• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Volatilitas Harga Komoditas dan Inflasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Volatilitas Harga Komoditas dan Inflasi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Volatilitas Harga Komoditas dan Inflasi

Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi antara penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand, D) semakin banyak barang yang ingin dibeli akan meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual (supply, S) semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran dalam interaksi pembentukan harga. Namun untuk komoditas pangan atau pertanian, pembentukan harga disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran (supply shock) dibandingkan sisi permintaan (demand shock). Sisi penawaran lebih berpengaruh karena sisi permintaan cenderung lebih stabil dibanding sisi penawaran yaitu mengikuti perkembangan trennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran komoditas pangan atau pertanian cenderung sulit untuk dikontrol.

Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga (Nicholson, 2000). Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen. Terjadinya ketidakstabilan harga beras juga dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik. Kedua, ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif sulit diramalkan.

Ketidakstabilan harga tersebut dapat merugikan produsen pada musim panen dan sebaliknya memberatkan konsumen pada musim paceklik. Disamping itu juga akan berakibat luas pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi. Globalisasi juga menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar (Simatupang, 2000). Dengan pendekatan lain, dinamika harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (1) pasar komoditas internasional, (2) pasar komoditas domestik, dan (3) pasar valuta asing. Artinya intervensi pemerintah untuk kebijakan stabilisasi harga di pasar domestik semakin mengecil.

Menurut Irawan (2004) pada umumnya harga beras merupakan acuan bagi harga komoditas pangan lainnya dan tingkat upah pertanian, sehingga perubahan pangan lain dan upah tenaga kerja cenderung sejalan dengan perubahan harga gabah. Dengan demikian seberapa jauh fluktuasi harga beras mempengaruhi stabilitas ekonomi makro perlu menjadi perhatian, terutama pada kondisi pasar yang derajat liberalisasinya semakin meningkat. Dalam kaitannya antara perubahan harga komoditas dan inflasi, Furlong dan Ingenito (1996) meyakini bahwa harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock

(2)

yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Kedua, harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shocks seperti banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut.

Pergerakan harga komoditas pangan atau pertanian akan selaras dengan perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi meningkat. Hasil estimasi yang dilakukan oleh Furlong dan Ingenito (1996) dengan menggunakan pendekatan vector autoregression (VAR) dan rolling regression menyimpulkan bahwa harga komoditas mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan inflasi, walaupun koefisiennya mengalami penurunan.

Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Cody dan Mills (1991) sehingga mereka percaya bahwa peningkatan harga komoditas yang menjadi sinyal peningkatan inflasi harus diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter. Namun, hasil estimasi yang dilakukan menunjukkan bahwa respon bank sentral melalui fed funds rate terhadap perubahan harga komoditas tidak signifikan sehingga inflasi yang terjadi lebih tinggi dari level inflasi optimalnya. Dapat diyakini bahwa laju inflasi dapat ditekan dan diturunkan, jika bank sentral memberi respon yang lebih memadai terhadap kenaikan harga komoditas tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa harga komoditas memiliki kandungan informasi yang baik terhadap inflasi.

2.2 Transmisi Harga

Analisis yang umum dipakai untuk mengetahui hubungan antar harga adalah transmisi harga dan integrasi pasar. Terminologi analisis harga biasanya mengacu pada analisis kuantitatif dari keterkaitan antar aspek permintaan dan penawaran harga. Analisis harga sering digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan variabel-variabel yang berhubungan. Harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka analisis harga pangan merupakan hal yang penting guna perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat peramalan harga.

Isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian adalah bagaimana pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia ataupun sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk memperkirakan besarnya dampak terhadap harga, output, konsumsi, dan kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion, 1986).

Spasial transmisi harga melihat bagaimana harga pada pasar yang terpisah secara spasial di suatu negara adalah berhubungan atau bagaimana harga domestik melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk spasial transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan. Beberapa negara berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang

(3)

berhubungan dengan lembaga pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol terhadap perdagangan dunia.

Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia ditransmisikan ke pasar komoditas domestik merupakan sesuatu yang penting bagi pengambil kebijakan. Dalam istilah spasial, paradigma klasik dari hukum satu harga (law of one price) memberikan pengertian bahwa transmisi harga disebut lengkap pada kondisi harga keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada pasar bersaing di luar negeri dan domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika dikonversi ke suatu mata uang yang sudah umum digunakan dalam perdagangan dunia. Model ini memprediksikan bahwa perubahan pada permintaan dan penawaran di satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan oleh karena itu harga di pasar yang lain pada kondisi keseimbangan dipulihkan melalui arbitrase spasial.

Fackler dan Goodwin (2002) merumuskan P1t dan P2t sebagai harga sebuah komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi antara harga tersebut adalah :

P1t = P2t + C (1)

Jika hubungan dua harga terjadi seperti formula tersebut maka kedua pasar dikatakan terintegrasi. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut ternyata independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga. Umumnya arbitrase spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari sebuah komoditas akan berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan biaya transfer. C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. λ adalah konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara harga di dua pasar tersebut diidentifikasikan sebagai berikut:

P2t – P1t = λC (2)

Fackler dan Goodwin (2002) mengacu pada hubungan diatas sebagai kondisi arbitrase spasial dan berpendapat bahwa hubungan tersebut mengidentifikasikan sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga, bentuk yang kuat dicirikan oleh persaman (1). Fackler dan Goodwin juga menekankan bahwa hubungan persamaan (2) mewakili kondisi ekuilibrium. Harga yang diobservasi dapat berbeda dari hubungan persamaan (1), tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan perbedaan antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer.

2.3 Model Kointegrasi

Konsep kointegrasi diperkenalkan oleh Engle dan Granger (1987), dimana analisis formalnya dimulai dengan mendasarkan pada himpunan peubah ekonomi yang berada pada keseimbangan jangka panjang.

β 1x1t + β 2x2t + ... + β nxnt = 0 atau β‟xt = 0

penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang disebut galat ekuilibrium (et), sehingga εt = β‟xt dimana εt pada kondisi stasioner. Menurut Engle dan Granger komponen suatu vektor xt „ = ( x1t, x2t, ..., xnt)‟ dikatakan berkointegrasi orde (d,b) dan dinyatakan dengan CI (d,b), jika :

(4)

b Ada vektor β‟ = (β1 β2 ... βn) sehingga kobinasi linear β‟xt berintegrasi orde d-b, dimana b > 0 dan β disebut vektor kointegrasi.

Prinsip dari peubah kointegrasi adalah data deret waktunya dipengaruhi oleh penyimpangan keseimbangan jangka panjang. Jika sistem berada pada keseimbangan jangka panjang gerakan suatu peubah harus merespon besarnya ketidakseimbangan tersebut.

Integrasi Pasar

Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.

Menurut Baffes dan Bruce (2003) pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di pasar dunia tersebut langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan kata lain pola harga yang ditunjukkan harus sama. Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan memiliki hubungan yang positif antara harganya di wilayah pasar yang berbeda. Selanjutnya jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986). Berbeda dengan Barrett (2005) yang menyatakan bahwa pasar yang tidak terintegrasi spasial maupun intertemporal ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi ketidakefisienan pasar seperti terjadi kolusi dan adanya konsentrasi pasar sehingga mengakibatkan adanya permainan harga dan terjadinya distorsi harga di pasar. Rifin (2005) mengatakan bahwa terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

1 Segmentansi pasar.

Pasar dikatakan tidak terintegrasi jika pasar tersegmentasi dimana apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik cepat atau lambat terhadap harga di pasar domestik. Dengan demikian diharapkan dengan terintegrasinya pasar domestik, maka harga yang terjadi di pasar domestik dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan.

2 Integrasi Jangka Pendek.

Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam harga di pasar domestik. Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek lag pada harga dimasa yang akan datang. Dalam makroekonomi dan ekonomi internasional konsep yang umum dari integrasi pasar terfokus pada kemampuan dalam melakukan perdagangan. Transfer sinyal tradabilitas terhadap kelebihan permintaan dari suatu pasar ke pasar lainnya ditransmisikan sebagai arus fisik aktual maupun potensial. Arus perdagangan yang positif dapat mendemontrasikan integrasi pasar spasial berdasarkan konsep tradabilitas (Barret, 2005).

Riset integrasi spasial pasar tradisional mengasumsikan bahwa dua daerah dengan pasar ekonomi yang sama untuk produk yang homogen terjadi jika perbedaan harga antara dua daerah sama persis dengan biaya transaksi yang

(5)

berhubungan dengan perdagangan (Bernal et.al., 2003). Pada suatu keseimbangan yang kompetitif, arus perdagangan terjadi sampai laba potensi menjadi jenuh. Jika perbedaan harga kurang dari biaya-biaya transaksi, maka pasar mungkin tersegmentasi atau jika perdagangan masih terjadi juga maka perbedaan ini mengindikasikan adanya strategi maksimisasi keuntungan jangka panjang atau kegagalan atas informasi jangka pendek. Pasar autarki menyediakan penjelasan alternatif untuk pasar tersegmentasi dengan kondisi keseimbangan (Bernal et.al., 2003). Kemudian Anwar (2005) menyatakan bahwa dua pasar terpadu apabila perubahan harga suatu pasar dirambatkan ke pasar lain, semakin cepat perambatannya maka semakin terpadu pasarnya.

Pada dasarnya analisis integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, yaitu:

1 Integrasi Pasar Spasial

Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial menunjukkan pergerakan harga dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan informasi diantara pasar yang terpisah secara spasial. Perilaku harga spasial dalam pasar regional merupakan indikator penting dalam melihat market performance. Pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat yang dapat mendistorsi keputusan pasar produsen dan kontribusi pergerakan produk menjadi tidak efisien.

Tingkat keefisienan antar pasar di berbagai lokasi yang berjauhan mempunyai implikasi penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan. Mengingat akan pentingnya masalah ini, maka sejumlah uji empiris terhadap Dalil Harga Tunggal (The Law of One Price atau sering disingkat LOP) dan ukuran kesatuan dan keefisienan pasar telah banyak dilakukan (Fackler dan Goodwin, 2002). Dalil ini menyatakan bahwa pada keadaan pasar bersaing, semua harga-harga dalam suatu pasar akan seragam setelah adanya biaya tambahan terhadap kegunaan tempat, waktu dan bentuk dari suatu barang di pasar yang bersangkutan. Apabila pasar terintegrasi maka peningkatan harga di suatu daerah atau negara akan ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Namun ada beberapa prinsip-prinsip yang menentukan perbedaan harga pasar spasial antar negara berlaku sama pada harga internasional, dimana tidak tersedia rintangan dari pergerakan produk antara negara-negara tersebut. Untuk berbagai komoditi pertanian, tentu saja kondisi rintangan tersebut sangat dibutuhkan dalam perdagangan bebas.

Analisis integrasi pasar spasial membagi pasar dalam dua kategori yakni: pasar yang berpotensi defisit atau kekurangan dan pasar yang berpotensi surplus atau berlebih. Seperti halnya Indonesia memiliki potensi defisit dalam hal pemenuhan beras untuk dikonsumsi yang menyebabkan terjadinya impor beras. Sedangkan di negara lain, misalnya Thailand berpotensi surplus yang menjadikan Thailand sebagai salahsatu negara pengekspor beras terbesar di dunia.

Gambar 3 menunjukkan apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi adalah PI yakni di pasar Indonesia (I) dan PT di pasar Thailand (T) dimana PT < PI. Pada harga diatas PT, pasar Thailand akan mengalami excess supply, sehingga beberapa produk akan tersedia untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan impor akan dilakukan untuk memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar Indonesia apabila harga dibawah PT. Selanjutnya informasi dari kurva ini dapat digunakan untuk mengembangkan model keseimbangan spasial akibat

(6)

perdagangan antara dua pasar dengan menggunakan kurva excess supply dan excess demand seperti yang ditunjukkan oleh kurva pada Gambar 4 bagian c.

Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Excess supply adalah selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar T (PT).

Kurva excess supply di dasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand di pasar I (Indonesia) pada harga diatas titik keseimbangan (titik b dikurang titik a, yang ditunjukkan oleh grafik bagian a pada (gambar 4). Grafik juga digunakan untuk menggambarkan kurva excess supply yang ditunjukkan grafik bagian c. Seperti kurva supply biasa, kurva excess supply mempunyai kemiringan (slope) positif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat peningkatan harga.

Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar I (PI). Kurva excess demand didasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand dibawah titik keseimbangan pada pasar I (titik d dikurang titik c, yang ditunjukkan oleh grafik bagian b pada Gambar 4). Grafik ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan kurva excess demand yang ditunjukkan grafik bagian panel c pada Gambar 4. Kurva excess demand mempunyai kemiringan (slope) negatif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat penurunan harga.

Kurva excess supply dan excess demand berpotongan pada harga PE jika tidak ada biaya transfer antara dua pasar, total komoditi sebannyak QE2 (sebesar ab=cd) dapat dijual dari pasar T ke pasar I harga diantara kedua pasar akan sama yaitu sebesar PE. Sedangkan bila biaya transfer dari pasar T ke Pasar I melebihi atau lebih besar dari Pt maka perdagangan tidak akan terjadi. Dalam kasus ini demand dan supply sama di setiap pasar dan perbedaan harga akan lebih kecil dari biaya transfer. Perubahan biaya transfer dapat diilustrasikan dengan garis volume perdagangan yang digambarkan oleh garis xy. Garis vertikal antara 0 sampai Pt menunjukkan besaran biaya transfer, semakin tinggi biaya transfer semakin kecil volume perdagangan dan perdagangan tidak akan terjadi jika biaya transfer sama atau melebihi Pt. Sedangkan garis horizontal antara 0 sampai QE2 menunjukkan besaran perdagangan. Perdagangan akan maksimum pada QE2 ketika biaya transfer sama dengan nol. Sebagai contoh apabila biaya transfer sebesar t, maka total output yang akan ditransfer sebesar QE1 unit. Apabila diasumsikan harga di setiap pasar dapat ditentukan dan slope kurva demand dan supply diperkirakan sama maka efek dari biaya transfer sebesar t akan menurunkan harga dari PI menjadi PI1 pada pasar I (Indonesia) dan menaikkan harga dari PT menjadi PT1 pada pasar T (Thailand). Restriksi perdagangan akan meningkatkan biaya transfer yang menyebabkan perdagangan akan terus berlangsung samapai biaya transfer sama dengan selisih harga. Jika biaya transfer lebih besar atau sama dengan selisih harga antar pasar maka pedagang tidak memiliki insentif untuk melakukan perdagangan. Hal ini mengakibatkan transfer excess demand maupun excess supply antara kedua pasar tidak terjadi dan harga akan bergerak secara mandiri (independence).

(7)

EST DT ST a QT PT‟ PT QI DI PI SI d c PE EDI PT PI E Komoditi (Q) 0 QE 1 x QE2 y t PEI1 Pt EST PET1 EDI Transfer Cost (t) Harga (P)

a. Pasar T (Surplus) b. Pasar I (Defisit) c. Keseimbangan excess supply dan excess demand

Sumber : Tomek dan Robinson, 1972

Gambar 3 Model keseimbangan integrasi spasial dua pasar

11

(8)

2 Integrasi Pasar Vertikal

Integrasi pasar vertikal terjadi ketika rantai pemasaran atau produksi dan pemasaran secara berturut-turut saling berhubungan. Kajian mengenai integrasi pasar vertikal penting diketahui untuk melihat keeratan hubungan antara konsumen, lembaga pemasaran dan produsen. Jika konsumen, lembaga pemasaran dan produsen saling berhubungan dan berinteraksi dalam penentuan harga yang terjadi di masing-masing pasar maka dapat dikatakan bahwa pasar tersebut berlangsung secara efisien.

Terjadinya perubahan permintaan akan menyebabkan perubahan harga disimpul tersebut, selanjutnya akan diteruskan kepada produsen melalui perubahan permintaan dari pedagang dan seterusnya perubahan tersebut akan dilanjutkan lagi ke pasar produsen, demikian selanjutnya. Salah satu alasan bagi pelaku pasar ritel mengintegrasikan proses penanaman sampai penjualan produk ke tingkat produsen adalah untuk memastikan laju dari produk dengan spesifikasi tertentu dengan batas jangka pengiriman yang konstan. Selanjutnya, integrasi dapat mengurangi biaya pemasaran khususnya penjualan dari suatu tingkat ke tingkat lainnya.

Salah satu aspek yang menarik dari integrasi pasar vertikal berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah perubahan alami dari sistem harga. Integrasi pasar vertikal telah mengubah kedudukan formasi harga dan telah mengurangi jumlah titik atau simpul dari rantai pemasaran dimana harga tersebut dibentuk. Koordinasi harga secara parsial telah digantikan dengan koordinasi administrasi (Tomek dan Robinson, 1972).

2.4 Teori Residual Solow

Solow mengasumsikan model yang sangat mendasar dari produksi output tahunan selama selang waktu t. Solow menyatakan bahwa jumlah output akan ditentukan oleh jumlah modal (infrastruktur), jumlah tenaga kerja (jumlah sumber daya manusia dalam angkatan kerja), dan produktivitas tenaga kerja. Solow menduga produktivitas tenaga kerja adalah faktor yang mempengaruhi peningkatan GDP dalam jangka panjang. Dalam bentuk model ekonomi :

Y = F(K, A(t). L) (3)

Dimana A(t) adalah faktor peubah yang dipengaruhi waktu , dimana A > 0 dan dA/dt > 0. Solow residual adalah angka yang menjelaskan pertumbuhan produktivitas empiris dalam ekonomi dari tahun ke tahun dan dekade ke dekade. Solow mendefinisikan peningkatan produktivitas sebagai peningkatan output dengan input modal dan tenaga kerja yang tetap.

Teori produktivitas ini disebut sebagai residual karena menjelaskan produktivitas yang bukan disebabkan oleh akumulasi faktor (input). Tujuan dari metode ini adalah untuk menentukan berapa besar ketergantungan pertumbuhan ekonomi terhadap akumulasi faktor dan berapa besar pengaruh dari pengembangan teknologi. Berdasarkan Gambar 4 yang mengilustrasikan kombinasi input dalam fungsi produksi (kurva kemungkinan produksi dengan dua variabel input), besarnya pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pergerakan sepanjang kurva produksi, yang dapat ditentukan oleh kemajuan teknologi dan

(9)

kompetensi organisasi, yang digambarkan oleh pergeseran kurva produksi ke kanan atas dari A ke B dan B ke C.

Sumber : Nicholson, 2000

Gambar 4 Kurva kemungkinan produksi

2.5 Total Faktor Produktivitas

Produktivitas merupakan sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output terhadap input (Supriyanto, 2002). Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat produktivitas, misalnya produktivitas tenaga kerja (Q/L). Dengan demikian, konsep produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu (statis). Sedangkan konsep pertumbuhan mengacu pada perubahan rasio input-output atau produktivitas menurut dimensi waktu (dinamis).

Pendekatan pertumbuhan berdasarkan produktivitas akan lebih tepat bila menggunakan acuan pekerja dibandingkan populasi. Konsep terakhir ini disebut sebagai growth of employment value added ratio. Namun demikian, definisi terakhir ini masih mengacu pada konsep produktivitas parsial, yakni tenaga kerja. Konsep total faktor produktivitas (TFP) akan lebih tepat untuk menggambarkan kondisi perusahaan, sektor, maupun agregat ekonomi yang memiliki lebih dari satu input peubah.

Sumber-sumber pertumbuhan umumnya dibagi dua kelompok, yakni (1) pertumbuhan yang berasal dari sisi permintaan dan (2) pertumbuhan yang berasal dari sisi penawaran. Kelompok pertama menyatakan bahwa sumber-sumber pertumbuhan berasal dari pasar, yakni konsumsi masyarakat, investasi swasta, government expenditure, dan ekspor. Sedangkan kelompok kedua menyatakan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari : (1) kontribusi modal fisik (physical capital), (2) modal manusia (human capital), (3) pertumbuhan

K (unit) C B A 0 L (jam)

(10)

penduduk atau tenaga kerja, serta (4) inovasi dan kemajuan teknologi. Pada kelompok kedua ini, analisis sumber-sumber pertumbuhan yang umum digunakan adalah Total Factor Productivity Growth (Kogel, 2003)

Konsep pertumbuhan yang digunakan umumnya relatif sama (PDB per kapita), namun yang berbeda adalah sumber-sumber pertumbuhan, yakni dapat berasal dari sisi penawaran atau permintaan. Jika analisis sumber pertumbuhan bersifat sektoral umumnya digunakan pendekatan sisi penawaran, sedangkan pada makroekonomi secara agregat umumnya digunakan analisis sumber pertumbuhan dari sisi permintaan. Oleh karena itu, analisis sumber pertumbuhan dipengaruhi atau tergantung dari ketersediaan data dan tujuan analisis dari studi empiris yang dilakukan. Dalam membicarakan pertumbuhan produksi jangka panjang, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah penemuan sumber pertumbuhan baru dan kelestarian (sustainability) dari pertumbuhan tersebut.

Produktivitas merupakan suatu ukuran efisiensi produksi yang mengacu pada perbandingan antara besar output yang dapat dihasilkan dalam satu proses produksi terhadap jumlah penggunaan input. Produktivitas dapat dibagi atas dua konsep pengukuran yaitu : partial factor productivity dan total factor productivity.

Konsep partial factor productivity mengacu kepada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output pada satu periode produksi tertentu. Partial factor productivity hanya mengukur dari satu faktor produksi terhadap output dengan mengabaikan pengaruh dari input lain yang digunakan dalam proses produksi. Kelemahan yang mencolok dari pendekatan partial factor productivity adalah, konsep ini tidak mengukur seluruh kontribusi produktivitas seluruh faktor produksi yang terlibat dalam satu proses produksi padahal dalam proses pengukuran efisiensi proses produksi diperlukan suatu analisis yang komprehensif untuk mengukur pengaruh dari keseluruhan input yang digunakan.

Atas dasar inilah dalam konsep pengukuran produktivitas yang lebih komprehensif diperkenalkan konsep Total Factor Productivity (TFP) yang digunakan untuk mengukur dampak input agregat terhadap output agregat.

Metode penghitungan TFP dapat dilakukan dengan dua cara yaitu the growth accounting framework dan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan satu sama lainnya. Pendekatan growth accounting lebih praktis dibandingkan dengan pendugaan ekonometrik tetapi pendekatan ini memiliki keterbatasan antara lain : pendekatan ini hanya dapat menghitung efisiensi teknis; menggunakan asumsi constant return to scale; tidak dapat menghitung efisiensi harga dan tidak dapat menghitung elastisitas baik elastisitas permintaan input maupun penawaran. Sementara itu, dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, kelemahan dari growth accounting dapat dihilangkan sebab dengan pendekatan ekonometrika akan dapat ditangkap semua komponen efisiensi (efisiensi teknis dan harga), dapat menentukan besaran elastisitas permintaan dan penawaran output.

Menurut konsep neoklasik, pertumbuhan output bersumber dari faktor akumulasi penggunaan input kapital dan input tenaga kerja serta dari produktivitas, tetapi juga disebabkan oleh kemajuan teknologi. Mengingat betapa pentingnya kemajuan teknologi sebagai sumber dari pertumbuhan output maka tidaklah mengherankan jika peningkatan produktivitas lebih banyak dilakukan melalui pengembangan teknologi.

(11)

Pengukuran TFP dengan pendekatan accounting growth mengasumsikan bahwa fungsi produksi bersifat constant return to scale dan neutral technical progress. Secara umum, fungsi produksi neo classical mengasumsikan proses produksi menggunakan input kapital (K) dan input tenaga kerja (L) yang dapat diformulasikan sebagai berikut :

Q = f (K, L) (4)

Dengan menggunakan variabel waktu (t) sebagai proksi atas technical progress yang diduga juga berpengaruh terhadap jumlah output yang dapat dihasilkan.

2.6 Analisis Pass-Through Effect

Analisis efek perubahan (pass-through effect analysis) umumnya digunakan untuk mengetahui efek perubahan nilai tukar terhadap perubahan tingkat harga, baik harga ekspor-impor maupun harga di tingkat konsumen. Pass-through effect akan menimbulkan efek langsung dan tidak langsung (direct and indirect pass through effect). Svensson (2000) mengembangkan model pengaruh lintasan kurs terhadap perekonomian. Analisis yang dilakukan oleh Svensson menyatakan bahwa pengaruh lintasan kurs terhadap perekonomian data melalui efek langsung maupun tidak langsung. Perubahan nilai tukar akan berpengaruh langsung terhadap inflasi melalui perubahan harga barang-barang impor merupakan jalur yang terjadi pada efek langsung (direct pass through), sedangkan jalur yang terjadi pada efek tidak langsung, perubahan nilai tukar akan mempengaruhi melalui jalur output, yaitu melalui perubahan permintaan agregat dan penawaran agregat.

Dampak langsung lintasan nilai tukar terhadap inflasi adalah melalui perubahan harga barang-barang impor. Depresiasi mata uang akan menyebabkan kenaikan harga barang-barang impor. Barang-barang impor yang dapat mengalami kenaikan harga dapat berupa bahan baku, barang modal, dan barang konsumsi. Hartati (2004) menyatakan bahwa dampak langsung perubahan nilai tukar mempengaruhi inflasi melalui perubahan indeks harga barang domestik yang berasal dari impor barang-barang konsumsi (final goods). Majardi (2000) menyatakan bahwa dampak perubahan nilai tukar yang langsung mempengaruhi inflasi dapat digolongkan ke dalam dua kategori. Pertama, first direct pass through, yaitu dampak melalui barang konsumsi. Barang konsumsi terpengaruh karena perubahan harga barang impor dapat langsung mempengaruhi harga jual produk di dalam negeri. Kelompok barang ini memiliki nilai elastisitas yang tinggi terhadap perubahan kurs. Kedua, dampak tidak langsung (second direct pass-through), yaitu dampak melalui impor bahan baku dan barang modal.

Dampak tidak langsung lintasan kurs dapat dilihat dari pergerakan nilai tukar. Nilai tukar akan mempengaruhi tingkat harga domestik melalui guncangan permintaan dan penawaran agregat. Secara teoritis, jalur tidak langsung biasanya melalui transmisi demand pull, yaitu ketika kenaikan harga luar negeri ataupun kenaikan mata uang asing terhadap rupiah mengakibatkan kenaikan pendapatan eksportir dalam negeri. Hasil akhirnya adalah akan meningkatkan permintaan eksportir terhadap barang dan jasa di dalam negeri.

(12)

2.7 Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian yang membahas mengenai pasar beras maupun perdagangan beras telah banyak dilakukan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Harianto (2001). Harianto berfokus pada impor beras. Menurut Harianto, impor beras merugikan produsen, disisi lain menguntungkan konsumen beras. Penurunan harga beras akan menguntungkan konsumen yang ada di pedesaan. Konsumen di pedesaan juga adalah petani padi akan menghadapi dilema. Turunnya harga akan menguntungkan jika konsumen adalah petani subsisten yang menjadi net buyer. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi fluktuatifnya sisi permintaan dan atau penawaran.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitepu (2002), menyatakan bahwa harga beras dunia selain dipengaruhi oleh jumlah ekspor dan impor beras dunia, juga dipengaruhi oleh jumlah produksi beras dunia. Dalam hasil penelitiannya, harga beras dunia tidak berpengaruh nyata secara positif terhadap jumlah impor beras dunia, dan responnya juga inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh jumlah ekspor beras dunia, tetapi arahnya berlawanan. Respon harga beras dunia terhadap perubahan jumlah ekspor beras dunia juga inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya peningkatan jumlah ekspor beras dunia sebesar satu persen, cateris paribus, akan mengurangi harga beras dunia sebesar 0.06 persen dalam jangka pendek dan 0.08 persen dalam jangka panjang.

Disamping kedua faktor tersebut, harga beras dunia dipengaruhi secara nyata oleh produksi beras dunia, bahkan responnya elastis baik jangka pendek (-1.91) maupun jangka panjang (-2.73). Artinya, peningkatan volume produksi beras dunia sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga beras dunia akan berkurang sebesar 1.19 persen pada jangka pendek dan 2.73 persen pada jangka panjang. Sitepu juga memasukkan faktor bedakala dalam penelitiannya. Faktor peubah bedakala menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap harga beras dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa, harga beras dunia relatif lambat untuk menyesuaikan diri kembali pada titik keseimbangannnya dalam merespon situasi perubahan ekonomi yang berkaitan dengan perberasan dunia.

Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2009) yang menganalisis pasar beras di tiga negara yaitu Thailand, Filipina dan Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, telah terjadi integrasi dengan tingkat integrasi yang sangat lemah antara pasar beras Indonesia, Thailand, dan Filipina. Artinya apabila terjadi perubahan di dalam pasar beras dan gula suatu negara akan mempengaruhi pergerakan pasar beras dan gula negara lainnya dengan perubahan yang sangat kecil (dilihat dari nilai koefisiennya yang lebih kecil dari satu). Kondisi ini disebabkan masih adanya kebijakan pengendalian impor (baik tarif maupun nontarif) yang diterapkan oleh tiga negara ASEAN tersebut terhadap komoditi beras dan gula.

Penelitian lain mengenai integrasi pasar beas dilakukan oleh Hidayat (2012). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras dunia dengan derajat yang sangat lemah. Perubahan di pasar dunia ditransmisikan ke pasar beras domestik namun tidak sempurna. Peningkatan harga

(13)

beras dunia dapat menyebabkan kesejahteraan petani beras meningkat, sedangkan kesejahteraan konsumen mengalami penurunan.

Penelitian yang berkaitan dengan pengendalian harga beras pernah dilakukan oleh Firdaus et. al. (2008). Dalam bukunya yang berjudul Swasembada Beras dari Masa ke Masa, Telaah Efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional menyatakan bahwa pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan harga beras domestik. Kebijakan pengendalian harga beras ditujukan untuk melindungi petani dan konsumen beras melalui mekanisme stabilisasi harga. Untuk melindungi petani, sejak tahun 1970 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan harga dasar (floor price) untuk gabah dan beras. Untuk melindungi konsumen pemerintah menetapkan harga maksimum (ceiling price).

Bentuk kebijakan harga lain pada beras yang masih berlaku sampai saat ini adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM adalah bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat adanya excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara peotogan harga 10 sampai 15 persen dibawah harga pasar. Sedangkan OPK merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal OPK adalah penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan saat krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM.

Penelitian mengenai harga minyak mentah dunia diantaranya adalah yang telah dilakukan oleh Aji (2010). Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Integrasi Harga Minyak Bumi, Minyak Kedelai, CPO, Minyak Goreng Domestik dan Tandan Buah Segar Kelapa Sawit”, Aji menemukan terdapat adanya integrasi antara harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik, dan TBS kelapa sawit. Pengaruh minyak bumi atau minyak mentah dunia terhadap harga-harga minyak lainnya tidak terlalu besar, hal ini menunjukkan bahwa konversi energi dari minyak bumi ke minyak nabati belum begitu besar. Dalam penelitiannya, Aji menggunakan Granger Causality, kointegrasi multivariat, kointegrasi bivariat, dan vector error correction model (VECM).

Studi yang dilakukan para peneliti dibidang total faktor produktivitas selama ini dapat dibedakan ke dalam kategori berdasarkan ruang lingkup penelitian yaitu TFP untuk aspek agregate dan TFP untuk aspek mikro (perusahaan). Penelitian dengan data agregat banyak dilakukan untuk menunjukkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara dan dekomposisi TFP. Cororaton (2002) untuk kasus Philippina, Jantan dan Sahlan (2002) untuk kasus Malaysia, Felipe (1997) untuk kasus Asia Tenggara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cororaton dengan pengamatan selama kurun waktu 1967-2000, menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Philippina adalah keterbukaan terhadap perdagangan luar negeri dan investasi, kestabilan harga, dan kondisi makroekonomi Philippina. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sahlan dan Jantan 2002 dengan mengambil sampel salahsatu kabupaten di Semenanjung Malaysia adalah menganalisis mengenai kemajuan teknis di sektor manufaktur.

Analisis menggunakan kerangka perhitungan pertumbuhan dengan periode analisis antara tahun 1991-1996. Kemajuan teknis atau total faktor produktivitas merupakan faktor sisa setelah kontribusi pertumbuhan modal dan tenaga kerja diperhitungkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi modal dan tenaga

(14)

kerja berkontribusi lebih dari tiga-perempat dari output total manufaktur, sementara kemajuan teknis menyumbang kurang dari seperempat pertumbuhan total di sektor manufaktur. Studi lanjutan adalah studi yang dilakukan oleh Felipe 1997. Felipe menganalisis faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Studi lain mengenai TFP adalah studi yang dilakukan Supriyanto (2002).

Hasil studi Supriyanto yang menggunakan pendugaan stochastic translog frontier production function pada industri makanan, tekstil, dan kayu menyatakan bahwa untuk mendorong pertumbuhan (industri kecil rumah tangga) IKRT perlu conducive business environment melalui perbaikan layanan usaha (birokrasi dan perijinan), pengurangan transaction cost, ketenangan dan keamanan berusaha, pengembangan infrastruktur, serta peningkatan akses pasar, modal, informasi, dan teknologi. Disisi lain, Supriyanto mengungkapkan perlunya peningkatan kualitas tenaga kerja pada sektor makanan, kualitas bahan baku pada sektor tekstil, dan peningkatan kualitas kapital pada sektor kayu. Kesimpulan hasil penelitian Supriyanto adalah ketiga sektor usaha berada pada kondisi decreasing cost industry (increasing return to scale).

2.8 Kerangka Pemikiran Operasional

Minyak mentah merupakan salahsatu sumber energi utama bagi kehidupan manusia. Menipisnya persediaan minyak mentah dunia akan menyebabkan lonjakan harga ketika pasokan di pasar dunia lebih rendah dibandingkan permintaan. Lonjakan harga yang terjadi menurut Mondi et.al. (2010) mempengaruhi harga beras dunia melalui lima saluran utama, yaitu : kenaikan harga pupuk, biaya transportasi, ekspektasi pasar, spekulasi di pasar berjangka, dan efek substitusi produksi beras dengan biji-bijian lainnya yang digunakan dalam pembuatan biofuel. Berikut merupakan grafik hasil penelitian Mondi et. al. yang menjelaskan hubungan antara harga mnyak mentah dunia dengan harga beras dunia.

Gambar 5 Hubungan harga minyak mentah dunia dengan harga beras dunia menurut mondi at.al.

Indonesia yang mengalami perubahan peran, yaitu awalnya swasembada beras tetapi beberapa tahun sebagai net importir beras, dan kemudian tiga tahun terakhir (2008-2011) telah kembali dapat mengekspor walaupun dengan jumlah

HBD HMMD Harga Pupuk Biaya Transportasi Ekspektasi Pasar Spekulasi di Pasar Berjangka Efek Substitusi

(15)

sedikit, maka diduga kondisi pasar beras Indonesia tergantung atau dipengaruhi oleh pasar beras dunia termasuk pergerakan harga berasnya melalui harga impor beras yang di impor Indonesia. Beberapa studi terdahulu menyatakan bahwa harga beras domestik terintegrasi dengan harga beras dunia, dalam hal ini harga beras Thailand sebagai negara pengekspor beras utama di dunia.

Terkait dengan hubungan harga antara harga minyak mentah dunia, harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik, maka akan melibatkan nilai tukar baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan penelitian Anwar (2005) nilai tukar akan mempengaruhi harga komoditi secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung setiap perubahan nilai tukar akan mempengaruhi harga di negara pembeli jika tanpa perubahan di negara produsen. Harga dapat naik atau turun dalam jangka pendek tergantung pergerakan mata uang, perubahan ini hanya dalam efek nominal, yaitu tidak ada efek cepat terhadap permintaan dan penawaran. Secara arbitrase harga antarpasar relatif sama dan hanya berbeda karena biaya transportasi. Kenyataan di lapangan harga bervariasi antarpasar jika dikonversi dalam mata uang yang sama, akan tetapi dalam jangka panjang perubahan nilai tukar akan mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditi.

Berkaitan dengan beras sebagai komoditi pokok di Indonesia, maka beras memiliki peran yang sangat vital. Diantaranya usahatani beras diduga sebagai

Ket :

= tidak dianalisis

Gambar 6 Alur kerangka operasional penelitian

Implikasi Kebijakan Pajak Analisis VECM Input Ustan Padi Pasar Beras Domestik Pasar Minyak Mentah Dunia Pasar Beras Dunia Pasar Valas Beras Impor Harga Beras Dunia Harga Minyak Mentah Dunia TFP Nilai Tukar Harga Beras Domestik Harga Beras Impor Prod. Beras

(16)

salahsatu penentu pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena beras melibatkan banyak tenaga kerja dan dikonsumsi oleh jutaan masyarakat Indonesia. Menangkap fenomena tersebut, maka kajian lain dalam penelitian ini adalah dengan melibatkan analisis Total Faktor Produktivitas (TFP). Analisis TFP digunakan untuk menganalisis pengaruh teknologi (efisiensi).

Sesuai dengan tujuan penelitian maka akan dianalisis apakah antara harga minyak mentah dunia, harga beras dunia, dan harga beras domestik saling terintegrasi atau tidak. Jika terintegrasi maka bisa menganalisis variasi harga beras di Indonesia, seberapa besar perubahan berasal dari beras domestik itu sendiri dan seberapa besar berasal dari pengaruh harga minyak mentah dunia dan harga beras dunia. Hasil analisis dapat dijasikan landasan dalam mengidentifikasi implikasi-implikasi kebijakan perdagangan beras di Indonesia.

Kondisi di Indonesia

Gejolak harga energi dunia terutama yang berbahan fosil seperti minyak mentah yang dimulai sejak awal tahun 2002 menimbulkan banyak ketertarikan peneliti untuk menganalisa hubungan harga minyak mentah dan pasar komoditi baik di negara-negara eksportir maupun di negara-negara importir. Guncangan harga minyak mentah dunia ini tentunya akan berimbas pada aktivitas perekonomian hampir di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia yang dijadikan negara kajian dalam penelitian ini. Peranan energi yang cukup besar di Indonesia membuat perekonomian menjadi cukup sensitif terhadap gejolak harga minyak mentah dunia yang tentunya akan berimbas pada harga minyak mentah dalam negeri dan pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja perekonomian di negara tersebut.

Guncangan harga minyak mentah dunia memberikan dampak besar di Indonesia karena Indonesia merupakan negara pengimpor minyak. Walaupun Indonesia termasuk negara yang mampu memproduksi minyak sendiri, tetapi sebagian diekspor karena spesifikasinya tidak sesuai dengan kebutuhan kilang dalam negeri. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan pasokan dalam negeri Tabel 1 Harga dan jumlah impor minyak mentah serta nilai subsidi bahan bakar

minyak Indonesia periode 2003-2012 Tahun

Harga Minyak Mentah (US$/barel)

Impor Minyak Mentah (juta barel)

Jumlah Subsidi (triliun rupiah) 2003 - 137.12 - 2004 36.39 148.49 - 2005 53.66 118.30 - 2006 64.27 116.23 59.50 2007 72.31 115.81 76.27 2008 96.13 97.01 134.20 2009 61.58 120.12 34.90 2010 79.40 101.09 61.07 2011 111.55 96.04 142.92 2012 117.28 - - Sumber : esdm.go.id

(17)

dilakukan impor yang sesuai dengan spesifikasi kilang dalam negeri. (Ditjen MIGAS, 2011).

Dampak dari naiknya harga minyak mentah dunia antara lain pengurangan subsidi terhadap bahan bakar minyak yang pada akhirnya menimbulkan peningkatan harga-harga komoditi lain termasuk pupuk yang menjadi salah satu input utama pada usahatani padi. Tetapi untuk kasus di Indonesia, kenaikan harga minyak mentah dunia tidak diiringi oleh penurunan subsidi bahan bakar. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, subsidi BBM tidak berkurang saat harga minyak mentah dunia terus meningkat. Subsidi BBM diskemakan mengikuti kenaikan harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah dunia naik, maka subsidi terhadap bahan bakar juga ikut naik.

Tabel 2 Perkembangan harga minyak mentah dunia, harga urea, dan subsidi pupuk periode 2002-2011

Tahun Harga Minyak Mentah Dunia (US$/barel) Harga Urea (Rp/kg) Subsidi Pupuk (Triliun) 2002 30.32 1400.32 1.200 2003 34.17 1596.87 1.315 2004 36.39 1626.77 1.353 2005 53.66 1758.06 1.833 2006 64.27 1511.92 3.004 2007 72.31 1582.54 8.000 2008 96.13 1653.17 15.001 2009 61.58 1726.94 16.460 2010 79.40 1804.01 - 2011 111.55 1884.51 - Rata-rata kenaikan 63.98 3.74 53.63

Sumber : Depkeu, BPS, dan ditjen Migas (2012)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Mondi at.al diantaranya : Pertama, harga minyak mentah dunia mempengaruhi harga beras domestik lewat harga pupuk ternyata untuk kasus Indonesia tidak sama dengan hasil penelitian Mondi at.al karena berdasarkan Tabel 2. rata-rata kenaikan harga minyak mentah dunia jauh diatas rata-rata kenaikan harga pupuk urea yang hanya mencapai 3.74 persen.

Sementara hasil penenlitian Mondi et.al. pupuk merupakan salahsatu jalur yang menyebabkan kenaikan harga beras sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah dunia. Mondi et.al menemukan bahwa semenjak harga minyak mentah dunia naik dalam satu dekade terakhir, maka harga pupuk ikut naik sebesar empat kali lipat. Hal ini terjadi karena di Indonesia pupuk merupakan salah satu komoditi yang mendapat subsidi besar juga dari pemerintah.

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kenaikkan harga pupuk urea bisa ditekan hanya sebesar 3.74 persen sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah dunia dengan rata-rata 63.98 persen karena didukung oleh kenaikkan subsidi pupuk yang dilakukan pemerintah yaitu dengan rata-rata 53.63 persen. Kedua, biaya transportasi. Biaya transpotasi yang disebutkan oleh Mondi at.al. sebagai salah satu jalur yang mempengaruhi harga beras domestik sesuai dengan kondisi di Indonesia. Kenaikan harga minyak mentah dunia mempengaruhi harga beras domestik melalui kenaikan harga impor. Hal ini bisa dilihat dari kenaikan harga beras impor yang seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Seperti

(18)

terlihat dalam Gambar 7, semenjak tahun 2002 yaitu saat dimulainya gejolak harga

Gambar 7 Perkembangan harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik periode 1996-2011

minyak mentah dunia harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik meningkat drastis. Hal ini menunjukkan adanya transmisi harga dari kenaikan harga minyak mentah dunia melalui harga beras dunia dan harga beras impor.

Gambar 8 Hubungan harga minyak mentah dunia dengan harga beras domestik

0.00 1000.00 2000.00 3000.00 4000.00 5000.00 6000.00 7000.00 8000.00 9000.00 10000.00 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 HBD HBI HBDom PB naik mengikuti kenaikan jumlah penduduk Kebutuhan Beras Domestik naik TFP Harga pupuk&input lain naik termasuk upah Domestic inflation Subsidi pupuk naik Impor HBDom naik HMMD naik HBD naik

HBI naik Biaya

transportasi naik Imported inflation

dan cosh push inflation Depresiasi Nilai tukar Subsidi BBM naik Harga BBM naik Indonesia importir minyak mentah

(19)

2.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut :

1 Terjadi integrasi antara pasar beras domestik dengan pasar beras dunia.

2 Terdapat keterkaitan harga antara harga beras domestik dengan harga beras dunia dan harga beras impor.

3 Variabel lain yang mempengaruhi harga beras domestik adalah produksi beras, total faktor produktivitas dan nilai tukar.

4 Guncangan harga minyak mentah dunia berpengaruh negatif (menaikkan harga beras domestik).

5 Terdapat hubungan positif antara harga minyak mentah dunia, harga beras dunia, harga beras impor dan harga beras domestik.

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan merupakan data deret waktu atau time series. Rentang waktu penelitian dari tahun 1969 sampai 2011. Penelitian dilaksanakan di Bogor dengan lokasi pengumpulan data dan informasi di Bogor dan Jakarta. Pengumpulan data dilaksanakan dalam jangka waktu lima bulan mulai dari bulan Februari 2012 – Juni 2012.

Tabel 3 Variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian

No. Nama Variabel Satuan Simbol Sumber

1. Harga Beras Domestik US dollar/kg HBDom Kemendag

2. Harga Minyak Mentah Dunia US dollar/kg HMMD OPEC

3. Harga Beras Dunia US dollar/kg HBD Kemendag

4. Harga Beras Impor US dollar/kg HBI BPS

5. Nilai tukar US$/Rupiah NT BI

6 Produksi Beras Domestik Ton PB Deptan US

7. TFP Rp TFP BPS

Data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Urusan Logistik (BULOG), Departemen Pertanian, Pusat Studi Sosial Ekonomi Pertanian (PSE), Departemen Keuangan (Depkeu), Bank Indonesia (BI), Center for Alleviation of Poverty through Sustainable Agriculture (CAPSA). Untuk kelengkapan serta penyesuaian data juga dilakukan pengumpulan data dari beberapa publikasi seperti FAO (Food Agricultural Organization), IRRI (International Rice Research Institute) dan IMF (International Monetary Fund), World Bank serta publikasi-publikasi lainnya.

3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data

Analisis akan dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengolahan data program Excel 2007 dan program komputer EViews 6. Tujuan penelitian pertama akan dijawab dengan menggunakan analisis deskriptif. Tujuan penelitian kedua

Gambar

Gambar 3  Model keseimbangan integrasi spasial dua pasar
Gambar 6  Alur kerangka operasional penelitian
Tabel  2    Perkembangan  harga  minyak  mentah  dunia,  harga  urea,  dan  subsidi   pupuk periode 2002-2011
Gambar 7  Perkembangan harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras  domestik periode 1996-2011
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa adanya ketimpangan dan perbedaan konsep ganti rugi antara KUH Perdata dengan ketentuan Hukum Islam salah satunya Fatwa DSN MUI, dimana dalam

Dalam rangka membangun ciri simbol-simbol yang akan dikenali, OSAD mengumpulkan contoh-contoh simbol yang terdapat pada ekspresi matematika tercetak untuk membangun average

Faktor lain yang berpengaruh pada penelitian ini adalah proporsi perempuan yang lebih besar pada kelompok obes yang mengalami resistensi insulin, sehingga tidak

Berkat taufik, hidayah, serta kasih sayang-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Pengaruh Game Lompatan Kata-Kata Menggunakan Media

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana sistem kendali logika fuzzy dapat mengembalikan kecepatan motor BLDC sesuai dengan kecepatan setting

Jika selama batuk daerah operasi terasa nyeri, pasien bisa menambahkan dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan handuk yang lembut untuk menahan daerah operasi dengan

Hasil penelitian ini menemukan bahwa faktor rasional yaitu sumber daya, informasi, orientasi tujuan, dan pengukuran kinerja berpengaruh positif tidak signifikan terhadap

• Berbeda halnya untuk keputusan Pengadilan Asing yg hanya bersifat Declaratoir, PN Indonesia pada umumnya bersedia melaksanakannya, sepanjang tidak bertentangan dg Ketertiban Umum.