BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak
2.1.1 Definisi Anak
Anak dalam visi Konvensi Hak Anak PBB merupakan sebagai suatu subjek,
anak yang diposisikan sebagai manusia dan anak diakui sebagai mahluk otonom dan
merdeka. Terdapat berbagai definisi mengenai anak. Bagaimanapun juga, anak-anak
adalah sesosok mahluk yang harus tetap dihormati, dilindungi dan dapat ditumbuh
kembangkan karena mereka merupakan amanat Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan
menurut UU Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Kemudian dalam Konvensi Hak Anak Pasal 1 menyatakan bahwa
setiap orang yang berusia dibawah umur 18 tahun, kecuali berdasarkan ketentuan
yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. (Save The Childern, 2010: 19).
Konvensi Hak-Hak Anak menyatakan bahwa ”seorang anak adalah setiap anak
yang berusia di bawah 18 tahun kecuali di bawah undang-undang yang berlaku bagi
anak, usia dewasa dicapai lebih awal. Lepas dari pasal 1 tersebut, memperbolehkan
usia dewasa yang lebih rendah, ada beberapa hal dalam Konvensi yang terus berlaku
bagi anak 18 tahun, tanpa memandang usia dewasa (Save The Children, 2010: 18).
2.1.2 Hak-Hak Anak Sebagai Korban
Hak Anak pada dasarnya adalah hak azasi manusia. Dalam Konvensi Hak Anak
hak-hak anak korban, khususnya korban pelanggaran serius. Pasal ini menetapkan:
Negara-negara anggota harus mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu
untuk mendorong pemulihan fisik dan psikologi dan integrasi sosial anak korban
dari: segala bentuk pengabaian, eksploitasi atau abuse, penyiksaan atau bentuk-bentuk lain kekejaman, perlakuan yang tidak berprikemanusiaan dan menistakan atau
konflik bersenjata. Pemulihan dan reintegrasi hendaknya terjadi di lingkungan yang
menunjang kesehatan, harga diri dan martabat anak. Ada beberapa instrumen hukum
lainnya yang mengandung hak-hak anak sebagai korban disampaikan lebih rinci
sebagai berikut, yaitu:
a. Hak Atas Kerahasiaan
Hak korban atas kerahasian untuk melindungi privasi, kehormatan dan
reputasi mereka, mungkin terpengaruh dengan dua cara berikut, yang
pertama, media mungkin menerbitkan atau menyiarkan gambar, nama atau
informasi mengenai korban yang memungkinkan masyarakat dapat
mengidentifikasi korban. Kedua, korban dapat diberi stigma oleh masyarakat,
lepas dari apakah insiden atau kejadian itu telah diinput media atau tidak. Ini umum terjadi, khususnya pada anak yang menjadi korban eksploitasi dan
kekerasan seksual dalam masyarakat dimana norma-norma sosialnya kuat
menentang hubungan di luar pernikahan.
b. Hak Atas Perlakuan Yang Berprikemanusiaan Selama Proses Persidangan
Hanya sebagian kecil dari korban kekerasan dan abuse yang mencari bantuan. Salah satu alasan yang utama mereka tidak datang melapor adalah adanya
rasa takut atau rasa ketakutan yang mendalam akan perlakuan yang “tidak
peka” dari instansi penegak hukum, penyelidikan medis dan sosial begitu
c. Hak Atas Repatriasi Dan Reintegrasi Sosial
Kebutuhan rehabilitasi dari anak-anak yang diperdagangkan sering rumit dan
berjangka panjang. Anak yang dikembalikan itu mungkin memerlukan
dukungan medis dan psikososial jangka panjang dan untuk diintegrasikan ke
dalam sekolah atau kehiduan kerja serta ke keluarga dan komunitasnya.
Mereka mungkin memerlukan dukungan material dan finansial, setidaknya
untuk menghindari agar tidak diperdagangkan lagi. Bila keluarga anak
tersebut merupakan bagian dari masalah, ia mungkin memerlukan perawatan
alternative. Anak itu perlu dibuat aman dan mampu bertahan hidup.
d. Hak Untuk Mengajukan Ganti Rugi (Santunan)
Hak dari korban anak untuk mengajukan ganti rugi karena cedera yang
dideritanya adalah penting karena beberapa alasan. Pertama, sebagaimana
korban lainnya, anak memiliki hak untuk mendapatkan konpensasi atas
cedera psikologis, fisik dan moral yang diakibatkan oleh pelanggaran
terhadap hak-hak mereka. Kedua, menuntut pelaku bertanggungjawab secara
ekonomi dapat menjadi faktor penjerat yang efektif, khusunya dimana istitusi public, swasta atau perusahaan terlibat dalam pelanggaran tersebut. Ketiga, konpensasi bagi korban dapat membantu untuk memfasilitasi reintegrasi
sosial (Riyanto, 2006 :135).
2.1.3 Ekspolitasi Seksual pada Anak
2.1.3.1 Definisi Eksploitasi Seksual
Eksploitasi menurut bahasa adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri,
pengisapan, pemerasan tenaga orang lain (Idris, 1988:30) sedangkan makna
untuk menggunakan pribadi lain demi pemuasan kebutuhan orang pertama tanpa
memperhatikan kebutuhan pribadi pihak kedua (Kartono, 2001:180). Sedangkan
menurut UU perlindungan anak bahwa eksploitasi adalah tindakan atau perbuatan
memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh kepentingan
pribadi, keluarga atau golongan (Umbara, 2003: 50).
Seksual secara bahasa adalah proses penggabungan dua sel gamet yang
dihasilkan induk jantan dan betina, sehingga menghasilkan zigot yang akan tumbuh
dan berdiferensi menjadi individu baru. Seksual menurut terminologi adalah
menyinggung hal reproduksi atau perkembangbiakan lewat penyatuan dua individu
yang berbeda yang masing-masing menghasilkan sebutir telur dan sperma atau
secara umum,menyinggung tingkah laku, perasaan, atau emosi ynag berasosiasi
dengan perangsangan alat-alat kelamin, daerah-daerah erogenus atau proses
perkembangbiakan (Kartono, 2001: 459).
Jadi, Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual
atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan dan bentuk
penghisapan atau penggunaan serta pemanfaatan anak semaksimal mungkin oleh
orang lain dalam bentuk kenikmatan seksual yang dapat ditukarkan dengan
benda-benda, materi dan uang atau sejenisnya yang mempunyai nilai jual. Dengan demikian
eksploitasi seksual merupakan suatu perbuatan kejahatan. Selain itu, Ekspoitasi
seksual adalah setiap penyalahgunaan posisi rentan, kekuasaan yang berbeda, atau
kepercayaan untuk tujuan-tujuan seksual, ini termasuk mengambil keuntungan secara
finansial, sosial atau politis dari eksploitasi seksual terhadap oarang lain (Kebijakan
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya eksploitasi seksual terhadap anak
adalah:
a. Ketidaksetaraan Genjer dan Diskriminasi Jender
Adanya ketidaksetaraan ekonomi, sosial dan hukum mendarah daging yang
dihadapi oleh perempuan dewasa dan anak-anak perempuan meningkatkan
kerentanan mereka terhadap eksploitasi seks komersial. Interseksi antara
diskriminasi gender dan ras dengan diskriminasi etnis memperparah
kerentanan ini, sebagai mana tampak jelas dalam representasi yang tidak
seimbnag dari minoritas etnis dan ras dalam perdagangan seks komersial.
Stigma yang dicapkan kepada korban eksploitasi dan kekerasan seksual dapat
menyebabkan sang korban menjadi termarginalisasi dan viktimisasi lebih
lanjut.
b. Kemiskinan
Kemiskinan bukanla satu-satunya alasan eksploitasi seks komersial
anak-anak, namun hal itu merupakan katalitas utama. Misalnya, agen
penyalur/pengadaan tumbuh subur didaerah-daerah kumuh perkotaan dan
pedesaan miskin, dimana hanya ada sedikit kesempatan kerja atau
pendidikan. Kemiskinan bisa mendorong keluarga untuk melakukan tindakan
nekat untuk bertahan hidu.
c. Permintaan Terhadap Pelayanan Seks
Pelaku pelanggaran seks dengan anak dapat ditemukan di profesi apapun, di
bangsa yang kaya maupun miskin, mungkin sudah menikah atau masih
lajang, orang asing ataupun penduduk setempat, heterokseksual maupun
homoseksual. Mereka sering memberikan pembenaran terhadap prilaku yang
perdagangan seks komersial atau datang dari budaya di mana anak-anak lebih
terbuka dan berpengalaman seksual pada usia yang lebih dini, dan bahwa
mereka membantu anak-anak tersebut dengan memberi uang.
d. Penyalahgunaan Internet
Pornografi anak, informasi mengenai wisata seks dan mempelai yang dapat
dipesan melalui surat secara terbuka tersedia di internet. Forum-forum seperti
chat rooms memfasilitasi geng dan jaringan perdagangan dan telah mejadi ajang pertemuan bagi para mucikari dan para pemangsa (predator) yang membuntuti anak-anak.
e. Pecahnya atau Tidak Berfungsinya Keluarga
Banyak keluarga berada dalam keadaan yang sangat sulit. Orang tua yang
mungkin menderita penyakit mental atau fisik, ketagihan obat-obatan
terlarang, atau alkohol, menyebabkan anak-anak meninggalkan rumah pada
usia yang sangat bersinggungan dengan resiko eksploitasi seksual. Juga, bagi
banyak anak, kekerasan seksual terjadi di rumah dan diberlakukan oleh
saudara atau teman (Riyanto, 2006: 61).
2.1.3.2 Bentuk-Bentuk Eksploitasi Seksual pada Anak
5 bentuk Eksploitasi seksual yang dapat di uraikan yaitu:
1. Prostitusi Anak
Merupakan tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung
seorang anak untu melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau
imbalan lain. Bukan anak-anak yang memilih untuk terlibat dalam pelacuran
agar dapat bertahan hidup atau untuk membeli barang-barang konsumtif,
tetapi mereka didorong oleh keadaan, struktur sosial dan pelaku-pelaku
kerentanan mereka serta mengeksploitasi dan melakukan kekerasan seksual
kepada mereka.
2. Pornografi Anak
Merupakan pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang
melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang
menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. Pornografi anak
termasuk foto-foto, pertunjukan visual dan audio, tulisan yang dapat
disebarkan melalui majalah, buku, gambar, film, dan lain sebagainya.
Pornografi anak mengeksploitasi anak dalam berbagai cara. Anak-anak
dapat ditipu atau dipaksa untuk melakukan tindakan seksual untuk pembuatan
bahan-bahan pornografi atau mungkin gambar-gambar tersebut dibuat dalam
proses pengeksploitasian seseorang anak secara seksual tanpa sepengetahuan
anak tersebut.
Penyebaran global pornografi anak melalui internet tanpa adanya payung
hukum untuk melindungi anak-anak membuat para penegak hukum nasional
kesulitan untuk menghukum para pelaku lokal. Internet juga dibatasi oleh
batas-batas negara maka harmonisasi perundang-undangan, kerjasama polisi
internasional dan tanggung jawab industri IT (Teknologi Informasi)
diutuhkan untuk menangani masalah tersebut.
3. Perdagangan Anak Untuk Tujuan Seksual
Merupakan proses perekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dan
penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Perdagangan anak bisa
terjadi tanpa atau dengan menggunakan paksaan, kekerasan atau pemalsuan
mereka. Anak-anak diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual atau
perburuhan, tetapi tidak semua anak korban trafficking telah dibuat sangat rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual karena mereka dipindahkan
dari struktur-struktur pendukung yang sudah dikenal seperti keluarga dan
masyarakat mereka. Aksi untuk memerangi perdagangan anak harus
menangani kondisi-kondisi yang membuat anak-anak rentan dan menghukum
para pelaku bukan korban.
4. Wisata Seks Anak
Merupakan eksploitasi seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang
melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, dan di tempat tersebut
mereka berhubungan seks dengan anak-anak. Mereka seringkali melakukan
perjalanan dari sebuah negara kaya ke negara yang berkembang. Para
wisatawan seks anak berasal dari semua alur kehidupan. Mereka bisa saja
orang yang telah menikah atau bujangan, laki-laki atau perempuan, para
wisatawan kaya atau pelancong yang psa-pasan.
5. Perkawinan Anak atau Pernikahan Dini
Merupakan pernikahan degan anak, yakni dibawah umur 18 tahun yang
memungkinkan anak menjadi korban eksploitasi sebab tujuan menikahi anak
tersebut untuk menjadikan anak sebagai objek seks untuk menghasilkan uang
atau imbalan lainnya.
Sebagian anak dipaksa untuk menikah oleh orang tua atau keluarga
mereka, sedangkan anak-anak masih terlalu muda untuk membuat keputusan
yang benar dan izin diberikan oleh orang lain atas nama anak tersebut tidak
anak perempuan yang dipaksa menilah mengalami kekerasan dalam rumah
tangga mereka. Pernikahan dini juga sering terkait dengan penelantaran istri
dan menjerumuskan anak perempuan muda kedalam kemiskinan yang luar
biasa dan meningkatkan resiko untuk memasuki industri perdagangan seks
untuk dapat bertahan hidup (PKPA Medan, Yayasan Setara, Kakak, YKAI,
LA , Badan Pemberdayaan Masyarakat Manado, 2008: 6).
2.1.4 Definisi Proses Pendampingan Korban
Proses adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami atau
didesain, dapat menggunakan waktu, ruang, keahlian atau sumber daya lainnya, yang
menghasilkan suatu hasil. Suatu proses mungkin dikenali oleh perubahan yang
diciptakan terhadap sifat-sifat dari satu atau lebih objek yang di bawah pengaruhnya,
serta adanya perubahan berdasarkan mengalirnya waktu dan kegiatan yang saling
berkaitan (Sumber: http://id.wikipedia. org/wiki/Proses. Diakses pada tanggal 16
November 2013, Pukul 11.07 WIB).
Pendampingan adalah suatu proses pemberian kemudahan (fasilitas) yang
diberikan pendamping kepada klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dan
memecahkan masalah serta mendorong tumbuhnya inisiatif dalam proses
pengambilan keputusan, sehingga kemandirian klien secara berkelanjutan dapat
diwujudkan (Sumber:
Pukul 13.30 WIB).
Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencuri pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain
kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa
juga berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum (Sumber:
WIB).
Jadi, proses pendampingan korban adalah urutan pelaksanaan atau kejadian
yang terjadi secara alami atau didesain, dapat menggunakan waktu, ruang, keahlian
atau sumber daya lainnya, yang menghasilkan suatu hasil utuk memberikan
kemudahan (fasilitas) agar korban dapat memecahkan masalahnya dan kemandirian
korba atau klien secara berkelanjutan dapat terwujud.
Menurut
adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pada pasal (4) menyatakan, korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan
atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang (Sumber:
2013, Pukul 01.12 WIB).
Pendampingan atau penanganan korban eksploitasi seksual pada anak perlu
dilandasi prinsip-prinsip yang mengedepankan atas kemanusian, keadilan dan
kepentingan terbaik pada korban dan Masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut merupakan
pengakuan, anak adalah manusia dengan hak-haknya merupakan kodrat hidup dan
memperoleh hak-haknya sebagai korban (Manik, Tariga, Murniaty, Rosmalinda,
2002 : 13).
Prinsip-prinsip pendampingan secara umum meliputi:
1. Prinsip Manusiawi
Anak adalah manusia yang memilki hak azasi dan secara fisik dan mental
belum matang, maka perlu perindungan dan pengamanan khusus. Mereka
harus diperlakukan sebagai manusia dengan hak-haknya, bukan dari sudut
pandang apa yang telah terjadi kepadanya. Walaupun anak tersebut sebagai
korban Eksploitasi seksual tidak berarti dia kehilangan status kemanusiaan
dan hak-haknya sebagai anak. Dia adalah korban secara etika, moral dan nilai
sosial yang wajib dilindungi, dihargai dan memperoleh perlakuan yang baik
dan benar.
2. Mengutamakan Kepentingan Terbaik Korban
Konvensi Hak Anak pasal 3 menyatakan bahwa, “ dalam semua tindakan
menyagkut anak yag dilakukan oleh lembaga kesejahteraan sosial pemerintah
atau swasta, lembaga pengadilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif,
kepentingan terbaik anak merupakan pertimbangan utama. Dengan kata lain,
lembaga-lembaga tersebut harus memberikan pelayanan yang terbaik agar
anak memperoleh perlakuan dan pelayanan khusus demi kepentingan
terbaiknya.
3. Prinsip Non-Diskriminasi
Setiap anak yang menjadi korban eksploitasi seksual wajib memperoleh
pelayanan, perlindungan dan bantuan yang layak dan semestinya tanpa
memandang ras, bahasa, agama, pandangan politikm keturunan social, harta,
diharuskan tidak berlaku diskriminatif baik atas kemauannya sendiri atau karena ada faktor dari luar.
4. Prisip Efektifitas dan Efisiensi
Keprofesionalismean yaitu efektifitas dan efisiensi disetiap proses
penanganan yang dilakukan bertujuan untuk:
a. Rasa percaya diri anak tumbuh dengan kepastian penanganan
masalahnya.
b. Anak tidak jenuh atau bosan, yang dapat berakibat anak menolak
untuk melanjutkan proses yang sedang berlangsung.
c. Anak segera dapat direhabilitasi fisik, mental dan sosialnya untuk
kelangsungan jidup dan masa depan terbaiknya.
5. Prinsip Menghargai Pendapat dan Pandangan Korban atau Keluarga.
Walaupun status mereka anak-anak dan korban yang secara psikologis
mengalami masalah, tetapi tetap dianjurkan meminta dan mempertimbangkan
pendapat anak sesuai usinya. Hal yang terpenting, bahwa kita harus tetap
wajib menawarkan pilihan kepada korban ataupun keluarganya sendiri
(Manik, Tariga, Murniaty, Rosmalinda, 2002 : 13).
Selain itu, adanya prinsip dasar yang harus dimiliki oleh seorang pendamping
yang dibagi dalam 5 bagian yaitu:
1. Bersikap Empati
Empati berarti berusaha memahami perasaan orang lain dengan cara melihat
situasi dari sudut pandang orang tersebut. Empati berbeda dengan simpati,
jika simpati berarti memberikan tanggapan tentang perasan, dan biasanya
ungkapan perasaan kasihan dan simpati tidak terlalu membantu perasaan
rasa empati tetapi penting untuk memperlihatkan rasa empati tersebut kepada
korban. Untuk membangun sikap empati, maka ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a. Menghargai klien atau korban tanpa membedakan suku, keyakinan dan
nilai-nilai serta tingkatan sosial yang berbeda.
b. Berpenampilan sederhana.
c. Meminta izin kepada korban untuk mewawancarainya, mengambil
gambar, ataupun merekam pembicaraannya.
d. Apabila klien atau korban berbeda jenis kelamin dengan pendamping,
maka pendamping tidak boleh melakukan sentuhan fisik.
e. tidak boleh meminta uang kepada korban.
2. Mampu Menjadi Pendengar Aktif
Mendengar adalah proses fisiologis dimana sensor menerima rangsangan
yang berkaitab dengan pendengaran, sedangkan mendengarkan adalah proses
psikologis dimana terdapat proses menginterprestasikan dan memahami apa
yang sedang di dengar seseorang. Proses ini membutuhkan perhatian penuh
dari pendengar sehinga dapat memahami orang yang di dengar tersebut.
Dalam hal ini, pendamping harus mampu menyakinkan korban agar ia mau
untuk bercerita. Ketika klien atau korban sudah mulai bercerita, maka
pendamping harus mampu menjadi pendengar yang aktif. Seorang
pendamping harus mampu memberikan saran atau solusi atas masalah yang
di hadapi oleh klien atau korban.
3. Terampil Menghadapi
Seorang pendamping tidak hanya di tuntut bisa menjadi pendengar yang aktif,
baik secara respon verbal maupun nonverbal. Menanggapi klien atau korban
bisa dilakukan dengan cara merefleksikan apa yang mereka rasakan,
merefleksikan apa yang mereka katakana, merefleksikan apa yang mereka
makasudkan dan merangkum apa yang mereka rasakan dan katakan.
4. Menjaga Kerahasian
Keharasian adalah prinsip yang penting dalam proses berkomunikasi dan
menolong korban. Merusak kerahasian dan kepercayaan bisa menyakiti hati
korban. Kerahasian adalah prinsip yang ditujukan untuk melindungi
keleluasaan pribadi korban. Tidak membahayakan keamanan korban dan
membantu pengungkapan pengalaman yang sulit. Hal yang perlu dilakukan
dalam menjaga kerahasian informasi klien atau korban adalah dalam
melakukan wawancara, ajukan pertanyaan yang relevan saja, data-data
korban hanya bisa diakses oleh orang-orang yang berkepentingan saja,
mewawancarainya diruangana yang tertutup dan jangan membiarkan
wartawan untuk mewawancarai korban tanpa seizinnya.
5. Mendokumentasikan Kasus
Mendokumentasikan berarti menyimpan data kasus klien atau korban yang
dilayani. Pendokumentasian kasus sama pentingnya dengan menjaga
kerahasian dari data-data yang diberikan klien. Sebagai seorang pendamping,
maka harus memperhatikan etika saat mencari informasi kasus dengan
cara-cara tidak mengintrogasi serta harus lebih mengutamakan pendampingan dari
pada pendataan (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 1-4).
Proses pendampingan pada korban Eksploitasi Seksual pada anak
penanganannya selalu saling berkaitan dan mempengaruhi dalam mencapai
dimaksudkan agar anak tidak tertekan, anak dapat jujur, tidak terjadi pengulangan
pertanyaan sama yang membuat korban jenuh, ataupun bosan, proses pendampingan
dan penanganan berlangsung secara efektif dan efisien agar tidak memberatkan
korban atau keluarga baik secara psikologis, ekonomi, dan sosial serta korban dapat
segera memperoleh kepastian hukum dan masa depannya (Manik, et.al, 2002 : 17).
2.2 Peranan Yayasan Pusaka Indonesia
2.2.1 Pengertian Peranan
Peranan berasal dari kata peran. Peran memiliki makna yaitu seperangkat
tingkat diharapkan yang dimiliki oleh yang berkedudukan di masyarakat. Usman
mengemukakan “peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling
berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan
kemajuan perubahan tingkah laku (Sumber:
Pukul 12.22 WIB).
Horton dan Hunt mengemukakan bahwa peran adalah perilaku yang di
harapkan dari seseorang yang mempunyai status. Bahkan dalam suatu status tunggal
pun orang dihadapkan dengan sekelompok peran yang disebut sebagai perangkat
peran. Istilah seperangkat peran (role set) digunakan untuk menunjukkan bahwa satu status tidak hanya mempunyai satu peran tunggal, akan tetapi sejumlah peran yang
saling berhubungan dan cocok (Sumber:, Di Akses pada Tanggal 28 Oktober 2013,
Pukul 12.22 WIB).
Terwujudnya kebijakan (isi, struktur dan kultur) publik yang berpihak pada
anak dan perempuan di Indonesia adalah jalan panjang yang membutuhkan beberapa
struktural yang belum terpecahkan oleh negara. Satu dari beberapa aspek struktural
tersebut adalah mis management penyelengaraan negara yang ujung-ujungnya
menimbulkan, korupsi, pembusukan hukum, pemiskinan dan pengabaian terhadap
hak-hak dasar dari warga negara, termasuk anak dan perempuan.
Sisi lain secara gradual adanya sejumlah progres dalam upaya penghormatan
terhadap hak-hak anak. Hal Ini terlihat dari lahir dan dibentuknya sejumlah
perangkat hukum bagi perlindungan anak di tingkat nasional dan lokal. Lahirnya
sejumlah UU (UU perlindungan Anak, UU penghapusan perdagangan orang, dll) dan
Gugus tugas Nasional dan Daerah bagi traffiking anak dan perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Daerah dan berbagai program penguatan kapasitas
Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk perlindungan anak merupakan beberapa
contoh untuk menunjukkan adanya keperdulian negara dalam perlindungan anak di
Indonesia.
Berbagai peluang atau faktor pendukung dalam upaya perlindungan anak, selalu
kalah cepat dalam berbagai praktek mismanagement negara melalui korupsi dan pemiskinan rakyat. Strategi yang mungkin lebih baik kedepan adalah melakukan
berbagai prevensi terhadap kemungkinan jatuhnya korban anak di tengah masyarakat
melalui berbagai pendidikan, pelatihan dan kampanye media perlindungan anak di
kalangan komunitas, masih di perlukannya penguatan di sektor ekonomi keluarga,
sehingga muncul pertahanan yang kuat dalam keluarga untuk menghadapi berbagai
tantangan dari luar terhadap komunitas.
Pengalaman Yayasan Pusaka Indonesia dalam hal berkoalisi dan berjejaring
untuk melakukan gerakan advokasi dalam perlindungan anak selalu melakukan
untuk tetap dijaga kualitasnya pada suatu lembaga. Namun, cara yang selalu
ditempuh oleh Yayasan Pusaka Indonesia untuk tetap menjaga momentum dalam
koordinasi adalah dengan tidak memusatkan perwakilan pusaka dalam jaringan atau
koalisi itu pada satu orang saja. Biasanya ada pelapis atau kerjasama dengan
beberapa pihak pemerintah maupun swasta agar tanggungjawab berjaringan ini bisa
lebih ringan dan tidak menimbulkan rasa bosan. Selain itu, Pusaka Indonesia
menerapkan prinsip keterbukaan dan kesadaran akan keterbatasan yang dimiliki.
Penanganan kasus oleh Yayasan Pusaka Indonesia selalu berkerjasama dan
merujuk lembaga lain untuk melakukan penanganan apabila Pusaka tidak
mempunyai kapasitas terhadap kasus yang di tangani. Hal tersebut bertujuan untuk
mempertahankan kordinasi dengan lembaga lain sehingga Pusaka Indonesia tetap
mendapatkan data dan informasi mengenai isu anak. Selain itu, Pusaka Indonesia
tetap menjalin hubungan dengan pihak swasta dalam hal advokasi. Misalnya dalam
melakukan advokasi pekerja anak dan kasus-kasus trafficking yang melibatkan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia. Untuk mengnetralisirkan jatuhnya korban
dalam kasus pekerja anak dan trafficking, Pusaka Indonesia melakukan pelatihan-pelatihan dan melakukan tekanan kepada sektor swasta tersebut agar lebih
memperhatikan aspek-aspek perlindungan hak azasi manusia (anak dan perempuan)
dalam bekerja.
Yayasan Pusaka Indonesia merasa telah memberikan dampak positif bagi
peningkatan kapasitas sumber daya manusia di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Ke depannya, Pusaka Indonesia berharap ada peningkatan kapasitas dalam
perencanaan program, pengorganisasian masyarakat (community organizing) dan
ditengah-tengah komunitas dan memastikan pengaruhnya bagi upaya terwujudnya pemahaman
yang lebih utuh dari masyarakat tentang pentingya perlindungan terhadap hak-hak
anak (Ikhsan, 2009 : 10).
2.2.2 Upaya Litigasi
Upaya litigasi dalam bantuan hukum yang diberikan oleh setiap lembaga
kepada seseorang adalah berdasarkan surat kuasa dengan pemberian kuasa kepada
seorang advokat. Dalam pasal 1792 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemberian kuasa adalah suatu
persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasanya (wewenang) kepada
orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Dalam praktiknya, untuk mewakili atau mendampingi kepentingan para pihak
(penggugat, tergugat, tersangka atau korban) dalam proses pengadilan haruslah
dibuat dengan surat kuasa khusus. Dalam pratik pengadilan, terdapat suatu upaya
Litigasi. Upaya litigasi adalah cara penyelesaian sengketa atau konflik yang
diselesaikan melalui pengadilan (Imran, Prasetyo, Nasir, Muyassarotussolichah,
2000: 39-40).
Peranan Yayasan Pusaka Indonesia dalam menangani kasus-kasusnya yaitu
melakukan upaya Litigasi yang meliputi:
1. Pendampingan Korban di Kepolisian
Seorang pendamping dalam menjalankan tugasnya biasanya, melakukan tugas
penyusunan kronologis peristiwa yang akan dijadikan acuan dalam melaporkan kasus
yang tengah dihadapi oleh korban. Mendampingi korban saat melapor ke pihak yang
berwenang. Meghadirkan saksi-saksi dan alat bukti lainnya juga di perlukan karena
melakukan penyelidikan. Sebagai seorang pendamping, melakukan pendampingan di
kepolisian merupakan suatu keharusan karena hal itu untuk menjaga keamanan
korban. Pada proses awal penyidikan, maka anak korban harus menjalani
pemeriksaan di rumah sakit untuk memperoleh Visum et Repertum (VER) yang akan menjadi bukti laporan korban di kepolisian. Oleh karena VER biasanya di buat di
Rumah Sakit Umum dan harus melewati administrasi rumah sakit maka pendamping
sangat berperan untuk menjadi pendamping anak di rumah sakit. Selama proses
pembuatan surat BAP, anak korban harus tetap dijaga keamanannya agar ia mau
untuk melanjutkan pelaporan yang telah dibuatnya. Selanjutnya, pendamping
melakukan monitoring terhadap proses penanganan perkara korban di kepolisian
untuk dilimpahkan ke proses penuntutan di kejaksaan.
2. Pendampingan Korban di Pengadilan
Mendampingi korban saat di pengadilan merupakan kewajiban dari pendamping.
Di pengadilan, pendamping biasanya mempertemukan korban dengan saksi.
Pendamping memberikan penjelasan secara ringkas tentang prosesi persidangan yang
akan di hadapi oleh anak korban. Di sini, peran pendamping sangat dibutuhkan.
Pendamping harus mampu meyakinkan korban untuk berani memberikan kesaksian
di depan persidangan. Hal yang juga harus diperhatikan pendamping adalah untuk
menjauhkan korban dan saksi dari incaran pers atau media massa yang biasanya ada
di pengadilan. Apabila korban telah selesai menjalani persidangan, pendamping
berhak memberitajukan beberapa prosedur hukum yang akan dijalani oleh korban
hingga putusan pengadilan. Apabila korban berhalangan untuk menghadiri sidang
selanjutnya, pendamping dari pihak Yayasan Pusaka Indonesia dapat melakukan
monitoring terhadap persidangan selanjutnya hingga jatuhnya putusan hakim
2.2.3 Upaya Non Litigasi
Persengketaan atau perselisihan yang timbul di tengah-tengah masyarakat
disamping dapat diselesaikan secara litigasi, juga dapat diselesaikan melalui
mekanisme lain yang bersifat Non Litigasi. Upaya Non Litigasi merupakan
Penyelesaian sengketa atau konflik tanpa melalui pengadilan. Biasanya, cara
penyelesaian ini dilakukan dengan menyertakan pihak ketiga sebagai penengah.
Keterlibatan pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa mengandung asumsi bahwa
pihak ketiga yang netral mampu mempengaruhi atau menyakinkan para pihak yang
bersengketa dengan memberikan informasi atau pengetahuan dan memfasilitasi
proses perundingan agar lebih efektif (Imran, etl, 2000: 28).
Di Indonesia, penyelesaian sengketa diluar pengadilan di atur dalam UU No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Uraian
mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah sebagai berikut:
1. Konsultasi
Proses konsultasi merupakan sebuah upaya untuk memberikan saran yang
memungkinkan semua pihak yang bersengketa memperoleh peluang atau
keuntungan yang relatif seimbang. Bentuk konsultasi ini biasanya merupakan
saran-saran prosedural mengenai bagaimana melakukan gerakan-gerakan
yang menunjukan maksud damai, meningkatkan komunikasi, memulai
mengendurkan posisi garis keras yang dipertahankan oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam sengketa (Moore, 1995:20-21 dalam Imran, etl, 2000: 31). 2. Negoisasi
Merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung antara para
pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk
penyelesaian yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Negoisasi bersifat informal dan tidak terstruktur serta tidak mempunyai batas
waktu, sehingga efektifitas dan efisiensi dari proses tersebut sangat
bergantung kepada para pihak (Susskind & Madigen dalam Imran, etl, 2000: 33)
3. Mediasi
Merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan
bantuan pihak ketiga netral (Mediator) guna mencari bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Peran Mediator adalah memberikan bantuan yang bersifat substantive dan prosedural kepada pihak yang
bersengketa (terbatas pada pemberian saran). Seorang mediator tidak
mempunyai kewenangan untuk memutuskan atau menetapkan suatu bentuk
penyelesaian (Wijoyo, 1999:99 dalam Imran, etl, 2000: 34). 4. Konsiliasi
Merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan
melibatkan pihak ketiga netral (Konsiliator) untuk membantu para pihak yang
bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat
5. Penilaian Ahli
Merupakan upaya para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi
diantara mereka dengan menunjuk seorang ahli yang bersifat independen,
yang diserahi untuk:
a. Menyelidiki dan menganalisis persengketaan.
b. Untuk menjernihkan masalah yang disengketakan.
c. Dari hasil penelitiannya, ahli dapat menyampaikan pendapatnya (Opini)
(Harahap, 1996:78-79 dalam Imran, etl, 2000: 37).
Peranan Yayasan Pusaka Indonesia dalam menangani kasus-kasusnya yaitu
melakukan upaya Non Litigasi yang meliputi:
1. Pelayanan Rehabilitasi Psikososial Bagi Korban
Mengakui bahwa peran dari para penyedia pelayanan medis dan psikososial
dalam upaya pencegahan eksploitasi seksual dan sexual abuse, dan pemulihan korban dan reintegrasinya ke masyarakat sangat penting. Bagian pengembangan
sumber daya manusia Komisi Sosial Ekonomi Asia Pasifik (HRD-ESCAP)
mengembangkan dan melaksanakan program pelatihan bagi penyedia pelayanan
psikososial dan medis. Proses pemulihan Psiko-sosial dan penyedia pelayanan
terhadap aak-anak yang menjadi korban Eksploitasi Seksual memerlukan waktu yang
panjang dan dana yang besar. Hal ini mengingat ketika anak menjadi korban, ada
berbagai pengaruh dan dampak terhadap kondisi fisik, mental dan sosial anak.
Diperlukan konseling psikologis, medis dan sosial serta pemberian dukungan lain
yang dibutuhkan oleh anak. Perlu dilakukan pula penghapusan stigmatisasi terhadap
anak untuk mempercepat proses pemulihan. Pihak-pihak yang terlibat didalam proses
Medan, Yayasan Setara, Kakak, YKAI, LA , Badan Pemberdayaan Masyarakat
Manado, 2008: 36 ).
Pelayanan psikososial yang berupa rehabilitasi dimaksudkan agar anak yang
menjadi korban eksploitasi seksual kembali pulih baik secara fisik, medis dan psikis.
Menumbuhkan kembali rasa percaya diri akan sangat bermanfaat bagi korban dalam
melanjudkan hidup dan kehidupannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Selain itu, adanya rumah perlindungan yang sering disebut juga shelter dapat diartikan sebagai tempat menyingkir sementara waktu, guna memberikan
kesempatan kepada anak korban eksploitasi seksual untuk dapat memikirkan
masalanya dengan tenang dan jauh dari intervensi orang lain. Keberadaan shelter
sangat di butuhkan apalagi jika anak korban merasa terancam jiwa dan
keselamatannya, emosi labil dan perlu ketenangan untuk memikirkan masalahnya.
Pemenuhan kebutuhan korban di dalam shelter di penuhi secara layak dan korban mendapatkan konseling yang akan membantu korban merencanakan
langkah-langkah dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Shelter yang ideal harus mampu menjamin keamanan penghinya dan juga memiliki aturan tat tertib bagi penghuni
shelter, konselor,staf dan relawan lain yang beraktifitas di shelter (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 30). Selain itu, Yayasan Pusaka Indonesia juga melakukan pelayanan
medis yang merupakan rehabilitasi fisik yang harus sesegera mungkin dilakukan
apabila korban anak eksploitasi seksual yang menderita sakit ataupun luka sehingga
fisiknya pulih kembali. Dalam hal ini, anak yang menjadi korban eksploitasi seksual
perlu perlakuan lebih khusus lagi menyangkut pemeriksaan kesehatan fungsi organ
reproduksi, termasuk guna pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan (Juniarti,
Rehabilitasi Psikologis juga penting dilakukan sebagai pelayanan untuk
membantu korban anak eksploitasi dalam mengatasi ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya anak
akibat tindak eksploitasi seksual tersebut. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat
kompleksnya kasus eksploitasi yang dialami anak mulai saat perekrutan, transit,
setelah sampai di daerah tujuan ataupun setelah bebas dari daerah lokalisasi. Dampak
psikologis korban terkait langsung dengan pengalaman korban selama proses
perdagangan seperti kecemasan, ketergantungan pada zat adiktif, ganguan stress
paska trauma, depresi (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 35).
2. Reintegrasi
Reintegrasi sosial adalah penyatuan kembali Korban dengan pihak keluarga,
keluarga pengganti atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan
pemenuhan kebutuhan bagi korban. Anak-anak yang disalahgunakan melalui
eksploitasi seksual sangat dirugikan dan memerlukan pelayanan yang menyeluruh,
mudah diakses dan berjangka panjang. Program-program pemulihan dan reintegrasi
harus membantu mengembalikan martabat anak, kesehatan jasmani dan rohaninya.
Selain itu, program-program ini harus bertujuan membawa perbaikan bagi
lingkungan anak sebelumnya melalui kesejahteraan lahiriah, peningkatan harga diri,
dan peningkatan kemampuan untuk melindungi diri (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010:
44).
Langkah-langkah dalam proses reintegrasi sosial korban adalah:
1. Penilaian Resiko
Penilaian Resiko dimaksudkan untuk melihat apakah daerah asal korba
2. Membangun Motivasi Korban
Setiap anak dan perempuan korban eksploitasi seksual, harus diperlakukan
sebagai suatu individu dan bukan anggota sebuah kelompok. Perlakuan
secara benar dan tepat yang dilandasi penghormatan terhadap martabat
korban merupakan unsur yang terpenting untuk membangun motivasi
korban. Motivasi korban mengenai rehabilitasi psikologis.
3. Menyusun Proses Reintegrasi
Proses reintegrasi atau pemulangan harus dilakukan secara sukarela dan
penuh kesadaran dari korban. Oleh karena itu, korban harus di libatkan
dalam menyusun rencana proses reintegrasinya.
4. Monitoring
Memulangkan korban ke kampung halamannya saja tidaklah cukup.
Korban membutuhkan pendampingan sampai korban bisa ber-integrasi
dengan baik ke masyarakat. Untuk mengetahui suksesnya proses
rehabilitasi dan reintegrasi yang dilakukan, maka pendamping perlu
melakukan monitoring terhadap korban. Dalam upaya reingrasi sosial ini,
faktor terpenting adalah adanya dukungan dari keluarga dan lingkungan
sekitar korban. Bantuan ekonomi dan konseling dapat mencegah korban
untuk diperdagangkan kembali untuk tujuan eksploitasi seksual (Juniarti,
Marjoko, Amri, 2010: 44-47).
2.3 Kesejahteraan Sosial
2.3.1 Defenisi Kesejahteraan Sosial
Pengertian kesejahteraan sosial secara yuridis konsepsional termuat dalam UU
1 ayat 1 mengartikan kesejateraan sosial sebagai “kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”. Menurut
James Midgley (dalam Isbandi Rukminto Adi, 2004 hal: 7) mendefenisikan
kesejateraan sosial sebagai “Suatu keasaan atau Kondisi kehidupan manusia yang
tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelolah dengan baik, ketika
kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat
dimaksimalkan.
Elizabeth Wickenden (dalam Wibhawa, 2010:23) mendefenisikan kesejateraan
sosial sebagai suatu sistem perundang-undangan, kebijakan, program, pelayanan dan
bantuan untuk menjamin pemehunan kebutuhan sosial yang dikenal sebagai
kebutuhan dasar bagi kesehteraan manusia dan bagi berfungsinya ketertiban sosial
secara baik. Pengertian lain juga dapat dikembangkan dari hasil Pre-Conference Working for the 15’th International Conference of Social Walfare
yakni,”Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan
mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan
konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam
arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan masyarakat, seperti pendapatan,
jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan rekreasi budaya dan lain
sebagainya (Huda, 2009: 73). Dari definisi tersebut dapat dipahami 4 hal, yaitu
sebagai berikut:
1. Konsep pelayanan sosial (bidang praktik pekerjaan sosial) mencakup
aktivitas yang sangat luas, mulai dari perundang-undangan sosial sampai
2. Konsep “Kesejateraan Sosial” dapat menciptakan kondisi masyarkat dimana
masalah sosial dapat diatasi dan dapat memaksimalkan kesempatan sosial,
misalnya didalam kesempatan bekerja dan berpartisipasi dalam
pembangunan.
3. Konsep “Kesehateraan Sosial” berbeda dengan “Kesejahteraan”. Yaitu suatu
kondisi tepenuhinya kebutuhan sosial (Kesejahteraan sosial sebagai suatu
keadaan) menjadi dasar bagi terciptanya “Kesejateraan” (sebagai keadaan
yang baik dalam semua aspek kehidupan manusia).
4. Pada tingkat masyarakat, Kesejateraan Sosial berarti terdapatnya ketertiban
sosial (social order) yang lebih baik.
2.3.2 Peran Pekerja Sosial terhadap Pelayanan Kesejateraan Sosial Anak
Pekerja sosial adalah profesi pertolongan kemanusian, yang tujuannya adalah
untuk meningkatan keberfungsian sosial individu, kelompok, keluarga dan
masyarakat. Sementara itu, pengertian pekerjaan sosial yang diadopsi oleh IFSW (
International Federation Of Social Workers), General Meeting, 26 juli 2000, Montreal, Canada adalah profesi untuk meningkatkan perubahan sosial, pemecahan
masalah dalam hubungan kemanusian serta pemberdayaan serta kebebesan
masyarakat untuk meningkatkan kesejateraan. Dengan menggunakan teori-teori
perilaku manusia dan sistem sosial, pekerja sosial mengintervensi pada titik-titik
dimana masyarakat berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hal asasi
kemanusian dan keadilan sosial adlah hal yang fundamental bagi pekerjaan sosial.
Pekerja sosial adalah seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam
pekerjaan sosial yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman
pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial (Kepmensos, 2007).
O’Connor menyebutkan bahwa pekerjaan sosial dan praktek pekerjaan sosial
mencoba meningkatkan taraf hidup manusia dan menyeimbangkan kembali
ketidakadilan dan penderitaan yang dialami warga masyarakat. Praktisi kesejahteraan
sosial mencoba untuk memobilisasi berbagai daya yang terdapat pada individu,
komunitas dan Negara bagian yang ditujukan untuk memperbaiki proses dimana
individu dan kelompok termarjinalisasikan dan kehilangan kemampuan untuk
berpartisipasi (Adi, 2004: 9).
Praktisi kesejahteraan dan praktisi komunitas adalah seseorang yang melalui
pelatihan profesional maupun lembaga pendidikan, telah menyerap nilai, sikap,
pengetahuan dan keterampilan agar dapat bekerja secara mandiri, berkelompok dan
dalam lembaga kesejahteraan atau program yang ditujukan untuk mempromosikan,
menyembuhkan atau memperbaiki keberfungsian sosial individu, keluarga,
kelompok sosial atau komunitas yang lebih luas. Selain itu, Pekerja sosial harus
mendedikasikan layanannya untuk kesejahteraan dan pengembangan diri dari
manusia dan juga masyarakat di mana mereka tinggal. Pencapaian keadilan sosial
haruslah sejalan dengan pencapaian pemenuhan kebutuhan individu . Profesi
pekerjaan sosial mengambil kliennya dari individu, keluarga, kelompok, organisasi,
komunitas ataupun masyarakat yang lebih luas untuk memberikan pelayanan (Adi,
2004 :10).
Skidmore Thackeray dan Farley menggambarkan proses casework dalam proses pendampian korban eksploitasi seksual pada anak menjadikan empat tahapan,
1. Tahapan Penelitian
Pada tahapan ini korban/klien menjalin relasi dengan caseworker. Tahapan ini caseworker mencoba untuk memilah-milah mengenai informasi atau data yang mengenai kasus eksploitasi seksual yang terjadi pada anak.
2. Tahapan Pengkajian
Pada tahapan ini, caseworker diharapkan melakukan berbagai macam bentuk terapi ataupun treatment tergantung pada kebutuhan dan keunikan masing-masing klien. Dengan bekerja sama dengan pihak-pihak lain atauapun dari
profesi lainnya, seperti polisi, dokter, ahli hukum yang dapat dijadikan
masukan pada tahapan ini. Dengan mengunakan prinsip-prisip partisipasi
agar hubungan klien dengan pihak-pihak terkait dalam terjalin dengan baik.
3. Tahapan Intervensi
Pada tahapan ini, caseworker dalam melakukan proses terapi yang dikembangkan melakukan proses diskusi dengan melakukan alternative
pemecahan masalah bersama klien. Adanya dorongan ataupun pemberian
terapi kepada korban anak dapat berupa terapi konkrit, terapi penunjang atau
penyembuhan.
4. Tahapan Terminasi
Pemutusan hubungan dengan klien atau korban eksploitasi seksual pad anak.
Dengan pencapaian tujuan terapi ataupun treatment yang telah dilakukan.
2.4 Kerangka Pemikiran
Terwujudnya kebijakan (isi, struktur dan kultur) publik yang berpihak pada
anak dan perempuan di Indonesia adalah jalan panjang yang membutuhkan beberapa
dekade lagi untuk pencapaiannya. Hal ini adalah akibat dari berbagai persoalan
tersebut adalah mismanagement penyelengaraan negara yang ujung-ujungnya menimbulkan, korupsi, pembusukan hukum, pemiskinan dan pengabaian terhadap
hak-hak dasar dari warga negara, termasuk anak dan perempuan.
Disisi lain, secara gradual memang ada sejumlah progres dalam upaya
penghormatan terhadap hak-hak anak. Ini bisa dilihat dari lahir dan dibentuknya
sejumlah perangkat bagi perlindungan anak di tingkat nasional dan lokal. Lahirnya
sejumlah UU (UU perlindungan Anak, UU penghapusan pedaganga orang dll) dan
Gugus tugas Nasional dan Daerah bagi traffiking anak dan perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Daerah dan berbagai program penguatan kapasitas
Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk perlindungan anak merupakan beberapa
contoh untuk menunjukkan adanya pemosisian negara dalam perlindungan anak di
Indonesia.
Pengalaman Yayasan Pusaka Indonesia dalam hal berkoalisi dan berjejaring
untuk melakukan gerakan advokasi dalam perlindungan anak selalu melakukan
tindakan koordinasi. Dalam hal ini, koordinasi merupakan kata yang sangat sulit
untuk tetap dijaga kualitasnya pada suatu lembaga. Namun, cara yang selalu
ditempuh oleh Yayasan Pusaka Indonesia untuk tetap menjaga momentum dalam
koordinasi adalah dengan tidak memusatkan perwakilan pusaka dalam jaringan atau
koalisi itu pada satu orang saja. Biasanya ada pelapis atau kerjasama dengan
beberapa pihak pemerintah maupun swasta agar tanggungjawab berjaringan ini bisa
lebih ringan dan tidak menimbulkan rasa bosan. Selain itu, Pusaka Indonesia
menerapkan prinsip keterbukaan dan kesadaran akan keterbatasan yang dimiliki.
Pendampingan atau penanganan korban eksploitasi seksual pada anak perlu
kepentingan terbaik pada korban dan Masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut merupakan
pengakuan, anak adalah manusia dengan hak-haknya merupakan kodrat hidup dan
bahwa anak adalah korban, sehingga perlu dilindungi, dilayani, dan didukung dalam
memperoleh hak-haknya sebagai korban.
Peranan Yayasan Pusaka dalam mendampingi kasus korban eksploitasi seksual
melalui upaya Litigasi dan Non Litigasi. Litigasi adalah cara penyelesaian sengketa
atau konflik yang diselesaikan melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa atau
konflik biasanya para pendamping melakukan upaya pendampingan saat pelaporan
kepolisian dan pada saat di pengadilan. Upaya pendamping saat pelaporan
dikepolisian biasanya melakukan penyusunan kronologi peristiwa yang terjadi pada
korban, pengumpulan saksi-saksi, mendampingi saat pemeriksaan kesehatan di
rumah sakit, dan mendampingi korban sampai ke pengadilan.
Penyelesaian sengketa dengan upaya Non Litigasi merupakan upaya
penyelesaian sengketa atau konflik di luar pengadilan. Biasanya penyelesaian
sengketa atau konflik secara non litigasi yang dilakukan pihak Yayasan Pusaka
Indonesia meliputi upaya rehabilitasi dan reintegrasi. Upaya rehabilitasi meliputi
upaya rehabilitasi fisik dan rehabilitasi psikologis. Sedangkan upaya reintegrasi
merupakan upaya pemulangan korban ke daerah asal. Biasanya pihak Yayasan
Pusaka Indonesia akan melakukan langkah-langkah sebelum memulangkan korban
tersebut ke daerah asalnya misalnya penilaian resiko korban, adanya upaya
membangun motivasi korban, dan apabila setelah semuanya siap menerima korban
kembali baru pendamping akan memulangkan korban ke lingkungan keluarga dan
Tabel 1
Bagan Alur Pikir
Peranan Yayasan Pusaka Indonesia
Perlindungan Korban Eksploitasi Seksual pada Anak
Upaya Pendampingan Litigasi terdiri dari:
a. Pendampingan korban di Kepolisian
b. Pendampingan korban di pengadilan.
Upaya Pendampingan Non Litigasi terdiri dari: a. Pelayanan Rehabilitasi
2.5 Definisi Konsep dan Definisi Operasional
2.5.1 Definisi Konsep
Konsep didefinisikan sebagai suatu arti yang mewakili sejumlah objek yang
mempunyai ciri-ciri yang sama. Konsep diartikan juga sebagai suatu abstraksi dari
ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan memungkinkan
manusia untuk berpikir. Konsep merupakan sarana yang merujuk ke dunia empiris,
dan bukan merupakan refleksi sempurna (mutlak) dunia empiris. Bahwa konsep
bukanlah dunia empiris itu sendiri. Berdasarkan konsep tersebut peneliti dapat
menata hasil pengamatannya ke dalam suatu tata kepahaman yang menggambarkan
dunia realitas sebagaimana yang dirasa, dialami, dan diamati (Suyanto,2001:49).
Perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa peneliti
ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Dengan kata lain, peneliti
berupaya mengiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu
sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti, jadi definisi konsep
adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian
(Siagian, 2011: 136-138).
Batasan konsep dalam penelitian ini adalah:
a. Peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan
yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan
kemajuan perubahan tingkah laku.
Peranan Yayasan Pusaka Indonesia dalam Proses Pendampingan Korban
Eksploitasi Seksual meliputi Upaya Pendampingan Litigasi dan NonLitigasi.
b. Upaya pendampingan Litigasi adalah cara penyelesaian sengketa atau konflik
c. Upaya pendampingan Non Litigasi adalah cara penyelesaian sengketa atau konflik yang diselesaika tanpa jalur pengadilan.
d. Proses adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami atau
didesain, dapat menggunakan waktu, ruang, keahlian atau sumber daya
lainnya, yang menghasilkan suatu hasil.
e. Pendampingan adalah suatu proses pemberian kemudahan (fasilitas) yang
diberikan pendamping kepada klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dan
memecahkan masalah serta mendorong tumbuhnya inisiatif dalam proses
pengambilan keputusan, sehingga kemandirian klien secara berkelanjutan
dapat diwujudkan.
f. Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencuri pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita. Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau
orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat atau
juga badan hukum.
g. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Kemudian Dalam konvensi hak anak pasal 1
menyatakan bahwa setiap orang yag berusia dibawah umur 18 tahun, kecuali
berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa
dicapai lebih awal.
h. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual
atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan dan bentuk
penghisapan atau penggunaan serta pemanfaatan anak semaksimal mungkin
dengan benda-benda, materi dan uang atau sejenisnya yang mempunyai nilai
jual.
2.5.2 Definisi Operasional
Ditinjau dari proses atau langkah-langkah penelitian, dapat dikemukan bahwa
perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari definisi konsep. Pada
perumusan operasioal ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia nyata
sehingga penelitian dapat diobservasi ( Siagian, 2011: 141).
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah Peranan Yayayasan Pusaka
Indonesia dalam proses pendampingan korban eksploitasi seksual pada anak, yang
meliputi :
1. Upaya Litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa atau konflik di
pengadilan. Upaya Litigasi yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia
yaitu meliputi:
a. Pendampingan Korban di Kepolisian. Pendamping melakukan
pencatatan kronologi kejadian, menghadirkan saksi-saksi dan alat-alat
bukti, mendampingi pada saat pemeriksaan kesehatan di rumah sakit,
dan mendampingi sampai selesai pemeriksaan berkas perkara.
b. Pendampingan Korban di Pengadilan. Pendamping melakukan
pendampingan kepada korban saat di pengadilan, mempertemukan
korban dengan saksi, melindungi korban dan saksi dari pers serta pendamping memonitoring persidangan selanjutnya apabila korban
2. Upaya Non Litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa atau konflik di luar pengadilan. Upaya Non Litigasi yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka
Indonesia yaitu meliputi:
Pelayanan rehabilitasi meliputi:
a. Rehabilitasi Fisik. Pendamping melakukan upaya pemulihan fisik
apabila anak korban mengalami sakit, biasanya anak korban yang
sakit akan di rujuk ke Rumah Sakit Bhayangkara Medan.
b. Rehabilitasi Psikologis. Pendamping menyediakan Psikiater guna
untuk membantu korban dalam mengatasi rasa ketakutannya.
Dalam hal ini, Yayasan Pusaka Indonesia bekerjasama dengan
Fakultas Psikologi USU.
c. Rumah Aman (Shelter). Pihak Yayasan Pusaka Indonesia menyediakan rumah sementara agar korban dapat merasa lebih
tenang dan nyaman. Dalam hal ini, Yayasan Pusaka Indonesia
bekerjasama dengan P2TP2A.
Reintegrasi meliputi:
a. Penilaian Resiko. Pendamping dapat memperkirakan seberapa besar
resiko yang akan dihadapi oleh korban apabila ia di pulangkan ke
daerah asalnya.
b. Membangun Motivasi Korban. Pendamping menjalin komunikasi
yang baik kepada korban, serta memberikan support atau dukungan kepada korban.
c. Menyusun Proses Reintegrasi. Pendamping memberikan kebebasan
kepada korban dalam penyusunan rencana proses pemlangannya.
d. Monitoring. Pendamping harus mampu untuk memonitoring korban