BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat serta untuk kemajuan bangsa dan
negara. Hal ini diakibatkan oleh kontribusi pendidikan tersebut pada berbagai sektor
kehidupan baik ekonomi, kemanusiaan, demokrasi dan lain sebagainya. Pada bidang
ekonomi misalnya hasil penelitian Katharina Michaelowa menunjukkan bahwa
pendidikan memberi dampak kepada individu dan lingkungannnya melalui peningkatan
pendapatan dan kesiapan memasuki lapangan kerja (micro) yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja (macro).1
Gbr 1. Dampak Pendidikan Tehadap Ekonomi
Sumber : Katharina (2000)
1
Katharina Michaelowa. Returns to Education in Low Income Countries: Evidence for Africa
Diakses dari Diakses dari http://www1.aucegypt.edu/src/skillsdevelopment/pdfs/returns%20to%20educati
Deepa Rawat mengatakan bahwa “education is the engine of economic growth and sosial change. ... Education not only increases the economic returns but also has a significant effect on poverty, income distribution, health, fertility, mortality, population growth and overall quality of human life. Jauh sebelumnya, Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Moira Murphy mengatakan bahwa “ the purpose of education is to train children, not only with reference to their success in the present state of society, but also to be a better possible state in accordance with an ideal conception of humanity”.2
Bangsa-bangsa di dunia melalui Universal Declaration on Human Rights 1948 3
dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights mengakui bahwa
“ … that education shall enable all persons to participate effectively in a free society, promote understanding, tolerance and friendship among all nations and all racial, ethnic or religious groups, and further the activities of the United Nations for the maintenance of peace“4
Dari penjelasan di atas maka sangat tepat apa yang dikatakan Presiden Amerika
Serikat, Barrack Obama, dalam pidatonya di Wakefield High School di Arlington menyatakan bahwa “ What you're learning in school today will determine whether we as a nation can meet our greatest challenges in the future.”
.
5
2
Moira Murphy. Experience in The Internationalization of Education : Strategies To Promote
Equality of Opportunity at Monterrey Tech., diakses dari
3
Article 26
4
Article 1.3 GATS
5 Obama's speech on importance of education
Robert Sedgwick mengatakan “in most countries around the world, education has traditionally been viewed as a public good 6 provided and guaranteed by the state”.7 Status public goods/service yang disandang oleh pendidikan sangat penting dalam mengimplementasikan tanggungjawab negara dalam penyediaan dan pendanaan
pendidikan tersebut. Sandy Baum mengatakan “The concept of public goods is central to economic analysis of the role of government in the allocation of resources”.8
Dari konteks pendanaan pendidikan, konsep pendidikan sebagai layanan publik
lebih terlihat pada pendidikan dasar.Hal ini sejalan sejalan dengan amanat Universal Declaration on Human Rights 1948 bahwa “ everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.” Konsep tersebut menunjukkan bahwa negara hanya berkewajiban untuk
6
Publik service adalah jasa yang disediakan oleh negara kepada masyarakat yang tinggal di wilayah hukumnya baik secara langsung melalui sektor publik ataupun melalui sektor swasta yang dibiayainya. Jasa yang demikian harus tersedia kepada setiap orang tanpa tergantung pada jumpah pendapatan mereka
7
Robert Sedgwick. The Trade Debate in International Higher Education Diakses dari
Menurut Markus, pemahaman terhadap publik service dapat dilakukan dengan tiga pendekatan. Pendekatan pertama berbasis pada apa yang disupply (what is supplied). Misalnya pendidikan, kesehatan, transportasi publik, dll. Pendekatan kedua berbasis pada kepada siapa jasa tersebut diberikan dan dengan persyaratan apa (whom and under which conditions the service is supplied). Pendekatan ketiga berbasis pada siapa yang akan memberikan pelayanan tersebut (who is supplying the service). Dengan pendekatan ini bahwa suatu jasa disebut publik service jika pengadaannya ada pada badan publik. Baca : Markus Krajewski. Publik Services And The Scope Of The General Agreement On Trade In Services (GATS), A Research Paper For Center For International Environmental Law (CIEL), Geneva, May 2001. Hal 4
Akses terhadap layanan publik yang baik merupakan satu hak yang paling dasar yang dapat dituntut oleh warga negara dari Pemerintah sebagai kompensasi atas pembayara pajak mereka. ( Open Publik Services White Paper. Diunduh dari http://files.openpublikservices.cabinetoffice. gov.uk/OpenPublik Services-WhitePaper.pdf pada tanggal 10 Des.2012)
8
Sandy Baum. Is Education a Public Good or a Private Good? Dapat diakses pada http://chronicle
mendanai pendidikan dasar, sementara untuk pendidikan tinggi negara hanya
berkewajiban untuk menyediakannya yang terbuka untuk umum tanpa diskriminasi.
Dengan demikian, kebijakan (pendanaan) pemerintah terhadap pendidikan tinggi
kondisional. Camelia Stejar mengatakan “ countries that have a low inclusion rate of high-school graduates in universities, perhaps the term “public good” is still fully associated with higher education” 9
Sandy Baum da
tidak murni sebagai public goods karena masyarakat yang tidak sanggup membayar tidak dapat menikmati pendidikan tersebut. Seseorang yang menikmati pendidikan
tinggi memperoleh manfaat langsung dari jasa pendidikan tinggi yang diperolehnya
seperti mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun masyarakat juga mendapat
manfaat dari jasa pedidikan tinggi yang diterima orang lain karena tamatan perguruan
tinggi tersebut akan memberi kontribusi melalui inovasi dan kreativitasnya pada
masyarakat sekitarnya.10
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya
pemerintahan Indonesia adalah untuk mencerdaskan bangsa. Dengan demikian
pendidikan merupakan mission of state. Hal ini kemudian dipertegas di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (SPN) dimana salah satu tujuan
pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
9
Camelia Stejar . Higher Education: Public Good Or Public Service? Analysis from the perspective of International. Management & Marketing. Challenges for the Knowledge Society. Vol. 6, No.1. 2011. hlm 150
10
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis.
Dengan perkataan lain bahwa walaupun Pemerintah tidak berkewajiban secara penuh
pada pendanaan pendidikan tinggi, statusnya adalah sebagai layanan social negara
kepada warga negara atau sebagai layanan publik. UU No.25 tahun 2005 tentang
Layanan Publik secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan merupakan layanan
publik.
Hakikat pendidikan sebagai layanan publik sebagaimana dijelaskan di atas mulai
mengalami pergeseran sejak lahirnya WTO dan disepakatinya perjanjian internasional
GATS tahun 1994, karena di dalam perjanjian tersebut, secara eksplisit dinyatakan
bahwa pendidikan merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan secara
internasional. Melalui GATS, negara-negara anggota WTO sepakat untuk meliberalisasi
jasa pendidikan tinggi. Bagi Indonesia, pendidikan sebagai layanan publik secara juridis
mengalami distorisi sejak Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional
tersebut melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Estabilishing the World Trade organization)11
Bagi Indonesia, pergesaran paradigma pendidikan tinggi sebagai layanan publik
menjadi komoditas perdagangan internasional paling tidak menimbulkan dua
karena secara juridis, Indonesia telah menerima konsep pendidikan sebagai komoditas sebagaimana diatur di dalam GATS.
11
permasalahan mendasar. Permasalahan pertama adalah kemampauan lembaga
pendidikan tinggi Indonesia bersaing dengan pendidikan tinggi asing. Di kawasan Asia,
mutu perguruan tinggi Indonesia berada pada peringkat 15 persen terendah dari 77
perguruan tinggi. Di tingkat ASEAN, perguruan tinggi Indonesia hanya berada pada
ranking 11. 12
Tim Graewert menyebutkan bahwa konflik hukum terjadi jika dua atau lebih
norma hukum yang berbeda secara substansi ditujukan pada objek yang sama, dan oleh
karena itu harus dibuat pilihan hukum yang akan digunakan. “ ... a conflict of law results from two or more norms which are different in substance but apply to the same or similar facts, and whose application would lead to contrary decisions, so that a choice must be made between them”
Permasalahan mendasar yang kedua adalah permasalahan hukum. Sebagai
negara yang berdaulat, Pemerintah Indonesia berkewajiban melaksanakan amanat
konsitusi dan aturan perundang-undangan; dalam hal ini memperlakukan pendidikan
sebagai layanan publik. Pada sisi lain, sebagai bagian dari komunitas internasional,
Indonesia harus menghormati segala kesepakatan yang sudah dicapai di dalam
WTO/GATS , termasuk meliberalisasi pendidikan tinggi sebagai komoditas. Dengan
demikian, dalam memandang pendidikan tinggi, Pemerintah Indonesia terikat pada dua
hukum yang saling kontradiksi, yaitu UUD 1945 dan aturan perundang-undangan
lainnya sebagai hukum nasional dan GATS sebagai perjanjian/ hukum internasional.
13
12
Sofyan Effendi. Capital Flight” dan Pendidikan Tinggi. Diakses dari http://sofian.staff.ugm. ac.id/artikel/Capital-Flight-PT.pdf pada tanggal 14 September 2012
13
Tim Graewert. Conflicting Laws And Jurisdictions In The dispute settlement process of Regional
trade agreements and the WTO. Diunduh dari
Pilihan hukum sebagaimana disampaikan Tim Graewert di atas tidak diterapkan di
dalam rejim WTO/ GATS. Konsep yang justru dipakai adalah unifikasi dan harmonisasi
hukum dimana secara keseluruhan isi perjanjian tersebut menjadi bagian dari sistem
hukum nasional negara-negara anggota WTO, dan implementasinya akan diatur melalui
peraturan nasional masing-masing (domestic regulation). Hal ini berarti bahwa konsep pendidikan sebagai komoditas mengikat Indonesia yang implementasinya akan diatur
selanjutnya melalui aturan perundang-undangan nasional.
Solly Lubis mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia yang tinggi pada
negara-negara maju membuat Indonesia harus pragmatis. Dengan perkataan lain bahwa
Indonesia tidak bisa mengisolasi diri dari kecenderungan yang terjadi di dunia karena
alasan tidak sesuai dengan konstitusi.
Indonesia tidak dapat mengelakkan diri dari lilitan gurita neo liberalisme itu karena bagaimanapun muluk dan idealnya nilai-nilai yang paradigmatik dalam Pancasila dan UUD kita, namun karena faktor ketergantungan (dependancy) kita kepada negara – negara lain amat kuat, maka tidak mungkin strategi politik dapat kita lakukan secara mendasar (grounded) sesuai dengan nilai nilai ideologis kita, sehingga dalam beberapa hal kita terpaksa memilih jalan pragmatis, untuk memenuhi kepentingan kita yang mendesak.14
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan rangkaian pemaparan di atas, maka masalah yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi sebagai subsistem dari Sistem
Pendidikan Nasional di Indonesia ?
14
2. Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi asing dalam perundang-undangan di
bidang pendidikan di Indonesia ?
3. Bagaimana dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia ?
C.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang pengaturan pendidikan tinggi sebagai sub Sistem
dari Sistem pendidikan nasional.
2. Untuk mengetahui eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan
perundang-undangan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di
Indonesia
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran untuk kajian selanjutnya dalam menempatkan pendidikan tinggi Indonesia
dari pespektif layanan publik dan komoditas menurut aturan perundang-undangan yang
berlaku.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh Pemerintah Pusat dan
Daerah dalam membuat kebijakan dan aturan hukum di bidang pendidikan tinggi, dan
oleh DPR atau DPRD dalam merumuskan undang-undang atau peraturan daerah dalam
bidang pendidikan tinggi . Hasil penelitian ini juga akan dapat dimanfaatkan oleh para
dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi secara umum, dan dalam
menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan tinggi dengan pihak asing secara khusus.
E. Keaslian Penelitian
Sesuai dengan hasil penelusuran yang dilakukan Penulis di Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, dan melalui Internet, tidak ditemukan penelitian dengan
judul atau kajian yang sama. Namun demikian, ditemukan beberapa penelitian yang
membahas tentang pendidikan tinggi dalam hubungannya dengan WTO/ GATS:
1. Que Anh Dang, mahasiswa magister bisnis di Copenhagen Business School,
dengan judul tesis Internationalisation of Higher Education in China and Vietnam: From Importers of Education to Partners In Cooperation. Penelitian ini membahas tentang :
a. Alasan China dan Vietnam melaksanakan internasionalisasi pendidikan
tinggi,
b. Perbedaan strategi yang dilaksanakan China dan Vietnam dalam
internasionalisasi pendidikan tinggi
c. Cakupan dampak WTO/GATS terhadap pelaksanaan dan kebijakan cross border education di China dan Vietnam.
2. Aleš Vlk, mahasiswa doktoral di Universiteit Twente, dengan judul desertasi
Higher Education And GATS. Regulatory Consequences and Stakeholders’ Responses.” Penelitian ini membahas tentang :
b. Posisi dan pengaruh para pemangku kepentingan dalam negosiasi GATS
pada bidang pendidikan tinggi
c. Faktor-faktor yang relevan memberi dampak pada kapasitas negara dalam
bidang pendidikan tinggi
3. Nasir Karim, mahasiswa doktoral jurusan Manajemen pada Qurtuba University of Science & Information Technology, Korea Selatan dengan judul thesis
Managing Higher Education In Pakistan Under GATS Environment. Penelitian ini membahas tentang bagaimana pengelolaan pendidikan tinggi di Pakistan
dalam kerangka GATS.
4. Cibele Cessa, mahasiswa Magister Universiteit Van Amsterdam, dengan judul
tesis Internationalisation of Higher Education in Brazil: The debate on GATS and Other International Cooperation Initiatives” Tesis ini membahas tentang : a. Pihak-pihak yang terlibat dalam Sistem pendidikan tinggi Brazil dalam
internasionalisasi pendidikan tinggi khususnya dalam komitmen yang
diberikan di dalam GATS.
b. Alasan-alasan dan kepentingan yang mendorong Brazil lebih memilih kerja
sama Internasional daripada GATS
c. Alasan para pihak Non Government tidak setuju dengan kerjasama
internasional pendidikan tinggi.
Ditinjau dari bidang ilmu dan objek kajian yang dibahas pada penelitian-penelitian
di atas tidak terdapat kesamaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.
dicantumkan sumber dan nama penulisnya sebagaimana mestinya. Dengan demikian,
keaslian penelitian dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka teori
Solly Lubis mengatakan bahwa landasan teori merupakan kerangka pemikiran,
butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem)
yang dijadikan sebagai pegagangan teoritis dalam membuat kerangka berpikir dalam
penulisan.15
Teori-teori yang digunakan sebagai kerangka berpikir dalam menjawab
permasalahan dalam penelitian ini adalah teori Sistem Hukum dan teori Monisme.
Teori Sistem hukum merupakan teori yang membahas tentang bekerjanya
komponen-komponen hukum secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum, sementara teori
monisme membahas tentang hubungan hukum nasional dan hukum internasional.
a. Teori Sistem Hukum
Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts). Sistem merupakan suatu kebulatan yang memiliki unsur-unsur dan peran yang saling berkaitan
dan saling mempengaruhi.16 Masing-masing unsur harus dilihat dalam kaitannya
dengan unsur-unsur lain sehingga keseluruhannya seperti mozaik atau legpuzzle17
15
M.Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian. (Bandung: Mandar Madju, 1994) hal.80
.
16
Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, (Salatiga: FH UKSW, 2005) hal. 65
17
Sistem hukum berfungsi untuk menjaga atau mengusahakan keseimbangan tatanan
dalam masyarakat (restitutio in integrum)18
Friedman menjelaskan bahwa sistem hukum adalah satu kesatuan hukum yang
tersusun dari tiga unsur, yaitu substansi hukum (legal substance) , struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).
Substansi hukum merupakan materi, norma atau aturan hukum yang menjadi
panduan dan tolak ukur dalam berperilaku yang wujudnya dalam bentuk
perundang-undangan atau aturan hukum. “ The substance is composed of substantive rules and rules about how instututions should behave.”19
Struktur hukum adalah organisasi atau insitusi yang merupakan rangka dari Sistem
hukum tersebut. The structure of the system is it’s skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system.
Beberapa substansi hukum yang berkenaan dengan pendidikan tinggi di Indonesia yang masih berlaku diantaranya adalah
UU No. No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17
tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
20
18I
bid, hal 31
Struktur hukum berfungsi
sebagai pelaksana dari substansi hukum, dalam bidang pendidikan diantaranya adalah
Depdikbud, , BP-PTS, BAN PT, Kopertis, termasuk perguruan tinggi itu sendiri.
19
Lawrence M. Friedman. The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russell Sage Foundation, 1975) Hal. 11-16
Mengenai substansi hukum, L.A Hart menjelaskan bahwa Sistem hukum terdiri dari “primary rules” dan “secondary rules”. Primary rules adalah norma prilaku dan secondary rules merupakan norma yang mengatur norma-norma tersebut.( H.L.A Hart. The concept of law, 1961. Hal 91-92)
20Ibid
Budaya hukum adalah nilai-nilai, sikap, prilaku, atau cara pandang masyarakat
terhadap hukum. “ Legal culrure is the element of sosial attitude and value. Legal Structure refers to those parts of general culture – custom, opinions, ways of doing and thinking-that bend sosial forces toward or away from the law and in particular ways”21 Budaya hukum sebagai kekuatan sosial berperan penting dalam menentukan efektifitas
substansi hukum. “ What gives life and reality to the legal system is the outside, sosial world. The legal system is not insulated or isolated; it depends absolutely on inputs from outside”22
Abduh Manan mengatakan tingkat kesadaran hukum tercermin dari kepatuhan dan
ketaatan masyarakat terhadap hukum tersebut.
23
Paul Scholten bahkan mengatakan
kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada
hukum yang mengikat masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya
kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum.24
Substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum ini sebagai satu sistem merupakan satu kesatuan yang bekerja secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum
tersebut. “A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact.”
25
Sebagai contoh bagaimana ketiga unsur hukum tersebut berinteraksi satu sama lain
dapat dilihat dari contoh berikut. Pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu
Abdul Manan,. Aspek-aspek Pengubah Hukum. (Jakarta: Kencana. 2009 ) . hal.19-20
24
Kesadaran Hukum. diakses dari hukum/ pada tanggal 30 Maret 2012
25
pendidikan, telah mensyaratkan guru harus minimal berijajah sarjana (S1) 26. Melalui
ketentuan ini Pemerintah mengharapkan guru-guru yang belum berpendidikan sarjana
untuk dapat melanujutkan kuliah mereka ke jenjang Sarjana. Kenyataanya ada
oknum-oknum guru yang justru memperoleh ijajah Sarjana dengan cara-cara yang tidak
semestinya, misalnya membeli ijajah. 27 Praktik yang demikian juga terjadi pada profesi
lainnya, bahkan ada aknum-oknum yang berani menggunakan ijazah palsu untuk
mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI.28 Hal tersebut merupakan prilaku atau
budaya hukum yang konradiktif dengan tujuan dibuatnya UU No. 14 Tahun 2005
tersebut. Praktik tersebut semakin langgeng karena tidak berfungsinya Legal structure
dalam melakukan pengawasan.29
Dari contoh di atas, UU No. 14 Tahun 2005 tersebut merupakan legal substance, sementara prilaku guru yang memperoleh ijajah Strata Satu dengan cara yang tidak
sesuai dengan aturan perundang-undangan merupakan legal culture. Sementara perguruan tinggi yang mengeluarkan ijajah tersebut atau lembaga yang gagal mengawasi
26
Pasal 8 dan 9 UU Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen
27
Seorang guru berijazah palsu lulus uji kompetensi. Diakses dari http://www.antaranews. com/berita/315404/seorang-guru-berijazah-palsu-lulus-uji-kompetensi pada tanggal 17 Januai 2013.
Fenomena jual beli gelar selain tak bisa dilepaskan dari adanya permintaan pasar tenaga kerja yang berlabel legal formal, juga berkolaborasi dengan konsumerisme yang mengedepankan budaya instan. Gelar akademik pun dianggap sebagai komoditas yang bisa dikonsumsi dalam arti dibeli untuk dipajang dan dikoleksi. Mereka yang gemar mengoleksi berbagai gelar akademik seperti Dr/PhD, MA, MBA, MSc dan Profesor, mulai dari pengusaha, anggota DPR(D), bupati, gubernur, pejabat militer, polisi hingga pendeta. (Baca: “Jual Beli Gelar Akademik” dapat diakses dari read/?id=21328)
28
Anggota DPR Ketahuan Pakai Ijazah Palsu. Diakses dari Juli 2012.
29
peguruan tinggi tersebut merupakan legal structure. Kegagalan salah satu dari unsur sistem hukum ini bekerja akan berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukun
(pendidikan) itu sendiri.
Hukum selalu berada pada status “law in the making”, tidak bersifat final. Hukum harus selalu peka terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal,
nasional, maupun global. Namun tujuan perubahan hukum tersebut harus dipastikan
untuk melindungi rakyat.30
GATS merupakan legal substance yang akan mengubah legal culture kita, atau
legal culture masyarakat internasional yang telah merubah legal substance kita. Pemerintah sebagai legal structure yang memiliki otoritas yang paling dominan harus mampu memastikan bahwa ketiga unsur tersebut tertata rapi untuk menciptakan
sinergitas dalam mencapai tujuannya, dalam hal ini tujuan pendidikan nasional.
Oleh karena itu membuat atau menghilangkan substansi
hukum akan selalu terjadi sebagai respon atas perubahan jaman.
b. Teori Monisme
Dalam perkembangan teori-teori hukum, ada dua aliran besar mengenai hubungan
antara hukum nasional dengan hukum internasional; Monisme dan Dualisme.31
30
Satjipto Rahardjo; Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia . (Jogyakarta:Genta Publishing.2009). hal 18
Menurut
teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua Sistem hukum
yang berbeda. Dilihat dari sumber hukum, maka hukum internasional bersumber dari
kehendak negara-negara, sedangkan sumber hukum nasional bersumber dari kehendak
negara. Agar hukum internasional berdampak pada hukum nasional terlebih dahulu
31
harus diadopsi sesuai dengan sistm yang berlaku di negara tersebut sehingga ketika
diaplikasikan tetapi menjadi hukum nasional. 32
Menurut teori Monisme bahwa hukum nasional dan internasional merupakan satu
kesatuan yang terdiri dari aturan-aturan yang mengikat baik kepada negara, individu,
maupun subjek selain negara sehingga akan memunculkan adanya hirarki diantara
keduanya. Hukum nasional dan internasional yang diterima oleh negara melalui traktat
menentukan apakah satu perbuatan hukum tertentu legal atau tidak. Segera pemerintah
menandatangani atau meratifikasi satu perjanjian internasional, maka pada saat itu juga
hukum internasional telah menjadi bagian dari Sistem hukum nasional yang tidak
memerlukan interpretasi, modifikasi, atau penyesuaian sehingga dapat langsung di
aplikasikan atau digunakan oleh masyarakat dan penegak hukum. S. K. Verma
mengatakan bahwa menurut teori Monisme hukum internasional dan hukum nasional
merupakan hukum yang berasal dari sumber sama, yaitu hukum alam dan sama-sama
mengikat negara dan individu
33
Pertanyaan yang muncul dari teori Monisme ini adalah jika terjadi konflik antara
hukum nasional dan hukum internasional, kepentingan hukum mana yang dimenangkan.
Pertanyaan tersebut kemudian melahirkan dua pendapat yang disebut dengan Primat
Hukum Nasional dan Primat Hukum internasional.
34
32
Boleslaw Adam Boczek .International Law: A Dictionary. (Marland.Scarecrow Press.Inc.2007) Hal. 6
33
S. K. Verma . An Introduction To Publik International Law.(PHI.2004). Hal 48
34
Menurut paham Hukum Primat Internasional bahwa hukum nasional bersumber dari
hukum internasional maka jika terjadi konflik diantara kedua hukum tersebut hukum
internasional harus menang dan tidak dapat dibatasi oleh aturan-aturan yang terdapat di
dalam hukum nasional. 35
Berangkat dari teori tersebut di atas, maka tindakan Pemerintah Indonesia yang
meratifikasi pembentukaan WTO melalui UU No.7 tahun 1994 berakibat pada
masuknya segala perjanjian yang terdapat di dalam WTO dalam hal ini GATS tersebut
ke dalam sistem hukum Indonesia,.
Sedangkan menurut Hukum Primat Nasional bahwa hukum
internasional bersumber dari hukum nasional dengan alasan bahwa tidak ada satu
organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara di dunia ini. Alasan
kedua adalah bahwa yang menjadi dasar dari hukum internasional untuk mengatur
hubungan internasional merupakan wewenang negara-negara untuk mengadakan
perjanjian-perjanjian internasional.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan tinggi di Indonesia
merupakan layanan publik, sementara dalam WTO/GATS pendidikan tinggi merupakan
komoditas yang diliberalisasi dalam perdagangan internasional. Kedua fakta ini telah
menimbulkan permasalahan hukum, dimana terjadi konflik dalam memandang
pendidikan tinggi, yaitu sebagai layanan publik (domestic rule) dan komoditas (GATS).
2. Kerangka Konseptual
Di dalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris, dimungkinkan
untuk menyusun kerangka konsepsionil yang didasarkan atau diambil dari peraturan
35
perundang-undangan tertentu. Biasanya kerangka konsepsionil tersebut sekaligus
merumuskan defenisi-defenisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasionil di
dalam proses pengumpulan,analisis, dan konstruksi data. 36
a. Liberalisasi pendidikan adalah proses penghapusan atau pengurangan
hambatan-hambatan dalam perdagangan jasa pendidikan secara internasional
dalam bentuk aturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan .
Untuk menghindari
kesalahan ( misinterpretation), ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu :
b. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah
yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan
doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
c. Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi.
d. Pendirian Perguruan Tinggi adalah pembentukan akademi, politeknik, sekolah
tinggi,institut, atau universitas oleh nagara atau lembaga pendidikan asing di
Indonesia.
e. General Agreement on Trade and Services (GATS) adalah perjanjian internasional dibidang perdagangan jasa yang dihasilkan oleh WTO sebagai aturan perdagangan jasa internasional.
36
f. Modes of Supply adalah cara atau modus yang dipergunakan dalam melakukan perdagangan internasional dibidang jasa yaitu Cross border supply,
Consumption Abroad, Commercial Presence dan Presence of Natural Person. g. Eksistensi artinya “hal berada, keberadaan”37
G. Metode Penelitian
. Eksistensi pendidikantinggi
asing yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adalah keberadaan
pendidikan tinggi asing di Indonesia.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian
yang mengacu pada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan. Menurut Ronald Dworkin bahwa penelitian normatif
disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik
sebagai law as it is written in the book maupun law as it is decided by the judge through judicial process.38 Penelitian yang demikian dikenal sebagai penelitiam hukum normatif yang bersifat kualitatif.39
37
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.Edisi keempat (Jakarta:Gramedia Pustaka Jaya,2008)
Penelitian hukum normatif bersifat kualitatif
didasarkan pada alasan bahwa analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan
dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau
38
Ronald Dworkin, dalam Bismar Naution., Metode Penelitian Normatif dan Perbandingan Hukum. Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada MajalahAkreditasoi, Fakultas Hukum USU.TANGGAL 18 Pebruari 2003.Hal. 1
39Ibid.
modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang
dikumpulkan.40
2. Sumber Data
Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data
kepustakaan yang sumber datanya terdiri dari bahan hukum primer yakni bahan hukum
yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SPN, pendidikan
tinggi,dan perjanjian internasional pada perdagangan jasa, diantaranya adalah :
a. UUD 1945
b. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
c. UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
d. UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization)
h. PP Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
i. PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 Tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
j. Kepmendikbud No. 234/U/2000 Tentang Pedoman pendirian perguruan tinggi
k. GATS Agreement
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, terdiri atas buku-buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli,
makalah-makalah, dan media internet. 41
40Ibid.
Hal. 38
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang
41
memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum. 42
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan dengan mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap
peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar, bahan
kuliah yang relevan. 43
4. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah untuk mendapatkan
pasal-pasal, kaidah-kaidah yang mengatur tentang pendidikan tinggi, penyelenggaraan
pendidikan asing, serta ketentuan-ketentuan dan aturan, prinsip perdagangan jasa di
dalam GATS.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni
dengan memilih teeori-teori, asas-asas norma-norma, serta pasal-pasal yang terdapat di
dalam aturan perundang-undangan yang relevan, yaitu yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pendidikan tinggi baik yang diselenggarakan oleh PTN, PTS maupun
Perguruan Tinggi Asing (PTA), serta pengaturan perdagangan jasa yang diatur di dalam
GATS Agreement. Data tersebut dianalisis secara kualitatif dan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data
sehingga dapat member jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan.
42
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.Jakarta.(PT Raja Grafindo Persada.2001) Hal. 195-196.
43