Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
153
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF SYEKH NAWAWI AL BANTANI AL JAWI
Iwantoro
STIT Muhammadiyah Bangil iwanalfarosi@gmail.com
Abstract
This study aims to describe how moral education is in the view of Sheikh Nawawi Al Bantani Al Jawi. This article also examines the pedigree and educational history of Sheikh Nawawi Al Bantani Al Jawi. This study uses a qualitative approach, more precisely library research. The essence of education in Islam according to the view of Sheikh Nawawi Al Bantani Al Jawi is to include the term ”ta’lim, tarbiyah, and ta'dib”. Education includes the transfer of knowledge, transfer of value, transfer of methodology, and transformation.
Education includes physical (practice/charity), intellectual, mental/spiritual, and runs throughout life and is integral. According to Shaykh Nawawi, the aim of gaining knowledge (the purpose of education) is “mardatillah” and acquiring
“ukhrawiyah” life, eradicating ignorance, advancing Islam, preserving Islam with the rules of science and as an embodiment of gratitude for being given a healthy mind and body.
Keywords: Moral education, Nawawi Al Bantani
PENDAHULUAN
Pendidikan akhlak adalah pendidikan yang sangat penting dan merupakan landasan bagi pengembangan pendidikan yang lain. Rasulullah saw diutus Allah ke bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia, tentunya dengan suri teladan dan melalui pendidikan yang diberikan oleh beliau. Allah swt menjadikan akhlak sebagai penentu kesempurnaan manusia, sehingga peningkatan akhlak menjadi hal yang sangat serius dalam pendidikan. Sehingga akhlak mendapat tempat khusus di lembaga-lembaga keislaman, seperti madrasah. Mata pelajaran akidah akhlak menunjukkan betapa pendidikan akhlak sangat penting.
Masifnya tindak pidana korupsi, tawuran antar pelajar; mahasiswa; dan
masyarakat, dan mudahnya umat ini tersulut emosi sehingga rawan bentrokan
menunjukkan betapa lemahnya pendidikan akhlak bangsa ini. Bagaimana
sebenarnya pendidikan akhlak yang baik itu? Sehingga bisa menjadi sebuah
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
154
pendidikan karakter bagi bangsa ini. Syekh Nawawi Al Bantani Al JAwi adalah salah seorang ulama besar bangsa ini yang mempunyai andil besar dalam mengembangkan pendidikan akhlak melalui tulisan-tulisannya yang tertuang dalam kitab-kitab beliau yang masyhur.
Artikel ini mengkaji bagaimana pendidikan akhlak dalam pandangan Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi. Dalam tulisan ini dikaji tentang silsilah Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi, riwayat pendidikan, dan bagaimana pendidikan akhlak dalam pandangan Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi.
PEMBAHASAN
Silsilah Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi
Nawawi Al Bantani adalah putera pertama dari seorang penghulu juga ulama berasal dari Tanara. Ibunya bernama Jubaidah penduduk asli Tanara dari keturunan ayahnya. Nawawi Al Bantani disinyalir sebagai keturunan Maulana Hasanuddin, yang merintis, membuka kerajaan Islam Banten atas perintah ayahnya, Syaikh Syarif Hidayatullâh atau dikenal Sunan Gunung Djati Cirebon.
Menurut (Faiqah, 2015) Nama lengkap Syekh Nawawi ialah Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Arabi. Beliau juga dikenal dengan sebutan Abu Abdul Mu’thi. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230 H dan wafat di Ma’la Mekkah Saudi Arabia. Pada tanggal 25 Syawal tahun 1314 H/1897 M dalam usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, ummul mukminin istri Nabi saw.
Syekh Nawawi Al Bantani juga mempunyai silsilah yang bernasab kepada
Rasulullah saw. Menurut (Ismail, 2015) Didin Hafidudin menuliskan, silsilah
Nawâwî sampai kepada Rasulullah saw, yaitu: Syekh Nawâwî bin Kyai Umar bin
Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Kyai Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbugil bin Ki
Masqun bin Ki Masnun bin Ki Maswi bin Ki Tajul Arusy Tanara bin Maulana
Hasanuddin Banten Bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatudin
Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam
Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
155
Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Hallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Aridhi bin Imam Ja’far ash-Shaddiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyiduna Husain bin Sayyidatuna Fathimah Zahra binti Muhammad Rasulullah saw.
Beliau mempunyai dua orang istri, yang pertama adalah Nasimah, seorang jawa, dan Hamdanah. Dari isteri pertama Syekh Nawawi mempunyai tiga anak perempuan Ruqayyah, Nafisah, dan Maryam. Sedangkan dari isteri yang kedua (Hamdanah) mempunyai satu anak perempuan yakni Zahrah. Keduanya sangat setia mendampingi Syekh Nawawi Al Bantani yang berprofesi sebagai pengajar atau guru.
Riwayat Intelektual Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi
Syekh Nawawi adalah seorang ulama besar, sosok yang cerdas, dan orang Banten yang sejak kecil memiliki bakat intelektual. Masa kanak-kanaknya beliau bersama dua saudara kandungnya yaitu Tamim dan Ahmad telah memperoleh pengetahuan dasar dalam Bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), fiqih, tauhid, dan tafsir langsung dari ayahnya KH. Umar Ibnu Arabi. Pengetahuan dasar tersebut mendorongnya untuk meneruskan pelajarannya, kemudian beliau pergi ke beberapa pesantren di Jawa. Selain itu ia belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. (Bahary, n.d.) Dalam usia 15 tahun, Nawawi Al Bantani meninggalkan tanah air menuju Mekkah (Al Rahman, 1996:
23-24). Di sana ia belajar dan berguru pada Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid
Ahmad Dimyathi, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang semuanya itu berada di
Mekkah (para Masyayikh Masjid al Haram ketika itu) (Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 1997: 23-24). Ia juga belajar pada Muhammad Khathib Al
Hambali, seorang ulama yang bermukim di Madinah, kemudia beliau juga
melanjutkan belajarnya ke Syam (sekarang Syiria) dan Mesir. Ilmu-ilmu yang
diperoleh dari para gurunya inilah yang di kemudian hari menjadi bekal bagi
Nawawi Al Bantani untuk menghasilkan sebuah karya yang tidak hanya tafsir
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
156
tapi ilmu-ilmu lainnya. Di sela-sela belajar, ia juga sibuk mengajar murid- muridnya yang di kemudian harinya menjadi ulama besar (Sunanto, 2000: 27) di nusantara, seperti KH. Khalil Madura, KH. Asnawi Caringin, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Tubagus Bakri dan KH. Arsyad Towil, keduanya dari Banten (Muhammad, 2001: 172).
Pada tahun 1831 M/ 1248 H Syekh Nawawi kembali ke Indonesia. Dalam jurnalnya (Ismail, 2015) di tempat kelahirannya, ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Setelah 3 tahun berada di Tanara, karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Mekah dan meneruskan belajar di sana. Sejak keberangkatanya ke Mekah yang kedua kalinya ini, Nawâwî tidak pernah kembali ke Indonesia.
Catatan sejarah menuliskan di Mekah Syekh Nawawi Al Bantani berupaya mendalami ilmu-ilmu agama dari para guru-gurunya, seperti: Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani. Syekh Muhammad Khatib Sambas (tokoh tasawuf yang berhasil menggabungkan tarikat Qadiriyyah dan tarikat Naqsyabandiyyah) merupakan guru spiritual Syekh Nawawi. Melalui Syekh Muhammad Khatib Sambas inilah ijazah kemursyidan ia peroleh dan ia ijazahkan kepada muridnya;
Syekh Mahfud At-Tarmisi dan Syekh Hasyim Asy’ari. Akan tetapi kedua muridnya tersebut lebih suka mendirikan pondok daripada menyebarkan tarikat (Arifin, 1993: 17). Selain itu, dia juga hidup di masa pembaharuan pemikiran keislaman Syekh Muhammad Abduh (1849-1905) di Mesir. Deklarasi pembaharuan pemikiran Islam yang dilontarkan Abduh tersebut tentu berpengaruh pada Syekh Nawâwî. Azyumardi Azra, mengatakan; Syekh Nawawi juga berdialog langsung dengan Syekh Muhammad Abduh dan beberapa kali memberikan ceramah di Universitas Al-Azhar.
Riwayat Syekh Nawawi Al Bantani Sebagai Pengajar
Syekh Nawawi Al Bantani memutuskan tinggal di Mekah untuk lebih
memperdalam lagi ilmunya selama 30 tahun. Kecerdasan dan ketekunannya
mengantarkan beliau menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
157
Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi imam Masjidil Haram, Syekh Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan ‘Syekh Nawawi Al-Jawi’.
Pada tahun 1860 M beliau mulai mengajar di sekitar Masjidil Haram.
Prestasi mengajar beliau terbilang bagus, sehingga beliau tercatat sebagai syekh di sana. Hampir setiap hari dari pukul 07.00-12.00, Syekh Nawawi memberikan kuliah yang telah dipersiapkan sesuai tingkatan murid-muridnya.
Dari murid tingkat dasar tata Bahasa Arab, dan murid-murid yang cukup pintar, yaitu yang banyak terlibat dalam proses mengajar di tempat tinggalnya masing- masing. Murid dari tingkatan kedua itulah yang kemudian oleh syekh Nawawi untuk menggantikan sebagian tugas beliau dalam mengajar (Steenbrink, 1984:
118). Menurut Ismail (2015) Ia mengajarkan ilmu pengetahuan agama secara mendalam kepada murid-muridnya, yang meliputi hampir seluruh bidang.
Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Indonesia seperti: KH Kholil (Bangkalan, Madura), KH Mahfud Al-Tarmisy (Termas, Pacitan), KH Asy’ari (Bawean, Madura) yang menikahi putri Nawawi:
Nyi Maryam, KH Hasyim Asy‟ari (Jombang, Jawa timur) pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, KH Najihun (Kampung Gunung, Mauk, Tangerang) yang menikahi cucu perempuan Nawawi: Nyi Salmah binta Rukayah binta Nawawi, KH Tubagus Muhammad Asnawi (Caringin, Labûan, Pandeglang, Banten), KH Ilyas (Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang, Banten), KH Abd. Gaffar (Kampung Lampung, Tirtayasa, Serang, Banten), KH Tubagus Bakri (Sempur, Purwakarta), dan lain sebagainya.
Dahlan (1987: 6) menyebutkan Selain yang tersebut di atas, masih banyak murid-murid Syekh Nawawi yang berasal dari seluruh penjuru dunia.
Bahkan beliau menjalin hubungan intensif dengan orang-orang Arab khususnya para ulamanya. Sampai beliau mendapatkan simpati dari para ulama Timur Tengah. Kemudian akhirnya Syekh Nawawi mendapatkan beberapa gelar kehormatan yang dianugerahkan kepadanya, yaitu:
1. Imam Ulama al-Haramain (Tokoh Ulama dua tanah suci: Makkah dan
Madinah)
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
158
2. Syaikh al-Masyayih lil Nashir al-Ma'arif al-Diniyyah fi Mekah al-Mukarramah (Guru Besar dalam bidang ilmu-ilmu Agama di kota suci Makkah)
3. Sayyid Ulama al-Hijaz (Penghulu Ulama Hijaz)
4. Sayyid al-Fuqaha wa al-Hukama al-Mutaakhir (Penghulu ulama fiqh dan cendekiawan modern)
Gelar-gelar tersebut merupakan penghormatan ulama Timur Tengah kepada Syekh Nawawi al-Bantani berkat karya-karya beliau yang bermutu dan banyak beredar di Timur Tengah. Mengenai gelar Ulama al-Hijaz, yaitu setelah Syekh Nawawi menulis kitab tafsirnya Marah Labib, beliau mengirimkan naskahnya kepada ulama Makkah untuk diteliti isinya lebih lanjut. Ternyata isinya disetujui, dan karena tidak ada informasi sejauh mana kesimpulan akhir dari penelitian para ulama Makkah. Kemudian, Syekh Nawawi mengirimkan naskah tafsirnya kepada para ulama Mesir untuk diteliti. Tetapi, tidak ada informasi penting seputar hasil akhir dari penelitian yang dilakukan oleh para ulama Mesir.
Mungkin tidak ada koreksi yang berarti, tetapi justru Syekh Nawawi mendapatkan gelar sebagai Sayyid Ulama al-Hijaz (Ramli, tt: 6). Gelar-gelar tersebut merupakan bukti nyata bahwa Syekh Nawawi telah memainkan peranan penting dalam wacana intelektual di dunia Islam.
Pemikiran Syekh Nawawi Al Bantani Tentang Pendidikan Akhlak dan Relevansinya Terhadap Dunia Modern
Esensi pendidikan dalam Islam menurut pandangan Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi adalah mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan mencakup transfer of knowledge, transfer of value, transfer of methodology, dan transformasi. Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual, mental/spiritual, dan berjalan sepanjang hidup dan integral (Maragustam, 2007:
2-3). Pendidikan tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan dari guru
ke murid seperti selama ini terjadi, ada sesuatu hal yang dilupakan oleh guru
dan hal itu juga luput dari perhatian pemerintah. Pemerintah lebih
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
159
mengedepankan pada sektor formalitas, pendidikan-pendidikan kilat tetapi tidak melihat karakter daerah dan pendidikan itu sendiri.
Disorientasi memahami pendidikan membawa akibat negatif terhadap lulusannya. Berbagai tindak pidana, asusila dan lain sebagainya tidak dibisa dilepaskan dari faktor tersebut. Pendidikan yang utuh menurut Syekh Nawawi al Bantani mestinya mencangkup tiga ranah tersebut (ta’lim, tarbiyah, dan ta’lim).
Menurut Syekh Nawawi tujuan memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat.
Kewajiban bersyukur mencakup aspek keilmuan (ranah kognitif), aspek rasa senang (ranah afektif), dan menggunakan nikmat Tuhan sesuai dengan permintaan pemberi nikmat yakni Allah (ranah psikomotor dan spiritual) (Siregar, 2007: 258-259).
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut memerlukan pemikiran tentang muatan pendidikan Islam. Dari berbagai pernyataan Syekh Nawawi, hal utama yang diberikan dalam proses pendidikan adalah masalah ilmu-ilmu keagamaan yang wajib personal. Sedangkan yang paling utama dari kewajiban personal itu ialah iman tauhid. Masalah yang paling krusial dalam hal ini adalah kurikulum. Maka pembenahan dan perbaikan kurikulum wajib disesuaikan.
Dalam kaitan dengan pendidikan akhlak, secara eksplisit pemikiran Syekh Nawawi tentang pendidikan Islam lebih mengarah kepada pembentukan akhlak.
Sebagai pendidik seorang guru disyaratkan memiliki kompetensi sebagai
seorang pendidik karena; 1) seorang guru pengaruhnya sangat besar dalam
pembentukan kepribadian peserta didik, (2) pendidikan berhubungan dengan
tanggung jawab kemanusiaan dan keagamaan, karena akan dipertanggung
jawabkan di dunia dan akhirat, dan (3) guru merupakan cerminan kepribadian
Nabi Saw yang patut diteladani.
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
160
Oleh karena itu pendidikan akhlak yang ditanamkan melalui pendidikan Islam tersebut menjadi sangat penting dan mendapat perhatian yang cukup dari beliau. Kepribadian (akhlak) guru sangat penting karena guru merupakan orang yang bersinggungan langsung dengan siswa/peserta didik. Disebutkan di atas bahwa kompetensi kepribadian guru sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian peserta didik di samping guru merupakan cerminan kepribadian Rasulullah Saw yang patut diteladani. Sehingga kompetensi kepribadian ini menjadi hal yang utama dari pada kompetensi-komptensi yang lain.
Berkaitan dengan peserta didik, Syekh Nawawi memberikan beberapa
etika yang harus dikerjakan oleh para peserta didik dalam menghadapi pendidik
dalam proses belajar mengajar yaitu; a) lebih dulu memulai penghormatan,
salam dan meminta ijin ketika memasuki majelis taklim, b) mempersedikit
bicara dan mempersedikit sesuatu yang diperbolehkan ketika berada di
hadapan gurunya, c) tidak mengatakan/berbicara hal yang tidak ditanyakan, d)
tidak bertanya tentang sesutu sebelum meminta ijin terlebih dahulu atau tidak
bertanya sebelum ada persoalan, e) tidak mengkontradiksikan pendapat
gurunya dengan pendapat orang seperti misalanya “si fulan berbeda dengan
pendapat anda atau yang semacamnya”, f) tidak menunjukkan pendapat yang
berbeda dengan pendapat gurunya, karena anggapan peserta didik bahwa
dirinya lebih mengetahui kebenaran dalam masalah itu. Sikap demikian akan
mengurangi sopan santun dan mengurangi berkah ilmunya, g) jangan bertanya
ke teman gurumu di tempat gurumu, dan tidak tersenyum ketika terjadi
pembicaraan, h) tidak menoleh ke kiri dan ke kanan ketika berada di depan
gurunya, tapi duduk dengan menundukkan mata, diam, sopan, dan tidak
menggerakkan badan, seolah-olah kamu sedang sholat, i) tidak bertanya ketika
pendidik tampak bosan dan bingung, j) berdiri ketika pendidik berdiri untuk
menghormatinya, k) tidak menguntit pendidik ketika keluar majelis untuk
mengajak bicara dan bertanya, l) tidak bertanya kepada pendidik di jalan, tapi
harus menunggu pendidik sampai di rumahnya atau sampai tempat
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
161
peristirahatannya, dan m) tidak berburuk sangka terhadap perbuatan pendidik yang secara lahiriah, menurut pandanganmu tidak diridhoi oleh Allah, karena pendidik itu lebih mengetahui rahasia-rahasia perbuatannya sendiri (Syar’i, 2005: 44).
Dapat disimpulkan bahwa peserta didik dituntut untuk memiliki etika – akhlak – ketika berhadapan, bertemu, atau hal lain kepada gurunya. Pendidikan akhlak sangat diperhatikan oleh Syekh Nawawi dari hal sedernaha sampai kepada hal yang besar. Jadi tidak hanya guru yang dituntut untuk memberikan suri teladan dengan memperbaiki akhlaknya, tetapi peserta didik pun juga diwajibkan berakhlak dengan memperhatikan etika-etika kepada gurunya.
Dalam era modern/globalisasi saat ini pemikiran beliau tentang pendidikan akhlak yang dikemas dalam pendidikan Islam sangat relevan dimana arus informasi yang begitu cepat sangat berpengaruh terhadap karakter dan gaya hidup masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya asing yang bertentangan nilai- nilai Islam dan norma-norma sosial sangat mudah diserap dan diadopsi oleh generasi milenial saat ini. Sangat berbahaya jika tidak dibentengi dengan penanaman nilai-nilai Islam yang bisa memperkokoh keyakinan sehingga dapat menghaluskan akhlak peserta didik. Di sinilah pentingnya pemikiran beliau diimplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan lain yang biasa dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
KESIMPULAN
Esensi pendidikan dalam Islam menurut pandangan Syekh Nawawi Al
Bantani Al Jawi adalah mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan
mencakup transfer of knowledge, transfer of value, transfer of methodology,
dan transformasi. Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual,
mental/spiritual, dan berjalan sepanjang hidup dan integral. Menurut Syekh
Nawawi tujuan memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan
memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas kebodohan, memajukan
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
162
Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat.
Dalam kaitan dengan pendidikan akhlak, secara eksplisit pemikiran Syekh Nawawi tentang pendidikan Islam lebih mengarah kepada pembentukan akhlak.
Sebagai pendidik seorang guru disyaratkan memiliki kompetensi sebagai
seorang pendidik karena; 1) seorang guru pengaruhnya sangat besar dalam
pembentukan kepribadian peserta didik, (2) pendidikan berhubungan dengan
tanggung jawab kemanusiaan dan keagamaan, karena akan dipertanggung
jawabkan di dunia dan akhirat, dan (3) guru merupakan cerminan kepribadian
Nabi Saw yang patut diteladani.
Journal of Islamic Education (JIE) Vol. IV No. 2 Nopember 2019 Iwantoro
163