• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. seseorang. Novel berasal dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. seseorang. Novel berasal dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Novel

1. Hakikat Novel

Novel adalah suatu karangan prosa yang menceritakan tentang kehidupan seseorang. Novel berasal dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Kata ini kemudian diadaptasikan dalam bahasa Inggris menjadikan istilah novel. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman (Waluyo, 2011:36).

Novel merupakan karangan prosa yang lebih panjang dari cerita pendek dan di dalamnya menceritakan tentang kehidupan seseorang secara mendalam. Menurut Wicaksono (2017: 68), novel merupakan suatu jenis karya sastra yang berbentuk prosa fiksi dalam ukuran yang panjang (setidaknya terdiri atas 40.000 kata dan lebih kompleks daripada cerpen) dan lebih luas, selain itu dalam novel pengarang akan menceritakan konflik-konflik mengenai kehidupan manusia yang setelahnya dapat mengubah nasib para tokohnya. Selain tokoh-tokoh yang diceritakan dalam novel, terdapat rangkaian peristiwa dan latar juga ditampilkan secara tersusun rapi hingga bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan prosa rekaan yang lainnya.

Novel adalah karya sastra yang bersifat realistis, berkembang dari bentuk-

bentuk naratif yang bersifat non fiksi. Nurgiyantoro (2012:4) mengungkapkan bahwa

novel merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia dengan sebuah

model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif penokohan, latar serta sudut

pandang yang bersifat imajinatif, meskipun semua yang ditawarkan oleh pengarang

(2)

dalam novelnya sengaja dianalogikan dengan dunia nyata, tetapi hal tersebut tampak seperti sungguh ada dan benar terjadi. Hal tersebut dikarenakan suatu karya sastra tidak terlepas dari kehidupan nyata yang ada.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut mengenai pengertian novel, maka dapat disimpulkan bahwa novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa. Novel dikemas secara baik oleh seorang pengarang melalui pengalamannya di kehidupan nyata. Sebab, suatu karya sastra tidak dapat terlepas dari kehidupan nyata. Pengarang memberikan sentuhan imajinasi untuk membuat jalan cerita dalam novel tersebut menjadi semakin menarik. Tidak heran jika kini novel banyak digemari oleh orang-orang di kalangan anak muda.

2. Unsur-unsur Novel

Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung ikut serta dalam membangun cerita. Unsur intrinsik terdiri dari plot (alur cerita), karakter (perwatakan), tema (pokok pembicaraan), setting (tempat terjadinya cerita), suasana cerita, gaya cerita dan sudut pandangan pencerita. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra yang tetap memiliki pengaruh terhadap isi atau sistem organisme dalam suatu karya sastra.

Unsur ekstrinsik terdiri dari: biografi penulis, psikologi penulis, keadaan

masyarakat di sekitar penulis dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik novel

yakni unsur biografi, unsur sosial dan unsur nilai. Unsur novel yang dibahas

dalam bab ini adalah yang berkaitan langsung dengan penelitian. Unsur-unsur

tersebut adalah tokoh dan penokohan.

(3)

1) Tokoh dan Penokohan

Menurut Aminudin (2014:79) tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.

Istilah tokoh mengacu pada orangnya, pelaku cerita. Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau cerita rekaan. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2012:165) tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan-kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita.

Penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya (Rokhmansyah, 2014:34). Penokohan dapat diwujudkan secara langsung dan tidak langsung.

Penokohan merupakan salah satu unsur intrinsik karya sastra di samping

tema, sudut pandang, amanat alur dan latar atau setting. Penokohan ialah cara

pengarang menggambarkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Sementara tokoh

ialah orang atau pelaku yang berperan dalam cerita. Penokohan dan perwatakan

adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya

yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat

istiadatnya, dan sebagainya. Menurut Nurgiyantoro (2012:165) penokohan adalah

pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah

cerita. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut

(4)

penokohan. Penokohan dan perwatakan sangat erat kaitannya. Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh tersebut, sedangkan perwatakan berhubungan dengan bagaimana watak tokoh-tokoh tersebut. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa penokohan adalah penggambaran atau pelukisan mengenai tokoh cerita baik lahirnya maupun batinnya oleh seorang pengarang.

Jadi perbedaan di antara tokoh dan penokohan adalah sebagai berikut, tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita, sedangkan penokohan adalah hanyalah sebuah penggambaran dari tokoh itu sendiri atau lebih tepatnya bisa disebut sebagai sifat.

Penggambaran watak tokoh novel dapat diungkapkan dalam kata sifat, seperti baik hati, malas, jahat, pandai, rajin, pelit, teliti dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut dapat diungkapkan langsung oleh penulis (pencerita) atau melalui perkataan tokoh-tokoh lain. Bila tidak menemukan sifat tokoh dinyatakan melalui perkataan pencerita atau tokoh-tokoh lain, sifat dapat juga ditentukan dari tindakan-tindakan tokoh tersebut dalam cerita.

2.2 Psikologi Sastra

Salah satu pendekatan untuk menganalisis karya sastra yang syarat akan

aspek-aspek kejiwaan adalah melalui pendekatan psikologi sastra. Psikologi sastra

sebagai suatu pendekatan merupakan bentuk kreativitas yang dihadirkan melalui

model penelitian interdisiplin dengan menetapkan karya sastra sebagai pemilik

posisi yang lebih dominan (Ratna, 2011:349). Dari hal tersebut dapat diketahui

(5)

bahwa psikologi sastra tidak hanya menyodorkan model penelitian saja melainkan diikutsertakannya bentuk kreativitas ke dalam pendekatannya melalui teks.

Wiyatmi (2011:1), menjelaskan bahwa psikologi sastra lahir sebagai salah satu jenis kajian sastra yang digunakan untuk membaca dan menginterpretasikan karya sastra, pengarang karya sastra dan pembacanya dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam psikologi. Oleh karena itu teori-teori psikologi yang akan digunakan dalam penelitian sastra, harus ada relevansinya dengan apa yang akan diteliti.

Psikologi dan sastra mempunyai hubungan yang fungsional, sehingga prinsip psikologi dapat diterapkan dalam analisis sastra. Penerapan prinsip psikologi dalam sastra dapat dilakukan dengan empat macam cara. Pertama, diterapkan pada pembahasan tentang pengarang sebagai penghasil suatu karya. Kedua, diterapkan pada pembahasan tentang proses penciptaan karya sastra. Ketiga, diterapkan dalam menganalisis karya sastra. Keempat, diterapkan pada pembahasan tentang pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Sedangkan untuk memahami teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara antara lain: a) melalui pemahaman teori-teori psikologi, kemudian dianalisis terhadap suatu karya sastra. b) terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. c) secara simultan menemukan teori dan objek penelitian (Endraswara, 2013:89). Selanjutnya, memperlihatkan bahwa teks yang ditampilkan melalui suatu teknik dalam teori sastra ternyata dapat mencerminkan suatu konsep dari psikologi yang diusung oleh tokoh fiksional.

Dengan kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, pemahaman

tentang sastra dapat seimbang. Oleh karena itu pemunculan psikologi sastra perlu

(6)

mendapat sambutan. Setidaknya sisi lain dari sastra akan terpahami secara proporsional dengan penelitian psikologi sastra.

Psikologi dan sastra memiliki hubungan yang fungsional, karena sama- sama mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif (Endraswara, 2013:97).

Akan tetapi keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kejiwaan manusia, karena terdapat suatu kemungkinan apa yang tertangkap oleh pengarang tidak mampu diamati oleh psikolog.

Pada dasarnya antara psikologi dan sastra memiliki persamaan yaitu sama- sama membicarakan manusia dan keberlangsungannya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Selain itu, keduanya juga memanfaatkan landasan yang sama yaitu menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan telaah (Endraswara, 2013:2). Perbedaan di antara keduanya hanya terletak pada objek yang dibahas saja. Jika psikologi membicarakan manusia sebagai sosok yang riil sebagai ciptaan Tuhan, dalam karya sastra objek yang dibahas adalah tokoh-tokoh yang diciptakan oleh seorang pengarang atau disebut sebagai tokoh imajinasi semata.

Walaupun demikian pengertian antara psikologi dan ilmu jiwa memiliki

perbedaan yang pada intinya sesuatu hal yang disebut dengan ilmu jiwa itu belum

tentu bisa dikatakan sebagai psikologi, tetapi psikologi dapat diartikan sebagai

ilmu jiwa. Dengan kata lain psikologi merupakan salah satu ilmu yang memiliki

kesan meluas. Kesan meluas tersebut dapat dilihat dari adanya hubungan antara

ilmu psikologi dengan ilmu-ilmu yang lain seperti biologi, sosiologi, filsafat, ilmu

pengetahuan alam, dan salah satunya yaitu hubungan antara psikologi dengan

(7)

sastra. Psikologi merupakan ilmu yang dapat dihubungkan dengan karya sastra karena psikologi itu sendiri mengarah kepada suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang tingkah laku serta aktivitas-aktivitas di mana tingkah laku serta aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup.

Menurut Ratna (2011:343) terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dan sastra, yaitu:

a) Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis.

b) Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra.

c) Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

2.3 Konflik Batin

Dalam suatu kehidupan sosial, manusia tidak dapat melepaskan diri dari

eksistensi dan jalinan hubungan dengan manusia yang lain. Suatu struktur sosial

yang dibentuk oleh kelompok masyarakat tertentu akan memberlakukan satu nilai

sosial tertentu pula. Adanya perbedaan kepentingan antar individu yang ada dalam

suatu masyarakat akan menimbulkan sebuah bentrokan atau konflik. Menurut

Nurgiyantoro (2012:122) konflik menyaran pada sesuatu yang bersifat tidak

menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita. Cerita tanpa

adanya konflik akan mati rasa dan tidak menarik. Adanya konflik dalam suatu

cerita akan membuat cerita menjadi berkembang, berbagai cerita baru akan

berkembang karena adanya konflik. Menurut KBBI (2019:512) konflik

merupakan suatu ketegangan atau pertentangan di dalam sebuah cerita rekaan atau

drama, pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh

cerita, pertentangan antar dua tokoh dan lain sebagainya.

(8)

Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dan yang lain, bahwa konflik hakikatnya merupakan peristiwa.

Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan terjadinya konflik. Sebaliknya karena terjadi konflik, peristiwa-peristiwa lain pun dapat bermunculan, sebagai akibatnya. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi semakin meningkat. Konflik yang telah sedemikian meruncing, katakanlah sampai pada titik puncak, disebut klimaks.

Konflik dapat terjadi disebabkan faktor dari luar, antara perbuatan orang yang saling bertentangan (pertentangan antara pilihan tidak sesuai dengan keinginan, kebimbangan dalam menghadapi permasalahan, harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan) dan dapat juga terjadi dari dalam orang itu sendiri, yaitu pertentangan nurani (konflik antara hak dan kewajiban, antara kemanusiaan dan naluri alam). Pertentangan itu tidak selalu berupa kekuatan-kekuatan yang aktif melainkan juga dapat berupa keadaan yang tenang, dimana segala sesuatu yang ada sangat menghalangi tokoh cerita.

Konflik dalam cerita oleh Sayuti (2018:42-43) dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, konflik dalam diri seseorang tokoh, konflik jenis ini disebut psychological conflict atau konflik kejiwaan yang biasanya berupa perjuangan

seorang tokoh dalam melawan dirinya sendiri sehingga dapat mengatasi dan

menentukan apa yang akan dilakukannya. Kedua, social conflict atau konflik

sosial yang biasanya berupa konflik tokoh dalam kaitannya dengan permasalahan-

permasalahan sosial. Konflik ini timbul dari sikap individu terhadap lingkungan

sosial mengenai berbagai masalah. Ketiga, konflik antara manusia dan alam,

konflik ini disebut sebagai physical of element conflict atau konflik alamiah yang

(9)

biasanya muncul tatkala tokoh tidak dapat menguasai dan atau memanfaatkan serta membudayakan alam sekitar sebagaimana mestinya.

2.4 Bentuk Konflik Batin

Konflik batin mempunyai beberapa bentuk, antara lain sebagai berikut:

Konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict), konflik mendekat- menjauh (approach avoidance conflict), konflik menjauh-menjauh (avoidance- avoidance conflict). (Sundari, 2005:48 ; Wiramihardja, 2015:46-47). Ketiga

bentuk konflik ini menjadi landasan teori yang dipakai dalam pembahasan.

1) Konflik Mendekat-Mendekat (Approach-Approach Conflict)

Konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict) adalah adanya pertentangan yang melibatkan dua hal atau lebih yang sama-sama diinginkan. Solusi dari konflik ini adalah yang terpenting individu bersedia memilih salah satu dari dua hal atau lebih yang menyenangkan atau membuang salah satu atau lebih hal yang sebenarnya sama-sama menyenangkan. Jenis konflik ini lebih menyulitkan individu.

Pada orang-orang tertentu, terkadang mereka memilih untuk mempertahankan keduanya (Sundari, 2005:48 ; Wiramihardja, 2015:47). Sementara itu, Semiun (2010:403) misalnya tugas seorang dokter adalah mengobati dan mengecek kesehatan pasiennya, namun aktivitas itu tidak dapat dilakukan secara bersamaan karena pasiennya berbeda-beda. Untuk beberapa dokter dua hal itu membuat mereka sulit untuk memilih karena kedua hal tersebut adalah kewajibannya.

2) Konflik Mendekat-Menjauh (Approach Avoidance Conflict)

Konflik ini merupakan konflik yang berisi tentang kecenderungan individu

dalam mendekati atau menjauhi sesuatu yang ingin dicapai, dimana di dalamnya

(10)

terdapat nilai positif dan nilai negatif. Konflik ini berhubungan dengan seseorang hanya perlu menerima, karena nilai positif dan negatif tidak bisa dihilangkan salah satunya (Sundari, 2005:48 ; Wiramihardja, 2015:46). Konflik ini merujuk pada hubungan seseorang dengan orang lain yang tidak sepenuhnya atas dasar suka.

Dalam hubungan sesorang dengan orang lain itu terdapat hal lain yang bisa jadi adalah sesuatu yang menyebalkan. Seseorang mungkin menyukai lawan bicaranya, tetapi sekaligus ada perasaan tidak suka, penyebabnya bisa jadi karena sifat-sifat kepribadiannya yang mungkin menjijikkan. Sebagai contoh seorang mahasiswa sangat menyukai mata kuliah tertentu sejak masih duduk di bangku SMA, tetapi di perguruan tinggi dia mendapati dosen yang tidak sesuai dengan ekspetasinya. Akhirnya, dia terjebak dalam kondisi dimana dia menyukai mata kuliah tertentu sejak di bangku SMA, sekaligus dia tidak menyukai dosen yang menyebalkan (Semiun 2010:404).

3) Konflik Menjauh-Menjauh (Avoidance-Avoidance Conflict)

Konflik ini merupakan sebuah konflik pertentangan antara dua hal yang sama- sama tidak disukai. Dalam kondisi ini, individu harus tetap memilih, karena jika tidak, berarti dia menyerah dan bisa jadi ada resiko yang harus diterima atas pilihannya tersebut (Sundari, 2005:48 ; Wiramihardja, 2015:47). Konflik menjauh-menjauh dimaksudkan bahwa individu terjebak dalam dua pilihan atau lebih yang negatif. Individu tidak bisa melarikan diri jika mengalami konflik ini.

Individu harus tetap memilih meskipun keadaannya adalah hal yang sama-sama

tidak disukai. Dengan penyelesaian konflik ini, individu bersedia memilih yang

lebih sedikit menilai negatifnya. Jika ada dua pilihan maka individu harus

memilih yang resikonya lebih sedikit. Sebagai contoh dari konflik ini, ada anak

(11)

yang ingin putus sekolah karena minder, tetapi dia takut akan banyak orang yang tidak menghargainya (Semiun, 210:403).

Konflik yang dialami tokoh dari awal akan membentuk pusaran yang mengerucut. Konflik tokoh yang meruncing akhirnya akan meledak pada titik yang disebut klimaks. Konflik dapat terjadi antara manusia dengan manusia, konflik manusia dengan alam sekitarnya, konflik manusia dengan masyarakat, sesuai ide dengan ide lain dan seseorang dengan kata hatinya. Setiap konflik akan menimbulkan reaksi yang bermacam-macam, itu disebabkan latar belakang individu juga bermacam-macam. Konflik disini memiliki beberapa tingkatan, yaitu berkaitan dengan konflik yang mudah diadakan penyelesaian, konflik yang menimbulkan seseorang mengalami kebimbangan yang berlarut-larut, dan ada juga konflik yang membuat individu tidak bisa memilih untuk menyerah. Dan berbagai tingkatan tersebut akan memberikan gambaran bahwa ada beragam manusia dengan segala permasalahannya memilih cara sendiri untuk menyelesaikan sebuah konflik dalam kehidupannya. Tetapi yang terpenting adalah pertimbangan dalam memilih cara penyelesaian harus didasari pikiran dan perasaan yang tenang (Semiun, 2010:403).

2.5 Faktor Penyebab Konflik Batin

Konflik sangat berkaitan erat dengan peristiwa kehidupan sehari-hari. Konflik

dapat terjadi karena adanya pertentangan antara beberapa pihak untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Ada beberapa faktor yang bisa menyebakan terjadinya

konflik batin seperti yang dikemukakan oleh (Semiun, 2010: 350 ; Wiramihardja,

2015:17) yang mengemukakan lima faktor penyebab terjadinya konflik batin, yaitu:

(12)

1) Persepsi Diri (Self Persepsion) dan Cognetive Map

Persepsi diri berkaitan dengan konflik yang terjadi di masa lampau akan mempengaruhi seseorang di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan latar belakang yang berbeda menimbulkan permasalahan yang berbeda pula.

Sedangkan cognetive map adalah hubungan manusia dengan lingkungannya.

Adanya lingkungan sosial yang baik akan membentuk perilaku yang baik pula.

Begitu pula sebaliknya, jika lingkungan sosialnya buruk, maka tidak menutup kemungkinan bahwa perilakunya sesuai dengan lingkungannya (Semiun, 2010:

350; Wiramihardja, 2015:17).

2) Early Deprivation

Deprivation adalah suatu istilah yang menggambarkan adanya reaksi

menerima atau pasrah dari individu terhadap situasi atau keadaan yang menuntut.

Konflik ini memberikan rasa tidak nyaman di hati individu. Senang atau tidak senang, keadaan yang menuntut tersebut harus tetap dihadapi dan dijalani. Dari keadaan yang menuntut tersebut, individu biasanya merasakan sakit hati setiap harinya, karena tidak ada pilihan lain selain menjalaninya sampai titik akhir hidupnya (Wiramihardja, 2015:18). Terdapat beberapa wujud yang menghasilkan deprivasi, yaitu:

a) Instutionalisasi

Instutionalisasi adalah sebuah kondisi seorang anak yang masih merasakan

atau membutuhkan pemeliharaan intensif dari orangtuanya. Anak terpaksa harus

menghilangkan harapan untuk mendapatkan kehangatan dari orangtua karena

orangtua bekerja (Wiramihardja, 2015:19). Sedangkan menurut Slamet dan

Sumarno Markam (2007:44) Instutionalisasi sebuah kondisi dimana anak harus

(13)

dititipkan kepada baby sitter atau asrama. Anak-anak yang seperti itu biasanya akan memperoleh hambatan dalam perkembangan intelektual dan bahasa. Anak dalam kondisi seperti ini sering menunjukkan sikap apati sosial, sikap acuh tak acuh, atau haus akan kasih sayang.

b) Deprivasi di rumah

Deprivasi adalah sebuah situasi yang tidak menyenangkan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi ketika seorang anak menghadapi ancaman-ancaman. Respon- respon yang dikondisikan menjadi dasar dari pengalaman-pengalaman traumatik yang bisa digeneralisasikan terhadap situasi lain. Situasi traumatik cenderung untuk menghasilkan sikap dan perilaku yang kuat dan otomatis yang relatif (Wiramihardja, 2015:19). Deprivasi ini akan mempengaruhi permasalahan yang dialami oleh seseorang. Tidak menutup kemungkinan bahwa masalah akan menjadi lebih sulit sebagai akibat adanya deprivasi.

3) Pengasuhan Orangtua yang tidak Adequat

Wiramihardja, (2015:19) berpendapat bahwa pengasuhan orangtua yang

tidak adequate atau inadequat parenting adalah tidak adanya rasa aman pada diri

anak terhadap pengasuhan dari orangtuanya. Anak merasa tidak terpelihara

dengan baik, sebagai akibatnya, mungkin saja anak tidak memberikan nilai positif

kepada orangtuanya. Anak juga merasa tidak bahagia hidup bersama orangtuanya

Menurut Slamet dan Sumarno Markam (2007:44) pengasuhan orang tua yang

tidak adequat akan menimbulkan pengaruh negatif. Misalnya, kurangnya nafsu

makan, bertambahnya tegangan otot, mudah marah dan menjadi anak yang

tertutup.

(14)

4) Struktur Keluarga yang Patogenik

Struktur keluarga yang patogenik adalah struktur keluarga yang tidak terkoordinir dengan baik. Banyak hal buruk yang didapatkan anak dari sikap orangtuanya. Keluarga yang terganggu atau terguncang akan nampak dalam:

a) orangtua yang berusaha menyeimbangkan urusannya sendiri dengan urusan anak. Tetapi ada beberapa hal yang tetap tidak bisa diterima oleh anak, sehingga menyebabkan anak merasa tidak terpelihara dengan baik, b) komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara orangtua dan anak, c) Incredibility, yaitu adanya rasa tidak saling percaya atau tidak saling menghargai antara orangtua dan anak, d) keluarga yang tidak lengkap sebagai akibat karena adanya kematian, perceraian, atau situasi yang lain, dan e) maladaptif relationship (hubungan antara teman sebaya yang maladaptif). Adanya hubungan dengan teman sebaya dalam keluarga yang tidak dilandasi adanya saling menyayangi, saling mengasihi, tidak peduli satu sama lain. Hubungan yang seperti itu juga dapat membuat anak merasa dikucilkan atau tersisihkan (Wiramihardja, 2015:20-21).

5) Trauma pada Masa Anak-anak

Wiramihardja (2015:17) berpendapat bahwa trauma adalah pengalaman

yang tidak menyenangkan. Dari pengalaman tersebut dapat mempengaruhi

terjadinya pemahaman negatif dan kemudian menimbulkan rasa takut atau cemas

dalam jiwa individu. Pengalaman buruk tersebut membuat seseorang dilanda

cemas ketika dihadapkan pada situasi yang sama dengan masa lalunya. Cemas

yang dirasakan seseorang itu bisa jadi dampak panjang hingga seseorang itu

meninggal.

(15)

Dari beberapa pendapat tersebut mengenai faktor penyebab konflik, dapat

disimpulkan bahwa dalam menyikapi sebuah konflik, individu harus mengetahui

akar permasalahannya terlebih dahulu, sehingga permasalahan dapat diatasi

dengan cepat, tanpa menyebabkan perasaan yang tidak nyaman kepada diri sendiri

serta menyebabkan terganggunya suatu tujuan yang akan dicapai dalam

kehidupan. Latar belakang yang bermacam-macam, menimbulkan permasalahan

yang dialami individu juga bermacam-macam dan faktor penyebabnya juga

bermacam-macam. Adanya perbedaan latar belakang tersebut, mempengaruhi

perbedaan pola pikir dalam menyelesaikan masalah. Ada yang membuat

keputusan secara tergesa-gesa, ada pula yang mengambil langkah tindakan

penyelesaian masalah dengan hati yang tenang dan pikiran yang dingin. Yang

terpenting adalah manusia harus memahami bahwa setiap permasalahan akan ada

solusinya. Dalam solusi itu terdapat beberapa pilihan yang harus dipilih oleh

individu. Seringkali konflik yang menghampiri kehidupan manusia membuat

keadaan menjadi tidak tenang dan tidak nyaman, karena individu perlu

mengetahui akar permasalahannya tersebut. Setelah ditemukan akar

permasalahannya, individu mulai mencari jalan keluar paling efektif dari

permasalahannya tersebut. Solusi yang dipilih harus sudah melalui proses

pertimbangan yang matang dan sudah memikirkan konsekuensi yang akan terjadi

setelahnya. Jika sudah demikian, maka konflik tidak akan berlarut-larut, dan hidup

akan berubah menjadi aman dan nyaman.

(16)

2.6 Bentuk Penyelesaian Konflik Batin

Manusia dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak terlepas dari masalah.

Masalah tersebut bisa datang dari diri sendiri, maupun masalah yang ditimbulkan dari orang lain yang terjadi karena perbedaan pemikiran atau pendapat. Setiap orang memiliki gaya masing-masing untuk menyelesaikan konflik yang dialami.

Terdapat banyak sekali cara seseorang dalam mengelola konflik. Seperti yang dikemukakan oleh seorang psikolog Johson (Harapan dan Ahmad, 2014: 134) yang mengemukakan lima gaya dalam mengelola konflik antar pribadi, yaitu : 1) Gaya Kura-kura

Kura-kura lebih senang menarik diri dan bersembunyi dibalik tempurung badannya untuk menghindari konflik. Mereka cenderung menghindar dari pokok persoalan maupun dari orang-orang yang dapat menimbulkan konflik. Mereka meyakini bahwa setiap usaha memecahkan konflik hanya akan sia-sia. Lebih mudah menarik diri secara fisik maupun psikologis dari konflik yang menimpanya. Contoh: setiap mendapat masalah Tacik selalu menghindar dan tidak ingin memecahkan konflik. Sifat Tacik inilah diumpamakan seperti kura- kura yang selalu menghindar dari setiap permasalahan (Harapan dan Ahmad, 2014: 134).

2) Gaya Ikan Hiu

Menurut Harapan dan Ahmad (2014: 134), gaya ikan hiu yaitu

menaklukkan lawan dengan memaksanya menerima solusi konflik yang ia

berikan. Baginya tercapainya kepuasan pribadi adalah yang utama, sedangkan

hubungan dengan pihak lain tidak berlaku. Penting baginya konflik harus

dipecahkan dengan cara satu pihak menang dan pihak lainnya kalah. Watak ikan

(17)

hiu ialah selalu mencari menang dengan cara menyerang, dan mengancam ikan lain. Contoh: Tacik selalu memaksakan kehendaknya dalam memecahkan konflik dengan orang lain.

3) Gaya Kancil

Harapan dan Ahmad (2014: 134) berpendapat bahwa gaya kancil sangat mengutamakan hubungan dan kurang mementingkan tujuan-tujuan pribadinya. Ia ingin diterima dan disukai oleh binatang. Ia berkeyakinan bahwa konflik harus dihindari demi kerukunan. Setiap konflik harus didamaikan, bukan dipecahkan agar hubungan tidak menjadi rusak. Jadi lebih baik menghindari konflik dan menjaga hubungan baik daripada mementingkan tujuan pribadi dan menimbulkan adanya konflik. Contoh: Tacik selalu memaksakan kehendaknya dalam memecahkan konflik dengan orang lain.

4) Gaya Rubah

Menurut Harapan dan Ahmad (2014: 134), gaya rubah yaitu senang mencari kompromi. Baginya, baik tercapainya tujuan-tujuan pribadi maupun hubungan baik dengan pihak lain sama-sama cukup penting, ia mau mengorbankan sedikit tujuan-tujuannya dan hubungannya dengan pihak lain demi tercapainya kepentingan dan kebaikan bersama. Menyelesaikan masalah dengan jalan kompromi agar tidak ada yang merasa dirugikan. Contoh: Tacik selalu mencari kompromi dengan orang yang mempunyai konflik dengannya.

5) Gaya Burung Hantu

Burung hantu sangat mengutamakan tujuan-tujuan pribadinya sekaligus

hubungannya dengan pihak lain. Baginya, konflik merupakan masalah yang harus

dicari pemecahannya dan pemecahan itu harus sejalan dengan tujuan-tujuan

(18)

pribadinya maupun tujuan-tujuan pribadi lawannya. Menurutnya, konflik

bermanfaat meningkatkan hubungan dengan cara mengurangi ketegangan yang

terjadi antara dua pihak yang berhubungan. Dalam menghadapi konflik burung

hantu selalu berusaha mencari penyelesaian yang memuaskan kedua pihak dan

yang mampu menghilangkan ketegangan serta perasaan negatif lain yang muncul

di dalam diri kedua belah pihak akibat konflik itu. Contoh: Tacik selalu mencari

jalan keluar yang terbaik dari permasalahannya dengan orang yang mempunyai

konflik dengannya agar mereka puas (Harapan dan Ahmad, 2014: 134).

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat dari perbandingan ini untuk mengetahui buffer yang dibutuhkan pada aplikasi tersebut antar dua komputer dalam satu jaringan peer to peer.. Dengan menggunakan dua

purposive random sampling sehingga untuk penelitian selanjutnya gunakan sampling acak secara murni, (2) guru matematika dapat me- nerapkan model pembelajaran Resource

Program pensiun iuran pasti adalah program pensiun dimana Perusahaan akan membayar iuran tetap kepada sebuah entitas yang terpisah (Dana Pensiun Astra Dua) dan tidak memiliki

Penerapan metode LVQ digunakan di dalam mencari bobot yang sesuai, untuk mengelompokkan vektor- vektor input ke dalam kelas-kelas yang telah diinisialisasikan pada

Karakteristik rumah tangga miskin berdasar analisis deskriptif, diketahui bahwa kemiskinan lebih banyak terjadi pada : Rumah tangga migran, rumah tangga yang

Hazarların baskısı ile yerlerinden ayrılan Bulgarları, 584 yılında Attila’nın oğlu İrnek’in torunlarından Kurt Han, Macar ovasına getirdi. Daha sonra

Walaupun sikap Jepang terhadap umat Islam lebih lunak (ini dilihat dari kebijaksanaan-kebijaksanaan Jepang) dari Belanda, namun di balik semua itu tersembunyi maksud untuk

Susanto (2013:72) juga menjelaskan lebih detail bahwa: “Sistem informasi akuntansi dapat didefinisikan sebagai kumpulan (integarsi) dari sub-sub sistem/komponen baik fisik