• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Prospek Perkotaan di Pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "4.1. Prospek Perkotaan di Pulau Jawa"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

4.1. Prospek Perkotaan di Pulau Jawa

Pulau Jawa adalah salah satu pulau utama di Indonesia. Jawa bukan pulau terbesar, tetapi menjadi pusat pemerintahan, pusat perekonomian nasional, dan boleh dikatakan sebagai pusat negeri ini. Dari dokumen Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN) 2015-20501, diketahui bahwa saat ini, komposisi penduduk perkotaan di Indonesia telah mencapai lebih dari 50 persen.

Sesuai data BPS tahun 2012 seperti dikutip Bappenas dalam dokumen KSSN itu, tingkat pertumbuhan penduduk di perkotaan itu telah mencapai 2,75 persen per tahun yang melebihi rata-rata penduduk nasional yaitu sebesar 1,17 presen per tahun. Tingkat urbaninasi dan jumlah penduduk perkotaan akan meningkat tajam pada tahun-tahun mendatang yang diperkirakan mencapai 67,7 persen pada tahun 2025 dan 85 persen pada tahun 2050. Pulau Jawa pun diperkirakan tetap menjadi salah satu pusat pertumbuhan penduduk dan perekonomian Indonesia hingga tahun 2050.

Sebaran jumlah penduduk di kawasan perkotaan di tingkat kabupaten/kota

Gambar diambil dari dokumen KSPPN-Bappenas 2015

Namun, kekuatan besar yang dimiliki Pulau Jawa tak hanya berdampak positif tetapi juga negative, baik bagi kawasan ini sendiri maupun kawasan di luar Jawa. Tingkat urbanisasi di Pulau Jawa amat tinggi. Terkait urbanisasi ini, dalam KSPPN, dinyatakan bahwa tidak hanya karena perpindahan penduduk antardaerah di Jawa tetapi juga akibat masuknya orang dari luar Pulau Jawa. Hal ini karena faktor penarik yang ada di Jawa yaitu tempat berkumpulnya kegiatan ekonomi, kualitas kehidupan yang dinilai lebih baik, ketersediaan prasarana dan sarana yang lebih lengkap dan berkualitas

(2)

dibandingkan sebagian daerah lain di luar Pulau Jawa, kehidupan yang lebih modern, dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan beragam. Faktor pendorong, antara lain, kurang tersedianya lapangan pekerjaan di luar Jawa serta kehidupan di luar Jawa yang dianggap kurang modern. Saat ini, tercatat, pertumbuhan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) terbesar masih di Pulau Jawa dan Bali, khususnya Jawa. Sesuai data BPS tahun 2015 (Fajar, 2015), PDRB Pulau Jawa dan Bali berkontribusi terhadap PDB sebesar 58,30 persen pada tahun 20152.

Dengan kekuatan ekonominya itu, kota-kota dan kawasan perkotaan di Jawa tumbuh pesat.

Persentase persebaran kota di Indonesia tahun 2012

Gambar diambil dari dokumen KSPPN-Bappenas 2015

Perkembangan kota menurut tipologinya di Indonesia tahun 2012

Gambar diambil dari dokumen KSPPN-Bappenas 2015

Kondisi di Pulau Jawa yang kini sesak dengan begitu banyaknya kota menyebabkan ketimpangan-ketimpangan, berdampak negatif bagi kawasan perdesaan, kota kecil, dan sedang. Ketimpangan yang terjadi,yaitu :

1. eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam di sekitar kota-kota utk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi

2. terjadinya urban sprawl yang tidak terkendali dan secara terus menerus mengkonversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan terbangun

(3)

3. menurunnya kualitas lingkungan fisik perkotaan 4. menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan

5. tidak mandiri dan tidak terarahnya pembangunan kawasan-kawasan permukiman sehingga menjadi tambahan beban bagi kota inti

6. terbentuknya kawasan megapolitan yang membutuhkan peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur.

7. rentan bencana alam, baik yang disebabkan kekuatan alam (gempa bumi karena pergeseran lempeng bumi dan letusan gunung api) dan akibat kerusakan lingkungan seperti banjir dan tanah longsor.

Gambar diambil dari KSPPN-Bappenas 2015

(4)

Manajemen urbanisasi, meratakan persebaran penduduk

Akibat ketimpangan yang terus terjadi, khususnya di Jabodetabek, amat terasa bahwa penyebaran penduduk tidak merata. Dalam dokumen KSPPN disebutkan bahwa hal ini menyebabkan tidak optimalnya fungsi ekonomi terutama di kota sedang dan kecil dalam menarik investasi, tidak optimalnya peranan kota dalam memfasilitasi pengembangan wilayah, dan tidak sinergisnya pengembangan peran dan fungsi kota-kota dalam mendukung perwujudan sistem kota-kota nasional.

Secara khusus, urbanisasi juga berpengaruh secara fisik yang ditandai dengan peningkatan stastus kota. Bappenas telah mendeteksi terjadinya pergeseran status pada 6 tahun terakhir yaitu sepanjang tahun 2006-2011. Kota sedang cenderung cepat menjadi kota besar. Kota kecil dan metropolitan cenderung tetap. Berdasarkan persebarannya di Indonesia, menurut kabupaten/kota, kecenderungan aglomerasi kawasan perkotaan masih berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Berdasarkan data Podes 2011 seperti dikutip Bappenas dalam dokumen KSPPN, ada asumsi bahwa dalam setiap kabupaten terdapat satu kawasan perkotaan, jml penduduk kawasan perkotaan diasumsikan terpusat di satu titik yang membentuk satu kawasan perkotaan.

Peta perkembangan konurbasi di Pulau Jawa

Gambar diambil dari bahan kuliah ke-7 Rudy P Tambunan, KPP UI, 2016

(5)

di Pulau Jawa. Oleh karena itu, butuh majamenen urbanisasi yang mampu menggerakkan persebaran penduduk ke luar Pulau Jawa.

Saat ini, di Pulau Jawa ada satu kawasan perkotaan megapolitan dan empat kawasan perkotaan metropolitan. Kawasan perkotaan megapolitan yaitu DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi atau Jabodetabek dengan jumlah total penduduk 24.567.458. Kawasan ini status hukumnya berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008.

Kawasan perkotaan metropolitan, yaitu cekungan Bandung (Kota Bandung, Kab Bandung, Kab Bandung Barat, Kota Cimahi, Kab Majalengka, dan Kab Sumedang) dengan 6,2 juta penduduk, Gerbang Kertosusila (Kota Surabaya, Kab Sidoarjo, Kab Gresik, Kab Mojokerto, Kota Mojokerto, Kab Lamongan, dan Kab Bangkalan) 3,1 juta penduduk, Kedung Sepur (Kota Semarang, Kab Semarang, Kab Kendal, Kota Salatiga, Kab Purwodadi, dan Kab Demak) 2,6 juta penduduk, dan Yogyakarta (DI Yogyakarta, Kab Sleman, dan Kab Bantul) dengan 2 juta penduduk.

(6)

Dengan dinamika perkembangan kota dan kawasan perkotaan sangat tinggi mengikuti tingginya tingkat urbanisasi, arahan pengelolaan kota di Jawa saat ini belum begitu baik. Contoh buruk, antara lain, seperti di Jabodetabek dengan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) yang belum bisa bekerja optimal. Dalam dokumen KSPPN, diulas masalah lintas daerah terutama akibat munculnya kawasan perkotaan baru atas inisiasi swasta menyisakan persoalan pengelolaan yang terkait dengan pemeliharaan kota. Mendesak adanya perbaikan tata kelola dan kelembagaan pembangunan perkotaan

Begitu banyaknya tipologi kota juga menyebabkan munculnya perbedaan arah pengembangan pengelolaan masing-masing kawasan perkotaan, termasuk di Pulau Jawa. Namun, dalam pembahasan KSPPN juga diakui bahwa belum ada data dan informasi akurat handal terkini yang bisa jadi bahan referensi perencanaan pembangunan perkotaan, terutama data penyediaan sarana prasarana, kondisi lingkungan kota dan sosial budaya kota. Di Pulau Jawa, dengan kawasan megapolitan dan metropolitannya, dinilai belum dapat berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kota sedang dan kecil begitu juga keterkaitannya dengan desa. Padahal, peran kota sudah ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan. Ironis bila kota tidak dapat berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi regional dan nasional sesuai yang ditetapkan dalam RTRWN 2008-2028.

Akibatnya, daya saing perkotaan termasuk di dalamnya kota-kota di Pulau Jawa dalam lingkup regional wilayah masih terbilang belum memuaskan.

Gambar diambil dari KSPPN-Bappenas 2015

(7)

Gambar diambil dari KSPPN-Bappenas 2015

Khusus dalam konteks terbentuknya kawasan megapolitan, KSPPN mengidentifikasi telah berlangsungnya diseconomies of scale karena terlalu besarnya jumlah penduduk dan terlalu luasnya wilayah yang harus dikelola. Saat ini, secara garis besar kondisi kota-kota di Jawa memiliki beberapa permasalahan yang khas, yaitu :

1. belum memiliki standar pelayanan perkotaan (SPP) 2. berada di kawasan beriklim tropis

3. harus disadari bahwa Jawa adalah bagian dari gugusan besar kepulauan Nusantara 4. berada di jalur cincin api pasifik

dari poin 2,3, dan 4 - kota-kota di Pulau Jawa yang berada di pesisir rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim, antara lain, kenaikan muka air laut dan banjir; rawan bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor

5. menghadapi Asean Economic Community (AEC) mulai tahun 2015, juga AFTA dan CAFTA, seperti halnya semua daerah di Indonesia, kota-kota di Pulau Jawa menghadapi liberalisasi lima unsur, yaitu barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal. Sementara, sama dengan kota-kota di Indonesia lain, kawasan perkotaan di Jawa masih berkubang dalam persoalan rendahnya daya saing karena kurang terolahnya produk unggulan lokal, rendahnya investasi, rendahnya SDM, dan buruknya infrastruktur. Di era liberalisasi, globaliasi, dan perdagangan bebas ini, meskipun kawasan perkotaan di Pulau Jawa lebih maju dibanding luar Jawa, kota-kota di pulau yang dulu disebut Jawadwipa ini tetap butuh kesiapan dan daya saing. 6. Pengelola kota/perkotaan dituntut semakin tanggap, transparan, akuntabel, kreatif,

(8)

7. Kota-kota di Jawa perlu efektif menerapkan kebijakan pembangunan perkotaan secara umum untuk jangka panjang sesuai RPJPN 2005-2050, yaitu penyeimbangan pertumbuhan kota metropolitan-besar-sedang-kecil, pengendalian pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan, percepatan pembangunan kotakota kecil dan menengah terutama di luar pulau Jawa, dan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan-perdesaan.

Kebijakan Strategi Perkotaan Jawa

Menghadapi problema berat yang dihadapi kawasan perkotaan di Jawa, tetapi dengan mempertimbangkan besarnya potensi yang dimiliki, KSPPNN menegaskan bahwa Pulau Jawa masih menjadi tumpuan kehidupan dan perekonomian nasional. Hal ini diakui menggambarkan bahwa selama ini telah terjadi bias dalam pembangunan nasional. Terlalu banyak sumber daya diberikan ke Jawa dibanding sebaliknya. Di Jawa, perkembangan perkotaan sangat cepat, pasar bekerja sangat kuat, pemerintah tidak cukup mampu mengendalikannya. Terjadi eksternalitas berupa kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial.

Dari sisi tata ruang, lingkungan, dan sumber daya, Jawa makin kritis dan terancam. Tanah di Jawa memang lebih subur dibanding pulau lain di Indonesia, tetapi lahan pertaniannya terus berkurang. Di Jawa penyusutan lahan sawah 36.000 ha/tahun yang lalu beralih fungsi menjadi areal industri dan perumahan. Proses alih fungsi ini kuat diintervensi swasta daripada di bawah kendali pemerintah.

Agar bisa kembali ada keseimbangan secara nasional, maka KSPPN menegaskan harus ada :

1. pengendalian pembangunan perkotaan yang lebih ketat dan tegas untuk tidak semakin menekan daya dukung pulau jawa bali, yaitu dengan

a. mengendalikan peran ekonomi megapolitan jabodetabekpunjur b. mengontrol ketat perkembangan kota-kota metropolitan lain di Jawa

2. meningkatkan efisiensi jaringan sarana-prasarana untuk mendukung kelancara kegiatan ekonomi dan sosial Jawa Bali

3. peningkatan efisiensi dan kualitas lingkungan kota-kota di Jawa bali sbg prasyarat peningkatan kualitas kehidupan sebagain besar masy indonesia

4. peningkatan kerjasama antarakota dan wilayah-wilayah perkotaan 5. peningkatan kapasitas pengelola kota dan tata kelola kota

6. pengembangan kawasan perkotaan yang mempertimbangkan keseimbangan hubungan antar kluster, klaster utara kota di pesisi utara), klaster tengah (kota-kota di bagian tengah), dan klaster selatan ((kota-kota-(kota-kota di pesisir selatan)

(9)

Diharapkan, jika KSPPN dilakukan, ditargetkan kota-kota di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa akan tercapai menjadi kota berkelanjutan di tahun 2050. KSPPN mengatur perencanaan nasional dengan proses bertahap dan mekanisme prasyarat di mana tahapan ideal kota (kota hijau dan layak huni – kota berdaya saing – kota berkelanjutan) tidak akan terwujud apabila kota-kota tidak memenuhi standar pelayanan perkotaan di tahun 2025.

Masukan terkait pemberdayaan masyarakat

Terkait KSPPN dan pengelolaan kota serta kawasan perkotaan di Indonesia, ada masukan menarik dari Rujak Center for Urban Studies3. Rujak menegaskan bahwa implementasi KSPPN tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kebijakan pemerintah yang berakhir bertepatan dengan dimulainya kebijakan KSPPN, yaitu MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015). Ada dua kata kunci dalam skema MP3EI, yaitu partisipasi maksimal dunia usaha dalam ragam investasi di seluruh penjuru Indonesia dan pengurangan peran negara hanya menjadi sebatas fasilitator pergerakan modal di Indonesia yang masih berdampak sampai saat ini4.

Dalam MP3EI, menurut Rujak, proyek-proyek infrastrukur didanai melalui anggaran pemerintah, perusahaan-perusahaan negara, investasi sektor swasta, dan pendanaan donor bilateral maupun multilateral. Pembiayaan dan pendanaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur oleh MP3EI didapat melalui 3 lajur; (1). Memangkas subsidi-subsidi untuk rakyat yang dialihkan untu pembiayaan infrastruktur (2). Meningkatkan pendapatan Negara oleh pajak dan (3) penambahan hutang. Dari sekian opsi tersebut, pemangkasan subsidi rakyat dan penambahan hutang adalah jalur yang ditempuh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Selain itu, mekanisme yang diambil untuk membiayai pembangunan infrastruktur adalah dengan mekanisme Public Private Partnership (PPP)5.

Rujak mengkritisi bahwa seolah dengan pendekatan PPP, beban keuangan negara melalui APBN maupun APBD dalam pembangunan infrastruktur menjadi jauh berkurang. Namun, dalam draft masukan RUU kota itu, dijelaskan bahwa apakah proyek MP3EI yang tercatat senilai Rp. 4.934, 8 Triliun mencakup 4.632 proyek itu diperlukan? Sejak 2011 hingga Oktober 2013, penelusuran Rujak, investasi MP3EI telah mencapai Rp. 737,9 triliun mencakup 259 proyek, separuhnya adalah proyek infratruktur (155 proyek). Pulau Jawa memiliki jumlah investasi terbesar (Rp. 276,8 Triliun). Dari 259 proyek tersebut, 24,6 persen dikerjakan oleh BUMN, 34,5 persen oleh swasta, 11,9 persen oleh pemerintah, dan 29 persen investasi campuran.

Begitu banyak uang yang dikucurkan di Indonesia, khususnya di Jawa, tetapi jika menelusuri dokumen KSPPN ketimpangan masih terjadi. Intervensi swasta yang terlalu besar, misal di

3 Rujak Center for Urban Studies. Draft Naskah Masukan RUU Kota. September 2014 4Op.Cit

(10)

Jabodetabek telah memicu urban sprawl yang menelurkan banyak masalah besar lainnya. Pemerataan pembangunan selama 2011-2015 belum terjadi dan ketimpangan masih tinggi. Berdasarkan analisa itu, patut menjadi renungan bahwa KSPPN menjadi semacam solusi atas kekacauan hasil kebijakan pembangunan sebelumnya.

Namun, cukupkah KSPPN dengan kebijakan strategi perkotaannya menjadi solusi atas masalah perkotaan di Pulau Jawa? Lagi-lagi mencermati analisa Rujak menjadi amat menarik. Berdasarkan studi di tiga kota, yaitu Surabaya, Semarang, dan Pontianak, Rujak menyatakan bahwa partisipasi aktif masyarakat yang berarti masyarakat sebagai penentu pembangunan apa yang terbaik bagi kotanya adalah syarat mutlak untuk bisa membangun kota berkelanjutan seperti cita-cita KSPPN.

Untuk itu, Rujak mengimbau bahwa di samping kekuatan hukum untuk mengelola kota perlu selalu ada evaluasi atas setiap pelaksanaan kebijakan. Evaluasi berdasarkan apa yang dirasakan masyarakat dan seberapa besar aspirasi mereka terserap, serta seberapa kuat posisi mereka sebagai penentu kebijakan. Beberapa poin yang dirangkum dari studi cita-cita kota-kota di Indonesia berbasis kepentingan masyarakat yang bisa diselaraskan dengan implementasi KSPPN6, yaitu :

1. Kota harus dilihat sebagai sebuah sistem, terutama dilihat dari sisi ekologi. 2. Kota dicita-citakan menjadi satu ruang berbagi.

3. Kota dikembangkan dengan memfasilitasi kekhasan kota yang bisa muncul dari aspek sejarah, nilai-nilai lokal, budaya kampung, dan budaya kerja (everyday live).

4. Kota dikelola dengan beberapa prinsip sebagai berikut: a. Perwujudan Prinsip Sengkuyung/ inklusivitas.

b. Kota dikelola dengan baik melalui komunikasi terbuka antara pemerintah dan pemangku kepentingan di kota (khususnya warga).

c. Adanya pengelolaan bersama atau kerjasama antar pemerintah d. Kota dikelola dengan keterlibatan warga

5. Kota mampu memenuhi kebutuhan dasar dan Infrastruktur dasar seperti air, sanitasi, transportasi, listrik, udara, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan dan jaringan internet.

6. Kota dan lingkungan sekitar sebagai tempat belajar (informal)

7. Kota dikembangkan dengan distribusi ekonomi yang lebih adil dan setara.

8. Target ekonomi kota tidak melulu mengejar pertumbuhan, tapi juga memastikan distribusi ekonomi yang lebih adil dan setara. Target ekonomi yang berbasis pada kebutuhan dan gerak ekonomi rakyat adalah transformasi ekonomi lokal melalui, regulasi pasar dan perdagangan, pengolahan kearifan lokal yang memperhatikan keberagaman dan integrasi untuk menghindari pembekuan (esensialisasi) karakter. 9. Kota dikembangka dengan konsep penataan ruang yang mengatur integrasi antara

kota dan pertanian serta menguatkan industri pariwisata lokal, aspek zonasi (dengan

(11)

penekanan pada aspek keterhubungan), kelestarian lingkungan dalam hal konservasi tanah dan air, sistem irigasi, penguatan daya dukung lingkugan, pengelolaan sampah dan limbah terpadu, serta pengendalian penambangan/ galian, juga penataan kota dengan memperhatikan aspek kesiagaan bencana.

10.Kota dikembangan dengan mengelola potensi laut dan sungai.

11.Kota dikembangkan dengan orientasi pada proses dan tujuan jangka panjang.

12.Kota dengan sistem transportasi yang memfasilitasi keterhubungan dan membangun pembuluh nadi kota yang sehat.

13.Adanya pendidikan tentang kehidupan berkota, yaitu pendidikan dan pengetahuan (praktis) mengenai kehidupan kota agar anak-anak tidak asing dengan lingkungannya. Rumah ilmu (ruang berbagi yang khusus untuk mengembangkan pendidikan dengan cara yang kreatif) penting untuk dikembangkan di setiap kota.

Kesimpulan

Pulau Jawa dengan kota-kotanya yang terus berkembang menjadi kekuatan besar di Indonesia sebagai pusat perekonomian yang seharusnya mampu menggerakkan perekonomian negeri ini. Prospek kota-kota di Pulau Jawa ke depan, setidaknya hingga tahun 2050 juga dinilai masih bagus. Namun, Jawa terus dibelit masalah yang antara lain disebabkan tingginya urbanisasi, pengendalian pembangunan yang lebih banyak di bawah swasta, masalah fisik maupun sosial perkotaan yang akut, serta masih minimnya keterlibatan masyarakat sebagai penentu dan actor/pelaku pembangunan kota. Jika tidak ada upaya untuk mengatasi permasalahannya itu, Jawa akan terpuruk dan membawa serta 60 persen penduduk Indonesia yang kini menghuninya turut terpuruk. Jika ini terjadi, kota-kota dan kawasan lain di negeri ini pun menanggung dampak terburuk. Untuk itu, peran KSPPN dengan kebijakannya yang mendorong penguatan pergerakan perekonomian, pembangunan dengan mengutamakan pelestarian lingkungan dan merangkul aspirasi warga, juga target mewujudkan kota berkelanjutan, amat vital dan harus bisa diimplementasikan. Agar tujuan KSPPN tercapai, pemerintah pusat, pemerintah kota, swasta dan masyarakat tidak ada salahnya merangkul masukan positif agar pengelolaan kota berjalan baik. Hal ini antara lain diwujudkan dengan pembangunan kota yang bertujuan memenuhi kebutuhan warga penghuni kota serta memberi peran warga sesuai porsinya sebagai pelaku pembangunan kota dengan mengedepankan pelestarian lingkungan.

Daftar pustaka :

(12)

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Fajar, Muhammad. 2015. Apakah Kemampuan Ekonomi Provinsi se-Pulau Jawa dan Bali Sama? BPS Waropen. Diakses dari www.academia.edu

Moersidik, Setyo. 2016. Handout mata kuliah Lingkungan Perkotaan, Kajian Pengembangan Perkotaan, Universitas Indonesia, 2016

Mungkasa, Oswar. 2015. Substansi Penting Terkait Undang-undang Perkotaan di Indonesia (Sumbangan Pemikiran). Diskusi Panel “Keberadaan UU Perkotaan di Indonesia” di Universitas Tarumanegara, Jakarta, 21 Februari 2015

Rujak Center for Urban Studies. Draft Naskah Masukan RUU Kota. September 2014

Tambunan, Rudy P. Handout mata kuliah Lingkungan Perkotaan, Kajian Pengembangan Perkotaan, Universitas Indonesia, 2016

Tanpa pengarang, 2014, Urban Demography. Kumpulan artikel, diterbitkan oleh Kemitraan Agenda Habitat Indonesia. November 2014.

Gambar

Gambar diambil dari dokumen KSPPN-Bappenas 2015
Gambar diambil dari dokumen KSPPN-Bappenas 2015
Gambar diambil dari KSPPN-Bappenas 2015
Gambar diambil dari bahan kuliah ke-7 Rudy P Tambunan, KPP UI, 2016
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan gambar 2 diketahui bahwa dari 54 responden sebagian besar pekerja di bagian Instalasi memiliki lama kerja >15 tahun sejumlah 23 responden yaitu 39%..

Akan tetapi dalam pendapat Abu Hanifah tentang kebolehan menerima harta waris dari muwarrits murtad dengan kriteria tertentu, dalam artian harus dilihat dari segi

Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam khas yang dimiliki daerah pantai tropik, mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai, yaitu: sebagai

perbaikan pelayanan perkotaan melalui reformasi pembangunan yang mencakup upaya pemberdayaan tata pemerintahan yang baik guna mencapai sasaran jangka panjang untuk pengembangan

Berdasarkan uraian diatas penulis mengangkat permasalahan mengenai Tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah terhadap beredarnya produk pasta gigi yang mengandung bahan

budaya yang layak sebagai penunjang pembangunan daerah apabila ditangani secara serius, berkesinambungan serta profesional dengan melibatkan berbagai kalangan

Pemerintahan bukan hanya akan member batasas-batas penggunaan diskresi oleh Badan/Pejabat administrasi Pemerintah akan tetapi juga mengatur mengenai pertanggungjawaban

Adapun metode pengolahan data adlah menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan menanam, meyiram, merawat dan keindahan tumbuhan, mendeskripsikan penafsiran M Quraish Shihab