• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP HARMONISASI LEGISLASI HUKUM DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP HARMONISASI LEGISLASI HUKUM DI INDONESIA"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP HARMONISASI LEGISLASI HUKUM

DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M/1443 H NABIELLA AULIA NIM: 11170453000016

(2)

ii SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Nabiella Aulia NIM: 11170453000016

Pembimbing:

Dr. Khamami Zada, S.H., M.A., MDC.

NIP. 19750102 2003121 001

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M/1443 H

(3)

iii

dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada (tanggal, bulan, tahun). Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Tata Negara

Jakarta, 31 Agustus 2021 M 22 Muharram 1443 H

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A.

NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH 1. Ketua : Sri Hidayati, M.Ag.

NIP. 197102151997032002 (...) 2. Sekretaris : Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.A.

NIP. 197812302001122002 (...) 3. Pembimbing : Dr. Khamami Zada, S.H., M.A., MDC.

NIP. 19750102 200312 1001 (...) 4. Penguji I : Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag.

NIP. 19711212 1995031001 (...) 5. Penguji II : Dr. Atep Abdurrofiq, M.Si.

NIP. 19770317 200501 1 010

(4)

iv

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan pada penulisan ini Saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hati terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya Saya atau merupakan hasil karya jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Agustus 2021 M 1 Muharram 1443 H

Nabiella Aulia

NIM: 11170453000016

(5)

v

Harmonisasi merupakan upaya pencegahan disharmoni hukum dengan menyesuaikan asas dan sistem hukum agar terwujud kesederhanaan hukum, kepastian hukum, dan keadilan. Skripsi ini bertujuan untuk memahami hal-hal terkait harmonisasi legislasi hukum di Indonesia. Mengetahui bagaimana harmonisasi legislasi hukum di Indonesia dalam kajian fikih siyasah.

Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan metode analisis data secara deskriptif kualitatif dan perbandingan. Analisis deskriptif dan perbandingan dilakukan dengan mendeskripsikan harmonisasi dalam hukum Indonesia, yang kemudian dibandingkan dengan harmoniasi dalam fikih siyasah. Data primer diambil dari peraturan perundang-undangan dan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, artikel jurnal, dan dokumen penunjang lainnya yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukan: (1) Harmonisasi legislasi hukum di Indonesia ada yang sudah harmonis dan juga ada yang belum harmonis dengan konstitusi Indonesia.

Contoh produk legislasi hukum yang sudah harmonis ada pada pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara. Contoh produk legislasi hukum yang belum harmonis yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari Nomor 17 Tahun 2013 mengatur Tentang Kewajiban Mampu Baca Tulis Al-Qur’an dan Melaksanakan Shalat Fardlu Bagi Siswa yang Beragama Islam dan Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No. 1 Tahun 2013 mengatur tentang Pandai Membaca Al-Quran. (2) Harmonisasi legislasi hukum di Indonesia menurut fikih siyasah secara prinsip sudah sesuai dengan prinsip fikih siyasah yang menghendaki terciptanya kemaslahatan bagi masyarakat., bangsa, dan negara. sebagaimana kaidah kebijakan pemimpin atas rakyatnya berdasarkan kemaslahatan (tasharrruf al imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al mashlahah) .

Kata kunci : Harmonisasi, Hukum, Fikih Siyasah, Legislasi.

Pembimbing : Dr. Khamami Zada, S.H., M.A., MDC.

Daftar Pustaka : 1957-2021

(6)
(7)

vii

kepemimpinan dan inspirasi peneliti dalam menulis penelitian ini.

Peneliti memberikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung penelitian ini sehingga dapat terselesaikan, yaitu kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sri Hidayati, M.A dan Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Khamami Zada, S.H., M.A., MDC., pembimbing penulisan skripsi yang telah meluangkan ide, pikiran, tenaga, dan waktunya dalam penelitian ini.

4. Dr. Isnawati Rais, penasehat akademik peneliti yang telah berkontribusi dalam langkah awal penulisan skripsi.

5. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.A., penguji dan dosen Fikih Siyasah yang telah memberikan konsultasi atas penulisan skripsi.

6. Dr. Rumadi Ahmad, dosen Tarikh Tasyri’ dan Filsafat Hukum Islam yang telah memberikan rekomendasi kepada peneliti.

7. Para Staf Pusat Perancangan dan Kajian Kebijakan Hukum Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang telah menginspirasi atas pemilihan tema penelitian.

Akhir kata, semoga ilmu dan bantuan yang diberikan menjadi amal jariyah dan dibalas oleh Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat menjadi sebagai bahan baru dalam keilmuan Fikih Siyasah.

Nabiella Aulia

NIM: 11170453000016

(8)

viii

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 6

E. Teknik Pengolahan dan Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Pembahasan ... 10

BAB II ... 11

A. Konsep Taqnin al-Ahkam ... 11

1. Pengertian ... 11

2. Sejarah dan Hukum Taqnin ... 14

3. Prinsip Taqnin ... 21

B. Siyasah Tasyri’iyyah dalam Legislasi Hukum ... 22

C. Konsep Harmonisasi dalam Legislasi ... 25

1. Vertikal ... 29

2. Horizontal ... 30

BAB III ... 32

A. Asas Legislasi ... 32

B. Unsur-Unsur Legislasi ... 35

C. Proses Legislasi ... 36

BAB IV ... 41

A. Harmonisasi Hukum di Indonesia ... 41

B. Harmonisasi Hukum di Indonesia dalam Tinjuan Fikih Siyasah ... 52

BAB V ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Dalam konteks ke-Indonesia-an, cita hukum Indonesia adalah Pancasila dan norma hukum dasarnya adalah konstitusi.1 Pancasila dilegitimasi sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam TAP MPR Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia. Maka, hukum yang ada di Indonesia, haruslah memiliki nilai-nilai Pancasila di dalamnya. Norma Hukum di bawahnya haruslah harmonis dengan nirma hukum dasar agar cita hukum Indonesia tercapai.

Termaktub di alinea IV Preambule tujuan disusunnya Undang-Undang Dasar Negara yaitu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah yang tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Maka, hadirnya hukum beserta hierarkinya, haruslah menjadi solusi bagi permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seiring dengan berjalannya waktu, negara ini berkembang dengan hadirnya lembaga-lembaga baru, pergantian pejabat, alih tugas, dan faktor lainnya. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan penafsiran hukum, tumpang tindih peraturan yang menyebabkan ketidakpastian hukum sehingga pelaksanaan hukum menjadi tidak efektif dan efisien, bahkan terjadi disfungsi hukum. Selain itu, di Indonesia, hukum merupakan produk kekuasaan (politik) sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh pertimbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat

1 Muhtadi, “Penerapan Teori Hans Kelsen Dalam Tertib Hukum Indonesia”. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5, No. 2, (September-Desember 2012), h. 301.

(10)

dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi.2Perbedaan pemikiran dari parapembuat hukum dan pengaruh politik menjadikan hukum di Indonesia tidak selamanya harmonis.

Sebagai contohnya, sila kelima Pancasila, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang berbanding lurus dengan nilai-nilai kesejahteraan rakyat yang dijamin di pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, belum sinkron dengan undang-undang yang sudah ada. Salah satunya adalah Undang-Undang tentang Sumber Daya Air yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 85/PUU-XI/2013.

Alasan pembatalan tersebut karena dalam prakteknya, keberadaan air mengalami pergeseran paradigma, dimana pengelolaan air dipandang sebagai komoditas ekonomi yang mengarah pada praktek privatisasi dan eksploitasi yang berkembang karena kebutuhan masyarakat terhadap air yang meningkat sehingga mendorong lebih menguatnya nilai ekonomi air dibanding nilai fungsi sosialnya.3

Dalam menjamin nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila dan kepastian hukum, perlu dilakukan harmonisasi. Proses harmonisasi merupakan upaya pencegahan disharmoni hukum dengan menyesuaikan asas dan sistem hukum agar terwujud kesederhanaan hukum, kepastian hukum, dan keadilan. Harmonisasi hukum mengatasi hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan di antara norma- norma hukum di dalam peraturan perundang-undngan, sehingga terbentuk peraturan perundang-undangan nasional yang selaras, serasi, seimbang, terintegrasi, konsisten, serta taat asas.4

2 Nuraini, “Pengaruh Kekuasaan Politik terhadap Pembentukan Hukum di Indonesia”, Jurnal Hukum Volkgeist, Volume 2 Nomor 2 ( April, 2018), h. 103.

3 Trias Palupi Kurnianingrum dkk, Aspek Hukum Pengelolaan Sumber Daya Air, (Jakarta:

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2019), h. 5.

4 Anwar Fauzi, “Harmonisasi Antara Fiqih Hadlânah dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindunngan Anak”. (Skripsi Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2014), h. 53-54.

(11)

Proses pengharmonisasian peraturan perundang-undangan berbeda-beda untuk setiap hierarki tergantung siapa pembentuknya. Setelah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional, Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari DPR pengharmonisasiannya dikoordinasikan oleh alat kelengkapan yang khusus menangani bidang legislasi5. Sedangkan, RUU yang berasal dari usul Presiden dikoordinasikan oleh menteri atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Kemudian pengharmonisasian Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Bidang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD masing-masing yang khusus menangani bidang legislasi. Sedangkan, Ranperda yang berasal dari Gubernur atau Walikota/Bupati, proses pengharmonisasiannya dilaksanakan oleh kementrian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.6

Begitupula dalam Islam, komsep legislatif secara baku memang tidak tersedia untuk diterapkan. Namun, tidak serta merta membiarkan umat Islam tanpa pedoman dalam bernegara dan megatur pemerintahan. Islam memberikan prinsip-prinsip dan tata nilai yang perlu untuk dikembangkan oleh umatnya sebagaimana zaman dan tempat serta permasalahan yang dihadapi.7 Konsep kekuasaan legislatif dalam Islam menempatkaan para mujtahid dan mufti (ahli fatwa) serta pakar –pakar dalam suatu bidang untuk mengeluarkan ketentuan dan ketetapan yang harus dijalankan secara efektif yang kemudian dipertahankan oleh

5 Pasal 46 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

6 Pasal 47, 54, 55, dan 58 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

7 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 11.

(12)

lembaga yudikatif (peradilan). Karena ketetapan yang sebenarnya hanyalah wewenang Allah SWT, pemangku kekuasaan legislatif hanya menggali dan memahami sumber-sumber syariat dan menginterpretasikan kandungannya (Al- Quran dan Sunnah).8 Setelah masa al-Khulafa’ al-Rasyidin, Islam telah berekspansi ke luar jazirah Arab, perkembangan makin luas, permasalahan yang timbul makin kompleks.9

Setidaknya ada dua fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-hal yang ketentuannya telah tercantum dalam nash, undang-undang yang dikeluarkkan oleh lembaga legislatif adalah undang-undang ilahiyah yang disyariatkan dalam Al- Quran dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua sumber ajaran tersebut hanya memaparkan masalah-masalah global, sementara perkembangan masyarakat sangat cepat dan rumit sehingga membutuhkan jawaban yang tepat.

Kedua, melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadp permasalahan yang tidak secara rigid dijelaskan dalam Nash.10Segala produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif (lembaga pembentuk hukum) berupa undang-undang atau produk hukum lainnya haruslah mengikuti ketentuan syariat tersebut.11

Dari dua disiplin ilmu hukum tata negara dan fikih siyasah, penulis mengambil benang merah yaitu harmonisasi hukum di Indonesia dan harmonisasi dalam taqnin sebagai bagian dari fikih siyasah dusturiyah dan siyasah tasyri’iyyah. Apakah harmonisasi hukum di Indonesia sesuai atau bertentangan dengan harmonisasi dalam taqnin sebagai bagian dari siyasah dusturiyah dan tasyri’iyyah yang memiliki prinsip tidak bertentangan (harmonis) dengan sumber hukum dan kemaslahatan. Bertolak dari uraian permasalahan di atas, penulis

8 Budiarti, “Studi Siyasah Syari’iyah terhadap Konsep Legislatif dalam ketatanegaraan Islam”, Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam Vol. 3 No. 2, (Desember, 2017), h. 44.

9 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Radar Jaya Pratama, 2001), h. 165.

10 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: ..., h. 162-163.

11 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: ..., h. 163.

(13)

tertarik untuk membahas dan menelitinya lebih lanjut dengan judul “Harmonisasi Hukum di Indonesia dalam Tinjauan Fikih Siyasah”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dalam penelitian initeridetifikasi isu-isu yang bersinggungan dengan tema hukum tata negara dan fikih siyasah khususnya dalam harmonisasi hukum dan legislasi/pembentukan hukum (taqnin):

a. Konsep dan asas taqnin dalam fikih siyasah dan legislasi di Indonesia;

b. Akibat yang ditimbulkan oleh disharmoni hukum;

c. Upaya pencegahan dan penanganan disharmoni peraturan perundang- undangan;

d. Aspek yang harus diharmonisasikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan;

e. Faktor keberhasilan harmonisasi hukum;

f. Proses harmonisasi hukum di Indonesia dan kesesuaiannya dengan harmonisasi dalam taqnin al-ahkam;

g. Siapa yang berhak melakuakn harmonisasi dalam pembentukan hukum;

h. Langkah ideal dalam pembentukan hukum yang harmonis.

2. Pembatasan Masalah

Permasalahan penelitian ini terbatas pada proses harmonisasi hukum sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan j.o. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya harmonisasi secara vertikal dan perbedaannya dengan taqnin (pembentukan hukum) dalam kajian fikih siyasah dusturiyah dan siyasah tasyri’iyyah yang berprinsip harmonis dengan Al-Quran dan Sunnah.

(14)

3. Rumusan Masalah

Masalah utama dalam penelitian ini adalah harmonisasi hukum dengan mengkajinya dari dua sudut pandang keilmuan yakni hukum tata negara dan fikih siyasah. Maka penulis membentuk konstruksi rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana harmonisasi legislasi hukum di Indonesia ?

b. Bagaimana harmonisasi legislasi hukum di Indonesia dalam kajian fikih siyasah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Memahami hal-hal terkait harmonisasi legislasi hukum di Indonesia;

b. Mengetahui bagaimana harmonisasi legislasi hukum di Indonesia dalam kajian fikih siyasah.

2. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan dalam bidang ketatanegaraan Islam dan hukum tata negara.

Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi pemangku kebijakan di Indonesia terkhusus yang berwenang dalam hukum dan pembentukan peraturan perundang-undangan.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis berpijak pada penelitian terdahulu, diantaranya:

1. Dimas Nur Kholbi, “Analisis Fikih Siyasah Dusturiyah terhadap proses pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”.

Tesis untuk Magister Hukum Tata Negara (Siyasah) UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019.

Tesis ini menyatakan bahwa dalam analisis fiqh siyasah dusturiyah pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah mewujudkan nilai-nilai Islam dalam Bahwa dalam analisis fiqh

(15)

siyasah dusturiyah pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah mewujudkan nilai-nilai Islam.

2. Soegiyono, “Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang- Undangan”, Kajian Kebijakan dan Hukum Kedirgantaraan, Pusat Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN, 2015. Penelitian ini menjelaskan pentingnya harmonisasi pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai pengayaan dan manfaat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan..

3. Kusnu Goesnadhie Slamet, “Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan”, 2004. Penelitian tersebut menyatakan bahwa harmonisasi hokum adalah upaya pemecahan masalah akibat kejanggalan dan pertentangan di antara norma hukum yang diatur dalam system perundang-undangan nasional. Dasar dan orientasi dalam setiap langkah harmonisasi hukum adalah tujuan harmonisasi, nilai-nilai dan asas hukum, serta tujuan hukum itu sendiri, yaitu harmoni antara keadilan, kepastian hukum dan sesuai tujuan (doelmatigheid).

4. Sapto Budoyo, "Konsep Langkah Sistemik Harmonisasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.”, 2014.

Penelitian ini menerangkan konsep harmonisasi hukum secara filosofis dan yuridis. Lalu dinyatakan pula perlu untuk harmonisasi hukum secara horizontal dan vertikal dalam rangka kepastian hukum dan keadilan. Peneliti juga menyarankan agar konsep harmonisasi hukum juga dipandang sebagai harmonisasi global agar nilai-nilai dan norma-norma lebih bersifat transnasional.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang pernah ada sebelumnya adalah pembahasan konsep atau teori yang dikolaborasikan dengan legislasi hukum di Indonesia dewasa ini kemudian meninjaunya dari segi fikih siyasah. Penelitian ini membandingkan harmonisasi hukum yang dimaksud dalam UU No.

(16)

11 Tahun 2012 dan UU No. 15 Tahun 2019 dengan konsep harmonisasi dalam fikih siyasah.

E. Teknik Pengolahan dan Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi, dengan cara mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisisi masalah yang dihadapi, dan memberikan pemecahan atas masalah tersebut. Penelitian hukum bukan hanya menerapkan aturan yang ada, melainkan juga menciptakan hukum untuk mengatasi masalah yang dihadapi.12

2. Pendekatan Penelitia

Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan: pendekatan konseptual, perundang-undangan, dan perbandingan.

Pendekatan konseptual dilakukan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang.13 Pendekatan perundang- undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi dengan memahami hierarki dan asas-asas dalam pembentukan perundang-undangan.14 Pendekatan perbandingan dilakukan dengan menilai aturan-aturan hukum yang ada dengan sistem hukum yang lain.15 3. Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini adalah bahan hukum primer, sekunder, dan bahan non-hukum.

a. Bahan Hukum Primer dari penelitian ini, yaitu :

12 Peter Mahmud Marzuki,. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 60.

13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ... h. 177.

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ... h. 137.

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ... h. 173.

(17)

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2) TAP MPR Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-

GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia

(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

(4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

b. Bahan hukum sekunder diperlukan sebagai penjelas bahan hukum primer yang bukan termasuk pada dokumen resmi negara seperti : (1) Buku-buku dan konsep pembentukan hukum dan yang terkait

dengan penelitian ini

(2) Artikel, Jurnal, dan Karya Tulis Ilmiah yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan

c. Bahan Non-Hukum meliputi kamus, ensiklopedi, dan berita.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data untuk penelitian ini adalah studi dokumentasi.

Mengingat, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif.

5. Metode Analisis Data

Penelitinan ini menggunakan metode analisis data secara deskriptif kualitatif dan perbandingan. Analisis deskriptif dan perbandingan dilakukan dengan mendeskripsikan harmonisasi dalam hukum Indonesia, yang kemudian dibandingkan dengan harmoniasi dalam fikih siyasah..

6. Metode Penulisan

Metode penulisan penelitian ini mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017 yang disusun oleh Tim Penyusun di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berdasarkan kaidah-kaidah penulisan dan Ejaan Bahasa Indonesia.

(18)

F. Sistematika Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini dibahas latar belakang penelitian, identifikasi, pembatasan, dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu,teknik pengolahan dan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II KONSEP DAN TEORI LEGISLASI (TAQNIN). Dalam bab ini penulis menguraikan kajian teori dalam konsep taqnin al-ahkam, siyasah dusturiyah dalam legislasi hukum, dan konsep harmonisasi dalam legislasi.

BAB III LEGISLASI HUKUM DI INDONESIA. Bab ini berisi telaah atas data-data penelitian seputas asas legislasi, unsur-unsur legislasi dan proses legislasi di Indonesia

BAB IV HARMONISASI HUKUM DI INDONESIA DALAM KAJIAN FIKIH SIYASAH. Bab ini adalah analisis penulis tentang realita harmonisasi hukum di Indonesia dan kesesuaiannya dengan prinsip taqnin dalam fikih siyasah.

BAB V PENUTUP. Bab ini berisi penarikan kesimpulan yaitu jawaban dari masalah yang dipertanyakan dan saran terkait topik penelitian.

(19)

11 BAB II

KONSEP DAN TEORI LEGISLASI (TAQNIN) A. Konsep Taqnin al-Ahkam

1. Pengertian

Secara bahasa, taqnin ( نینقت ) merupakan bentuk masdar dari qannana (ََنَّنَق), yang berarti membentuk undang-undang. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun ( نْوُناَق ) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).1 Menurut Sobhi Mahmasani kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berarti alat pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah kanun atau canon dipakai untuk menunjuk hukum gereja yang disebut pula canonic.2

Kata qanun sendiri, menurut Manna al-Qatthan, berasal dari bahasa Yunani yang berarti prinsip. Ulama salaf tidak menggunakan kata qanun sebagai sinonim dari kata syariat atau hukum syar’i. Kata ini digunakan oleh ulama-ulama yang terpengaruh kajian terhadap undang-undang positif, sehingga mereka menamakan unsur-unsur di dalam undang-undang tersebut dengan istilah Islami.

Padahal dalam fikih Islam belum pernah muncul istilah tersebut.3

Kemudian, al-ahkam (ماكحلاا) merupakan jamak dari kata masdar al-hukm (مكحلا) yang berarti putusan; ketetapan; kekuasaan; mengambil alih pengelolaan urusan negara.4 Istilah “hukm” sendiri yang berasal dari Bahasa Arab, telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum.5

1 Ibrahim Anis, Al-Mu`jam al-Wasith, (Beirut: Dar al-Ilmiyah, 1987), Juz 2, h. 763

2 Sobhi Mahmasani, Falsafat al-Tasyri’ fi al-Islam. Penerjemah Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum Islam. (Bandung: al-Ma’arif, 1976), h. 27.

3Manna’ Khalil Al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Penerjemah Habibussalam, Tarikh Tasyri’ : Sejarah Legislasi Hukum Islam. (Jakarta : Ummul Qura, 2017), h. xxiv.

4 Lihat Louis Ma’Luf. al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. (Beirut: Dar al-Masyriq, 2011).

h.146. Lihat Ahmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz. "Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap." (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), h. 285.

5 Jumadi.. "Makna Istilah Dan Bahasa Hukum Dalam Kontek Keadilan." Jurisprudentie:

Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum 3.1 (2016), h. 51-62.

(20)

Taqnin atau lebih familiar disebut legislasi merupakan sekumpulan peraturan yang memiliki kekuatan mengikat. Dalam tataran praksisnya, konsep taqnin bergulir pada aspek apakah mengarah pada aspek substansi atau formalisasi sehingga muncul tarik ulur pendapat tentang taqnin atau legislasi dalam dunia Islam yang dalam konteks ini adalah syari’ah.6

Menurut pendapat Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, taqnin adalah menetapkan pasal-pasal legislatif dimana hakim akan memerintah dan tidak melebihi mereka. Sedangkan Prof. Shubhy al-Mahmashani berpendapat, bahwa taqnin adalah merancang peraturan syariah dalam istilah wajib, untuk menerapkannya dan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut. Prof. Yahya al- Khalaylah memperkenalkan taqnin dengan mengatakan, rumusan ketentuan hukum Islam yang tunduk pada legislasi, oleh para ahli, dan spesialis, dalam bentuk materi yang homogen, berlaku dan dapat diberlakukan, dalam bentuk mengikat dari penguasa, yang memudahkan untuk merujuk kepada rumusan tersebut.7

Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan taqnin sebagai hukum-hukum Islam dalam bentuk buku atau kitab undang-undang yang tersusun rapi, praktis dan sistematis, kemudian ditetapkan dan diundangkan secara resmi oleh kepala negara, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh seluruh warga negara.8

Oleh intelektual muslim di masa lalu, istilah kanun digunakan untuk menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat sains seperti buku yang ditulis oleh Ibnu Sina dalam bidang kedokteran yang berjudul Qanun fi al-Tibb, Qanun

6 Moch Cholid Wardi, "Legislasi Hukum Islam (Telaah terhadap Konsep Taqnin dalam Ranah Substantivistik dan Formalistik)." NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 15.2 (2018), h. 427

7Lihat Abdurrahman bin Sa’d bin Ali al-Tasyriy, Taqnin al-Ahkam al-Syar’iyyah Tarikhuhu wa Hukmuhu, (Riyadh, Saudi Arabia: Daar Attawbeed, 1434 H), h. 7.

8 Moch Cholid Wardi, "Legislasi Hukum Islam ..., h. 429

(21)

al-Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk Sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.9

Dalam konteks sekarang, menurut al-Mahmashoni istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex) seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang- undang, seperti dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.10

Sebagai perbandingan, dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan undang-undang. Dalam ilmu hukum, hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran atas peraturan tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.11

Adapun yang disebut pengertian undang-undang secara umum diartikan peraturan yang dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis, dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan mengikat secara umum.12

Dalam literatur hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam mengalami perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang tertera dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qanun.13

9Ujang Ruhyat Syamsoni, "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum Islam ke Dalam Hukum Nasional)." Nur El-Islam: Jurnal Pendidikan dan Sosial Keagamaan, Cetakan ke-2 Volume 2, (2015), h.171.

10 Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum ... h. 28.

11 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1957), hal. 9.

12Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung:

Mandar Maju, 1998), hal. 10.

13 Jaih Mubarok, Hukum Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2006), h. 1.

(22)

Taqnin al-Ahkam adalah mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara runut, kemudian ditetapkan sebagai undang-undang atau peraturan, kemudian disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.14

Dari penegertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian taqnin al- ahkam secara sederhana dan umum adalah legislasi hukum. Dalam penelitian ini, taqnin al-ahkam diartikan sebagai legislasi hukum secara umum.

2. Sejarah dan Hukum Taqnin

Di masa Abbasiyah ide tentang qanun lahir. Salah seorang sekretaris negara, Ibnu Muqaffa (w. 756 H/ 140 H), keturunan Persia, mengusulkan gagasan kepada khalifah al-Mansyur (khalifah kedua Abbasiyah) untuk meninjau kembali doktrin yang beraneka ragam, kemudian mengkodifikasikan dan mengundang-undangkan keputusannya sendiri dengan tujuan menciptakan keseragaman yang mengikat para qadhi. Undang-undang ini juga harus direvisi oleh para khalifah pengganti.

Ibnu Muqaffa mengungkapkan bahwa khalifah memiliki hak untuk memutuskan kebijakannya. Khalifah dapat membuat aturan atau tatanan yang mengikat kekuasaan militer dan sipil, dan secara umum pada semua masalah yang tidak ada contoh sebelumnya, tetap berdasarkan kepada pada Al-Quran dan Sunnah.15

Abdullah bin al-Muqaffa menulis nasehat yang ditujukan kepada penguasa Dinasti Abbasiyah waktu itu yaitu Khalifah al-Manshur dalam sebuah risalah yang dinamakan Risalah fi ash-Shabat. Secara garis besar, risalah itu berisi tentang kritik dan saran perbaikan hukum dalam empat bidang: militer, peradilan, rekrutmen pegawai pembantu khalifah, dan pajak tanah (al-kharaj). Kritik dan saran yang berkaitan dengan kepastian hukum yakni Ibn al-Muqaffa menyarankan

14 Yazid, Imam. "Taqnin Al-Ahkam; Sejarah, Keabsahan Dan Tantangan Di Indonesia." Al- Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial 3.05, (2017), h. 193.

15 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam (terj), (Bandung: Nuansa, 2010), h. 95.

(23)

agar khalifah menyusun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim di pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan sengketa. Peraturan dapat menjamin kepastian hukum sepanjang ia dapat mengikuti perubahan zaman. Secara implisit, Ibn al-Muqaffa memberikan ruang kepada khalifah dan hakim untuk melakukan ijtihad demi tereliminirnya

"kesenjangan" antara hukum dalam ide dan hukum dalam teks peraturan perundang-undangan. Kritik ini berkaitan dengan ragamnya putusan hakim karena tidak ada pedoman keputusan yang disepakati. 16

Istilah taqnin merupakan kata baru yang muncul pada abad XIX menjelang abad XX. Wajar saja, apabila tidak ditemukan istilah at-taqnin al-fiqh al-islamiy dalam kajian hukum Islam klasik. Sangat wajar pula, ketika para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang istilah at-taqnin dan status hukum at- taqnin. Sebut saja kajian taqnin al-fiqh al-islamy termasuk dari masalah fiqh kontemporer17 Kemudian yang menjadi perbedaan pendapat yang lain, dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan, para hakim berkewajiban mengikuti sesuatu pendapat dalam tahap pemutusan perkara, yang tidak boleh dilanggarnya sekalipun memiliki ijtihad sendiri. Suatu hukum yang telah diundang-undangkan akan mewajibkan para hakim mengacu pada ketetapan tersebut karena di dalamnya karena telah menjadi hukum syar`i yang positif dan diakui negaranya serta keputusan hakim tidak boleh bertentangan dengan undang-undang itu meski para hakim memiliki ijtihad sendiri atas masalah yang diatur dalam kasus yang ada dalam perundang-undangan itu. Hal ini mengakibatkan para ulama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang membolehkan dan kelompok yang melarang.18

16 Lihat Hakim, Lutfi Lukman, and Fachri Fachrudin. "Taqnīn Al-Ahkām Dalam Lintas Sejarah." Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial 5.09 (2017). Lihat Abdullah bin al-Muqaffa, Atsar ibn al-Muqaffa (106-142 H / 724-759 M), Cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1409 H/1989 M), h. 315-317.

17 Wardi, Moch Cholid. "Legislasi Hukum Islam (Telaah terhadap Konsep Taqnin dalam Ranah Substantivistik dan Formalistik)." Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam 15.2 (2018), h. 427.

18 Yazid, Imam. "Taqnin Al-Ahkam; Sejarah ... h. 196-197.

(24)

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, penguasa mendelegasikan wewenangnya dalam mengadili suatu perkara kepada hakim yang menjabat dengan batas waktu dan tempat tertentu. Jika penguasa melarangnya untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka ia pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang- undang yang telah disahkan penguasa.19

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, penguasa mendelegasikan wewenangnya dalam mengadili suatu perkara kepada hakim yang menjabat dengan batas waktu dan tempat tertentu. Jika penguasa melarangnya untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka ia pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang- undang yang telah disahkan penguasa.20

Alasan dari argumentasi ini, pertama, firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 59:

اوُعْ يِطَا ااْوُ نَمٓا َنْيِذَّلا اَهُّ يَآيٰ

ا اوُعْ يِطَاَو َٰٓللّا َلِِا ُهْوُّدُرَ ف ٍءْيَش ِْفِ ْمُتْعَزاَنَ ت ْنِاَف ْۚ

ْمُكْنِم ِرْمَْلْا ِلِوُاَو َلْوُسَّرل

َّو ٌْيَْخ َكِلٓذ ِِۗرِخْٓلْا ِمْوَ يْلاَو ِٰٓللِّبِ َنْوُ نِمْؤُ ت ْمُتْ نُك ْنِا ِلْوُسَّرلاَو ِٰٓللّا ًلْيِوَْتَ ُنَسْحَا

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.

Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 59)

Ayat ini menerangkan tentang kewajiban rakyat untuk menaati pemimpin (ulu al-amr) jika tidak menyuruh perbuatan maksiat dan tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat. Sikap patuh penegak hukum yang melaksanakan

19 Muhammad Amin Ibn Umar, Hasyiah Ibnu Abidin, Juz 1, h. 163. dalam Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ..., h. 175-176

20 Muhammad Amin Ibn Umar, Hasyiah Ibnu Abidin, juz 1, hal. 163. dalam Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ..., h.176.

(25)

undang-undang-undang dimana rakyat diwajibkan untuk taat adalah suatu bentuk kepatuhan kepada pemerintah.21

Kedua, Utsman ibn ‘Affan pernah memerintahkan untuk membakar mushaf- mushaf yang lain selain mushaf resmi yang telah dikodifikasi pada masa pemerintahannya. Tindakan tersebut dilakukan demi kemaslahatan umat dan menjaga agar al-Quran mempunyai satu mushaf al-Quran yang resmi agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Kebijakan beliau ini akhirnya diakui sebagai suatu kebijakan yang benar.22

Ketiga, tidak semua para hakim memiliki kompetensi dan kapasitas pengetahuan yang sama, beberapa diantara mereka pun belum mampu melakukan ijtihad dan menetapkan mana pendapat yang paling valid di antara banyak pendapat di berbagai mazhab, sehingga menimbulkan banyak pendapat yang saling berbeda satu sama lain. Di samping itu, jika pemerintah tidak menetapkan mana pendapat paling valid sebagai acuan yang kemudian dijadikan sebagai undang-undang sehingga menjamin kepastian hukum, maka hal tersebut dapat menimbulkan perbedaan putusan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain, atau antara satu hakim dengan hakim yang lain. Hal ini pastinya berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.23

Mayoritas ulama klasik seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, Ibn Qudamah juga berpendapat bahwa pandangan kebolehan taqnin sudah tidak diperselisihkan lagi. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa para hakim harus menghukumi sesuatu bersumber dari apa yang datang dari Allah Swt.

Menurutnya, hakim tidak boleh menghukumi sesuatu bila tidak bersumber langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah.24

21 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ..., h.177.

22 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ...,h.177

23 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ...,h.177

24 Ibn Taimiyah, Majmu`at al-Fatawa, Juz 35, (Pakistan: Dar al-Wafa, Cet. Kedua, 2001), h. 210.

(26)

Para ulama yang menolak taqnin dan menolak kewajiban untuk menaatinya terdiri dari sebagian para ulama besar kontemporer dari Arab Saudi. Di antaranya yaitu, Bakr ibn Abdullah Abu Zaid, Shalih ibn Fauzan al-Fauzan, Abdullah ibn Abdurrahman al-Bassam, Abdullah ibn Abdurrahman al-Jabirin, Abdurrahman ibn Abdullah al-Ajlan, Abdullah ibn Muhammad al-Ghunaiman, Abdul Aziz ibn Abdullah ar-Rajihi, dan lain-lain.25

Dasar pijakan para ulama tersebut adalah, pertama, Surat Shad ayat 26:

ُدْوُواَدٓي ْنَع َكَّلِضُيَ ف ىٓوَْلْا ِعِبَّتَ ت َلَْو ِٰقَْلِْبِ ِساَّنلا َْيَْب ْمُكْحاَف ِضْرَْلْا ِفِ ًةَفْ يِلَخ َكٓنْلَعَج َّنَِّا

ِلْيِبَس َسِْلْا َمْوَ ي اْوُسَن اَِبِۢ ٌدْيِدَش ٌباَذَع ْمَُلْ ِٰٓللّا ِلْيِبَس ْنَع َنْوُّلِضَي َنْيِذَّلا َّنِاِۗ ِٰٓللّا ِبا

(Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S. Shad: 26)

Ayat ini menyatakan bahwa kebenaran tidak terbatas pada mazhab tertentu dan besar kemungkinan justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim. Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada mereka.

Umar ibn Abd al-Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang jika para Sahabat Rasululullah Saw. tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka bersepakat atas suatu pendapat dan jika ada seseorang yang berbeda dengan pendapat itu maka ia bisa dianggap sesat. Namun jika mereka berbeda pendapat maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang lain mengambil pendapat yang lain pula. Dengan demikian terdapat keleluasaan untuk memilih”.26

Kedua, firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 42:

25 Bakar ibn Abdullah Abu Zaid, Fiqh an-Nawazil, juz 1 (Muassasah al-Risalah, 1412 H), h. 1.

26 Ibn Taimiyah, Majmu`at al-Fatawa, Juz 30, (Pakistan: Dar al-Wafa, Cet. Kedua, 2001), h. 48.

(27)

ُكْحاَف َكْوُء ۤاَج ْنِاَف ِِۗتْحُّسلِل َنْوُلٰٓكَا ِبِذَكْلِل َنْوُعَٰٓس ْضِرْعَا ْوَا ْمُهَ نْ يَ ب ْم

ْمُهْ نَع ْضِرْعُ ت ْنِاَوْۚ ْمُهْ نَع

َْيِْطِسْقُمْلا ُّبُِيُ َٰٓللّا َّنِا ِِۗط ْسِقْلِبِ ْمُهَ نْ يَ ب ْمُكْحاَف َتْمَكَح ْنِاَو ِۗ اً ْيَش َكْوُّرُضَّي ْنَلَ ف

“Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”(Q.S. Al-Maidah:42) Kata al-qisth berarti adil. Bagi seorang hakim, keputusan yang adil adalah yang sesuai dengan apa yang ia yakini setelah meneliti dalil-dalil syara’, bukan sesuai dengan undang-undang yang diwajibkan untuk ia ikuti.27

Ketiga, hakim harus tetap memegang teguh prinsip tauhid. Dalam hal ini, kewajiban untuk mengikuti undang-undang dianggap mengandung unsur meremehkan prinsip tauhid, yaitu meninggalkan ketaatan kepada hukum Allah.

Karena menaati undang-undang dipandang lebih mengutamakan pendapat yang dihasilkan oleh manusia biasa yang tidak ma’shum. Sebagaimana firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul- Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Hujurat: 1). 28

Keempat, sabda Rasulullah Saw.: “Hakim itu ada tiga macam, dua masuk neraka dan hanya satu masuk surga. Pertama, hakim yang masuk surga adalah ia yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut.

Kedua, hakim yang mengetahui kebenaran namun ia tidak memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Hakim ini masuk neraka. Ketiga, hakim yang memutuskan perkara di antara manusia padahal ia tidak tahu kebenarannya.

27 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ..., h.178

28 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ...,h.179

(28)

Hakim ini juga masuk neraka”.29 Hadis di atas merupakan ancaman bagi para hakim yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran yang ia yakini.30

Kelima, hakim diharuskan untuk memutuskan berdasarkan pendapat yang rajah yang telah ditetapkan untuk mereka adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang terjadi pada masa Rasul, Khulafa al-Rasyidin, dan orang-orang salaf, sebagaimana Imam Malik menolak usulan khalifah Abu Ja’far al-Manshur meminta kepada Imam Malik.31

Keenam, hukum fiqh positif yang diterapkan oleh pengadilan di berbagai negara sering mengandung kontradiksi dan kekeliruan. Dengan demikian, penetapan undang-undang dan kewajiban mengikutinya tidak menjamin mencegah terjadi kesalahan dan kontradiksi.32

Ketujuh, keharusan untuk mengadakan taqnin justru akan membuat masyarakat tidak leluasa dalam menetapkan perbuatan hukum yang berada dalam wilayah berperaturan fiqh tertentu.33

Kedelapan, perselisihan dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang juga terjadi pada zaman Khalifah al-Rasyidin dan para salaf al-saleh. Terkadang seorang hakim bisa menghasilkan dua keputusan yang mirip. Keputusan yang kedua tidak berarti menggugurkan keputusan sebelumnya. Hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan taqnin dan mengharuskan hakim untuk hanya mengikuti satu pandangan tertentu saja. Bagaimanapun, orang-orang dulu justru lebih hati-hati daripada kita sekarang dalam menjaga kepentingan agama dan dalam memelihara kebebasan masyarakat untuk berbeda pendapat. Perbedaan tersebut tidak bisa dijadikan untuk meragukan kemampuan para hakim dan menuduh mereka tidak kompeten. Pada prinsipnya, seorang yang diangkat sebagai

29 Hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Ahli Sunan dan al-Hakim di dalam al- Mustadrak.

30 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ...,h.180

31 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ...,h.180

32 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ...,h.180

33 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ...,h.180

(29)

hakim adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan memadai, bisa dipercaya, dan bertanggung jawab. 34

Kesembilan, dalam berbagai kitab fiqh, terdapat banyak perbedaan pendapat. Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk melakukan ijtihad masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka tetap memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi. Jika memang ada pendapat yang salah, maka kewajiban ulama yang adalah meluruskannya dan mengembalikannya kepada pendapat yang benar. Para ulama juga berpendapat bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika memang bertentangan dengan dalil syara’.

3. Prinsip Taqnin

Sebelum wafatnya Rasulullah SAW, hukum ditetapkan setiap kali ayat - turun. Maka, berlakulah sebuah ketentuan syara’. Sebagaimana firman Allah:

ٓسِر َتْغَّلَ ب اَمَف ْلَعْفَ ت َّْلَّ ْنِاَوِۗ َكِٰبَّر ْنِم َكْيَلِا َلِزْنُا ااَم ْغِٰلَ ب ُلْوُسَّرلا اَهُّ يَآيٰ

ِۗ هَتَل ُٰٓللّاَو َكُمِصْعَ ي

َنِم ِِۗساَّنلا َّنِا َٰٓللّا َلْ

ىِدْهَ ي َمْوَقْلا َنْيِرِفٓكْلا

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.

Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir” (Q.S. Al-A’raf : 3).

Seperti dijelaskan sebelumnya, perkembangan problematika masyarakat yang bersamaan dengan meluasnya wilayah Islam semakin menguatkan alasan pentingnya berijtihad untuk menyelesaikan permasalahan itu. Maka perlulah didokumentasikan dan diikat ijtihad tersebut dan dilegislasi dalam qanun.

Suatu pendapat hukum yang ditetapkan sebagai undang-undang harus dihasilkan dengan pemikiran yang mendalam dan pembahasan yang luas.

Undang-undang itu juga ditetapkan harus dengan memperhatikan maqashid syari’ah demi kemaslahatan umat. Maka dari itu, jika undang-undang tidak

34 Ujang Ruhyat Syamsoni,. "Taqnin Al-Ahkam (Legislasi Hukum ...,h.180

(30)

ditaati, sama saja menyia-nyiakan usaha keras para ulama yang telah menghasilkannya, sehingga kepatuhan terhadap undang-undang yang disarikan dari ijtihad ulama tidak bisa dikategorikan sebagai penggeser ke-tauhidan seorang hakim. Selama penguasa memerintahkan sesuatu (yang diwujudkan dalam hukum tertulis/undang-undang) yang tidak menyalahi Al-quran dan Hadis, maka rakyat wajib mengikutinya. 35 Begitupula cendikiawan Indonesia, Harun Nasution mengamini bahwa prinsip pembuatan qanun adalah " tidak bertentangan dengan al - Qur'an dan Hadits"36

Dari penjelasan sebelumnya, ada dua poin penting dalam prinsip taqnin yang bersesuaian dalam penelitian ini. Pertama, selaras dengan norma dasar, yakni Al-Quran dan Sunnah. Kedua, kepastian hukum, yang melatarbelakangi gagasan taqnin, tidak bertentangan hukum satu dan lainnya yang menghasilkan kesenjangan dan cenderung ketidakadilan.

B. Siyasah Tasyri’iyyah dalam Legislasi Hukum

Fiqih Siyasah berasal dari dua kata bahasa Arab yaitu al-fiqhu dan al- siyasatu. Kata fiqih berasal dari faqaha-yafqahu-fiqhan. Secara bahasa pengertian fiqih adalah ‘’paham yang mendalam’’. Imam al-Tirmidzi, seperti dikutip Amir Syarifuddin, menyebut ‘’Fiqih tentang sesuatu’’ berarti mengetahui batinya sampai kedalamnya. Berbeda dengan ilmu yang sudah berbentuk pasti (qat’i), fiqih merupakan ‘’ilmu’’ tentang hukum yang tidak pasti (zanni). Menurut istilah fiqih adalah37 :

ملعلا ةيعرشلا ماكحلأبِ

ةيلمعلا بستكلما ةيليصفتلا اهتلدأ نم

“Ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah, yang digali dari dalil-dalilnya yang rinci”.

35 Ujang Ruhyat Syamsoni, ..., h. 182.

36 Harun Nasution, “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution. Indonesia, Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution”.(Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), h. 229.

37 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi ... .h. 3

(31)

Kata siyasah berasal dari bahasa Arab sasa (ساس( berarti mengatur, َ mengurus, dan memerintah atau pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan. Ini mengisyaratkan bahwa siyasah adalah mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.

Fikih siyasah merupakan salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan manusia itu sendiri.38

Dalam pembahasan fikih siyasah, kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan disebut al-sultah at-tashri’iyah (legislatif), kemudian kekuasaan tanfidhiyah (eksekutif) dan kekuasaan qada’iyah (yudikatif).

Dalam konteks ini, kekuasaan legislatif (al- sultah at-tashri’iyah) yang dijalankan oleh lembaga ahlu halli walaqdi.

Kekuasaan legislatif atau Al-sulthah al-Tashri’iyah adalah kekuasaan yang menetapkan ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan yang lantas akan dilaksanakan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Orang-orang yang duduk di lembaga legislatif ini terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang. Karena menetapkan syariat sebenarnya hanyalah wewenang Allah, maka wewenang dan tugas lembaga legislatif hanya sebatas mengeksplorasi dan memahami sumber –sumber syariat islam, yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi, dan menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

Kemudian diinterpretasikan dalam betuk peraturan perundang-undangan39.

Undang-Undang dan Peraturan yang akan dikeluarkan oleh lembaga legislatif harus selaras dengan ketentuan-ketentuan syara’. Maka, terdapat dua fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-hal yang ketentuanya sudah terdapat di dalam nash Al-quran dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan oleh Al- sulthah al-Tashri’iyah adalah undang-undang illahiyah yang disyariatkan-Nya dalam Al- quran dan dijelaskan oleh Nabi SAW dalam Hadist. Karena pada

38 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi ... .h. 4

39 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi ... .h. 163

(32)

prinsipnya kedua sumber ajaran Islam tersebut banyak berbicara masalah-masalah umum dan tidak banyak menjelaskan suatu permaslahan secara terperinci.

Sebagaimana dibahas sebelumnya, perkembangan masyarakat begitu cepat dan kompleks sehingga membutuhkan jawaban yang tepat untuk mengantisipasinya.40

Oleh karenanya, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi lainnya yaitu melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan-permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Disinilah peran al-sulthah al-Tashri’iyah tersebut diisi oleh mujtahid dan ahli fatwa. Ahlul Halli wal Aqdi (anggota legislatif atau legislator) melakukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas (analogi). Mereka berusaha mencari ‘illat atau sebab hukum yang ada dalam permasalahan yang timbul dan menyesuaikan dengan ketentuan nash, ijtihad anggota legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-mashalih dan daf’

al-mafasid (mengambil maslahat dan menolak kemudharotan). Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka.41

Ahlu halli walaqdi melakukan tugas siyasah syar’iyah untuk membentuk suatu hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan umat Islam, sesuai dengan semangat ajaran Islam. Berarti pemerintah Islam berwenang untuk membentuk hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang diturunkan Allah SWT dalam syariat Islam. Dengan demikian unsur–unsur legislasi dalam Islam yaitu (1) Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat islam; (2) Masyarakat Islam yang akan melaksanakanya; (3) Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai – nilai dasar syariat Islam. 42

40 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi ... .h. 163

41 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi ... .h. 162-163

42 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi ... .h. 161-162

(33)

C. Konsep Harmonisasi dalam Legislasi

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata harmonis diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan harmoni, atau seia sekata, sedangkan kata harmonisasi diartikan sebagai pengharmonisan, atau upaya mencari keselarasan.

Dalam kajian ini kata harmonisasi juga digunakan sebagai upaya untuk mencari kesesuaian/keselarasan antara peraturan perundangundangan agar tidak terjadi duplikasi pengaturan.43 Kata harmony dalam Black’s Law Dictionary Frasa "in harmony with" adalah sinonim dengan "dalam kesepakatan, kesesuaian, atau sesuai dengan."44

Harmonisasi idealnya dilakukan pada saat perancangan peraturan perundang- undangan. Pengharmonisasian rancangan undang-undang mencakup 2 (dua) aspek sebagai berikut: 45

a. Pengharmonisasian materi muatan rancangan undang-undang dengan: 1) Pancasila; 2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945/harmonisasi vertikal; 3) Undang-undang/harmonisasi horizontal; 4) Asas-asas peraturan perundang-undangan: (a) Asas pembentukan; (b) Asas materi muatan; (c) Asas-asas lain yang sesuai dengan bidang hukum rancangan undangundang yang bersangkutan.

b. Pengharmonisasian rancangan undang-undang dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang meliputi: 1) Kerangka peraturan perundang-undangan; 2) Hal-hal khusus; 3) Ragam bahasa; 4) Bentuk rancangan peraturan perundang-undang.

Pengharmonisasian dilakukan dengan cara:46

43 Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring https://kbbi.web.id/harmonis, diakses 1 April 2021

44 Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary: Revised Fourth Edition. tt., tp, 1968. h.

848.

45A.A. Oka Mahendra Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-

undangan.html, diakses pada tanggal 1 April 2021.

46 A.A. Oka Mahendra Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-

undangan.html, diakses pada tanggal 1 April 2021.

(34)

a. Memastikan bahwa rancangan undang-undang mencantumkan nilai-nilai filosofis Pancasila dan pasal-pasal rancangan undang-undang yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut;

b. Memastikan pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan pembentukannya telah dicantumkan dengan benar dan pastikan pula bahwa rancangan undang- undang telah selaras dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara menurut Undang-Undang Dasar;

b. Menggunakan istilah hukum atau pengertian hukum secara konsisten;

c. Meneliti secara seksama keselarasann materi muatan rancangan undang- undang dengan undang-undang lain terkait;

d. Memastikan asas-asas peraturan perundang-undangan baik asas pembentukan, asas materi muatan, maupun asas lain yang berkaitan dengan bidang hukum yang diatur dalam rancangan undang-undang, telah terakomodasikan dengan baik dalam rancangan undang-undang;

e. Memastikan bahwa pedoman teknik penyusunan peraturan perundang- undangan telah dipatuhi secara konsisten;

f. Memastikan bahwa bahasa yang digunakan dalam merumuskan norma dalam rancangan undang-undang telah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta mengunakan pilihan kata yang tepat, jelas dan pasti47

Dalam konteks ini, harmonisasi hukum diartikan sebagai proses penyesuaian asas dan sistem hukum, agar terwujud kesederhanaan hukum, kepastian hukum dan keadilan. Harmonisasi hukum sebagai suatu proses dan pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang- undangan, sehingga terbentuk peraturan perundang – undangan nasional yang

47A.A. Oka Mahendra Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-

undangan.html, diakses pada tanggal 1 April 2021.

(35)

harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegritas, dan konsisten, serta taat asas.48

Harmonisasi memiliki fungsi untuk mencegah dan mengatasi terjadinya disharmonisasi hukum. Harmonisasi juga dapat menjamin proses pembentukan rancangan undang-undang yang taat asas demi kepastian hukum. Dapat dikatakan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundangundangan sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan hukum.49 Disharmoni hukum terjadi jika terdapat ketidakselarasan antara satu norma hukum dengan norma hukum yang lain.

Menurut L.M. Gandhi terjadinya disharmoni hukum dapat terletak di pusat legislasi umum atau norma umum, misalnya perbedaan pendapat dan aspirasi mengenai tujuan, asas, sistem hukum serta organisasi wewenang. Dalam pengamatan dalam praktek L.M. Gandhi mengemukakan penyebab disharmoni yaitu:50 a. perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundangundangan. selain itu jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenal semua peraturan tersebut. dengan demikian pula ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua undang-undang yang berlaku niscaya tidak efektif; b.

pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan; c. perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijkan instansi pemerintah. d.

perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yuriprudensi dan surat edaran Mahkamah Agung; e. kebijakan-kebijakan instansi pemerintah pusat yang saling bertentangan; f. perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah;

48Budoyo, Sapto. "Konsep Langkah Sistemik Harmonisasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." CIVIS 4.2, ( Juli, 2014). h. 607

49A.A. Oka Mahendra Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-

undangan.html, diakses pada tanggal 1 April 2021.

50 Suhartono, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara (Solusi Penyerapan Anggaran Belanja Negara Yang Efisien, Efektif Dan Akuntabel).” (Tesis Fakultas Hukum , Universitas Indonesia, Jakarta, 2011), h. 94

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Sama seperti proses autentikasi yang bergantung dengan waktu, kunci untuk kriptografi juga bergantung dengan waktu, maka dari itu apabila proses dekripsi request

Oleh karena itu, pada pembahasan berikut ini adalah analisa penulis tentang implikasi nilai-nilai pendidikan salat malam yang terkandung dalam al Quran surat al

Dalam khazanah ilmu falak sebagai bagian dari astronomi yang terkait dengan ibadah umat Islam, penentuan arah kiblat menjadi hal penting untuk didalami. Banyak penelitian yang

pengaruh signifikan negatif terhadap perubahan portofolio pendapatan saham perusahaan-perusahaan yang tercantum dalam industri otomotif, sedangkan pada perubahan harga

Selain itu, Rachel (2013) juga menyatakan adanya perbedaan yang signifikan dalam pencapaian dan ingatan konsep gravitasi pada siswa yang diajar dengan advance

Hasil uji laboratorium menunjukkan rugi-rugi daya yang lebih besar dan efisiensi yang lebih rendah diperoleh untuk kondisi pembebanan non-linier.Semakin tinggi kandungan

Keterkaitan fakta dengan opini dalam dunia jurnalis ialah para jurnalis dapat memberitakan sebuah hal atau kejadian yang berdasarkan fakta dengan cara observasi sederhana

 Dengan tingkat produktivitas yang rendah, terutama angka kematian anak yang tinggi, maka dengan pemeliharan yang baik, terutama cara pemberian pakan, dengan biaya yang murah,