STUDI EKSPLORATIF TENTANG PENGATURAN DIRI DALAM
BELAJAR (SELF-REGULATED LEARNING) DI KALANGAN SISWA
SMA NEGERI 9 YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Fransisca Paula Genevra Aprodita
099114070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yang Maha Esa
Mama, papa
Adik-adikku
Teman spesialku
Teman-temanku
Universitas Sanata Dharma
Fakultas Psikologi
Dosen pembimbing akademik
Dosen pembimbing skripsi
Semua pihak yang telah mendukung dan memberikan bantuan dengan caranya
vii
STUDI EKSPLORATIF TENTANG PENGATURAN DIRI DALAM
BELAJAR (SELF-REGULATED LEARNING) DI KALANGAN SISWA
SMA NEGERI 9 YOGYAKARTA
Fransisca Paula Genevra Aprodita
ABSTRAK
Penelitian survei ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat pengaturan diri dalam belajar siswa SMA N 9 Yogyakarta. Kemudian tingkat pengaturan diri dalam belajar itu juga dieksplorasi berdasarkan jenis kelamin dan tingkat kelas. Subjek penelitian merupakan sampel siswa SMA N 9 dengan jumlah 181 siswa. Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa laki-laki dan perempuan serta ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara kelas X, XI, dan XII. Pengambilan data dilakukan dengan skala pengaturan diri dalam belajar. Uji validitas, reliabilitas, dan daya diskriminasi tes pada skala pengaturan diri dalam belajar memperoleh 70 item valid, koefisien reliabilitas alpha Cronbach sebesar 0,923, serta delta Ferguson sebesar 0,98. Metode analisis data adalah statistik deskriptif dan anava dua jalur. Hasil analisis data menyebutkan bahwa tingkat pengaturan diri dalam belajar adalah tinggi (M=200,90>M=75), tidak ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa laki-laki dan perempuan (F=2,64,p=0,10), serta ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa kelas X, XI, dan XII (F=3,01,p=0,05).
viii
EXPLORATIVE STUDY ABOUT SELF-REGULATED LEARNING OF SMA NEGERI 9 YOGYAKARTA STUDENTS
Fransisca Paula Genevra Aprodita
ABSTRACT
This survey research aims to know the level of self-regulated learning of students of SMA Negeri 9 Yogyakarta. Then, the level of self-regulated learning is explored based on the students gender and grade. The subjects of this research are 181 students of SMA Negeri 9 Yogyakarta. The hypothesis is that there are differences in self-regulated learning between boys and girls. There are also differences in self-regulated learning between grade X, XI, and XII. The data were obtained by using self-regulated learning scale. The test result of validity, reliability, and discrimination of self-regulated learning scale got 70 valid items, 0,923 coefficient alpha Cronbach, and 0,98 delta Ferguson. The researcher employed a statistic descriptive and a two-way anova method. The results shows that the level of self-regulated learning students of SMA Negeri 9 Yogyakarta is high (M=200,90>M=75), there is no difference in level of self-regulated learning between boys and girls (F=2,64,p=0,10), there are also differences in level of self-regulated learning between students grade X, XI, and XII (F=3,01,p=0,05).
x
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: Studi Eksploratif
Tentang Pengaturan Diri Dalam Belajar (Self-Regulated Learning) di Kalangan
Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil
tanpa bimbingan, bantuan, serta dukungan yang sangat berharga dari semua pihak
yang membantu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan penulis untuk
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orangtua, yang memberikan dukungan kepada penulis.
2. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
3. Ibu Ratri Sunar A., M.Si selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
4. C. Siswo Widiyatmoko, M.Psi sebagai dosen pembimbing akademik Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Restu, Sr. Marcel, Wieana,Vita) atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis merasa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu saya mohon
maaf atas kesalahan maupun kelalaian yang telah saya perbuat baik sikap, tutur
kata maupun tulisan. Saya menerima kritik dan saran yang bersifat membangun
demi sempurnanya tulisan ini. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 17 Desember 2014
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
A. Pengertian Pengaturan Diri Dalam Belajar ... 10
B. Assessing Academic Self-Regulated Learning ... 15
C. Desain Alat Ukur... 20
D. Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta ... 25
E. Perbedaan Jenis Kelamin dan Tingkat Kelas ... 26
1. Perbedaan Jenis Kelamin ... 26
2. Perbedaan Tingkat Kelas... 30
xii
G. Hipotesis Penelitian ... 34
BAB III METODE PENELITIAN... 35
A. Jenis Penelitian ... 35
B. Variabel Penelitian ... 35
1. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35
2. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 36
C. Subjek Penelitian ... 38
D. Alat Pengumpulan Data ... 38
E. Pertanggung Jawaban Mutu Alat Ukur ... 41
1. Validitas Dengan Menggunakan Evidensi Terkait Isi ... 41
2. Analisis Item dan Seleksi Item ... 42
3. Bentuk Final Skala ... 43
4. Uji Reliabilitas Skala... 45
5. Daya Diskriminasi Tes ... 45
F. Analisis Data ... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 47
B. Analisis Data Penelitian ... 48
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Deskripsi Populasi Siswa SMA N 9 Yogyakarta 2013/2014 ... 38
Tabel 2. Spesifikasi / Blue-print Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar Sebelum Uji Coba ... 40
Tabel 3. Penskoran Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar ... 41
Tabel 4. Spesifikasi / Blue-print Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar Setelah Seleksi Item ... 44
Tabel 5. Deskripsi Sampel Subjek Penelitian ... 48
Tabel 6. Uji Asumsi Data Penelitian ... 49
Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian ... 50
Tabel 8. Statistik Deskriptif Jenis Kelamin dan Tingkat Kelas ... 51
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar untuk Uji coba ... 62
Lampiran 2. Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar untuk Penelitian... 76
Lampiran 3. Statistik Deskriptif Data Penelitian, Uji Asumsi, Statistik Deskriptif
Jenis Kelamin dan Tingkat Kelas, Analisis Anava Dua Jalur ... 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bagian ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
SMA Negeri 9 Yogyakarta sebagai institusi pendidikan menengah atas
memiliki tujuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Salah satunya adalah siswa
memiliki penguasaan konsep seluruh mata pelajaran secara komprehensif
sehingga mampu berkompetisi di tingkat nasional dan internasional. Hal tersebut
tercantum dalam visi dan misi sekolah SMA Negeri 9 Yogyakarta. Dengan
adanya tujuan tersebut, maka tugas utama siswa adalah belajar.
Belajar di sekolah dilakukan agar siswa memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang cukup untuk mempersiapkan diri sebelum menempuh
pendidikan selanjutnya. Di samping itu, belajar juga dilakukan dengan tujuan agar
siswa memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan kehidupan. Agar siswa
siap dan mampu menghadapi tantangan-tantangan ke depan dengan baik, tentunya
siswa harus belajar dengan optimal.
Belajar dengan optimal membuat siswa memiliki prestasi belajar. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011), prestasi belajar merupakan penguasaan
pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui pelajaran, lazimnya
belajar yang tinggi juga dapat memudahkan siswa dalam menentukan pilihan
untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya. Prestasi yang tinggi
berarti siswa mampu menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari di
sekolah.
Terkait belajar yang optimal, terdapat permasalahan yang dihadapi oleh
siswa yakni adanya perilaku-perilaku yang berpotensi membuat belajar menjadi
tidak optimal. Berdasarkan wawancara terhadap seorang guru SMA Negeri 9
Yogyakarta, terungkap bahwa ada perilaku kurang serius ketika pelajaran di kelas
berlangsung. Perilaku tersebut misalnya siswa mengganggu teman yang lain. Di
samping itu, siswa menunjukkan sikap-sikap yang membuat guru tidak senang.
Ketika ulangan harian, terdapat siswa yang mengalami ulangan yang diulang
kembali guna memperbaiki nilai atau remidial. Hal tersebut dapat terjadi karena
siswa mungkin kurang mempersiapkan diri (Pradana, komunikasi pribadi, Juli,
2014).
Peneliti juga melakukan wawancara pribadi dengan seorang siswa SMA
Negeri 9 Yogyakarta. Ia mengungkapkan bahwa ada teman yang tidak
memperhatikan pelajaran saat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di kelas.
Ia juga menjelaskan bahwa siswa yang tidak memperhatikan pelajaran tersebut
melakukan aktivitas lain yaitu bermain hp (handphone) atau menggunakan
internet. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa ada teman yang mengikuti
bimbingan belajar di luar sekolah tetapi jarang hadir untuk mengikuti bimbingan
belajar tersebut (Nita, komunikasi pribadi, Juli, 2014). Hal-hal tersebut tentunya
Untuk mengurangi perilaku-perilaku yang berpotensi menghambat siswa
untuk belajar optimal, perlu adanya perhatian pada self-regulated learning.
Self-regulated learning atau pengaturan diri dalam belajar merupakan salah satu hal
yang berhubungan dengan keberhasilan pelajar dalam belajar akademis (Pintrich
& De Groot, 1990; Zimmerman, 2008). Belajar akademis menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2011) maksudnya ialah belajar yang bersifat ilmu pengetahuan.
Zimmerman (2008) menyebutkan bahwa pengaturan diri dalam belajar merupakan
hal yang membuat siswa dapat menguasai proses belajar yang dilakukan. Pelajar
yang berprestasi akademis tinggi melakukan pengaturan diri dengan menerapkan
banyak strategi dibandingkan pelajar yang berprestasi akademis yang rendah.
Strategi ini merupakan tindakan langsung yang diarahkan untuk mengumpulkan
informasi dan keterampilan-keterampilan terkait belajar (Zimmerman &
Martinez-Pons, 1986). Di samping itu, suatu penelitian mengungkapkan bahwa pengaturan
diri dalam belajar memiliki hubungan terhadap prestasi akademis. Pelajar
memiliki pengaturan diri dalam belajar yang tinggi cenderung memiliki prestasi
akademis yang tinggi (Putriansari, 2009). Prestasi akademis merupakan hasil
pelajaran yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tinggi
yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2011).
Pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh siswa pada jenjang
pendidikan sekolah menengah atas juga menjadi penting untuk diperhatikan. Di
samping berhubungan dengan keberhasilan akademis, pengaturan diri dalam
mempersiapkan diri ketika menghadapi pendidikan tinggi pada jenjang
selanjutnya. Hofer, Shirley, dan Pintrich (Schunk & Zimmerman, 1998)
mengungkapkan bahwa karakteristik pelajar pada jenjang perguruan tinggi untuk
belajar dan menggunakan strategi belajar cenderung menggunakan pengetahuan
dan strategi belajar dari pengalaman yang telah mereka dapatkan sebelumnya.
Oleh sebab itu, pengaturan diri dalam belajar tentunya menjadi penting untuk
diperhatikan sehingga siswa sekolah menengah atas agar menjadi siap dan
terbantu untuk menghadapi belajar di perguruan tinggi.
Pengaturan diri dalam belajar pada penelitian-penelitian sebelumnya
terdapat beberapa versi, yakni menurut Zimmerman dan Pintrich. Zimmerman
(1990, 2008) menyebutkan pengaturan diri dalam belajar adalah perilaku aktif
yang dilakukan pelajar dengan mengatur metakognitif, motivasi, dan perilaku
dalam belajar sehingga dapat berhasil mencapai tujuan belajar akademis. Pelajar
mengatur metakognitif berarti dapat memilih dan membuat keputusan mengenai
bagaimana sebaiknya ia belajar dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengaturan
pada motivasi terkait dengan pelajar beranggapan bahwa dirinya mampu mengatur
dan menerapkan suatu tindakan untuk menunjukkan performansi pada suatu tugas.
Hal tersebut membuat pelajar aktif untuk memotivasi diri agar mampu bertahan
ketika mempelajari suatu materi maupun menyelesaikan suatu tugas. Pengaturan
perilaku diartikan bahwa siswa melakukan usaha terkait perilaku atau
kebiasaannya untuk mengoptimalkan belajar dengan cara mengatur lingkungan
dimaksud dapat berupa nilai, penghargaan sosial, ataupun kesempatan berkarir
setelah menyelesaikan pendidikan (Zimmerman, 1989).
Zimmerman (2008) menjabarkan pengaturan diri dalam belajar ke dalam 14
strategi sebagai pengaturan diri dalam belajar. Pengaturan pada metakognitif
meliputi: 1) mengatur tujuan dan perencanaan belajar. Ini dilakukan agar tujuan
belajar yang dilakukan dapat tercapai; 2) mengatur dan mengubah, bertujuan
untuk membuat materi pelajaran menjadi mudah dipahami; 3) mencari informasi,
yakni mencari pengetahuan-pengetahuan dari sumberdaya nonsosial seperti
buku-buku di perpustakaan untuk menambah wawasannya; 4) mengulang dan
mengingat, dilakukan terhadap materi yang dipelajari sehingga dapat
meningkatkan kualitas belajar yang dilakukan. Pengaturan pada motivasi
meliputi: 5) evaluasi diri, dilakukan dengan mengecek kualitas dari penyelesaian
tugas serta pemahaman dari hal-hal yang dipelajari; 6) konsekuensi diri, dilakukan
dengan membayangkan hadiah yang akan diberikan ketika berhasil atau hukuman
ketika mengalami kegagalan saat belajar. pengaturan perilaku meliputi: 7)
menyusun lingkungan belajar, dilakukan agar dapat mendukung proses belajar; 8)
merekam dan memantau, dilakukan pada kejadian atau suatu hasil dari yang
dipelajari; pelajar meninjau kembali 9) ujian; 10) catatan; 11) buku materi guna
mempersiapkan diri untuk belajar di kelas maupun menghadapi ujian; pelajar juga
bertanya pada 12) teman sebaya; 13) guru; 14) orang tua atau orang dewasa lain
ketika mengalami kesulitan dalam mempelajari hal yang sedang dipelajarinya.
Penjabaran ini merupakan alat ukur yang bernama Self-Regulated Learning
Senada dengan Zimmerman, Pintrich (Schunk, 2005) mengatakan bahwa
pengaturan diri dalam belajar merupakan perilaku aktif yang dilakukan pelajar
dengan mengatur kognisi, motivasi, dan perilaku. Awalnya, pengaturan tersebut
dilakukan dengan mengatur tujuan dari belajar yang dilakukan. Selanjutnya,
pelajar memantau, mengatur, serta mengendalikan kognisi, motivasi, dan
perilakunya sehingga dapat mencapai tujuan tersebut. Hal-hal tersebut berkaitan
dengan suatu proses belajar konstruktif. Proses belajar konstruktif ini
dimaksudkan bahwa pelajar tidak hanya mampu menyerap pengetahuan yang
telah disampaikan, melainkan dapat membangun pengetahuan dari
pengalaman-pengalamannya (Ormrod, 2008). Ada dua versi alat ukur untuk mengukur
pengaturan diri dalam belajar yang menggunakan konsep Pintrich yakni
Motivated Strategies for Learning Questionnaire / MSLQ (Pintrich, Smith,
Garcia, dan McKeachie, 1991) dan Assessing Academic Self-Regulated Learning
(Wolters, Pintrich, dan Karabenick, 2003).
Alat ukur MSLQ dalam penggunaannya ditujukan untuk kalangan
mahasiswa. Di samping itu, alat ukur ini dirancang untuk mengetahui pengaturan
diri dalam belajar yang dilakukan pada suatu mata kuliah tertentu. Ini disebabkan
adanya asumsi bahwa pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh
mahasiswa berbeda antara satu jenis mata kuliah dengan yang lainnya (Pintrich
dkk, 1991; Wolters dkk, 2003). Wolter dkk (2003) membuat alat ukur Assessing
Academic Self-Regulated Learning sebagai pengembangan dari MSLQ. Alat ukur
ini dibuat bertujuan untuk mengetahui perilaku-perilaku pengaturan diri dalam
Penelitian dengan menggunakan adaptasi alat ukur Assessing Academic
Self-Regulated Learning terkait jenis kelamin yang peneliti temukan dalam
lingkup Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma pernah dilakukan untuk
skripsi perbedaan mahasiswa dan mahasiswi (Sayekti, 2011). Hasilnya adalah
tidak ada perbedaan signifikan pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan
antara sampel mahasiswa dan mahasiswi. Pengambilan sampel pada penelitian
tersebut adalah mahasiswa atau pelajar pada jenjang pendidikan di perguruan
tinggi sehingga hasil penelitian hanya dapat digunakan untuk menggambarkan
pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan pada mahasiswa. Dalam lingkup
yang sama, peneliti belum menemukan penelitian dengan menggunakan Assessing
Academic Self-Regulated Learning terkait dengan perbedaan usia atau tingkatan
pendidikan, secara khusus di kalangan siswa sekolah menengah atas.
Penelitian tentang pengaturan diri dalam belajar di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma pernah dilakukan. Secara keseluruhan berjumlah
delapan penelitian. Penelitian yang tidak menggunakan alat ukur Assessing
Academic Self-Regulated Learning adalah penelitian “Perbedaan Self-Regulated
Learning Pada Mahasiswa Yang Tinggal Di Kos Dan Di Rumah Bersama Dengan
Orang Tua” yakni menggunakan SRLIS sebagai pedoman untuk membuat alat
ukur (Arisandy, 2011). Di samping itu ada juga yang membuat alat ukur
berdasarkan karakteristik pelajar yang memiliki pengaturan diri dalam belajar
yakni “Hubungan Antara Self-Regulated Learning Dengan Prokrastinasi Pada
itu, delapan penelitian yang pernah dilakukan menggunakan subjek dengan latar
belakang pendidikan perguruan tinggi.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, adanya latar belakang subjek
penelitian yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi, membuat peneliti
tertarik untuk melihat pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan pada jenjang
pendidikan yang berbeda. Peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana
pengaturan diri yang dilakukan pelajar di sekolah menengah atas. Di samping itu,
pengaturan diri dalam belajar tersebut akan dieksplorasi pada jenis kelamin dan
tingkat kelas sebagai karakteristik siswa sekolah menengah atas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka yang ingin diketahui dari
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh SMA
Negeri 9 Yogyakarta?
2. Apakah ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa
laki-laki dan perempuan?
3. Apakah ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa
kelas X, XI, dan XII?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengaturan diri dalam
tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa laki-laki dan perempuan, serta
apakah ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa kelas X,
XI, dan XII.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan, sumber informasi, bahan referensi, serta dasar bagi penelitian
yang terkait dengan pengaturan diri dalam belajar pada siswa SMA.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat praktis:
a) Bagi siswa, yakni dapat mengetahui bagaimana mereka melakukan
pengaturan diri, sehingga diharapkan mampu untuk terus
mengoptimalkan diri dalam belajar sehingga dapat berprestasi akademis.
b) Bagi pengajar dan sekolah, yakni dapat mengetahui gambaran kondisi
siswa dalam belajar dan dapat membuat suatu kondisi tertentu yang dapat
membantu siswa untuk mengoptimalkan belajarnya terkait dengan
10
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bagian ini diuraikan tentang pengertian pengaturan diri dalam belajar,
assessing academic self-regulated learning, desain alat ukur, siswa SMA Negeri 9
Yogyakarta, perbedaan jenis kelamin dan tingkat kelas, kerangka penelitian, dan
hipotesis penelitian.
A. Pengertian Pengaturan Diri dalam Belajar
Self-regulated learning pada penelitian ini diterjemahkan sebagai
pengaturan diri dalam belajar. Pengaturan diri dalam belajar didefinisikan oleh
Zimmerman (1989, 1990, 2008) sebagai perilaku aktif siswa untuk belajar dengan
mengatur metakognitif, motivasi, dan perilaku untuk mencapai tujuan akademis.
Pengaturan metakognitif berarti siswa memilih dan membuat keputusan mengenai
bagaimana sebaiknya ia belajar dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengaturan
motivasi menunjukkan bahwa siswa memiliki anggapan bahwa dirinya mampu
mengatur dan menerapkan suatu tindakan untuk menunjukkan performansinya
pada suatu tugas akademik yang dihadapinya. Siswa yang beranggapan demikian
mampu secara aktif memotivasi dirinya agar mampu bertahan ketika mempelajari
suatu pelajaran maupun saat menyelesaikan tugas-tugas akademis. Pengaturan
perilaku dilakukan siswa dengan berusaha mengoptimalkan belajar akademis yang
dilakukannya dengan mengatur lingkungan belajar serta menambah wawasan
Perilaku aktif sebagai pengaturan diri dalam belajar diwujudkan dengan
menerapkan strategi-strategi spesifik untuk mencapai tujuan akademis
(Zimmerman, 1989). Strategi merupakan tindakan yang diarahkan siswa untuk
mengumpulkan informasi dan keterampilan-keterampilan terkait belajar.
Sedangkan tujuan akademis dapat berupa nilai, penghargaan sosial, maupun
kesempatan untuk berkarir setelah menyelesaikan pendidikan.
Inti pengaturan diri dalam belajar yang diungkapkan oleh Zimmerman
adalah adanya inisiatif, ketekunan, dan keterampilan-keterampilan adaptif yang
dilakukan siswa untuk meningkatkan pencapaian atau prestasi akademis. Prestasi
akademis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) merupakan hasil
pelajaran yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tinggi
yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian.
Senada dengan yang disebutkan oleh Zimmerman, Pintrich dan De Groot
(1990) mengatakan bahwa pengaturan diri dalam belajar meliputi 3 hal. Pertama,
siswa memiliki kognitif aktual yakni mampu mengingat dan memahami pelajaran.
Hal tersebut diatur dengan pengulangan (rehearsal), elaborasi, dan
mengorganisasi hal-hal yang dipelajari. Kedua, siswa memiliki strategi
metakognitif yakni mampu membuat perencanaan, memantau, serta melakukan
modifikasi dari kognisi diri. Ketiga, siswa mampu untuk mengatur dan
mengendalikan usaha-usaha sebagai perilakunya ketika menghadapi tugas-tugas
di kelas. Pintrich dan De Groot juga menambahkan adanya motivasi yang
berperan sangat penting untuk mendukung ketiga hal tersebut sehingga siswa
Chung (2000) menyebutkan bahwa pengaturan diri dalam belajar
melibatkan pengaturan yang dilakukan siswa terhadap metakognisi, motivasi, dan
strategi belajar. Ia juga menganggap bahwa siswa merupakan pelaku utama dalam
kegiatan belajar akademis. Siswa yang mengatur diri dalam belajar juga mampu
menguasai pelajaran yang dipelajarinya. Hal tersebut dapat terjadi karena siswa
memantau tujuan belajar serta memotivasi diri untuk terus belajar. Di samping itu,
siswa juga melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang dapat
mendukungnya untuk dapat mencapai tujuan tersebut.
Pintrich (Schunk, 2005) mendefinisikan pengaturan diri dalam belajar
sebagai perilaku aktif yang dilakukan siswa dalam belajar. Awalnya, siswa
mengatur tujuan belajar, kemudian ia memantau, mengatur, serta mengendalikan
kognisi, motivasi, dan perilaku sehingga dapat mencapai keberhasilan atau tujuan
dari pembelajaran yang dilakukan. Perilaku tersebut membuat suatu proses
konstruktif selama belajar. Proses konstruktif dimaksudkan bahwa siswa tidak
hanya dapat menyerap pelajaran yang disampaikan, melainkan juga dapat
membangun suatu pengetahuan-pengetahuan baru dari pengalamannya (Ormrod,
2008). Sementara itu, Ormrod (2011) dalam bukunya berjudul “Educational
Psychology developing Learners” mendefinisikan pengaturan diri dalam belajar
sebagai pengaturan yang dilakukan siswa pada proses kognitif serta perilaku
sehingga ia dapat berhasil dalam belajar.
Montalvo dan Torres (2004) menyebutkan bahwa terdapat ciri siswa yang
melakukan pengaturan diri dalam belajar. Ciri tersebut adalah siswa memiliki
dan pengorganisasian pada hal-hal yang dipelajarinya; memiliki kemampuan
metakognisi atau pengetahuan tentang bagaimana ia belajar untuk mengatur
kognisinya; memiliki motivasi yang kuat untuk terus belajar sehingga ia mampu
untuk terus belajar meskipun menghadapi kesulitan serta hal-hal yang
mengganggunya; melakukan usaha-usaha yang luar biasa untuk belajar; dan
mampu untuk mengatur waktu dan usaha dengan baik ketika belajar.
Berdasarkan uraian dari beberapa tokoh di atas, secara garis besar dapat
dikatakan bahwa pengaturan diri dalam belajar adalah perilaku aktif mengatur diri
pada kognitif-metakognitif, motivasi, dan perilaku untuk belajar. Hal tersebut
dilakukan agar dapat mencapai keberhasilan atau berprestasi dalam bidang
akademis.
Pentingnya pengaturan diri dalam belajar dilakukan karena berhubungan
dengan akademis (Zimmerman, 2008). Pelajar yang melakukan pengaturan diri
dalam belajar cenderung menguasai akademisnya. Akademis dimaksudkan pada
hal-hal yang bersifat pengetahuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2011).
Penelitian Zimmerman dan Martinez-Pons (1986) mengungkapkan bahwa pelajar
berprestasi tinggi menerapkan banyak strategi sebagai pengaturan diri dalam
belajar dibandingkan siswa berprestasi rendah. Di samping itu, Putriansari (2009)
juga mengungkapkan bahwa pelajar yang memiliki pengaturan diri dalam belajar
tinggi cenderung memiliki prestasi akademis yang tinggi juga.
Penelitian pengaturan diri dalam belajar dapat diukur dengan alat ukur yang
telah dibuat dari penelitian-penelitian sebelumnya. Alat ukur tersebut ada
1. Self-Regulated Learning Interview Schedule (SRLIS) yang dibuat oleh
Zimmerman dan Martinez-Pons pada tahun 1986 yang bertujuan untuk
melihat pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan pelajar secara
spesifik pada bagian penerapan strategi. Terdapat 14 strategi yakni: a.
menetapkan tujuan dan perencanaan belajar; b. mengatur dan mengubah
materi pelajaran yang diterima menjadi mudah untuk dipahami; c. mencari
informasi dari sumberdaya nonsosial; d. mengulang dan mengingat materi;
e. evaluasi diri; f. konsekuensi diri; g. menyusun lingkungan belajar; h.
merekam dan memantau; melakukan peninjauan kembali i. ujian; j.
catatan; k. buku materi guna mempersiapkan diri untuk belajar di kelas
dan menghadapi ujian; siswa bertanya pada l. teman sebaya; m. guru; n.
orang tua atau orang dewasa lain ketika kurang memahami suatu hal yang
dipelajarinya.
2. Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) yang dibuat
oleh Pintrich dkk pada tahun 1991 yang digunakan untuk mengukur
pengaturan diri dalam belajar secara spesifik pada suatu mata kuliah,
maupun suatu konteks pada pelajaran di level kelas tertentu. Hal tersebut
disebabkan adanya asumsi bahwa respon pelajar akan bervariasi terhadap
jenis pelajaran yang dipelajarinya. Alat ukur ini banyak digunakan dan
telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa seperti bahasa Jerman,
Perancis, Italia, Spanyol, Swedia, Finlandia, Belanda, Norwegia,
3. Assessing Academic Self Regulated Learning yang dibuat oleh Wolters
dkk tahun 2003 untuk mengukur pengaturan diri dalam belajar. Alat ukur
ini merupakan pengembangan dari alat ukur MSLQ untuk melihat
pengaturan diri dalam belajar secara umum, tidak spesifik pada suatu mata
kuliah tertentu. Di samping itu, alat ukur ini melihat adanya peran budaya
Barat pada bagian pengaturan perilaku untuk belajar akademis.
Penelitian ini menggunakan Assessing Academic Self-Regulated Learning
sebagai pedoman untuk membuat alat ukur pengaturan diri dalam belajar. Dengan
mempertimbangkan subjek siswa SMA, maka alat ukur dibuat lebih sederhana.
B. Assessing Academic Self-Regulated Learning
Assessing Academic Self-Regulated Learning merupakan alat ukur paling
baru yang digunakan untuk mengukur pengaturan diri dalam belajar. Alat ukur ini
dibuat oleh Wolters, Pintrich, dan Karabenick pada tahun 2003. Alat ukur ini
dibuat sebagai pengembangan dari alat ukur pengaturan diri dalam belajar
sebelumnya yakni Motivated Strategies and Learning Questionnaire (MSLQ)
yang dibuat oleh Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc. Keachie tahun 1991.
Assessing Academic Self-Regulated Learning dibuat untuk melihat
pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh pelajar secara umum. Ini tidak
seperti alat ukur MSLQ yang mengukur pengaturan diri dalam belajar secara
spesifik seperti dalam suatu subjek dan level pada pelajaran tertentu. Meskipun
Learning ditujukan untuk digunakan pada pelajar tingkat mahasiswa. Di samping
itu, disebutkan juga oleh Wolters dkk (2003) bahwa ada pada salah satu
subkomponennya yang melihat pengaturan diri dalam belajar terkait budaya
Barat.
Secara konseptual, alat ukur ini terdiri dari 3 komponen utama yakni
pengaturan kognisi akademis, pengaturan motivasi akademis, dan pengaturan
perilaku akademis.
1. Pengaturan kognisi akademis
Pengaturan kognisi akademis dimaksudkan pada pengaturan yang dilakukan
oleh pelajar terhadap kognisi yang dimilikinya. Kognisi ini berfungsi untuk
belajar serta menunjang performansi belajar yang dilakukan pelajar. Pada
bagian ini, terdiri dari 4 subkomponen yakni pengulangan (rehearsal),
elaborasi, organisasi, dan pengaturan diri metakognitif.
a. Pengulangan, yakni pelajar melakukan pengulangan secara
berkali-kali terhadap materi yang dipelajarinya. Pengulangan ini bertujuan
agar materi dapat diingat dan dipahami.
b. Elaborasi, yakni pelajar melakukan elaborasi terhadap materi yang
dipelajarinya dengan cara membuat materi tersebut dapat dijabarkan
ke dalam bahasa sendiri atau parafrase.
c. Organisasi, yakni pelajar melakukan penyusunan kembali materi yang
dipelajarinya dengan cara seperti membuat catatan dengan kata-kata
sendiri, menggambar diagram, maupun mengembangkan konsep dari
d. Pengaturan diri metakognitif, yakni pelajar melakukan perencanaan,
pemantauan, dan pengaturan seperti pengaturan tujuan dari membaca,
memantau secara komprehensif dari yang dibaca oleh orang lain, dan
membuat perubahan ataupun penyesuaian dalam pembelajaran sebagai
suatu kemajuan dalam melewati tugas-tugas (Pintrich, dkk, 1991).
2. Pengaturan motivasi akademis
Pengaturan motivasi akademis dimaksudkan bahwa pelajar mampu
memotivasi dirinya untuk terus bertahan ketika mengerjakan maupun
menyelesaikan tugas. Pada bagian ini terdiri dari 7 subkomponen yakni
konsekuensi diri, penyusunan lingkungan, berbicara pada diri sendiri
tentang penguasaan, berbicara pada diri sendiri tentang performansi /
ekstrinsik, berbicara pada diri sendiri tentang performansi / kemampuan
relatif, peningkatan relevansi, dan peningkatan minat situasional.
a. Konsekuensi diri, yakni pelajar memotivasi diri dengan membuat
suatu konsekuensi ekstrinsik sebagai akibat yang harus diterima
sehingga dapat terus bertahan dalam belajar. Ini dapat dibuat oleh
pelajar berupa pemberian suatu hadiah (reward) atau hukuman
(punishment) yang dapat membuatnya untuk terus bertahan dalam
belajar maupun menyelesaikan tugas.
b. Penyusunan lingkungan belajar, yakni pelajar memotivasi diri dengan
menyusun lingkungan belajar sehingga dapat berkonsentrasi dengan
mengurangi hal-hal yang dapat mengganggu belajar serta menyusun
lingkungan agar dapat menyelesaikan tugas dengan lebih mudah.
c. Peningkatan minat situasional, yakni pelajar meningkatkan
motivasinya pada tugas atau situasi belajar atau minat personal. Di
samping itu, pelajar juga dapat membuat perasaannya menjadi senang
dengan pengalamannya ketika menyelesaikan tugas.
d. Peningkatan relevansi, yakni pelajar meningkatkan relevansi atau
kebermaknaan dari tugas yang dihubungkan dengan hidup atau minat
personal mereka.
e. Berbicara pada diri sendiri tentang penguasaan, yakni pelajar
meyakinkan diri bahwa ia mampu untuk menguasai pelajaran yang
disampaikan.
f. Berbicara pada diri sendiri tentang performansi / ekstrinsik, yakni
pelajar meyakinkan diri bahwa mampu dapat nilai tinggi, dapat
melakukan hal baik di kelas.
g. Berbicara pada diri sendiri tentang performansi / kemampuan relatif,
yakni pelajar meyakinkan diri tentang performansi yang lebih spesifik
seperti dapat melakukan hal yang lebih baik daripada orang lain.
3. Pengaturan perilaku akademis
Pengaturan perilaku dimaksudkan pada usaha siswa yang dilakukan secara
aktif untuk mengumpulkan informasi dan keterampilan yang mendukung
belajarnya. Terdiri dari 3 subkomponen yakni mengatur usaha, mengatur
a. Pengaturan usaha, yakni pelajar melakukan perilaku akademis dengan
mengatur usaha yang dilakukannya ketika belajar dan menyelesaikan
tugas. Ini dilakukan dengan membuat komitmen antara diri dan tugas
tersebut. Pelajar juga berkomitmen untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya meskipun sulit dan ada hal-hal yang mengganggu (Pintrich,
dkk, 1991).
b. Mengatur waktu dan lingkungan belajar, yakni pelajar mengatur
perilaku dengan membuat rencana dan mengelola waktu untuk belajar
dan menyelesaikan tugas yang efektif. Ini dilakukan dengan membuat
hal-hal yang dikerjakan menjadi terjadwal. Untuk pengaturan
lingkungan belajar dilakukan pelajar dengan membuat lingkungan
belajar menjadi teratur, tenang, dan terbebas dari gangguan yang dapat
mengganggu visual maupun auditori (Pintrich, dkk, 1991).
c. Mencari bantuan, yakni perilaku yang dilakukan pelajar untuk
mengumpulkan informasi dan saran yang berguna bagi pembelajaran
yang dilakukan dengan mencari bantuan dari orang lain seperti
teman-teman, keluarga, teman di kelas, dan pengajar. Pada bagian ini,
Assessing Academic Self-Regulated Learning menjabarkan ke dalam 9
subkomponen. Kesembilan subkomponen tersebut dijelaskan oleh
Wolters dkk (2003) digunakan untuk mengukur perilaku mencari
bantuan pada budaya Barat, yaitu:, tujuan umum untuk mencari
bantuan yang dibutuhkan, tujuan umum untuk menghindari bantuan
(ancaman), keuntungan yang dirasakan untuk mencari bantuan,
instrumental (kemandirian) untuk tujuan mencari bantuan, bijaksana
(eksekutif) untuk tujuan mencari bantuan, mencari bantuan dari
sumber daya formal (pengajar), mencari bantuan dari sumber daya
informal (pelajar lain), merasakan dukungan pengajar dari pertanyaan.
Kesembilan subkomponen ini tidak digunakan karena terkait budaya
di Barat.
C. Desain Alat Ukur
Setelah meninjau alat ukur Assessing Academic Self-Regulated Learning,
peneliti memutuskan untuk membuat alat ukur pengaturan diri dalam belajar
dengan berpedoman pada Assessing Academic Self-Regulated Learning. Hal ini
didasarkan pada 2 hal yakni: 1) alat ukur Assessing Academic Self-Regulated
Learning merupakan alat ukur paling baru dan merupakan pengembangan dari
alat ukur MSLQ yang telah banyak digunakan untuk mengukur pengaturan diri
dalam belajar; 2) alat ukur Assessing Academic Self-Regulated Learning
mengukur pengaturan diri dalam belajar secara umum, tidak spesifik pada suatu
subjek atau level pelajaran tertentu.
Meskipun demikian, alat ukur Assessing Academic Self-Regulated
Learning memiliki kekurangan yakni kecenderungan bias budaya karena Wolters
dkk (2003) menyebutkan bahwa ada bagian khususnya perilaku mencari bantuan
dari orang lain yang digunakan untuk mengukur pada budaya Barat. Di samping
Hal tersebut membuat peneliti mempertimbangkan untuk membuat alat ukur yang
lebih sederhana untuk digunakan pada siswa SMA.
Setelah meninjau adanya hal-hal tersebut, peneliti membuat desain alat
ukur pengaturan diri dalam belajar yang berpedoman pada Assessing Academic
Self-Regulated Learning, yakni:
1. Pengaturan kognisi akademis, terdiri dari 2 subkomponen yakni pengaturan
kognitif secara umum dan pengaturan diri metakognitif. Hal ini disebutkan
oleh Wolters dkk (2003) bahwa pelajar yang lebih muda dari mahasiswa
mengukur pengaturan kognitif secara umum yang terdiri dari pengulangan
(rehearsal), elaborasi, organisasi. Ketiga hal tersebut diukur dalam
subkomponen pengaturan kognitif secara umum. Ini didasarkan pada pelajar
yang lebih muda tidak dapat membuat perbedaan-perbedaan yang baik di
antara ketiga hal tersebut sebaik yang dilakukan oleh mahasiswa.
a. Pengaturan kognitif secara umum
Pengaturan dilakukan dengan pengulangan (rehearsal), elaborasi, dan
pengorganisasian materi yang dipelajarinya. Pengulangan (rehearsal)
dilakukan dengan cara mengulangi materi yang dipelajarinya sehingga
siswa dapat mengingatnya. Elaborasi dilakukan siswa dengan
merangkum materi dan mampu menjelaskannya dengan bahasa sendiri.
Organisasi dilakukan dengan membuat catatan sendiri (note-taking),
menggambar diagram, dan membuat peta konsep.
Pengaturan diri metakognitif dilakukan dengan membuat perencanaan,
pemantauan, dan pengaturan terhadap kognisi yang dimiliki siswa
(Wolters dkk, 2003). Perencanaan dilakukan pada adanya penentuan
tujuan dan analisis dari tugas yang dipelajari. Ini dilakukan agar siswa
lebih mudah ketika mengatur dan menggabungkan antara materi yang
satu dengan yang lainnya. Pemantauan dilakukan dengan cara mengetes
diri sendiri dan membuat pertanyaan-pertanyaan untuk membantu siswa
memahami materi. Pengaturan metakognitif juga dilakukan dengan
mengecek dan mengoreksi perilaku yang dilakukan siswa dalam suatu
tugas yang dikerjakannya (Pintrich dkk, 1991).
2. Pengaturan motivasi akademis, terdiri dari 4 subkomponen. Pengaturan
motivasi terdiri dari konsekuensi diri, berbicara pada diri sendiri,
peningkatan minat, dan penyusunan lingkungan.
a. Konsekuensi diri
Siswa memberikan motivasi terhadap dirinya dengan menerapkan
konsekuensi diri. Konsekuensi ini berupa konsekuensi ekstrinsik sebagai
akibat yang harus diterimanya sehingga ia dapat terus bertahan dalam
mempelajari pelajaran dan menyelesaikan tugas. Konsekuensi yang
dibuat oleh siswa dapat berupa hadiah atau hukuman yang membuatnya
terus untuk belajar dan menyelesaikan tugas.
b. Berbicara pada diri sendiri
Siswa memberikan motivasi terhadap dirinya dengan berbicara pada diri
belajar akademis yang dilakukannya. Hal tersebut meliputi siswa yakin
bahwa dirinya mampu untuk dapat menguasai materi yang dipelajarinya,
siswa meyakinkan diri mampu untuk melakukan performansi yang baik
dalam belajar, siswa meyakinkan diri mampu untuk mempelajari
pelajaran dan menyelesaikan tugas, siswa meyakinkan diri memiliki
kemampuan yang lebih baik daripada orang lain, serta siswa
meyakinkan diri dapat melakukan hal-hal baik dalam mempelajari suatu
pelajaran serta mampu untuk meraih nilai yang tinggi.
c. Peningkatan minat
Siswa memotivasi diri dengan melakukan peningkatan minat terhadap
hal-hal yang dipelajarinya. Ini dapat dilakukan dengan membuat hal-hal
yang kurang atau tidak menarik menjadi menarik dan menyenangkan
untuk dipelajari. Di samping itu, siswa dapat mengaitkan hal yang
dipelajari dengan minat personal atau hal lain dalam kehidupannya.
d. Penyusunan lingkungan
Siswa memotivasi diri dengan menyusun lingkungannya. Ini dilakukan
agar siswa dapat berkonsentrasi dengan baik untuk belajar. Siswa
melakukan penyusunan lingkungan dengan cara mengurangi hal-hal
yang dapat mengganggu konsentrasi belajar. Di samping itu, siswa
menyusun lingkungan belajarnya agar dapat menyelesaikan tugas
3. Pengaturan perilaku akademis, terdiri dari 3 subkomponen yakni pengaturan
waktu dan lingkungan, pengaturan usaha, dan mencari bantuan secara
umum.
a. Pengaturan waktu dan lingkungan
Pengaturan waktu dan lingkungan dilakukan dengan membuat rencana
dan mengelola waktu untuk belajar atau menyelesaikan tugas dengan
efektif. Ini juga dilakukan dengan membuat hal-hal yang dikerjakan
menjadi terjadwal. Sedangkan untuk pengaturan lingkungan belajar
dilakukan dengan membuat lingkungan belajar menjadi teratur, tenang,
dan terbebas dari gangguan yang dapat mengganggu visual dan auditori
(Pintrich dkk, 1991).
b. Pengaturan usaha
Pengaturan usaha dilakukan siswa dengan mengatur usaha yang
dilakukannya ketika mempelajari pelajaran dan menyelesaikan tugas.
Siswa membuat komitmen untuk belajar akademis dengan baik. Di
samping itu, siswa juga berkomitmen untuk menyelesaikan tugas-tugas
meskipun sulit serta ada hal-hal yang mengganggunya (Pintrich dkk,
1991).
c. Mencari bantuan secara umum
Pengaturan perilaku untuk mengumpulkan informasi dan saran yang
berguna bagi belajar siswa yang dilakukan dengan mencari bantuan dari
irang lain agar dapat memberikan bantuan terhadapnya. Ini dapat
dilakukan dengan mencari bantuan dari teman maupun guru.
D. Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta
Siswa SMA adalah pelajar yang mengenyam pendidikan pada jenjang
sekolah menengah atas. Rentang usia mereka adalah 16 – 18 tahun. SMA Negeri
9 Yogyakarta merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang
menyelenggarakan pendidikan jenjang menengah atas di kota Daerah Istimewa
Yogyakarta. Berdasarkan hal tersebut maka siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta
adalah pelajar yang mengenyam pendidikan pada lembaga pendidikan formal
jenjang sekolah menengah atas negeri 9 Yogyakarta. Pendidikan formal adalah
pendidikan yang melaksanakan serangkaian kegiatan yang terencana dan
terorganisasi termasuk kegiatan proses belajar mengajar di kelas (Winkel, 1986).
SMA Negeri 9 Yogyakarta merupakan sekolah yang memiliki peringkat
ke-9 terbaik di kota Daerah Istimewa Yogyakarta. Asal siswa yang bersekolah di
SMA N 9 Yogyakarta ditentukan berdasarkan ketentuan kuota jumlah penerimaan
siswa dari pemerintah kota Daerah Istimewa Yogyakarta yakni 70 % siswa
berasal dari kota Yogyakarta dan 30 % siswa berasal dari luar daerah kota
Yogyakarta. Siswa yang diterima di SMA N 9 ini diseleksi berdasarkan nilai
Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama (Pradana, komunikasi pribadi, Juli,
2014).
Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014 belajar dengan
2 kelas XI IPS, 5 kelas XII IPA, dan 1 kelas XII IPS. Jam belajar di sekolah
dimulai pukul 07.15 dan berakhir pukul 14.00. Untuk mendukung belajar yang
dilakukan siswa, sekolah memberikan tambahan jam belajar untuk kelas XI dan
XII yakni pada jam ke 0. Jam ke-0 ini dilakukan sebelum pukul 07.15. Pemberian
tambahan jam belajar ini disebutkan sebagai pendalaman materi atau konsep dari
pelajaran di sekolah. Setelah siswa belajar efektif di kelas, siswa melakukan
kegiatan praktikum dan ekstrakurikuler sesuai dengan yang dijadwalkan oleh
sekolah. Kegiatan praktikum dimulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.00.
Sedangkan untuk kegiatan ekstrakulikuler diadakan mulai pukul 14.00 hingga
16.30. Di samping itu, kebanyakan siswa SMA N 9 Yogyakarta mengikuti
bimbingan belajar di luar jam sekolah (Pradana, komunikasi pribadi, Juli, 2014).
E. Perbedaan Jenis Kelamin dan Tingkat Kelas
Pengaturan diri dalam belajar pada penelitian ini dieksplorasi berdasarkan
jenis kelamin dan tingkat kelas pada karakteristik siswa di sekolah menengah atas.
1. Perbedaan Jenis Kelamin
Pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh siswa mungkin
berbeda apabila ditinjau dari perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis
kelamin adalah perbedaan biologis individu yakni laki-laki atau perempuan
(Erbert & Culyer, 2010). Gurian (2011) menyebutkan bahwa siswa laki-laki
dan perempuan belajar dengan cara yang berbeda. Hal tersebut disebabkan
otak yang mempengaruhi belajar yang dilakukan antara laki-laki dan
perempuan adalah:
a) Corpus callosum, merupakan ikatan-ikatan syaraf yang menghubungkan
antara hemisfer otak kanan dan kiri. Bagian ini berfungsi untuk
pemrosesan informasi di otak. Corpus callosum pada otak perempuan
cenderung memiliki ikatan-ikatan syaraf yang lebih banyak dan luas
dibandingkan otak laki-laki. Hal tersebut menyebabkan perempuan
cenderung lebih cepat dalam memproses informasi di otak dibandingkan
laki-laki.
b) Cerebral cortex, merupakan bagian otak yang terdiri dari neuron-neuron
yang berperan dalam fungsi intelektual, ingatan, dan penafsiran
(interpretasi) impuls-impuls. Dibandingkan dengan otak laki-laki, otak
perempuan memiliki lebih banyak koneksi antar neuron. Hal tersebut
membuat perempuan mampu merespon informasi yang didapatkan di
kelas lebih cepat daripada laki-laki. Di samping itu, perempuan juga dapat
lebih mudah melakukan multitasking daripada laki-laki.
c) Area sistem limbik (limbic system), merupakan bagian otak yang terdiri
dari struktur yakni amygdala dan hippocampus yang berperan
mempengaruhi bagaimana laki-laki dan perempuan melakukan
performansi belajar yang berbeda. Area sistem limbik ini membuat
perempuan cenderung merespon secara verbal pada keadaan-keadaan
d) Amygdala, merupakan bagian dari area sistem limbik yang mengatur
emosi. Amygdala pada otak laki-laki cenderung lebih luas dibandingkan
perempuan. Ini mengakibatkan laki-laki cenderung lebih agresif
dibandingkan perempuan.
e) Hippocampus merupakan bagian otak yang berperan untuk mengubah
informasi dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang. Di
samping itu, berperan sangat penting pada pemaknaan dari pembelajaran.
Perempuan memiliki hippocampus yang lebih luas dibandingkan laki-laki.
Jumlah dan kecepatan neuron pada hippocampus perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Hal tersebut membuat perempuan lebih cepat
untuk mengingat informasi daripada laki-laki.
Siswa pada sekolah menengah atas berusia antara 16 hingga 18 tahun.
Pada usia ini, siswa berada pada tahap remaja dan mengalami pubertas.
Pubertas pada remaja mengaktifkan hormon seksual yakni meningginya kadar
estrogen pada perempuan dan testosteron pada laki-laki. Hormon-hormon
tersebut juga berperan mempengaruhi bagaimana individu berperilaku
(Steinberg, 2002). Kadar hormon estrogen tinggi membuat perempuan
cenderung rendah dalam kemandirian diri dan kurang menonjolkan diri. Di
samping itu, perempuan juga cenderung rendah dalam beragresi dan
berkompetisi dibandingkan laki-laki. Sementara itu, kadar hormon testosteron
itu, laki-laki juga cenderung lebih agresif dan berkompetisi dibandingkan
dengan perempuan (Gurian, 2011).
Selain perbedaan struktur otak dan hormon, perbedaan pengaturan diri
dalam belajar mungkin dapat dilihat dari adanya perbedaan perilaku laki-laki
dan perempuan yang terlihat ketika belajar akademis. Mau dan Lynn (2000)
menyebutkan bahwa siswa perempuan lebih bekerja keras ketika
mengerjakan tugas sekolah untuk di rumah (homework) dibandingkan siswa
laki-laki. Di samping itu, Xu dan Corno (2006) juga menyebutkan bahwa
siswa perempuan lebih sering mengatur waktu selama mengerjakan tugas
sekolah utuk di rumah dibandingkan siswa laki-laki. Siswa perempuan lebih
memiliki inisiatif untuk memantau motivasi belajar yang dilakukan. Selain
itu, siswa perempuan lebih berhati-hati dalam memantau dan mengendalikan
hal-hal yang berpotensi mengganggu emosinya ketika belajar dibandingkan
siswa laki-laki. Di samping itu, Einsberg (Santrock, 2011) menyebutkan
bahwa laki-laki menunjukkan kurang melakukan keterampilan dalam
mengatur emosi dan perilaku dibandingkan perempuan.
Perilaku yang ditunjukkan oleh siswa laki-laki dan perempuan ketika
berada di sekolah juga berbeda (Ormrod, 2011). Di sekolah, rata-rata siswa
perempuan memiliki perhatian yang lebih untuk melakukan hal-hal yang
dikatakan baik. Siswa perempuan juga lebih memiliki keterikatan pada
aktivitas yang dilakukan di kelas dibandingkan dengan siswa laki-laki. Selain
itu, siswa perempuan juga lebih rajin mengerjakan tugas dibandingkan siswa
Gurian (2011) juga menyebutkan bahwa siswa perempuan dan laki-laki
menunjukkan perilaku yang berbeda ketika di ruang kelas. Ketika berada di
kelas, siswa perempuan belajar lebih keras dan lebih tenang sedangkan siswa
laki-laki cenderung lebih banyak membuang waktu dan lebih berisik. Siswa
perempuan cenderung kurang agresif dan berkompetisi, sedangkan siswa
laki-laki cenderung agresif dan menunjukkan sikap berkompetisi di kelas.
Penelitian yang dilakukan Zimmerman dan Martinez-Pons (1991)
mengungkapan bahwa ada perbedaan signifikan penerapan strategi sebagai
pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh siswa laki-laki dan
perempuan. Siswa perempuan menerapkan strategi pengaturan diri dalam
belajar seperti merekam dan memantau, menyusun lingkungan, serta
menetapkan tujuan dan membuat perencanaan belajar lebih banyak
dibandingkan laki-laki.
2. Perbedaan Tingkat Kelas
Penerapan strategi sebagai pengaturan diri dalam belajar yang ditinjau
dari perbedaan tingkat kelas memiliki perbedaan. Hal ini pernah diungkap
oleh penelitian Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) terhadap siswa
kelas 5, 8, dan 11 di Amerika. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa
siswa kelas 8 menerapkan strategi sebagai pengaturan diri dalam belajar
yang lebih banyak daripada kelas 5. Di samping itu, siswa kelas 11
menerapkan strategi sebagai pengaturan diri dalam belajar yang kurang
bahwa perbedaan penerapan strategi pengaturan diri dalam belajar tersebut
kurang dapat dipercaya.
Adanya perbedaan tingkat kelas di SMA yakni kelas 10, 11, dan 12
berarti ada perbedaan usia yang bertambah di setiap tingkat dari tingkat
sebelumnya. Piaget (Solso, Maclin, & Maclin, 2008) menyebutkan bahwa
seiring bertambahnya usia terdapat perkembangan kognitif. Perkembangan
kognitif terjadi karena otak mengalami perkembangan struktur menjadi
lebih kompleks dibandingkan sebelumnya. Di samping itu, kognitif
berkembang menyesuaikan dengan lingkungannya. Penyesuaian kognitif
terhadap lingkungan terjadi dengan 2 cara yakni menggabungkan
informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya
(asimilasi) dan menyesuaikan diri dengan informasi baru (akomodasi).
Beberapa pakar perkembangan kognitif seperti Case, Marini, dan Case,
serta Pascual-Leone (Santrock, 2003) menyebutkan bahwa perkembangan
kognitif terjadi secara teratur dan spesifik yang meliputi bagaimana
seseorang menggunakan strategi, mempelajari suatu keterampilan, serta
bagaimana seseorang memiliki kecepatan dalam memproses informasi
yang diterimanya. Perkembangan kognitif juga ditandai dengan adanya
cara berpikir khusus terhadap suatu tugas tertentu.
Seiring pertambahan usia pada remaja, perkembangan kognitif pada
bagian untuk memproses informasi menjadi bertambah (Santrock, 2003).
Perkembangan tersebut meliputi beberapa aspek yakni adanya peningkatan
informasi tingkat tinggi dan lebih besar, serta adanya peningkatan
kemampuan untuk melakukan tugas secara otomatis. Melakukan tugas
secara otomatis dimaksudkan dengan adanya usaha yang relatif sedikit
untuk melakukan tugas tersebut. Di samping itu, remaja mengalami
peningkatan kemampuan untuk mengambil keputusan menjadi lebih
kompeten dibandingkan sebelumnya.
Senada dengan pakar kognitif sebelumnya, Ormrod (2011)
menuliskan dalam bukunya bahwa seiring dengan pertambahan usia,
perkembangan kognitif meningkat. Hal tersebut ditandai dengan
bertambah canggihnya cara berpikir, kemampuan untuk mengungkapkan
suatu alasan, serta penggunaan bahasa yang semakin meningkat.
Melihat adanya kelas X, XI, dan XII di SMA, siswa pada ketiga
tingkat kelas tersebut memiliki perbedaan usia. Perbedaan usia siswa
bertambah seiring dengan tingkatan kelas tersebut dibandingkan tingkat
sebelumnya. Siswa mendapatkan pengetahuan yang berbeda di setiap
kelasnya. Setelah siswa melewati satu tingkat kelas, ia mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman akademis yang lebih dibandingkan tingkat
kelas sebelumnya. Adanya penyesuaian kognitif terhadap pengetahuan dan
pengalaman yang berbeda di tiap tingkat kelas, maka ada kemungkinan
dapat mempengaruhi pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh
Berdasarkan uraian tentang siswa SMA, dapat dibuat kesimpulan bahwa
pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan mungkin berbeda ditinjau dari
perbedaan pada siswa di SMA. Perbedaan siswa di SMA yang akan ditinjau pada
penelitian ini adalah perbedaan jenis kelamin dan tingkat kelas.
F. Kerangka Penelitian
Pengaturan diri dalam belajar adalah perilaku aktif yang dilakukan siswa
dengan mengatur diri untuk mencapai tujuan belajar. Pengaturan diri ini dilakukan
dengan cara mengatur kognisi akademis, motivasi akademis, dan perilaku
akademis dalam belajar. Pengaturan diri dalam belajar akan dieksplorasi pada
perbedaan jenis kelamin dan tingkatan kelas sebagai karakteristik siswa pada
sekolah menengah atas.
Siswa di SMA memiliki perbedaan karakteristik antara siswa satu dengan
yang lainnya. Perbedaan karakteristik ini akan ditinjau dari perbedaan jenis
kelamin dan tingkat kelas. Dari perbedaan jenis kelamin dapat diketahui bahwa
ada perbedaan struktur otak serta perilaku-perilaku yang berbeda yang
ditunjukkan antara siswa laki-laki dan perempuan untuk belajar akademis.
Sedangkan perbedaan tingkat kelas, diketahui ada pertambahan usia dari tingkat
sebelumnya yang menyebabkan adanya perkembangan kognitif seiring
G. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Ada perbedaan antara pengaturan diri dalam belajar antara siswa laki-laki
dan perempuan, siswa perempuan memiliki pengaturan diri dalam belajar
lebih tinggi daripada siswa laki-laki.
2. Ada perbedaan pengaturan diri dalam belajar antara kelas X, XI, dan XII,
siswa kelas XI memiliki pengaturan diri dalam belajar yang lebih tinggi
dibandingkan kelas X, serta kelas XII memiliki pengaturan diri dalam
belajar lebih tinggi dibandingkan kelas XI.
35
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bagian ini dijelaskan tentang jenis penelitian, variabel penelitian, subjek
penelitian, alat pengumpulan data, pertanggung jawaban mutu alat ukur, dan
analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei. Penelitian survei adalah salah
satu jenis rancangan penelitian deskriptif dalam metode penelititan kuantitatif,
bertujuan memperoleh informasi tertentu dari sekelompok subjek yang dipandang
mewakili populasi tertentu (Leedy & Ormrod, 2005). Informasi yang ingin diteliti
dalam penelitian ini adalah tingkat pengaturan diri dalam belajar siswa SMA N 9
Yogyakarta. Informasi tersebut akan diungkap dengan skala pengaturan diri dalam
belajar. Selanjutnya, penelitian ini akan melihat tingkat pengaturan diri dalam
belajar yang dibandingkan terkait jenis kelamin dan kematangan kognitif yang
ditinjau dari tingkatan kelas.
B. Variabel Penelitian
1. Identifikasi Variabel
Variabel utama penelitian ini adalah pengaturan diri dalam belajar. Untuk
meneliti lebih lanjut hubungan antara variabel utama pengaturan diri dalam
akan diteliti sebagai variabel bebas adalah jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan) dan tingkat kelas (kelas X, kelas XI, dan kelas XII).
2. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Untuk mengukur pengaturan diri dalam belajar, jenis kelamin, dan tingkat
kelas, maka peneliti merumuskan definisi operasional sebagai berikut:
a. Pengaturan diri dalam belajar
Pengaturan diri dalam belajar akan dioperasionalisasikan berdasar pada 3
komponennya, yakni pengaturan kognisi akademis, motivasi akademis,
dan perilaku akademis. Operasionalisasi ketiga hal tersebut berpedoman
dari skala Assessing Academic Self-Regulated Learning, yakni:
- Pengaturan kognisi akademis yakni mengatur kognitif dan
metakognitif yang dimiliki. Bagian ini terdiri dari 2 hal yakni
pengaturan diri metakognitif dan pengaturan kognitif secara umum.
- Pengaturan motivasi akademis yakni siswa memiliki ide dan
berperilaku yang mempengaruhi motivasi sehingga dapat terus tekun
dan bekerja keras untuk belajar. Bagian ini terdiri dari 4 hal yakni
berkata-kata pada diri sendiri, peningkatan minat, konsekuensi diri,
penyusunan lingkungan.
- Pengaturan perilaku akademis yakni usaha proaktif yang dilakukan
siswa untuk mengumpulkan informasi serta keterampilan untuk
meningkatkan belajarnya dengan cara mengatur lingkungan belajar
pengaturan waktu dan lingkungan belajar, mengatur usaha, dan
mencari bantuan.
Pengaturan diri dalam belajar akan diukur dengan menggunakan
skala. Berdasarkan pengukuran skala tersebut akan diperoleh nilai skor yang
menunjukkan semakin tinggi nilai skor skala maka semakin tinggi pula
pengaturan diri dalam belajar yang diukur.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan perbedaan bagian biologis seseorang yakni
laki-laki atau perempuan. Ini akan mengelompokkan siswa dalam
kelompok laki-laki atau perempuan. Pengelompokan jenis kelamin
diperoleh dari identitas siswa yang diisikan pada bagian identitas dari
skala yang diberikan, yaitu laki-laki atau perempuan.
c. Tingkat Kelas
Tingkat kelas merupakan kelompok kelas yang diikuti oleh siswa
berbeda tahun untuk belajar di SMA. Ini akan mengelompokan siswa
dalam kelas X, XI, atau XII. Pengelompokan tingkat kelas diperoleh dari
identitas subjek yang diisikan pada bagian identitas dari skala yang
C. Subjek Penelitian
Populasi subjek penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta yang
berjumlah 551 siswa. Penelitian dilakukan terhadap sampel. Pengambilan sampel
dilakukan secara convenience sampling pada kelas X, XI, dan XII. Hal ini
dilakukan berdasarkan kesediaan subjek untuk mengikuti survei (Shaughnessy,
Zechmeister, & Zechmeister, 2006). Di samping itu, teknik pengambilan sampel
ini dilakukan untuk kemudahan akses melakukan penelitian. Besarnya sampel
yang mengikuti survei sebanyak 192 siswa yang terdiri atas 63 siswa kelas X, 76
siswa kelas XI, dan 53 siswa kelas XII.
Berikut ini adalah deskripsi populasi siswa di SMA N 9 Yogyakarta:
Tabel 1.
Deskripsi Populasi Siswa SMA N 9 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014
No. Kelas Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
1. X 62 128 190
2. XI 73 116 189
3. XII 65 107 172
Total Keseluruhan 200 351 551
D. Alat Pengumpulan Data
Data penelitian adalah hasil pengukuran dengan skala pengaturan diri dalam
masing-masing kelas terdiri atas siswa laki-laki dan perempuan. Identifikasi tingkat kelas
dan jenis kelamin didapatkan pada keterangan diri yang tercantum pada skala.
Data utama berupa hasil pengukuran tingkat pengaturan diri dalam belajar
dikumpulkan dengan skala pengaturan diri dalam belajar.
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah
skala pengaturan diri dalam belajar. Skala merupakan seperangkat pernyataan
yang disusun untuk mengungkap suatu atribut melalui respon terhadap pernyataan
tersebut. Skala ini terdiri dari item-item favorable dan unfavorable. Item
favorable merupakan pernyataan yang perilakunya sesuai atau mendukung atribut
yang diukur, sedangkan item unfavorable merupakan pernyataan yang
bertentangan dari ciri perilaku atribut yang diukur (Azwar, 2012).
Penskoran skala pengaturan diri dalam belajar mengikuti model Likert,
yakni subjek menyatakan kesetujuan-ketidaksetujuan terhadap pernyataan yang
terkait dengan keadaan dirinya dalam sebuah kontinum (Supratiknya, 2014).
Subjek akan diminta untuk memilih satu dari empat alternatif jawaban sebagai
respon dalam kontinum, yakni Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS),
dan Sangat Tidak Sesuai (STS).
Untuk membuat skala pengaturan diri dalam belajar perlu dibuat tabel
spesifikasi terlebih dahulu. Berikut ini adalah tabel spesifikasi / blue-print skala
Tabel 2.
Setelah membuat spesifikasi skala, berikut ini merupakan penskoran skala
Tabel 3.
Penskoran Skala Pengaturan Diri dalam Belajar
Jawaban Pernyataan
Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai 4 1
Sesuai 3 2
Tidak Sesuai 2 3
Sangat Tidak Sesuai 1 4
Uji coba skala pengaturan diri dalam belajar dilakukan di SMA Pangudi
Luhur Yogyakarta pada tanggal 28 dan 29 Maret 2014 dengan melibatkan 79
siswa.
E. Pertanggungjawaban Mutu Alat Ukur
Pada bagian ini akan diuraikan tentang pertanggungjawaban mutu alat ukur
yang meliputi validitas dengan menggunakan evidensi terkait isi, analisis dan
seleksi item, bentuk final skala, uji reliabilitas final skala, dan daya diskriminasi
tes.
1. Validitas dengan menggunakan evidensi terkait isi
Validitas menurut pengertian terbaru merupakan taraf bukti-bukti atau
evidensi untuk membenarkan penafsiran skor tes sesuai dengan tujuan dari
penggunaan tes. Alat ukur ini didukung dengan evidensi terkait isi tes yakni