Majalah Cosmopolitan (2008) melapor-kan bahwa banyak wanita di Indonesia pada rentang usia 20-29 tahun memilih untuk menunda menikah. Koran Tempo menyebutkan, jumlah wanita lajang meningkat dua-tiga kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya (Utami, 2002). Wanita
Indonesia umumnya memilih menikah di usia dewasa awal. Menurut Havighurst, tugas perkembangan individu usia masa dewasa awal adalah mencari dan menemukan calon pasangan hidup, menikah, meniti karir dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga, dan menjalankan hidup
KONFLIK INTRAPERSONAL WANITA LAJANG TERHADAP
TUNTUTAN ORANGTUA UNTUK MENIKAH
(INTRAPERSONAL CONFLICT OF SINGLE WOMEN TOWARDS
PARENT’S DEMAND TO MARRIED)
Catarina Laboure Dian Noviana dan Eunike Sri Tyas Suci
Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta
Jumlah wanita lajang usia dewasa awal yang bekerja meningkat di Indonesia. Mereka memilih melajang karena ingin memusatkan waktu dan energinya pada karir. Di lain pihak, orangtua berharap anak wanitanya segera me-nikah agar terhindar dari pelabelan negatif oleh masyarakat, hidup anaknya terjamin, dan segera memberi cucu. Label yang paling sering didengar adalah “perawan tua” atau “tidak laku.” Hal ini membuat orangtua menuntut anak
wanitanya segera menikah. Tuntutan ini membuat konflik intrapersonal pada wanita lajang yang bekerja. Konflik intrapersonal adalah konflik antara individu dengan dirinya sendiri dan terjadi pada waktu yang bersamaan ketika
individu memiliki kebutuhan, keinginan, kenyataan dan nilai yang tidak sejalan satu sama lain dan tidak mungkin
dua atau lebih kebutuhan dapat dipenuhi. Penelitian ini bertujuan melihat gambaran konflik intrapersonal yang
dialami wanita bekerja yang masih lajang pada usia dewasa awal menghadapi tuntutan menikah oleh orangtuanya. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif melalui wawancara mendalam kepada 4 subjek dari tingkat sosial menengah ke atas yang terbagi menjadi 2 kelompok usia: 25–29 dan 30–35 tahun. Hasil penelitian menun-jukkan bahwa tuntutan orangtua untuk menikah bagi wanita lajang merupakan nilai yang harus dipatuhi. Intensitas
konflik intrapersonal dipengaruhi oleh budaya, karakteristik subjek, seberapa besar nilai dapat mempengaruhi peri -laku serta perasaan subjek, urutan kelahiran dan saudara yang sudah menikah. Penelitian ini diharapkan membuat cakrawala orangtua dalam memahami anak wanitanya yang hidup melajang di masa kini dan menjadi terbuka dan membuat mereka mampu mengkomunikasikan dengan baik keinginan mereka agar anak perempuannya segera menikah sehingga kesejahteraan mental anak tetap terjaga.
Kata kunci: wanita lajang, konflik intrapersonal, harapan menikah, tuntutan orangtua.
dengan bertanggung jawab (Turner & Helms dalam Dariyo, 2003). Dalam kebudayaan tradisional, wanita yang tidak menikah adalah tidak wajar (Hurlock, 1998). Hal ini juga berlaku di Indonesia bahwa menikah merupakan hal yang normal dilakukan oleh setiap orang. Pandangan dari lingkungan sekitar mempengaruhi pandangan orangtua. Orangtua mengharapkan anaknya untuk menikah di usia dewasa awal. Pernikahan adalah komitmen emosi dan hukum antara dua orang untuk berbagi perasaan dan
hubungan intim secara fisik, berbagi
tugas-tugas dan ekonomi (Olson, 2006).
Pelabelan negatif seperti tidak normal atau “perawan tua” lebih banyak diberikan kepada wanita yang masih melajang di usia dewasa awal daripada pria. Norma ini dianut oleh masyarakat Indonesia secara turun-temurun sehingga orangtua juga mengajarkan hal yang sama kepada anak wanitanya. Orangtua menginginkan anak wanitanya untuk menikah pada masa dewasa awal agar tidak mendapat pelabelan negatif dari masyarakat dan melihat anak wanitanya tumbuh bersama seseorang yang mampu mendampinginya seumur hidup sehingga hidupnya lebih terjamin.
Masyarakat Indonesia sebagai negara berkebudayaan timur, masih berpegang teguh pada tradisi yang mengharuskan seseorang untuk mengikuti norma budayanya (Matsumoto, 2004). Selain orangtua meminta anaknya untuk menikah di usia dewasa awal, ada pula ketentuan yang diberikan orangtua dalam memilih calon pasangan untuk anak wanitanya menurut tradisi budayanya. Wanita Batak diwajibkan menikah dengan laki-laki Batak agar anaknya kelak mendapat nama marga Batak. Suku Jawa hanya tidak membolehkan kakak beradik atau kerabat yang langsung berhubungan darah menikah (Koentjaraningrat, 1999). Toleransi suku Betawi terhadap budaya luar besar, sehingga orang Betawi tidak mengharuskan anaknya menikah dengan sesama orang Betawi (Melalatoa, 1997). Sama dengan suku Batak, orang Cina tidak mengijinkan pernikahan dengan sesama marga dan wanita Cina harus menikah dengan sesama orang Cina untuk mendapatkan marga (Koentjaraningrat, 1999).
Globalisasi membuat wanita Indonesia
dituntut untuk ikut serta dalam pembangunan negara. Pendidikan dan karir untuk wanita semakin terbuka sehingga wanita bersemangat dalam meraih karir yang lebih baik. Wanita muda pada usia dewasa awal yang ingin fokus pada pekerjaan memilih untuk menunda pernikahan karena pernikahan terkadang menjadi penghambat bagi wanita untuk mencapai cita-citanya dalam berkarir. Hurlock (1998) mengungkapkan, alasan terbesar wanita melajang adalah adanya rasa ingin menikmati kebebasan karena dapat meluangkan waktu dan energi untuk karir. Beberapa perusahaan menyeleksi pekerjanya tidak hanya berdasarkan pengalaman dan pendidikannya tetapi juga status perkawinannya, yaitu lebih menyukai status lajang (Hewlett, 2006).
Adanya keinginan untuk melajang dan tuntutan menikah dari orangtua menyebabkan wanita lajang dewasa awal yang bekerja bisa
mengalami konflik intrapersonal. Myers dan Myers (1982) mengatakan bahwa konflik
intrapersonal terjadi ketika individu memiliki kebutuhan, keinginan, kenyataan dan nilai yang tidak sejalan satu sama lain dan tidak
mungkin kedua-duanya dipenuhi. Konflik
yang terjadi dapat berupa benturan antara minimal dua nilai atau dua kebutuhan yang tidak sejalan atau bentrokan antara nilai dan
kebutuhan yang tidak sejalan. Konflik juga
dapat terjadi ketika harapan tidak sejalan
dengan kenyataan. Konflik dapat terjadi tidak
hanya dalam bentuk tindakan, tetapi juga dalam bentuk persepsi. Nilai untuk mengikuti amanat orangtua dengan kebutuhan untuk mengejar karir menjadi tidak sejalan. Padahal keinginan untuk menunda pernikahan juga
dipengaruhi oleh adanya konflik di area
pekerjaan dan pemilihan pendamping hidup. Tuntutan dari orangtua dapat memperberat
konflik intrapersonal pada diri wanita lajang
yang bekerja. Jika wanita lajang dewasa awal yang bekerja ini melepaskan status lajangnya, orangtuanya akan merasa lebih tenang karena sudah ada seorang pria yang akan mendampinginya. Konsekuensi yang dihadapi ketika menikah adalah kurang fokusnya wanita dalam pencapaian karirnya karena harus mengurus keluarga, mengurus anak atau mengerjakan tugas domestik rumah tangga. Wanita lajang merasakan
melajang dan tuntutan pernikahan.
Status ekonomi wanita juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk menikah. Status ekonomi menengah ke atas lebih
mungkin memunculkan konflik di dalam diri.
Wanita yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi, perekonomian cukup, dan lingkungan materi cukup akan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan kecakapan, pendidikan dan pola pikir yang lebih baik (Gerungan, 2004). Itu sebabnya wanita dengan status ekonomi menengah ke atas lebih memperhatikan pendidikan dan pekerjaan yang akan mereka jalani. Walau karir baik, orangtua tetap mengkhawatirkan anaknya jika tidak menikah. Masyarakat tetap melihat wanita yang menunda pernikahan sebagai kekurangan walaupun secara
finansial wanita tersebut dapat menghidupi dirinya sendiri. Konflik yang terjadi dapat
mengganggu efektivitas dan fungsi hidup sehari-harinya. Performa dalam kerja akan menjadi tidak maksimal karena fokusnya terpecah pada hal lain. Bila mampu
mengurainya, konflik intrapersonal wanita
lajang akan berkurang sehingga performa kerjanya pun akan menjadi lebih baik.
Penelitian ini bertujuan melihat gambaran
konflik intrapersonal yang dialami wanita
lajang dewasa awal yang bekerja terkait tuntutan orangtua untuk menikah. Manfaat teoretis penelitian ini adalah untuk menyumbang dukungan literatur pada
teori-teori yang sudah ada tentang adanya konflik
intrapersonal pada wanita dewasa awal yang
bekerja terkait tuntutan pernikahan. Konflik
intrapersonal kurang banyak dibahas dalam
literatur di Indonesia. Uraian konflik ini juga
dapat menambah pengetahuan orangtua dengan anak wanita yang memilih untuk hidup melajang tentang pikiran dan perasaan anak wanita mereka ketika memutuskan melajang di usia dewasa awal.
Metode
Penelitian ini bertujuan menggali masalah kehidupan seseorang secara mendalam, maka digunakan pendekatan kualitatif. Variabel penelitian ini adalah
konflik intrapersonal. Konflik intrapersonal didefinisikan sebagai pertentangan antara
individu dengan dirinya sendiri ketika pada waktu yang bersamaan individu memiliki
kebutuhan, harapan, kenyataan dan nilai yang tidak sejalan satu sama lain dan tidak mungkin semuanya dipenuhi.
Untuk menjawab masalah penelitian, dipilih subjek yang memenuhi karakteristik: wanita lajang yang bekerja, berusia 25-35
tahun, mengalami konflik intrapersonal terkait
tuntutan pernikahan dari orangtua, pendidikan minimal Diploma 3 (D3), berasal dari golongan sosial ekonomi menengah ke atas dengan pendapatan lebih dari Rp. 6.000.000 per bulan (Kelly Service, 2008), dan berlatar belakang budaya yang berbeda satu sama lain. Akhirnya dipilih empat subjek, yaitu dua subjek berusia 25-29 tahun dan dua subjek lain berusia 30-35 tahun. Menurut Subiantoro (2002), mitos perawan tua yang dipercaya masyarakat menyatakan bahwa bila seorang wanita belum menikah sampai umur 30 tahun, maka selamanya tidak akan pernah mendapatkan pasangan. Karena tuntutan sosial mengenai pernikahan berlainan,
maka konflik yang terjadi diasumsikan juga
berbeda-beda.
Metode pengambilan data adalah wawancara pada sumber utama dan sumber pendukung (triangulasi), serta observasi. Triangulasi dilakukan dengan orang yang
mengetahui tentang adanya konflik yang
dialami oleh sumber utama, meliputi orangtua atau anggota keluarga lain. Tehnik wawancara yang dipakai adalah semi structured interview, yaitu wawancara berdasarkan panduan wawancara sangat umum yang memuat hal-hal yang akan digali. Panduan ini berguna untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus diungkap (Poerwandari, 1998). Wawancara juga menggunakan alat perekam untuk merekam hasil wawancara dari subjek.
Hasil
Empat subjek yang diwawancara saat pengambilan data diberi nama samaran, masing-masing Anggrek, Bakung, Cempaka, dan Dahlia. Dalam analisis akan dijelaskan satu per satu hasil wawancara dengan masing-masing subjek beserta interpretasinya.
Dari hasil pengambilan dan analisis data,
didapat faktor-faktor konflik intrapersonal
adalah wanita harus bisa bekerja dan mandiri. Kesetaraan jender juga perlu ada dalam diri mereka. Masing-masing subjek menyatakan menolak pembagian peran jender. Mereka tidak setuju bahwa hanya pria yang boleh bekerja dan mengejar karir, sedangkan wanita hanya mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga. Nilai bahwa wanita harus dapat mandiri dipengaruhi oleh hal yang berbeda pada setiap subjek. Secara garis besar, nilai mereka dipengaruhi oleh masa lalu dan pengalaman orang-orang di sekitar mereka. Hal ini juga tampak dalam pandangan semua subjek tentang pernikahan. Bagi mereka pernikahan adalah komitmen
dari 2 individu yang mengandung kesetaraan hak antara suami dan istri. Kesamaan lain adalah pandangan mereka tentang tujuan bekerja, yaitu untuk mendapatkan aktualisasi diri. Bagi mereka bekerja bukan hanya
untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi
juga merupakan sarana untuk menunjukkan eksistensi.
Kebutuhan aktualisasi diri atau eksistensi itu diwujudkan dalam harapan mereka untuk mendapatkan posisi dalam pekerjaan yang sesuai. Namun pada Bakung, ia mengaku tidak mempunyai harapan karena dalam menjalani hidup ia memilih untuk berjalan apa adanya. Selain itu, semua mengaku
Data Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4
Nama (bukan nama
sebenarnya)
Anggrek Bakung Cempaka Dahlia
Usia 30 tahun 26 tahun 25 tahun 32 tahun
Suku Bangsa Batak Chinese –Nias Betawi-Jawa Jawa
Anak ke- ... dari
... ke-1 dari 3 ke-2 dari 4 ke- 3 dari 3 ke-1 dari 3
Pendidikan terakhir
S1 teknik
Industri D3 Pariwisata S1 Psikologi S1 Ekonomi
Profesi
Staf
Managemen Resiko di salah satu Bank swasta
Bisnis development di salah satu Perusahaan logistik daerah Mampang
Freelancer Fashion Stylist
Associate Research Manager di salah satu Market Research daerah Mampang. Tinggal
bersama orangtua / tidak
Ya Tidak Ya Tidak
Status relationship
Mempunyai pacar
Tidak mempunyai pacar
Mempunyai pacar
Tidak mempunyai pacar
inisial SO* N R M B C W G C
Usia SO* 26 tahun 22 tahun 55 tahun 56 tahun
Hubungan SO*
dengan subyek sepupu subyek
teman dekat
subyek ibu subyek ibu subyek
Tabel 1
Biodata Subjek
mempunyai kebutuhan intimacy dari lawan jenis walau tidak harus ditunjukkan dengan menikah.
Dua subjek (Anggrek dan Cempaka) mengaku suatu saat nanti akan menikah, 1 subjek (Bakung) mengaku tidak ingin menikah, dan 1 subjek (Dahlia) akan menikah namun tidak masalah bila kelak akhirnya tidak menikah. Terkait alasan mereka melajang, 2 subjek mengaku melajang karena belum mendapatkan calon suami yang sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Secara garis besar mereka yang mempunyai harapan merasa belum sesuai dengan kenyataan. Maka, Bakung tidak
merasakan konflik dalam pekerjaan karena
ia tidak berharap apapun pada pekerjaannya dan selalu mengambil serta mendapatkan
pekerjaan sesuai yang ia suka. Karena adanya
konflik di area pekerjaan, 3 subjek (Anggrek,
Cempaka, Dahlia) menunda menikah dan ingin terus berusaha di karirnya.
Peneliti mendapatkan konflik intrapersonal
terkait tuntutan menikah dari orangtua pada keempat subyek sebagaimana terlihat pada Tabel 3.
Bentuk tuntutan menikah dari orangtua bermacam-macam. Tiga subjek (Bakung, Cempaka, Dahlia) mendapatkan tuntutan berupa pertanyaan, “Kapan menikah?” Pada Anggrek, bentuk tuntutan yang didapat adalah perjodohan. Bentuk dan intensitas tuntutan berpengaruh terhadap besarnya
konflik intrapersonal pada subyek. Wanita
lajang pada penelitian ini menilai dirinya sendiri melanggar amanat orangtua ketika
Faktor-Faktor
Konflik
Intrapersonal
Persamaan Perbedaan
Nilai • Wanita harus mandiri
• Mendukung kesetaraan jender • Wanita boleh bekerja
• Pernikahan dapat terjadi bila ada komitmen dan kesetaraan antara suami dan istri.
• Anggrek: Perkenalan lebih jauh dengan pria sebelum menjadi suami.
• Cempaka: Menikah setelah berhasil dalam pekerjaan
Kebutuhan • Bekerja untuk mendapatkan
aktualisasi diri
• Bekerja untuk menafkahi diri sendiri
• Membahagiakan orangtua • Intimacy
Bakung: Tidak ingin terikat
Harapan Tidak ada • Pekerjaan yang lebih baik
(kecuali pada Bakung, tidak ada harapan).
• Anggrek & Cempaka: Ingin menikah, Bakung tidak ingin menikah, Dahlia tidak menikah/ menikah sama saja.
• Cempaka: Orangtua menerima pasangannya sebagai suami.
Kenyataan Tidak sesuai dengan harapan dan nilai.
Anggrek, Cempaka, Dahlia: Ingin mengejar karir yang diinginkan. Bakung: Menikah membuat wanita terlihat lemah.
Tabel 2
ia tidak memenuhi tuntutan menikah dari orangtuanya. Pada Bakung hal ini dirasakan semakin berat, sebab tuntutan pernikahan tersebut mengingatkannya pada kegagalan
dalam menyelesaikan konflik dengan
pendamping hidup.
Keberadaan pasangan tidak
mempengaruhi besarnya konflik intrapersonal
yang terjadi. Baik yang sudah maupun yang
belum mempunyai pasangan, semua subjek sama-sama memiliki kemungkinan tinggi
untuk mengalami konflik intrapersonal. Besar-kecilnya konflik intrapersonal dipengaruhi
oleh karakteristik subjek, seberapa besar nilai dapat mempengaruhi perilaku serta perasaan subjek, latar belakang urutan kelahiran, dan saudara yang sudah menikah.
Menurut teori psikoananalisa, pengalaman
Faktor Anggrek Bakung Cempaka Dahlia
Tuntutan
- Cempaka harus cepat menikah karena Ayahnya sakit.
- Menikah dengan anak orang terpandang - Dibahas minimal
setiap sebulan
konflik kebutuhan vs
nilai
nilai vs kebutuhan tuntutan
Variasi subyek terhadap intensitas tuntutan
budaya berpengaruh tidak berpengaruh tidak berpengaruh tidak
berpengaruh
usia 30-35, besar tuntutan
Variabel baru yang ditemukan dan ikut mempengaruhi urutan
kelahiran
Semua subyek adalah anak wanita pertama atau anak wanita terakhir maka tuntutan besar
karakter subyek
Semua subyek punya karakter kuat dengan pendirian sehingga konflik
semakin besar Tabel 3
masa lalu mempengaruhi tingkah laku di masa depan (J. Feist & Feist, 2006). Hal ini terjadi pada Bakung dan Cempaka dalam membuat keputusan untuk menikah. Pada Anggrek dan Dahlia, keputusan untuk menunda menikah tidak disebabkan oleh pengalaman masa lalu, namun lebih oleh keinginan untuk meniti karir lebih tinggi di samping terlalu banyak waktu yang tersita untuk bekerja.
Dalam analisis komparatif, Bakung terlihat sering muncul dalam banyak perbedaan. Dibandingkan subjek lainnya, ia juga cenderung defensif ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan saat wawancara. Hal ini menarik untuk dibahas dengan pendekatan psikoanalisa. Dilihat dari latar belakang keluarga dan pengalaman hidupnya, ia memang melewati dinamika hidup yang lebih kompleks dibandingkan dengan subjek-subjek lainnya. Pola asuh ayahnya yang cenderung otoriter membuat masa kecil Bakung sangat terkekang dan tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri. Ketika dewasa, ia melakukan hal-hal yang bisa diduga lebih membawanya ke pemenuhan kebebasan, antara lain dengan tinggal sendiri di apartemen di Jakarta yang jauh dari kota kelahirannya Nias dan tentu juga jauh dari keluarganya.
Diskusi dan Saran
Terdapat perbedaan antara teori dan hasil analisis. Mitos yang dikemukakan oleh Subiantoro (2002) bahwa bila sampai umur 30 tahun seorang wanita belum menikah maka selamanya wanita itu tidak akan mendapatkan pasangan, rupanya tidak mempengaruhi tuntutan orangtua kepada anaknya.
Status domisili subjek, yaitu tinggal bersama atau tidak bersama orang tua, rupanya tidak berkorelasi dengan tingkat tuntutan pernikahan dari orangtua. Keadaan orangtua lebih berpengaruh pada besar-kecilnya tuntutan pernikahan. Secara umum, budaya tampaknya tidak berpengaruh pada empat subjek yang diteliti, kecuali pada Anggrek. Sesuai teori yang disampaikan oleh Koentjaraningrat (1999), budaya Batak mewajibkan anak wanitanya untuk menikah dengan pria Batak.
Dari keempat subjek yang diteliti, yang
mengalami konflik intrapersonal pada
penelitian ini adalah subjek yang mempunyai urutan kelahiran anak pertama wanita atau anak terakhir wanita. Pada teori-teori yang dibahas sebelumnya, tidak diuraikan bahwa urutan kelahiran akan mempengaruhi
munculnya konflik intrapersonal dan intensitas
tuntutan orangtua dalam pernikahan.
Uraian Erikson (Santrock, 2009) bahwa di masa dewasa awal sering terjadi kebimbangan antara kebutuhan untuk mandiri dan kebutuhan untuk intimasi rupanya dialami oleh semua subjek. Intimasi yang dimaksud tidak hanya dari pasangan tetapi juga dari teman dan keluarga. Seperti contoh pada Dahlia, kesibukan membuatnya tidak memiliki waktu luang untuk bergaul dengan teman.
Keterbatasan teori tentang harapan dan kenyataan membuat peneliti sulit membedakan antara harapan dari kebutuhan. Subjek banyak menjawab harapan dan kebutuhan sebagai hal yang serupa. Karena keterbatasan waktu subyek, sejumlah pertanyaan tidak sempat tergali karena subjek menjawab dengan terburu-buru. Pemilihan tempat yang ramai juga terjadi ketika pengambilan data. Subjek meminta untuk diwawancara di restoran saat jam istirahat kantor sehingga suasana sekitar sangat ramai.
Saran untuk penelitian selanjutnya, diharapkan melanjutkan meneliti topik ini namun dengan metode kuantitatif agar gambaran yang didapat bisa lebih digeneralisasikan mengingat jumlah wanita lajang terus meningkat. Untuk menghindari kekurangan yang terjadi dalam penelitian ini, penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan alat tes untuk melihat needs dan kepribadian subjek, sehingga hasil yang didapat akan lebih kaya dan lebih menggambarkan needs dan kepribadian wanita lajang yang sesungguhnya. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi orangtua dalam berkomunikasi dengan anak wanitanya saat membicarakan tentang pernikahan.
Kesimpulan
karir, perasaan lebih nyaman yang diperoleh dari pekerjaan dibandingkan dari hubungan romantis, belum menemukan pasangan yang sesuai, dan keluarga menjadi pemicu wanita lajang dewasa awal yang bekerja belum siap atau tidak ingin menikah.
Tuntutan pernikahan dianggap sebagai amanat dari orangtua, sesuai nilai yang dianut bahwa anak harus mematuhi orangtua.
Hal inilah yang menyebabkan konflik
intrapersonal. Kebutuhan, nilai dan harapan
membuat wanita lajang dewasa awal yang bekerja memilih untuk menunda pernikahan di satu sisi, namun di sisi lain hal itu tidak sejalan dengan keinginannya mengikuti amanat orangtua untuk menikah. Besar
kecilnya konflik intrapersonal dipengaruhi
oleh karakteristik subjek, seberapa besar nilai yang dipegang dapat mempengaruhi perilaku serta perasaan subyek, latar belakang urutan kelahiran, dan saudara yang sudah menikah.
Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Gramedia
Feist, J., & Feist, G. J. (2006). Theories of personality (6th ed.). New York: McGraw
Hill.
Gerungan, W.A. (2004). Psikologi sosial. Bandung: Refika Aditama.
Hewlett, S.A. (2006). Woman, career & fami-ly: Wantia, karir & keluarga (Fuad, Trans). Jogjakarta: Dolphin Books (Karya asli diterbitkan 2003).
Hurlock, E.B. (1998). Developmental psy-chology A life-span approach (5th ed.):
Psikologi perkembangan: Suatu pendeka-tan sepanjang renpendeka-tang kehidupan (5th
ed., Sudjarwo, Trans.). Jakarta: Erlangga (Karya asli diterbitkan 1986).
Kelly Service. (2008). Indonesia salary hand-book: A practioner’s insight to salaries across industries 2008/2009. Diunduh dari http://kellyservices.co.id/res.content/id/ services/en/docs/indonesiasalary2008.pdf
Koentjaraningrat (1999). Manusia dan ke-budayaan di Indonesia. Jakarta: Djam-batan.
Kumar, R. (1999). Research methodology. London: Sage.
Matsumoto, D. (2004). People psychol-ogy from a cultural perspective: Pen-gantar psikologi lintas budaya (A. Anin-dito, Trans.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Karya asli diterbitkan 2000).
Melalatoa, M. J. (1997). Sistem budaya Indo-nesia. Jakarta: Pamator.
Myers, G. E., & Myers, M. T. (1982). Manag-ing by communication: An organizational approach. New York: Mc.Graw-Hill.
Olson, D., & DeFrain, J. (2006). Marriages & families: Intimacy, diversity, strength. Boston: McGraw-Hill.
Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan kuali-tatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: LPSP3UI.
Santrock, J. W. (2009). Life-span develop-ment (12nd ed.). Boston: McGraw-Hill.
Subiantoro, E. B. (2002). Perempuan dan perkawinan: Sebuah pertaruhan eksis-tensi diri. Jurnal Perempuan 22, 7-18.
Wulandari, G. (2008, Maret). Menikah? Harus yah.Cosmopolitan, h. 73.
Daftar Pustaka