• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1.1 Model Pembelajaran

Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas (Agus Suprijono, 2009:46).

Menurut Joyce dan Well model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan–bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain ( Rusman, 2010:133).

Model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang digunakan, termasuk di dalamnya tujuan pembelajaran, tahap-tahap pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas. Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran atau merancang aktivitas belajar mengajar secara sistematis.

Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran atau merancang aktivitas belajar mengajar secara sistematis.

2.1.2 Pembelajaran Kooperatif

2.1.2.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Menurut Robert E Slavin (2005:57) pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang peserta didik pelajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang peserta didik yang heterogen dan dikelompokkan dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda. Sehingga setiap kelompok ada peserta didik yang tingkat kemampuannya rendah, sedang, dan tinggi.

(2)

Menurut Ibrahim Muslim (2001:36) dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan, belum selesai jika salah satu dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap peserta didik anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu satu sama lain.

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif berasal dari kata “kooperatif” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau tim seperti yang dikemukakan Johnson (dalam Anita Lie:2004).

Menurut Isjoni (2011:14) pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis dimana pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda.

Belajar dengan model kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat (sharing ideas). Selain itu dalam belajar biasanya siswa dihadapkan pada latihan soal-soal atau pemecahan masalah.

Oleh sebab itu, pembelajaran kooperatif sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat bekerja sama dan saling tolong menolong mengatasi tugas yang dihadapinya. Model pembelajaran kooperatif, tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, dan membantu teman. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas, dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya.

Pembelajaran kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam proses pembelajaran yang memungkinkan kerja sama dalam menuntaskan permasalahan.

(3)

2.1.2.2 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif

Isjoni (2010:27) mengungkapkan tentang kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif. Kelebihan dari pembelajaran kooperatif antra lain:

Saling ketergantungan positif, adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu, siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, suasana kelas yang rileks dan menyenangkan, terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan gurunya, memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman yang menyenangkan.

Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut:

1) Guru, harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu.

2) Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai.

3) Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

4) Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.

Berdasarkan kelemahan dalam pembelajaran kooperatif, sebelum pembelajaran berlangsung sebaiknya guru mempersiapkan pembelajaran secara matang seperti alat peraga atau yang lainnya, agar pada saat proses belajar mengajar berlangsung tidak ada hambatan. Pada waktu pembelajaran kooperatif berlangsung guru sebaiknya membatasi masalah yang dibahas, agar waktu yang telah ditentukan tidak melebihi batas. Ketika pembelajaran kooperatif berlangsung guru harus berusaha menanamkan dan membina sikap berdemokrasi diantara para siswa. Maksudnya suasana sekolah kelas harus diwujudkan sedemikian rupa sehingga dapat menumbuhkan kepribadian siswa yang demokratis dan dapat diharapkan suasana yang terbuka dengan kebiasaan-kebiasaan kerjasama, terutama dalam

(4)

memecahkan kesulitan-kesulitan. Seorang siswa haruslah dapat menerima pendapat siswa lainnya, seperti siswa satu mengemukakan pendapatnya lalu siswa yang lainnya mendengarkan dimana letak kesalahan, kekurangan atau kelebihan, kalau ada kekurangannya maka perlu ditambah. Penembahan ini harus disetujui oleh semua anggota dan harus saling menghormati pendapat orang lain.

Pembelajaran kooperatif dapat membuat kemajuan besar para siswa kearah pengembangan sikap, nilai, dan tingkah laku yang memungkinkan mereka dapat berpartisipasi dalam komunitas mereka dengan cara-cara yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai karena tujuan utama pembelajaran kooperatif adalah untuk memperoleh pengetahuan dari sesama temannya. Pengetahuan itu tidak lagi diperoleh dari gurunya. Seorang teman haruslah memberikan kesempatan kepada teman yang lain untuk mengemukakan pendapatnya dengan cara menghargai pendapat orang lain, saling mengoreksi kesalahan, dan saling membetulkan sama lainnya.

Melalui teknik saling menghargai pendapat orang lain dan saling membetulkan kesalahan secara bersama mencari jawaban yang tepat dan baik, dengan cara mencari sumber-sumber informasi dari mana saja seperti buku paket, buku-buku yang ada diperpustakaan, dan buku-buku penunjang lainnya, dijadikan pembantu dalam mencari jawaban yang baik dan benar serta memperoleh pengetahuan tentang pemahaman terhadap materi pelajaran yang diajarkan semakain luas dan semakin baik.

2.1.2.3 Macam-macam Pembelajaran Kooperatif

Dalam pembelajaran kooperatif terdapat bermacam-macam tipe, salah satunya adalah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

Menurut (Zaenal Aqib:2007) macam pembelajaran kooperatif adalah:

1. Student Team- Achievment Division (STAD)

STAD merupakan kerja tim yang anggota kelompok heterogen dan tiap anggota tim dan dalam kegiatan pembelajaran tim dituntut untuk selalu

(5)

melakukan perbaikan agar berhasil dalam menghadapi kuis (Zaenal Aqib:

2007).

2. Teams Game- Tournament (TGT)

Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsure permainan dan reinforcement (Sahiri:2009).

3. Jigsaw

Pengertian pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Achmad Sudrajat:2008).

Salah satu pembelajaran kooperatif yang berpengaruh pada hasil belajar, khususnya pelajaran matematika adalah tipe jigsaw.

2.1.2.4 Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Menurut Aronson (dalam Miftahul Huda, 2011:149) pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah teknik pembelajaran kooperatif di mana siswa, bukan guru, yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuan dari jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian.

Arti Jigsaw dalam bahasa inggris adalah gergaji ukir dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah puzzle yaitu sebuah teka–teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif model Jigsaw mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (zigzag), yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama. (Rusman, 2011:217). Model pembelajaran Jigsaw adalah model

(6)

belajar kooperatif yang menitikberatkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil. (Rusman, 2011:218).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw juga diperkenalkan Elliot Aronson dan para koleganya (Aronson, Blaney, Stephan, Sikes, dan Snapp,1978: Aronson, Bridgeman dan Geffner, 1978). Model ini adalah strategi belajar kooperatif dimana setiap siswa menjadi seorang anggota kelompok dalam bidang tertentu. Kemudian membagi pengetahuannya kepada anggota dalam bidang tertentu. (Isjoni,2011:79)

Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw merupakan pembelajaran yang terdiri dari tim-tim belajar yang heterogen beranggotakan 4 sampai dengan 5 orang peserta didik. Materi pembelajaran diberikan kepada peserta didik dalam bentuk teks. Setiap anggota bertanggung jawab untuk mengajari bagian tersebut kepada anggota tim yang lain, Robet E. Slavin (2010:237).

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dilandasi oleh pemikiran bahwa kegiatan belajar hendak mendorong dan membantu peserta didik untuk terlibat membangun pengetahuan sehingga mencapai pemahaman yang mendalam. Sedangkan menurut Blaney (dalam Hisyam Zaeni 2007:53) pembelajaran kooperatif tipe jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Sehingga dengan demikian iswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengerjakan materi tersebut pada anggota kelompoknya.

Selain didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab secara mandiri juga dituntut saling ketergantungan yang positif atau saling membantu satu sama lain dalam kelompoknya. Model pembelajaran yang mempunyai karakter seperti ini diharapkan dapat meninggkatkan hasil belajar siswa.

Menurut Achmad Sudrajat (2008:17) pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya.

(7)

Ilustrasi Kelompok Kooperatif tipe Jigsaw:

Para anggota dari kelompok asal yang mendapatkan lembar ahli yang berbeda, bertemu dengan anggota kelompok ahli yang mendapatkan lembar ahli, serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topic mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok semula (kelompok asal) dan berusaha mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli. Di akhir pembelajaran, peserta didik diberi evaluasi individu mencakup topik materi yang telah dibahas. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interpendensi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan soal-soal latihan dengan baik.

Menurut Isjoni (2011:115) bahwa teknik jigsaw adalah guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi bermakna, selain itu siswa juga bekerja sama dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkanketrampilan dan komukasi yang cocok.

Pembentukan kelompok ahli (expert group), setiap anggota yang mendapat bagian/ subtopik yang sama berkumpulan dengan anggota dari kelompok- kelompok yang juga mendapat bagian/subtopik tersebut. Kemudian, masing-masing dari kelompok ahli kembali ke kelompoknya yang semula, lalu menjelaskan apa yang baru dipelajarinya (dari kelompok ahli) kepada rekan-rekan kelompok yang semula menurut Miftahul Huda (2011:150).

1. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menurut Hisyam Zaeni (2007:57)

a. Pilih materi yang dapat dibagi menjadi beberapa segmen atau bagian.

b. Bagi siswa mejadi beberapa kelompok sesuai dengan segmen yang ada. Jika jumlah siswa ada 50 sementara segmen 5, maka masing- masing kelompok terdiri dari 10 orang. Jika jumlah terlalu banyak

(8)

bagi lagi menjadi 2, sehingga setiap kelompok terdiri dari 5 orang setelah proses selesai gabung kembali kedua kelompok tadi.

c. Setiap kelompok mendapatkan mendapatkan tugas membaca dan memahami materi yanmg berbeda-beda.

d. Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk menyampaikan apa yang telah mereka pelajari dikelompok.

e. Kembalikan suasana kelas seperti sedia kala, kemudian tanyakan ada persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam kelompok.

f. Beri siswa pertanyaan untuk mengecek pemahaman siswa.

Pengecekan pemahaman siswa dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan mereka dalam memahami teks.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas peneliti menjelaskan dan membuat langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sebagai berikut:

1). Persiapan:

a. Membuat bahan ajar

Bahan ajar pembelajaran tipe Jigsaw dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara kelompok sebelum menyajikan materi pembelajaran dibuat lembar ahli yang akan dipelajari oleh peserta didik dalam kelompok kooperatif.

b. Menentukan nilai awal (pre test)

Nilai awal diperoleh dari hasil evaluasi awal peserta didik secara individu sebelum diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.

2). Tahap Pembelajaran

Untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada pembelajaran matematika guna meningkatkan hasil belajar, maka dapat ditempuh dengan tahapan sebagai berikut:

a. Guru membagi siswa kedalam kelompok beranggota 4 orang.

b. Siswa bergabung dengan tim/ anggota masing-masing yang telah ditentukan.

c. Guru memberikan pada masing-masing kelompok dengan materi yang berbeda.

(9)

d. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan.

e. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/ sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka.

f. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli, tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

g. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi.

h. Guru memberi evaluasi.

2.1 Bagan Pembentukan Kelompok Jigsaw:

Kelompok Asal 1

Kelompok Asal 2

Kelompok Asal 3

Kelompok Asal 4

Kelompok Asal 5

Kelompok Ahli

1

Kelompok Ahli

2

Kelompok Ahli

3

Kelompok Ahli

4

Kelompok Ahli

5

Belajar Materi 1

Belajar Materi 2

Belajar Materi 3

Belajar Materi 4

Belajar Materi 5

(10)

2.1.3 Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah dia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley (Sudjana, Nana, 2011:22) membagi tiga macam hasil belajar, yaitu (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita, yang masing-masing jenis belajar dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjai dua jenis yaitu sebagai berikut a) Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri manusia Faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni faktor biologis dan faktor psikologis.

Faktor biologis antara lain usia, kematangan dan kesehatan. Sedangkan faktor psikologis adalah kelelahan, suasana hati, motivasi, minat dan kebiasaan belajar. b) Faktor-faktor yang bersumber dari luar diri manusia Faktor ini diklasifikasikan menjadi dua yakni faktor manusia dan faktor non manusia seperti alam, benda, hewan, dan lingkungan fisik.

Jadi hasil belajar yang diperoleh siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar yang dilakukan oleh siswa. Semakin tinggi proses belajar yang dilakukan oleh siswa, harus semakin tinggi hasil belajar yang diperoleh siswa.

Seorang siswa dikatakan telah belajar apabila terlihat adanya perubahan tingkah laku yang relatif menetap pada siswa tersebut. Dengan demikian dikatakan bahwa perubahan tingkah laku pada siswa tersebut merupakan hasil dari belajar. Hal ini sesuai yang dinyatakan Sudjana (2011:3) bahwa hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku.

Menurut pendapat Hudojo (1988:44) hasil belajar adalah penguasaan hubungan yang telah diperoleh sehingga orang itu dapat menampilkan pengalaman dan penguasaan bahan pelajaran yang telah dipelajari.

Menurut W. James Popham dan Eva L. Baker yang diterjemahkan oleh Amirul (2008:113) jika seorang guru menginginkan punya dasar yang memadai untuk menentukan kualitas pengajarannya, ia harus menggunakan

(11)

tes yang secara teliti dan representatif mengungkapkan tercapai butir-butir tes yang sudah jadi tidak dapat digunakan, maka ia harus menyusun tes sendiri. Untuk mengukur prestasi belajar siswa dibutuhkan suatu alat ukur yang akurat, yang dapat diandalkan. Jika tidak maka informasi yang diperoleh tidak dapat dipercaya dan mungkin tidak memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hasil belajar siswa.

Masidjo (1995:39) mendefinisikan tes hasil belajar atau Achievment Test adalah suatu tes yang mengukur prestasi seseorang dalam suatu bidang sebagai hasil proses belajar yang khas, yang dilakukan secara sengaja dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, sikap dan nilai.

Dengan demikian disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil usaha yang diperoleh siswa melalui proses belajar berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, yang diukur melalui tes.

Sedangkan yang dimaksud dalam penelitian ini mengenai hasil belajar matematika adalah penguasaan yang diperoleh siswa, melalui suatu tes yang mengukur prestasi seseorang dalam suatu bidang sebagai hasil proses belajar yang khas, yang dilakukan secara sengaja dalam bentuk pengetahuan, pemahaman (kognitif).

2.1.4 Pengertian Matematika

Menurut Ruseffendi (1991), matematika adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.

Dalam matematika, setiap konsep yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan, agar mengendap dan bertahan lama dalam memori siswa, sehingga akan melekat dalam pola pikir dan pola tindakannya. Untuk keperluan inilah, maka diperluan adanya pembelajaran melalui perbuatan dan pengertian, tidak hanya sekedar hafalan atau mengingat fakta saja, karena hal ini akan mudah dilupakan siswa.

(12)

Menurut Hasan Shadyli (Ensiklopedia Indonesia: 1983) istilah

”matematika” (dari yunani: mathematikos ialah ilmu pasti, dari kata mathema atau mathesis yang berarti ajaran, pengetahuan, atau ilmu pengetahuan). Matematika adalah salah satu pengetahuan tertua, terbentuk dari penelitian bilangan dan ruang. Matematika adalah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan tidak merupakan cabang dari ilmu pengetahuan alam.

Dalam pembelajaran matematika, diharapkan terjadi reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali adalah penemuan suatu cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran di kelas. Walaupun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal baru bagi orang yang telah mengetahui sebelumnya, tetapi bagi siswa penemuan tersebut merupakan sesuatu hal yang baru.

Bruner (Heruman, 2007:4) metode penemuannya mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya. „Menemukan‟ disini terutama adalah „menemukan lagi‟ (discovery), atau dapat juga menemukan yang sama sekali baru (invention). Oleh karena itu, kepada siswa materi disajikan bukan dalam bentuk akhir dan tidak diberitahukan cara penyelesaiannya.

Dalam pembelajaran ini, guru harus lebih banyak berperan sebagai pembimbing dibandingkan sebagai pemberi tahu.

Sepintas konsep matematika yang diberikan pada siswa sekolah dasar (SD) sangatlah sederhana dan mudah, tetapi sebenarnya materi matematika SD memuat konsep-konsep yang mendasar dan penting serta tidak boleh dipandang gampang. Diperlukan kecermatan dalam menyajikan konsep- konsep tersebut, agar siswa mampu memahaminya secara benar, sebab kesan dan pandangan yang diterima siswa terhadap suatu konsep di sekolah dasar dapat terus terbawa pada masa-masa selanjutnya, sebab kesan yang pertama kali ditangkap oleh siswa akan terus terekam dan menjadi pandangannya di masa-masa selanjutnya. Antonius Cahya Prihandoko (2006:1).

(13)

2.1.5 Pengertian Efektivitas Jigsaw

Efektivitas adalah sesuatu yan memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan, dalam hal ini efektivitas dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan intruksional khusus yang telah dicanangkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 219).

Mnurut Said (dalam Yuliastini, 2010:21) efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diprlukan, sesuai juga dengan rencana, dalam penggunaan data, sarana maupun waktunya atau berusaha melalui aktifitas tertentu baik secara fiik maupun nonfisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Arti Jigsaw dalam bahasa inggris adalah gergaji ukir dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah puzzle yaitu sebuah teka–teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif model Jigsaw mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (zigzag), yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama. (Rusman, 2011:217). Model pembelajaran Jigsaw adalah model belajar kooperatif yang menitikberatkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil. (Rusman, 2011:218).

Jadi efektivitas jigsaw dapat disimpulkan apakah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mendapatkan suatu hasil baik positif atau negatif.

Dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini siswa dibentuk menjadi kelompok dan bertukar pengalaman antara kelompok ahli ke kelompok asal dan akan membuahkan hasil.

2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan

1. Penelitian tentang model pembelajaran tipe Jigsaw telah dilakukan peneliti lain, penelitian tersebut berbentuk skripsi, dengan judul ” Pengaruh Metode Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Matematika Kelas V SDN Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang Semester I Tahun Ajaran 2009/ 2010” yang dilakukan oleh

(14)

Laila Mardhiyah (2007) bahwa berdasarkan analisis data dengan uji beda rata- rata 2 populasi diperoleh t hitung = 3,872 dengan signifikan sebesar 0,002 < 0,05, yang berarti kedua rata-rata hasil belajar tidak sama, artinya terdapat pengaruh pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada pokok bahasan luas bangun datar Terhadap Hasil Belajar Matematika siswa kelas V SD N Purworejo, Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang Semester I Tahun Ajaran 2009/ 2010. Hal ini juga diperkuat dari nilai rata-rata kelas kontrol adalah 70,45. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berpengaruh terhadap Hasil Belajar Matematika siswa kelas V SDN Purworejo, Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang Semester I Tahun Ajaran 2009/ 2010.

2. Menurut Ayu Merlisa Nubatonis (2006), dengan judul skripsi “Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw Terhadap Prestasi Belajar Bagi siswa kelas X SMA Efata Soe Kabupaten TTS Propinsi NTT semester I Tahun Ajaran 2010/2011. Bahwa berdasarkan analisis data dengan uji beda rata- rata 2 populasi diperoleh t hitung = 3,382 dengan signifikan sebesar 0,001 < 0,05, yang berarti kedua rata-rata prestasi belajar tidak sama, artinya terdapat efektivitas pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada pokok bahasan system persamaan linear dua variabel Terhadap Prestasi Belajar Bagi siswa kelas X SMA Efata Soe Kabupaten TTS Propinsi NTT semester I Tahun Ajaran 2010/2011. Hal ini juga diperkuat dari nilai rata-rata kelas kontrol adalah 64,95 sehingga dapat disimpulkan bahwa kelas yang diberi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mempunyai nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan kelas yang diberi pembelajaran konvensional.

2.3 Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini peneliti akan menguji suatu hipotesis yang memiliki variabel bebas yaitu model pembelajaran jigsaw dan variabel terikat yaitu hasil belajar. Model pembelajaran jigsaw adalah model dengan cara belajar kelompok dimana siswa mempunyai tanggung jawab untuk kelompoknya supaya materi yang telah didapatkan menyeluruh dan semua

(15)

siswa aktif. Sedangkan hasil belajar adalah hasil yang telah diperoleh setelah mendapatkan pembelajaran.

Dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, maka penguasaan materi ajar yang diberikan akan lebih mudah ditangkap oleh siswa karena sebenarnya pembelajaran kooperatif ini memanfaatkan siswa untuk dapat aktif dan menguasai materi serta mengajarkannya kembali pada teman- temannya, hal ini tidak akan hanya meningkatkan hasil belajar siswa akan tetapi juga meningkatkan kerjasama antar kelompok. Selain itu siswa biasanya akan lebih mengerti dengan bahasa yang dijelaskan oleh teman- temannya.

2.2 Bagan Kerangka Berpikir 2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari perumusan masalah di atas adalah terdapat perbedaan yang efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil belajar matematika kelas V SD 1 Maduretno semester II tahun pelajaran 2011/2012.

Kegiatan Belajar Mengajar

Kelas V

Pembelajaran Koopertif tipe

Jigsaw

Pembelajaran konvensional

1.Penyajian materi

2.Pembagian Kelompok

3. Kerja Kelompok

4.Presentasi Kelompok

5.Evaluasi Individu

1. Ceramah

2. Tanya Jawab

3. Evaluasi

Hasil Belajar Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Hasil Belajar Pembelajaran Konvensional

(16)

Berdasarkan kerangka berfikir tersebut selanjutnya disusun hipotesis.

Sugiyono (2010:96) menyatakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat.

Hipotesis akan diuji di dalam penelitian dengan pengertian bahwa uji statistik selanjutnya yang akan membenarkan atau menolaknya. Adapun hipotesis pada penelitian ini yaitu:

Ho : “Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw (X2) tidak efektif terhadap hasil belajar matematika kelas V SD Negeri 01 Maduretno Kecamatan Kalikajar Kabupaten Wonosobo”

dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional (X1).

H1 : “Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw (X2) efektif terhadap hasil belajar matematika bagi siswa kelas V SD Negeri 01 Maduretno Kecamatan Kalikajar Kabupaten Wonosobo” dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional (X1).

Gambar

Ilustrasi Kelompok Kooperatif tipe Jigsaw:

Referensi

Dokumen terkait

Bila dalam masa tersebut mahasiswa tidak berhasil memberikan laporan atau seminar maka skripsi yang telah dijalankan dapat dinyatakan batal oleh jurusan atau

Sementara itu, dari tiga sumber benih yang digunakan, benih kakao Hibrida menunjukkan performa kecepatan tumbuh relatif yang lebih baik dibandingkan dengan benih

Rosmadewi, A.N., 2010, Studi Kemampuan Adsorpsi Zeolit Alam Terimobilisasi Dithizon terhadap Ion Logam Cd(II) bersama-sama Ion Logam Mg(II) dan Cu(II), Skripsi, Jurusan

(PHBS) melalui strategi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), yang meliputi: tidak buang air besar sembarangan; membiasakan cuci tangan pakai sabun; pengelolaan

Saham biasa atas nama yang ditawarkan kepada Masyarakat dalam Penawaran Umum ini adalah Saham Baru yang berasal dari portepel yang memberikan kepada pemegangnya hak

Di njau dari manajemen satuan pendidikan, maka penyusunan model inspirasi diversifi kasi kurikulum esensi dan muaranya adalah terwujudnya Kurikulum ngkat satuan

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Berbukanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pada hari ‘Arafah itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya memperkuat do’a di

untuk mencapai setting point tersebut adalah 159 detik. Waktu yang diperlukan untuk mencapai setting point baru ketika setting point naik relatif lebih cepat karena