TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Umum Bambu Betung (Dendrocalamus asper)
Tantra (2003) di kutip oleh Hartanto (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan
jenis bambu sangat khas, membentuk rumpun yang tumbuh lurus dan bercabang ke
samping. Daunnya kecil-kecil, lonjong, dan berujung runcing. Tanaman bambu
jarang sekali sampai berbunga atau berbuah, kecuali bila dibiarkan tumbuh terus
sampai bertahun-tahun lamanya. Batang bambu memiliki warna yang
bermacam-macam menurut jenisnya. Pada umumnya bambu berwarna hijau tua. Jika sudah tua,
kulit batangnya membentuk bulatan-bulatan putih kecil-kecil. Ada jenis bambu yang
batangnya tidak begitu tebal, akan tetapi ada pula yang tebal sekali, misalnya bambu
betung.
Secara umum bambu merupakan jenis tanaman rumput-rumputan, bambu
tumbuh menggunakan rimpang batang yang mengandung ruas dan mata cabang
sehingga dapat menghasilkan batang baru atau rebung untuk tingkat pertumbuhan
selanjutnya. Setiap rumpun menghasilkan 8–14 batang setiap tahun, sekitar 2–3 bulan
rebung mencapai pertumbuhan dewasa, dan 3 bulan kemudian batang mencapai
tinggi maksimum (Liese, 1985 dan Abd Razak, 1992).
Bambu betung sebagai salah satu jenis dari genus Dendrocalamus, merupakan
jenis bambu yang banyak dikenal karena berdiameter cukup besar bila dibandingkan
dengan jenis bambu lain, yaitu 10–18 cm dan berdinding tebal, yaitu 11–18 mm
(Othman, 1995). Bambu dengan nama botani Dendrocalamus asper di Indonesia
dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 2.000 m di
atas permukaan air laut. Pertumbuhan cukup baik khususnya untuk daerah yang tidak
terlalu kering. Warna kulit batang hijau kekuning-kuningan, batang dapat mencapai
panjang 10-14 m, panjang ruas berkisar antara 40–60 cm, diameter 6–15 cm, dan
tebal dinding 10-15 mm (Morisco, 1999).
Jenis bambu betung mempunyai rumpun yang agak sedikit rapat. Ukurannya
lebih besar dan lebih tinggi dari jenis bambu yang lain. Bambu ini akan tumbuh baik
bila tanahnya cukup subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering.
Bambu betung sifatnya keras dan baik untuk bahan bangunan karena seratnya
besar-besar serta ruasnya panjang. Berikut ini adalah klasifikasi bambu betung:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotiledonae
Ordo : Graminales
Famili : Graminae
Genus : Dendrocalamus
Spesies : Dendrocalamus asper (Kemenhut, 2012).
Komponen Kimia dan Anatomi Menurut Bagian Batang Bambu
Menurut Manuhuwa dan Loiwatu (2007) komponen kimia pangkal batang
berbeda secara signifikan dibandingkan terhadap bagian tengah, dan ujung dalam hal
ekstraktif larut air panas, dan larut alkohol benzen, panjang sel serat, diameter dan
dan anatomi bambu serta hasil analisa keragaman berbeda antara pangkal, tengah dan
ujung batang. Jumlah alfa selulosa yang relatif lebih banyak memungkinkan bagian
pangkal batang bambu menghasilkan bubur kayu (pulp) yang lebih banyak tetapi
jumlah lignin yang besar memerlukan bahan kimia yang lebih banyak untuk
memisahkan lignin dari pulp. Pulp yang banyak mengandung lignin akan
menghasilkan kertas yang bermutu rendah. Komponen kimia alfa selulosa dan lignin
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komponen kimia bagian pangkal, tengah dan ujung batang bambu
Bagian batang Alfa selulosa (%) Lignin (%)
Pangkal 46,04 26,67
Tengah 44,98 26,57
Ujung 43,89 26,36
Sumber : Ulfah, 1999
Menurut Manuwa dan Loiwatu (2007) jumlah sel pori yang banyak
memungkinkan ekstraktif yang dikandung lebih banyak selain diameter lumen sel
pori, diameter lumen sel serat dan tebal dinding sel serat karena ekstraktif mengisi
terutama rongga sel tanaman kemudian dinding sel. Jumlah ekstraktif yang banyak
dalam bagian pangkal batang bambu tidak menjamin bagian pangkal lebih awet
daripada bagian tengah dan ujung batang, tetapi ditentukan faktor kandungan racun
dalam ekstraktif tersebut. Komponen kimia utama dinding sel serat adalah selulosa
dan sedikit lignin berfungsi sebagai perekat antara sel, menyebabkan bambu menjadi
kaku. Lignin yang dikandung bambu memungkinkan bambu mudah dibentuk dengan
cara memanaskannya karena lignin sifat termoplastik. Sifat lignin yang termoplastik
mendingin maka perubahan bentuk bambu tersebut tidak mungkin kembali ke
bentuknya yang semula (perubahan bentuk tetap).
Jenis bambu mengindikasikan ekstraktif larut air panas bagian pangkal batang
bambu lebih banyak daripada bagian tengah dan ujung batang bambu. Kadar
esktraktif larut alkohol benzen bagian pangkal batang lebih rendah daripada bagian
tengah tetapi lebih banyak daripada ujung batang bambu. Nilai ekstraktif larut air
panas dan ekstraktif larut benzen dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Nilai ekstraktif bagian pangkal, tengah dan ujung batang bambu
Bagian batang Ekstraktif larut air panas (%) Ekstraktif larut benzene (%)
Pangkal 6,52 3,89
Tengah 5,44 3,82
Ujung 5,43 3,37
Sumber: Ulfah, 1999
Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Betung A. Kadar Air Bambu
Kadar air bambu betung adalah 42,61%. Hal ini berhubungan erat dengan
tebal bilah masing-masing bambu tersebut. Makin tebal dinding/bilah bambu maka
makin tinggi air yang dapat dikandung bambu tersebut. Bambu betung memiliki tebal
bilah 10–25 mm (Pujirahayu, 2012).
B. Berat Jenis (BJ)
BJ bambu betung 0,56. Perbedaan berat jenis disebabkan karena
kecenderungan perbedaan distribusi ikatan vaskuler/peresentase serabut antara bagian
jenis dan juga komposisi kimianya. Perbedaan BJ pada berbagai posisi bambu secara
tengah dan ujung (Nuryati, 2000). Pada bagian pangkal terbentuk serabut yang
panjang berdinding tipis dan berdiameter besar sedangkan bagian ujung sebaliknya
berdinding tebal dan diameter kecil karena kecepatan pertumbuhan yang mulai
berkurang.
C. Penyusutan
Penyusutan volume 13,45% dan penyusutan radial 4,93%. Penyusutan bambu
sangat berhubungan dengan berat jenis dan kadar air, umumnya bambu dengan BJ
tinggi akan memiliki kandungan selulosa dan hemiselulosa yang tinggi pula, hal ini
berarti memungkinkan tingginya kadar air yang dapat terikat dalam bilah bambu.
Namun demikian ketebalan bilah bambu yang lebih besar akan memiliki persentase
penyusutan yang lebih kecil dibanding bambu dengan bilah yang lebih tipis
(Pujirahayu, 2012).
D. Kuat tekan
Kuat tekan pada bambu betung dewasa 46,59 Mpa. Kuat tekan rata-rata
bambu betung bagian pangkal yang tertinggi pada bambu dewasa dan terendah pada
bambu muda. Hal ini dikarenakan kerapatan dan kerapatan serat sklerenkim bambu
dewasa juga paling tinggi dan menunjukkan adanya proses pematangan seiring
dengan bertambahnya umur. Kuat tekan sejajar serat akan meningkat dari bambu
muda ke bambu dewasa dan menurun pada bambu tua (Pujirahayu, 2012).
E. Kuat geser
Kuat geser pada bambu betung dewasa 9,94 Mpa. Kuat geser rata-rata bambu
muda. Kuat geser sejajar serat akan meningkat dari bambu muda ke bambu dewasa
dan menurun pada bambu tua (Pujirahayu, 2012).
F. Kuat tarik
Kuat tarik bambu betung dewasa 217,89 Mpa. Umur bambu berpengaruh
terhadap kuat tarik bambu. Kuat tarik bambu petung bagian pangkal akan meningkat
dari umur muda ke umur dewasa dan menurun pada umur tua (Pujirahayu, 2012).
Laminasi Bambu
Balok laminasi adalah balok yang dibuat dari lapis-lapis papan yang diberi
perekat secara bersama-sama pada arah serat yang sama. Balok laminasi memiliki
ketebalan maksimum yang diizinkan sebesar 50 mm. Dengan mengikuti konsep
tersebut, laminasi diperoleh dari pengolahan batang yang dimulai dari pemotongan,
perekatan dan pengempaan sampai diperoleh bentuk lamina dengan ketebalan yang
diinginkan. Untuk beberapa hal, sifat-sifat lamina tidak berbeda jauh dengan sifat
batang kayu aslinya. Sifat akhir akan banyak dipengaruhi oleh banyaknya ruas yang
ada pada satu batang tersebut dan banyaknya perekat yang digunakan
(Widjaja, 1995).
Proses laminasi dan penyambungan sangat terkait dengan proses perekatan.
Dalam proses perekatan bambu ada tiga aspek utama yang mempengaruhi kualitas
hasil perekatan, yaitu aspek bahan yang direkat (bambu), aspek bahan perekat dan
aspek teknologi perekatan. Aspek bahan yang direkat (bambu) meliputi struktur dan
anatomi bambu (susunan sel, arah serat) dan sifat fisika (kerapatan, kadar air,
perekat. Aspek teknologi perekatan meliputi komposisi perekat, berat labur,
pengempaan dan kondisi kerja (durasi, suhu, cara pelaksanaan) (Budi, 2007).
Menurut Manik (1997) bahwa untuk menghasilkan suatu balok kayu laminasi
yang memenuhi standar struktur pada proses perancangan juga harus memperhatikan
proses pengempaan. Proses pengempaan ini ditujukan untuk menghasilkan garis
perekat setipis mungkin, bahkan mendekati ketebalan molekul bahan perekat karena
kekuatan meningkat seiring berkurangnya tebal garis rekatan.
Breyer (1988), memaparkan ketebalan maksimum laminasi kayu satu lapis
adalah 50 mm (2 in). Budi (2007) menambahkan bahwa tebal nominal kayu laminasi
yang biasa dibuat adalah 25-50 mm (1-2 in). Pemberian tekanan pengempaan yang
terlalu besar dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan perekatan yang berupa
proses keluarnya perekat yang berlebihan (starved glue line) dan rusaknya lapisan
permukaan secara mekanis sehingga menurunkan kekuatan perekatan yang dihasilkan
(Widjaja, 1995).
Perekat Polivinil Asetat (PVAc) dan Epoksi
PVAc merupakan perekat yang cocok digunakan untuk bahan kertas dan
kayu. Penggunaan perekat PVAc dinilai lebih ramah lingkungan karena PVAc
merupakan polimer karet dengan umur simpannya tidak terbatas, dan tahan terhadap
mikroorganisme (Fajriani, 2010).
Kelebihan polivinil asetat yaitu mudah penanganannya, storage life-nya tidak
terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda pada
sensitif terhadap air sehingga penggunaannya untuk interior saja, kekuatan rekatnya
menurun cepat dengan adanya panas dan air serta viscoelastisitasnya tidak baik
(Ruhendi dkk, 2007).
Pizzi (1983) dalam Ruhendi dkk,(2007) menyatakan bahwa perekat polivinil
asetat tidak memerlukan kempa panas. Dalam penggunaan secara luas dapat
menghasilkan keteguhan rekat yang baik, dengan biaya yang relatif rendah.
Keuntungan utama dari polivinil asetat melebihi perekat urea formaldehida, karena
menghasilkan ikatan rekat yang cepat pada suhu kamar. Keuntungan lainnya yaitu
dapat menghindari kempa panas yang memerlukan biaya tinggi. Perekat polivinil
asetat mempunyai sifat termoplastik, yang penting untuk menjaga tekanan kempa
selama pembentukan ikatan sampai ikatan rekat mempunyai kekuatan yang memadai.
Epoksi mengacu pada molekul yang mengandung dua atau lebih gugus epoksi
polimer organik, kecuali untuk beberapa hal massa molekul epoksi tidak relatif tinggi.
Struktur molekul dari resin epoksi adalah rantai molekul yang mengandung gugus
epoksi reaktif ditandai oleh kelompok epoksi dapat di akhir rantai molekul, tengah,
atau struktur siklik. Struktur molekul yang mengandung gugus epoksi reaktif,
sehingga mereka dapat digunakan dengan berbagai jenis agen menyembuhkan dan
reaksi silang untuk membentuk larut, dapat dicairkan dengan struktur polimer.
Struktur molekul dari senyawa polimer memiliki gugus epoksi disebut sebagai resin
epoksi. Resin epoksi biasa digunakan sebagai bahan adhesif dan lapisan pelindung
yang sangat baik karena memiliki kekuatan yang tinggi, dan daya rekat yang kuat.
sebagian besar, untuk menuangkan, mencelupkan, bahan laminasi, perekat, pelapis
dan keperluan lainnya (Sturiale, 2006).
Perekatan
Perekatan didefinisikan sebagai keadaan pada saat permukaan disatukan oleh
gaya antar permukaan yang terdiri atas gaya valensi (aksi saling kunci). Perekat
berfungsi sebagai penggabung antar dua subtrat yang direkat. Kekuatan perekatan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat perekatnya sendiri dan kompatibilitas
atau kesesuaian antara bahan yang direkat dengan bahan perekat (Prayitno, 1996).
Ada dua cara perekatan, cara pertama adalah bila kedua bidang permukaan
dilabur, maka disebut perekatan dua sisi. Cara ini perekat dilaburkan pada kedua
permukaan bahan yang direkatkan sehingga kedua bahan yang akan direkatkan
dilapisi dengan perekat, sebelum keduanya direkatkan. Cara ini memerlukan perekat
tambahan sebanyak 10%. Cara kedua adalah peleburan satu sisi. Pada cara ini perekat
hanya dilaburkan pada satu permukaan saja dari bahan yang akan direkatkan. Model
perekatan sistem dua sisi memiliki kecendrungan peningkatan kekuatan perekatan.
Kolmann dkk (1984) menyatakan tentang tiga faktor utama yang
mempengaruhi dalam perekatan kayu. Pertama spesies kayu yang berhubungan
dengan anatomi dan sifat fisika-kimia kayu. Kedua perlakuan permukaan dan sifat
permukaan yang dihasilkan. Ketiga perekat dan kondisi perekatan. Dua faktor
pertama tidak saling berhubungan. Perekatan adalah ketergantungan antara faktor
tekanan dan temperatur. Kondisi fisik permukaan adalah kondisi hasil pengolahan,
permukaan mempengaruhi interaksi perekat dan kayu tergantung spesies kayu juga
perlakuan permukaan.
Tsoumis (1991) membagi perekat ke dalam tiga jenis yaitu perekat nabati,
perekat hewani, perekat sintetik atau resin. Perekat sintetik dibagi lagi kedalam
termoplastik resin dan termoseting resin. Termoplastik resin adalah jenis perekat
bersifat melunak bila dikenai panas dan kembali mengeras setelah dingin, pengerasan
termoplastik melalui proses fisika hasil penguapan pelarut atau penurunan panas.
Termoseting resin merupakan perekat yang bersifat pengerasan permanen tidak
berpengaruh panas yang dikenakan, proses pengerasan jenis termoseting melalui
reaksi kimia dipercepat dengan panas atau katalis. Kelompok termoplastik resin yang
terutama adalah jenis polivinil asetat (PVAc) dan jenis epoksi sedangkan yang
termasuk kelompok termoseting resin adalah resin dengan unsur utama formaldehid