BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Handgrip
Handgrip atau pegangan bus, biasa dikenal dalam sistem transportasi di Jepang dengan nama tsurikawa atau dalam bahasa Inggrisnya hanging straps.
Handgrip pertama kali mulai diaplikasikan di dalam sistem kereta api bawah tanah di London di awal tahun 1910-an, yang kemudian diaplikasikan juga di Metro Paris dan New York City Subway. Jepang mulai mengadopsi sistem tersebut pada tahun 1923, di sistem Tokyo Subway seri 1000. (Takahashi, M. Depth Railway Dictionary For Maniac Fans. 2001).
Sumber: Takahashi, M. Depth Railway Dictionary For Maniac Fans. (2001).
Gambar 2.1 Interior Kereta Bawah Tanah New York dengan Handgrip
Handgrip berfungsi untuk menjaga keamanan dan kenyamanan penumpang yang berdiri pada jam-jam padat, agar penumpang yang berdiri tidak terpelanting akibat getaran dan goyangan pada gerbong saat kereta melaju, juga untuk memudahkan pengguna berjalan dari satu-tempat ke tempat lainnya ketika kendaraan sedang melaju. (Takahashi, M. Depth Railway Dictionary For Maniac Fans. 2001).
Sumber: Takahashi, M. Depth Railway Dictionary For Maniac Fans. (2001).
Gambar 2.2 Tsurikawa pada Tokyo model 1000
Tsurikawa pada model awal terbuat dari batangan besi tempa, namun pada
perkembangannya terbuat dari polycarbonate atau PVC dengan tali gantungan terbuat
dari bahan kain kanvas, kain nilon atau kulit, namun bahan kulit lebih dipilih karena
mampu menahan beban lebih kuat dan koefisien geseknya lebih besar, sehingga tidak
mudah slip dari handbar. (Takahashi, M. Depth Railway Dictionary For Maniac
Fans. 2001).
Setelah PD II, penggunaan tsurikawa juga meluas ke dalam interior bus kota (Takahashi, M. Depth Railway Dictionary For Maniac Fans. 2001). Transjakarta sejak awal pengoperasiannya di tahun 2004, telah menyediakan handgrip agar penumpang yang berdiri dapat berkendara dengan aman dan nyaman. Sejauh ini ada 4 tipe utama handgrip yang terdapat dalam Transjakarta, yang paling awal ialah tipe kotak yang muncul di tahun 2004, diikuti tipe segitiga, tipe bulat dan yang terakhir tipe oval. Mayoritas tipe handgrip yang berada di Transjakarta ialah tipe kotak dan tipe segitiga, dengan bahan handgrip yang berupa polycarbonate.
Sumber: ITDP & BLU Transjakarta
Gambar 2.3 Keempat Tipe Handgrip dalam Transjakarta
2.2 Perancangan Ergonomis
Mengacu kepada International Ergonomics Association, Ergonomi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari faktor- manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau dari sisi anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain/perancangan untuk mendapatkan suasana kerja yang sesuai dengan manusianya.
Penerapan ergonomi dapat berupa rancang bangun (design) dan atau rancang ulang (re-design) dari proses kerja ataupun peralatan kerja (Nurmianto, Eko.
Ergonomi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, 2008) Ergonomi, dalam desain, mempertimbangkan kemampuan pengguna untuk melakukan gerakan tertentu dan jarak tertentu terhadap gerakan yang dilakukan. Hal ini mencakup efek kelelahan pada pekerja saat operasi yang berulang dilakukan selama rentang waktu tertentu.
(Hunter, Thomas A. Engineering Design for Safety, 2007).
Dalam perancangan produk, desainer perlu mempertimbangkan beberapa
faktor yang mengakibatkan penggunaan umpan balik dari orang yang
mengoperasikan produk mereka. Dalam banyak kasus kegagalan desainer dalam
memberikan perhatian yang cukup terhadap keterbatasan faktor manusia, sering
disebabkan oleh pengabaian umpan balik yang diberikan oleh pengguna produk, baik
yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif (Hunter, Thomas A. Engineering Design
for Safety, 2007).
Dalam aplikasi perancangan ergonomis, kita perlu memperhatikan keselarasan antara hasil rancangan dengan penggunanya (Kroemer, 2001 : 398). Dengan kata lain, desain yang ergonomis ditentukan berdasarkan interaksi antara pengguna alat dan alat yang digunakan, dimana pengguna menerima input taktil (rangsangan peraba, dengan cara memegang alat di tangan) dan input visual (dengan melihat alat) (Vink, P. Looze, M.P. de, Kuijt‐Evers, 2005). Artinya, respon yang diberikan oleh setiap pengguna terhadap produk menjadi unik. Pengalaman pengguna tergantung pada waktu dan penyebab tertentu yang dihasilkan pengguna dalam berinteraksi dengan produk. Frekuensi penggunaan produk dan kebiasaan dalam menggunakan produk, memberikan informasi yang penting bagi perancangan produk. (Journal of Design Vol.1 No.1 2007, Pieter Desmet and Paul Hekkert, hal 57-66).
Pengalaman dalam menggunakan peralatan tangan penting untuk menentukan
informasi yang dibutuhkan untuk merancang peralatan tangan yang ergonomis atau
secara sederhana nyaman bagi penggunanya. (International Journal of Design Vol.1
No.1 2007, Pieter Desmet and Paul Hekkert, hal 57-66).
Hubungan antara pengguna (user) dengan alat dan pekerjaan digambarkan dalam Gambar 2.4 Pengguna (user) ditempatkan pada puncak segitiga, karena pengguna dapat menggambarkan pengalaman interaksi penggunaan alat ketika bekerja dan lingkungan pekerjaan saat alat tersebut digunakan.
Sumber: Kuijt-Evers, L. F. M., Comfort in Using Hand Tools: Theory, Design and Evaluation.
(2006).
Gambar 2.4 Hubungan antara Pengguna, Peralatan serta Pekerjaan
2.3 Kenyamanan dan Kelelahan 2.3.1 Kenyamanan
Kenyamanan dapat didefinisikan kedalam beberapa definisi. Menurut Kuijt- Evers (2007), Vick (2005), Dumur (2004) dan Looze (2003) yang mencoba mendefinisikan kenyamanan dalam desain, kenyamanan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) kenyamanan merupakan konstruksi subyektif
2) kenyamanan dipengaruhi oleh faktor yang memiliki berbagai macam sifat, (fisik, fisiologis, psikologis)
3) kenyamanan merupakan reaksi terhadap lingkungan.
Sebuah alat dikatakan "nyaman" jika sesuai dengan tuntutan pekerjaan
dilakukan, sesuai dengan tangan yang memakainya tanpa menyebabkan postur yang
janggal, tekanan kontak yang berbahaya, maupun keselamatan dan risiko kesehatan
lainnya. (Hight, R et al. (2004).
2.3.2 Kelelahan
Menurut Nurmianto, E. (2008), kelelahan dapat disebabkan karena kondisi kerja yang terlalu lama yang menyebabkan kadar glikogen dalam darah menurun drastik di bawah normal, dan kebalikannya, kadar asam laktat akan meningkat. Hal tersebut merupakan proses kontraksi otot yang telah disederhanakan analisa pembangkit energinya dan sekaligus menandakan pentingnya aliran darah untuk otot.
Kecelakaan cenderung mudah terjadi apabila peralatan yang digunakan tidak sesuai dengan bentuk tangan penggunanya, yang dalam hal ini adalah para penumpang Transjakarta. Jika tetap digunakan alat yang tidak sesuai bentuk tangan pengguna, atau menggunakan alat dengan cara yang tidak seharusnya, pengguna cenderung akan mengalami cedera, seperti carpal tunnel syndrome, tendonitis serta ketegangan otot. Cedera ini tidak terjadi karena satu aktivitas, seperti jatuh.
Sebaliknya, merupakan akibat dari pengembangan berulang yang dilakukan dari
waktu ke waktu atau untuk periode waktu yang panjang, yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada otot, tendon, saraf, ligamen, sendi, tulang rawan, cakram tulang
belakang, atau pembuluh darah. Cedera ini didefinisikan sebagai Cummulative
Trauma Dissorder (CTD). Menurut Kroemer, et al. (2001), munculnya keluhan
kesehatan yang berhubungan dengan trauma kumulatif dapat dianalogikan dengan
bentuk gunung, seperti digambarkan dalam Gambar 2.5. Dasarnya yang lebar
mencontohkan akumulasi kasus sehari-hari yang umum, seperti kejenuhan, kelelahan,
kegelisahan, dan ketidaknyamanan selama atau setelah hari kerja yang panjang.
Sumber: Kroemer, et al. Ergonomics: How to Design for Ease and Efficiency. (2001).
Gambar 2.5 Piramida Cummulative Trauma Dissorder
Kelelahan yang terjadi secara simultan dan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama, karena peralatan tangan yang kurang ergonomis cenderung dapat menimbulkan keluhan sebagai berikut:
• Kesemutan
• Pembengkakan pada sendi
• Penurunan kemampuan untuk bergerak
• Penurunan kekuatan cengkeraman
• Nyeri dari gerakan, tekanan, atau paparan terhadap getaran atau dingin
• Kelelahan otot terus menerus
• Pegal-pegal
• Mati rasa
• Perubahan warna kulit tangan atau ujung jari
(Hight, R., et al. (2004). A Guide to Selecting Non-Powered Hand Tools. NIOSH Publication No. 2004 – 164, 2).
2.4 Antropometri
2.4.1 Pengertian Antropometri
Pheasant (1988) menjelaskan pengertian antropometri sebagai ilmu yang khusus berkaitan dengan pengukuran tubuh manusia, dan digunakan untuk menentukan perbedaaan individu, kelompok, dan sebagainya.
Sanders & McCormick (1992) menjelaskan bahwa antropometri
merupakan pengetahuan yang menyangkut pengukuran dimensi tubuh
manusia dan karakteristik khusus lain dari tubuh yang relevan dengan
perancangan alat-alat/benda-benda yang digunakan manusia. Dari beberapa
pengertian di atas inti dari antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh
manusia untuk diaplikasikan pada peralatan kerja manusia. Antropometri
berasal dari bahasa Yunani yaitu Anthropos yang berarti manusia dan Metron
yang berarti ukuran.
Menurut Sutalaksana, dkk (2006), terdapat dua jenis antropometri, yaitu:
a. Antropometri Statis
Merupakan pengukuran manusia pada posisi diam dan linier pada permukaan.
b. Antropometri Dinamis
Merupakan pengukuran keadaan dan ciri-ciri fisik manusia dalam keadaan bergerak atau memperhatikan gerakan-gerakan yang mungkin terjadi saat bekerja.
Akan tetapi terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengukuran tubuh manusia. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi ciri-ciri fisik manusia sehingga berbeda satu dengan yang lain. Kroemer (2001) menjelaskan faktor- faktor tersebut antara lain :
a. Umur.
Ukuran tubuh manusia akan berkembang dari saat lahir sampai dengan umur sekitar 20 tahun untuk pria dan 17 tahun untuk wanita.
b. Jenis Kelamin.
Pada umumnya pria memiliki dimensi tubuh yang lebih besar
kecuali pada bagian dada dan pinggul.
c. Rumpun dan Suku Bangsa (Ras).
Ras Kaukasus pada umumnya memiliki ukuran tinggi badan yang lebih tinggi daripada Ras Mongoloid. Demikian pula bentuk bagian tubuhnya, misalnya raut wajah berbeda untuk setiap suku bangsa.
d. Sosio ekonomi dan konsumsi gizi yang diperoleh.
Faktor sosio ekonomi berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk memenuhi tingkat gizi yang dikonsumsinya. Dengan konsumsi gizi yang baik, seseorang akan lebih mudah terhindar dari penyakit dan berpengaruh juga pada perkembangan fisiknya.
e. Pola Hidup.
Pola hidup yang paling berpengaruh terhadap dimensi tubuh manusia adalah pola makan. Hal ini dapat kita lihat pada adanya perbedaan dimensi tubuh olahragawan dengan karyawan kantor.
Karena terdapat perbedaan ukuran tubuh manusia, maka Sutalaksana, dkk (2006) dalam pemakaian data antropometri menjelaskan 3 (tiga) prinsip dalam pemakaian data tersebut, yaitu :
a. Perancangan berdasarkan individu yang ekstrem.
Prinsip ini digunakan apabila kita mengharapkan agar fasilitas yang dirancang tersebut dapat dipakai dengan cenderung nyaman oleh sebagian besar populasi orang yang akan memakainya (dalam kasus umum, minimal oleh 90%
pemakai).
b. Perancangan fasilitas yang bisa disesuaikan.
Prinsip ini digunakan untuk merancang objek agar objek dapat menampung atau bisa dipakai dengan enak dan nyaman oleh semua pengguna potensial. Kursi pengemudi mobil yang bisa diatur maju mundur dan kemiringan sandarannya serta tinggi kursi sekretaris dan tinggi permukaan meja yang dapat dinaik turunkan merupakan contoh pemakaian prinsip ini.
c. Perancangan individual.
Prinsip ini digunakan apabila objek yang bersangkutan khusus dirancang bagi suatu individu tertentu. Berarti ukuran bagian-bagian objek dibuat tepat untuk tubuh “pemesannya”.
Memang, biasanya ini adalah untuk pemakai khusus seperti orang yang berukuran tubuh ekstrem : amat gemuk, sangat tinggi, dan sebagainya.
Karena terdapatnya berbagai keragaman tersebut di atas, maka untuk menampung seluruh keragaman data itu diperkenalkanlah konsep persentil.
2.4.2 Konsep Persentil
Data-data yang didapatkan dari proses pengambilan data dalam sebuah
populasi memiliki kecenderungan variasi data. Variasi data ini wajar karena setiap
sample atau responden dalam suatu populasi memiliki karakteristiknya masing-
masing. Akan tetapi dengan adanya variasi data ini, maka dalam suatu perancangan
sistem kerja akan menjadi suatu tantangan untuk dapat mengelola keseluruhan
data sehingga hasil perancangan tersebut dapat digunakan oleh sebagian besar
populasi atau jika memungkinkan untuk seluruh data.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai penggunaan data ini maka ada baiknya kita bahas istilah ”The Fallacy of the Average Man or Average Woman”.
Istilah ini mengatakan bahwa merupakan suatu kesalahan dalam perancangan suatu tempat kerja ataupun produk jika berdasar pada dimensi yang hipotesis yaitu menganggap bahwa semua dimensi adalah merupakan rata-rata.
Walaupun hanya dalam pengunaan satu dimensi saja, seperti misalnya jangkauan kedepan forward reach, maka penggunaan rata-rata persentil 50 dalam penyesuaian pemasangan suatu alat kontrol akan menghasilkan bahwa 50% populasi akan tidak mampu menjangkaunya. Selain dari itu, jika seseorang mempunyai dimensi pada rata-rata populasi, katakanlah tinggi badan, maka belum tentu, bahwa dia berada pada rata-rata populasi untuk dimensi lainnya.
Persentil pada dasarnya menyatakan persentase suatu responden atau
sample dalam suatu populasi yang memiliki karakteristik yang sama atau lebih
kecil dari nilai karakteristik tersebut. Misalnya persentil 10 dari populasi ukuran
tinggi tubuh awak kapal menunjukkan bahwa 90% dari populasi awak kapal yang
diukur memiliki tinggi tubuh yang melebihi nilai tersebut. Nilai persentil
didapatkan dari pengukuran suatu populasi dan nilainya merupakan frekuensi
distribusi normal untuk analisis statistik.
Persoalan antropometri akan terletaqk pada faktor-faktor : (1) seberapa besar sampel pengukuran yang harus diambil untuk memperoleh data, (2) haruskan setiap sampel dibatasi per kelompok (segmentasi) yang homogen, (3) apakah seudah tersedia data antropometri untuk populasi tertentu yang nantinya akan menjadi target pemakai produk, dan (4) bagaimana toleransi bisa diberikan terhadap perbedaan dari data yang tersedia dengan populasi yang dihadapi?
Variasi ukuran akan memberikan fleksibilitas rancangan dan sifat “mampu suai” (adjustable) dengan suatu rentang ukuran tertentu. 95
thpercentile, 95% populasi akan berada pada atau di bawah ukuran tersebut, 5
thpercentile, 5% populasi berada pada atau di atas ukuran tersebut.
Gambar berikut akan mengakomodasikan 95% populasi yang ada berada pada rentang 2.5
th- 97.5
thpercentile sebagai batas-batasnya.
Sumber: Kroemer, et al. Ergonomics: How to Design for Ease and Efficiency. (2001).
Gambar 2.6 Batas Persentil
Design for Extreme Individuals. Setiap rancangan produk/fasilitas kerja
dibuat untuk memenuhi dua sasaran pokok: (1) sesuai dengan ukuran ekstrim (terbesar atau terkecil) dari anggota tubuh, dan (2) masih tetap bisa digunakan dengan nyaman untuk ukuran mayoritas populasi yang lain. Implementasi ukuran ditetapkan untuk dimensi minimum didasarkan pada nilai “upper percentile” (90
th, 95
th, atau 99
th), seperti penetapan tinggi/lebar pintu darurat, passage ways, dll.
Untuk dimensi maksimum fasilitas kerja yang ingin dirancang akan ditetapkan berdasarkan nilai “lower percentile” (1
st, 5
th, atau 10
th) dari distribusi data antropometri yang ingin dipakai, seperti penetapan jarak jangkau dari fasilitas kontrol yang akan dioperasikan oleh seorang operator, dll. Penetapan dimensi maximum/minimum biasanya menggunakan nilai 5
thdan 95
thpercentile.
Design for Adjustable Range. Rancangan bisa diubah ukurannya sehingga
cukup fleksibel dipakai oleh setiap orang yang memiliki bentuk dan dimensi ukuran yang berbeda. Contoh sederhana adalah dalam rancangan “adjustable automobile seats” (range 5
ths/d 95
thpercentile).
Design for the Average. Rancangan menggunakan ukuran rata-rata (50
thpercentile) dari populasi data antropometri yang ada. Dalam realitasnya sedikit sekali
orang yang memiliki ukuran tubuh rata-rata.
2.5 Perancangan dan Pengembangan Produk
Produk merupakan keluaran produksi, baik tangible maupn intangible yang dapat ditawarkan ke pasar untuk memuaskan kebutuhan pembeli. (Kotler, P., Armstrong, G., Brown, L., and Adam, S. (2006). Sementara, menurut Karl T. Ulrich dan Steven D. Eppinger pengembangan produk merupakan serangkaian aktivitas yang dimulai dari analisa persepsi dan peluang pasar, kemudian diakhiri dengan tahap produksi, penjualan dan pengiriman produk. Proses Pengembangan produk secara umum terdiri dari tahapan-tahapan atau sering juga disebut sebagai fase.
Menurut Karl T. Ulrich dan Steven D. Eppinger dalam bukunya yang berjudul
“Perancangan dan Pengembangan Produk”, proses pengembangan produk secara keseluruhan terdiri dari 6 fase, yaitu :
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Gambar 2.7 Fase Pengembangan Produk Menurut Ulrich-Eppinger
• Fase 0. Perencanaan
Kegiatan ini disebut sebagai ‘zerofase’ karena kegiatan ini mendahului
persetujuan proyek dan proses peluncuran pengembangan produk aktual.
• Fase 1. Pengembangan Konsep
Pada fase pengembangan konsep, kebutuhan pasar target diidentifikasi, alternatif konsep-konsep produk dibangkitkan dan dievaluasi, dan satu atau lebih konsep dipilih untuk pengembangan dan percobaan lebih jauh. Dimana yang dimaksud dengan konsep di sini adalah uraian dari bentuk, fungsi, dan tampilan suatu produk dan biasanya disertai dengan sekumpulan spesifikasi, analisis produk-produk pesaing serta pertimbangan ekonomis proyek.
• Fase 2. Perancangan Tingkatan Sistem
Fase Perancangan Tingkatan Sistem mencakup definisi arsitektur produk dan uraian produk menjadi subsistem-subsistem serta komponen- komponen. Gambaran rakitan akhir untuk sistem produksi biasanya didefinisikan selama fase ini. Output pada fase ini biasanya mencakup tata letak bentuk produk, spesifikasi secara fungsional dari tiap subsistem produk, serta diagram aliran proses pendahuluan untuk proses rakitan akhir.
• Fase 3. Perancangan Detail
Fase perancangan detail mencakup spesifikasi lengkap dari bentuk,
material, dan toleransi-toleransi dari seluruh komponen unit pada produk dan
identifikasi seluruh komponen standar yang dibeli dari pemasok. Rencana
proses dinyatakan dan peralatan dirancang untuk tiap komponen yang dibuat,
dalam sistem produksi. Output dari fase ini adalah pencatatan pengendalian
untuk produk, gambar untuk tiap komponen produk dan peralatan produksinya,
spesifikasi komponen-komponen yang dapat dibeli, serta rencana untuk proses pabrikasi dan perakitan produk.
• Fase 4. Pengujian dan Perbaikan
Fase pengujian dan perbaikan melibatkan konstruksi dan evaluasi dari bermacam-macam versi produksi awal produk. Prototipe awal (alpha) biasanya dibuat dengan menggunakan komponen-komponen dengan bentuk dan jenis material pada produksi sesungguhnya, namun tidak memerlukan proses pabrikasi dengan proses yang sama dengan yang dilakukan pada proses pabrikasi sesungguhnya.
Prototipe alpha diuji untuk menentukan apakah produk akan bekerja
sesuai dengan apa yang direncanakan dan apakah produk memuaskan
kebutuhan konsumen utama. Prototipe berikutnya (beta) biasanya dibuat
dengan komponen-komponen yang dibutuhkan pada produksi namun tidak
dirakit dengan menggunakan proses perakitan akhir seperti pada perakitan
sesungguhnya. Prototipe beta dievaluasi secara internal dan juga diuji oleh
konsumen dengan menggunakannya secara langsung. Sasaran dari prototipe
beta biasanya adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai kinerja dan
keandalan dalam rangka mengidentifikasi kebutuhan perubahan-perubahan
secara teknik untuk produk akhir.
• Fase 5. Produksi awal
Pada fase produksi awal, produk dibuat dengan menggunakan sistem produksi yang sesungguhnya. Tujuan dari produksi awal ini adalah untuk melatih tenaga kerja dalam memecahkan permasalahan yang mungkin timbul pada proses produksi sesungguhnya. Produk-produk yang dihasilkan selama produksi awal kadang-kadang disesuaikan dengan keinginan pelanggan dan secara hati-hati dievaluasi untuk mengidentifikasi kekurangan-kekurangan yang timbul. Peralihan dari produksi awal menjadi produksi sesungguhnya harus melewati tahap demi tahap. Pada beberapa titik pada masa peralihan ini, produk diluncurkan dan mulai disediakan untuk didistribusikan.
Total keseluruhan fase adalah 6 fase yakni : dari fase 0 sampai dengan fase 5, dan pemahaman dari tiap tahapan dapat dimengerti dan diterapkan secara terpisah Ulrich-Eppinger, 2001).
2.5.1. Identifikasi Kebutuhan Pelanggan
Identifikasi kebutuhan pelanggan merupakan bagian yang integral dari proses
pengembangan produk, dan merupakan tahap yang mempunyai hubungan paling erat
dengan proses penurunan konsep, seleksi konsep, benchmark dengan pesaing dan
menetapkan spesifikasi produk.
Filosofi yang mendukung metode ini adalah menciptakan jalur informasi yang berkualitas antara pelanggan sebagai target pasar dengan perusahaan pengembang produk. Filosofi ini dibangun berdasarkan anggapan bahwa siapapun yang secara langsung mengatur detail-detail produk, apakah seorang ahli teknik maupun desainer industri, harus berinteraksi dengan pelanggan dan memiliki pengalaman dengan lingkungan pengguna.
Tujuan dari mengidentifikasi kebutuhan pelanggan adalah :
• Meyakinkan bahwa produk telah difokuskan kepada kebutuhan pelanggan
• Mengidentifikasi kebutuhan pelanggan yang tersembunyi dan tidak terucapkan (latent needs) seperti halnya kebutuhan yang ekplisit.
• Menjadi basis untuk menyusun spesifikasi produk
• Memudahkan pembuatan arsip dari aktivitas identifikasi kebutuhan untuk proses pengembangan produk
• Menjamin tidak ada kebutuhan pelanggan penting yang terlupakan
• Menanamkan pemahaman bersama mengenai kebutuhan pelanggan di antara anggota tim pengembangan
Lima tahap proses identifikasi kebutuhan pelanggan adalah :
• Mengumpulkan data mentah dari pelanggan, proses pengumpulan data
mentah dari pelanggan akan mencakup kontak dengan pelanggan dan
mengumpulkan pengalaman dari lingkungan pengguna produk. Tiga metode
yang biasa digunakan adalah wawancara, kelompok fokus, dan observasi pada saat produk sedang digunakan. Sebelum dilakukan wawancara atau lainnya harus dibuat dahulu matriks seleksi pelanggan untuk memilih pelanggan yang akan digali kebutuhannya dan mempunyai pengalaman dengan penggunaan produk tersebut.
Tabel 2.1 Contoh Format Matriks Seleksi Pelanggan
Pengguna
utama Pengguna
Pemasok atau penjual
Pusat pelayanan Jarang
menggunakan
Sering
menggunakan
Sangat sering
menggunakan
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Sementara itu hasil dari wawancara atau pengumpulan data mentah
didokumentasikan dan dikumpulkan, dapat dengan rekaman suara, video,
catatan ataupun foto, berikut ini contoh hasil wawancara.
Tabel 2.2 Contoh Format Wawancara
Pertanyaan Pernyataan
Pelanggan Interpretasi Kebutuhan Penggunaan
tertentu
Hal-hal yang disukai dari alat sekarang Hal-hal yang tidak disukai dari alat sekarang Usulan perbaikan Nama Responden : Pekerjaan : Alamat wilayah :
Sekarang Menggunakan :
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
• Menginterpretasikan data mentah menjadi kebutuhan pelanggan, kebutuhan pelanggan diekspresikan sebagai pernyataan tertulis dan merupakan hasil interpretasi kebutuhan yang merupakan data mentah setiap pernyataan atau hasil observasi dapat diterjemahkan sebagai kebutuhan pelanggan.
• Mengorganisasikan kebutuhan menjadi beberapa hierarki, yaitu kebutuhan primer, sekunder dan jika perlu tertier, daftar kebutuhan yang didapatkan sebelumnya beberapa diantaranya merupakan kebutuhan primer, dimana kebutuhan primer dapat tersusun dari beberapa kebutuhan sekunder.
Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang paling umum sifatnya, sementara
kebutuhan sekunder dan tertier diekspresikan secara lebih terperinci.
• Menetapkan derajat kepentingan relatif setiap kebutuhan, dalam menetapkan derajat kepentingan relatif setiap kebutuhan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara pertama tim pengembang mendiskusikan secara bersama untuk menentukan langsung derajat kepentingan setiap kebutuhan secara bersama-sama. Atau cara kedua adalah dengan melakukan survei lanjutan dengan memilih variabel yang dianggap penting.
• Menganalisa hasil dan proses, langkah terakhir pada metode identifikasi kebutuhan pelanggan adalah menguji hasil dan meyakinkan bahwa hasil tersebut konsisten dengan pengetahuan dan intuisi yang telah dikembangkan melalui interaksi yang cukup lama dengan pelanggan.
2.5.2. Spesifikasi Produk
Spesifikasi produk merupakan serangkaian yang mengungkapkan detail-detail yang tepat dan terukur mengenai apa yang harus dilakukan produk. Spesifikasi tidak memberitahukan bagaimana memenuhi kebutuhan pelanggan, tetapi menampilkan pernyataan yang tidak mendua mengenai apa yang harus dilakukan untuk memuaskan kebutuhan pelanggan.
Sebelum membuat daftar spesifikasi, input yang digunakan adalah tabel
kebutuhan pelanggan dengan derajat kepentingannya seperti yang ditunjukkan
dibawah ini.
Tabel 2.3 Contoh Format Kebutuhan Pelanggan dan Derajat Kepentingan
No Kebutuhan Kepentingan
1 (Produk)
2 (Produk)
3 (Produk)
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Proses pembuatan target spesifikasi terdiri dari 4 langkah, yang secara keseluruhan menggunakan metode QFD (Quality Function Deployment). 4 langkah tersebut adalah :
• Menyiapkan gambar metrik dan menggunakan matriks-metrik kebutuhan jika diperlukan. Metrik yang baik adalah yang merefleksikan secara langsung nilai produk yang memuaskan kebutuhan pelanggan.
Hubungan antara kebutuhan dan metrik merupakan inti dari proses spesifikasi.
Syarat metrik haruslah : Komplit, merupakan variabel dependent, praktis, dan merupakan istilah yang populer untuk perbandingan di pasar.
Hal yang harus dipertimbangkan bahwa tidak semua kebutuhan dapat
diterjemahkan menjadi metrik yang terukur. Sehingga dapat bersifat
subyektif.
Berikut ini contoh daftar metrik :
Tabel 2.4 Contoh Format Daftar Metrik Kebutuhan
No.
Metrik Kebutuhan Metrik Kepentingan Satuan 1
2
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Setelah itu daftar metrik dapat dihubungkan dengan kebutuhan menggunakan Matriks kebutuhan-metrik (Needs-Metrics Matrix). Yang contohnya seperti di bawah ini.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 ●
2 ● ●
3 ● ●
4 ●
5 ● ●
6 ●
7 ● ●
8 ● ●
9 ● ●
10 ● ●
11 ● ●
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Gambar 2.8 Contoh Format Matriks Kebutuhan-Metrik
• Mengumpulkan informasi tentang pesaing. Analisis hubungan antara produk baru dengan produk pesaing sangat penting dalam menentukan kesuksesan komersial. Informasi mengenai produk pesaing harus dikumpulkan untuk mendukung keputusan mengenai positioning produk.
Tabel 2.5 Contoh Format Benchmarking
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
• Menetapkan nilai target ideal dan marginal yang dapat dicapai untuk tiap metrik. Dengan memproses bagan analisis pesaing, maka dapat ditetapkan kedua nilai target marginal dan ideal untuk tiap metrik. Karena sebagian besar nilai diekspresikan dalam batasan-batasan tertentu (maksimal, minimal atau keduanya) perlu dibuat batasan-batasan nilai yang layak dan dapat bersaing dengan produk pesaing.
Tabel 2.6 Contoh Format Spesifikasi Target
No.
Metrik Kebutuhan Metrik Kepentingan Satuan Nilai marginal
Nilai Ideal
1
2
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
No.
Metrik Kebutuhan Metrik Kepentingan Satuan Pesaing 1
Pesaing 2 1
2
• Merefleksikan hasil dan proses. Perlu dilakukan beberapa kali pengulangan sampai akhirnya target disetujui. Melakukan pertimbangan pada tiap kali pengulangan akan membantu meyakinkan bahwa hasil yang diperoleh sudah konsisten dengan tujuan proyek.
Spesifikasi secara keseluruhan dapat ditinjau kembali untuk diperbaiki agar lebih tepat, sehingga yang tadinya hanya berupa pernyataan target dan selang tertentu, kini dapat dibuat lebih tepat.
2.5.3. Penyusunan Konsep
Metode penyusunan konsep secara umum terdiri atas 5 langkah dengan memecahkan sebuah masalah kompleks yang menjadi submasalah yang lebih sederhana. Berikut gambar dari lima langkah metode penyusunan konsep :
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Gambar 2.9 Langkah Metode Penyusunan Konsep
Kemudian dikenalkan konsep penyelesaian untuk submasalah menggunakan prosedur pencarian eksternal dan internal, pencarian eksternal untuk konsep yang sudah ada, sedangkan pencarian internal untuk konsep baru.
Pohon klasifikasi dan tabel kombinasi kemudian digunakan untuk menggali secara sistematis konsep penyelesaian tersebut dan untuk mengintegrasikan penyelesaian sub masalah ke dalam sebuah penyelesaian total. Akhirnya dapat dibuat sebuah langkah mundur untuk merefleksikan validitas dan kemampuan aplikasi dari hasil, seperti yang digunakan oleh proses.
Dari sini akan muncul beberapa macam konsep yang tujuannya sama yaitu untuk menjawab penyelesaian dari submasalah yang sudah difokuskan karena sifatnya memang penting.
2.5.4. Seleksi Konsep
Beberapa konsep yang sudah terbentuk pasti memilih kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk itu seleksi konsep merupakan proses menilai konsep dengan memperhatikan kebutuhan pelanggan dan kriteria lain, membandingkan kekuatan dan kelemahan relatif dari konsep, dan memilih satu atau lebih konsep untuk penyelidikan, pengujian dan pengembangan selanjutnya.
Metode seleksi konsep pada proses ini didasarkan pada penggunaan matriks
keputusan untuk mengevaluasi masing-masing konsep dengan mempertimbangkan
serangkaian kriteria seleksi.
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Gambar 2.10 Seleksi dan Penyaringan Konsep
Proses seleksi konsep terdiri atas 2 langkah utama yaitu penyaringan konsep dan penilaian konsep dengan metode yang dikembangkan oleh Stuart Pugh pada tahun 1980-an dan sering sekali disebut seleksi konsep Pugh (Pugh,1990). Tujuan tahapan ini adalah mempersempit jumlah konsep secara cepat dan untuk memperbaiki konsep.
Tabel 2.7 Matriks Penyaringan Konsep
1 2 3
Kriteria 1 0 0 0
Kriteria 2 0 0 0
Kriteria 3 - 0 +
Kriteria 4 - - +
Kriteria 5 + + 0
Kriteria 6 - 0 +
Kriteria 7 - 0 +
Jumlah + 1 1 4
Jumlah 0 2 5 3
Jumlah - 4 1 0
Nilai
akhir -3 0 4
Peringkat 3 2 1
lanjutkan
? Tidak Ya Ya
Kriteria seleksi
Konsep
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Proses penyaringan konsep merupakan proses penilaian yang sederhana yang menggunakan tiga simbol yaitu nilai relatif “lebih baik” (+), jika konsep tersebut lebih baik dari konsep yang lain dalam hal kriteria tersebut. “sama dengan” (0), jika untuk kriteria tersebut konsep tersebut sama dengan konsep yang lainnya. Dan terakhir “lebih buruk” (-), bila konsep tersebut lebih buruk dari konsep yang lainnya.
Kemudian jumlah bobot tiap kriteria dijumlahkan untuk masing-masing konsep diberi rangking. Konsep yang dipilih untuk diteruskan adalah satu atau lebih konsep yang memiliki tingkat rangking yang lebih tinggi.
Tahapan selanjutnya pada seleksi konsep adalah dengan menggunakan matriks penilaian konsep, dengan cara menambahkan bobot kepentingan ke dalam matriks.
Tabel 2.8 Matriks Penilaian Konsep
Kriteria Beban Rating Nilai Beban Rating
Nilai Beban
Kriteria 1 5% 3 0.15 3 0.15
Kriteria 2 15% 3 0.45 3 0.45
Kriteria 3 25% 3 0.75 4 1
Kriteria 4 20% 4 0.8 4 0.8
Kriteria 5 10% 4 0.4 3 0.3
Kriteria 6 15% 2 0.3 3 0.45
Kriteria 7 10% 2 0.2 3 0.3
Total Nilai Peringkat Lanjutkan ?
2 1
Tidak Ya
Konsep
2 3
3.05 3.45
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Beberapa pola yang berbeda dapat digunakan untuk memberi bobot pada kriteria seperti menandai nilai kepentingan dari 1-5 atau mengalokasi nilai 100%.
Selanjutnya penetapan rating dapat dilakukan oleh beberapa responden untuk menentukan apakah bobot yang diberikan sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Nilai rating dan beban dikalikan untuk mendapatkan nilai beban. Nilai beban ini yang akan dijumlahkan untuk menentukan rangking tiap konsep yang dinilai.
Sama seperti tahap penyaringan konsep, konsep yang terpilih adalah konsep yang memiliki rangking tertinggi.
Dengan dasar kedua matriks seleksi tersebut dapat diputuskan untuk memilih satu atau lebih konsep terbaik, konsep-konsep ini mungkin lebih lanjut dikembangkan, dibuat prototipe dan diuji untuk memperoleh umpan balik dari pelanggan.
2.5.5. Pengujian Konsep
Pengujian Konsep berhubungan erat dengan seleksi konsep, dimana kedua
aktivitas ini bertujuan untuk menyempitkan jumlah konsep yang akan diproses lebih
lanjut. Namun pengujian konsep berbeda, karena aktivitas ini menitikberatkan pada
pengumpulan data langsung dari pelanggaan potensial dan hanya melibatkan sedikit
penilaian dari tim pengembang.
Tahapan ini dilakukan setelah seleksi konsep karena tidak memungkinkan untuk menyodorkan banyak konsep ke pelanggan potensial untuk diuji, sehingga konsep-konsep alternatif harus dipersempit terlebih dahulu menjadi satu atau dua konsep untuk diuji.
Metode pengujian konsep terdiri dari 7 tahap yaitu :
1) Mendefinisikan maksud dari pengujian konsep → Pengujian konsep dapat diartikan sebagai suatu eksperimen, oleh karena itu perlu didefinisikan dahulu maksud dari eksperimen ini dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti Konsep mana yang akan diuji?, Bagaimana konsep dapat diperbaiki?, Berapa Jumlah produk yang dapat dijual?, Dapatkah proses pengembangan dilanjutkan?.
2) Memilih Populasi Survei → Seringkali produk ditujukan untuk pasar
potensial dengan beberapa segmen sekaligus. Hal yang perlu diperhatikan
adalah pengujian ke beberapa segmen sekaligus akan membuang banyak
waktu dan biaya, sehingga seringkali untuk menghindari pembengkakan biaya
maka pengujian konsep cukup dilakukan dengan memilih pelanggan potensial
dengan segmen pasar terbesar saja.
3) Memilih Format Survei → Sama seperti survei-survei yang pernah dilakukan pada tahapan sebelumnya, jenis format yang dapat dipilih adalah dengan : face-to-face interaction, Telepon, Surat, E-mail, Internet. Dan tiap format memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
4) Mengkomunikasikan Konsep → Yang membedakan survei pengujian konsep dengan survei-survei sebelumnya adalah adanya konsep terpilih yang harus dkomunikasikan kepada responden untuk dinilai sendiri oleh mereka.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan Konsep yaitu : uraian verbal, sketsa, Foto dan gambar, storyboard, video, simulasi, multimedia interaktif, model fisik, dan prototipe yang dioperasikan. Sehingga tim pengembang dapat memilih cara yang sesuai untuk mengkomunikasikan konsep disesuaikan dengan biaya dan kemampuan yag ada.
5) Mengukur respon pelanggan → Data yang didapatkan dari survei dapat
diolah dan digunakan untuk mengukur respon pelanggan, dan hal yang
terutama diukur adalah Konsep mana yang dipilih, usulan perbaikan, serta
keinginan pelanggan untuk membeli .
6) Menginterpretasikan Hasil → Maksud dari menginterpretasikan hasil adalah bila memang ada konsep yang mendominasi, maka secara langsung konsep tersebut dapat dipilih untuk dilanjutkan ke tahap pengembangan model, tetapi bila hasilnya tidak terbatas, maka konsep dapat dipilih berdasarkan pertimbangan waktu dan biaya.
7) Merefleksikan Hasil dan proses → Manfaat utama dari pengujian konsep
adalah memperoleh umpan balik dari pelanggan potensial, yang diuntungkan
oleh pemikiran tentang pengaruh tiga variabel kunci yang terdapat pada model
prediksi yaitu : ukuran pasar keseluruhan, ketersediaan tentang produk, dan
proporsi pelanggan yang mungkin akan membeli produk. Dalam
merefleksikan hasil pengujian konsep, sebaiknya 2 pertanyaan kunci harus
terjawab, yaitu : apakah konsep sudah dikomunikasikan dengan benar
sehingga menghasilkan respon pelanggan sesuai dengan yang dituju ? Dan
apakah hasil prediksi konsisten dengan hasil tingkat pengamatan tingkat
penjualan terhadap produk-produk yang sama ? Akhirnya pengalaman dengan
produk baru kemungkinan besar dapat diterapkan di masa yang akan datang
untuk produk-produk yang hampir sama.
2.5.6. Arsitektur Produk
Semua produk terdiri dari elemen fungsional dan fisik. Elemen-elemen fungsional dari produk terdiri atas operasi dan transformasi yang menyumbang terhadap kinerja keseluruhan produk.
Elemen-elemen fisik dari sebuah produk adalah bagian-bagian, komponen, dan sub rakitan yang pada akhirnya diimplementasikan terhadap fungsi produk.
Elemen-elemen fisik diuraikan lebih rinci ketika usaha pengembangan berlanjut. Elemen fisik produk biasanya diorganisasikan menjadi beberapa building blocks utama yang disebut chunks. Setiap Chunk terdiri dari sekumpulan komponen yang mengimplementasikan fungsi dari produk.. Arsitektur produk adalah skema elemen-elemen fungsional dari produk disusun menjadi chunk yang bersifat fisik.
Dan menjelaskan bagaimana setiap chunk berinteraksi.
Karakter arsitektur produk yang terpenting adalah modularitas. Ciri-ciri
arsitektur modular adalah : chunk melaksanakan atau mengimplementasikan satu atau
sedikit elemen fungsional pada keseluruhan fisiknya, dan interaksi antar chunk dapat
dijelaskan dengan baik, dan umumnya penting untuk menjelaskan fungsi-fungsi
utama produk.
Keputusan mengenai cara membagi produk menjadi chunk dan tentang berapa banyak modularitas akan diterapkan pada arsitektur sangat terkait dengan beberapa isu yang menyangkut kepentingan seluruh perusahaan seperti : perubahan produk, variasi produk, standarisasi komponen, kinerja produk, kemampuan manufaktur, dan manajemen pengembangan produk.
Langkah-langkah dalam menetapkan arsitektur produk adalah dengan :
1. Membuat skema produk, yaitu diagram yang menggambarkan pengertian terhadap elemen-elemen penyusun produk, yakni berupa elemen fisik, komponen kritis dan elemen fungsional.
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Gambar 2.11 Contoh Skema Produk
2. Mengelompokkan elemen-elemen pada skema, yaitu menugaskan setiap elemen yang ada pada skema menjadi chunk. Setiap chunk memiliki satu fungsi. Elemen yang memiliki fungsi yang sama dapat digabungkan dalam satu chunk. Kondisi ekstrim yang mungkin terjadi adalah semua komponen memiliki chunk sendiri sehingga jumlah elemen sama dengan jumlah chunk. Atau sebaliknya mengintegrasikan semua komponen ke dalam satu fungsi yang sifatnya akan lebih kompleks.
Sumber : Perancangan dan Pengembangan Produk, Ulrich-Eppinger
Gambar 2.12 Contoh Function Diagram
3. Membuat susunan Geometris yang masih kasar, Susunan geometris
dapat diciptakan dalam bentuk gambar, model komputer atau model
fisik yang terdiri dari 2 atau 3 dimensi. Penyusunan Geometris yang
masih berbentuk kotak dapat memberikan beberapa alternatif
penyusunan sehingga tidak ada hubungan antar chunk yang saling bertentangan. Pembuatan susunan geometris harus memperhatikan aspek estetika, keamanan dan kenyamanan dari sebuah produk.
2.6 Sifat Bahan Handgrip
Handgrip Transjakarta yang ada saat ini terbuat dari bahan dasar polikarbonat (plastik PC). Meski memiliki ketahanan yang tinggi terhadap benturan, namun polikarbonat cukup mudah tergores sehingga dibutuhkan pelapisan keras (hard coating), hal ini dikarenakan salah satu sifat fisik dari polikarbonat, yaitu koefisien geseknya cukup besar.
Alternatif dari penggunaan bahan dasar handgrip Transjakarta ialah plastik PVC (Poly Vinyl Chloride). Bahan ini dipilih sebagai alternatif karena pada perbandingan kekuatan elastisitas, kekuatan tensil dan koefisien geseknya lebih unggul dibandingkan polikarbonat, sehingga memberikan kekuatan namun terasa mulus (smooth) ketika diraba oleh tangan.
Tabel 2.9 Perbandingan Sifat Fisik PC dan PVC
PC PVC
Young's modulus (E) 2.0–2.4 GPa 2.8-3.3 GPa Tensile strength (st) 55–75 MPa 83–97 MPa Coefficient of friction 0.24-0.31 0.17-0.21
Sumber: Materials Science of Polymers for Engineers, Oswald, T. A., Menges, G.
2.7 Tekanan Pada Permukaan Tangan
Ketika seseorang memegang benda dengan memusatkan kekuatan dari otot tangan kepada permukaan benda tanpa membutuhkan akurasi dan presisi dari pekerjaan yang dilakukan, dimana permukaan benda akan bersentuhan dengan sebagian besar area tangan dan jari dalam bentuk yang relatif melingkar, maka cara penangangan benda tersebut dikategorikan sebagai “power grip” (Kong, Y.K. and Freivalds, A. (2003)).
Sumber: Kong, Y.K. and Freivalds, A. (2003)
Gambar 2.13 Power Grip
Pengukuran gaya yang dihasilkan oleh “power grip” dapat dilakukan
menggunakan dynamometer, walaupun ketepatan ukuran tersebut dikatakan tidak
selalu akurat, karena perlu dilakukan pemeriksaan, apakah responden yang
bersangkutan memiliki masalah pada tendonnya, kebiasaannya dalam mencengkram
(gripping), faktor usia, jenis kelamin dan sebagainya. Masalah tersebut juga termasuk
bahwa gaya yang dihasilkan tiap bagian jari (komponen utama dalam mencengkram)
sulit diukur menggunakan dynamometer (Kroemer (2001)).
Sehingga untuk mendapatkan optimasi biasanya dilakukan pengukuran melalui sebuah model robotik yang melakukan “penarikan”, dengan asumsi bahwa kekuatan tarik manusia sama dengan kekuatan “mencengkram” (Lowe, B.D. and Freivalds, A. (1999)). Berikut adalah tabel penghitungan gaya pada bagian-bagian jari lewat simulasi tersebut, yang ditampilkan dalam asumsi, seseorang melakukan
“power grip”.
Tabel 2.10 Gaya yang Dikeluarkan Bagian-Bagian Jari dalam Mencengkram
Sumber: Lowe, B.D. and Freivalds, A. (1999)
Ketika jari memberikan cengkraman, maka permukaan benda yang dicengkram juga turut memberikan tekanan kepada jari serta otot-otot dan tulang yang berada di dalamnya. Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan dalam hukum tekanan, yaitu:
F A P =
P ialah besarnya tekanan yang terjadi F ialah gaya yang bekerja
A ialah luas permukaan yang menerima tekanan
Sumber: Lowe, B.D. and Freivalds, A. (1999)
Gambar 2.14 Tekanan Jari Dalam Keadaan Power Grip Terhadap Permukaan Benda Berdasarkan hukum Newton 3 yaitu “Untuk setiap aksi selalu ada reaksi yang sama dan berlawanan atau kekuatan dari dua benda yang satu sama lainnya selalu sama dan berada dalam arah yang berlawanan.", maka didapatkan formula untuk mengukur tekanan pada peralatan tangan.
Pt Pp≈