• Tidak ada hasil yang ditemukan

THE ANALYSIS OF HEALTH AND EDUCATIONAL EXPENDITURE AS WELL AS PDRB PER CAPITA’S INFLUENCE ON HUMAN DEVELOPMENT INDEX (Study of CitiesRegencies at East Java Province)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "THE ANALYSIS OF HEALTH AND EDUCATIONAL EXPENDITURE AS WELL AS PDRB PER CAPITA’S INFLUENCE ON HUMAN DEVELOPMENT INDEX (Study of CitiesRegencies at East Java Province)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

85

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN KESEHATAN DAN PENDIDIKAN

SERTA PDRB PER KAPITA TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

(Studi Terhadap Kabupaten/Kota di Jawa Timur)

1 Anang Wijayanto, 2 Moh. Khusaini, 3 Wildan Syafitri 1,2,3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran bidang kesehatan dan pendidikan serta PDRB per kapita terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2007-2012. (2) Mengetahui variabel dominan mana yang paling berpengaruh terhadap IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2007-2012. Variabel pengeluaran bidang kesehatan dan pendidikan masing-masing mengunakan rasio pengeluaran bidang kesehatan dan pendidikan terhadap total belanja. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, menggunakan analisis data panel dengan pendekatan Fixed Effect Model. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan dan pendidikan serta PDRB per kapita berpengaruh secara positif dan signifikan mempengaruhi IPM di kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode penelitian. Variabel pengeluaran bidang pendidikan dengan koefisien regresi sebesar 0,112 merupakan variabel yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap IPM dibandingkan variabel pengeluaran bidang kesehatan dengan koefisien regresi sebesar 0,049 maupun variabel PDRB per kapita dengan koefisien regresi sebesar 0,049.

Kata kunci: IPM, pengeluaran bidang kesehatan, pengeluaran bidang pendidikan, PDRB per kapita.

THE ANALYSIS OF HEALTH AND EDUCATIONAL EXPENDITURE AS WELL AS

PDRB PER CAPITA’S INFLUENCE ON HUMAN DEVELOPMENT INDEX

(Study of Cities/Regencies at East Java Province)

Abstract

This research aims to (1) find out what is the effect of educational and health sector expenditure as well as PDRB per capita on Human Development Index of regencies/cities in East Java Province between 2007 and 2012, (2) to find out which dominant variable has a significant impact on Human Development Index of regencies/cities in East Java province between 2007 and 2012. Variables of expenditures of health and educational sectors used ratios of health and education sector expenditures toward total expenditure. Quantitative method was used in this research, using panel data analysis with Fixed Effect Model approach. Estimation result shows that government expenditure on health and educational sectors as well as PDRB per capita has a positive and significant influence, affecting Human Development Index of cities/regencies of East Java Province during the research period. Variable of educational expenditures with its regression coefficient of 0.112 is a variable having the most dominant effect on Human Development Index, compared to that of health expenditure with its regression coefficient of 0.049 and that of PDRB with its regression coefficient of 0.049.

Keywords: Human Development Index, health sector expenditure, educational sector expenditure, PDRB per capita.

1. PENDAHULUAN

Kekayaan riil suatu bangsa bukan terletak pada berlimpahnya sumberdaya alam yang dimiliki, melainkan terletak pada kualitas sumber daya manusianya. UNDP pada edisi pertama Human Development Report (HDR) tertulis “people arethe real wealth of a nation”. Sumber daya alam memang menjadi potensi kemajuan bangsa, tetapi manusialah yang menjadikan kemajuannnya terwujud; asset make things possible, people make things happen. Dengan kata lain, kemakmuran suatu bangsa bukan

karena akumulasi kekayaan sumber daya alamnya, melainkan cara membangun sumber daya manusianya.

(2)

dari angka melek huruf penduduk dewasa/adult literacy rate dan rata-rata lama sekolah penduduk dewasa/mean years schooling) serta standar hidup layak (diukur dari kemampuan daya beli/purchasing power parity).

Dilihat dari konstruksi yang melandasi IPM, aspek kesehatan dan pendidikan memiliki peran penting untuk menciptakan sumber daya dan kemajuan. Keterbelakangan bidang kesehatan dan pendidikan akan menentukan karakter dan derajat warga negaranya. Dalam suatu sistem produksi, tingkat kesehatan dan pendidikan masyarakat merupakan input yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Kualitas pendidikan dan kesehatan merupakan penentu kemampuan warga negara untuk ikut serta dalam aktivitas ekonomi maupun partisipasinya dalam kehidupan publik. Akses terhadap kesehatan dan pendidikan merupakan bagian dari hak azasi. Dalam perspektif ini negara (pemerintah pusat dan daerah) berkewajiban menghormati, melindungi dan memenuhinya.

Kebijakan fiskal daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan warganya melalui redistribusi kekayaan negara dan pemerataan, konsekuensinya pemerintah dituntut memiliki kebijakan fiskal yang pro poor, pro job dan pro growth. Instrumen kebijakan fiskal yang penting ada pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan pengaturan distribusi pendapatannya. Anggaran yang berorientasi pada kesejahteraan harus tercermin dalam kebijakan pajak, belanja publik dan sistem jaminan sosial, di ketiga kebijakan inilah anggaran yang pro poor, pro job dan pro growth akan terlihat.

Fungsi redistribusi salah satunya melalui alokasi anggaran pada bidang kesehatan dan pendidikan. Alokasi anggaran bidang kesehatan dan pendidikan dalam anggaran pembangunan nasional atau daerah masuk dalam kategori belanja sosial. Salah satu yang menyebabkan kegagalan pembangunan manusia adalah rendahnya belanja sosial untuk kedua bidang ini, meskipun diakui peran strategisnya dalam pembangunan secara umum. Pemerintah daerah mempunyai kebijakan yang berbeda dalam meningkatkan sumber daya manusianya, hal ini nampak dalam menganggarkan belanjanya pada bidang kesehatan dan pendidikan serta hasil yang diperolehpun berbeda-beda.

Dilihat dari sisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), PDRB berkaitan dengan IPM, dapat dikatakan IPM merupakan pengukuran kesejahteraan yang disempurnakan. PDRB sendiri diartikan sebagai nilai dari jumlah barang dan jasa dalam perekonomian suatu daerah. Namun demikian, dua pengukuran tersebut seharusnya sejalan, artinya peningkatan PDRB harus disertai peningkatan pemerataan pendapatan dan alokasi atas aktivitas yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga akan meningkatkan IPM.

Di wilayah Jawa Timur sendiri, IPM tertinggi tahun 2012 dicapai oleh Kota Malang, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Sampang. Namun Kabupaten Sampang memiliki peningkatan IPM tertinggi selama tahun 2007-2012, padahal Kabupaten Sampang sendiri bukan daerah dengan peningkatan belanja fungsi kesehatan dan pendidikan tertinggi. Daerah dengan peningkatan belanja fungsi kesehatan dan pendidikan tertinggi selama tahun 2007-2012 adalah Kota Surabaya, meskipun pencapaian IPM Kota Surabaya sendiri pada tahun 2012 termasuk yang tertinggi di Jawa Timur tetapi peningkatannya tidak termasuk yang tertinggi di Jawa Timur selama tahun 2007-2012.

Belanja sosial sangat penting perannya,

sehingga harus dilakukan dengan benar oleh negara. Investasi sosial pada bidang kesehatan dan pendidikan secara signifikan akan memperbaiki kualitas hidup termasuk mengkoreksi ketimpangan struktural yang menyertainya. Pendidikan yang tinggi akan memperbesar peluang memperoleh pendapatan yang tinggi, memperluas mobilitas tenaga kerja, menurunkan angka bayi lahir mati, meningkatkan angka bayi lahir hidup dan meningkatkan kesehatan keluarga. Selanjutnya kesehatan dan pendidikan yang baik pada gilirannya akan menurunkan biaya hidup keluarga. Sedangkan penghematan biaya kesehatan dan pendidikan dapat digunakan untuk konsumsi barang dan jasa lain serta dapat digunakan sebagai investasi dalam pengeluaran rumah tangga.

Prabowo (2011) menunjukkan variabel PDRB per kapita memiliki pengaruh yang paling besar terhadap IPM jika dibandingkan variabel pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan, kemudian Razmi (2012) menunjukkan pengeluaran kesehatan pemerintah memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap IPM. Astri, Nikensari dan Kuncara (2012) menunjukkan

Tabel 1

Perbandingan IPM, Belanja Fungsi Kesehatan dan Pendidikan serta PDRB antar Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun

2007-2012

Sumber: BPS, DJPK Kemenkeu, 2007-2012, diolah Ket:*IPM Tertinggi Tahun 2012

**IPM Terendah Tahun 2012

(3)

pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap IPM, Sedangkan pengeluaran pada sektor kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IPM. Pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan dan kesehatan secara serempak berpengaruh positif dengan ditunjukkannya koefisien yang positif pada dua variabel diatas, sehingga tetap memberikan pengaruh yang signifikan terhadap IPM meskipun dengan tingkat pengaruh yang rendah.

Adanya hasil berbeda tentang variabel determinan mana yang mempengaruhi IPM, sehingga menarik untuk diteliti pengeluaran pemerintah daerah bidang kesehatan atau bidang pendidikan dan atau PDRB per kapita yang secara spesifik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IPM sebagai ukuran capaian pembangunan manusia suatu daerah. Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimana pengaruh pengeluaran bidang kesehatan dan pendidikan serta PDRB per kapita kabupaten/kota di Jawa Timur terhadap IPM kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun 2007-2012? (2) Variabel dominan mana yang paling berpengaruh terhadap IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2007-2012?

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran bidang kesehatan dan pendidikan serta PDRB per kapita kabupaten/kota di Jawa Timur terhadap IPM kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun 2007-2012. (2) Untuk mengetahui variabel dominan manakah yang paling berpengaruh terhadap IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2007-2012.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Konsep Pembangunan Manusia

Sumber daya manusia merupakan modal dasar dari kekayaan suatu bangsa. Modal fisik dan sumber daya alam hanyalah faktor produksi yang bersifat pasif, manusialah yang merupakan agen aktif yang akan mengumpulkan modal, mengeksploitasi sumber daya alam dan melaksanakan pembangunan nasional (Todaro dan Smith, 2004). Dengan modal manusia yang berkualitas, kinerja ekonomi diyakini akan lebih baik. Kualitas modal manusia ini dapat diamati dari berbagai aspek tingkat pendidikan, kesehatan dan tingkat kemiskinan. Demi memacu pertumbuhan ekonomi perlu pula dilakukan pembangunan manusia, sehingga dibutuhkan kebijakan dari pemerintah yang dapat mendorong kualitas sumber daya manusia.

UNDP (1990), menyampaikan bahwa pembangunan manusia adalah penegasan suatu upaya untuk memperluas pilihan-pilihan bagi manusia yang bertujuan untuk mencapai

kesejahteraan. Pembangunan manusia melihat secara bersama semua isu dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Konsep pembangunan manusia memiliki dua sisi. Sisi pertama berupa informasi kapabilitas manusia seperti perbaikan taraf kesehatan, pendidikan dan keterampilan. Sedangkan sisi lainnya adalah pemanfaatan kapabilitas mereka untuk kegiatan-kegiatan yang produktif, kultural, sosial dan politik. Jika kedua sisi itu tidak seimbang maka berakibat ketidakseimbangan hidup yang dapat memicu kegelisahan manusia.

Beberapa dimensi pembangunan manusia bersifat fleksibel dan dinamis. Sifat fleksibel dan dinamis tersebut sebagai upaya agar konsep pembangunan manusia bersifat universal dan dapat diterapkan di semua negara yang memiliki beragam latar belakang budaya, etnis, agama dan kemajuan ekonominya. Bersifat fleksibel dimaknai agar berbagai dimensi pembangunan manusia dapat disesuaikan dan tergantung kebutuhan tiap negara. Dinamis artinya pemikiran dimensi pembangunan manusia tidak statis dan berhenti di satu titik, melainkan akan terus berkembang sesuai dengan kemajuan pemikiran dan peradaban manusia.

Dari beberapa dimensi pembangunan manusia, ada tiga dimensi yang dapat dijadikan dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu: umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan serta standar hidup layak. Apabila tiga dimensi utama ini telah terpenuhi maka diasumsikan manusia dapat memperluas ke dimensi yang lain seperti partisipasi dalam proses politik, mengembangkan kreativitas dan produktivitas, dan lain-lainnya. Karena hanya mencakup tiga dimensi, maka IPM harus dilihat sebagai suatu penyederhanaan dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan manusia. Pendukung indeks berpendapat bahwa IPM memberikan suatu ukuran yang lebih menyeluruh pada pembangunan manusia secara keseluruhan karena adanya tambahan informasi mengenai bidang kesehatan dan pendidikan untuk melengkapi statistik PDB yang sudah ada (Özcan dan Bjørnskov, 2011).

2.2.Konsep Pengeluaran Pemerintah

(4)

Beberapa model perkembangan pengeluaran pemerintah menurut Mangkoesoebroto (2012), antara lain: model Rostow dan Musgrave, model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi masih besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti: pendidikan, kesehatan, transportasi dan sebagainya. Pada tahap menengah, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

Teori perkembangan peranan pemerintah yang dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave adalah suatu pandangan yang timbul dari pengamatan berdasarkan pembangunan ekonomi yang dialami banyak negara. Musgrave dan Rostow menunjukkan bahwa tiap tahapan pembangunan menuntut pengeluaran pemerintah yang semakin besar dan semakin luasnya peranan investasi swasta dalam infrastruktur mendorong pemerintah untuk fokus pada penyediaan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Teori lain tentang pengeluaran pemerintah dari Wagner, substansi dasar teori ini adalah perkembangan persentase pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap PDB. Wagner menyatakan dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan ‘The Law of Expanding State Expenditure’. Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, antara lain: kesehatan, pendidikan, hukum, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut organic theory of state, yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari masyarakat lain.

Teori lain dari Peacock dan Wiseman, teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan penerimaan dari pajak, padahal masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar. Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak yaitu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk

membiayai pengeluaran pemerintah. Pertumbuhan ekonomi menyebabkan pungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Jadi dalam keadaan normal kenaikan PDB akan meningkatkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

Berdasarkan pendapat dari Musgrave dan Rostow, Wagner serta Peacock dan Wiseman maka dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah selalu mengalami kenaikan seiring dengan perkembangan waktu. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan manusia melalui penyediaan pelayanan dasar akan sangat mempengaruhi kualitas human capital di masa mendatang. Suharto (2009), negara (dalam hal ini pemerintah) berkewajiban untuk menjamin dan melindungi warganya melalui sistem hukum serta menyediakan pelayanan dasar guna memenuhi hak-hak penduduknya. Pelayanan dasar yang mencakup di dalamnya pelayanan publik seperti layanan bidang kesehatan dan pendidikan akan mempunyai pengaruh pada pembangunan manusia. Pelayanan publik dalam hal ini tidak hanya penyediaan alokasi anggaran bidang kesehatan dan pendidikan, tetapi juga memberikan kemudahan untuk mengakses pelayanan dan fasilitas layanan, utamanya untuk kelompok penduduk yang kurang mampu. Dengan demikian pelayanan publik untuk pelayanan dasar juga merupakan kebijakan yang pro poor yang mempunyai dampak untuk menurunkan kemiskinan.

2.3.Hubungan Antara Pengeluaran Pemerintah Bidang Kesehatan Terhadap IPM

Umur panjang dan hidup sehat (long healthy life) adalah salah satu dimensi dalam pembangunan manusia, kesehatan adalah syarat mutlak bagi penduduk (individu maupun keluarga) untuk mencapai dimensi yang lain, seperti pengetahuan maupun standar hidup yang layak. Dengan kualitas kesehatan yang baik, maka penduduk suatu negara akan dapat mengoptimalkan segala potensinya baik berupa ide dan pemikiran maupun keterampilan untuk terus mencapai kehidupan yang lebih baik.

Peran pemerintah adalah menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai baik berupa sarana maupun prasarana kesehatan. Peran pemerintah tersebut ditentukan oleh ketersediaan anggaran pemerintah pusat maupun daerah, semakin besar alokasi pengeluaran kesehatan yang disediakan pemerintah, maka semakin tinggi pula kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sehingga secara otomatis pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan ini akan berpengaruh terhadap kualitas kesehatan masyarakatnya.

(5)

karena diiringi perbaikan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan, selain itu perbaikan bidang kesehatan akan meningkatkan daya tarik investasi, meningkatnya tingkat pendidikan dan kebutuhan akan pelatihan keterampilan serta motivasi untuk belajar. Implikasi dari meningkatnya kemampuan untuk belajar menjadikan orang akan lebih berusaha untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang lebih baik. Peningkatan pengeluaran kesehatan akan terkait dengan peningkatan kemampuan untuk belajar dan meningkatkan umur panjang sehingga akan meningkatkan pembangunan manusia (Razmi, 2012). Dengan demikian semakin besar pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan akan meningkatkan kesehatan masyarakat yang pada gilirannnya akan meningkatkan indeks harapan hidup dalam IPM.

2.4.Hubungan Antara Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan Terhadap IPM

Pendidikan merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia. Alhumami (2005) mengemukakan pendapat Schweke (2004) bahwa pendidikan bukan saja melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu investasi di bidang pendidikan tidak saja bermanfaat bagi manusia secara individu, tetapi juga komunitas bisnis dan masyarakat umumnya. Dimensi pengetahuan sebagai salah satu komponen utama IPM diukur dengan indeks pendidikan.

Besarnya anggaran atau pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan akan menentukan besarnya jumlah penduduk miskin dan terpencil yang akan dijangkau oleh pendidikan melalui beasiswa atau sekolah murah, akses terhadap teknologi pendukung pendidikan, ketersediaan ruang sekolah setiap jenjang setiap warga negara, ketersediaan tenaga pendidik serta peningkatan kualitas tenaga pendidik.

Peran pemerintah dalam mendukung dan menyediakan fasilitas pendidikan sangat penting dalam meningkatkan capaian kualitas pendidikan. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan berbagai dukungan dan infrastruktur pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusia pemerintah dan utamanya anggaran pendidikan. Semakin besar alokasi anggaran bidang pendidikan maka akan semakin besar pula kuantitas dan kualitas pendidikan yang akan diterima oleh penduduk, dengan demikian terdapat keterkaitan antara pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dengan IPM.

2.5.Hubungan Antara PDRB Per Kapita Terhadap IPM

Masyarakat yang lebih sehat, dipelihara dengan baik dan berpendidikan akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Tingginya

pembangunan manusia akan mempengaruhi ekonomi melalui peningkatan kapabilitas dan produktivitas tenaga kerja. Peningkatan kapabilitas dan produktivitas tenaga kerja akan mempengaruhi kegiatan produksi yang pada akhirnya mempengaruhi komposisi output dan kemudian akan memberikan rangsangan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi akan berdampak efektif pada pembangunan manusia jika dikelola dengan benar. Dalam proses pertumbuhan ekonomi, hal ini akan menjadi penting ketika berdampak bagi kehidupan manusia dan pembangunan manusia pada berbagai tingkatan ekonomi secara keseluruhan. Ranis (2004) dalam Razmi (2012) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan menyediakan sumber daya yang menghasilkan pembangunan manusia yang berkelanjutan karena pertumbuhan ekonomi berdampak pada meningkatnya pendapatan, memperluas pilihan-pilihan bagi keluarga dan pemerintah, sehingga akan meningkatkan tingkat pembangunan manusia.

PDRB sebagai indikator pertumbuhan ekonomi disebut juga dengan pendapatan regional. Peningkatan PDRB seharusnya disertai peningkatan pemerataan pendapatan, pemerataan pendapatan dapat mempengaruhi pembangunan manusia khususnya melalui aktivitas daya beli (pengeluaran) rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga cenderung terlebih dahulu untuk kebutuhan yang berkontribusi langsung terhadap pembangunan manusia seperti makanan, pakaian dan pemenuhan minimal akan kesehatan dan pendidikan. Kemudian apabila terdapat peningkatan pendapatan rumah tangga akan dibelanjakan untuk kebutuhan tersier seperti rumah, kendaraan kemudian kesehatan dan pendidikan pada tingkatan yang lebih baik.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, penelitian dilakukan di Jawa Timur dengan menggunakan unit analisis tingkat kabupaten dan kota. Penelitian menggunakan data panel yang merupakan gabungan data cross section berjumlah 38 kabupaten/kota di Jawa Timur dan data time series tahun 2007-2012. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data capaian IPM, data belanja fungsi kesehatan dan pendidikan serta data PDRB per kapita atas dasar harga berlaku kabupaten/kota di Jawa Timur.

Model penelitiannya sebagai berikut:

IPMit = β1 + β2KESit + β3PENDit +

β4PDRBPerkapitait + μit………...…(1) dimana:

(6)

KESit = Pengeluaran bidang kesehatan menurut rasio belanja fungsi kesehatan terhadap total belanja pemerintah kabupaten/kota i di Jawa Timur pada tahun t (dalam %). PENDit = Pengeluaran bidang pendidikan

menurut rasio belanja fungsi pendidikan terhadap total belanja pemerintah kabupaten/kota i di Jawa Timur pada tahun t (dalam %). PDRB

Perkapitait

= PDRB menurut PDRB per kapita atas dasar harga berlaku kabupaten/kota i di Jawa Timur pada tahun t (dalam juta rupiah).

Untuk menganalisis data panel maka digunakan Fixed Effect Model. Pertimbangan digunakannya Fixed Effect Model karena mempunyai beberapa kelebihan, seperti Fixed Effect Model dapat membedakan efek individual dan efek waktu serta Fixed Effect Model juga tidak perlu mengasumsikan bahwa komponen error tidak berkorelasi dengan variabel bebas yang mungkin sulit dipenuhi.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji dengan menggunakan perhitungan regresi linear berganda untuk memprediksi besarnya hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas adalah sebagai berikut:

Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,990 atau 99,0% menggambarkan variabel bebas pengeluaran bidang kesehatan, pengeluaran bidang pendidikan dan PDRB per kapita mampu menjelaskan variabel terikat (IPM) sebesar 99%, selebihnya sebesar 1% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Dengan nilai R2 sebesar 0,990 (mendekati 1) dapat dikatakan hasil estimasi memenuhi uji kesesuaian dari aspek koefisien determinasi.

Pengujian uji simultan (F-statistik) menghasilkan F-hitung sebesar 474,339 dan Sig. F = 0,000. Jadi, F-hitung > F-tabel (474,339 > 2,645) dan Sig. F sebesar 0,000, yang jauh lebih kecil dari nilai α 0,05 (0,000 < 0,05). Maka secara simultan variabel pengeluaran bidang kesehatan, pengeluaran bidang pendidikan dan PDRB per kapita mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel IPM. Sehingga hasil estimasi memenuhi uji kesesuaian model untuk uji simultan.

Uji individual (t-test) dari masing-masing variabel bebas sebagai berikut:

a. Nilai t-hitung variabel pengeluaran bidang kesehatan sebesar 2,488, lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel sebesar 1,971. Nilai t-hitung variabel ini memiliki p-value sebesar 0,014 yang lebih kecil dari α 0,05. Dengan demikian variabel pengeluaran bidang kesehatan secara individual memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IPM.

b. Nilai t-hitung variabel pengeluaran bidang pendidikan sebesar 15,446 lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel yang sebesar 1,971. Nilai t-hitung variabel ini memiliki p-value sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α 0,05. Dengan demikian variabel pengeluaran bidang pendidikan secara individual memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IPM.

c. Nilai t-hitung variabel PDRB per kapita sebesar 7,394, lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel yang sebesar 1,971. Nilai t-hitung variabel ini memiliki p-value sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α 0,05. Dengan demikian variabel PDRB per kapita secara individual memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IPM.

4.1. Hasil Estimasi

Hasil regresi model adalah sebagai berikut: Y = 64,605 + 0,049 KES + 0,112 PEND + 0,049

PDRBPerkapita + e

Sehingga dapat diketahui:

a. Koefisien regresi pengeluaran bidang kesehatan sebesar 0,049 menunjukkan besaran pengaruh perubahan pengeluaran bidang kesehatan terhadap IPM. Pengaruh positif menunjukkan jika pengeluaran bidang kesehatan bertambah sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan IPM sebesar 0,049 satuan.

b. Koefisien regresi pengeluaran bidang pendidikan sebesar 0,112 menunjukkan besaran pengaruh perubahan pengeluaran bidang pendidikan terhadap IPM. Pengaruh positif menunjukkan jika pengeluaran bidang pendidikan bertambah sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan IPM sebesar 0,112 satuan.

c. Koefisien regresi PDRB per kapita sebesar 0,049 menunjukkan besaran pengaruh perubahan PDRB per kapita terhadap IPM. Pengaruh positif Tabel 2

Hasil Uji Regresi Linier Berganda

Variabel Bebas Koefisien Regresi t hitung Sig. t Keterangan

Konstanta 64,605 237,191 0.000 Signifikan KES 0,049 2,488 0.014 Signifikan PEND 0,112 15,446 0.000 Signifikan PDRBPerkapita 0,049 7,394 0.000 Signifikan t tabel = t(224,5%) = 1,971

R-square = 0,990 F hitung = 474,339

Sig. F = 0,000

F tabel =

F(3,224,5%) = 2,645 Redundant

Fixed Effect Cross –section F

= 0,000

Redundant Fixed Effect Cross –section Chi Square

= 0,000

(7)

menunjukkan jika PDRB per kapita bertambah sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan IPM sebesar 0,049 satuan.

4.2. Analisis Hasil Uji

Pengaruh pengeluaran bidang kesehatan terhadap pembangunan manusia dapat dijelaskan sebagai berikut, semakin lama hidup yang dijalani akan merefleksikan semakin tinggi derajat kesehatan karena adanya perbaikan kuantitas dan kualitas layanan kesehatan. Penyediaan anggaran digunakan untuk mendukung penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai baik berupa sarana maupun prasarana kesehatan, seperti rumah sakit, dokter, bidan, puskesmas, puskesmas pembantu dan posyandu serta berbagai layanan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin. Semakin besar alokasi pengeluaran kesehatan yang disediakan pemerintah, diharapkan semakin tinggi pula kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Peningkatan pengeluaran kesehatan akan terkait dengan peningkatan kemampuan untuk belajar dan meningkatkan umur panjang sehingga akan meningkatkan pembangunan manusia (Razmi, 2012). Implikasi dari meningkatnya kemampuan untuk belajar menjadikan orang akan lebih berusaha untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang lebih baik. Pencapaian aspek bidang kesehatan ini akan memperluas pilihan-pilihan dimensi lain dalam pembangunan manusia.

Usaha pemerintah daerah untuk selalu meningkatkan rasio pengeluaran kesehatannya, sehingga sejalan dengan capaian bidang kesehatan yang mempunyai pengaruh terhadap capaian IPM. Dimensi umur panjang dan hidup sehat

mencerminkan aspek kesehatan, pada cakupan yang lebih luas merupakan ukuran kinerja pemerintah untuk meningkatkan IPM. Indikator yang digunakan untuk mengukur capaian dimensi umur panjang dan hidup sehat adalah angka harapan hidup. Sedangkan angka harapan hidup sendiri akan menjadi ke indeks harapan hidup yang merupakan indeks bagi dimensi umur panjang dan hidup sehat dalam IPM.

Razmi (2012) mengemukakan kesehatan tidak hanya dianggap sebagai komponen modal manusia, tetapi juga secara simultan dan independen kesehatan telah masuk ke model pertumbuhan begitu juga dampaknya. Adanya pengaruh positif dan signifikan pengeluaran kesehatan pemerintah terhadap IPM dikarenakan pengeluaran kesehatan merupakan layanan yang digunakan untuk pencegahan penyakit. Porsi anggaran digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, kesadaran masyarakat, promosi kesehatan dan pengembangan peran organisasi non pemerintah yang aktif dalam kesehatan. Selanjutnya Martins dan Veiga (2013) mengemukakan pengeluaran bidang kesehatan memiliki hubungan kurva-U terbalik dengan pembangunan manusia, artinya semakin tinggi pengeluaran kesehatan akan semakin naik pula pencapaian pembangunan manusianya.

Variabel pengeluaran bidang pendidikan dalam penelitian ini merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi IPM jika dibandingkan variabel bebas lainnya, karena investasi pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan pembangunan manusia sehingga tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dapat tercapai. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai masalah krusial seperti masalah pengangguran, kriminalitas dan kesenjangan kesejahteraan yang menjadi beban bagi pemerintah. Dengan demikian, pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan yang merupakan investasi jangka panjang harus didukung dengan pembiayaan yang memadai dan merata.

Peningkatan pengeluaran untuk pendidikan dasar dapat memastikan bahwa manfaat dari belanja sosial yang didistribusikan secara merata akan mempercepat pembangunan manusia (Gupta, Clements dan Tiongson, 1998). Selanjutnya Astri, Nikensari dan Kuncara (2012) mengemukakan bahwa pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap IPM, dimana setiap terjadi perubahan pada pengeluaran maka akan diikuti oleh perubahan IPM. Senada dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan harus diikuti oleh pemerintah daerah dengan menaikkan anggaran sebesar 20% dari APBD, maka akan semakin mempengaruhi pengeluaran pemerintah bidang pendidikan terhadap IPM.

Gambar 1: Rata-Rata Rasio Belanja Fungsi Kesehatan Terhadap Total Belanja dan Rata-Rata IPM

Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2007-2012 8.75 9.53 10.26 10.68 10.74 11.32 69.09 69.58 70.14 70.71 71.29 71.87

0 10 20 30 40 50 60 70 80

2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rata-Rata Rasio Belanja Fungsi Kesehatan Terhadap Total Belanja (%)

(8)

Pengeluaran masyarakat untuk pendidikan yang relatif kecil seperti halnya pengeluaran kesehatan, sehingga aspek lain yang dapat membantu masyarakat dalam pengeluaran pendidikan adalah peran serta pemerintah. Peran pemerintah dalam mengalokasikan anggarannya di bidang pendidikan mutlak diperlukan untuk mendukung peran sertanya dalam membantu masyarakat.

Usaha pemerintah daerah untuk selalu meningkatkan rasio pengeluaran pendidikannya agar tujuan pembangunan bidang pendidikan yang mempunyai pengaruh terhadap capaian IPM tercapai. Pemerintah melalui alokasi anggarannya dapat meningkatkan ketersediaan fasilitas pendidikan seperti bangunan sekolah, buku, kebutuhan laboratorium, program wajib belajar hingga subsidi berupa beasiswa untuk siswa yang kurang mampu. Dengan demikian, kebijakan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan merupakan investasi yang secara langsung dapat memperbaiki kualitas manusia sekaligus meningkatkan IPM.

Pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan yang relatif besar mutlak dilakukan terutama untuk mengejar ketertinggalan bidang pendidikan. Selain itu, peningkatan pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan suatu kebijakan yang pro poor yang akan membawa dampak positif terhadap penurunan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan penduduk serta dampak positif lainnya, yaitu dengan semakin menurunnya ketimpangan pendapatan antar penduduk di suatu daerah. Dampak lainnya adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia agar memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menguasai teknologi. Kualitas pendidikan yang baik dapat meningkatkan imajinasi dan kreativitas yang akan memacu inovasi agar bisa bersaing di pasar global, sehingga pengeluaran bidang pendidikan akan

bermanfaat bagi individu dan komunitas bisnis serta masyarakat umumnya.

Kondusifnya perekonomian seharusnya menciptakan iklim usaha yang akan menghasilkan produk yang lebih baik dan lebih banyak, sehingga terdapat kesempatan penduduk untuk meningkatkan pendapatan yang akan meningkatkan daya beli. Kenaikan pendapatan per kapita akan meningkatkan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan (Arsyad, 2004). Kenaikan PDRB per kapita yang disertai pemerataan pendapatan akan menjadikan pengeluaran rumah tangga untuk makanan, pakaian, pendidikan dan kesehatan menjadi lebih baik.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Sektor industri adalah sektor yang paling rentan ketika terjadi kenaikan harga energi. Ketika harga energi mengalami kenaikan akan membuat konsumsi energi sektor industri menurun. Hal ini terjadi karena sektor ini memperhitungkan biaya produksi (cost of production) dalam kegiatan produksinya. Kemudian terkait dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa naiknya pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan konsumsi energi di sektor industri. Jadi produk domestik bruto (PDB) sangat erat hubungannya dengan konsumsi energi, sehingga dapat diperkirakan berapa kenaikan konsumsi energi yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat output nasional tertentu.

Di sisi yang lain, perubahan harga energi ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap pola konsumsi sektor rumah tangga. Kenaikan harga energi tidak membuat tingkat konsumsi energi di sektor ini menurun, namun justru tetap atau bahkan meningkat. Hal ini terjadi karena komoditi energi di sektor rumah tangga sudah menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan sehari-hari. PDB per kapita secara signifikan mempengaruhi tingkat konsumsi sektor rumah tangga dan menunjukkan hubungan yang negatif. Hubungan negatif ini terjadi karena masih disubsidinya komoditi energi sehingga porsi belanja energi atas pendapatan konsumen juga semakin sedikit. Selain itu sektor ini juga secara bertahap mengurangi konsumsi salah satu komoditi energi yaitu minyak tanah, dan berpindah ke LPG 3 kg. Terkait pengaruh perubahan tingkat suku bunga deposito terhadap tingkat konsumsi energi sektor rumah tangga menunjukkan bahwa ketika suku bunga deposito naik, sektor rumah tangga cenderung mengurangi konsumsi energinya, begitu pula sebaliknya. Apalagi dengan masih disubsidinya beberapa komoditi energi telah menimbulkan efek pendapatan dan memunculkan opportunity cost yang dialokasikan ke dalam bentuk simpanan ketika suku bunga deposito naik.

Gambar2: Rata-Rata Rasio Belanja Fungsi Pendidikan Terhadap Total Belanja dan Rata-Rata IPM

Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2007-2012

33.15 34.57 36.15 35.65

44.29 44.34

69.09 69.58 70.14 70.71 71.29 71.87

0 20 40 60 80

2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rata-Rata Rasio Belanja Fungsi Pendidikan Terhadap Total Belanja (%)

(9)

5.2. Saran

Sektor industri adalah sektor yang paling rentan terhadap kenaikan harga energi. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melindungi sektor industri atas gejolak harga energi yang terjadi. Kenaikan harga energi yang tinggi memaksa perusahaan untuk menaikkan harga barang dan bisa mengkibatkan konsumen tidak mau membeli atau malah beralih ke produk impor yang lebih murah. Sektor industri perlu diberi keringanan demi mempertahankan keberlangsungan produksi. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dari tahun ke tahun subsidi bagi sektor industri sudah banyak yang dikurangi dan dicabut. Kedepan, hendaknya sektor ini lebih banyak diberikan insentif agar mampu bertahan ditengah gejolak harga energi. Pemberian insentif fiskal dan non fiskal tentu akan berdampak besar bagi sektor industri karena akan terjadi penurunan biaya di satu sisi meski biaya produksi untuk energinya naik. Akan lebih bagus lagi ketika insentif tersebut berfungsi untuk pengembangan teknologi dan pembangunan kualitas pekerja, karena dua hal tersebut sangat mempengaruhi produktivitas.

Untuk sektor rumah tangga, pemerintah perlu mengurangi subsidi beberapa komoditi energi secara bertahap, karena disamping untuk mengamankan APBN juga sebagai langkah pengembangan energi alternatif. Selama ini paket kebijakan ekonomi dinilai tidak tepat sasaran. Subsidi justru dinikmati oleh kalangan menengah ke atas dan menghambat program pengembangan energi alternatif yang mana tujuannya adalah mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Selain itu, ada baiknya jika sebagian subsidi energi di sektor ini dialokasikan ke sektor infrastruktur, pendidikan dan kesehatan karena infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia (pembentukan human capital) adalah salah satu kunci dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

6. DAFTAR PUSTAKA

Ackley, Gardner. 1982. Teori Ekonomi Makro. Terjemahan Paul Sitohang. UI-Press: Jakarta.

Adjaye, John A. 2000. The Relationship between Energy Consumption, Energy Prices and Economic Growth: time series evidence from asian developing countries. Department of Economics. The University of Queensland, Brisbane. Australia.

Alam, M.S. 2006. Economic Growth with Energy. Northeastern University, Boston. MPRA. Alberini, Anna., Massimo, Filippini. 2010. Response

of Residential Electricity Demand to Price : The Effect of Measurement Error. Center for Energy Policy and Economics Swiss Federal Institutes of Technology. Working Paper No. 75 : Zurich.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Edisi Revisi VI. PT Rineka Cipta : Jakarta. Asmara, Alla., Oktaviani, Rina., Kuntjcoro., Firdaus,

M. 2011. Volatilitas Harga Minyak Dunia dan Dampaknya Terhadap Kinerja Sektor Industri Pengolahan dan Makroekonomi Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. Volume 29 No.1 : 49-69. IPB.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2012. Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi 2012. Balai Besar Teknologi Energi. Jakarta (diakses melalui www.bppt.go.id). Badan Pusat Statistik. Produk Domestik Bruto.

Diakses melalui www.bps.go.id (20 Desember 2013).

Belke, Ansgar., Frauke, Dobnik., Christian, Dreger. 2011. Energy Consumption and Economic Growth : New Insight into the Cointegration Relationship. Elsevier : Energy Economics (www.elsevier.com). Bhakti, Diana. 2011. Permintaan Energi Rumah

Tangga di Pulau Jawa. IPB : Bogor. Bhinadi, Ardito. 2003. Disparitas Pertumbuhan

Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Vol. 8 No. 1, Juni. Yogyakarta. Boediono. 1985. Teori Pertumbuhan Ekonomi.

BPFE. Yogyakarta.

BP Energy Outlook 2030. 2012. British Petroleum : London.

Chambers, R.G., Kenneth E. McConnell. 1983. Decomposition and Additivity in Price-Dependent Demand Systems. American Journal of Agriculture Economics. Vol. 65, August 1983, pp.506-602.

Christensen, L.R., Dale W. Jorgenson., Lawrence J. Lau. 1975. Transcendental Logarithmic Utility Functions. The American Economic Review. Vol. 65, No. 3, June 1975, pp. 367-383.

Clements, B., Jung, H-S. & Gupta, S. 2007. Real and Distributive Effects of Petroleum Price Liberalization: The Case of Indonesia. The Developing Economies, 45(2), 220-237. Juni.

Clements, K.W., Antony, Selvanathan., Saroja, Selvanathan. 1996. Applied Demand Analysis : A Survey. The Economic Record. Vol.72, No. 216, March 1996, pp.63-81. Cooper, John C.B. 2003. Price Elasticity of Demand

for Crude Oil : Estimates for 23 Countries. Organization of the Petroleum Exporting Countries. Department of Economics : Glasgow Caledonian University. Scotland. Cooper, R.J., Keith R. McLaren. 1992. An

(10)

Delorme, C.D., Ekulend, R.B. 1993. Macroeconomics. PBI Inc. Texas.

Dornbusch, R., Fisher, S. 1994. Makroekonomi. Edisi IV. Alih Bahasa Mulyadi, JA. Penerbit Erlangga : Jakarta.

Elinur., DS, Priyarsono., Mangara, Tambunan., Muhammad, Firdaus. 2010. Perkembangan Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia. Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) : Volume 2, Nomor 1, Desember 2010. Ellis, Jennifer. 2009. Untold Billions : Fossil Fuel

Subsidies, Their Impact, and Path to Reform. Global Subsidies Initiative of the International Institute for Sustainable Development. Geneva.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Multivariat dengan Program SPSS. Edisi Ketiga. Universitas Diponegoro. Semarang.

Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate

dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang

Hanemann, W.M. 1991. Willingness to Pay and Willingness to Accept : How Much Can They Differ? The American Economic Review. Vol. 81, No. 3, June 1991, pp.635-647.

Hasan, Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Henderson, JM., Richard E. Quant. 1980. Microeconomic Theory : A Mathematical Approach. Third Edition. McGraw-Hill Book Company : Singapore.

Hermawan, Asep. 2003. Pedoman Praktis Metodologi Penelitian Bisnis. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi (LPFE). Universitas Trisakti. Jakarta.

Hill, Chris., Cao, Kay. 2012. Energy Use in the Australian Manufacturing Industry : An Analysis of Energy Demand Elasticity. Australian Bureau of Statistics: Analytical Services Branch.

Indriantoro, Nur., Bambang, Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis. BPFE. Yogyakarta.

Insukindro. 1995. Ekonomi Uang dan Bank. BPFE. Yogyakarta.

International Energy Agency, OECD, OPEC, and World Bank. 2010. Analysis of the Scope of Energy Subsidies and Suggestions for the G-20 Initiative. Joint Report for the Prepared for Submisiion to the G-20 Summit Meeting. Toronto, Canada.

International Institute for Sutainable Development’s. 2013. Panduan Masyarakat Tentang Subsidi Energi di Indonesia : Perkembangan

Terakhir 2012. Global Subsidies Initiative dan Insitute for Essential Services Reform. www.iisd.org

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2009. Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia. Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources. Ministry Energy and Mineral Resources. Jakarta.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2011. Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia. Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources. Ministry Energy and Mineral Resources. Jakarta.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia. Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources. Ministry Energy and Mineral Resources. Jakarta.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2011. Indikator Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia : Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta (diakses melalui www.esdm.go.id).

Kementerian Keuangan. Data Pokok Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2006-2012. Kementerian Keuangan. Nota Keuangan & Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tahun Anggaran 2013. Kementerian Perindustrian. 2012. Perencanaan

Kebutuhan Energi Sektor Industri dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi. Biro Penencanaan Kementerian Perindustrian RI. Jakarta.

Koutsoyiannis, A. 1994. Modern Microeconomics. 2nd Edition. Macmillan Press Ltd : London. Kuncoro, Mudrajad. 2009. Metode Riset untuk

Bisnis dan Ekonomi. Edisi 3. Erlangga : Jakarta.

Labanderia, Xavier., Jose M. Labeaga., Miguel, Rodriguez. 2006. A Residential Energy Demand System for Spain. Center for Energy and Environmental Policy Research : The Energy Journal. MIT. Vol 27, No. 2, pp. 87-111.

Laporan Perekonomian Indonesia. Publikasi Laporan Tahunan Bank Indonesia. Diakses melalui www.bi.go.id (20 Desember 2013). Mankiw, N. Gregory. 2007. Macroeconomics. 7th Edition. Harvard University. Worth Publisher : New York.

Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi Keempat. Terjemahan : Imam Nurmawan. Jakarta : Erlangga.

(11)

Papers. Vol.21, Issue 39, December 1982, pp.392-406.

Momete, D.C. 2007. The Trinomial Sustainable Development-Economic Growth-Energy in European Context. International Conference on Economic Engineering and Manufacturing Systems. Vol 8. Brasov. Nababan, Tongam S. 2008. Permintaan Energi

Listrik Rumah Tangga : Studi Kasus pada Pengguna Kelompok Rumah Tangga Listrik PT PLN (Persero) di Kota Medan. UNDIP : Semarang.

Nicholson, Walter. Christopher, Snyder. 2010. Intermediate Microeconomics and Its Application. 11th Edition. South-Western, Cengage Learning : USA.

Nicholson, Walter. 1997. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. Seventh Edition. The Dryden Press. Harcourt Brace College Publisher.

Ogaki, Masao. Atkenson, Andrew. 1997. Rate of Time Preference, Intertemporal Elasticity of Substitution, and Level of Wealth. Review of Economics and Statistics. Vol. 79, No. 4, November.

Parkin, Michael. 1993. Economics. Adison Wesley Publishing Company : New York.

Penny, D.H. 1994. Kemiskinan : Peranan Sistem Pasar. UI-Press : Jakarta.

Pitelis, C., Antonakis, N. 2003. Manufactuing and Competitiveness : the Case of Greece. Journal of Economic Studies.

Prasetiantono, A. T. 2000. Keluar dari Krisis : Analisis Ekonomi Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Reksoprayitno, Soediyono. 2000. Ekonomi Makro. BPFE UGM : Yogyakarta.

Reksohadiprodjo, S., Pradono. 1999. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Energi. Edisi Kedua. BPFE. Yogyakarta.

Republik Indonesia. 2012. Nota Keuangan & Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara : Tahun Anggaran 2013. Jakarta.

Samuelson, Paul., Nordhaus. 1999. Mikro Ekonomi. Edisi XIV. Erlangga : Jakarta.

Santoso, Singgih. 2009. Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Santoso, Joko., Yudiartono. 2005. Analisis Prakiraan Kebutuhan Energi Nasional Jangka Panjang

di Indonesia. Strategi Penyediaan Listrik Nasional dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, dan Energi Terbarukan.

Singarimbun, Masri., Effendy, Sofyan. 2006. Metode Penelitian Survey. Edisi Revisi. Jakarta : LP3ES.

Soerawidjaja, Tatang, Hernas. Subsidi BBM : Memperlancar atau Merusak Pembangunan Bangsa Indonesia? www.migasreview.com (17 Juni 2013).

Spencer, H. Milton. 1977. Contemporary Macroeconomics. Worth Publisher Inc. New York.

Stern, David. I. 2004. Economic Growth and Energy. Encyclopedia of Energy. Volume 2. Elsevier.

Stern, David. I. 1999. Is Energy Cost an Accurate Indicator of Natural Resource Quality? Ecological Economics, 31 (3) : 381-394. Sugiharto, T.H., Brastoro, Rachmat Sudjana., Said,

Kelana. 2005. Ekonomi Mikro : Sebuah Kajian Komprehensif. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

Suharto, E. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta, Bandung. Sunariyah. 2004. Pengantar Pengetahuan Pasar

Modal Edisi Keempat. UPP-AMP YKPN. Yogyakarta.

Tambunan, Mangara. 2006. The Second High Cycle of World Oil (Energy) Price Crisis : Challenges and Option. Global Dialogue on Natural Resources. Washington DC, USA, April 4th-5th.

Tamtomo, Edi. 2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Era Desentralisasi Fiskal : Studi Kasus Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah. FE UI. Jakarta. Todaro, M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi di

Dunia Ketiga. Penerbit Erlangga. Jakarta. Varian, Hal R. 1992. Microeconomic Analysis. Third

Edition. W.W. Norton & Company, Inc. United States of America.

Wijaya, Tony. 2009. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit Universitas Atmajaya. Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1 Perbandingan IPM, Belanja Fungsi Kesehatan dan Pendidikan
Gambar 1: Rata-Rata Rasio Belanja Fungsi Kesehatan Terhadap Total Belanja dan Rata-Rata IPM Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2007-2012

Referensi

Dokumen terkait

keagaamaan 13 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan

Wawancara awal dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dengan orang tua anak tunagrahita mampu latih (imbecil) di SDLB Mandiraja, pada tanggal 22 Oktober 2010,

Lakip Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Tahun 2015 12 4.2 Seksi Tata Ruang Perkotaan.. Seksi Tata Ruang Perkotaan mempunyai

of rvaste water of urea fertilizer plants by &amp;anced oxidation using microalgae Chlorella. Nanncrchloropsis

3) kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen otentik; 4) pejabat yang menurut perjanjian kerja sama berhak mewakili

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “KEABSAHAN AKTA HIBAH

Buku ini melihat Hak Asasi Manusia bukan saja pada aspek dasar hak individu seperti biasanya, namun juga dari sudut pandang teori yang berkembang dalam kajian politik

Walaupun ia tidak jelas menampakkan kedua elemen ini wujud dalam perbelanjaan negara, tetapi jelas menunjukkan dengan perancangan program yang dilaksanakan oleh