• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Pengertian Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Sunggal Terhadap Efek dan Bahaya Amfetamin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Pengertian Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Sunggal Terhadap Efek dan Bahaya Amfetamin"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan

2.1.1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Tingkat Pengetahuan

Analisa taksonomi bloom yang disampaikan oleh Notoatmodjo (2003),

menyebutkan bahwa pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :

a) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari anatara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

b) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek yang dipelajari harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

(2)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagian), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e) Sintesis (Synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain,

sintesis merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada, misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dan dapat menyesuaikan.

f) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi objek. Penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: sosial ekonomi, kultur atau budaya, pendidikan, dan pengalaman.

2.1.4. Proses Memperoleh Pengetahuan

(3)

1) Awareness, yakni individu mengetahui dan menyadari tentang adanya stimulus.

2) Interest, yakni orang mulai tertarik dan menaruh perhatian terhadap stimulus.

3) Evaluation, yakni orang memberikan penilaian dengan menimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

4) Trial, yakni orang mulai mencoba memakai atau berprilaku.

5) Adaptation, yakni subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan dan sikapnya terhadap stimulus.

2.1.5. Cara Pengukuran

Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian ke dalam

pengetahuan yang diukur dan dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan domain kognitif (Notoatmodjo, 2003).

2.2. Amfetamin

2.2.1. Struktur Kimiawi Amfetamin

Amfetamin memiliki struktur molekul kimiawi yang sangat sederhana namun menghasilkan sejumlah efek yang sangat menarik. Ahli kimia dalam bidang obat-obatan telah berusaha mencari tahu cara kerja dari obat ini, dengan mengutamakan efek obat dan mengabaikan yang lain dengan cara modifikasi struktur molekul Amfetamin (Cadwell, 1980).

(4)

pada sistem saraf pusat; substitusi alkil pada grup amino meningkatkan efek anoretik (Costa, 1970).

Gambar 2.1. Struktur dasar molekul Amfetamin (Cadwell, 1980)

2.2.2. Bentuk Sediaan Obat Amfetamin Oral : tablet (gambar 2.3.)

2.2.3. Cara Penggunaan

Penggunaan Amfetamin dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain : 1. Oral : administrasi Amfetamin secara oral merupakan satu-satunya cara

yang dipakai untuk kepentingan terapeutik, namun metode ini juga banyak digunakan untuk kepentingan rekreasional (Uitermark, 2006). Efek Amfetamin dengan administrasi oral muncul dalam jangka waktu sekitar 15-60 menit, mencapai puncak dalam waktu 2-3 jam, dan mulai menurun setelahnya (Angrist, 1987).

2. Dihirup : administrasi Amfetamin secara intranasal dengan cara

menggerus tablet hingga menjadi bubuk halus kemudian dihirup. Cara ini tidak digunakan untuk kepentingan terapeutik. Tetapi, inhalasi Amfetamin menjadi rute kedua terbanyak yang digunakan untuk kepentingan rekreasional. Inhalasi Amfetamin ke dalam rongga hidung, dimana terjadi absorpsi yang cepat melalui selaput lendir. Efek Amfetamin muncul dalam

hitungan menit dan memiliki durasi efek yang singkat (Uitermark, 2006). 3. Injeksi : injeksi Amfetamin juga tidak digunakan untuk kepentingan

(5)

melalui aliran darah. Injeksi Amfetamin memiliki bioavailability tertinggi dan menghasilkan efek yang cepat dan hebat. Ketika diinjeksi, efek Amfetamin akan muncul dengan segera namun memiliki durasi efek yang singkat (Kramer, 1967).

2.2.4. Farmakologi Amfetamin

Amfetamin merupakan campuran dari isomer d-amfetamin dan l-amfetamin (Usdin, 1979). D-l-amfetamin bekerja dengan cara membebaskan dopamin ke celah sinaptik sedangkan isomer l-amfetamin bekerja dengan cara membebaskan norepinefrin. Oleh karena itu, Amfetamin dikatakan sebagai obat simpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung dengan menekankan pada pembebasan neurotransmitter simpatetik daripada bekerja secara aktif pada reseptor α- maupun β- adrenergik (Katzung, 2009).

2.2.5. Derivat Amfetamin

Berikut ini merupakan derivat dari Amfetamin : 1. Metamfetamin

(6)

Gambar 2.2. Sabu-sabu (Sulistyo, 2012)

2. 3,4- methyldioxymethamphetamine (MDMA)

MDMA merupakan obat sintetik, psikoaktif yang struktur kimiawinya sama seperti Metamfetamin. MDMA atau yang lebih dikenal dengan nama ekstasi, menghasilkan efek psikostimulan dan psikomimetik dengan cara meningkatkan kadar dopamin dan serotonin di dalam otak. MDMA dikonsumsi secara oral, biasanya dalam bentuk tablet. MDMA bersifat neurotoksik pada neuron serotonergik, terlihat degenerasi jalur serotonergik dengan jelas pada hewan percobaan. Penggunaan MDMA pada manusia akan menghancurkan neuron serotonergik di dalam otak yang berkontribusi pada beberapa komplikasi psikiatri seperti reaksi panik, psikosis, depresi dan bunuh diri (Ricaurte, 2001).

Gambar 2.3. Ekstasi (Kabar Banten, 2012)

2.2.6. Penggunaan Klinis Amfetamin dan Derivatnya

Amfetamin dan Metamfetamin dilegalkan untuk beberapa kondisi medis antara lain :

1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

ADHD adalah suatu kelainan neurobehaviour yang terjadi sekitar 5%

(7)

Manual IV (DSM-IV) of the American Psychiatric Association (APA) adalah

mereka yang :

1. Tidak memberikan perhatian 2. Hiperaktif atau impulsive

3. Kombinasi dari (1) dan (2), yang dimana paling banyak ditemuka n.

Pengobatan yang paling umum untuk mengobati ADHD adalah dengan menggunakan obat stimulan. Meskipun penggunaan obat stimulan untuk mengobati ADHD terlihat tidak biasa, tetapi sebenarnya obat stimulan juga memiliki efek penenang pada anak yang menderita ADHD (Brenner, 2010).

Beberapa opsi pengobatan pada ADHD antara lain adalah campuran Amfetamin, Metamfetamin, Dextroamfetamin, Metilfedinat, Lisdexamfetamin, atau Atomoxetin (The MTA Coorperative Group, 1999).

2. Narkolepsi

Narkolepsi adalah gangguan pola tidur yang ditandai dengan kebanyakan tidur pada siang hari (excessive daytime sleepiness) bahkan setelah tidur malam yang cukup. Penyebab pasti terjadinya narkolepsi belum sepenuhnya diketahuinya, namun beberapa studi menyatakan bahwa kelainan genetik memegang peranan penting (National Health Service, 2010).

Katapleksi, kebanyakan tidur pada siang hari, serangan tidur, halusinasi, paralisis otot sementara dan automatic behavior merupakan gejala dari narkolepsi. Pada saat ini, masih belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan narkolepsi, namun ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengurangi defek dari narkolepsi yaitu dengan melatih kebiasaan tidur, mengubah gaya hidup, dan menggunakan obat stimulan yang bekerja dengan cara merangsang sistem saraf pusat sehingga menjaga penderita narkolepsi tetap terbangun pada saat melakukan aktivitasnya (National Health Service, 2010). Campuran Amfetamin, Dextroamfetamin, Metilfenidat, Modafinil, dan Armodanifil adalah obat stimulan yang diindikasikan untuk pengobatan narkolepsi (Brenner, 2010).

(8)

Obesitas didefinisikan sebagai peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh (Dorland, 2002). Obesitas merupakan masalah kesehatan yang penting pada negara yang sedang berkembang dan Amfetamin merupakan obat pertama yang digunakan untuk menurunkan kelebihan berat badan. Metamfetamin hanya diindikasikan pada penggunaan jangka pendek untuk mengatasi obesitas akibat faktor eksogen. Fenteramin dan Sibutramin merupakan derivat dari Amfetamin yang digunakan sebagai penekan nafsu makan. Obat-obat tersebut juga bekerja dengan cara merangsang pusat kenyang di hipotalamus melalui mekanisme simpatomimetik. Dibandingkan dengan Amfetamin, Fenteramin dan Sibutramin menghasilkan lebih sedikit rangsangan pada sistem saraf pusat dan potensi terjadinya ketergantungan zat lebih rendah (Brenner, 2010).

2.2.7. Efek Amfetamin

Amfetamin merupakan obat simpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung, yang menyebabkan pelepasan amin endogen seperti dopamin dan noradrenalin (Katzung, 2009). Pada susunan saraf pusat, Amfetamin menstimulasi korteks serebri, striatum, sistem limbik, dan batang otak (Klawans, 1981).

Pada manusia, dengan dosis kecil atau sedang akan mempengaruhi susunan saraf pusat dengan cara (Sadock, 2007) :

- Meningkatkan kewaspadaan - Meningkatkan aktivitas lokomotor - Meningkatkan mood

- Menurunkan nafsu makan - Menimbulkan euforia

- Meningkatkan suhu tubuh (hipertermi)

Pada penggunaan dosis tinggi secara tunggal atau pemakaian yang terus menerus dengan dosis kecil selama beberapa hari, Amfetamin dapat menginduksi gangguan psikis toksik yang ditandai dengan (Sadock, 2007):

(9)

- Halusinasi auditorik

2.2.7.1. Efek Sistemik

Efek sistemik yang ditimbulkan oleh Amfetamin yaitu (Japardi, 2012): a. Gangguan kardiovaskular

Amfetamin dapat menyebabkan : - Hipertensi

- Sinus takikardi - Iskemik miokard b. Kerusakan ginjal

Amfetamin mengakibatkan Myoglobinuric Tubular Necrosis, sedangkan Metamfetamin dapat menyebabkan Proliferatif Glomerulonephritis akibat dari suatu Systemic Necrotizing Vasculitis. Biasanya terjadi bila

Amfetamin digunakan secara intravena. Keadaan ini jarang terjadi dan timbul bila terjadi overdosis. Metamfetamin merupakan golongan yang paling sering menyebabkan kerusakan ginjal.

c. Gangguan saluran pencernaan

Amfetamin dapat menyebabkan toksisitas pada kolon akibat iskemik. d. Fungsi seksual

Amfetamin mempengaruhi fungsi seksual dengan beberapa cara yang berbeda. Pada dosis rendah, Amfetamin meningkatkan performa seksual dengan cara menurunkan ansietas atau meningkatkan mood yang bersifat sementara. Dengan penggunaan Amfetamin yang berkepanjangan, fungsi ereksi, orgasme, dan fungsi ejakulasi menjadi tergangu. Meskipun tidak ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa dorongan seksual meningkat, namun pengguna selalu memiliki perasaan bahwa energinya meningkat dan dapat aktif secara seksual. Pada akhirnya, terjadi disfungsi. Laki-laki biasanya akan menjalani dua tahap yaitu dimulai dengan ereksi lama tanpa ejakulasi, kemudia kehilangan fungsi ereksi secara perlahan-lahan.

(10)

Mekanisme hipertermia yang ditimbulkan Amfetamin biasanya terjadi akibat gangguan termoregulasi. Selain itu, Amfetamin dapat menimbulkan hipertermi sentral karena hiperrefleksi otonom (meningkatkan produksi panas). Peningkatan suhu khas, berkisar 39˚ -40˚. Biasanya suhu kembali normal dalam 48-72 jam setelah pemakaian obat dihentikan, tetapi dapat menetap beberapa hari sampai minggu bila disertai ruam akibat reaksi obat. Hipertermi biasanya berhubungan dengan intoksikasi. Hipertermi merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan keadaan ini dapat reversibel.

2.2.7.2. Efek Psikiatris a. Gangguan mood

Menurut DSM IV TR, permulaan dari terjadinya gangguan mood yang

diinduksi oleh Amfetamin, dapat muncul pada saat penggunaan maupun penghentian zat. Pada umumnya, penggunaan zat dihubungkan dengan gejala seperti agresif, sedangkan penghentian zat dihuungkan dengan gejala seperti depresi (Sadock, 2007).

b. Gangguan ansietas

Amfetamin dapat menginduksi gejala yang sama seperti pada gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, dan gangguan phobia. Menurut DSM IV TR, gangguan ansietas yang diinduksi oleh Amfetamin juga muncul pada saat penggunaan dan penghentian zat (Sadock, 2007).

c. Gangguan tidur

Penggunaan Amfetamin dapat menyebabkan terjadinya insomnia dan gangguan tidur, sedangkan penghentian Amfetamin dapat menyebabkan terjadinya hipersomnolen dan mimpi buruk (Sadock, 2007).

2.2.7.3. Efek Neurologis

(11)

Gangguan kesadaran dapat terjadi pada penggunaan Amfetamin. Koma pada Amfetamin biasanya terjadi setelah kejang. Koma yang terjadi pada pengguna narkotika dapat dihubungkan dengan:

1. Overdosis, murni (jarang), campuran dengan sedative. 2. Hipoksia, edema paru, aspirasi pneumonia, pneumonia 3. Hipoglikemi

4. Postanoksik enselofati 5. Trauma

6. Kejang 7. Sepsis

Gejala fisik yang ditimbulkan antara lain : 1. Pireksia

2. Hipertensi

3. Takikardi 4. Aritmia 5. Dilatasi pupil 6. Tremor 7. Kejang

b. Gangguan pergerakkan

Chorea merupakan gangguan yang sering ditemukan. Hal ini dianggap sebagai reaksi toksik setelah pemakaian kronis. Pada dosis kecil, Amfetamin dapat menimbulkan chorea pada tungkai dan orofasial yang bersifat reversibel. Pada pengguna kronis, dapat menimbulkan chorea generalisata.

c. Gangguan pertumbuhan

Pada anak-anak, Amfetamin dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Hal ini terjadi pada pemakaian kronis. Anak-anak hanya dapat tumbuh sampai 60-75% dari normal, tetapi bila obat dihentikan makan tampak pertumbuhan anak kembali normal.

(12)

Vaskulitis sistemik ditemukan setelah pemakaian kronis intravena dan oral dari Amfetamin. Pada usia muda, proses vaskulitis terbatas pada sirkulasi serebri sehingga dapat menimbulkan sindroma stroke akut. Mekanisme terjadinya vaskulitis ini tidak jelas.

e. Stroke perdarahan

Amfetamin dapat menyebabkan perdarahan intraserebral melalui mekanisme vaskulopati ataupun hipertensi akut. Perdarahan otak dapat terjadi setelah pemakaian Amfetamin secara injeksi. Perdarahan intraserebral ataupu subaraknoid dapat terjadi pada pengguna Amfetamin. f. Kejang

Pada pengguna Amfetamin, kejang dapat timbul baik pada pemakaian pertama kali ataupun pada pemakaian kronis, biasanya akibat intoksikasi akut. Kejang dapat berupa kejang fokal, umum, tonik klonik ataupun

status epilepsi. Seluruh kasus kejang pada pemakai Amfetamin terjadi pada pemakai secara intravena.

2.3. Intoksikasi Amfetamin

Gejala intoksikasi Amfetamin dan Kokain adalah sama. Kriteria diagnosa keracunan Amfetamin dan Kokain menurut DSM IV TR juga hampir sama. Namun, pada kriteria diagnosa intoksikasi Amfetamin menurut DSM IV TR menspesifikasikan gangguan perseptual sebagai gejala dari intoksikasi Amfetamin (Sadock, 2007).

Tabel 2.1. Tabel Kriteria Diagnosa Intoksikasi Amfetamin Menurut DSM IV TR

DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Amphetamine Intoxication

A. Recent use of amphetamine or a related substance (e.g., methylphenidate). B. Clinically significant maladaptive behavioral or psychological changes

(e.g., euphoria or affective blunting; changes in sociability;

hypervigilance; interpersonal sensitivity; anxiety, tension, or anger; stereotyped behaviors; impaired judgment; or impaired social or

occupational functioning) that developed during, or shortly after, use of amphetamine or a related substance.

C. Two (or more) of the following, developing during, or shortly after, use of amphetamine or a related substance:

(13)

2. apillary dilation

3. elevated or lowered blood pressure 4. perspiration or chills

5. nausea or vomiting 6. evidence of weight loss

7. psychomotor agitation or retardation

8. muscular weakness, respiratory depression, chest pain, or cardiac arrhythmias

9. confusion, seizures, dyskinesias, dystonias, or coma

D. The symptoms are not due to a general medical condition and are not better accounted for by another mental disorder.

Specify if:

With perceptual disturbances

(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright 2000, with permission.)

2.4. Ketergantungan dan Penyalahgunaan Amfetamin (Amphetamine Dependence and Amphetamine Abuse)

Ketergantungan Amfetamin dapat menyebabkan penurunan yang drastis pada kemampuan seseorang dalam bekerja, mengabaikan kewajibannya dalam keluarga dan meningkatkan stress. Seseorang yang menyalahgunakan Amfetamin membutuhkan dosis yang semakin tinggi untuk mendapatkan efek lebih dan tanda-tanda fisik pada penyalahgunaan Amfetamin (seperti penurunan berat badan dan paranoid) hampir selalu berkembang dengan penyalahgunaan yang berkelanjutan (Sadock, 2007).

Tabel 2.2. Tabel Kriteria Diagnosa Penyalahgunaan Zat Menurut DSM IV TR

DSM-IV-TR Criteria for Substance Abuse

A. A maladaptive pattern of substance use leading to clinically significant impairment or distress, as manifested by one (or more) of the following, occurring within a 12-month period:

1. recurrent substance use resulting in a failure to fulfill major role obligations at work, school, or home (e.g., repeated absences or poor work performance related to substance use; substance-related absences, suspensions, or expulsions from school; neglect of children or household)

(14)

when impaired by substance use)

3. recurrent substance-related legal problems (e.g., arrests for substance-related disorderly conduct)

4. continued substance use despite having persistent or recurrent social or interpersonal problems caused or exacerbated by the effects of the substance (e.g., arguments with spouse about consequences of intoxication, physical fights)

B. The symptoms have never met the criteria for Substance Dependence for this class of substance.

(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright 2000, with permission.)

Tabel 2.3. Tabel Kriteria Diagnosa Ketergantungan Zat Menurut DSM IV TR

DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Substance Dependence A maladaptive pattern of substance use, leading to clinically significant impairment or distress, as manifested by three (or more) of the following, occurring at any time in the same 12-month period:

1. tolerance, as defined by either of the following:

a. a need for markedly increased amounts of the substance to achieve intoxication or desired effect

b. markedly diminished effect with continued use of the same amount of the substance

2. withdrawal, as manifested by either of the following:

a. the characteristic withdrawal syndrome for the substance (refer to Criteria A and B of the criteria sets for Withdrawal from the specific substances)

b. the same (or a closely related) substance is taken to relieve or avoid withdrawal symptoms

3. the substance is often taken in larger amounts or over a longer period than was intended

4. there is a persistent desire or unsuccessful efforts to cut down or control substance use

5. a great deal of time is spent in activities necessary to obtain the substance (e.g., visiting multiple doctors or driving long distances), use the substance (e.g., chain-smoking), or recover from its effects

6. important social, occupational, or recreational activities are given up or reduced because of substance use

(15)

recognition that an ulcer was made worse by alcohol consumption)

Specify if:

With Physiological Dependence: evidence of tolerance or withdrawal (i.e., either Item 1 or 2 is present)

Without Physiological Dependence: no evidence of tolerance or withdrawal (i.e., neither Item 1 nor 2 is present)

Course specifiers (see Table 12.1-5 for definitions): Early Full Remission

Early Partial Remission Sustained Full Remission Sustained Partial Remission On Agonist Therapy

In a Controlled Environment

(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright 2000, with permission.)

2.5. Efek Putus Obat Amfetamin

Gejala seperti ansietas, tremor, disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk, kepala pusing, keringat berlebihan, tegang otot, tegang otot perut, dan rasa lapar yang tidak puas, muncul setelah penghentian obat Amfetamin. Gejala putus obat Amfetamin pada umumnya mencapai puncak dalam dua sampai empat hari dan sembuh dalam satu minggu. Gejala putus obat yang paling serius adalah depresi, yang dapat menjadi berat setelah penggunaan Amfetamin dengan dosis tinggi yang berkelanjutan dan dapat dihubungkan dengan ide bunuh diri. Kriteria diagnosa putus obat Amfetamin menurut DSM IV TR (tabel 2.4.) menekankan bahwa keadaan disforik dan perubahan psikologi penting dalam penegakkan diagnose (Sadock, 2007).

Tabel 2.4. Tabel Kriteria Diagnosa Putus Obat Amfetamin Menurut DSM IV TR

DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Amphetamine Withdrawal A. Cessation of (or reduction in) amphetamine (or a related substance) use

that has been heavy and prolonged.

B. Dysphoric mood and two (or more) of the following physiological

changes, developing within a few hours to several days after Criterion A: 1. fatigue

(16)

4. increased appetite

5. psychomotor retardation or agitation

C. The symptoms in Criterion B cause clinically significant distress or impairment in social, occupational, or other important areas of functioning.

D. The symptoms are not due to a general medical condition and are not better accounted for by another mental disorder.

(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright 2000, with permission.)

2.6. Overdosis Amfetamin

Gambar

Gambar 2.1. Struktur dasar molekul Amfetamin (Cadwell, 1980)
Gambar 2.2. Sabu-sabu (Sulistyo, 2012)
Tabel 2.2. Tabel Kriteria Diagnosa Penyalahgunaan Zat Menurut DSM IV TR
Tabel 2.3. Tabel Kriteria Diagnosa Ketergantungan Zat Menurut DSM IV TR
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Pelestarian adalah sebuah konsep atau upaya untuk melestarikan atau melindungi sebuah obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)

Tujuan dari penulisan ini adalah membuat aplikasi yang dapat memberikan rekomendasi pemesanan iklan yang optimal, data yang saling terintegrasi, dan kalkulasi

rawat inap kelas II terhadap pelayanan keperawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut dari 86 responden secara umum sebagian besar