• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH CIMB NIAGA AUTO FINANCE CABANG DEPOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH CIMB NIAGA AUTO FINANCE CABANG DEPOK"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMMAD NABIL HAFIZHURRAHMAN NIM. 11160490000067

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H./2021 M.

(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENYELESAIAN SENGKETA PADA PERJANJIAN

PEMBIAYAAN MURABAHAH CIMB NIAGA

AUTO FINANCE CABANG DEPOK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMMAD NABIL HAFIZHURRAHMAN NIM. 11160490000067

Pembimbing:

MUHAMMAD ISHAR HELMI, S.H., M.H. NIDN. 9920112859

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H./2021 M.

(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

Skripsi yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Pada Perjanjian Pembiayaan Murabahah CIMB Niaga Auto Finance Cabang Depok” yang ditulis oleh Muhammad Nabil Hafizhurrahman, NIM. 11160490000067, telah diujikan dalam sidang skripsi pada Kamis, 19 Agustus 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Agustus 2021 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. NIP. 197608072003 12 1 001

Panitia Sidang

Ketua : A.M. Hasan Ali, M.A.

NIP. 19751201 200501 1 005 ( )

Sekretaris : Dr. Abdurrauf, Lc. M.A.

NIP. 19731215200501 1 005 ( )

Pembimbing : Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H.

NIDN. 9920112859 ( )

Penguji I : Ah. Azharudin Lathif, M.Ag., M.H.

NIP. 197407252001121001 ( )

Penguji II : Dra. Nurul Handayani, M.Pd.

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Muhammad Nabil Hafizhurrahman

NIM : 11160490000067

Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah Fakultas : Syariah dan Hukum Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Referensi yang saya gunakan dalam skripsi ini sudah saya cantumkan sumbernya berdasarkan Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini.

4. Jika dikemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya karya sata, dan telah melakukan pembuktian dan dinyatakan telah melakukan pelanggaran atas pernyataan ini. Maka, saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Depok, 25 Agustus 2021 Peneliti

Muhammad Nabil Hafizhurrahman NIM. 11160490000067

(5)

v

ABSTRAK

Muhammad Nabil Hafizhurrahman. NIM 11160490000067. PENYELESAIAN SENGKETA PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH CIMB NIAGA AUTO FINANCE CABANG DEPOK. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1443 H./2021 M.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan penyelesaian sengketa dan akibat hukum atas sengketa perjanjian pembiayaan murabahah antara Konsumen AB dan CIMB Niaga Auto Finance (CNAF) Cabang Depok.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan kasus dan perundang-undangan. Penelitian ini menganalisis pelaksanaan dan akibat hukum daripada penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan murabahah dalam KSUFP CNAF Cabang Depok antara para pihak berdasarkan peraturan undangan yang berlaku. Bahan hukum primer bersumber dari peraturan perundang-undangan dan klausula perjanjian pembiayaan murabahah CNAF Cabang Depok. Bahan hukum sekunder bersumber dari wawancara kepada narasumber. Data-data yang diperoleh kemudian dibahas dan dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan.

Kesimpulan penelitian ini yaitu, Konsumen AB menggugat CNAF Cabang Depok ke Pengadilan Agama Depok (PA Depok) atas sengketa wanprestasi. Namun, Majelis Hakim memutuskan menolak gugatan tanpa pemeriksaan disebabkan bukan kompetensi relatif bagi PA Depok berdasarkan Pasal 18 KSUFP CNAF Cabang Depok. Tanpa melalui perantara CNAF Cabang Depok, Konsumen AB berkomunikasi langsung kepada dealer untuk menyelesaikan penyerahan objek perjanjian. Akibat hukum yang terjadi, perjanjian tersebut terbayarkan sehingga menimbulkan keadaan hapusnya perjanjian berdasarkan Pasal 1381 dan 1382 KUHPerdata.

Kata Kunci : Penyelesaian Sengketa, Perjanjian Pembiayaan Murabahah Pembimbing : Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita senantiasa mendapatkan kelancaran dalam beraktivitas. Shalawat dan salam senantiasa selalu terpanjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menerangi ilmu pengetahuan bagi umatnya. Sehingga kita dapat menikmati perkembangan ilmu pengetahuan yang berakhlakul karimah.

Skripsi yang berjudul “Penyelesaian Sengketa pada Perjanjian Pembiayaan Murabahah CIMB Niaga Auto Finance Cabang Depok” merupakan tugas akhir sebagai syarat meraih gelar akademik Sarjana Hukum (S.H.) di Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidauatullah Jakarta.

Setiap hasil dari sebuah proses tidak luput dari para pihak yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan. Peneliti menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. yang selalu menginspirasi dan memotivasi seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum untuk belajar dengan giat dan aktif dalam melakukan berbagai pengalaman yang dapat menunjang keterampilan.

2. Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Bapak AM. Hasan Ali, M.A. dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Bapak Dr. Abdurrauf, Lc, M.A. yang selalu menjadi tauladan Peneliti dalam berkuliah di Program Studi Hukum Ekonomi Syariah.

3. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H. yang selalu memotivasi dan membimbing Peneliti dalam menyelesaikan skripsi. 4. Dosen Penguji yaitu Bapak Ah. Azharudin Lathif, M.Ag., M.H. dan Ibu Dra.

Nurul Handayani, M.Pd., yang telah memberikan semangat dan masukan dalam pelaksanaan ujian skripsi.

(7)

vii

5. Orang Tua Peneliti yaitu Bapak Dr. Asadurrahman dan Ibu Laelatin Nairoh, serta dua kakak Peneliti yaitu Faqih Zuhdi Rahman, S.H. dan Nasya Mutia Rahman, S.Psi. Semoga terkabulkan setiap cita-cita dan senantiasa diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat.

6. Narasumber, Konsumen AB (inisial) yang sangat mendukung penyelesaian skripsi.

7. Keluarga Besar PMII Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum yang terdiri dari IKA PMII Komfaksyahum, Para Demisioner dan Pengurus Komisariat, Keluarga Besar Mualamat (KBM-PMII) dan seluruh Kader/Sahabat-sahabat/Kakak dan Adik-Adik PMII Komfaksyahum dari masa ke masa, yang selalu menjadi penyemangat bagi Peneliti dalam mengisi masa-masa studi saat di Fakultas Syariah dan Hukum.

8. Civitas academica Prodi. Hukum Ekonomi Syariah Tahun Angkatan 2016 yang

menjadi teman berproses dan diskusi akademik sejak semester satu.

9. Setiap pihak yang belum tersebutkan nama satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat dan kasih saying, yang telah berperan banyak dalam perwujudan skripsi ini.

Peneliti memanjatkan doa kepada Allah SWT dan memohon syafaat Nabi Muhammad SAW atas shalawat yang selalu kita panjatkan, agar kita senantiasa selalu berada dalam kebaikan, terkabul setiap rencana dan cita-cita, menjadi pelita ilmu pengetahuan bagi bangsa dan negara, dan bahagia dunia dan akhirat.

Demikian skripsi ini Peneliti sajikan bagi pembaca. Semoga pembahasan di dalamnya dapat bermanfaat dan memberikan solusi disetiap problema kehidupan.

Depok, 25 Agustus 2021

(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 4

1. Identifikasi Masalah ... 4 2. Pembatasan Masalah ... 4 3. Perumusan Masalah ... 5 C. Tujuan Penelitian ... 5 D. Manfaat Penelitian ... 5 E. Metode Penelitian ... 6 1. Jenis Penelitian ... 6 2. Pendekatan Penelitian ... 6

3. Sumber Bahan Hukum Penelitian ... 6

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 7

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ... 7

(9)

ix

7. Sistematika Penelitian ... 8

BAB II PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAHAH ... 9 A. Kerangka Konseptual... 9 1. Penyelesaian Sengketa ... 9 2. Perjanjian ... 9 3. Murabahah ... 9 B. Kerangka Teori ... 9 1. Penyelesaian Sengketa ... 9 2. Teori Perjanjian... 17

3. Teori Pembiayaan Murabahah ... 33

C. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 42

BAB III PEMBIAYAAN MURABAHAH DI CIMB NIAGA AUTO FINANCE CABANG DEPOK ... 54

A. Profil CIMB Niaga Auto Finance Cabang Depok ... 54

B. Produk Pembiayaan Murabahah ... 54

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH DI CIMB NIAGA AUTO FINANCE CABANG DEPOK ... 69

A. Proses Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembiayaan Murabahah Antara Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok ... 69

B. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok Tentang Kompetensi Relatif ... 82

C. Akibat Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembiayaan Murabahah Antara Konsumen AB Dan CNAF Cabang Depok ... 84

(10)

x

BAB V PENUTUP... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 90

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjanjian merupakan persetujuan berupa lisan atau tulisan, yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat menaati objek perjanjian. Perjanjian merupakan peristiwa hukum yang melahirkan ikatan kontraktual berupa hak dan kewajiban. Kedua belah pihak bersepakat untuk saling melakukan sesuatu (kewajiban) dan menerima sebuah tindakan yang pantas untuk diterima (hak).

KUHPerdata menyebutkan perjanjian, dalam Pasal 1313 berbunyi, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Hukum juga mengenal istilah lain dalam perjanjian yaitu perikatan, kontrak dan akad.

Industri Keuangan Non-Bank Syariah (IKNB Syariah) lazim menggunakan istilah akad. IKNB Syariah adalah bidang kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas di industri asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, yang dalam pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Karakteristik khusus IKNB Syariah dibandingkan dengan IKNB Konvensional yaitu terletak pada produk dan mekanisme penerapan yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah, yaitu al-qur’an dan hadits.1

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa, lembaga pembiayaan yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah dengan sebutan perusahaan syariah. Perusahaan syariah adalah perusahaan pembiayaan syariah dan unit usaha syariah. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan yang

1 Anonim, “IKNB Syariah,” Otoritas Jasa Keuangan, diakses April 13, 2020,

(12)

seluruh kegiatan usahanya melakukan pembiayaan syariah. Sedangkan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Perusahaan Pembiayaan yang melaksanakan Pembiayaan Syariah dan/atau berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan Pembiayaan Syariah. Berdasarkan data dari Direktorat IKNB Syariah OJK, terdapat 34 perusahaan pembiayaan syariah dan unit usaha syariah yang tercatat pada Bulan Desember 2019.2 Ini menandakan industri keuangan mulai melirik praktik pembiayaan dengan prinsip syariah sebagai pasar potensial dan jalan kemaslahatan perekonomian umat.

Salah satu perusahaan yang tercatat namanya dalam data tersebut yaitu PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF). CNAF memiliki unit usaha syariah yang berkantor pusat di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam praktiknya, CNAF menawarkan produk syariah dalam pembiayaan kepada nasabah yang diwujudkan pada Perjanian Pembiayaan Murabahah.

Perjanjian Pembiayaan Murabahah adalah perjanjian atau akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya (biaya pokok penjualan) bagi pembeli dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih sebagai laba.3 Dalam sebuah perjanjian, apabila salah satu diantara para pihak melakukan wanprestasi. Maka, apabila terdapat sengketa di dalamnya, penyelesaian sengketa dilakukan sebagaimana tercantum berdasarkan pada klausula khusus yang membahas tentang penyelesaian sengketa.

Pasal 49 Huruf (i) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, menegaskan bahwasanya, “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara

2 Direktorat IKNB Syariah, “Direktori IKNB Syariah - Desember 2019” (Otoritas Jasa Keuangan, 2019). 3 Direktorat Statistik dan Infromasi IKNB, “Statistik Lembaga Pembiayaan 2017” (Otoritas Jasa

(13)

orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.” Oleh karena itu, kewenangan penyelesaian sengketa dalam bidang ekonomi syariah diserahkan kepada Pengadilan Agama. Sudah kewajiban, baik IKNB Syariah secara umum, maupun perusahaan pembiayaan syariah secara khusus, mengikuti ketentuan yang telah menjadi aturan nasional. Namun, Peneliti mendapatkan masalah hukum. Bahwa, terjadi fakta yang tidak sesuai dengan norma hukum. Konsumen AB (nama inisial) mengajukan gugatan wanprestasi ekonomi syariah terhadap CNAF Cabang Depok melalui Pengadilan Agama Depok. Setelah melewati masa persidangan, Pengadilan Agama Depok memutuskan untuk menolak gugatan sebab alasan bukan kompetensi relatif berdasarkan Klausula Penyelesaian Sengkata Perjanjian Pembiayaan Murabahah CNAF Cabang Depok yang tercantum dalam kontrak.

Dokumen yang berjudul “Ketentuan Syarat Umum Fasilitas Pembiayaan (KSUFP)” merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akad Pembiayaan Murabahah yang dibuat antara konsumen dan CNAF. Bahwa, pada klausula penyelesaian sengketa KSUFP CNAF bertolak belakang dengan Pasal 49 Huruf (i) Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berdasarkan fakta tersebut, maka apa yang dilakukan oleh CNAF Cabang Depok dalam KSUFP diduga tidak sesuai dengan peraturan perUndang Undangan yang mengaturnya. Dengan demikian, peristiwa tersebut diduga telah mendatangkan kerancuan, tidak memiliki kepastian hukum dan perlu dianalisis lebih dalam.

Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah di atas, maka Peneliti telah melakukan penelitian berjudul "Penyelesaian Sengketa pada Perjanjian Pembiayaan Murabahah CIMB Niaga Auto Finance Cabang Depok”.

(14)

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka Peneliti telah mengidentifikasi masalah dalam penelitian, yaitu:

a. Ketidak sesuaian anatomi dan muatan materi kontrak baku pada perjanjian pembiayaan murabahah CNAF Cabang Depok dengan ketentuan peraturan perUndang Undangan yang mengatur Perjanjian Pembiayaan Murabahah.

b. Ketentuan hukum dalam klausula peneyelesaian sengketa KSUFP CNAF Cabang Depok.

c. Proses penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan murabahah CNAF Cabang Depok yang ditempuh oleh para pihak.

d. Akibat hukum terhadap penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan murabahah antara Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka Peneliti wajib membatasi pembahasan penelitian ini agar sesuai dengan permasalahan yang ditentukan. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini berfokus kepada:

a. Ketentuan hukum dalam klausula peneyelesaian sengketa KSUFP CNAF Cabang Depok.

b. Proses penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan murabahah CNAF Cabang Depok berdasarkan kasus di atas.

c. Akibat hukum terhadap penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan murabhah antara Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok.

(15)

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka Peneliti mengajukan rumusan masalah yang akan diteliti. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan murabahah antara Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok? b. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok

tentang kompetensi relatif?

c. Bagaimana akibat hukum terhadap penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan murabahah antara Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Menganalisis pelaksanaan penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan

murabahah antara Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok.

2. Menganalisis pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok tentang kompetensi relatif.

3. Menganalisis akibat hukum yang terjadi terhadap penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan murabahah antara Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok

D. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Aspek teoertis, penelitian ini dapat menjadi referensi atas permasalahan yang serupa di kemudian waktu.

2. Aspek praktis, penelitian dapat menjadi sumber evaluasi terhadap penerapan pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Murabahah baik di CNAF

(16)

atau seluruh perusahaan pembiayaan syariah lainnya agar sesuai dengan ketentuan hukum positif di Indonesia.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini meninjau pelaksanaan dan akibat hukum daripada penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan murabahah dalam KSUFP CNAF Cabang Depok berdasarkan peraturan perUndang Undangan yang berlaku.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan kasus dan pendekatan perUndang Undangan. Pendekatan kasus yang dimaksud yaitu, penelitian ini meninjau klausula penyelesaian sengketa yang menjadi permasalahan terhadap praktik penyelesaian sengketa yang dilakukan antara Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok. Pendekatan perUndang Undangan yang dimaksud yaitu, penelitian ini meninjau kasus diatas berdasarkan ketentuan penyelesaian sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Sumber Bahan Hukum Penelitian

Sumber bahan hukum merupakan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab masalah penelitian dengan. Bahan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu berupa dokumen Akad Pembiayaan Murabahah Nomor 421301800XXX dan KSUFP CNAF Cabang Depok, peraturan perUndang Undangan terkait, dan hasil wawancara dengan responden. Bahan hukum berasal dari Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok. Jika diklasifikasikan berdasarkan kategori primer dan sekunder, maka dapat disusun seperti di bawah ini:

a. Primer

(17)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10 Tahun 2019 6) Fatwa-Fatwa DSN-MUI

7) Akad Pembiayaan Murabahah Nomor 421301800XXX

8) Ketentuan Syarat Umum Fasilitas Pembiayaan (KSUFP) CNAF Cabang Depok

b. Sekunder

Wawancara dengan responden yaitu Konsumen AB. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan langkah-langkah untuk memperoleh bahan hukum penelitian. Data penelitian diperoleh dari observasi terhadap dokumen dan wawancara dengan responden.

Dokumen yang dikumpulkan yaitu berupa peraturan perUndang Undangan dan KSUFP CNAF Cabang Depok. Sedangan teknik wawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke responden atau narasumber yang dapat menjadikan referensi fakta dan data penelitian.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dokumen kontrak dari perjanjian pembiayaan murabahah akan dianalisis kesesuaiannya dengan paeraturan perUndang Undangan yang berlaku, dengan langkah bedah pasal per pasal. Sedangkan, data audio wawancara akan dikonversi menjadi transkip berupa teks dialog wawancara antara Peneliti dengan narasumber.

(18)

Analisis data menjelaskan model analisis atau perspektif tertentu yang dipakai dalam mendeskripsikan dan menginterpretasikan temuan penelitian. Metode analisis yang Peneliti gunakan berupa studi pustaka dan analisis hasil wawancara.

6. Teknik Penelitian

Teknik Penelitian dalam penelitian ini berpedoman kepada buku “Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017”.

7. Sistematika Penelitian

Penelitian ini mengandung lima BAB. BAB I berisi tentang pendahuluan. Dalam BAB I Pendahuluan, akan membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, dan metode penelitian.

BAB selanjutnya yaitu BAB II, berisi tentang kajian pustaka. Dalam BAB ini membahas tentang teori-teori ilmiah yang mendukung analisis penyelesaian masalah.

BAB III berisi tentang profil dari objek penelitian. Objek penelitian berisi tentang profil dari Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok.

BAB IV berisi tentang pembahasan penelitian sebagai tindak lanjut dari rumusan masalah dalam penelitian.

BAB V berisi kesimpulan dan saran untuk menjawab secara lugas permasalahan yang diajukan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian. Saran berfungsi sebagai rekomendasi-rekomendasi penelitian dengan tema yang sama.

(19)

9

BAB II

PENYELESAIAN SENGKETA

PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAHAH

A. Kerangka Konseptual

1. Penyelesaian Sengketa

Apabila terdapat para pihak yang bersengketa. Maka, hukum positif Indonesia menyebutkan kekuasaan kehakiman sebagai prasarana penyelesaian sengketa terbagi ke dalam beberapa kewenangan absolut, yaitu: lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penyelesaian sengketa yang relevan dalam Penelitian skripsi ini yaitu pada Peradilan Agama. Selain itu, hukum positif di Indonesia juga mengatur tentang alternatif penyelesaian sengketa.

2. Perjanjian

Perjanjian yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu perjanjian pembiayaan murabahah yang terdapat dalam transaksi produk pembiayaan murabahah antara Konsumen AB dan CNAF Cabang Depok.

3. Murabahah

Murabahah yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu Perjanjian Pembiayaan Murabahah Nomor 421301800XXX dan KSUFP CNAF Cabang Depok.

B. Kerangka Teori

1. Penyelesaian Sengketa

Sengketa adalah pertentangan, perselisihan, atau percekcokan yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak lainya yang berkaitan dengan

(20)

hak yang bernilai, baik berupa uang atau benda. Sengketa juga dapat diartikan sebagai situasi dimana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gagal mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka. Sedangkan, sengketa ekonomi syariah merupakan ranah sengketa dalam kegiatan bisnis atau perdagangan. Sengketa ekonomi syariah dapat terjadi sebelum maupun pasca perjanjian disepakati, misalnya mengenai objek perjanjian, harga barang, dan isi perjanjian (akad). Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa yaitu: konflik data (data conflicts), konflik kepentingan

(Interest Conflicts), konflik hubungan (relationship conflicts), konflik

struktur (structural conflicts), dan konflik nilai (value conflicts).

Sengketa ekonomi syariah biasanya terjadi apabila ada diantara para pihak yang melakukan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum atas perjanjian yang disepakatinya. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadi sengketa ekonomi syariah antara lain:

a. Proses terbentuknya akad disebabkan pada ketidaksepahaman dalam proses bisnis karena terjebak pada orientasi keuntungan, adanya karakter coba-coba atau karena adanya ketidakmampuan mengenali mitra bisnis, dan mungkin tidak adanya legal cover.

b. Akad atau kontrak sulit untuk dilaksanakan karena:

1) Para pihak kurang cermat/kurang hati-hati ketika melakukan perundingan pendahuluan;

2) Tidak mempunyai keahlian dalam mengonstruksikan norma-norma akad yang pasti. adil, dan efisien;

3) Kurang mampu mencermati risiko yang potensial akan terjadi atau secara sadar membiarkan potensi itu akan terjadi, dan; 4) Tidak jujur atau tidak amanah.

(21)

Kemudian dari sudut pandang isi kontrak, beberapa hal yang dapat menyebabkan sengketa antara lain, yaitu:

a. Salah satu pihak menemukan fakta bahwa syarat-syaratnya suatu akad, baik syarat subjektif maupun objektif yang ternyata tidak terpenuhi sehingga menuntut pembatalan akad;

b. Akad diputus oleh satu pihak tanpa persetujuan pihak lain dan perbedaan menafsirkan isi akad oleh para pihak sehingga menimbulkan sengketa hukum;

c. Karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan;

d. Terjadinya perbuatan melawan hukum (onrechmatig daad);

e. Adanya risiko yang tidak terduga pada saat pembuatan akad (force

majeur/overmacht).

Advokasi sengketa ekonomi syariah dapat melalui beberapa jenis penyelesaian sengketa. Adapun jenis-jenis penyelesaian sengketa yaitu secara non-litigasi dan litigasi. Sedangkan penyelesaian secara non-litigasi atau yang biasa dikenal dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah yaitu tata cara penyelesaian sengketa dengan tidak menggunakan lembaga peradilan, namun memilih jalan penyelesaian dengan mekanisme arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Penyelesaian secara litigasi adalah penyelesaian melalui jalur peradilan.4

Berdasarkan teori yang Peneliti sajikan, sengketa ekonomi syariah terjadi disebabkan oleh faktor wanprestasi dengan beberapa motif yaitu ketidaksepahaman penafsiran isi kontrak, kurang teliti membaca kontrak, kurang mengetahui ketentuan peraturan perundang-undangan yang

4 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Penemuan Dan Kaidah Hukum (Jakarta:

(22)

mengatur tentang kontrak ekonomi syariah, dan tidak terpenuhinya syarat subjektif dan objektif perjanjian.

Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman (yudicial power) di Indonesia. Lingkungan peradilan agama yaitu terdiri dari Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Kewenangan absolut peradilan agama di atur sedemikian rupa dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah membawa sejumlah perubahan mendasar bagi lingkungan peradilan agama, terutama menyangkut kewenangan atau kompetensinya. Bahwa sebelumnya, berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, kewenangan peradilan agama hanya meliputi perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kewenangan lingkungan peradilan agama selain meliputi perkara-perkara dalam bidang yang disebutkan di atas, maka ditambah lagi dengan perkara dalam bidang zakat. Infak, dan bidang ekonomi syariah. Ada tiga terobosan lainnya disebabkan terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yaitu dihapuskannya pilihan hukum (hak opsi) dalam sengketa kewarisan, dibolehkannya lingkungan peradilan agama memutus sengketa hak milik, dan diberlakukannya asas penundukan diri terhadap hukum Islam sebagai salah satu dasar kewenangan lingkungan peradilan agama.5

Berdasarkan teori di atas, pengadilan agama memiliki kewenangan absolut dalam memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah. Hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan

5 Cik Basri, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah

(23)

kedua atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Perjalanan sejarah penyelesaian sengketa bank syariah menyebutkan, setidaknya ada tiga lembaga yang mempunyai kompetensi untuk menanganinya yaitu arbitrase, peradilan umum dan peradilan agama. Dua lembaga terakhir merupakan lembaga peradilan yang seringkali disebut dengan litigasi, sedangkan satu lembaga lain adalah proses di luar pengadilan (non litigasi). Dalam ajaran Islam terdapat tiga institusi (sistem penyelesaian sengketa atau perselisihan) yang disediakan dalam rangka penyelesaian sengketa/perselisihan: damai (alshulh), arbitrase (altahkim) dan peradilan (al-qadha). Dengan merujuk pada QS al-Nisa (4):128 dan QS al-Hujarat (49): 9.

Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 juga mengalami perubahan. Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Undang-Undang Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, pada dasarnya adalah untuk menyesuaikan terhadap Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 menentukan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan memutus sengketa tentang ekonomi Syariah. Penjelasan Pasal 49 menyebutkan rincian bidang-bidang yang termasuk dalam lingkup ekonomi Syariah adalah 11 bidang. Adapun yang dimaksud dengan Ekonomi Syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi: bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah,

(24)

reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, penggadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah. 6

Berdasarkan teori di atas, kewenangan pengadilan agama secara spesifik dalam memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah sebagai Undang Undang menentukan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, namun demikian Undang-Undang Perbankan Syariah secara eksepsional memberikan kewenangan lain melalui perjanjian, dimana sengketa perbankan syariah dapat ditangani dengan musyawarah, mediasi perbankan, badan arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lain serta melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kasus sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama, kecuali para pihak sepakat diselesaikan melalui lembaga arbitrase.7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama memperbaharui sistem peradilan di Indonesia dengan menyebutkan secara khusus bahwa sengketa ekonomi syariah ditangani oleh Pengadilan Agama.

Beberapa peraturan atau yurisprudensi yang juga mempengaruhi kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah antara lain, yaitu:

6 Diana Rahmi, “Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengadili Sengketa Ekonomi

Syariah,” Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN Antasari 13, 2 (2013).

7 Ahmad Khotibul Umam, “Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia,” Jurnal Pendidikan dan Studi Islam Risalah, Fakultas Agama Islam, Universitas Wiralodra Indramayu 1 (2016), hal. 2.

(25)

a. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Peraturan tersebut ditujukan untuk Hakim Pengadilan Agama. Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari'ah dalam Kompilsai Hukum Ekonomi Syariah.8

b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai

Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi polemik terkait kewenangan menyelesaikan sengketa perbankan syariah, karena di dalamnya ada dualisme lembaga litigasi yang ditunjuk yaitu dalam lingkungan Peradilan Agama (Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah dan lingkungan Peradilan Negeri (Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah).

Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 yang diucapkan pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013, perihal uji materil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, maka tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa tersebut. Amar Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(26)

Pasca Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 memberikan pengaruh terhadap eksistensi Pengadilan Agama dalam memperkokoh kewenangan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara litigasi. Pasca Putusan MK tersebut telah berpengaruh terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non-litigasi dengan dikembalikan ke penyelesaian sengketa perdata berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa yang meliputi konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.9 Peradilan Agama adalah satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa Perbankan syariah dan ekonomi syariah umunya serta tidak ada lagi dualisme kewenangan absolut lembaga peradilan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.10

Berdasarkan teori di atas, kewenangan Pengadilan Agama diperkuat dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Itikad baik dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah perlu diperhatikan, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yakni: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan

9 Dendi Abdurrosyid, “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Dalam

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah,” Jurnal Nestor Magister Hukum, Universitas Tanjungpura 4 (2015).

10 Abdurrahman Rahim, “Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

93/PUU-X/2012 (Studi Kewenangan Absolut Peradilan Agama),” Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia (2013).

(27)

undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mebuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang Undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”11

Berdasarkan seluruh teori penyelesaian sengketa di atas, Peneliti menyimpulkan bahwasanya setiap perjanjian harus mengikuti peraturan perundang-undangan. Dalam bagian penyelesaian sengketa ekonomi syariah, maka berlaku tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah berdasarkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengenai Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Teori Perjanjian

Msyarakat awam kurang perhatian terhadap istilah-istilah perjanjian yang ada Indonesia. Padahal dalam pendekatan akademik, perjanjian, perikatan, kontrak dan sejenisnya memiliki pengertian yang berbeda-beda. Perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa Belanda overeenkomst yaitu, suatu peristiwa di mana dua orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu, berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Perikatan berasal dari bahasa Belanda verbintenis, yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya hak dan kewajiban. Satu pihak menuntut sesuatu, dan di pihak lain berkewajiban untuk memenuhi

(28)

tuntutan tersebut. Menurut Subekti, perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai harta kekayaan benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya itu diwajibkan memenuhi tuntutan itu.12

Hukum perjanjian di Indonesia mengenal beragam term yang merujuk ke dalam similar makna perjanjian. Ada yang menyebutnya dengan istilah perjanjian, perikatan, atau kontrak.

Term perikatan mepunyai arti yang lebih luas dari isitlah “Perjanjian”, sebab dalam buku III KUHPerdata diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu perjanjian.13

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur: perbuatan, orang, dan perikatan. Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan.

Tentang orang, Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

Tentang perikatan, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya

12 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal 10-11.

(29)

sendiri.14 Istilah Perikatan dalam bahasa Belanda, yaitu Verbintenis atau juga dikenal dengan istilah Binding (bahasa Inggris), Obligation (bahasa Perancis) dan Obligatio (Latin), perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau beberapa orang atau pihak, yang menjadi dasar dimana pihak yang satu (kreditor) berhak atas suatu hal (barang) dari pihak lain dan pihak lain (debitor) berkewajiban menyerahkannya kepada kepada kreditor. Hubungan para pihak dalam perikatan ini adalah suatu hubungan hukum yang diatur oleh hukum dan hak kreditor disini di jamin atau dilindungi hukum apabila debitor tidak memenuhi tuntutan kreditor secara sukarela maka kreditor dapat menuntutnya ke pengadilan.15

Berdasarkan teori di atas, definisi perjanjian di Indonesia mengacu kepada akar bahasa dari negara Belanda, Perancis, dan Latin (Yunani) yang menjelaskan bahwa perjanjian merupakan terikatnya hak dan kewajiban antara dua pihak atau lebih terhadap beberapa objek perjanjian yg disepakati.

Unsur-unsur yang dimiliki oleh suatu perjanjian terdiri atas adanya hubungan hukum, kekayaan, pihak-pihak, dan prestasi. Unsur-unsur tersebut mempertegas bahwa hukum melekatkan hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak yang lainnya. Apabila ada salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya maka hukum dapat memaksa agar kewajiban itu dipenuhi. Dalam menilai suatu hubungan hukum, maka terdapat kriteria tertentu. Selain konsekuensi materil berupa uang, ada juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang, yaitu rasa keadilan. Hubungan hukum merupakan perikatan yang memuat nilai uang dan nilai

14 Lista Kuspriatni, “Hukum Perjanjian: Aspek Hukum Dalam Ekonomi” (Universitas Gunadarma), hal.

1.

15 Tim Penyusun Modul, Modul Hukum Perdata Materiil (Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan

(30)

keadilan.16 Menurut teori tersebut, perjanjian mengandung nilai materil berupa uang dan moril berupa keadilan.

Kontrak disinonimkan dengan perjanjian atau persetujuan. Kontrak melahirkan hubungan hukum bagi para pihak berupa pengikatan, lahir hak dan kewajiban, mengenai sesuatu hal yang dapat dinilai atau berharga dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan.17 Hukum kontrak adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan definisi dari hukum kontrak yakni, sebuah aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan dalam penyusunan sebuah kontrak. Kontrak yang telah disusun oleh para pihak akan dilaksanakan juga oleh mereka sendiri.18

Suatu kontrak adalah kesepakatan yang dapat dilaksanakan oleh pengadilan berdasarkan hukum yang berlaku, kepatutan dan kelayakan. Suatu definisi yang sederhana dan diakui secara luas mengenai kontrak dibuat melalui pernyataan kembali mengenai kontrak, yaitu, kontrak adalah suatu janji atau seperangkat janji–janji dan akibat pengingkaran atau pelanggaran atasnya hukum memberikan pemulihan atau menetapkan kewajiban bagi yang ingkar janji disertai sanksi untuk pelaksanaannya.19

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.20

Berdasarkan perbandingan definisi di atas, maka Peneliti menyimpulkan bahwa secara eksplisit, hukum perjanjian diatur dalam

16 I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 2-3.

17 Anonim, “Kontrak Menurut Para Ahli”, https://litigasi.co.id/hukum-perdata/20/kontrak-menurut-ahli. 18 Anonim, “Istilah Dan Pengertian Hukum Kontrak”, ocw.usu.ac.id.

19 Anonim, “Hukum Kontrak”, hal. 9.

(31)

Pasal 1313 KUHPerdata. Perjanjian merupakan sebuah tindakan bagi dua orang atau lebih yang menimbulkan perikatan. Tindakan yang dimaksud adalah perbuatan hukum. Sedangkan, orang-orang yang menghendaki perjanjian adalah subjek hukum. Perikatan merupakan sebuah hubungan berupa hak dan kewajiban diatur dalam norma dan sifat hukum itu sendiri. Perikatan merupakan elemen dari perjanjian. Sedangkan hukum kontrak masuk ke dalam skala praktis, yakni tentang pengaturan pelaksanaan perjanjian. Ketiga definisi di atas memiliki kesamaan makna dan saling mengisi makna satu sama lain.

Setiap perjanjian harus berdasarkan asas itikad baik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPer yakni, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai Undang Undang bagi para pihak yang membuatnya, dan Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.21 Asas pacta sunt servanda (Pasal 1338 Ayat (1) KUHPer) dan asas itikad baik merupakan kaidah umum dalam perbuatan perjanjian.

Perjanjian dikatakan telah sah di mata hukum, apabila memenuhi unsur syarat sah perjanjian itu sendiri. Adapun syarat sahnya perjanjian antara lain termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yakni:

1) Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian 2) Kecakapan untuk membuat perjanjian

3) Suatu hal tertentu 4) Suatu sebab yang halal22

21 Ibid.

22 Dwi Ratna Indri Hapsari, “Kontrak Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam

(Suatu Kajian Dalam Perspektif Asas-Asas Hukum),” Jurnal Reportorium, Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta 1, hal. 85.

(32)

Sumber hukum utama dari suatu kontrak yang berbentuk perUndang Undangan adalah KUH Perdata, khususnya buku Ketiga. Bagian-bagian buku Ketiga yang berkaitan dengan kontrak adalah sebagai berikut: 1) Pengaturan tentang perikatan perdata

Pengaturan tentang perikatan perdata ini merupakan pengaturan perikatan pada umumnya, yakni yang berlaku baik untuk perikatan yang berasal dari kontrak maupun yang berlaku untuk perikatan yang terbit karena undang-undang. Pengaturan tentang perikatan perdata (pada umumnya) ini terdiri dari:

a) Kesatu: Tentang ketentuan Umum (pasal 1233 dan pasal 1234). b) Kedua: Tentang perikatan-perikatan untuk memberikan

sesuatu (pasal 1235 sampai dengan pasal 1238).

c) Ketiga: Tentang perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu (pasal 1239 sampai dengan pasal 1242).

d) Keempat: Tentang pergantian biaya, rugi dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan (pasal 1243 sampai dengan pasal 1252).

e) Kelima: Tentang perikatan-perikatan Bersyarat (pasal 1253 sampai dengan pasal 1267).

f) Keenam: Tentang perikatan-perikatan dengan ketetapan waktu ( pasal 1268 sampai dengan pasal 1271).

g) Ketujuh: Tentang perikatan-perikatan mana suka atau perikatan yang boleh dipilih oleh salah satu pihak (pasal 1272 sampai dengan pasal 1277).

h) Kedelapan: Tentang perikatan-perikatan tanggung renteng atau perikatan tanggung menanggung (pasal 1278 sampai dengan 1295).

(33)

i) Kesembilan: Tentang perikatan-perikatan yang dapat dibagi-bagi (pasal 1296 sampai dengan pasal 1303).

j) Kesepuluh: Tentang perikatan-perikatan dengan ancaman hukuman (pasal 1304 sampai dengan pasal 1312).

2) Pengaturan tentang perikatan yang timbul dalam kontrak

Telah disebutkan bahwa suatu perikatan dapat timbul, baik karena adanya kontrak maupun karena Undang Undang. Perikatan yang timbul karena suatu kontrak menurut KUH Perdata diatur dalam bab kedua buku ketiga, yang pokok pokok pengaturannya adalah sebagai berikut:

a) Kesatu: Tentang ketentuan-ketentuan umum, mulai dari pasal 1313 sampai dengan 1319.

b) Kedua: Tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu kontrak, mulai dari pasal 1320 sampai dengan pasal 1337. c) Ketiga: Tentang akibat dari suatu kontrak, mulai dari pasal

1338 sampai dengan 1341.

d) Keempat: Tentang penafsiran Kontrak, mulai dari pasal 1342 sampai dengan pasal 1351.

3) Pengaturan tentang hapusnya perikatan

Tentang hapusnya perikatan, termasuk hapusnya perikatan yang terbit karena suatu kontrak, diatur dalam KUH Perdata dalam bab IV buku ketiga, yakni sebagai berikut:

a) Kesatu: Yakni tentang perincian hapusnya perikatan (pasal 1381).

b) Kedua: Tentang pembayaran, mulai dari pasal 1382 sampai dengan pasal 1403.

c) Ketiga: Tentang penawaran pembayaran tunai, diikuti oleh penyimpanan dan penitipan, mulai dari pasal 1404 sampai dengan pasal 1412.

(34)

d) Keempat: Tentang pembaharuan utang, mulai dari pasal 1413 sampai dengan pasal 1424.

e) Kelima: Tentang kompensasi (perjumpaan utang) mulai dari pasal 1425 sampai dengan 1435.

f) Keenam: Tentang Percampuran Utang, mulai pasal 1436 sampai dengan pasal 1437.

g) Ketujuh: Tentang Pembebasan Utang, mulai dari pasal 1438 sampai dengan 1443.

h) Kedelapan: Tentang musnahnya barang utang, mulai dari pasal 1444 sampai dengan 1445.

i) Kesembilan: Tentang kebatalan dan pembatalan perikatan, mulai pasal 1446 sampai dengan 1456.

Subekti mengklasifikasikan hal-hal yang dapat menyebabkan hapusnya sebuah perikatan, antara lain:

a) Karena pembayaran, yang dimaksud adalah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.

b) Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat,

c) Pembaharuan utang,

d) Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik, e) Pencampuran hutang

f) Pembebasan hutang,

g) Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, h) Pembatalan perjanjian,

i) Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan, j) Lewat waktu.23

(35)

4) Pengaturan tentang kontrak-kontrak tertentu

Disamping itu, terdapat pula ketentuan dalam KUH Perdata yang mengatur tentang kontrak-kontrak tertentu, atau yang sering disebut juga dengan kontrak bernama. Perlu juga ditegaskan disini bahwa disamping kontrak-kontrak tertentu yang disebutkan dalam KUH Perdata seperti kontrak jual-beli, sewa, tukar-menukar, dan lain-lain, masih banyak kontrak-kontrak tertentu lain yang tidak termasuk kedalam kontrak-kontrak tertentu versi KUH Perdata. Misalnya kontrak leasing, franchise, lisensi, sewa beli, dan lain-lain.24 KUH Perdata telah lengkap mengatur banyak ragam perjanjian.

Adapun yang digolongkan dalam pelaksanaan isi perjanjian dinamakan “prestasi”, yakni menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, atau tidak melakukan suatu perbuatan. Dalam hal prestasi berupa penyerahan suatu barang tertentu atau melakukan suatu perbuatan, pada umumnya tidaklah mungkin untuk mewujudkan prestasi itu dengan tanpa bantuan seluruh pihak yang mengadakan perjanjian, dan terpaksalah salah satu dari pihak yang dirugikan mendapatkan penggantian kerugian berupa uang.25 Prestasi dalam sebuah perjanjian terpenuhi apabila para puhak saling mendapatkan hak dan melaksanakan kewajiban satu sama lain dengan waktu yang telah di sepakati. Apabila prestasi tidak terpenuhi, maka akan timbul keadaan wanprestasi.

Berdasarkan pengembangan teori di atas, pada dasarnya Buku III KUH Perdata mengatur tentang konsep perjanjian atau perikatan secara umum. Beberapa pembahasan yang diatur oleh Buku III KUH

24 “Hukum Kontrak.” hal. 1-4

(36)

Perdata yakni asas itikad baik, syarat sah terjadinya perjanjian, dan terhapusnya sebuah perikatan karena sebab hal tertentu.

Hukum perjanjian Islam di Indonesia merupakan bagian dari hukum Islam di bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya. Konsep hukum perjanjian Islam bersumber dari al-qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaidah fiqh berfungsi sebagai pemahaman dari syariah yang dilakukan oleh para ulama mazhab dalam ijtihadnya. Hal ini menunjukan sifat religiusitas transcendental yang terkandung pada aturan-aturan yang melingkupi hukum perjanjian Islam.26 Muamalah merupakan ajaran Islam berupa pedoman-pedoman pelaksanaan urusan perniagaan dan hubungan sesame manusia.

Dasar pelaksanaan syariat Islam di Indonesia berawal dari Pasal 29 Ayat (1) bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Serta, pada Ayat (2) yang berbunyi negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadatan menurut agama dan kepercayaan itu.

Sampai saat ini sudah memasuki kristalisasi definisi ibadah menurut ajaran Islam, yaitu ibadah mahdhoh dan ibadah muamalah. Dalam konteks muamalah, setiap muslim bebas melakukan apa saja yang dikehendaki, sepanjang tidak dilarang oleh Allah SWT berdasarkan al-qur’an dan as-sunnah. Maka dengan ini konsep muamalah selaras dengan Pasal 1338 KUHPer bahwa semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang-undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Makna tersirat di dalam pembahasan ini bahwa kebebasan bermuamalah

26 Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yani Salma Barlianti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia

(37)

dalam batas yang dilarang oleh Allah SWT selaras dengan kebebasan membuat perjanjian dalam batas berdasarkan Undang Undang.

Beberapa point yang dapat disaring menjadi kaidah penyusunan perjanjian dalam bentuk kontrak yaitu, terdapat kebebasan dalam menetapkan materi perjanjianan, kebebasan dalam menentukan cara pelaksanaan, dan kebebasan dalam menetapkan cara menyelesaikan sengketa yang terjadi. Maka dalam hal ini, undang undang telah mengatur penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.27

Pengaruh ajaran Islam dalam konstruksi hukum perjanjian di Indonesia, tidak hanya berasal dari Undang-Undang Peradilan Agama. Namun, keterlibatan para ulama yang berkumpul dalam Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) turut andil berkontribusi memberikan pandangan hukum Islam sebagaimana amanat dari Pasal 29 Ayat (1) dan (2).

Fatwa DSN-MUI merupakan perangkat aturan kehidupan masyarakat yang bersifat tidak mengikat dan tidak ada paksaan secara hukum bagi sasaran diterbitkannya fatwa untuk mematuhi ketentuan fatwa tersebut. Namun di sisi lain, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, melalui pola tertentu, adanya kewajiban bagi regulator dalam hal ini Bank Indonesia agar materi muatan yang terkandung dalam Fatwa DSN-MUI diserap dan ditranformasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip syariah dalam bidang perekonomian dan keuangan syariah menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan yang memiliki

(38)

kekuatan hukum dan mengikat umum.28 DSN MUI merupakan lembaga yang memiliki otoritas dalam menyampaikan fatwa atau pendapat hukum Islam. Fatwa DSN-MUI berlaku sebagai pedoman penyesuaian sumber hukum Islam dengan kebiasaan masyarakat Indonesia.

Menurut Yeni Salma Barlinti, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyimpulkan Fatwa DSN-MUI yang sudah dilegitimasi lewat peraturan perundang undangan adalah hukum positif yang mengikat. Artinya, pelaku ekonomi syariah baik bank maupun lembaga keuangan non-bank tetap tunduk kepada Fatwa DSN-MUI sepanjang sudah dikukuhkan lewat peraturan perUndang Undangan negara. Fatwa DSN-MUI selama ini telah mengisi kekosongan hukum dan karenanya memberikan kepastian hukum. Pelaku usaha membutuhkan kepastian dari pihak yang punya otoritas di bidang syariah, yakni para yang terhimpun dalam MUI.29

Fatwa-fatwa DSN-MUI merupakan titik temu antara nilai-nilai Islam dengan pranata bisnis; ketentuan-ketentuan fatwa merupakan hasil ijtihad mufti secara kolektif yang didukung oleh pakar ilmu lain yang relevan guna menjelaskan dan memastikan agar para mufti menerima dan memahami atau mengerti informasi mengenai obyek yang akan ditetapkan hukumnya dari segi syariah secara akurat dan benar. Oleh karena itu, proses penyusunan fatwa dilakukan dengan proses pengkajian secara berulang-ulang dan didiskusikan secara konstruktif dengan meminta informasi dari pihak regulator, pelaku usaha/pebisnis, pihak asosiasi, dan pihak-pihak terkait lainnya.

28 Ahyar Ari Gayo and Ade Irawan Taufik, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia Dalam Mendorong Perkembangan Bisnis Perbankan Syariah (Perspektif Hukum Perbankan Syariah),” Jurnal Rechtsvinding 1 (2012), hal. 273.

29 Anonim, “Positivisasi Fatwa Di Ladang Ekonomi Syariah,”

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt588ff515067ac/positivisasi-fatwa-di-ladang-ekonomi-syariah/.

(39)

Penerapan fatwa di lembaga keuangan syariah (LKS) pada prinsipnya merupakan upaya mewujudkan norma-norma syariah dalam kehidupan nyata yang termasuk domain penerapan hukum (bukan lagi domain norma hukum). Pada tahapan ini, terdapat dua hal yang penting diperhatikan: 1) kualitas pemahaman Sumber Daya Insani terhadap substansi fatwa; dan 2) hubungan antara norma syariah/muamalah dalam fatwa dengan ilmu kontrak (baca: akad) bisnis. Maka demikian dapat disimpulkan bahwa norma syariah yang terumuskan dalam Fatwa DSN-MUI akan mempengaruhi peraturan perundang-undangan dan ilmu kontak bisnis. Tentunya berbeda dengan dengan konsep konvensional. Norma syariah yang telah terpositivisasi memiliki entitas tersendiri yakni dengan hukum nasional dengan karakteristik prinsip syariah.

Sebagai contoh, Undang-Undang OJK mengatur keberadaan tentang “Peraturan OJK”. Menurut Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang OJK, Peraturan OJK adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, OJK berwenang dalam membuat peraturan dan memiliki sifat yang mengikat umum. Kemudian terbit Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah Dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan. Maka dengan ini, norma syariah telah masuk ke dalam dimensi peraturan perUndang Undangan. Adapun pengaruh norma syariah dalam dimensi ilmu kontrak bisnis terdapat dalam Pasal 1 Angka 7 Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2019, yakni: “Perjanjian Pembiayaan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara Perusahaan Syariah dengan

(40)

pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.”30

Berdasarkan penjabaran teori di atas. Maka Peneliti berkesimpulan, yang dimaksud hukum perjanjian Islam di Indonesia bersumber dari kesamaan nilai yang terkandung pada ajaran agama Islam yang selaras dengan Pasal 1338 KUHPerdata. Salah satu asas dari hukum kontrak bisnis di Indonesia yaitu asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak merupakan pintu bagi ajaran-ajaran Islam masuk dalam materi muatan perjanjian selama tidak bertentangan dengan Undang Undang yang berlaku.

Kemudian terjadi pristiwa positivisasi Fatwa DSN-MUI ke dalam peraturan perundang-undangan. Fatwa-fatwa para ulama Islam di Indonesia diadopsi menjadi rumusan pasal dalam beberapa peraturan perUndang Undangan, Contohnya, yaitu Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang OJK, dan Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2019. Kontrak baku mengandung ketentuan bahwa para pihak telah berspakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1266 KUHPerdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya sudah batal demi hukum. Dalam hal ini, wanprestasi merupakan syarat batal. Akan tetapi, beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam jal terjadi wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan kepada hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipun debitur sudah wanprestasi hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan kepada untuk memenuhi perjanjian.31

30 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah Dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan.

(41)

Kelalaian atau wanprestasi dapat digugat di depan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. Ketika terindikasi wanprestasi, biasanya didahului oleh somasi.

Ada beberapa prinsip tuntutan yang dapat dilayangkan ke tergugat, yaitu:

a. Penggugat dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat.

b. Penggugat dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya. c. Penggugat dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan

penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.

d. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.32

Terjadinya wanprestasi senantiasa diawali dengan hubungan kontraktual. Kontrak dibuat sebagai instrument yang secara khusus mengatur hubungan hukum antara kepentingan yang bersifat privat dan perdata khususnya dalam pembuatan kontrak. Karakteristik wanprestasi yakni adanya hak dan kewajiban pada kontrak yang tidak dijalankan. Secara asas, wanprestasi adalah kebalikan dari Pasal 1234 KUH Perdata,

(42)

bahwa wanprestasi yaitu tidak memberikan sesuatu, tidak berbuat sesuatu, atau bahkan berbuat diluar daripada aturan yang diperjanjikan.33

Pasal 1243 KUH Perdata menyebutkan bahwa pada umumnya wanprestasi itu terjadi setelah debitur dinyatakan lalai. Upaya yang dilakukan yaitu dengan somasi.

Berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata, yang berbunyi, “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan perjanjian, dengan penggantian biaya, kerugian, dan bunga.”

Secara ringkas, penggugat dapat meminta: a. Pemenuhan

b. Ganti rugi

c. Pembubaran, pemutusan, atau pembatalan d. Pemenuhan dutambah ganti rugi pelengkap.34

Berdasarkan teori-teori di atas. Maka Peneliti menyimpulkan, yang dimaksud wanprestasi yaitu apabila terjadi kelalaian oleh salah satu pihak yang mengikatkan janjinya pada sebuah kontrak. Apabila perkara wanprestasi akan diajukan ke depan majelis hakim. Maka, penggugat dapat meminta tergugat untuk memenuhi janjinya, melakukan ganti rugi, pembatalan putusan, atau pemenuhan prestasi serta ditambah ganti rugi.

Sumber perikatan terbagi menjadi dua yaitu, perikatan yang bersumber dari perjanjian para pihak dan perikatan yang bersumber dari undang-undang. KUHPerdata membedakannya dengan jelas. Akibat hukum bagi perikatan yang bersumber dari perjanjian, yaitu dikehendaki bersama oleh para pihak. Adapun akibat hukum suatu perikatan yang

33 Yahman, Karakteristik Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hal. 61.

(43)

bersumber dari undang-undang ditentukan oleh undang-undang.35 Maka dengan demikian, perjanjian dapat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan perjanjian dapat tunduk terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, baik perjanjian konvensional mau pun perjanjian syariah dalam lingkungan Lembaga Keuangan Syariah.

3. Teori Pembiayaan Murabahah

Murabahah berasal dari bahasa arab rabaha-yurabihu-murabahatan yang berarti untung atau menguntungkan. Seperti ungkapan”tijaratan

rabihah, wa baa’u asy-syai murabahatan” artinya perdagangan yang

menguntungkan, dan menjual sesuatu barang yang memberi keuntungan. Menurut DSN-MUI, murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.36 Murabahah merupakan instrument transaksi pembiayaan yang menyebutkan harga perolehan dan margin keuntungan sebagai harga jual.

Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dimana penjual memberitahu harga satu produk yang ia beli dan kemudian menentukan harga jualnya dengan selisihnya sebagai keuntungan dengan kesepakatan pembeli. Akad murabahah merupakan salah satu produk penyaluran dana dengan model pembiayaan dengan prinsip jual beli (sale and purchase).37

Wahbah Zuhaili memberikan pandangan definisi umum tentang murabahah. Dalam kajian bahasa berasal dari kosakata bahasa arab, yakni al-ribhu yang berarti tumbuh dan berkembang. Secara istilah, murabahah

35 Hukum Perjanjian Teori Dan Analisis Kasus, hal. 111-112.

36 Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di Lembaga Keuangan Syariah, hal 108. 37 Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Penemuan Dan Kaidah Hukum, hal. 193.

(44)

atau bai’ul murabahah bermakna kegiatan jual beli dengan harga awal disertai dengan tambahan keuntungan.

Ulama Hanafiyah menyebutkan bahwa murabahah merupakan pemindahan sesuatu yang dimiliki dengan akad awal dan harga awal disertai tambahan keuntungan.

Ulama Malikiyah menyampaikan pandang tentang murabahah, yakni kegiatan jual beli di mana pemilik barang menyebutkan harga harga beli barang tersebut, kemudian ia mengambil keuntungan dari pembeli secara sekaligus dengan mengatakan “Saya membelinya dengan harga sepuluh dinar dan anda berikan keuntungan kepadaku sebesar satu dinar atau dua dinar.”

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyampaikan pandangan serupa bahwa murabahah merupakan jual beli dengan harga pokok atau harga perolehan penjual ditambah keuntungan satu dirham pada setiap sepuluh dinar, atau dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi mengetahui harga pokok.38

Berdasarkan definisi dari keempat mazhab fiqh, maka Peneliti menyimpulkan bahwa murabahah merupakan praktik jual beli dengan menyebutkan harga pokok dan margin keuntungan. Adapun terkait hukum daripada harga pokok dan margin keuntungan ini diperbolehkan oleh keempat mazhab.

Adapun rukun terjadinya murabahah yaitu:

a. Adanya penjual dan pembeli. Keduanya disyaratkan berakal dan orang yang berbeda;

38 Muhammad Farid, “Murabahah Dalam Perspektif Fikih Empat Mazhab,” Jurnal Episteme, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Lumajang 1 (2013).

(45)

b. Ijab kabul. Rukun ini mensyaratkan pelaku baligh dan berakal, kesesuaian antara kabul dengan ijab, dan pelaksanaannya dalam satu majelis;

c. Obyek jual beli. Barang yang diperjualbelikan disyaratkan ada (bukan kamuflase) dan dimiliki oleh penjual. Kejelasan spesifikasi obyek jual beli adalah keharusan karena berkaitan dengan kejujuran dan kerelaan kedua belah pihak.

d. Nilai tukar (harga). Sifatnya harus pasti dan jelas baik jenis maupun jumlahnya.39

Karakteristik murabahah tercermin dengan syarat khusus yang dimilikinya yakni:

a. Harga awal diketahui. Penjual harus memberitahu kepada pembeli harga awal dari barang yang dijual. Berlaku untuk semua bentuk jual beli amanah.

b. Laba diketahui. Laba harus diketahui karena merupakan bagian dari harga.

c. Modal yang terukur secara pasti. Tidak dibenarkan untuk menghitung laba berdasarkan perkiraan harga awal.

d. Tidak menggunakan harta yang dapat bertambah nilainya sebagai alat tukar, seperti menjual emas dengan emas secara murabahah. e. Akad jual beli pertama harus sah.40

Berdasarkan Pasal 26 KHES, Akad tidak sah apabila bertentangan dengan:

1) syariat islam;

2) peraturan perundang-undangan; 3) ketertiban umum; dan/atau

39 Lely Shofa Imamah, “Konsep Dan Implementasi Murabahah Pada Produk Pembiayaan Bank Syariah,” Jurnal Iqtishadia 1 (2014), hal. 225.

Referensi

Dokumen terkait

Rujukan terkutip dalam teks tesis terdiri atas penulis tunggal, maka yang ditulis dalam Daftar Pustaka adalah nama keluarga penulis, yang ditulis di depan dan diakhiri

Sederhananya, jika kita membuat tulisan dengan bentuk reportase, artinya kita melaporkan atau memberitakan (di Majalah Fakultas Online) sebuah kejadian atau obyek

STMIK HANDAYANI MAKASSAR TAHUN 2017.. Menjelaskan konsep Sistem Informasi Manjemen dan Keuangan, Siklus Akuntansi. Mencatat transaksi dalam jurnal, membuat buku besar dan

Pendapatan tertinggi diperoleh dari sayuran organik kangkung.; (4)Imbangan Penerimaan dan biaya (R/C) untuk semua jenis sayuran organik lebih besar dari 1,

At dahil sa kanila, magpahanggang ngayon, nakikilala natin para sa atin ang sinabi ni San Agustin, “Si Hesus ay naglaho sa ating mga mata, upang matagpuan natin siya sa

Makro Ekonomi Terhadap Kredit Perbankan di Indonesia”, dengan menggunakan variabel kredit perbankan sebagai variabel dependen dan GDP, Suku bunga SBI,. inflasi, nilai tukar

Ayat aktif ialah ayat yang mengandungi kata kerja yang mengutamakan subjek asal sebagai unsur yang diterangkan. Ayat aktif terdiri daripada ayat aktif transitif

kepiting, harga ikan, harga udang dan jenis alat tangkap yang digunakan oleh. nelayan di Kelurahan