• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman pernikahan pada pasangan dengan usia pernikahan lebih dari 40 tahun.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengalaman pernikahan pada pasangan dengan usia pernikahan lebih dari 40 tahun."

Copied!
251
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN DENGAN USIA

PERNIKAHAN LEBIH DARI 40 TAHUN

Pharamyta Panjawari

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang membuat

pasangan ini dapat menjaga kebersamaan di setiap tahap dalam siklus kehidupan

keluarga hingga memasuki usia pernikahan lebih dari 40 tahun. Penelitian ini

dilatarbelakangi oleh banyaknya perceraian yang terjadi di Indonesia pada

berbagai usia pernikahan karena adanya masalah dan kesulitan yang dihadapi.

Fokus dari penelitian ini yaitu mencari faktor-faktor yang membuat pasangan

dewasa lanjut tetap hidup bersama dalam ikatan pernikahan selama 40 tahun

lebih. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode naratif

sebagai metode penelitian. Dalam penelitian ini peneliti berusaha mendapatkan

dan memahami suatu peristiwa berdasarkan pengalaman informan yang dapat

disusun secara terorganisir menjadi serangkaian kejadian. Informan dari penelitian

ini adalah 4 orang informan yang merupakan 2 pasang suami isteri yang telah

menjalani kehidupan pernikahan lebih dari 40 tahun. Pengambilan data dilakukan

dengan wawancara semi terstruktur pada para informan. Validitas hasil penelitian

dilakukan dengan

member checking

dimana hasil penelitian sudah dianggap

akurat dari sudut pandang peneliti, informan, dan pembaca secara umum. Hasil

penelitian ini menunjukkan adanya faktor-faktor yang membuat pasangan yang

telah menikah dapat tetap hidup bersama selama lebih dari 40 tahun. Faktor-faktor

tersebut yaitu tujuan pernikahan, adanya komitmen, komunikasi, silang sengketa

dan kompromi, saling melakukan bagian masing-masing kemampuan menghadapi

berbagai kesulitan, memperlakukan pasangan dengan baik dan hormat, serta

religiusitas

(2)

MARRIAGE EXPERIENCES OF SPOUSES WHO HAVE MARRIED

FOR MORE THAN 40 YEARS

Pharamyta Panjawari

Abstarct

This study aims to find the factors that make couples can maintain

togethernessin every stage in life cycleof family for more than 40 years. This

research is motivated by the number of divorces in Indonesia at different age of

marriage that caused by the problems and difficulties they faced. The focus of this

research is to look for factors that make elder couples still live together in

marriage for over 40 years. This study uses qualitative research with narrative

method as a research method. In this study, researchers sought to obtain and

understand an event based on the experience of informants that can be arranged

into a series of events organized. The informant of this study is 4 informants who

are two pairs of husband and wife who have lived married life for more than 40

years. Data were collected by semi-structured interviews on informants. The

validity of the results of research carried out with members of checking where the

research is considered accurate from the perspective of the researcher,

informants, and readers in general. The results of this study revealed the factors

that make a married couple can stay together for more than 40 years. These

factors are the reason goal of marriages, commitment, communication, cross

dispute and compromise,both couples each perform their own duties, the ability to

face various difficulties, treats the couple well andrespectfully,religiosity.

(3)

i

PENGALAMAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN DENGAN

USIA PERNIKAHAN LEBIH DARI 40 TAHUN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Pharamyta Panjawari

NIM : 109114096

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

What can you do to promote world peace?

Go home and love your family.

-Mother Theresa-

At the end of the day,

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan perlindungannya didalam hidupku

Papa, Mama, Eyang, Elly, Rosy yang selalu mendukung dengan sepenuh hati di

saat suka dan duka

(8)
(9)

vii

PENGALAMAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN DENGAN USIA

PERNIKAHAN LEBIH DARI 40 TAHUN

Pharamyta Panjawari

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang membuat

pasangan ini dapat menjaga kebersamaan di setiap tahap dalam siklus kehidupan

keluarga hingga memasuki usia pernikahan lebih dari 40 tahun. Penelitian ini

dilatarbelakangi oleh banyaknya perceraian yang terjadi di Indonesia pada

berbagai usia pernikahan karena adanya masalah dan kesulitan yang dihadapi.

Fokus dari penelitian ini yaitu mencari faktor-faktor yang membuat pasangan

dewasa lanjut tetap hidup bersama dalam ikatan pernikahan selama 40 tahun

lebih. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode naratif

sebagai metode penelitian. Dalam penelitian ini peneliti berusaha mendapatkan

dan memahami suatu peristiwa berdasarkan pengalaman informan yang dapat

disusun secara terorganisir menjadi serangkaian kejadian. Informan dari penelitian

ini adalah 4 orang informan yang merupakan 2 pasang suami isteri yang telah

menjalani kehidupan pernikahan lebih dari 40 tahun. Pengambilan data dilakukan

dengan wawancara semi terstruktur pada para informan. Validitas hasil penelitian

dilakukan dengan

member checking

dimana hasil penelitian sudah dianggap

akurat dari sudut pandang peneliti, informan, dan pembaca secara umum. Hasil

penelitian ini menunjukkan adanya faktor-faktor yang membuat pasangan yang

telah menikah dapat tetap hidup bersama selama lebih dari 40 tahun. Faktor-faktor

tersebut yaitu tujuan pernikahan, adanya komitmen, komunikasi, silang sengketa

dan kompromi, saling melakukan bagian masing-masing kemampuan menghadapi

berbagai kesulitan, memperlakukan pasangan dengan baik dan hormat, serta

religiusitas

(10)

viii

MARRIAGE EXPERIENCES OF SPOUSES WHO HAVE MARRIED

FOR MORE THAN 40 YEARS

Pharamyta Panjawari

Abstarct

This study aims to find the factors that make couples can maintain

togethernessin every stage in life cycleof family for more than 40 years. This

research is motivated by the number of divorces in Indonesia at different age of

marriage that caused by the problems and difficulties they faced. The focus of this

research is to look for factors that make elder couples still live together in

marriage for over 40 years. This study uses qualitative research with narrative

method as a research method. In this study, researchers sought to obtain and

understand an event based on the experience of informants that can be arranged

into a series of events organized. The informant of this study is 4 informants who

are two pairs of husband and wife who have lived married life for more than 40

years. Data were collected by semi-structured interviews on informants. The

validity of the results of research carried out with members of checking where the

research is considered accurate from the perspective of the researcher,

informants, and readers in general. The results of this study revealed the factors

that make a married couple can stay together for more than 40 years. These

factors are the reason goal of marriages, commitment, communication, cross

dispute and compromise,both couples each perform their own duties, the ability to

face various difficulties, treats the couple well andrespectfully,religiosity.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan setinggi

tinginya terhadap tritunggal Bapa,

Putera dan Roh Kudus karena hanya oleh rahmat dan berkat-Nya, penulis bisa

menyelesaikan penelitian ini. Penelitian dengan judul Pengalaman Pernikahan

Pada Pasangan dengan Usia Pernikahan 40 Tahun Keatas ini disusun untuk

memperoleh gelar sarjana psikologi (S. Psi) dari Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta

Dalam proses pengerjaan penelitian ini, penulis dibantu dan didukung oleh

banyak pihak. Ucapan terimakasih yang sebesar- besarnya, penulis haturkan

kepada:

1.

Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi.

2.

Bapak Paulus Eddy Hartanto, M. Si selaku Kaprodi Fakulta Psikologi.

3.

Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M. Psi selaku dosen pembimbing yang telah

membimbung penulis sejak awal pengerjaan penelitian. Terimakasih atas

dukungan dan pengarahan yang telah diberikan.

4.

Bapak Paulus Eddy Hartanto, M. Si selaku dosen pembimbing penulis saat ini.

Terimakasih untuk dukungan yang diberikan.

5.

Jajaran dosen Fakultas Sanata Dharma yang sudah membantu setiap proses

yang dijalani oleh penulis dalam melakukan kegiatan belajar mengajar.

(13)
(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………

.... i

HALAMAN PERSET

UJUAN DOSEN PEMBIMBING …………

... ii

HALAMAN

PENGESAHAN ………

... iii

HALAMAN

MOTTO ………

... iv

HALAMAN

PERSEMBAHAN ………

... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

………

... vi

ABSTR

AK ………

... vii

ABSTRA

CT ………

... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH …...

. ix

KATA P

ENGANTAR ………

... x

DAFTAR

ISI ………

... xii

BAB I. P

ENDAHULUAN ………

.... 1

A.

Latar Belak

ang Masalah ………

... 1

B.

Rumusan

Masalah ………

.. 7

C.

Tujuan

penelitian ………

... 7

D.

Manfaat P

enelitian ………

... 8

1.

Manf

aat Teoritis ………

... 8

2.

Manfaat Praktis ……….

. 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………

... 9

A.

Pernikahan... 9

1.

Pengertian... 9

(15)

xiii

3.

Tujuan Pernikahan... 13

4.

Siklus Kehidupan Keluarga... 15

B.

Pernikahan yang langgeng... 17

C.

Kerangka Berpikir... 31

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 34

A.

Jenis Penelitian... 34

B.

Fokus Penelitian... 35

C.

Subjek Penelitian... 35

D.

Metode Pengumpulan Data... 35

E.

Prosedur Pengumpulan Data ... 38

F.

Uji Keabsahan data... 40

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 41

A.

Proses Pengambilan Data... 41

1.

Proses Penelitian... 41

2.

Proses Pengambilan data... 43

3.

Identitas Informan... 44

B.

Hasil Penelitian... 46

1.

Latar Belakang Informan... 46

a.

Pasangan 1... 46

b.

Pasangan 2 ... 46

2.

Pengalaman Pernikahan... 47

a.

Pasangan 1... 47

(16)

xiv

c.

Pengalaman Pernikahan Kedua Pasangan... 60

3.

Pembahasan ... 63

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 69

A.

Kesimpulan... 69

B.

Keterbatasan... 69

C.

Saran ... 70

a.

Bagi Masyarakat...70

b.

Bagi Peneliti Lain... 70

DAFTAR PUSTAKA... 71

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Panduan Pertanyaan ...

37

Tabel 2 : Keterangan Koding...

39

Tabel 3.1 : Profil Pasangan 1...

44

Tabel 3.2 : Profil Anak Pasangan 1...

44

Tabel 3.3 :Profil Pasangan 2...

45

Tabel 3.4 : Profil Anak Pasangan 2...

45

(18)

xvi

SKEMA

(19)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang diperlukan untuk

membina keluarga yang damai dan sejahtera antara pria dan wanita yang

kemudian disebut sebagai suami dan isteri (Sarumpaet, 1977 dalam Selviana,

2004). Menurut Soewondo, 2001 (dalam Patmonodewo, dkk, 2001)

perkawinan mempunyai tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan, cinta kasih,

kepuasaan, dan keturunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pria dan wanita

yang terikat dalam pernikahan memiliki tujuan yang ingin dicapai.

Lebih dari 2000 orang dewasa berusia 18-90 tahun di Amerika

Serikat menunjukkan bahwa dalam perkawinan, baik pria maupun wanita

mendapatkan manfaat yaitu wanita dari dukungan ekonomi dan pria dari

dukungan emosional (Ross, 1995 dalam Papalia, dkk, 2008). Dalam

pernikahan terdapat intimasi, komitmen, persahabatan, kasih sayang,

pemuasan seksual, pendampingan, peluang bagi pertumbuhan emosional,

serta sumber identitas dan kepercayaan diri yang bisa didapatkan oleh suami

dan isteri (Gardiner, 1998; Myers,2000 dalam Papalia, dkk, 2008). Myers,

2000 (dalam Papalia, dkk, 2008) menyatakan bahwa tingkat kebahagiaan pria

dan wanita dalam suatu pernikahan adalah sama besarnya.

Dalam pernikahan yang langgeng, wanita dapat memiliki kekayaan

(20)

2

(Wilmoth & Koso, 2002 dalam Papalia, dkk, 2008). Perkawinan yang telah

lama berlangsung memiliki kemungkinan kecenderungan yang lebih kecil

untuk berpisah atau bercerai dibandingkan dengan perkawinan yang baru. Hal

ini dikarenakan pasangan yang telah hidup bersama dalam waktu yang lama

dalam suatu perkawinan telah membangun

marital capital

(modal

perkawinan) baik finansial maupun emosional yang dapat membuat mereka

sulit untuk berpisah (Becker, 1991;Jones, Tepperman, & Wilson, 1995 dalam

Papalia, dkk, 2008). Selain itu, pasangan yang tetap hidup bersama seringkali

dapat menikmati perkawinan mereka untuk dua puluh tahun atau setelah anak

terakhir mereka sudah tidak tinggal bersama mereka (Papalia, dkk, 2008).

Hal-hal diatas menunjukkan bahwa banyak hal positif yang bisa didapatkan

bagi mereka yang terikat dalam suatu pernikahan, khususnya pernikahan yang

telah berlangsung lama.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa banyak manfaat yang bisa

diperoleh bagi suami dan isteri yang menikah. Meski begitu, terdapat banyak

fakta yang menunjukkan banyaknya pasangan yang telah menikah melakukan

perceraian.Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung

(MA) mengatakan bahwa perceraian di Indonesia sejak tahun 2005 hingga

2010 mengalami peningkatan sebanyak 70 persen. Dirjen Badilag MA,

Wahyu Widiana, mengatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 285.184

perceraian di seluruh Indonesia. Dalam kasus-kasus perceraian tersebut

terdapat urutan tiga besar penyebab kasus perceraian yaitu sebanyak 91.841

(21)

3

dikarenakan tidak adanya tanggung jawab, dan yang ketiga adalah masalah

ekonomi sebanyak 67.891 perkara (m.republika.co.id, 2012).

Menurut Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Ngaglik,

Yogyakarta, meninggalkan tanggungjawab adalah penyebab terbanyak kasus

talak/cerai di tahun 2011. Sedangkan masalah-masalah selain krisis ekonomi,

krisis moral, dimadu, meninggalkan kewajiban, biologis, gangguan pihak

ketiga, dan politis menjadi penyebab perceraian diurutan kedua. Pada tahun

2012 dan 2013, masalah- masalah selain krisis ekonomi, krisis moral,

dimadu, biologis, gangguan pihak ketiga, dan politis menjadi penyebab

terbanyak dalam kasus talak/cerai dan meninggalkan kewajiban sebagai

urutan kedua. Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Depok, Yogyakarta,

menyatakan bahwa di tahun 2011 hingga 2013 penyebab kasus talak/cerai

diurutan pertama yaitu masalah selain krisis ekonomi, krisismoral, dimadu,

biologis, gangguan pihak ketiga, dan politis. Pada tahun 2011 dan 2012,

meninggalkan kewajiban sebagai penyebab kedua terbanyak dalam kasus

talak/cerai dan gangguan pihak ketiga menjadi penyebab diurutan kedua pada

tahun 2013.

Ismail (2004) mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang menjadi

penyebab masalah yang dihadapi oleh pasangan yaitu mengenai tingkah laku

atau perbuatan dari masing-masing pasangan seperti mudah tersinggung,

terlalu mudah cemburu, tertutup dan tidak ingin bertegur sapa. Hal yang

kedua adalah kecurangan atau ketidaksetiaan pasangan dengan menjalin

(22)

4

seksual dengan orang yang bukan pasangan sah mereka. Spring & Spring

dalam Eriany (2004) menyatakan bahwa perselingkuhan termasuk sebagai

salah satu masalah yang paling sulit ditangani dan masalah yang paling

merusak kehidupan perkawinan. Penyebab yang ketiga adalah pasangan yang

menghabiskan banyak waktu diluar rumah sehingga tidak memiliki banyak

waktu untuk berinteraksi dengan keluarga. Hal-hal di atas menunjukkan

adanya berbagai hal yang dapat menjadi penyebab masalah bahkan penyebab

perceraian dalam pernikahan.

Konflik memang dapat terjadi dalam suatu perkawinan.Hal ini bisa

dikarenakan dua pribadi yang berbeda harus hidup bersama. Tukan (1985)

mengatakan bahwa suami dan isteri dapat memiliki beberapa perbedaan yaitu

latar belakang budaya, status sosial, latar belakang pendidikan, dan

agama.Tidak hanya itu, antara suami dan isteri juga terdapat beberapa

perbedaan dalam hal pola pikiran, pola perasaan, alun dan selera seks, serta

perbedaan gambaran tentang pernikahan.Perbedaan-perbedaan ini dapat

memicu terjadinya konflik.

Data statistik NTCR KUA kecamatan Ngaglik, Yogyakarta,

menunjukkan bahwa pasangan terbanyak yang melakukan perceraian di tahun

2011 adalah pasangan dengan usia pernikahan 10 tahun ke atas. Pada tahun

2012 dan 2013 adalah pasangan dengan usia pernikahan 1-5 tahun sebagai

angka tertinggi yang melakukan perceraian. Sedangkan data statistik NTCR

KUA kecamatan Depok, Yogyakarta, menyatakan bahwa pasangan dengan

(23)

5

yang paling banyak melakukan perceraian di tahun 2011 dan 2013. Urutan

pertama yang paling banyak melakukan perceraian di tahun 2012 adalah

pasangan yang telah menikah 6-10 tahun. Sedangkan di Amerika Serikat,

rata-rata pernikahan yang berujung pada perceraian adalah pernikahan

dengan usia tujuh hingga delapan tahun (Kreider dan Fields, 2002 dalam

Papalia, 2008). Bramlett dan Mosher, 2001,2002 dalam Papalia, 2008

mengatakan bahwa hampir setengah (43 persen) pernikahan pertama berakhir

dengan perceraian dalam usia 15 tahun pernikahan. Hal ini menunjukkan

bahwa banyak perceraian terjadi pada usia pernikahan yang masih muda dan

yang memasuki masa pertengahan dalam pernikahan.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa banyak perceraian terjadi pada

berbagai usia pernikahan. Lalu, kepada siapa kita perlu belajar tentang

pernikahan? Dari fakta-fakta di atas, maka kita perlu melihat pasangan

dewasa akhir yang dapat mempertahankan pernikahan mereka hingga

memasuki masa akhir pernikahan. Papalia, dkk (2008) menyatakan bahwa

pada pernikahan paruh baya ketika harapan hidup memendek, pasangan yang

tetap bersama selama dua puluh lima tahun atau empat puluh tahun

merupakan sesuatu yang langka. Biasanya perkawinan tersebut terputus oleh

kematian atau orang yang ditinggalkan menikah lagi. Pernyataan tersebut

menunjukkan bahwa pasangan dengan pernikahan 40 tahun merupakan hal

yang langka sehingga menarik untuk diteliti. Selain itu, usia pernikahan 40

tahun lebih merupakan rentang waktu yang lama dalam menjalani kehidupan

(24)

6

menikah lebih dari 40 tahun ini, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana

pasangan ini mampu mempertahankan kehidupan pernikahan mereka. Mann

(1991) dalam Santrock (1995) mengatakan bahwa saat mulai pensiun hingga

meninggal merupakan tahap akhir dalam pernikahan. Fingerman, Hay, dan

Birditt (2004) menyatakan bahwa orang-orang dewasa akhir menunjukkan

pernikahan yang lebih baik, hubungan persahabatan yang lebih suportif,

sedikit konflik dengan anak-anak dan saudara-saudara mereka, dan hubungan

yang lebih dekat dalam jaringan sosial mereka daripada yang dilakukan oleh

orang-orang dewasa muda (dalam Fingerman dan Charles,2010). Charles dan

Piazza (2007) mengatakan bahwa ketika berinteraksi dengan anggota

keluarga, orang-orang yang lebih tua menggambarkan interaksi-interaksi

yang lebih positif dan kepuasan yang lebih besar (dalam Fingerman dan

Charles,2010).

Maka dari itu, kita perlu belajar dari pasangan yang telah memasuki

masa akhir pernikahan. Kita perlu melihat bagaimana mereka dapat melalui

rentang pernikahan mereka dalam waktu yang cukup lama. Issac (dalam

Bastman, 1995) menyatakan bahwa faktor-faktor kelanggengan pernikahan

adalah komitmen, harapan-harapan realistis, keluwesan, komunikasi, silang

sengketa dan kompromi, hubungan seks, serta kemampuan untuk menghadapi

kesulitan. Issac mengungkapkan hal-hal yang dapat membuat pasangan dapat

mempertahankan

pernikahannya.

Namun,

teori

tersebut

tidak

mengungkapkan bagaimana pasangan mampu melewati tahap demi tahap

(25)

7

bersama dalam waktu yang lama. Dengan melihat tahap demi tahap

kehidupan pernikahan, kita dapat mengetahui apa saja yang membuat

pasangan berhasil melalui tahapan yang ada dan masuk ke tahap selanjutnya

hingga memasuki usia pernikahan lebih dari 40 tahun. Bagaimana pasangan

ini dapat melalui berbagai masalah yang ada di sepanjang rentang kehidupan

pernikahan mereka? Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih

dalam mengenai faktor-faktor yang dapat membuat pasangan ini dapat

mempertahankan komitmen mereka untuk tetap hidup bersama hingga

memasuki usia pernikahan lebih dari 40 tahun.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini, yaitu :

Faktor-faktor apa yang membuat pasangan dewasa lanjut dapat

menjaga kebersamaan dalam kehidupan pernikahan hingga memasuki usia

pernikahan lebih dari 40 tahun?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui faktor-faktor yang membuat pasangan ini dapat

menjaga kebersamaan dalam kehidupan pernikahan hingga memasuki usia

(26)

8

D.

Manfaat Penelitian

1.

Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu

Psikologi, dalam bidang psikologi keluarga, khususnya pada kasus-kasus

yang berkaitan dengan kebersamaan dan kelanggengan pernikahan.

2.

Manfaat praktis

Penelitian ini menyajikan pengalaman kehidupan pernikahan orang-orang

dewasa lanjut yang dapat memberikan masukan dan inspirasi bagi

suami-isteri yang sedang menjalani kehidupan pernikahan agar dapat

mempertahankan pernikahan mereka dan bagi kaum muda untuk

(27)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Pernikahan

1.

Pengertian

Ensiklopedia Indonesia (t,t) menjelaskan bahwa kata perkawinan

sama dengan kata nikah. Menurut Purwadarminta (1976), kawin

merupakan perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri;

perkawinan sama dengan pernikahan. Sedangkan Hornby (1957)

menyatakan bahwa

marriage : the union of two persons as husband and

wife,

yang menjelaskan bahwa pernikahan merupakan bersatunya dua

orang sebagai suami dan istri (Walgito, 2010). Papalia, Olds, & Feldman

(2009) menyatakan bahwa berbagai adat dan bentuk pernikahan yang ada

di sepanjang sejarah dan dari sekeliling dunia menunjukkan bahwa

pernikahan merupaka kebutuhan fundamental.

Perkawinan adalah suatu peristiwa dipertemukannya sepasang

calon suami-istri secara formal di hadapan kepala agama tertentu, para

saksi dan hadirin yang kemudian disyahkan secara resmi sebagai suami

dan istri dengan upacara tertentu. Perkawinan merupakan suatu bentuk

proklamasi yaitu secara resmi suami dan istri dinyatakan “saling memiliki

satu dengan yang lain”; dan dua pribadi yang berlain

an jenis dipatrikan

(28)

10

Herning (1956) dalam Soewondo (2001) menyatakan bahwa

perkawinan adalah ikatan antara pria dan wanita yang kurang lebih

permanen dan ditentukan oleh kebudayaan dengan tujuan mendapatkan

kebahagiaan. Keterikatan yang dimaksud memiliki sifat persahabatan yang

ditandai dengan adanya rasa bersatu dan saling memiliki satu dengan yang

lain.

Soewondo (2001) mengatakan bahwa perkawinan merupakan

peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang bertujuan mendapatkan

kebahagiaan, kepuasan, cinta kasih dan keturunan. Selain itu, perkawinan

adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang

mensahkan hubungan seksual dan memiliki kesempatan untuk mendapat

keturunan (Duvall & Miller, 1980 dalam Soewondo, 2001). Dalam Pasal 1

Undang-Undang Perkawinan 1/1974 dalam Soewondo (2001) menyatakan

bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan

wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

pernikahan merupakan dipersatukannya dua pribadi yaitu pria dan wanita

menjadi satu kesatuan yaitu dwitunggal sebagai suami isteri dengan tujuan

untuk memperoleh kebahagiaan,kepuasan, cinta kasih, dan keturunan serta

memiliki keterikatan permanen yang bersifat persahabatan yang ditandai

(29)

11

2.

Alasan menikah

Alasan untuk melakukan pernikahan ada bermacam-macam.

Kartono (2006) menyatakan beberapa alasan orang menikah, yaitu :

1.

Distimulir oleh dorongan-dorongan romantik

2.

Hasrat untuk mendapatkan kemewahan hidup

3.

Ambisi besar untuk mencapai status sosial tinggi

4.

Keinginan untuk mendapatkan asuransi hidup di masa tua

5.

Keinginan untuk mendapatkan kepuasan seks dengan partnernya

6.

Hasrat untuk melepaskan diri dari berbagai belenggu kungkungan

keluarga/ orangtua

7.

Dorongan cinta terhadap anak

8.

Keinginan untuk mengabadikan nama leluhur

9.

Malu kalau sampai disebut “gadis tua”

10.

Motif-motif tradisional, dan pelbagai macam alasan lainnya

Namun, Kartono (2006) mengatakan bahwa alasan-alasan di atas

bisa dikatakan alasan minor jika dibandingkan dengan alasan primer yaitu

hasrat berdampingan hidup bahagia dengan pribadi yang dicintainya.

Dengan menikah, orang mengharapkan bisa mendapatkan pengalaman

hidup bersama-sama dengan seseorang yang secara eksklusif menjadi

miliknya untuk mendapatkan pengakuan sosial dan jaminan hidup

sepanjang hayat.

Kartono (2006) menjelaskan dalam masyarakat modern yang

(30)

12

dalam

menentukan

proses

pernikahan.

Perkawinan

sering

diekonomisasikan atau dikomersialkan, dijadikan suatu usaha yang secara

ekonomis menguntungkan.

Perkawinan bisa menunjukkan kehidupan yang intim pada suami isteri

mengenai kehidupan dengan seseorang yang paling dicintai, dan didukung

oleh pengakuan sosial serta sanksi-sanksi tertentu oleh masyarakat.

Selanjutnya, dengan perkawinan itu seseorang tidak hanya akan

mendapatkan pengakuan sosial serta status sosial, akan tetapi juga jaminan

keamanan materiil dan sosial. Dan yang paling mutlak diperlukan ialah :

jaminan cinta-kasih dari pribadi yang dicintai. Inilah yang menjadi alat

pengokoh perkawinan.Selain itu, orang menikah juga bisa didorong oleh

(1) sayang anak dan (2) naluri ingin melanggengkan generasi manusia

sepanjang jaman (Kartono, 2006).

Kertamuda (2009) menyebutkan bahwa alasan-alasan seseorang

melakukan pernikahan diantaranya adalah konformitas, cinta, hubungan

seks yang halal, memperoleh keturunan yang sah, faktor emosional dan

ekonomi, kebersamaan,

sharing

, keamanan, serta harapan-harapan yang

lain. Dari alasan-alasan diatas, mayoritas orang memutuskan menikah

dikarenakan alasan emosional yaitu rasa suka, cinta, serta adanya

kecocokan satu dengan yang lain. Namun hal ini bukan berarti

alasan-alasan yang lain tidak menjadi fokus seseorang untuk melalukan

(31)

13

Berdasarkan paparan di atas, alasan secara umum seseorang

melakukan pernikahan yaitu adanya dorongan pribadi (seperti emosi, rasa

aman, dan juga ekonomi), pengaruh-pengaruh sosial dalam masyarakat,

serta adanya keinginan untuk mendapat pengalaman hidup bersama

dengan seseorang yang dicintai dan secara eksklusif menjadi miliknya.

3.

Tujuan pernikahan

Walgito (2010) menjelaskan bahwa pernikahan merupakan

aktivitas dari suatu pasangan, sehingga sudah selayaknya pasangan

tersebut memiliki tujuan untuk dicapai. Namun, pernikahan terdiri dari dua

individu yang berbeda, sehingga seringkali memiliki tujuan yang berbeda.

Apabila terjadi perbedaan dalam tujuan, maka pasangan tersebut perlu

melakukan pembulatan tujuan agar tercapai kesatuan dalam tujuan.

Walgito (2010) juga menjelaskan bahwa tujuan yang ada dalam

pernikahan perlu diresapi atau dipahami secara mendalam oleh pasangan

dan disadari untuk dilakukan bersama-sama bukan hanya dilakukan oleh

salah satu pihak. Soewondo (2001) menyatakan bahwa tujuan dari

perkawinan ialah untuk mendapatkan kebahagiaan, cinta kasih, kepuasan,

dan keturunan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) menyatakan bahwa

kebahagiaan merupakan kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin);

keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir batin. Myers (2000) dalam

Papalia (2008) menyatakan bahwa tingkat kebahagiaan wanita dalam

(32)

14

Soewondo (2001) juga menyatakan bahwa tujuan orang menikah

adalah untuk mendapatkan cinta kasih. Sternberg, 1995 (dalam Papalia,

2008) menjelaskan bahwa cinta adalah cerita, para kekasih adalah

penulisnya, dan jenis cerita yang mereka buat merefleksikan kepribadian

serta perasaan mereka akan hubungan tersebut. Dalam teori cinta

triangular Sternberg terdapat tiga elemen cinta yaitu intimasi, hasrat dan

komitmen. Intimasi merupakan elemen emosional yang mencakup

pengungkapan diri yang akan mengarah pada keterhubungan, kehangatan,

dan kepercayaan. Hasrat merupakan elemen motivasional yang didasarkan

pada dorongan batin yang menerjemahkan gejolak fisiologis ke dalam

hasrat seksual. Komitmen adalah elemen kognitif yang merupakan

keputusan untuk mencintai dan terus dicintai (Papalia, 2008). Gunarsa

(1990) menyatakan bahwa cinta kasih tidak dapat dirumuskan melainkan

dijalankan, dirasakan, dialami dan dihayati dalam hidup yang harus

melewati proses pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa cinta merupakan

sesuatu yang indah dan menyenangkan, dapat pula dikatakan bahwa cinta

kasih menyebabkan penderitaan, ketegangan, kerinduan dan masih banyak

hal yang bertentangan yang tercakup dalam istilah cinta kasih (Gunarsa,

1990).

Kepuasan juga dapat menjadi salah satu tujuan orang melakukan

pernikahan. Kepuasan adalah perasaan bahagia dalam diri seseorang tanpa

ada kerisauan, ketakutan, kecemasan ataupun pertentangan dalam batinnya

(33)

15

mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang, lega, gembira karena

sudah terpenuhi hasrat hatinya (Selviana L, 2004).

Soewondo (2001) juga mengatakan bahwa tujuan orang menikah

adalah untuk mendapat keturunan. Perkawinan menjadi pondasi bagi

keluarga, oleh karena itu ketika sepasang manusia menikah akan lahir

keluarga yang baru (Lestari, 2012).

Dalam pasal 1 UU Perkawinan 1/1974 (dalam Soewondo,2001)

dikatakan bahwa perkawinan memiliki tujuan untuk membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Herning

(1956) juga mengatakan bahwa tujuan dari perkawinan ialah untuk

mendapatkan kebahagiaan (dalam Soewondo, 2001).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan

pernikahan adalah untuk mendapat kebahagiaan, cinta kasih, kepuasan,

dan keturunan yang perlu diresapi, dipahami, dan disadari untuk dilakukan

oleh kedua belah pihak.

4.

Siklus Kehidupan Keluarga

Duvall, 1957 (dalam Laszloffy, 2002) membagi siklus kehidupan

keluarga dalam 8

stage

atau tahap, yaitu :

a.

Stage

1 :

Married couples

(belum memiliki anak)

b.

Stage

2 :

Childbearing families

(anak pertama berusia hingga 30 bulan)

c.

Stage

3 :

Families with preschool children

(anak pertama berusia 2,5

(34)

16

d.

Stage

4 :

Families with school children

(anak pertama berusia 6 hingga

13 tahun)

e.

Stage

5 :

Families with teenagers

(anak pertama berusia 13 hingga 20

tahun)

f.

Stage

6 :

Families launching young adults

(dimulai saat anak pertama

meninggalkan rumah dan berakhir saat anak terakhir meninggalkan

rumah)

g.

Stage

7 :

Midle Aged Parents

(dimulai dengan

empty nest

dan berakhir

saat dimulainya pensiun)

h.

Stage

8 :

Aging family

(dimulai saat masa pensiun dan berakhir ketika

mereka meninggal)

Siklus kehidupan keluarga ini didasarkan pada bentuk keluarga

tradisional, utuh dan lengkap. Siklus ini tidak mempertimbangkan keluarga

dengan siklus kehidupan yang berciri urutan perkembangan alternatif yaitu

keluarga yang bercerai, keluarga dengan orangtua tunggal, pasangan yang

tinggal bersama tanpa menikah, pasangan tanpa anak, dan keluarga yang

menikah kembali (Laszloffy, 2002).

Siklus kehidupan keluarga ini mengacu pada peristiwa-peritiwa

yang terkait dengan datang dan perginya anggota keluarga seperti

kelahiran anak, kepergian anak-anak dalam rumah tangga, pensiun, serta

kematian(Duvall, 1957 dalam Laszloffy, 2002). Perubahan-perubahan

dalam komposisi keluarga ini memerlukan pengaturan ulang dalam ha;

(35)

17

B.

Pernikahan yang Langgeng

Issacs (dalam Bastman, 1995) menjelaskan bahwa pasangan suami

isteri yang berhasil mempertahankan perkawinan mereka secara baik dan

bahagia menyatakan bahwa perkawinan mereka juga mengalami suka dan duka

seperti pernikahan pada umumnya. Hanya saja dalam menjalani hidup

perkawinan tersebut, mereka mengembangkan hal-hal berikut :

1.

Komitmen

Komitmen disini merupakan niat dan itikad untuk mempertahankan

rumah tangga mereka walau apapun kuatnya masalah yang sedang dihadapi.

Istilah “pisah” atau “bercerai” merupakan perkataan mahal yang ditabukan

untuk diucapkan dalam senda-gurau sekalipun.

Sternberg, 1986 (dalam Papalia dkk, 2008) menyatakan bahwa

komitmen termasuk dalam elemen cinta yang merupakan elemen kognitif.

Menurut Sternberg, komitmen merupakan keputusan untuk mencintai dan

untuk terus dicintai. Sternbeg (1986) juga menjelaskan bahwa komitmen

merupakan keputusan untuk mencintai dan bertahan dengan sang kekasih

(Papalia dkk, 2009). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Online, komitmen merupakan perjanjian (keterikatan)untuk melakukan

sesuatu; kontrak(

http://kbbi.web.id/komitmen

).

Dari hasil-hasil penelitian terlihat bahwa komitmen merupakan salah

satu aspek keluarga yang kuat. Komitmen tersebut mencakup kejujuran,

percaya, kebergantungan,

faithfulness

/ kesetiaan, dan berbagi (Setiono,

(36)

18

Austin & Vancouver (1996) dan Brickman (1987) menjelaskan bahwa

komitmen mengacu pada ketetapan hati atau tekad yang bulat, tanggung

jawab, serta kesediaan untuk tekun menghadapi rintangan dari waktu ke

waktu yang mungkin dapat mengancam tujuan yang hendak dicapai (dalam

Baumgardner & Chrothers, 2009). Selain itu, komitmen juga merupakan

pembuatan keputusan dan kemudian menindaklanjuti keputusan yang telah

diambil tersebut (Fehr,1988 dalam Baumgardner & Chrothers, 2009).

Fehr (1998) menyatakan bahwa komitmen merupakan keinginan untuk

melanjutkan hubungan ke masa depan. Penelitian menunjukkan bahwa

orang mengaitkan komitmen dengan loyalitas, kesetiaan, menghidupi

perkataan pribadi, kerja keras, dan memberikan usaha yang terbaik (dalam

Baumgardner dan Chrothers, 2009). Komitmen mungkin tidak hanya

menandakan keinginan untuk meningkatkan suatu hubungan. Pasangan

yang menikah dalam pernikahan yang tidak bahagia dapat membuat

komitmen untuk tetap bersama karena mereka percaya bahwa hal tersebut

yang terbaik bagi anak-anak mereka (dalam Baumgardner dan Chrothers,

2009).

Relasi yang dekat memerlukan adanya pengorbanan pribadi dan

kompromi dengan kepentingan pribadi untuk kebaikan suatu relasi.

Komitmen bersama membantu memastikan bahwa pasangan akan membuat

pengorbanan-pengorbanan dan kompromi-kompromi yang diperlukan untuk

mempertahankan keintiman hubungan (dalam Baumgardner & Chrothers,

(37)

19

Sari (2008) mengatakan bahwa seseorang akan tergoda untuk

meninggalkan masalah daripada menyelesaikannya disaat individu tersebut

tidak merasa terikat oleh perkawinannya. Komitmen dapat memberikan rasa

aman karena komitmen dapat membuat seseorang untuk menyelesaikan

masalahnya.

Nock, 1995 (dalam Papalia dkk, 2008) menjelaskan bahwa

ketergantungan salah satu pasangan kepada yang lain memainkan bagian

dalam komitmen terhadap perkawinan, akan tetapi faktor terkuat ialah

perasaan adanya kewajiban terhadap pasangannya.

Komitmen yang kuat tidak hanya membuat orang untuk tetap bersama

pasangannya, tetapi juga mendukung berbagai perilaku pemeliharaan

hubungan seperti kesediaan berkorban untuk kebaikan hubungan,

kecenderungan untuk melakukan akomodasi daripada membalas ketika

pasangan berperilaku buruk, memanajemen kecemburuan secara efektif, dll

( Rusbult dan Buunk, 1993).

2.

Harapan-harapan realistis

Pada awal pernikahan biasanya masing-masing pihak mengharapkan

secara berlebihan mengenai tampilnya sikap dan tindakan yang ideal dari

pasangannya. Namun dalam kenyataanya, hal tersebut hampir tidak pernah

terjadi, karena biasanya masing-masing pihak pada suatu saat akan

menunjukkan beberapa sikap, tindakan, dan ucapan yang tidak disenangi

(38)

20

biasanya menerima kenyataan ini secara realistis yang didasari kesadaran,

kesediaan, dan pengalaman orang lain.

3.

Keluwesan

Keluwesan disini berbicara tentang kesediaan suami dan isteri untuk

menyesuaikan diri dan meningkatkan toleransi terhadap

perbedaan-perbedaan pada pasangannya. Perbedaan-perbedaan-perbedaan tersebut yaitu dalam hal

sikap, minat, sifat, kebiasaan, serta pandangan masing-masing. Fleksibilitas

pasangan merefleksikan kemampuan pasangan untuk berubah dan

beradaptasi saat diperlukan (Lestari, 2012). Hal tersebut berkaitan dengan

tugas dan peran yang mucul dalam relasi suami istri (Lestari, 2012). Lestari

(2012) menjelaskan bahwa dalam relasi suami istri perlu adanya kejelasan

dalam pembagian peran yang menjadi tanggung jawab suami dan menjadi

tanggung jawab istri. Namun, pembagian peran tersebut sebaiknya tidak

bersifat kaku dan dapat disesuaikan melalui kesepakatan yang dibuat

bersama berdasarkan situasi yang dihadapi oleh pasangan suami istri

(Lestari, 2012).

4.

Komunikasi

Komunikasi merupakan kesediaan dan keberhasilan untuk memberi dan

menerima pendapat, tanggapan, ungkapan, keinginan, saran, umpan balik

dari satu pihak kepada pihak lain secara baik tanpa menyakitkan hati salah

satu pihak.

Lestari (2012) menyatakan bahwa komunikasi merupakan aspek yang

(39)

21

hubungan pasangan. Ia menjelaskan bahwa hasil dari semua diskusi dan

pengambilan keputusan di keluarga yang mencakup keuangan, anak, karir,

agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat dan kebutuhan

akan tergantung pada gaya, pola, dan ketrampilan berkomunikasi.

Keterampilan berkomunikasi dapat berupa kecermatan memilih kata

yang digunakan dalam menyampaikan gagasan pada pasangan (Lestari,

2012). Pemilihan kata yang kurang tepat dapat menimbulkan kesalahan

persepsi pada pasanganyang diajak berbicara. Lestari (2012) menyatakan

bahwa penekanan atau intonasi yang berbeda pada kata dapat menimbulkan

respon perasaan yang berbeda pada pasangan. Ia menjelaskan bahwa hal

tersebut berkaitan dengan kesediaan dan kemampuan mengungkapkan diri

(

self-disclosure

). Pengungkapan diri adalah menyampaikan informasi

pribadi (dapat berupa gagasan dan pemikiran, impian dan harapan, maupun

perasaan positif dan negatif) yang mendalam, atau segala hal yang

kemungkinan orang lain tidak mengerti bila tidak diberitahu (Lestari, 2012).

5.

Silang sengketa dan kompromi

Sengketa adalah hal yang tidak dapat dihindari dalam hidup

perkawinan. Maka, masing-

masing pihak perlu mempelajari “seni

bersengketa” secara baik. Misalnya, menghindari kata

-kata yang

menyinggung keluarga, keyakinan, kebiasaan, profesi, latar belakang sosial,

harga diri pihak lain, serta saling menyalahkan dan menyudutkan

pasangannya. “seni bersengketa” juga tentang menemukan cara

-cara efektif

(40)

22

6.

Menyisihkan waktu untuk berduaan

Menyisihkan waktu untuk berdua bukanlah hal yang mudah dengan

adanya kehadiran anak-anak. Pada pasangan dengan pernikahan yang awet,

ternyata mereka dengan sengaja mengatur dan menyisihkan waktu untuk

berdua tanpa hadirnya anak-anak. Sebaliknya, biasanya anak-anak pun tahu

diri untuk tidak mengganggu pada saat orang tua mereka berduaan.

Pemanfaatan waktu luang menjadi sarana untuk melakukan aktivitas

jeda (

time out

) dari rutinitas, baik rutinitas kerja maupun rutinitas pekerjaan

rumah tangga (Lestari, 2012). Rutinitas, terutama dengan tingkat stress yang

tinggi, biasanya akan menimbulkan kejenuhan yang dapat menyebabkan

berkembangnya emosi negatif (Lestari, 2012). Pemanfaatan waktu luang ini

berguna untuk memberikan energi dan semangat yang baru (Lestari,2012).

7.

Hubungan seks

Pada pasangan dengan pernikahan yang awet, ternyata hubungan seks

tetap dilakukan dan dipertahankan dengan kesadaran bahwa hal itu

merupakan salah satu bentuk komunikasi dan kebersamaan yang paling

intim. Beberapa pasangan menyatakan bahwa mandirinya anak-anak dan

telah keluarnya mereka dari rumah orang tua, maka hasrat alamiah ini justru

meningkat.

8.

Kemampuan untuk menghadapi berbagai kesulitan

Saat terjadi kesulitan dan masalah-masalah yang melanda rumah

(41)

23

saling berbagi duka. Menurut mereka, hal ini menyebabkan hubungan

mereka semakin erat.

Menurut Issacs, hal-hal di atas merupakan pedoman bagi pasangan

suami dalam mempertahankan dan membina perkawinan mereka. Upaya

sadar untuk merealisasikannya adalah hal yang paling penting (Bastman,

1995).

Prevention and Relationship Enhanchement Program

menjelaskan

bahwa terdapat empat hal dalam

great marriage

atau pernikahan yang

berlangsung lama dan mendalam. Empat hal tesebut yaitu :

1.

Berbagi pertemanan (

friendship

) dan cinta, dengan pelbagai cara.

Kegairahan bercinta memang merupakan hal yang bagus. Namun

pertemanan

akan

sama

manfaatnya

bahkan

lebih,

dalam

mempertahankan pernikahan. Pertemanan akan membuat cinta lebih

kokoh.

2.

Memperlakukan pasangan dengan baik dan hormat.

Banyak orang disaat sedang marah, kecewa, atau frustasi

melampiaskan amarahnya kepada orang terdekatnya. Penelitian

menunjukkan bahwa pasangan yang membenci satu sama lain akan

menghadapi problem serius. Dengan demikian, saat terjadi konflik

tidak harus bereaksi marah atau tidak menghargai pasangan. Apabila

(42)

24

3.

Kedua pasangan melakukan bagiannya masing-masing.

Pasangan perlu mengetahui dan melaksanakan bagiannya

masing-masing. Pasangan perlu berupaya untuk memiliki pikiran yang

konstruktif agar tidak menghalangi kerjasama.jika salah satu pihak

mengidentifikasi tingkah laku buruk pada pasangannya, maka orang

tersebut juga perlu mengidentifikasi perilaku buruk yang ada pada

dirinya sendiri. Salah satu yang perlu diingat yaitu bahwa satu bagian

dari mencintai dengan baik adalah menerima pasangan sebagaimana

adanya.

4.

Pasangan mempunyai komitmen untuk tetap bersama.

Pasangan yang mempunyai komitmen untuk jangka panjang akan

berpikir dan bertindak dalam rangka cinta yang panjang. Mereka

mempunyai komitmen, memiliki rasa permanen, dan bersasma-sama

memecahkan masalah yang dihadapi.

(Setiono, 2011)

Selain itu, Lestari (2012) menyatakan bahwa kunci bagi

kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian

diantara pasangan. Ia menjelaskan bahwa penyesuaian ini bersifat dinamis

dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah

interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

(43)

25

Glenn, 2003 (dalam Lestari, 2012) menyatakan bahwa terdapat tiga

indikator bagi proses penyesuaian, yaitu :

1.

Konflik

Glenn (2003) menjelaskan bahwa keberhasilan penyesuaian dalam

perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang terjadi.

Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara yang

konstruktif dalam melakukan resolusi konflik.

Wehr menjelaskan bahwa konflik merupakan suatu konsekuensi

dari komunikasi yang buruk, salah pengertian, salah perhitungan, dan

proses-proses lain yang tidak disadari. Konflik memang mengganggu,

namun gangguan tersebut dapat membawa keuntungan yang besar

yaitu dapat menjelaskan hal yang sebelumnya tersamar dan

terselubung (Chandra, 1992).

Pada umumnya, upaya untuk menyelesaikan konflik selalu

berakhir dengan 3 asumsi berikut :

a.

Kalah-Kalah

: setiap orang yang terlibat dalam konflik akan

kehilangan tuntutannya jika konflik terus berlanjut.

b.

Kalah-Menang

: salah satu pihak pasti kalah karena dia kehilangan

tuntutannya, dan pihak lain pasti menang. Indikasi selanjutnya adalah

jika pihak yang kalah kurang menerima keputusan dengan sepenuh hati,

maka di kemudian hari akan timbul konflik baru.

c.

Menang-Menang : dua pihak menang. Ini terjadi jika dua pihak

(44)

26

pihak. Jika dua pihak menerima keputusan dengan lapang dada, maka

akan mencegah timbulnya konflik yang bersumber dari masalah yang

sama. (Liliweri, 2005)

Selain itu, terdapat beberapa metode penyelesaian konflik,

diantaranya adalah :

a.

Persaingan (

I win, you lose

)

Persaingan merupakan keinginan memuaskan diri sendiri dan

membiarkan orang lain bersaing mendapatkan subjek konflik.

b.

Kolaborasi (

I win, you win

)

Kolaborasi yaitu dua pihak memutuskan saling mengutamakan, tanpa

merugikan masing-masing.

c.

Penolakan (

both lose all

)

Penolakan adalah dua pihak menarik diri atau menghindari subjek

konflik.

d.

Akomodasi (

I lose, you win

)

Akomodasi yaitu satu pihak mengalah dan membiarkan pihak lain

mendapat apa yang diinginkan.

e.

Kompromi (

both win some, lose some

)

Kompromi merupaka situasi dimana setiap pihak bersedia memberikan

sesuatu untuk menghindari konflik. (Liliweri, 2005)

Lestari (2012) menyatakan bahwa resolusi konflik yang konstruktif

dapat dilakukan dengan : (a) menentukan pokok permasalahan; (b)

(45)

27

muncul; (c) mendiskusikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah;

dan (d) menentukan dan menghargai peran masing-masing terhadap

penyelesaian masalah.

Sillars dan Weisberg (1987) menunjukkan bahwa konflik dapat

merupakan proses yang sangat kompleks dan beberapa konflik tidak dapat

diselesaikan bahkan dengan teknik komunikasi sebaik apapun. Sillars dan

Weisberg, 1987 (dalam Budyatna & Ganiem, 2011) menganjurkan hal-hal

berikut untuk dilakukan, yaitu :

a.

Memahami konflik yang tak terselesaikan

Memahami konflik bisa dilakukan dengan menganalisis perilaku

diri sendiri. Seperti: “Apa yang salah? Apakah satu atau lebih dari kita

menjadi bersaing? Apakah saya telah menggunakan cara yang tidak

tepat untuk situasi tersebut? Apakah kepentingan pribadi saya terlalu

besar?” Dengan me

nganalisis perilaku diri, individu menjadi lebih sadar

bagaimana dapat melanjutkan untuk meningkatkan kemampuan diri

dalam mengelola konflik dan lebih sadar bagaimana menangani

wilayah-wilayah yang tidak cocok dalam suatu hubungan.

b.

Memaafkan

Merupakan hal yang penting memaafkan pihak dengan siapa

seseorang terlibat konflik, terutama jika yang bersangkutan adalah

seseorang yang sebagian besar adalah bagian hidup kita. Perbuatan

memaafkan terdiri dari menghilangkan perasaan dendam dan keinginan

(46)

28

bagi rekonsiliasi, melalui mana seseorang dapat membangun kembali

kepercayaan dalam hubungan dan usaha menuju pemulihan.

Lulofs & Cahn (2000) menjelaskan bahwa perbuatan memaafkan

merupakan proses dimana seseorang meninggalkan perasaan dendam

dan keinginan untuk melakukan pembalasan terhadap orang lain.

Dengan beberapa kekecualian, perbuatan memaafkan tidak sama

dengan melupakan apa yang telah terjadi. Begitu pula perbuatan

memaafkan tidak sama dengan pemulihan dengan segera mengenai

kepercayaan. Perbuatan memaafkan secara umum dipahami sebagai

sebuah proses melalui mana manusia meneruskan dengan kehidupan

mereka setelah mengalami perasaan yang menyakitkan (Verderber

et

al

., 2007 dalam Budyatna & Ganiem, 2011).

2.

Komunikasi

Komunikasi berperan penting dalam segala spek kehidupan

perkawinan. Peran terpenting komunikasi adalah untuk membangun

kedekatan dan keintiman dengan pasangan. Bila kedekatan dan

keintiman pasangan dapat senantiasa terjaga, maka hal tersebut

menandakan bahwa proses penyesuaian keduanya telah berlangsung

dengan baik. (Lestari, 2012)

3.

Berbagi tugas rumah tangga

Dalam konsep perkawinan yang tradisional terdapat pembagian

tugas dan peran suami istri. Istri bertugas dalam hal urusan rumah

(47)

29

ini banyak pasangan yang keduanya sama-sama bekerja. Hal ini

semakin mengaburkan pembagian tugas tradisional tersebut.

Kenyataan terus meningkatnya kecenderungan pasangan yang

sama-sama bekerja membutuhkan keluwesan dalam pembagian tugas rumah

tangga. Selain itu, kesadaran tentang pentingnya peran ayah dan ibu

dalam perkembangan anak juga mendorong keterlibatan pasangan

untuk

bersama-sama

dalam

pengasuhan

anak.

Keberhasilan

membangun kebersamaan dalam pelaksanaan kewajiban keluarga

menjadi salah satu indikasi bagi keberhasilan penyesuaian.

Menurut Bramlett & Mosher, 2002 (dalam Papalia, 2008),

orang-orang yang taat beragama berkecenderungan lebih rendah mengalami

kegagalan pernikahan. Religiusitas mengandung arti ikatan yang harus

dipegang, dipatuhi dan diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan

manusia. Aktivitas beragama bukan hanya saat menjalankan perilaku ritual

(beribadah), tetapi juga saat melakukan aktivitas lain yang didorong oleh

kekuatan supranatural. Selain itu juga bukan hanya mengenai akitivitas

yang tampak oleh mata melainkan juga aktivitas yang tidak tampak dan

terjadi di dalam hati seseorang (Ancok dan Suroso, 2008 dalam Istiqomah,

2015).

Hawari, 1997 (dalam Istiqomah, 2015) menyatakan bahwa

perkawinan yang didasarkan pada ibadah dapat menjaga keselamatan

(48)

30

serta keluarga yang tidak mempunyai komitmen agama memiliki resiko

terjadinya perpisahan maupun perceraian.

Menurut Olson & Olson (2000), keyakinan spiritual dapat

mendasari nilai-nilai dan perilaku individu dan pasangan. Keyakinan

spiritual mengacu pada relasi yang terjalin setiap orang dengan Tuhan,

sesama, dan diri sendiri. Olson & Olson (2000) menyatakan bahwa meski

spiritualitas merupakan urusan pribadi, namun berbagi iman keagamaan

dengan pasangan dapat memperkuat pernikahan.

Mahoney et al, 1999 (dalam Olson & Olson, 2000) menemukan

bahwa pasangan yang mengintegrasikan agama dalam pernikahan mereka

memiliki konflik pernikahan yang lebih sedikit dan merasakan manfaat

yang lebih banyak dari pernikahan. Olson & Olson (2000) menyatakan

bahwa keyakinan yang dimiliki dapat membimbing tindakan sehari-hari

yang berkaitan dengan moralitas, integritas, relasi, cinta, keuangan dan

sebagainya. Selain itu, berbagi hubungan spiritual dapat menjadi dasar

untuk bertumbuhnya relasi dalam pernikahan, bahkan meski mereka

memiliki pandangan agama yang berbeda merka masih dapat memiliki

komitmen. Olson & Olson (2000) juga menyatakan bahwa iman dan doa

dapat menjadi senjata yang ampuh saat seseorang mengalami krisis

emosional.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

beberapa sikap dan perilaku yang dikembangkan untuk membuat

(49)

31

1.

Adanya alasan pernikahan

2.

Tujuan pernikahan

3.

Adanya komitmen

4.

Harapan-harapan realistis

5.

Keluwesan

6.

Komunikasi

7.

Silang sengketa dan kompromi

8.

Menyisihkan waktu untuk berduaan

9.

Hubungan seks

10.

Kemampuan menghadapi berbagai kesulitan.

11.

Berbagi pertemanan dan cinta dengan pelbagai cara

12.

Memperlakukan pasangan dengan baik dan hormat

13.

Kedua pasangan saling melakukan bagiannya masing-masing

14.

Penyesuaian diantara pasangan

15.

Religiusitas

C.

Kerangka Berpikir

Pernikahan merupakan dipersatukannya pria dan wanita menjadi

suami istri dengan adanya tujuan yang akan dicapai. Dalam pernikahan dapat

terjadi masalah. Masalah dan konflik dapat muncul dalam kehidupan

pernikahan. Hal tersebut ternyata dapat membuat dua orang yang telah bersatu

(50)

32

Perceraian tersebut terjadi dikarenakan berbagai konflik yang terjadi

dalam kehidupan rumah tangga. Ismail (2004) menyatakan terdapa tiga hal

yang menjadi penyebab masalah yang dihadapi oleh pasangan, yaitu :

pertama

,

tingkah laku atau perbuatan dari masing-masing pasangan.

Kedua

, kecurangan

atau ketidaksetiaan pasangan dan

ketiga

, menghabiskan banyak waktu di luar

rumah sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk berinteraksi dengan

keluarga.

Meski banyak perceraian yang terjadi, namun ternyata masih ada

pasangan yang dapat mempertahankan pernikahan mereka hingga memasuki

masa akhir perkawinan. Pernikahan tidak lepas dari konflik. Banyak pasangan

yang tidak dapat mempertahankan perkawinan mereka yang disebabkan adanya

masalah yang terjadi. Namun juga masih ada pasangan yang dapat

mempertahankan komitmen mereka untuk tetap hidup bersama dalam ikatan

perkawinan hingga 40 tahun lebih. Pasangan tersebut mampu

mempertahankan kebersamaan dan mampu melewati masalah yang ada.

Pasangan tersebut memiliki faktor-faktor yang dapat membuat mereka tetap

hidup bersama meski mengalami berbagai masalah dan kesulitan dalam

(51)

33

Dari penjelasan diatas, dapat dibuat alur berpikir sebagai berikut.

Pernikahan

Konflik/ Masalah

Perceraian

Tetap hidup

bersama

Faktor-faktor untuk tetap

hidup bersama hingga 40

tahun lebih

Gambar

Tabel 1 :  Panduan Pertanyaan ...............................................................
Tabel 1 Panduan Pertanyaan
Tabel 2 Keterangan Koding
Table. 3.1 (Pasangan 1)
+3

Referensi

Dokumen terkait

• Produktivitas total pada periode 2011 m engalami ken aikan, untuk penggunaan tenag a kerja dan bah an baku mengalami k enaikan s ebesar 0,12%, sement ara penggunaan energi

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian pembuatan Robot Pemadam Api menggunakan metode Fuzzy Logic adalah penerapan Fuzzy Logic pada Sensor Ultrasonik telah

Phlebitis post infus juga sering di laporkan kejadiannya sebagai akibat pemasangan infus. Phlebitis post infus adalah peradangan pada vena yang didapatkan 48 – 96 jam

Lebih daripada itu, dalam Renstra ini telah termuat visi, misi, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan dalam bidang perpustakaan dan kearsipan yang nantinya akan

dengan rumusan masalah yang telah dibuat yaitu ‘Bagaimana Pesan moral Dalam Film Dilan 1990’ menggunakan analisis semiotik yang mengacu pada. teori Roland

Hasil : Penelitian menunjukan bahwa untuk antropometri tidak ada perkembangan status gizi dari ke 3 responden sehingga status gizinya masih sama yaitu normal, untuk

mengamati aktivitas peserta didik dan guru pada proses pembelajaran.. Melalui lembar observasi ini diharapkan dapat

Masih banyak orang yang memandang sebelah mata komik dan kartun, banyak yang kesulitan mencari dan mendapatkan informasi serta koleksi merchandise tokoh-tokoh kartun tersebut,