• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi eksploratif tentang pengaturan diri dalam belajar (self regulated learning) di kalangan siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi eksploratif tentang pengaturan diri dalam belajar (self regulated learning) di kalangan siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI EKSPLORATIF TENTANG PENGATURAN DIRI DALAM

BELAJAR (SELF-REGULATED LEARNING) DI KALANGAN SISWA

SMA NEGERI 9 YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Fransisca Paula Genevra Aprodita

099114070

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yang Maha Esa

Mama, papa

Adik-adikku

Teman spesialku

Teman-temanku

Universitas Sanata Dharma

Fakultas Psikologi

Dosen pembimbing akademik

Dosen pembimbing skripsi

Semua pihak yang telah mendukung dan memberikan bantuan dengan caranya

(6)
(7)

vii

STUDI EKSPLORATIF TENTANG PENGATURAN DIRI DALAM

BELAJAR (SELF-REGULATED LEARNING) DI KALANGAN SISWA

SMA NEGERI 9 YOGYAKARTA

Fransisca Paula Genevra Aprodita

ABSTRAK

Penelitian survei ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat pengaturan diri dalam belajar siswa SMA N 9 Yogyakarta. Kemudian tingkat pengaturan diri dalam belajar itu juga dieksplorasi berdasarkan jenis kelamin dan tingkat kelas. Subjek penelitian merupakan sampel siswa SMA N 9 dengan jumlah 181 siswa. Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa laki-laki dan perempuan serta ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara kelas X, XI, dan XII. Pengambilan data dilakukan dengan skala pengaturan diri dalam belajar. Uji validitas, reliabilitas, dan daya diskriminasi tes pada skala pengaturan diri dalam belajar memperoleh 70 item valid, koefisien reliabilitas alpha Cronbach sebesar 0,923, serta delta Ferguson sebesar 0,98. Metode analisis data adalah statistik deskriptif dan anava dua jalur. Hasil analisis data menyebutkan bahwa tingkat pengaturan diri dalam belajar adalah tinggi (M=200,90>M=75), tidak ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa laki-laki dan perempuan (F=2,64,p=0,10), serta ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa kelas X, XI, dan XII (F=3,01,p=0,05).

(8)

viii

EXPLORATIVE STUDY ABOUT SELF-REGULATED LEARNING OF SMA NEGERI 9 YOGYAKARTA STUDENTS

Fransisca Paula Genevra Aprodita

ABSTRACT

This survey research aims to know the level of self-regulated learning of students of SMA Negeri 9 Yogyakarta. Then, the level of self-regulated learning is explored based on the students gender and grade. The subjects of this research are 181 students of SMA Negeri 9 Yogyakarta. The hypothesis is that there are differences in self-regulated learning between boys and girls. There are also differences in self-regulated learning between grade X, XI, and XII. The data were obtained by using self-regulated learning scale. The test result of validity, reliability, and discrimination of self-regulated learning scale got 70 valid items, 0,923 coefficient alpha Cronbach, and 0,98 delta Ferguson. The researcher employed a statistic descriptive and a two-way anova method. The results shows that the level of self-regulated learning students of SMA Negeri 9 Yogyakarta is high (M=200,90>M=75), there is no difference in level of self-regulated learning between boys and girls (F=2,64,p=0,10), there are also differences in level of self-regulated learning between students grade X, XI, and XII (F=3,01,p=0,05).

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: Studi Eksploratif

Tentang Pengaturan Diri Dalam Belajar (Self-Regulated Learning) di Kalangan

Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil

tanpa bimbingan, bantuan, serta dukungan yang sangat berharga dari semua pihak

yang membantu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan penulis untuk

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua, yang memberikan dukungan kepada penulis.

2. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

3. Ibu Ratri Sunar A., M.Si selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

4. C. Siswo Widiyatmoko, M.Psi sebagai dosen pembimbing akademik Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Restu, Sr. Marcel, Wieana,Vita) atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis merasa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu saya mohon

maaf atas kesalahan maupun kelalaian yang telah saya perbuat baik sikap, tutur

kata maupun tulisan. Saya menerima kritik dan saran yang bersifat membangun

demi sempurnanya tulisan ini. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 17 Desember 2014

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

A. Pengertian Pengaturan Diri Dalam Belajar ... 10

B. Assessing Academic Self-Regulated Learning ... 15

C. Desain Alat Ukur... 20

D. Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta ... 25

E. Perbedaan Jenis Kelamin dan Tingkat Kelas ... 26

1. Perbedaan Jenis Kelamin ... 26

2. Perbedaan Tingkat Kelas... 30

(12)

xii

G. Hipotesis Penelitian ... 34

BAB III METODE PENELITIAN... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Variabel Penelitian ... 35

1. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

2. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 36

C. Subjek Penelitian ... 38

D. Alat Pengumpulan Data ... 38

E. Pertanggung Jawaban Mutu Alat Ukur ... 41

1. Validitas Dengan Menggunakan Evidensi Terkait Isi ... 41

2. Analisis Item dan Seleksi Item ... 42

3. Bentuk Final Skala ... 43

4. Uji Reliabilitas Skala... 45

5. Daya Diskriminasi Tes ... 45

F. Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 47

B. Analisis Data Penelitian ... 48

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Deskripsi Populasi Siswa SMA N 9 Yogyakarta 2013/2014 ... 38

Tabel 2. Spesifikasi / Blue-print Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar Sebelum Uji Coba ... 40

Tabel 3. Penskoran Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar ... 41

Tabel 4. Spesifikasi / Blue-print Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar Setelah Seleksi Item ... 44

Tabel 5. Deskripsi Sampel Subjek Penelitian ... 48

Tabel 6. Uji Asumsi Data Penelitian ... 49

Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian ... 50

Tabel 8. Statistik Deskriptif Jenis Kelamin dan Tingkat Kelas ... 51

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar untuk Uji coba ... 62

Lampiran 2. Skala Pengaturan Diri Dalam Belajar untuk Penelitian... 76

Lampiran 3. Statistik Deskriptif Data Penelitian, Uji Asumsi, Statistik Deskriptif

Jenis Kelamin dan Tingkat Kelas, Analisis Anava Dua Jalur ... 85

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bagian ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

SMA Negeri 9 Yogyakarta sebagai institusi pendidikan menengah atas

memiliki tujuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Salah satunya adalah siswa

memiliki penguasaan konsep seluruh mata pelajaran secara komprehensif

sehingga mampu berkompetisi di tingkat nasional dan internasional. Hal tersebut

tercantum dalam visi dan misi sekolah SMA Negeri 9 Yogyakarta. Dengan

adanya tujuan tersebut, maka tugas utama siswa adalah belajar.

Belajar di sekolah dilakukan agar siswa memiliki pengetahuan dan

keterampilan yang cukup untuk mempersiapkan diri sebelum menempuh

pendidikan selanjutnya. Di samping itu, belajar juga dilakukan dengan tujuan agar

siswa memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan kehidupan. Agar siswa

siap dan mampu menghadapi tantangan-tantangan ke depan dengan baik, tentunya

siswa harus belajar dengan optimal.

Belajar dengan optimal membuat siswa memiliki prestasi belajar. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011), prestasi belajar merupakan penguasaan

pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui pelajaran, lazimnya

(16)

belajar yang tinggi juga dapat memudahkan siswa dalam menentukan pilihan

untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya. Prestasi yang tinggi

berarti siswa mampu menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari di

sekolah.

Terkait belajar yang optimal, terdapat permasalahan yang dihadapi oleh

siswa yakni adanya perilaku-perilaku yang berpotensi membuat belajar menjadi

tidak optimal. Berdasarkan wawancara terhadap seorang guru SMA Negeri 9

Yogyakarta, terungkap bahwa ada perilaku kurang serius ketika pelajaran di kelas

berlangsung. Perilaku tersebut misalnya siswa mengganggu teman yang lain. Di

samping itu, siswa menunjukkan sikap-sikap yang membuat guru tidak senang.

Ketika ulangan harian, terdapat siswa yang mengalami ulangan yang diulang

kembali guna memperbaiki nilai atau remidial. Hal tersebut dapat terjadi karena

siswa mungkin kurang mempersiapkan diri (Pradana, komunikasi pribadi, Juli,

2014).

Peneliti juga melakukan wawancara pribadi dengan seorang siswa SMA

Negeri 9 Yogyakarta. Ia mengungkapkan bahwa ada teman yang tidak

memperhatikan pelajaran saat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di kelas.

Ia juga menjelaskan bahwa siswa yang tidak memperhatikan pelajaran tersebut

melakukan aktivitas lain yaitu bermain hp (handphone) atau menggunakan

internet. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa ada teman yang mengikuti

bimbingan belajar di luar sekolah tetapi jarang hadir untuk mengikuti bimbingan

belajar tersebut (Nita, komunikasi pribadi, Juli, 2014). Hal-hal tersebut tentunya

(17)

Untuk mengurangi perilaku-perilaku yang berpotensi menghambat siswa

untuk belajar optimal, perlu adanya perhatian pada self-regulated learning.

Self-regulated learning atau pengaturan diri dalam belajar merupakan salah satu hal

yang berhubungan dengan keberhasilan pelajar dalam belajar akademis (Pintrich

& De Groot, 1990; Zimmerman, 2008). Belajar akademis menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2011) maksudnya ialah belajar yang bersifat ilmu pengetahuan.

Zimmerman (2008) menyebutkan bahwa pengaturan diri dalam belajar merupakan

hal yang membuat siswa dapat menguasai proses belajar yang dilakukan. Pelajar

yang berprestasi akademis tinggi melakukan pengaturan diri dengan menerapkan

banyak strategi dibandingkan pelajar yang berprestasi akademis yang rendah.

Strategi ini merupakan tindakan langsung yang diarahkan untuk mengumpulkan

informasi dan keterampilan-keterampilan terkait belajar (Zimmerman &

Martinez-Pons, 1986). Di samping itu, suatu penelitian mengungkapkan bahwa pengaturan

diri dalam belajar memiliki hubungan terhadap prestasi akademis. Pelajar

memiliki pengaturan diri dalam belajar yang tinggi cenderung memiliki prestasi

akademis yang tinggi (Putriansari, 2009). Prestasi akademis merupakan hasil

pelajaran yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tinggi

yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2011).

Pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh siswa pada jenjang

pendidikan sekolah menengah atas juga menjadi penting untuk diperhatikan. Di

samping berhubungan dengan keberhasilan akademis, pengaturan diri dalam

(18)

mempersiapkan diri ketika menghadapi pendidikan tinggi pada jenjang

selanjutnya. Hofer, Shirley, dan Pintrich (Schunk & Zimmerman, 1998)

mengungkapkan bahwa karakteristik pelajar pada jenjang perguruan tinggi untuk

belajar dan menggunakan strategi belajar cenderung menggunakan pengetahuan

dan strategi belajar dari pengalaman yang telah mereka dapatkan sebelumnya.

Oleh sebab itu, pengaturan diri dalam belajar tentunya menjadi penting untuk

diperhatikan sehingga siswa sekolah menengah atas agar menjadi siap dan

terbantu untuk menghadapi belajar di perguruan tinggi.

Pengaturan diri dalam belajar pada penelitian-penelitian sebelumnya

terdapat beberapa versi, yakni menurut Zimmerman dan Pintrich. Zimmerman

(1990, 2008) menyebutkan pengaturan diri dalam belajar adalah perilaku aktif

yang dilakukan pelajar dengan mengatur metakognitif, motivasi, dan perilaku

dalam belajar sehingga dapat berhasil mencapai tujuan belajar akademis. Pelajar

mengatur metakognitif berarti dapat memilih dan membuat keputusan mengenai

bagaimana sebaiknya ia belajar dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengaturan

pada motivasi terkait dengan pelajar beranggapan bahwa dirinya mampu mengatur

dan menerapkan suatu tindakan untuk menunjukkan performansi pada suatu tugas.

Hal tersebut membuat pelajar aktif untuk memotivasi diri agar mampu bertahan

ketika mempelajari suatu materi maupun menyelesaikan suatu tugas. Pengaturan

perilaku diartikan bahwa siswa melakukan usaha terkait perilaku atau

kebiasaannya untuk mengoptimalkan belajar dengan cara mengatur lingkungan

(19)

dimaksud dapat berupa nilai, penghargaan sosial, ataupun kesempatan berkarir

setelah menyelesaikan pendidikan (Zimmerman, 1989).

Zimmerman (2008) menjabarkan pengaturan diri dalam belajar ke dalam 14

strategi sebagai pengaturan diri dalam belajar. Pengaturan pada metakognitif

meliputi: 1) mengatur tujuan dan perencanaan belajar. Ini dilakukan agar tujuan

belajar yang dilakukan dapat tercapai; 2) mengatur dan mengubah, bertujuan

untuk membuat materi pelajaran menjadi mudah dipahami; 3) mencari informasi,

yakni mencari pengetahuan-pengetahuan dari sumberdaya nonsosial seperti

buku-buku di perpustakaan untuk menambah wawasannya; 4) mengulang dan

mengingat, dilakukan terhadap materi yang dipelajari sehingga dapat

meningkatkan kualitas belajar yang dilakukan. Pengaturan pada motivasi

meliputi: 5) evaluasi diri, dilakukan dengan mengecek kualitas dari penyelesaian

tugas serta pemahaman dari hal-hal yang dipelajari; 6) konsekuensi diri, dilakukan

dengan membayangkan hadiah yang akan diberikan ketika berhasil atau hukuman

ketika mengalami kegagalan saat belajar. pengaturan perilaku meliputi: 7)

menyusun lingkungan belajar, dilakukan agar dapat mendukung proses belajar; 8)

merekam dan memantau, dilakukan pada kejadian atau suatu hasil dari yang

dipelajari; pelajar meninjau kembali 9) ujian; 10) catatan; 11) buku materi guna

mempersiapkan diri untuk belajar di kelas maupun menghadapi ujian; pelajar juga

bertanya pada 12) teman sebaya; 13) guru; 14) orang tua atau orang dewasa lain

ketika mengalami kesulitan dalam mempelajari hal yang sedang dipelajarinya.

Penjabaran ini merupakan alat ukur yang bernama Self-Regulated Learning

(20)

Senada dengan Zimmerman, Pintrich (Schunk, 2005) mengatakan bahwa

pengaturan diri dalam belajar merupakan perilaku aktif yang dilakukan pelajar

dengan mengatur kognisi, motivasi, dan perilaku. Awalnya, pengaturan tersebut

dilakukan dengan mengatur tujuan dari belajar yang dilakukan. Selanjutnya,

pelajar memantau, mengatur, serta mengendalikan kognisi, motivasi, dan

perilakunya sehingga dapat mencapai tujuan tersebut. Hal-hal tersebut berkaitan

dengan suatu proses belajar konstruktif. Proses belajar konstruktif ini

dimaksudkan bahwa pelajar tidak hanya mampu menyerap pengetahuan yang

telah disampaikan, melainkan dapat membangun pengetahuan dari

pengalaman-pengalamannya (Ormrod, 2008). Ada dua versi alat ukur untuk mengukur

pengaturan diri dalam belajar yang menggunakan konsep Pintrich yakni

Motivated Strategies for Learning Questionnaire / MSLQ (Pintrich, Smith,

Garcia, dan McKeachie, 1991) dan Assessing Academic Self-Regulated Learning

(Wolters, Pintrich, dan Karabenick, 2003).

Alat ukur MSLQ dalam penggunaannya ditujukan untuk kalangan

mahasiswa. Di samping itu, alat ukur ini dirancang untuk mengetahui pengaturan

diri dalam belajar yang dilakukan pada suatu mata kuliah tertentu. Ini disebabkan

adanya asumsi bahwa pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh

mahasiswa berbeda antara satu jenis mata kuliah dengan yang lainnya (Pintrich

dkk, 1991; Wolters dkk, 2003). Wolter dkk (2003) membuat alat ukur Assessing

Academic Self-Regulated Learning sebagai pengembangan dari MSLQ. Alat ukur

ini dibuat bertujuan untuk mengetahui perilaku-perilaku pengaturan diri dalam

(21)

Penelitian dengan menggunakan adaptasi alat ukur Assessing Academic

Self-Regulated Learning terkait jenis kelamin yang peneliti temukan dalam

lingkup Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma pernah dilakukan untuk

skripsi perbedaan mahasiswa dan mahasiswi (Sayekti, 2011). Hasilnya adalah

tidak ada perbedaan signifikan pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan

antara sampel mahasiswa dan mahasiswi. Pengambilan sampel pada penelitian

tersebut adalah mahasiswa atau pelajar pada jenjang pendidikan di perguruan

tinggi sehingga hasil penelitian hanya dapat digunakan untuk menggambarkan

pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan pada mahasiswa. Dalam lingkup

yang sama, peneliti belum menemukan penelitian dengan menggunakan Assessing

Academic Self-Regulated Learning terkait dengan perbedaan usia atau tingkatan

pendidikan, secara khusus di kalangan siswa sekolah menengah atas.

Penelitian tentang pengaturan diri dalam belajar di Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma pernah dilakukan. Secara keseluruhan berjumlah

delapan penelitian. Penelitian yang tidak menggunakan alat ukur Assessing

Academic Self-Regulated Learning adalah penelitian “Perbedaan Self-Regulated

Learning Pada Mahasiswa Yang Tinggal Di Kos Dan Di Rumah Bersama Dengan

Orang Tua” yakni menggunakan SRLIS sebagai pedoman untuk membuat alat

ukur (Arisandy, 2011). Di samping itu ada juga yang membuat alat ukur

berdasarkan karakteristik pelajar yang memiliki pengaturan diri dalam belajar

yakni “Hubungan Antara Self-Regulated Learning Dengan Prokrastinasi Pada

(22)

itu, delapan penelitian yang pernah dilakukan menggunakan subjek dengan latar

belakang pendidikan perguruan tinggi.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, adanya latar belakang subjek

penelitian yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi, membuat peneliti

tertarik untuk melihat pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan pada jenjang

pendidikan yang berbeda. Peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana

pengaturan diri yang dilakukan pelajar di sekolah menengah atas. Di samping itu,

pengaturan diri dalam belajar tersebut akan dieksplorasi pada jenis kelamin dan

tingkat kelas sebagai karakteristik siswa sekolah menengah atas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka yang ingin diketahui dari

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tingkat pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh SMA

Negeri 9 Yogyakarta?

2. Apakah ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa

laki-laki dan perempuan?

3. Apakah ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa

kelas X, XI, dan XII?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengaturan diri dalam

(23)

tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa laki-laki dan perempuan, serta

apakah ada perbedaan tingkat pengaturan diri dalam belajar antara siswa kelas X,

XI, dan XII.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai pengembangan ilmu

pengetahuan, sumber informasi, bahan referensi, serta dasar bagi penelitian

yang terkait dengan pengaturan diri dalam belajar pada siswa SMA.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat praktis:

a) Bagi siswa, yakni dapat mengetahui bagaimana mereka melakukan

pengaturan diri, sehingga diharapkan mampu untuk terus

mengoptimalkan diri dalam belajar sehingga dapat berprestasi akademis.

b) Bagi pengajar dan sekolah, yakni dapat mengetahui gambaran kondisi

siswa dalam belajar dan dapat membuat suatu kondisi tertentu yang dapat

membantu siswa untuk mengoptimalkan belajarnya terkait dengan

(24)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bagian ini diuraikan tentang pengertian pengaturan diri dalam belajar,

assessing academic self-regulated learning, desain alat ukur, siswa SMA Negeri 9

Yogyakarta, perbedaan jenis kelamin dan tingkat kelas, kerangka penelitian, dan

hipotesis penelitian.

A. Pengertian Pengaturan Diri dalam Belajar

Self-regulated learning pada penelitian ini diterjemahkan sebagai

pengaturan diri dalam belajar. Pengaturan diri dalam belajar didefinisikan oleh

Zimmerman (1989, 1990, 2008) sebagai perilaku aktif siswa untuk belajar dengan

mengatur metakognitif, motivasi, dan perilaku untuk mencapai tujuan akademis.

Pengaturan metakognitif berarti siswa memilih dan membuat keputusan mengenai

bagaimana sebaiknya ia belajar dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengaturan

motivasi menunjukkan bahwa siswa memiliki anggapan bahwa dirinya mampu

mengatur dan menerapkan suatu tindakan untuk menunjukkan performansinya

pada suatu tugas akademik yang dihadapinya. Siswa yang beranggapan demikian

mampu secara aktif memotivasi dirinya agar mampu bertahan ketika mempelajari

suatu pelajaran maupun saat menyelesaikan tugas-tugas akademis. Pengaturan

perilaku dilakukan siswa dengan berusaha mengoptimalkan belajar akademis yang

dilakukannya dengan mengatur lingkungan belajar serta menambah wawasan

(25)

Perilaku aktif sebagai pengaturan diri dalam belajar diwujudkan dengan

menerapkan strategi-strategi spesifik untuk mencapai tujuan akademis

(Zimmerman, 1989). Strategi merupakan tindakan yang diarahkan siswa untuk

mengumpulkan informasi dan keterampilan-keterampilan terkait belajar.

Sedangkan tujuan akademis dapat berupa nilai, penghargaan sosial, maupun

kesempatan untuk berkarir setelah menyelesaikan pendidikan.

Inti pengaturan diri dalam belajar yang diungkapkan oleh Zimmerman

adalah adanya inisiatif, ketekunan, dan keterampilan-keterampilan adaptif yang

dilakukan siswa untuk meningkatkan pencapaian atau prestasi akademis. Prestasi

akademis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) merupakan hasil

pelajaran yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tinggi

yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian.

Senada dengan yang disebutkan oleh Zimmerman, Pintrich dan De Groot

(1990) mengatakan bahwa pengaturan diri dalam belajar meliputi 3 hal. Pertama,

siswa memiliki kognitif aktual yakni mampu mengingat dan memahami pelajaran.

Hal tersebut diatur dengan pengulangan (rehearsal), elaborasi, dan

mengorganisasi hal-hal yang dipelajari. Kedua, siswa memiliki strategi

metakognitif yakni mampu membuat perencanaan, memantau, serta melakukan

modifikasi dari kognisi diri. Ketiga, siswa mampu untuk mengatur dan

mengendalikan usaha-usaha sebagai perilakunya ketika menghadapi tugas-tugas

di kelas. Pintrich dan De Groot juga menambahkan adanya motivasi yang

berperan sangat penting untuk mendukung ketiga hal tersebut sehingga siswa

(26)

Chung (2000) menyebutkan bahwa pengaturan diri dalam belajar

melibatkan pengaturan yang dilakukan siswa terhadap metakognisi, motivasi, dan

strategi belajar. Ia juga menganggap bahwa siswa merupakan pelaku utama dalam

kegiatan belajar akademis. Siswa yang mengatur diri dalam belajar juga mampu

menguasai pelajaran yang dipelajarinya. Hal tersebut dapat terjadi karena siswa

memantau tujuan belajar serta memotivasi diri untuk terus belajar. Di samping itu,

siswa juga melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang dapat

mendukungnya untuk dapat mencapai tujuan tersebut.

Pintrich (Schunk, 2005) mendefinisikan pengaturan diri dalam belajar

sebagai perilaku aktif yang dilakukan siswa dalam belajar. Awalnya, siswa

mengatur tujuan belajar, kemudian ia memantau, mengatur, serta mengendalikan

kognisi, motivasi, dan perilaku sehingga dapat mencapai keberhasilan atau tujuan

dari pembelajaran yang dilakukan. Perilaku tersebut membuat suatu proses

konstruktif selama belajar. Proses konstruktif dimaksudkan bahwa siswa tidak

hanya dapat menyerap pelajaran yang disampaikan, melainkan juga dapat

membangun suatu pengetahuan-pengetahuan baru dari pengalamannya (Ormrod,

2008). Sementara itu, Ormrod (2011) dalam bukunya berjudul “Educational

Psychology developing Learners” mendefinisikan pengaturan diri dalam belajar

sebagai pengaturan yang dilakukan siswa pada proses kognitif serta perilaku

sehingga ia dapat berhasil dalam belajar.

Montalvo dan Torres (2004) menyebutkan bahwa terdapat ciri siswa yang

melakukan pengaturan diri dalam belajar. Ciri tersebut adalah siswa memiliki

(27)

dan pengorganisasian pada hal-hal yang dipelajarinya; memiliki kemampuan

metakognisi atau pengetahuan tentang bagaimana ia belajar untuk mengatur

kognisinya; memiliki motivasi yang kuat untuk terus belajar sehingga ia mampu

untuk terus belajar meskipun menghadapi kesulitan serta hal-hal yang

mengganggunya; melakukan usaha-usaha yang luar biasa untuk belajar; dan

mampu untuk mengatur waktu dan usaha dengan baik ketika belajar.

Berdasarkan uraian dari beberapa tokoh di atas, secara garis besar dapat

dikatakan bahwa pengaturan diri dalam belajar adalah perilaku aktif mengatur diri

pada kognitif-metakognitif, motivasi, dan perilaku untuk belajar. Hal tersebut

dilakukan agar dapat mencapai keberhasilan atau berprestasi dalam bidang

akademis.

Pentingnya pengaturan diri dalam belajar dilakukan karena berhubungan

dengan akademis (Zimmerman, 2008). Pelajar yang melakukan pengaturan diri

dalam belajar cenderung menguasai akademisnya. Akademis dimaksudkan pada

hal-hal yang bersifat pengetahuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2011).

Penelitian Zimmerman dan Martinez-Pons (1986) mengungkapkan bahwa pelajar

berprestasi tinggi menerapkan banyak strategi sebagai pengaturan diri dalam

belajar dibandingkan siswa berprestasi rendah. Di samping itu, Putriansari (2009)

juga mengungkapkan bahwa pelajar yang memiliki pengaturan diri dalam belajar

tinggi cenderung memiliki prestasi akademis yang tinggi juga.

Penelitian pengaturan diri dalam belajar dapat diukur dengan alat ukur yang

telah dibuat dari penelitian-penelitian sebelumnya. Alat ukur tersebut ada

(28)

1. Self-Regulated Learning Interview Schedule (SRLIS) yang dibuat oleh

Zimmerman dan Martinez-Pons pada tahun 1986 yang bertujuan untuk

melihat pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan pelajar secara

spesifik pada bagian penerapan strategi. Terdapat 14 strategi yakni: a.

menetapkan tujuan dan perencanaan belajar; b. mengatur dan mengubah

materi pelajaran yang diterima menjadi mudah untuk dipahami; c. mencari

informasi dari sumberdaya nonsosial; d. mengulang dan mengingat materi;

e. evaluasi diri; f. konsekuensi diri; g. menyusun lingkungan belajar; h.

merekam dan memantau; melakukan peninjauan kembali i. ujian; j.

catatan; k. buku materi guna mempersiapkan diri untuk belajar di kelas

dan menghadapi ujian; siswa bertanya pada l. teman sebaya; m. guru; n.

orang tua atau orang dewasa lain ketika kurang memahami suatu hal yang

dipelajarinya.

2. Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) yang dibuat

oleh Pintrich dkk pada tahun 1991 yang digunakan untuk mengukur

pengaturan diri dalam belajar secara spesifik pada suatu mata kuliah,

maupun suatu konteks pada pelajaran di level kelas tertentu. Hal tersebut

disebabkan adanya asumsi bahwa respon pelajar akan bervariasi terhadap

jenis pelajaran yang dipelajarinya. Alat ukur ini banyak digunakan dan

telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa seperti bahasa Jerman,

Perancis, Italia, Spanyol, Swedia, Finlandia, Belanda, Norwegia,

(29)

3. Assessing Academic Self Regulated Learning yang dibuat oleh Wolters

dkk tahun 2003 untuk mengukur pengaturan diri dalam belajar. Alat ukur

ini merupakan pengembangan dari alat ukur MSLQ untuk melihat

pengaturan diri dalam belajar secara umum, tidak spesifik pada suatu mata

kuliah tertentu. Di samping itu, alat ukur ini melihat adanya peran budaya

Barat pada bagian pengaturan perilaku untuk belajar akademis.

Penelitian ini menggunakan Assessing Academic Self-Regulated Learning

sebagai pedoman untuk membuat alat ukur pengaturan diri dalam belajar. Dengan

mempertimbangkan subjek siswa SMA, maka alat ukur dibuat lebih sederhana.

B. Assessing Academic Self-Regulated Learning

Assessing Academic Self-Regulated Learning merupakan alat ukur paling

baru yang digunakan untuk mengukur pengaturan diri dalam belajar. Alat ukur ini

dibuat oleh Wolters, Pintrich, dan Karabenick pada tahun 2003. Alat ukur ini

dibuat sebagai pengembangan dari alat ukur pengaturan diri dalam belajar

sebelumnya yakni Motivated Strategies and Learning Questionnaire (MSLQ)

yang dibuat oleh Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc. Keachie tahun 1991.

Assessing Academic Self-Regulated Learning dibuat untuk melihat

pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh pelajar secara umum. Ini tidak

seperti alat ukur MSLQ yang mengukur pengaturan diri dalam belajar secara

spesifik seperti dalam suatu subjek dan level pada pelajaran tertentu. Meskipun

(30)

Learning ditujukan untuk digunakan pada pelajar tingkat mahasiswa. Di samping

itu, disebutkan juga oleh Wolters dkk (2003) bahwa ada pada salah satu

subkomponennya yang melihat pengaturan diri dalam belajar terkait budaya

Barat.

Secara konseptual, alat ukur ini terdiri dari 3 komponen utama yakni

pengaturan kognisi akademis, pengaturan motivasi akademis, dan pengaturan

perilaku akademis.

1. Pengaturan kognisi akademis

Pengaturan kognisi akademis dimaksudkan pada pengaturan yang dilakukan

oleh pelajar terhadap kognisi yang dimilikinya. Kognisi ini berfungsi untuk

belajar serta menunjang performansi belajar yang dilakukan pelajar. Pada

bagian ini, terdiri dari 4 subkomponen yakni pengulangan (rehearsal),

elaborasi, organisasi, dan pengaturan diri metakognitif.

a. Pengulangan, yakni pelajar melakukan pengulangan secara

berkali-kali terhadap materi yang dipelajarinya. Pengulangan ini bertujuan

agar materi dapat diingat dan dipahami.

b. Elaborasi, yakni pelajar melakukan elaborasi terhadap materi yang

dipelajarinya dengan cara membuat materi tersebut dapat dijabarkan

ke dalam bahasa sendiri atau parafrase.

c. Organisasi, yakni pelajar melakukan penyusunan kembali materi yang

dipelajarinya dengan cara seperti membuat catatan dengan kata-kata

sendiri, menggambar diagram, maupun mengembangkan konsep dari

(31)

d. Pengaturan diri metakognitif, yakni pelajar melakukan perencanaan,

pemantauan, dan pengaturan seperti pengaturan tujuan dari membaca,

memantau secara komprehensif dari yang dibaca oleh orang lain, dan

membuat perubahan ataupun penyesuaian dalam pembelajaran sebagai

suatu kemajuan dalam melewati tugas-tugas (Pintrich, dkk, 1991).

2. Pengaturan motivasi akademis

Pengaturan motivasi akademis dimaksudkan bahwa pelajar mampu

memotivasi dirinya untuk terus bertahan ketika mengerjakan maupun

menyelesaikan tugas. Pada bagian ini terdiri dari 7 subkomponen yakni

konsekuensi diri, penyusunan lingkungan, berbicara pada diri sendiri

tentang penguasaan, berbicara pada diri sendiri tentang performansi /

ekstrinsik, berbicara pada diri sendiri tentang performansi / kemampuan

relatif, peningkatan relevansi, dan peningkatan minat situasional.

a. Konsekuensi diri, yakni pelajar memotivasi diri dengan membuat

suatu konsekuensi ekstrinsik sebagai akibat yang harus diterima

sehingga dapat terus bertahan dalam belajar. Ini dapat dibuat oleh

pelajar berupa pemberian suatu hadiah (reward) atau hukuman

(punishment) yang dapat membuatnya untuk terus bertahan dalam

belajar maupun menyelesaikan tugas.

b. Penyusunan lingkungan belajar, yakni pelajar memotivasi diri dengan

menyusun lingkungan belajar sehingga dapat berkonsentrasi dengan

(32)

mengurangi hal-hal yang dapat mengganggu belajar serta menyusun

lingkungan agar dapat menyelesaikan tugas dengan lebih mudah.

c. Peningkatan minat situasional, yakni pelajar meningkatkan

motivasinya pada tugas atau situasi belajar atau minat personal. Di

samping itu, pelajar juga dapat membuat perasaannya menjadi senang

dengan pengalamannya ketika menyelesaikan tugas.

d. Peningkatan relevansi, yakni pelajar meningkatkan relevansi atau

kebermaknaan dari tugas yang dihubungkan dengan hidup atau minat

personal mereka.

e. Berbicara pada diri sendiri tentang penguasaan, yakni pelajar

meyakinkan diri bahwa ia mampu untuk menguasai pelajaran yang

disampaikan.

f. Berbicara pada diri sendiri tentang performansi / ekstrinsik, yakni

pelajar meyakinkan diri bahwa mampu dapat nilai tinggi, dapat

melakukan hal baik di kelas.

g. Berbicara pada diri sendiri tentang performansi / kemampuan relatif,

yakni pelajar meyakinkan diri tentang performansi yang lebih spesifik

seperti dapat melakukan hal yang lebih baik daripada orang lain.

3. Pengaturan perilaku akademis

Pengaturan perilaku dimaksudkan pada usaha siswa yang dilakukan secara

aktif untuk mengumpulkan informasi dan keterampilan yang mendukung

belajarnya. Terdiri dari 3 subkomponen yakni mengatur usaha, mengatur

(33)

a. Pengaturan usaha, yakni pelajar melakukan perilaku akademis dengan

mengatur usaha yang dilakukannya ketika belajar dan menyelesaikan

tugas. Ini dilakukan dengan membuat komitmen antara diri dan tugas

tersebut. Pelajar juga berkomitmen untuk menyelesaikan

tugas-tugasnya meskipun sulit dan ada hal-hal yang mengganggu (Pintrich,

dkk, 1991).

b. Mengatur waktu dan lingkungan belajar, yakni pelajar mengatur

perilaku dengan membuat rencana dan mengelola waktu untuk belajar

dan menyelesaikan tugas yang efektif. Ini dilakukan dengan membuat

hal-hal yang dikerjakan menjadi terjadwal. Untuk pengaturan

lingkungan belajar dilakukan pelajar dengan membuat lingkungan

belajar menjadi teratur, tenang, dan terbebas dari gangguan yang dapat

mengganggu visual maupun auditori (Pintrich, dkk, 1991).

c. Mencari bantuan, yakni perilaku yang dilakukan pelajar untuk

mengumpulkan informasi dan saran yang berguna bagi pembelajaran

yang dilakukan dengan mencari bantuan dari orang lain seperti

teman-teman, keluarga, teman di kelas, dan pengajar. Pada bagian ini,

Assessing Academic Self-Regulated Learning menjabarkan ke dalam 9

subkomponen. Kesembilan subkomponen tersebut dijelaskan oleh

Wolters dkk (2003) digunakan untuk mengukur perilaku mencari

bantuan pada budaya Barat, yaitu:, tujuan umum untuk mencari

bantuan yang dibutuhkan, tujuan umum untuk menghindari bantuan

(34)

(ancaman), keuntungan yang dirasakan untuk mencari bantuan,

instrumental (kemandirian) untuk tujuan mencari bantuan, bijaksana

(eksekutif) untuk tujuan mencari bantuan, mencari bantuan dari

sumber daya formal (pengajar), mencari bantuan dari sumber daya

informal (pelajar lain), merasakan dukungan pengajar dari pertanyaan.

Kesembilan subkomponen ini tidak digunakan karena terkait budaya

di Barat.

C. Desain Alat Ukur

Setelah meninjau alat ukur Assessing Academic Self-Regulated Learning,

peneliti memutuskan untuk membuat alat ukur pengaturan diri dalam belajar

dengan berpedoman pada Assessing Academic Self-Regulated Learning. Hal ini

didasarkan pada 2 hal yakni: 1) alat ukur Assessing Academic Self-Regulated

Learning merupakan alat ukur paling baru dan merupakan pengembangan dari

alat ukur MSLQ yang telah banyak digunakan untuk mengukur pengaturan diri

dalam belajar; 2) alat ukur Assessing Academic Self-Regulated Learning

mengukur pengaturan diri dalam belajar secara umum, tidak spesifik pada suatu

subjek atau level pelajaran tertentu.

Meskipun demikian, alat ukur Assessing Academic Self-Regulated

Learning memiliki kekurangan yakni kecenderungan bias budaya karena Wolters

dkk (2003) menyebutkan bahwa ada bagian khususnya perilaku mencari bantuan

dari orang lain yang digunakan untuk mengukur pada budaya Barat. Di samping

(35)

Hal tersebut membuat peneliti mempertimbangkan untuk membuat alat ukur yang

lebih sederhana untuk digunakan pada siswa SMA.

Setelah meninjau adanya hal-hal tersebut, peneliti membuat desain alat

ukur pengaturan diri dalam belajar yang berpedoman pada Assessing Academic

Self-Regulated Learning, yakni:

1. Pengaturan kognisi akademis, terdiri dari 2 subkomponen yakni pengaturan

kognitif secara umum dan pengaturan diri metakognitif. Hal ini disebutkan

oleh Wolters dkk (2003) bahwa pelajar yang lebih muda dari mahasiswa

mengukur pengaturan kognitif secara umum yang terdiri dari pengulangan

(rehearsal), elaborasi, organisasi. Ketiga hal tersebut diukur dalam

subkomponen pengaturan kognitif secara umum. Ini didasarkan pada pelajar

yang lebih muda tidak dapat membuat perbedaan-perbedaan yang baik di

antara ketiga hal tersebut sebaik yang dilakukan oleh mahasiswa.

a. Pengaturan kognitif secara umum

Pengaturan dilakukan dengan pengulangan (rehearsal), elaborasi, dan

pengorganisasian materi yang dipelajarinya. Pengulangan (rehearsal)

dilakukan dengan cara mengulangi materi yang dipelajarinya sehingga

siswa dapat mengingatnya. Elaborasi dilakukan siswa dengan

merangkum materi dan mampu menjelaskannya dengan bahasa sendiri.

Organisasi dilakukan dengan membuat catatan sendiri (note-taking),

menggambar diagram, dan membuat peta konsep.

(36)

Pengaturan diri metakognitif dilakukan dengan membuat perencanaan,

pemantauan, dan pengaturan terhadap kognisi yang dimiliki siswa

(Wolters dkk, 2003). Perencanaan dilakukan pada adanya penentuan

tujuan dan analisis dari tugas yang dipelajari. Ini dilakukan agar siswa

lebih mudah ketika mengatur dan menggabungkan antara materi yang

satu dengan yang lainnya. Pemantauan dilakukan dengan cara mengetes

diri sendiri dan membuat pertanyaan-pertanyaan untuk membantu siswa

memahami materi. Pengaturan metakognitif juga dilakukan dengan

mengecek dan mengoreksi perilaku yang dilakukan siswa dalam suatu

tugas yang dikerjakannya (Pintrich dkk, 1991).

2. Pengaturan motivasi akademis, terdiri dari 4 subkomponen. Pengaturan

motivasi terdiri dari konsekuensi diri, berbicara pada diri sendiri,

peningkatan minat, dan penyusunan lingkungan.

a. Konsekuensi diri

Siswa memberikan motivasi terhadap dirinya dengan menerapkan

konsekuensi diri. Konsekuensi ini berupa konsekuensi ekstrinsik sebagai

akibat yang harus diterimanya sehingga ia dapat terus bertahan dalam

mempelajari pelajaran dan menyelesaikan tugas. Konsekuensi yang

dibuat oleh siswa dapat berupa hadiah atau hukuman yang membuatnya

terus untuk belajar dan menyelesaikan tugas.

b. Berbicara pada diri sendiri

Siswa memberikan motivasi terhadap dirinya dengan berbicara pada diri

(37)

belajar akademis yang dilakukannya. Hal tersebut meliputi siswa yakin

bahwa dirinya mampu untuk dapat menguasai materi yang dipelajarinya,

siswa meyakinkan diri mampu untuk melakukan performansi yang baik

dalam belajar, siswa meyakinkan diri mampu untuk mempelajari

pelajaran dan menyelesaikan tugas, siswa meyakinkan diri memiliki

kemampuan yang lebih baik daripada orang lain, serta siswa

meyakinkan diri dapat melakukan hal-hal baik dalam mempelajari suatu

pelajaran serta mampu untuk meraih nilai yang tinggi.

c. Peningkatan minat

Siswa memotivasi diri dengan melakukan peningkatan minat terhadap

hal-hal yang dipelajarinya. Ini dapat dilakukan dengan membuat hal-hal

yang kurang atau tidak menarik menjadi menarik dan menyenangkan

untuk dipelajari. Di samping itu, siswa dapat mengaitkan hal yang

dipelajari dengan minat personal atau hal lain dalam kehidupannya.

d. Penyusunan lingkungan

Siswa memotivasi diri dengan menyusun lingkungannya. Ini dilakukan

agar siswa dapat berkonsentrasi dengan baik untuk belajar. Siswa

melakukan penyusunan lingkungan dengan cara mengurangi hal-hal

yang dapat mengganggu konsentrasi belajar. Di samping itu, siswa

menyusun lingkungan belajarnya agar dapat menyelesaikan tugas

(38)

3. Pengaturan perilaku akademis, terdiri dari 3 subkomponen yakni pengaturan

waktu dan lingkungan, pengaturan usaha, dan mencari bantuan secara

umum.

a. Pengaturan waktu dan lingkungan

Pengaturan waktu dan lingkungan dilakukan dengan membuat rencana

dan mengelola waktu untuk belajar atau menyelesaikan tugas dengan

efektif. Ini juga dilakukan dengan membuat hal-hal yang dikerjakan

menjadi terjadwal. Sedangkan untuk pengaturan lingkungan belajar

dilakukan dengan membuat lingkungan belajar menjadi teratur, tenang,

dan terbebas dari gangguan yang dapat mengganggu visual dan auditori

(Pintrich dkk, 1991).

b. Pengaturan usaha

Pengaturan usaha dilakukan siswa dengan mengatur usaha yang

dilakukannya ketika mempelajari pelajaran dan menyelesaikan tugas.

Siswa membuat komitmen untuk belajar akademis dengan baik. Di

samping itu, siswa juga berkomitmen untuk menyelesaikan tugas-tugas

meskipun sulit serta ada hal-hal yang mengganggunya (Pintrich dkk,

1991).

c. Mencari bantuan secara umum

Pengaturan perilaku untuk mengumpulkan informasi dan saran yang

berguna bagi belajar siswa yang dilakukan dengan mencari bantuan dari

(39)

irang lain agar dapat memberikan bantuan terhadapnya. Ini dapat

dilakukan dengan mencari bantuan dari teman maupun guru.

D. Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta

Siswa SMA adalah pelajar yang mengenyam pendidikan pada jenjang

sekolah menengah atas. Rentang usia mereka adalah 16 – 18 tahun. SMA Negeri

9 Yogyakarta merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang

menyelenggarakan pendidikan jenjang menengah atas di kota Daerah Istimewa

Yogyakarta. Berdasarkan hal tersebut maka siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta

adalah pelajar yang mengenyam pendidikan pada lembaga pendidikan formal

jenjang sekolah menengah atas negeri 9 Yogyakarta. Pendidikan formal adalah

pendidikan yang melaksanakan serangkaian kegiatan yang terencana dan

terorganisasi termasuk kegiatan proses belajar mengajar di kelas (Winkel, 1986).

SMA Negeri 9 Yogyakarta merupakan sekolah yang memiliki peringkat

ke-9 terbaik di kota Daerah Istimewa Yogyakarta. Asal siswa yang bersekolah di

SMA N 9 Yogyakarta ditentukan berdasarkan ketentuan kuota jumlah penerimaan

siswa dari pemerintah kota Daerah Istimewa Yogyakarta yakni 70 % siswa

berasal dari kota Yogyakarta dan 30 % siswa berasal dari luar daerah kota

Yogyakarta. Siswa yang diterima di SMA N 9 ini diseleksi berdasarkan nilai

Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama (Pradana, komunikasi pribadi, Juli,

2014).

Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014 belajar dengan

(40)

2 kelas XI IPS, 5 kelas XII IPA, dan 1 kelas XII IPS. Jam belajar di sekolah

dimulai pukul 07.15 dan berakhir pukul 14.00. Untuk mendukung belajar yang

dilakukan siswa, sekolah memberikan tambahan jam belajar untuk kelas XI dan

XII yakni pada jam ke 0. Jam ke-0 ini dilakukan sebelum pukul 07.15. Pemberian

tambahan jam belajar ini disebutkan sebagai pendalaman materi atau konsep dari

pelajaran di sekolah. Setelah siswa belajar efektif di kelas, siswa melakukan

kegiatan praktikum dan ekstrakurikuler sesuai dengan yang dijadwalkan oleh

sekolah. Kegiatan praktikum dimulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.00.

Sedangkan untuk kegiatan ekstrakulikuler diadakan mulai pukul 14.00 hingga

16.30. Di samping itu, kebanyakan siswa SMA N 9 Yogyakarta mengikuti

bimbingan belajar di luar jam sekolah (Pradana, komunikasi pribadi, Juli, 2014).

E. Perbedaan Jenis Kelamin dan Tingkat Kelas

Pengaturan diri dalam belajar pada penelitian ini dieksplorasi berdasarkan

jenis kelamin dan tingkat kelas pada karakteristik siswa di sekolah menengah atas.

1. Perbedaan Jenis Kelamin

Pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh siswa mungkin

berbeda apabila ditinjau dari perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis

kelamin adalah perbedaan biologis individu yakni laki-laki atau perempuan

(Erbert & Culyer, 2010). Gurian (2011) menyebutkan bahwa siswa laki-laki

dan perempuan belajar dengan cara yang berbeda. Hal tersebut disebabkan

(41)

otak yang mempengaruhi belajar yang dilakukan antara laki-laki dan

perempuan adalah:

a) Corpus callosum, merupakan ikatan-ikatan syaraf yang menghubungkan

antara hemisfer otak kanan dan kiri. Bagian ini berfungsi untuk

pemrosesan informasi di otak. Corpus callosum pada otak perempuan

cenderung memiliki ikatan-ikatan syaraf yang lebih banyak dan luas

dibandingkan otak laki-laki. Hal tersebut menyebabkan perempuan

cenderung lebih cepat dalam memproses informasi di otak dibandingkan

laki-laki.

b) Cerebral cortex, merupakan bagian otak yang terdiri dari neuron-neuron

yang berperan dalam fungsi intelektual, ingatan, dan penafsiran

(interpretasi) impuls-impuls. Dibandingkan dengan otak laki-laki, otak

perempuan memiliki lebih banyak koneksi antar neuron. Hal tersebut

membuat perempuan mampu merespon informasi yang didapatkan di

kelas lebih cepat daripada laki-laki. Di samping itu, perempuan juga dapat

lebih mudah melakukan multitasking daripada laki-laki.

c) Area sistem limbik (limbic system), merupakan bagian otak yang terdiri

dari struktur yakni amygdala dan hippocampus yang berperan

mempengaruhi bagaimana laki-laki dan perempuan melakukan

performansi belajar yang berbeda. Area sistem limbik ini membuat

perempuan cenderung merespon secara verbal pada keadaan-keadaan

(42)

d) Amygdala, merupakan bagian dari area sistem limbik yang mengatur

emosi. Amygdala pada otak laki-laki cenderung lebih luas dibandingkan

perempuan. Ini mengakibatkan laki-laki cenderung lebih agresif

dibandingkan perempuan.

e) Hippocampus merupakan bagian otak yang berperan untuk mengubah

informasi dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang. Di

samping itu, berperan sangat penting pada pemaknaan dari pembelajaran.

Perempuan memiliki hippocampus yang lebih luas dibandingkan laki-laki.

Jumlah dan kecepatan neuron pada hippocampus perempuan lebih tinggi

dibandingkan laki-laki. Hal tersebut membuat perempuan lebih cepat

untuk mengingat informasi daripada laki-laki.

Siswa pada sekolah menengah atas berusia antara 16 hingga 18 tahun.

Pada usia ini, siswa berada pada tahap remaja dan mengalami pubertas.

Pubertas pada remaja mengaktifkan hormon seksual yakni meningginya kadar

estrogen pada perempuan dan testosteron pada laki-laki. Hormon-hormon

tersebut juga berperan mempengaruhi bagaimana individu berperilaku

(Steinberg, 2002). Kadar hormon estrogen tinggi membuat perempuan

cenderung rendah dalam kemandirian diri dan kurang menonjolkan diri. Di

samping itu, perempuan juga cenderung rendah dalam beragresi dan

berkompetisi dibandingkan laki-laki. Sementara itu, kadar hormon testosteron

(43)

itu, laki-laki juga cenderung lebih agresif dan berkompetisi dibandingkan

dengan perempuan (Gurian, 2011).

Selain perbedaan struktur otak dan hormon, perbedaan pengaturan diri

dalam belajar mungkin dapat dilihat dari adanya perbedaan perilaku laki-laki

dan perempuan yang terlihat ketika belajar akademis. Mau dan Lynn (2000)

menyebutkan bahwa siswa perempuan lebih bekerja keras ketika

mengerjakan tugas sekolah untuk di rumah (homework) dibandingkan siswa

laki-laki. Di samping itu, Xu dan Corno (2006) juga menyebutkan bahwa

siswa perempuan lebih sering mengatur waktu selama mengerjakan tugas

sekolah utuk di rumah dibandingkan siswa laki-laki. Siswa perempuan lebih

memiliki inisiatif untuk memantau motivasi belajar yang dilakukan. Selain

itu, siswa perempuan lebih berhati-hati dalam memantau dan mengendalikan

hal-hal yang berpotensi mengganggu emosinya ketika belajar dibandingkan

siswa laki-laki. Di samping itu, Einsberg (Santrock, 2011) menyebutkan

bahwa laki-laki menunjukkan kurang melakukan keterampilan dalam

mengatur emosi dan perilaku dibandingkan perempuan.

Perilaku yang ditunjukkan oleh siswa laki-laki dan perempuan ketika

berada di sekolah juga berbeda (Ormrod, 2011). Di sekolah, rata-rata siswa

perempuan memiliki perhatian yang lebih untuk melakukan hal-hal yang

dikatakan baik. Siswa perempuan juga lebih memiliki keterikatan pada

aktivitas yang dilakukan di kelas dibandingkan dengan siswa laki-laki. Selain

itu, siswa perempuan juga lebih rajin mengerjakan tugas dibandingkan siswa

(44)

Gurian (2011) juga menyebutkan bahwa siswa perempuan dan laki-laki

menunjukkan perilaku yang berbeda ketika di ruang kelas. Ketika berada di

kelas, siswa perempuan belajar lebih keras dan lebih tenang sedangkan siswa

laki-laki cenderung lebih banyak membuang waktu dan lebih berisik. Siswa

perempuan cenderung kurang agresif dan berkompetisi, sedangkan siswa

laki-laki cenderung agresif dan menunjukkan sikap berkompetisi di kelas.

Penelitian yang dilakukan Zimmerman dan Martinez-Pons (1991)

mengungkapan bahwa ada perbedaan signifikan penerapan strategi sebagai

pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh siswa laki-laki dan

perempuan. Siswa perempuan menerapkan strategi pengaturan diri dalam

belajar seperti merekam dan memantau, menyusun lingkungan, serta

menetapkan tujuan dan membuat perencanaan belajar lebih banyak

dibandingkan laki-laki.

2. Perbedaan Tingkat Kelas

Penerapan strategi sebagai pengaturan diri dalam belajar yang ditinjau

dari perbedaan tingkat kelas memiliki perbedaan. Hal ini pernah diungkap

oleh penelitian Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) terhadap siswa

kelas 5, 8, dan 11 di Amerika. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa

siswa kelas 8 menerapkan strategi sebagai pengaturan diri dalam belajar

yang lebih banyak daripada kelas 5. Di samping itu, siswa kelas 11

menerapkan strategi sebagai pengaturan diri dalam belajar yang kurang

(45)

bahwa perbedaan penerapan strategi pengaturan diri dalam belajar tersebut

kurang dapat dipercaya.

Adanya perbedaan tingkat kelas di SMA yakni kelas 10, 11, dan 12

berarti ada perbedaan usia yang bertambah di setiap tingkat dari tingkat

sebelumnya. Piaget (Solso, Maclin, & Maclin, 2008) menyebutkan bahwa

seiring bertambahnya usia terdapat perkembangan kognitif. Perkembangan

kognitif terjadi karena otak mengalami perkembangan struktur menjadi

lebih kompleks dibandingkan sebelumnya. Di samping itu, kognitif

berkembang menyesuaikan dengan lingkungannya. Penyesuaian kognitif

terhadap lingkungan terjadi dengan 2 cara yakni menggabungkan

informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya

(asimilasi) dan menyesuaikan diri dengan informasi baru (akomodasi).

Beberapa pakar perkembangan kognitif seperti Case, Marini, dan Case,

serta Pascual-Leone (Santrock, 2003) menyebutkan bahwa perkembangan

kognitif terjadi secara teratur dan spesifik yang meliputi bagaimana

seseorang menggunakan strategi, mempelajari suatu keterampilan, serta

bagaimana seseorang memiliki kecepatan dalam memproses informasi

yang diterimanya. Perkembangan kognitif juga ditandai dengan adanya

cara berpikir khusus terhadap suatu tugas tertentu.

Seiring pertambahan usia pada remaja, perkembangan kognitif pada

bagian untuk memproses informasi menjadi bertambah (Santrock, 2003).

Perkembangan tersebut meliputi beberapa aspek yakni adanya peningkatan

(46)

informasi tingkat tinggi dan lebih besar, serta adanya peningkatan

kemampuan untuk melakukan tugas secara otomatis. Melakukan tugas

secara otomatis dimaksudkan dengan adanya usaha yang relatif sedikit

untuk melakukan tugas tersebut. Di samping itu, remaja mengalami

peningkatan kemampuan untuk mengambil keputusan menjadi lebih

kompeten dibandingkan sebelumnya.

Senada dengan pakar kognitif sebelumnya, Ormrod (2011)

menuliskan dalam bukunya bahwa seiring dengan pertambahan usia,

perkembangan kognitif meningkat. Hal tersebut ditandai dengan

bertambah canggihnya cara berpikir, kemampuan untuk mengungkapkan

suatu alasan, serta penggunaan bahasa yang semakin meningkat.

Melihat adanya kelas X, XI, dan XII di SMA, siswa pada ketiga

tingkat kelas tersebut memiliki perbedaan usia. Perbedaan usia siswa

bertambah seiring dengan tingkatan kelas tersebut dibandingkan tingkat

sebelumnya. Siswa mendapatkan pengetahuan yang berbeda di setiap

kelasnya. Setelah siswa melewati satu tingkat kelas, ia mendapatkan

pengetahuan dan pengalaman akademis yang lebih dibandingkan tingkat

kelas sebelumnya. Adanya penyesuaian kognitif terhadap pengetahuan dan

pengalaman yang berbeda di tiap tingkat kelas, maka ada kemungkinan

dapat mempengaruhi pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh

(47)

Berdasarkan uraian tentang siswa SMA, dapat dibuat kesimpulan bahwa

pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan mungkin berbeda ditinjau dari

perbedaan pada siswa di SMA. Perbedaan siswa di SMA yang akan ditinjau pada

penelitian ini adalah perbedaan jenis kelamin dan tingkat kelas.

F. Kerangka Penelitian

Pengaturan diri dalam belajar adalah perilaku aktif yang dilakukan siswa

dengan mengatur diri untuk mencapai tujuan belajar. Pengaturan diri ini dilakukan

dengan cara mengatur kognisi akademis, motivasi akademis, dan perilaku

akademis dalam belajar. Pengaturan diri dalam belajar akan dieksplorasi pada

perbedaan jenis kelamin dan tingkatan kelas sebagai karakteristik siswa pada

sekolah menengah atas.

Siswa di SMA memiliki perbedaan karakteristik antara siswa satu dengan

yang lainnya. Perbedaan karakteristik ini akan ditinjau dari perbedaan jenis

kelamin dan tingkat kelas. Dari perbedaan jenis kelamin dapat diketahui bahwa

ada perbedaan struktur otak serta perilaku-perilaku yang berbeda yang

ditunjukkan antara siswa laki-laki dan perempuan untuk belajar akademis.

Sedangkan perbedaan tingkat kelas, diketahui ada pertambahan usia dari tingkat

sebelumnya yang menyebabkan adanya perkembangan kognitif seiring

(48)

G. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Ada perbedaan antara pengaturan diri dalam belajar antara siswa laki-laki

dan perempuan, siswa perempuan memiliki pengaturan diri dalam belajar

lebih tinggi daripada siswa laki-laki.

2. Ada perbedaan pengaturan diri dalam belajar antara kelas X, XI, dan XII,

siswa kelas XI memiliki pengaturan diri dalam belajar yang lebih tinggi

dibandingkan kelas X, serta kelas XII memiliki pengaturan diri dalam

belajar lebih tinggi dibandingkan kelas XI.

(49)

35

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bagian ini dijelaskan tentang jenis penelitian, variabel penelitian, subjek

penelitian, alat pengumpulan data, pertanggung jawaban mutu alat ukur, dan

analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei. Penelitian survei adalah salah

satu jenis rancangan penelitian deskriptif dalam metode penelititan kuantitatif,

bertujuan memperoleh informasi tertentu dari sekelompok subjek yang dipandang

mewakili populasi tertentu (Leedy & Ormrod, 2005). Informasi yang ingin diteliti

dalam penelitian ini adalah tingkat pengaturan diri dalam belajar siswa SMA N 9

Yogyakarta. Informasi tersebut akan diungkap dengan skala pengaturan diri dalam

belajar. Selanjutnya, penelitian ini akan melihat tingkat pengaturan diri dalam

belajar yang dibandingkan terkait jenis kelamin dan kematangan kognitif yang

ditinjau dari tingkatan kelas.

B. Variabel Penelitian

1. Identifikasi Variabel

Variabel utama penelitian ini adalah pengaturan diri dalam belajar. Untuk

meneliti lebih lanjut hubungan antara variabel utama pengaturan diri dalam

(50)

akan diteliti sebagai variabel bebas adalah jenis kelamin (laki-laki dan

perempuan) dan tingkat kelas (kelas X, kelas XI, dan kelas XII).

2. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Untuk mengukur pengaturan diri dalam belajar, jenis kelamin, dan tingkat

kelas, maka peneliti merumuskan definisi operasional sebagai berikut:

a. Pengaturan diri dalam belajar

Pengaturan diri dalam belajar akan dioperasionalisasikan berdasar pada 3

komponennya, yakni pengaturan kognisi akademis, motivasi akademis,

dan perilaku akademis. Operasionalisasi ketiga hal tersebut berpedoman

dari skala Assessing Academic Self-Regulated Learning, yakni:

- Pengaturan kognisi akademis yakni mengatur kognitif dan

metakognitif yang dimiliki. Bagian ini terdiri dari 2 hal yakni

pengaturan diri metakognitif dan pengaturan kognitif secara umum.

- Pengaturan motivasi akademis yakni siswa memiliki ide dan

berperilaku yang mempengaruhi motivasi sehingga dapat terus tekun

dan bekerja keras untuk belajar. Bagian ini terdiri dari 4 hal yakni

berkata-kata pada diri sendiri, peningkatan minat, konsekuensi diri,

penyusunan lingkungan.

- Pengaturan perilaku akademis yakni usaha proaktif yang dilakukan

siswa untuk mengumpulkan informasi serta keterampilan untuk

meningkatkan belajarnya dengan cara mengatur lingkungan belajar

(51)

pengaturan waktu dan lingkungan belajar, mengatur usaha, dan

mencari bantuan.

Pengaturan diri dalam belajar akan diukur dengan menggunakan

skala. Berdasarkan pengukuran skala tersebut akan diperoleh nilai skor yang

menunjukkan semakin tinggi nilai skor skala maka semakin tinggi pula

pengaturan diri dalam belajar yang diukur.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan perbedaan bagian biologis seseorang yakni

laki-laki atau perempuan. Ini akan mengelompokkan siswa dalam

kelompok laki-laki atau perempuan. Pengelompokan jenis kelamin

diperoleh dari identitas siswa yang diisikan pada bagian identitas dari

skala yang diberikan, yaitu laki-laki atau perempuan.

c. Tingkat Kelas

Tingkat kelas merupakan kelompok kelas yang diikuti oleh siswa

berbeda tahun untuk belajar di SMA. Ini akan mengelompokan siswa

dalam kelas X, XI, atau XII. Pengelompokan tingkat kelas diperoleh dari

identitas subjek yang diisikan pada bagian identitas dari skala yang

(52)

C. Subjek Penelitian

Populasi subjek penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta yang

berjumlah 551 siswa. Penelitian dilakukan terhadap sampel. Pengambilan sampel

dilakukan secara convenience sampling pada kelas X, XI, dan XII. Hal ini

dilakukan berdasarkan kesediaan subjek untuk mengikuti survei (Shaughnessy,

Zechmeister, & Zechmeister, 2006). Di samping itu, teknik pengambilan sampel

ini dilakukan untuk kemudahan akses melakukan penelitian. Besarnya sampel

yang mengikuti survei sebanyak 192 siswa yang terdiri atas 63 siswa kelas X, 76

siswa kelas XI, dan 53 siswa kelas XII.

Berikut ini adalah deskripsi populasi siswa di SMA N 9 Yogyakarta:

Tabel 1.

Deskripsi Populasi Siswa SMA N 9 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014

No. Kelas Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan

1. X 62 128 190

2. XI 73 116 189

3. XII 65 107 172

Total Keseluruhan 200 351 551

D. Alat Pengumpulan Data

Data penelitian adalah hasil pengukuran dengan skala pengaturan diri dalam

(53)

masing-masing kelas terdiri atas siswa laki-laki dan perempuan. Identifikasi tingkat kelas

dan jenis kelamin didapatkan pada keterangan diri yang tercantum pada skala.

Data utama berupa hasil pengukuran tingkat pengaturan diri dalam belajar

dikumpulkan dengan skala pengaturan diri dalam belajar.

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah

skala pengaturan diri dalam belajar. Skala merupakan seperangkat pernyataan

yang disusun untuk mengungkap suatu atribut melalui respon terhadap pernyataan

tersebut. Skala ini terdiri dari item-item favorable dan unfavorable. Item

favorable merupakan pernyataan yang perilakunya sesuai atau mendukung atribut

yang diukur, sedangkan item unfavorable merupakan pernyataan yang

bertentangan dari ciri perilaku atribut yang diukur (Azwar, 2012).

Penskoran skala pengaturan diri dalam belajar mengikuti model Likert,

yakni subjek menyatakan kesetujuan-ketidaksetujuan terhadap pernyataan yang

terkait dengan keadaan dirinya dalam sebuah kontinum (Supratiknya, 2014).

Subjek akan diminta untuk memilih satu dari empat alternatif jawaban sebagai

respon dalam kontinum, yakni Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS),

dan Sangat Tidak Sesuai (STS).

Untuk membuat skala pengaturan diri dalam belajar perlu dibuat tabel

spesifikasi terlebih dahulu. Berikut ini adalah tabel spesifikasi / blue-print skala

(54)

Tabel 2.

Setelah membuat spesifikasi skala, berikut ini merupakan penskoran skala

(55)

Tabel 3.

Penskoran Skala Pengaturan Diri dalam Belajar

Jawaban Pernyataan

Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai 4 1

Sesuai 3 2

Tidak Sesuai 2 3

Sangat Tidak Sesuai 1 4

Uji coba skala pengaturan diri dalam belajar dilakukan di SMA Pangudi

Luhur Yogyakarta pada tanggal 28 dan 29 Maret 2014 dengan melibatkan 79

siswa.

E. Pertanggungjawaban Mutu Alat Ukur

Pada bagian ini akan diuraikan tentang pertanggungjawaban mutu alat ukur

yang meliputi validitas dengan menggunakan evidensi terkait isi, analisis dan

seleksi item, bentuk final skala, uji reliabilitas final skala, dan daya diskriminasi

tes.

1. Validitas dengan menggunakan evidensi terkait isi

Validitas menurut pengertian terbaru merupakan taraf bukti-bukti atau

evidensi untuk membenarkan penafsiran skor tes sesuai dengan tujuan dari

penggunaan tes. Alat ukur ini didukung dengan evidensi terkait isi tes yakni

Gambar

Tabel 1. Deskripsi Populasi Siswa SMA N 9 Yogyakarta 2013/2014 ................... 38
Tabel 1. Deskripsi Populasi Siswa SMA N 9 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014
Tabel 2.
Tabel 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya untk memberikan arah dan sasaran yang jelas serta sebagai pedoman dan tolok ukur kinerja Pengadilan Agama Bengkulu Kelas IA diselaraskan dengan arah kebijakan

Media Huruf Timbul sebagai Variabel Bebas.... Membaca Permulaan sebagai Variabel

.DUHW DODP GDQ VHOXORVD PHUXSDNDQ GXD PDWHULDO \DQJ PHPLOLNL NRPSDWLELOLWDV \DQJ VDQJDW EHUEHGD .DUHW DODP EHUVLIDW QRQSRODUVHGDQJNDQVHOXORVDEHUVLIDWSRODU .RPELQDVL DQWDUD NDUHW

Semakin tinggi keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan akan menghasilkan nilai yang baik pada suatu perusahaan dan menarik para pemegang saham untuk berinvestasi..

Dari tabel yang telah dibuat pada pertemuan sebelumnya buatlah query untuk menghitung :. Qry_Jumlah untuk menghitung jumlah buku yang dipinjam oleh pelanggan dalam

Pendapat pertama menyebutkan bahwa pemeriksaan urodinamik merupakan bagian dari rangkaian pemeriksaan awal diagnosis kandung kemih neurogenik karena dapat mengetahui secara dini

It is thus timely to promote sustainable production of gaharu as an important strategy for conserving natural gaharu tree species, thus the forest habitats, and

Analisis indeks kemiskinan material terhadap rumah tangga mustahik dilakukan tanpa dan dengan adanya bantuan dana zakat yang diberikan oleh BAZNAS Provinsi Jawa