NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN BERPIKIR POSITIF DENGAN KECEMASAN
MENGHADAPI MASA PENSIUN PADA PEGAWAI NEGERI
SIPIL (PNS) KABUPATEN CIREBON
SRI RAHAYU DINNINGRUM BENNY HERLENA S.Psi, M.Si.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2012
CORRELATION BETWEEN POSITIVE THINKING AND ANXIETY OF FACING RETIREMENT IN CIVIL SERVANT (PEGAWAI NEGERI SIPIL)
AT CIREBON DISTRICT GOVERNMENT
Sri Rahayu Dinningrum Benny Herlena
ABSTRACT
The aim of this research is to find the correlation between positive thinking and anxiety of facing retirement on Civil Servants (Pegawai Negeri Sipil) at Cirebon District Government. The subjects were Civil Servants (Pegawai Negeri Sipil) at Cirebon District Government of West Java Province who would pass retirement in 2012 and 2013, both men and women, and who was or would enter a period of Retirement Preparation. Data were collected by the anxiety of facing retirement scale based on Calhoun and Acocella’s theory (1990) and positive thinking scale based on Albrecht’s theory (1980)
Methods of data analysis that used was the technique of Spearman Correlational. Results of the Correlational test of Spearman r = -0857 and obtained p = 0.000 (p <0.05), it means there was correlation between positive thinking and retirement anxiety. There were more negative thinking, then there were higher retirement anxiety. So conversely, there were more positive thinking then there were lower retirement anxiety.
I. Pengantar
A. Latar Belakang Masalah
Bekerja adalah bagian dari kehidupan manusia. Bekerja tidak hanya memberikan materiil dalam bentuk gaji, kekayaan dan macam-macam fasilitas materiil, juga memberikan ganjaran social yang nonmaterial; yaitu status sosial dan prestis sosial. Menurut Kartono (2003) rasa kebanggaan dan minat besar terhadap pekerjaan dengan segala pangkat, jabatan, penghormatan dan simbol-simbol kebesaran menjadi insentif kuat bagi seseorang untuk mencintai pekerjaan.
Kondisi fisik manusia untuk bekerja ada batasannya, semakin tua seseorang, semakin menurun kondisi fisiknya, maka beriringan dengan hal itu produktivitas kerja pun akan menurun. Manusia memiliki masa dimana sudah dianggap tidak terlalu mampu untuk lebih produktif lagi didalam dunia pekerjaannya. Sehingga masa pensiun akan menjumpai setiap manusia yang bekerja (Lubis, 2011). Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun tahun, selain itu akan memutuskan rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah menghilangkan identitas seseorang yang sudah melekat begitu lama (Warr dalam Offord, 1992).
Masa pensiun ini menimbulkan reaksi yang berbeda-beda bagi individu. Ada yang siap dan tidak siap. Menjadi masalah psikologis baru bagi mereka yang tidak siap menghadapi masa ini. Ketidak–siapan menghadapi masa pensiun pada umumnya timbul karena adanya kekhawatiran tidak dapat memenuhi kebutuhan–
kebutuhan tertentu. Pandangan negatif tentang pensiun ini menyebabkan individu cenderung menolak datangnya masa pensiun. Mereka yang menghadapi masa pensiun dengan perasaan negatif atau tidak senang dan bahkan belum siap mentalnya akan mengalami shock (kejutan) mental yang hebat, sebab kejadian tersebut dianggap sebagai kerugian, keaiban, degradasi sosial, sebagai hal yang memalukan dan sebagainya. Timbulnya perasaan-perasaan negatif tersebut menyebabkan pegawai yang akan menghadapi masa pensiun cenderung dihinggapi perasaan cemas, takut dan khawatir dengan berbagai dampak psikologis dan manifestasi yang menyertainya (Kartono, 2000).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa pensiun akan menimbulkan goncangan mental yang tidak dapat dielakkan. Hal ini disebabkan karena adanya perasaan tidak rela untuk melepas jabatan yang selama ini telah dimiliki dan dinikmati, jadi pasti ada perasaan cemas dan khawatir, hal ini apabila berlebihan dapat mengganggu keadaan fisik dan psikologisnya. Individu yang mengalami masa pensiun akan mengalami kecemasan dan goncangan perasaan yang begitu berat. Kecemasan ini terjadi karena mereka harus meninggalkan teman-teman baik sebagai atasan ataupun bawahannya. Status sosial ekonomi serta fasilitas-fasilitas lain yang mereka peroleh selama bekerja (Hawari, 2005).
Memasuki masa pensiun, seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, prestise, kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri akan berubah juga karena kehilangan peran (Eliana, 2003). Dahulu sewaktu masih bekerja, dirinya dihormati, dielu-elukan, disanjung dan dibelai-belai dengan segala kemanisan. Pada saat itu muncullah perasaan bahagia, bangga, merasa berguna,
merasa dikehendaki, dibutuhkan dan mendapatkan bermacam-macam fasilitas materiil yang menyenangkan (Kartono, 2003), sehingga tidak jarang pada saat pensiun tiba muncul perasaan cemas bagi sebagian orang.
Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap salah seorang Pegawai Negeri Sipil yang akan menghadapi pensiun berinisial AS menunjukkan bahwa AS mengalami kecemasan saat menghadapi masa pensiun. Kecemasan yang dialami AS disebabkan oleh kekhawatiran AS dalam membiayai keluarga setelah pensiun. Karena otomatis tunjangan yang diterima tidak lagi sebesar pada saat masih aktif bekerja. AS juga tidak memliki usaha lain sehingga AS bingung saat memasuki pensiun kegiatan apa yang akan ia lakukan. Walaupun begitu, keluarga selalu memberikan dukungan kepada AS bahwa AS tidak perlu cemas atau takut menghadapi masa pensiun.
Sama halnya dengan DW yang menghadapi masa pensiun dengan perasaan khawatir. Tetapi kekhawatiran DW bukan karena masalah financial karena secara financial ia merasa cukup dan ia yakin ia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya karena DW memiliki usaha yang penghasilannya lebih besar dibanding gajinya sebagai PNS. Kekhawatiran DW ini lebih kepada khawatir tidak dihargai lagi oleh warga di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya, karena menurut DW seorang PNS atau karyawan di lingkungannya sangat dihargai, karena itu ia takut saat ia pensiun warga di lingkungan tempat tinggalnya hanya memandang sebelah mata. Belum lagi keluarganya yang selalu mengungkit-ngungkit bahwa sebentar lagi dirinya akan pensiun dan menyalahkan
dirinya kalau nanti keluarga tidak dipandang lagi oleh masyarakat. Selain itu ia juga takut tidak akan mendapat bantuan moril lagi dari rekan-rekan sekantornya.
Berbeda dengan TS seorang PNS golangan III A dengan gaji pokok Rp 3.209.100, 00 yang menghadapi masa pensiun dengan perasaan biasa saja, karena ia sudah menyiapkan mental ia dan keluarganya sebelum masa itu tiba.TS tidak takut tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga pada saat sudah pensiun, walaupun TS seorang single parent, dan salah satu anaknya masih duduk di bangku SMA, karena ia sudah membiasakan dirinya dan keluarganya hidup sederhana. TS juga sudah menyiapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukannya setelah pensiun, sehingga ia tidak merasa ada sesuatu yang hilang, ia akan mengembangkan hobinya bercocok tanam.TS selalu berfikir positif sehingga ia beranggapan tidak akan ada yang berubah saat ia masih aktif bekerja ataupun saat pensiun, yang berbeda hanyalah bentuk kegiatannya saja, dan TS yakin TS mampu.
SJ seorang PNS golongan III D dengan gaji pokok Rp 3.633.800,00 mengalami perasaan cemas menghadapi masa pensiun. Perasaan cemas tersebut dikarenakan SJ masih memiliki tanggungan satu anak yang masih kuliah di luar kota. SJ takut tidak bisa memenuhi biaya hidup pendidikan anaknya, walaupun anaknya tersebut masih mendapat tunjangan, tetapi menurut SJ tunjangan yang didapat tidak seberapa. Istri SJ memiliki usaha dibidang sandang, tetapi menurutnya saat ini usahanya sedang menurun dan tidak banyak membantu untuk perekonomian keluarganya. Anak pertama SJ seorang ibu rumah tangga yang
tidak bekerja. Keadaan tersebut membuat SJ merasa takut tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya setelah pensiun.
Sama halnya dengan ES PNS golongan III A dengan gaji pokok sebesar kira-kira tiga jutaan. ES merasa khawatir menghadapi pensiun. ES memang sudah tidak ada lagi tanggungan anak yang bersekolah, tetapi cucu ES yang memang dari kecil tinggal bersama ES masih duduk dibangku SD dan dibiayai oleh ES. Suami ES seorang pensiunan BUMN dengan gaji yang tidak begitu besar. Keadaan tersebut yang membuat ES khawatir dalam menghadapi masa pensiun, ES takut tidak bisa membiayai kehidupan dirinya dan keluarganya terlebih membiayai pendidikan cucunya.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap lima subjek, maka dapat disimpulkan bahwa empat dari lima subjek mengalami kecemasan dalam menghadapi masa pensiun, kecemasan ini disebabkan oleh ketakutan akibat munculnya pemikiran bahwa jika sudah pensiun maka akan dipandang sebelah mata oleh warga di lingkungannya serta tidak dihargai oleh keluarganya. Sedangkan subjek yang ketiga tidak mengalami kecemasan karena ia selalu berusaha berpikiran positif bahwa tidak akan ada yang berubah sebelum atau sesudah pensiun karena ia sudah menyiapkan semuanya sebelum pensiun tiba.
Dari hasil wawancara tersebut, muncul pertanyaan bahwa apakah berfikir positif dapat mempengaruhi tinggi rendahnya kecemasan seseorang dalam menghadapi masa pensiun? Individu yang mengalami kecemasan lebih disebabkan karena pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan tentang apa yang akan terjadi pada masa pensiun nanti (Atkinson, 1991). Martens dan Walton
(Gunarsa dkk, 1996) menyatakan bahwa untuk mengatasi kecemasan maka individu harus menyadari kemampuan dirinya, dapat berpikir positif, mempunyai tujuan atau cita-cita yang jelas, mengerti makna dan usahanya dan dapat menerima keadaan.
Manusia memiliki pikiran, perasaan dan tingkah laku yang saling berhubungan erat, semuanya akan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Demikian juga ketika berpikir positif maka akan memberi efek positif pada perasaan dan perilaku. Jika seseorang berpikir positif bahwa ia dapat menerima kenyataan diri apa adanya, berarti tidak hanya dapat membebaskan diri dari rasa cemas yang berkepanjangan, tetapi juga akan mampu mengubah hal- hal yang dapat diubah dan dengan tenang bisa menerima hal- hal yang memang tidak dapat diubah.
Schwartz (1992) berpendapat bahwa orang yang cenderung memiliki cara berpikir yang negatif akan bereaksi negatif pula bila menghadapi suatu masalah. Sebaliknya, bila orang cenderung memiliki cara berpikir yang positif akan bereaksi positif pula terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Begitu pula pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mampu berpikir positif dalam menghadapi masa pensiun diharapkan dapat mencegah kecemasan yang berdampak pada ganguan-gangguan fisik.
Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti adakah hubungan antara berpikir positif dengan kecemasan menghadapi masa pensiun., karena itu penulis mengambil judul penelitian “Hubungan Berpikir Positif dengan
Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun Pada Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Cirebon”.
B. Hipotesisi Penelitian
Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan antara berfikir positif dengan kecemasan menghadapi masa pensiun pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten Cirebon. Semakin positif dalam berpikir maka semakin rendah kecemasan menghadapi masa pensiun. Begitu juga sebaliknya, semakin negatif dalam berpikir maka semakin tinggi kecemasan menghadapi masa pensiun.
II. Metode Penelitian A. Subjek Penelitian
Subjek yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat yang akan mengalami masa pensiun pada tahun 2012 dan 2013, baik laki-laki maupun perempuan, dan yang sedang atau akan memasuki Masa Persiapan Pensiun (maksimal 2 tahun), hal ini diasumsikan bahwa rentan waktu 2 tahun merupakan fase Near Phase pada fase pra pensiun yaitu fase dimana masa pensiun sudah sangat dekat, Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan menghadapi masa pensiun dalam kurun waktu 2 tahun dianggap mendekati pensiun.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan skala. Skala tersebut berupa angket berisi sejumlah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari subjek dalam bentuk laporan. Skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala kecemasan menghadapi masa pensiun dan skala berfikir positif.
C. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu berfikir positif dan variabel tergantung yaitu kecemasan menghadapi masa pensiun. Penelitian ini selanjutnya dilakukan analisis korelasi Spearman. Analisis data ini menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for windows.
III. Hasil Penelitian
Rangkuman Hasil Uji Normalitas
Variabel Skor K-SZ P Keterangan Kecemasan Menghadapi
Masa Pensiun
2.559 0.000 Tidak Normal Berpikir Positif 1.962 0.001 Tidak Normal
Rangkuman Hasil Uji Linieritas Variabel
Tergantung Variabel Bebas Koefisien F
Koefisien Signifikansi (p)
Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun
Uji Korelasional Spearman KMMP BP Spearman's rho KMM P Correlation Coefficient 1.000 -.857 ** Sig. (1-tailed) . .000 N 106 106 BP Correlation Coefficient -.857 ** 1.000 Sig. (1-tailed) .000 . N 106 106
Keterangan: KMMP=Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun
BP=Berpikir Positif
IV. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara berfikir positif dengan kecemasan menghadapi masa pensiun pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten Cirebon dapat diterima. Hal ini ditunjukkan dengan analisis korelasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik korelasional spearman yang menunjukkan koefisien korelasi sebesar r = -0.857 dan p = 0.000 (p < 0. 05). Artinya ada hubungan sangat signifikan antara berpikir positif dengan kecemasan menghadapi masa pensiun pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Dari hasil analisis, diketahui koefisien determinasi (R squared) variabel berpikir positif terhadap kecemasan menghadapi masa pensiun sebesar 0.884. Hal ini berarti bahwa sumbangan efektif berpikir positif terhadap kecemasan menghadapi masa pensiun adalah sebesar 88.4% sedang sisanya 11.6% dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak termasuk dalam variabel di atas.
Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang memiliki cara berpikir negatif akan bereaksi negatif dalam menghadapi masa pensiun, seperti adanya ketidaksiapan karena kekhawatiran tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sebaliknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki cara berpikir positif akan bereaksi positif pula dalam menghadapi masa pensiun. Mereka akan lebih siap dalam menghadapi pensiun, serta adanya perasaan puas karena sudah berhasil menyelesaikan tugas dan kewajibannya.
Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dkk (2004). Hasil penelitian dari Rahayu dkk menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara berpikir positif dengan kecemasan, dimana pada penelitian ini dalam hal kecemasan berbicara di depan umum. Semakin rendah berpikir positif subjek maka semakin tinggi kecemasan berbicara, sebaliknya semakin tinngi berpikir positif subjek maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa disinilah peran berpikir positif dari individu dapat mempengaruhi kecemasan.
Rahayu dkk (2004) menyatakan segala reaksi emosional manusia diakibatkan oleh proses kognitif atau cara berfikirnya. Sikap yang positif dalam memandang setiap permasalahan akan membantu individu menekan tekanan beban psikis dari permasalahannya, serta secara fleksibel, adaptatif dan objektif dalam mengatasi masalah tersebut. Masalah yang dihadapi individu sering menjadi lebih berat karena cara individu tersebut dalam memandang masalahnya.
Kartono, (2000) juga menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menghadapi masa pensiun dengan perasaan negatif atau tidak senang dan bahkan
belum siap mentalnya akan mengalami shock (kejutan) mental yang hebat, sebab kejadian tersebut dianggap sebagai kerugian, keaiban, degradasi sosial, sebagai hal yang memalukan dan sebagainya. Timbulnya perasaan-perasaan negatif tersebut menyebabkan pegawai yang akan menghadapi masa pensiun cenderung dihinggapi perasaan cemas, takut dan khawatir dengan berbagai dampak psikologis dan manifestasi yang menyertainya
V. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara berfikir positif dengan kecemasan menghadapi masa pensiun pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten Cirebon, maka hipotesis diterima. Jika skor berpikir positif rendah, maka akan tinggi tingkat kecemasan menghadapi masa pensiun. Sebaliknya, semakin tinggi skor berpikir positif maka akan rendah tingkat kecemasan menghadapi masa pensiun pada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Koefisien determinasi (R squared) variabel berpikir positif terhadap kecemasan menghadapi masa pensiun sebesar 0.884. Hal ini berarti bahwa sumbangan efektif berpikir positif terhadap kecemasan menghadapi masa pensiun adalah sebesar 88.4%.
VI. Saran
1. Bagi Subjek Penelitian
Perlu bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk dapat meningkatkan cara berpikir yang positif agar individu menjadi lebih mampu untuk menerima
keadaan dirinya dalam menghadapi masa pensiun dengan rasa tenang agar dapat mengurangi tingkat kecemasan.
2. Bagi Instansi Yang Terkait
Bagi instansi terkait diharapkan dapat mengatasi masalah dalam hal pensiun pegawainya, melalui penerapan atau pelaksanaan program-program yang dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman, salah satunya adalah pelatihan berpikir positif bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan memasuki masa pensiun.
3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya yang ingin meneliti kecemasan menghadapi masa pensiun, penulis menganjurkan untuk mengkaji lebih lanjut mengenai variabel-variabel lain yang dapat memberikan sumbangan besar terhadap kecemasan menghadapi masa pensiun seperti kepercayaan diri, religiusitas, kemampuan berwirausaha. Selain itu pada alat ukur terutama yang mengukur indikator fisiologis diharapkan lebih teliti dalam memilih pernyataan aitem. Sebaiknya dipilih pernyataan yang memang bisa diukur dengan skala atau yang sesuai dengan kondisi yang dirasakan subjek seperti jantung berdebar. Serta pengembangan karakteristik subjek penelitian, misalnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan rentang waktu pensiun kurang dari 3-4 tahun. Selain itu juga mengembangkan subjek sebagai objek penelitian seperti pegawai PT terkemuka di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson. 1991. Pengantar Psikologi (terjemahan). Jakarta: Erlangga Bastaman, H. 1995. Psikologi Klinis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Craig, G. J. 1976. Human Development. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Chaerani. 1995. Hubungan antara Berpikir Positif dengan Daya Tahan Terhadap Stress Remaja di SMAN I Cirebon. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Psikologi Unifersitas Gajah Mada. Azwar,
Daradjat, Z. 1986. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung Eyde. 1983. Psychological Distress in Aging 1st Edition. Aspen Pub Eliana, R. 2003. Konsep Diri Pensiunan. USU digital library Hadi, S. 2000. Statistik Jilid II. Yogyakarta: Andi Offset
Hasanah, U. 2005. Hubungan Antara Kecemasan Menghadapi Pensiun Dengan Semangat Kerja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas islam Indonesia
Hawari, D. 2005. Dimensi Religi Dalam Praktek Psikiatri Dan Psikologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Hurlock, E. B. 1997. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Kartono, K. 2003. Gangguan-Gangguan Psikis. Bandung: Sinar Baru
Kartono, K. dkk. 1989. Hygiene Mental Dan Kesehatan Mental Dalam Islam. Jakarta: CV Mandar Maju
Kingson. 1996. Hubungan Antara Berpikir Positif Dan Altruistik Dengan Kekuatan Ego. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Lestari, A. 1998. Pelatihan Berpikir Positif Untuk Menangani Sikap Pesimis Dan Gangguan Depresi. Jurnal Psikologi UGM. No 1. Hal 1
Lubis, I. S. 2011. Hubungan Harga Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun Pada Anggota Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Maslim, R. 2002. Diagnosis Gangguang Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ III. Jakarta
Nasution, E. D. 2002. Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun Ditinjau Dari Struktural Jabatan Pada Pegawai Negeri Sipil. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Neale, dkk. 2010. Abnormal Psychology. UK: Wiley
Nevid, J. S. dkk. 1997. Abnormal Psychology. 3rd Edition. New Jersey: Prentice Hall
Rahayu dkk. 2004. Hubungan Pola Pikir Positif Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum. Jurnal Psikologi Undip. Vol 1. No 2
Saifuddin. 1995. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sari, E. D. & Kuncoro, J. 2009. Kecemasan Dalam Menghadapi Masa Pensiun Ditinjau Dari Dukungan Sosial Pada PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Penelitian Mandiri. Semarang: Fakultas Psikologi UNISULA
Schwartz, D. J. 1992. Berpikir Dan Berjiwa Besar (terjemahan). Renehart & Winston
Widyastuti. 2005. Perbedaan Harga diri, Kecemasan Dan Prestasi Belajar Siswa Tuna Netra SLTP Umum Dan Khusus yang Tinggal Di Asrama Yaketunis Yogyakarta. Jurnal Intelektual. Vol 3. No. 1
Widyawati. 2003. Hubungan Antara Berfikir Positif Dengan Penyesuaian Diri Pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
IDENTITAS PENULIS
Nama : Sri Rahayu Dinningrum
Alamat Rumah : JL. Gn. Tangkuban Perahu I No. 72 Rt. 05 Rw. 04 Perumnas Cirebon
Email : whiteinsomewhere@yahoo.com Nomor Telepon/HP : 08179078537