisi tersebut memiliki beberapa prinsip yang harus diterapkan, baik prinsip pada jus ad bellum agar dapat mengkategorikan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata suatu negara dapat diakui keabsahannya ataupun prinsip dalam jus in bello yang terkait dengan apakah negara-negara yang sedang dalam peperangan tidak melanggar atau bertindak jauh dari apa yang seharusnya dilakukan.19
1.4.2 Proportionality (Prinsip Proporsionalitas)
Menyadur dari salah satu situs resmi yang membahas Hukum Humaniter Internasional, prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan
15 Yoram Dinstein, War and Agression, and Self Defence, Cambridge University, Cambridge, New York,
Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São Paulo, 2005, p. 5. 16 http://www.icrc.org/eng/assets/files/other/indo-irrc_857_henckaerts.pdf
17 Lihat National Defence, Law of the Armed Conflict at the Operational and Tactical Level, Joint Manual, Issued on
Authority of the Chief of Defence Staff, 2001-08-13. Pada halaman 1-1 ditegaskan bahwa: The Law of Armed Conflict (the LOAC), considered in the broadest sense, determines when states may resort to the use of armed force and how they may conduct hostilities during armed conflicts. This guide is concerned primarily with the LOAC in the narrow sense, that is, with the body of law that governs the conduct of hostilities during an armed conflict
18 Keichiro Okimoto. 2012. The Cumulative Requirements of Jus Ad Bellum and Jus In Bello in the Context of
Self-Defense. Chinese Journal of International Law. Hlm. 3.
19 Alexander Moseley. Just War Theory (http://www.iep.utm.edu/justwar/). Diakses pada Kamis, 21 Mei 2013. Pukul 13.56 WIB
senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles).20 Prinsip ini tercantum dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I: “It
is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering”.21
Prinsip ‘unnecessary suffering’ juga harus dilihat dengan membandingkan senjata yang dipakai yaitu bahwa ‘it is unlawful to use a weapon which causes more suffering or injury than another which offers the same or similar military advantages’.22
1.4.3 Distinctions (Prinsip Diskriminasi)
Prinsip diskriminasi mengandung tiga komponen: 1). larangan tentang serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain; 2). bahkan jika target serangan adalah sasaran militer, serangan terhadap obyek tersebut tetap dilarang jika “May be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated”; 3). jika terdapat pilihan dalam melakukan serangan, minimalisasi korban dan kerusakan atas obyek-obyek sipil harus menjadi prioritas.23 Selain itu
semua senjata yang ketika digunakan tidak bisa membedakan sasaran militer dan sipil dan memiliki tingkat akurasi yang rendah harus dilarang.24
20http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf
21http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf
22Lihat Additional Protocol I Geneva Conventions. Pasal 35 dan Pasal 51
23 Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat diakses
pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm
24 http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf
BAB 2
THE USING OF DRONES: AN INHUMANLY ATTACK OF AMERICA
2.1 Dekade Drones
Dalam sebuah diskusi bertema International Humanitarian Law and New Weapon Technologies, Jakob Kellenberger menyatakan: “Today, we live in the age of information technology and we are seeing technology being used on the battlefield. This is not entirely new multiplication of new weapons or methods of warfare that rely on such technology seems exponential. In a closer look, there are numbers of technologies that have only recently entered the battlefield or could potentially enter it. These are cyber technology, remote-controlled weapon systems and robotic weapons system... Drones or “unmanned aerial vehicles” are the most conspicuous example of such new technologies.”25
The unmanned aerial vehicle yang lebih umum dikenal sebagai drones
merupakan pesawat tanpa awak dengan kendali jarak jauh yang sengaja dibuat untuk kepentingan militer.26 Pesawat ini termasuk dalam kategori pesawat
tempur paling moderen, memiliki konfigurasi otomatis autopilot, dilengkapi dengan berbagai sensor serta diprogram untuk bermanuver rutin sesuai dengan pengaturan awal.27 Pada dasarnya, berbagai jenis drone terbagi dalam dua
kategori besar, yaitu drone yang sengaja diprogram untuk melakukan pengintaian serta pengawasan dan drone yang dipersenjatai dengan rudal ataupun bom.28 Pesawat tempur tanpa awak ini memiliki nilai lebih dengan tidak
menempatkan pilot dalam situasi yang beresiko tinggi. Konfigurasi dari penggunaan pesawat tanpa awak ini bersifat aerodinamis, taktis dan memberikan keuntungan ekonomi.29
25 Witny Tanod mengutip dalam International Humanitarian Law and New Weapon. International Committee of the
Red Cross 34th Round Table. (http://www.icrc.org/eng/resources/documents/sta tement/new-weapontechnologies-statement-2011- 09-08.htm).
26 Air Force officials announce remotely piloted aircraft pilot training pipeline", www.af.mil. 27 Taylor, A. J. P. Jane's Book of Remotely Piloted Vehicles.
28 Mayer. "The Predator War". Retrieved 2009 29Ibid.
Amerika Serikat adalah negara pertama yang menggunakan drone pada masa pemerintahan Bush, bertepatan paska peritiwa 9/11.30 Penyerangan dengan
menggunakan drone dilakukan pertama kali di Afganistan.31 Pada masa Presiden
Obama, penyerangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak mengalami peningkatan yang signifikan32, sehingga kemudian perkembangan drone ini
berimplikasi terhadap Hukum Internasional.33 Setelah Amerika mengembangkan
operasional drone secara lebih komprehensif, terlihat bahwa terdapat suatu kompetisi antara pelucutan senjata oleh sejumlah negara dengan pengadaan kontrol kekuatan bersenjata pada waktu bersamaan.34 Pelucutan senjata berarti
secara sepenuhnya melepaskan persenjataan dan mengontrol kekuatan bersenjata, lebih sederhana lagi merujuk pada pembatasan penggunaan kekuatan bersenjata.35
2.2 Legalitas dan Moralitas atas Penggunaan Drones
Perkembangan senjata yang digunakan dalam peperangan, konflik maupun dalam perlindungan untuk sebuah negara dan keamanan internasional tetap berada dalam koridor regulatif dalam Pasal 36 dari Protokol Tambahan I dari Konvensi Jenewa 1949.36 Pasal ini bermaksud untuk menjaga
perkembangan dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi- organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada.37
Dewasa ini, penggunaan remote- controlled weapon systems merupakan sebuah refleksi dari sejumlah peristiwa yang meresahkan dunia internasional. Kemungkinan setiap pengembangan senjata membawa situasi global kepada
30 Bill Yenne. 2004. Attack of the Drones: A History of Unmanned Aerial Combat. USA. Zenith Press. Hlm. 9.
31Ibid.
32 Theresa Reinold. 2011. State Weakness. Irregular Warfare and the Right to Self-Defense Post 9-11. American
Journal International Law. Hlm. 9 – 11.
33 Michael Nas. 2008. Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of Unmanned Aerial Vehicles.
Hlm.1
34 Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm. 181 – 184.
35 Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm. 181 – 184.
36 Texts and commentaries of 1949 Conventions & Additional Protocols
37 Agenda (2012). [( Agenda. 2012. The Morality of Drone Warfare. Available
from:http://castroller.com/podcasts/TheAgendaVideo/3019369 "he Morality of Drone Warfare"].
tahap apa yang sering disebut sebagai security dilemma.38
Banyaknya negara dalam komunitas internasional, terkadang membuat suatu kondisi di mana jika terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab, perbuatan ini dapat memberikan goncangan terhadap sistem hak dan kewajiban negara-negara dalam Hukum Internasional. Upaya untuk mencegah goncangan terhadap sistem hak dan kewajiban kemudian diatur dalam kesepakatan tertulis, seperti Pasal 2(4) dari Statuta PBB yang menyatakan bahwa setiap negara harus menjaga dirinya sendiri untuk tidak menggunakan kekuatan bersenjata terhadap negara lain serta menjaga keamanan internasional.39 Tahun 1970, PBB
mengeluarkan Declarations on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States in Accordance with the Charter of United Nations dan menghendaki seluruh Negara untuk menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata (use of force), intervensi, atau tindakan yang membahayakan Negara lain serta berperilaku dengan tingkah laku yang baik sesuai dengan Piagam PBB.40
Penggunaan drones atau pesawat tanpa awak sebagai senjata dalam memerangi terorisme ataupun tindak kejahatan lain menjadi perbincangan yang kontroversial dalam forum internasional. Lebih jauh, dalam laporannya pada Dewan Hak Asasi Manusia mengenai extrajudicial, summary or arbitrary executions, Philip Alston melaporkan adanya kontroversi penggunaan drones. Beberapa mengungkapkan penggunaan drones tidak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional dikarenakan penggunaannya menyebabkan kematian yang tidak seharusnya.41 Akan tetapi, kemampuan drone sebagai pesawat tempur
tanpa awak yang memiliki sejumlah kemampuan teknis di atas rata-rata serta tidak beresiko terhadap keselamatan nyawa pilot menjadi pertimbangan yang cukup kuat dalam segi eketifitas penggunaannya. Namun pada kenyataannya,
drone telah mengakibatkan banyak kerugian serta menewaskan ratusan orang
38 Radsan, AJ; Murphy (2011). "Measure Twice, Shoot Once: Higher Care for Cia-Targeted Killing". Univ. Ill. Law
Rev.:1201–1241.
39 Martin Dixon and Robert Moccorquodale. 1998. Cases and Materials on International Law. UK. Blackstone Press
Limit. Hlm. 559.
40 Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm.29; The
1970 Declaration; Resolution 2625 (xxv) 24 October 1970.
41 UN News Centre. UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones by United States
(http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID= 32764&Cr=alston&Cr1).
sipil, sehingga hal ini memicu legalitas penggunaan drone sebagai sebuah terobosan alat tempur abad ke-20. Hingga saat ini, belum ada sebuah prokol maupun konvensi internasional yang secara khusus dan terperinci membahas legalitas daripada penggunaan drone, namun telaah dari akibat yang ditimbulkan menjadi indikasi bahwa dunia internasional membutuhkan sebuah peraturan yang binding dan compulsory obeyed demi menjaga, mengantisipasi kemungkinan dan memelihara situasi tatanan global yang damai.
BAB 3 KESIMPULAN
Penggunaan drone sebagai salah satu alat berperang dengan menggunakan sistem teknologi, menuai banyak kritik serta mengakibatkan kontroversi yang berkepanjangan semenjak tahun 2001. Kritik dan kontroversi tersebut baik ditinjau dari taktis dan strategisnya penggunaan drone. Selain itu, penggunaan instrumen militer yang belakangan ini sering berkembang dinilai sebagai kekuatan yang tumpul. Hal ini dikarenakan dampak yang ditimbulkan apabila menggunakan instrumen militer, dimana ratusan atau bahkan ribuan nyawa sipil menjadi korban dan kelangsungan hidup mereka terancam. Intervensi strategis sebuah negara kepada negara lain adalah cerita tersendiri yang memiliki retorika seragam. Kekuatan bersenjata yang digunakan sebagai alat untuk memerangi sejumlah masalah, seperti kontratetotisme, adalah sebuah alasan yang kemudian menjelma seolah menjadi suatu bentuk kelazimanterutama apabila aktor
utamanya adalah negara adidaya seperti Amerika Serikat.
Perkembangan persenjataan dan sejumlah konflik internasional yang sedang terjadi mendorong negara untuk selalu dalam kondisi siaga menghadapi ancaman terhadap negara mereka. Drone sebagai salah satu contoh pengembangan produksi senjata mutakhir terbaru mulai beroperasi dalam sekitar satu dekade terakhir. Penggunaannya yang juga kontroversial dilihat memiliki tingkat sekuritas yang cukup tinggi walaupun dalam segi taktis dan ekonomis dapat dijadikan preferensi yang logis. Oleh karena itu, Hukum Humaniter Internasional sebagai platform yang mengatur tata cara berperang sekaligus mengutamakan kepentingan sipil yang berada dalam wilayah perang (war zones) mempunyai sejumlah prinsip dasar yang diadopsi untuk situasi perang atau pelucutan senjata, seperti distinctions, proportionality dan precautions. Akan tetapi, elaborasi secara lebih mendalam seputar penggunaan senjata seperti drone
belum memiliki regulasi yang komprehensif dan masih bersifat premature. Hingga saat
ini, legalitas penggunaan drone masih menadi perbincangan rumit dunia internasional, namun apabila dilihat dari segi praktis, moralitas atas penggunaan drone berada di bawah batas kesesuaian.