• Tidak ada hasil yang ditemukan

BARCODE DNA UNTUK IDENTIFIKASI JENIS JENIS KEMENYAN (Styrax sp) DI SUMATERA UTARA RINI RAMADHANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BARCODE DNA UNTUK IDENTIFIKASI JENIS JENIS KEMENYAN (Styrax sp) DI SUMATERA UTARA RINI RAMADHANI"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

1

BARCODE DNA UNTUK IDENTIFIKASI JENIS – JENIS KEMENYAN (Styrax sp) DI SUMATERA UTARA

RINI RAMADHANI 131201153

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

(2)

2

BARCODE DNA UNTUK IDENTIFIKASI JENIS – JENIS KEMENYAN (Styrax sp) DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh :

RINI RAMADHANI 131201153

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

(3)

3

BARCODE DNA UNTUK IDENTIFIKASI JENIS – JENIS KEMENYAN (Styrax sp) DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh :

RINI RAMADHANI 131201153/KEHUTANAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

(4)

i

ABSTRACT

RINI RAMADHANI. DNA barcode For Kemenyan Species (Styrax sp) Identification in North Sumatra. Supervised by ARIDA SUSILOWATI and HENTI HENDALASTUTI RACHMAT.

DNA barcoding enables precise identification of species from analysis of unique DNA sequence of a target gene. The present study was undertaken to develop barcodes for different species of Styrax spp growing in North Sumatera- Indonesia. Four species of Styrax, each represented by two individuals, collected from two districts in North Sumatera were evaluated using two regions in the plastid genome (matK and rbcL) in order to discriminate them at species level.

Result showed that matK yielded 894 bp after alignment, however there was no precise identification to species level in which the matK gene only differentiate the four known species into two group, each group consisted of different species. The rbcL gene yielded 588 bp and showed no variation for all species, those it determined all species into one same haplotype. Furthermore, combined matK + rbcL will give similar result to those of matK grouping. Considering the overall performance of these loci, we suggest matK+rbcL is not strong enough to determine Styrax growing in North Sumatera to the species level. These findings showed the necessity to find other candidate genes or markers that can potentially be helpful in delineating the various species of Styrax growing in North Sumatera, as well as other related Styrax genera.

Keyword: barcoding, mat K + rbcL gene, Styrax, kemenyan

(5)

ii

ABSTRAK

RINI RAMADHANI. Barcode DNA Untuk Identifikasi Jenis-Jenis Kemenyan (Styrax sp) di Sumatera Utara. Di bawah bimbingan ARIDA SUSILOWATI dan HENTI HENDALASTUTI RACHMAT.

Barcode DNA memungkinkan identifikasi spesies secara tepat dari analisis urutan DNA unik dari gen target. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan barcode dari berbagai jenis Styrax spp yang tumbuh di Sumetera Utara. Empat spesies Styrax yang tumbuh di Sumatera Utara, masing-masing diwakili oleh dua individu, dikumpulkan dari tiga kabupaten di Sumatera Utara dan dievaluasi menggunakan dua wilayah pada genom plastid (matK dan rbcL) untuk membedakannya pada tingkat spesies.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa matK memperoleh hasil 894 bp setelah disejajarkan, namun tidak ada identifikasi yang tepat terhadap tingkat spesies dimana gen matK hanya membedakan empat spesies yang dikenal menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari spesies yang berbeda. Gen rbcL menghasilkan 588 bp dan tidak menunjukkan variasi untuk semua spesies, menentukan semua spesies menjadi satu jenis haplotipe yang sama. Selanjutnya, gabungan matK + rbcL akan memberikan hasil yang serupa dengan pengelompokan matK. Dengan mempertimbangkan keragaan lokus ini, diduga matK + rbcL tidak cukup kuat untuk menentukan Styrax yang tumbuh di Sumatera Utara sampai tingkat spesies. Penemuan ini menunjukkan perlunya menemukan gen kandidat atau penanda lain yang berpotensi membantu dalam membedakan berbagai jenis tumbuhan Styrax di Sumatera Utara, serta genus Styrax lainnya.

Kata kunci: barcode, gen K + rbcL, Styrax, kemenyan

(6)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Lubuk Pakam pada tanggal 27 Januari 1996 dari pasangan Bapak Drs. Abdul Khalid Ali dan Ibu Anidar. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga orang bersaudara.

Pada tahun 2007 Penulis lulus dari SD Negeri 010059 Bunut, tahun 2010 lulus dari SMP Negeri 2 Kisaran dan tahun 2013 lulus dari SMA Negeri 3 Kisaran. Tahun 2013 Penulis melanjutkan kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan sebagai Mahasiswa di Program studi Kehutanan Fakultas Pertanian melalui jalur ujian tertulis (SBMPTN).

Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) selama 10hari dikawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Aek Nauli pada tahun 2014. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bagian Kerjasama Komatsu-FORDA Bogor pada tanggal 1 Februari sampai 3 Maret 2017.

(7)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Aplikasi DNA Barcode Untuk Identifikasi Jenis – Jenis Kemenyan (Styrax sp) Di Sumatera Utara”. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam pendidikan Strata-1 dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua, Bapak Drs. Abdul Khalid dan Ibu Anidar, atas dukungan dari segi moril maupun materil serta kasih sayang tanpa batas. Setiap hal yang diberikan kedua orang tua kepada penulis merupakan semangat dalam perjuangan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini adalah satu dari bukti cinta penulis kepada kedua orangttua.

2. Ibu Dr. Arida Susilowati, S.Hut., M.Si dan Ibu Henti Hendalastuti Rachmat, S.Hut., M.Si., P.hD selaku Komisi Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing, serta memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini.

3. Rekan tim peneliti Wiza Noni Fadilah, Muhtar Adansyah, Bang Roby, Bang Baiquni Rangkuti dan Mbak Fifi Gus Dwiyanti yang telah membantu dan menyumbangkan semangat serta kerjasama yang baik saat penelitian, serta teman-teman mahasiswa/i Fakultas Kehutanan USU khususnya di Budidaya Hutan angkatan 2013.

(8)

v

4. Sahabat penulis Putri Jelita, Haliza Khairuni Tambusai, NBNH girls dukungan, semangat dan canda tawa yang selalu diberikan. Terakhir, penulis hendak menyapa setiap nama yang tidak dapat penulis cantumkan satu per satu, terimakasih atas doa dan dukungan yang senantiasa mengalir tanpa sepengetahuan penulis. Terimakasih kepada orang-orang yang turut bersuka cita atas keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.

Medan, Mei 2017 Penulis

Rini Ramadhani

(9)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Kemenyan ... 4

Jenis Kemenyan ... 5

Habitat dan Penyebaran... 7

Manfaat Kemenyan ... 7

DNA Barcoding Untuk Deleneasi Jenis Tanaman ... 8

Maturase-K (mat-K) dan Ribulosa-1,5-bifosfat karboksilase (rbcL) ... 10

Sekuensing DNA ... 11

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

Alat dan Bahan ... 13

Sampel Daun ... 14

Ekstraksi DNA, Amplifikasi PCR dan Sekuensing DNA ... 15

Analisi Sekuen dan Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi DNA dan Amplifikasi PCR ... 18

Analisis Sekuen dan Analisis data ... 20

Analisis DNA ... 20

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 25

Saran ... 25 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Urutan nukleotida primer ... 17

Tabel 2. Komposisi komponen yang digunakan dalam PCR ... 17

(11)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Hasil Ekstraksi DNA ... 19

Gambar 2. Hasil Amplifikasi PCR ... 20

Gambar 3. Pohon Filogenetik Lokus MatK ... 22

Gambar 4. Pohon Filogenetik Lokus rbcL ... 23

Gambar 5. Pohon Filogenetik Lokus matK + rbcL ... 24

(12)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan hujan tropis terbesar di dunia, dengan keragaman hayati yang sangat tinggi baik untuk keragaman tanaman, hewan, dan biota yang lainnya. Kekayaan keragaman hayati akan menjadi sangat menguntungkan apabila keragaman tersebut mampu dieksplorasi, dimanfaatkan, dan dipertahankan melalui praktek-praktek pengelolaan yang berkesinambungan. Kekayaan keragaman hayati merupakan modal yang sangat besar untuk dimanfaatkan dalam rangka pemenuhan berbagai kebutuhan baik pangan, maupun sumber energi terbarukan. Selain itu keragaman hayati juga merupakan modal dasar untuk merakit varietas / kultivar unggul.

Pohon kemenyan memiliki nilai ekonomi penting, hal ini dapat dilihat dari luas kebun kemenyan yang terdapat di beberapa daerah di Sumatera Utara, utamanya daerah Tapanuli. Tapanuli Utara memiliki luas kebun kemenyan seluas 22.670 ha dengan produksi 321,3 kg/ha/tahun dengan produksi total mencapai 4.247 ton/tahun. Data BPS Sumatera Utara (2008) luas kebun kemenyan terluas terletak di Kabupaten Tapanuli Utara (16.359Ha) dan Kab. Humbahas (9.594 Ha).

Pengusahaan kebun kemenyan tersebut sedikitnya telah melibatkan 60.209 KK (214.000 jiwa) dari jumlah penduduk Tapanuli Utara 705.432. Nilai uang hasil ekspor Kemenyan sangat bervariasi dengan Singapura,Taiwan, UEA dan Malaysia memperoleh nilai US $ 2 hingga US $ 5 /Kg, namun Perancis lebih tinggi hingga US $ 23,9 Kg. Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh belum bakunya standar mutu dan harga dasar getah kemenyan serta berpotensi

(13)

2

2

merugikan negara dan petani kemenyan sendiri, namun menguntungkan bagi pedagang.

Terdapat 4 jenis kemenyan yang secara umum dibudidayakan dan bernilai ekonomi yaitu kemenyan toba (Styrax sumatrana J.J.SM), kamenyan durame (Styrax benzoin), kemenyan siam (Styrax tonkinennsis) dan kemenyan bulu (Styrax paralleloneurum). Steenis (1953) menyebut jenis kemenyan bulu sebagai Styrax benzoine var hiliferum, namun hingga saat ini deskripsi jenis tersebut belum banyak di ketahui. Perbandingan secara genetik molekuler diperlukan dalam membedakan tanaman ini untuk berbagai kepentigan.

Identifikasi tanaman selama ini dilakukan dengan marka / penanda / ciri- ciri morfologi (kunci-kunci taksonomi) oleh ahli taksonomi. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh bagian tanaman seperti daun, batang, akar, bunga, biji dan lain lain. Hasil pengamatan ini kemudian dibandingkan dengan koleksi spesimen tanaman (database) berdasar kunci-kunci taksonomi dari museum tanaman / herbarium. Salah satu kelemahan sistem ini adalah identifikasi hanya bisa diterapkan untuk tanaman dewasa, memerlukan waktu lama karena pengambilan sampel / pengamatan harus menunggu masa berbunga / berbuah misalnya. Selain itu pengamatan morfologi membutuhkan seorang pakar taksonomi yang sampai saat ini jumlahnya sangat terbatas (Virgilio et al. 2012).

Metode idetifikasi spesies ini telah berkembang dimulai dari proses identifikasi secara morfologi sampai proses identifikasi secara molekuler dengan menggunakan potongan DNA pendek yaang disebut dengan “baarcode DNA”

(Hebert et al, 2003). Barcode DNA memiliki fungsi aplikatif misalnya untuk

(14)

3

3

identifikasi takson-takson kriptik (Lahaye et al, 2008), konfirmasi sampel-sampel tanaman obat (Xue dan Li, 2011), dan survei ekologi (Dick dan Kress, 2009).

The Consortium for the Barcode of Life (CBOL) merekomendasikan penggunaan dua gen plastida rbcl dan matK sebagai Barcode standar (Hollingsworth et al. 2009). Namun demikian tidak semua sekuen tersedia untuk semua jenis. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeliniasi beberapa jenis kemenyan yang ada di Sumatera Utara dan berusaha untuk mengisi celah informasi mengenai jenis kemenyan dikenal oleh masyarakat lokal sebagai jenis yang berbeda satu sama lain berdasarkan penanda molekuler.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk mendeliniasi identitas jenis – jenis kemenyan di Sumatera Utara.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membedakan berbagai spesies kemenyan di Sumatera Utara yang selama ini dikenal sebagai jenis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya berdasarkan morfologinya. Serta menjadi dasar dalam pengelolaan kemenyan baik dari aspek produksi maupun aspek konservasi.

(15)

4

4

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Kemenyan

Taksonomi pohon Kemenyan Jayusman (2014) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Superdivisio : Spermatophyta Divisio : Magnoliophyta Klas : Magnoliopsida Subklas : Dilleniidae Ordo : Ebenales Famili : Styracaceae

Ordo Ebeneles memiliki 12 genus dan terdiri lebih dari 190 jenis yang menyebar mulai dari benua Asia, Mediterania hingga Amerika Utara –Selatan.

Genus Kemenyan memiliki jumlah lebih dari 20 jenis. Dalam Jayusman (2014) Jumlah jenis Kemenyan bervariasi menurut beberapa pakar, yakni 5 spesies (Putz

& NG, 1954), 7 spesies (van Steenis, 1953; van de Koppel, 1959), 3 jenis (Heyne, 1987) dan 20 spesies (Pinyopusarerk, 1994). Umumnya masyarakat di Tapanuli dan Dairi, Provinsi Sumatera Utara hanya membudidayakan jenis Toba dan Durame secara luas sedangkan jenis Bulu kurang banyak dibudidayakan. Jenis Kemenyan Siam hingga saat ini belum banyak dikembangkan di Indonesia, namun telah dirintis penguasaan budidayanya oleh Balai Penelitian Kehutanan Sumatera (BPK Pematang Siantar).

(16)

5

5 Deskripsi Kemenyan

Pohon kemenyan menyebar pada berbagai elevasi (60 m – 2100 mdpl). Di daerah Palembang (Sumatera Selatan) dan Tapanuli Selatan, pohon kemenyan banyak ditemukan pada daerah dengan ketinggian 60 - 320 mdpl. Sentra kebun kemenyan di Tapanuli Utara yang dikenal secara luas rata-rata berada pada ketinggian lebih dari 600 mdpl. Pohon kemenyan tidak memerlukan persyaratan yang istimewa. Heyne (1987) menjelaskan pohon kemenyan mampu tumbuh pada tanah-tanah tinggi yang berpasir, maupun tanah lempung rendah di hutan alam.

Mampu tumbuh pada Andosol, Podsolik, Latosol, Regosol, dan berbagai asosiasi mulai tanah bertekstur berat sampai ringan, serta tanah yang subur hingga kurang subur, tanah berpasir hingga tanah lempung rendah dihutan alam, namun secara umum pohon kemenyan menghendaki tanah yang memiliki kesuburan yang baik.

Pohon kemenyan tidak tahan terhadap genangan air, sehingga untuk pertumbuhannya membutuhkan tanah yang porositasnya tinggi (mudah meneruskan / meresapkan air). Tumbuh baik pada solum tanah yang dalam dengan pH tanah berkisar 4 - 7, menghendaki bulan basah yang tersebar merata sepanjang tahun.

Jenis Kemenyan

Menurut Van Steenis (1953) dalam Jayusman (2014) jenis kemenyan yang

dibudidayakan dan benilai ekonomi ada empat yaitu : kemenyan toba (Styrax sumatrana J.J.SM), kemenyan durame (Styrax benzoin DRYAND),

kemenyan bulu (Styrax benzoinevar. hiliferum) dan kemenyan siam (Styrax tonkinennsis).

(17)

6

6

1. Kemenyan toba (Styrax sumatranaJ.J.SM)

Penampilan daun jenis Toba terkesan lebih gelap dan mengkilat dibandingkan jenis Durame dan Bulu. Getah yang dihasilkan memiliki aroma balsamat tajam, warna putih kuning kecoklatan dengan ukuran butiran getah panjang 3 -7 cm dan lebar 1,5 - 2,5 cm dan getah yang dihasilkan umumnya menggumpal / keras. Pada perdagangan lokal harga getah Kemenyan Toba dikenal paling tinggi dibandingkan jenis lainnya. Usia matang sadap jenis ini umumnya lebih dari 5 tahun, tergantung perkembangan diameter batang tanaman.

2. Kemenyan durame (Styrax benzoin)

Umumnya Kemenyan Durame dibudidayakan secara campuran dengan jenis Toba dan Bulu. Penampilan daun jenis Durame terkesan lebih terang warnanya dibandingkan jenis Toba. Getah yang dihasilkan memiliki aroma balsamat agak tajam, warna putih-kuning kecoklatan dengan ukuran butiran getah panjang 3 - 5 cm dan lebar 1 - 1,5 cm serta getah yang dihasilkan lebih cair di bandingkan dengan getah Kemenyan Toba. Pada perdagangan lokal harga getah Kemenyan Durame relatif lebih rendah dibandingkan jenis Toba dan sering digunakan hanya sebagai getah pencampur dikilang Kemenyan. Usia matang sadap jenis ini umumnya dimulai pada umur 5tahun dengan ukuran diameter batang tanaman mencapai >10 cm.

3. Kemenyan bulu (Styrax paralleloneurum)

Penyebaran dan penampilan Kemenyan Bulu memiliki kesamaan dengan jenis Durame. Getah yang dihasilkan memiliki aroma balsamat kurang tajam, warna putih-kuning kecoklatan dengan ukuran butiran getah panjang 3 - 5 cm dan lebar 1,0- 1,5 cm. Pada perdagangan lokal harga getah Kemenyan Bulu lebih

(18)

7

7

rendah dibandingkan jenis lainnya dan bersama getah Durame sering hanya digunakan sebagai bahan pencampur dalam pengolahan getah. Umumnya getah Kemenyan Bulu lebih cair dan tampak meleleh di permukaan batang hingga jatuh di atas lantai kebun. Pemanenan getahnya dilakukan dengan memungut getah di sekitar batang berupa gumpalan getah yang sering tercampur daun, ranting dan serasah lainnya. Usia matang sadap jenis ini umumnya dimulai umur 5tahun pada saat diameter batang tanaman mencapai > 10 cm.

Habitat dan Penyebaran

Burkil (1935) menjelaskan bahwa pohon kemenyan berasal dari pantai barat Sumatera, tumbuh secara alami dan telah banyak dibudidayakan.Van Steenis (1953) menambahkan bahwa pohon kemenyan banyak ditemukan di hutan alam, hidup berkelompok dan bercampur dengan tanaman lain. Pohon kemenyan menyebar pada berbagai negara meliputi Malaysia, Thailand, Indonesia dan Laos.

Indonesia memiliki daerah sebaran pohon kemenyan di Pulau Sumatera, Pulau Jawa bagian Barat dan Kalimantan Barat. Sumatera memiliki sebaran terluas, terutama daerah Tapanuli dan Dairi. Diperkirakan hampir 67% dari luas kebun kemenyan yang ada di Indonesia terdapat di daerah Tapanuli Utara.

Sentra kebun kemenyan di Tapanuli Utara yang dikenal secara luas rata- rata berada pada ketinggian lebih dari 600 mdpl. Pohon kemenyan ini tidak memerlukan persyaratan yang istimewa untuk pertumbuhannya.

Manfaaat Kemenyan

Kemeyan tumbuh dengan baik di hutan Sumatera Utara menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat dibeberapa desa, yang dikenal dengan getah kemeyan. Pemanfaatan kemenyan telah dikenal luas di Indonesia terutama sebagai

(19)

8

8

bahan obat, baik sebagai obat tradisional maupun industri rokok, batik dan upacara ritual. Lebih dari itu tanaman kemenyan sebagai golongan styrax mengandung senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai obat-obatan.

Kemenyan durame (Styrax benzoin Dryander) memiliki banyak senyawa bioaktif seperti asam sinamat dan turunannya yaitu senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kosmetik dan obat-obatan. Tanaman kemenyan prospektif dikembangkan untuk tanaman hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, rehabilitasi, penghara industri pulp, maupun untuk pohon ornamen. Selain itu kayunya dapat digunakan untuk bangunan rumah dan jembatan serta akarnya mengandung cairan berwarna kemerah-merahan yang berfungsi sebagai insektisida (Rajagukguk, 2009).

DNA Barcoding Untuk Deleneasi Jenis Tanaman

DNA barcoding di usulkan pertama kali oleh Hebert et al. (2003), yang menyatakan bahwa semua spesies organisme dapat diidentifikasi dengan menggunakan sekuen pendek dari sebuah gen yang posisinya di dalam genom telah terstandarisasi (disepakati bersama) yang disebut sebagai “DNA Barcode”.

Sebelum ditemukannya teknologi DNA barcoding, untuk mengidentifikasi tanaman hanya melihat dari morfologi tanaman tersebut. Ada beberapa teori yang digunakan salah satunya teori Taksonomi Klasik. Teori taksonomi klasik adalah suatu pengelompokan tumbuhan berdasarkan sifat-sifat makro yang menarik, selanjutnya dicari persamaan dan perbedaannya, lalu dikelompokkan dan diberi nama berdasarkan aturan internasional yang telah disepakati. Sifat-sifat tumbuhan yang digunakan merupakan hasil penemuan dari pengalaman- pengalaman sebelumnya serta trial and error yang terakumulasi selama bertahun-

(20)

9

9

tahun. Dengan kata lain, taksonomi klasik adalah pengelompokan tumbuhan ke dalam taksa tertentu berdasarkan hubungan sifat morfologi (Davis dan Heywood, 1963).

DNA barcoding merupakan sebuah teknik yang dikembangkan dalam rangka untuk mempercepat dan mempermudah proses identifikasi organisme dengan menggunakan potongan gen tertentu yang telah teruji kemampuannya untuk membedakan pada tingkat species. Berbeda dengan teknik identifikasi secara konvensional yang hanya dapat dilakukan dengan menggunakan specimen yang utuh dan dewasa, teknik barcoding dapat digunakan untuk mengidentifikasi semua bentuk tingkatan kehidupan. DNA barcoding terbukti dapat digunakan oleh berbagai kelompok taksa dengan cepat dan relatif murah untuk mengidentifikasi spesies yang sulit dilakukan secara morfologi. Teknik ini akan mampu menjembatani keadaan saat ini dimana ahli taksonomi semakin langka (Kress et al. 2005)

Menurut Bhalke dan Schmidt (2012) DNA barcoding dapat digunakan untuk dua tujuan, yaitu sebagai perangkat baru untuk membantu para ahli taksonomi yang biasa bekerja keras pada spesimen-spesimen yang sulit di identifikasi dan merupakan perangkat inovatif bagi yang bukan ahli taksonomi dan untuk mengidentifikasi tanaman secara cepat. Sehingga identifikasi tanaman dengan menggunakan DNA barcoding bisa dilakukan oleh siapa saja (yang bukan ahli taksonomi) asal memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis tentang DNA barcoding.

(21)

10

10

Maturase-K (mat-K) dan Ribulosa-1,5-bifosfat karboksilase (rbcL)

Consortium for the Barcode of Life (CBOL) akhir-akhir ini merekomendasikan dua lokus rbcL dan matK sebagai lokus resmi untuk DNA barcoding tanaman darat (Hollingsworth et al, 2009). Gen matK lebih banyak digunakan dibandingkan dengan gen rbcL dalam berbagai penelitian, karena gen matK dapat membedakan sampai tingkat spesies (Barthet, 2006).

Gen matK memiliki tingkat evolusi yang tinggi dan urutan sekuen yang lebih bervariasi sehingga gen matK dianggap lebih baik dan lebih akurat dalam membedakan dan mengidentifikasi suatu jenis (Kolondam, 2012). Mat-K dapat mengamplifikasi gen pada DNA kloroplas (cpDNA). Gen kloroplas mat-K sebagian besar merupakan variable gen coding dari Angiospermae dan telah diusulkan untuk menjadi barcode pada tanaman (Yu et al. 2011).

Gen rbcL merupakan plastid pengkode yang paling banyak disimpan dalam GenBank. Data sekuen rbcL banyak digunakan untuk tingkatan taksonomi yang lebih tinggi (suku ke atas). Sekuen rbcL juga umum digunakan untuk mengetahui hubungan antar marga bahkan antar jenis pada tumbuhan paku (Soltis dan Soltis, 1998). Gen rbcL telah digunakan secara ekstensif untuk menduga filogeni tanaman termasuk sejumlah jnis Gymnospermae. Tetapi beberapa studi memperlihatkan urutan coding ini terkadang untuk menjelaskan hubungan antar taksa tanaman.

Gen standar ini digunakan untuk mempelajari keanekaragaman genetik tumbuhan berdasarkan sekuens DNA-nya. Perbedaannya, gen matK lebih sulit diamplifikasi tetapi memberikan resolusi yang lebih tinggi dalam membandingkan spesies tumbuhan, sedangkan gen rbcL lebih mudah diamplifikasi, akan tetapi

(22)

11

11

resolusinya rendah untuk dapat membedakan beberapa spesies yang berkerabat dekat. Konfirmasi keberhasilan amplifikasi fragmen gen dilakukan dengan visualisasi melalui elektroforesis. Fragmen gen yang berhasil diamplifikasi akan dianalisis untuk sekuensing DNA (Hollingsworth et al. 2011). Gen matK digunakan sebagai gen pengkode yang disepakati untuk barcode DNA sejak tahun 2003 dan telah diuji melalui beberapa penelitian. Gen maturaseK (matK)

diidentifikasi pertama kali oleh Sugita et al. (1985) dari tanaman tembakau (Nicotiana tabacum).

Sekuensing DNA

Sekuensing DNA adalah proses penentuan urutan dari basa A, T, G, dan C dalam sepotong DNA. Pada intinya, DNA digunakan sebagai cetakan untuk menghasilkan serangkaian fragmen yang panjangnya berbeda satu sama lain oleh satu basa. Fragmen kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran dan basis di akhir diidentifikasi menciptakan urutan asli DNA.

Aplikasi utama dari sequencing DNA dalam studi sistematik adalah:

evolusi gen, termasuk studi dari proses yang menghasilkan level variasi sekuens (urutan basa), studi asal-muasal alel baru atau lokus baru, serta investigasi pemusatan (convergence) dan seleksi. Studi intraspesifik populasi, termasuk pelacakan organisme dan genealogi alel dalam spesies dan variasi geografik, aliran gen (gen flow), hibridasi, serta konservasi genetika, dan Studi interspesifik populasi, seperti rekonstruksi filogenetik untuk mengevaluasi pola dan proses evolusi makro (Hillis et al. 1996).

Keuntungan utama dari sekuensing DNA ini adalah keakuratan dan ketelitiannya yang mencapai lebih dari 98%, namun teknik ini juga memiliki

(23)

12

12

kekurangan antara lain ketidakmampuannya untuk mengatasi rangkaian nukleotida yang panjang (lebih dari 900 nukleotida pada fragmen DNA dalam satu reaksi).

Data hasil sekuensing yang sudah di analisis kemudian dimasukkan ke Genbank seperti BOLD, NCBI, DDBJ serta EBI. Output dari proses ini adalah informasi lengkap mengenai spesies (data morfologi, taksonomi, dan pendukung) yang kita masukkan bila spesies yang kita input sudah terdapat datanya di sistem.

(Thompson et al. 1994)

(24)

13

13

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2016 hingga Januari 2017.

Pengambilan sampel dilakukan di tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Tapanuli Utara. Pengujian Sampel dilakukan di Laboratorium Genetika Departemen Silvikultur, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain plastik klip kedap udara, gunting, tissue basah, GPS (Global Positioning System), meteran, sarung tangan, masker, mortar dan pestle, tabung mikro 1,5 mL dan 0,5 mL, rak tabung, rak tip, mikropipet, gelas kimia, timbangan, tabung erlenmeyer, kamera digital, microwave, freezer, vortex, water bath, sentrifuge, satu set alat elektroforesis, parafilm, spin down, mesin PCR (Polymerase Chain Reaction) PTC-100 Programmable Thermal Cycler, tabung PCR 0,5 mL, mesin UV transiluminatos, mesin sekuenser.

Bahan penelitian untuk analisis keragaman genetik berupa daun kemenyan toba (Styrax sumatrana J.J.SM), kemenyan durame (Styrax benzoin),

kemenyan siam (Styrax tonkinennsis), kemenyan bulu (Styrax paralleloneurum) dan kemenyan dairi yang diperoleh dari tiga lokasi

geografis yang berbeda di Sumatera Utara, yaitu Tapanuli Utara, Dairi, dan Humbang Hasundutan, setiap populasi diambil sebanyak 2 individu, silica gel, aquades, CTAB extraction buffer, Natrium chloride (NaCl), polivinilvirolidon (PVP) 1%, chloroform, phenol, agarose, buffer TAE encer, etanol, buffer TE,

(25)

14

14

pewarna GelRed, DNA loading dye (Blue Juice), DNA leader, Nucleas Free Water (NFW), Green Go Taq, primer rbcL dan matK pada Tabel 1.

Prosedur Penelitian

Pengambilan Sampel Daun

Studi dan teknik barcoding DNA dilakukan terhadap 4 jenis kemenyan

yang ada di wilayah Sumatera Utara yaitu kemenyan toba (Styrax sumatrana J.J.SM), kemenyan durame (Styrax benzoin), kemenyan bulu

(Styrax paralleloneurum) dan kemenyan dairi. Masing-masing jenis diwakili oleh 2 individu yang diambil dari tiga populasi yang berbeda. Sehingga total semua sampel yang akan di ekstraksi adalah 20 sampel daun. Bagian tumbuhan yang

dijadikan target adalah daun dewasa segar. Kemenyan toba atau S. sumatrana diambil dari populasi yang berasal dari Pakpak Bharat (Dairi),

Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Tapanuli Utara, kemenyan durame atau S. benzoin diambil dari populasi Pakpak Bharat (Dairi), Humbang

Hasundutan (Dolok Sanggul) dan Tarutung, kemenyan bulu atau S. paralleloneurum dan kemenyan dairi diambil dari populasi Pakpak Bharat dan

Tarutung. Sampel daun segar dimasukkan ke dalam plastik klip kedap udara yang telah diisi dengan silika gel, disimpan sampai semua sampel daun terkumpul.

Ekstraksi DNA, Amplifikasi PCR, dan Sekuensing DNA

Ekstraksi DNA bertujuan untuk mengisolasi DNA genom tanaman.

Ekstraksi DNA genom dilakukan dengan menggunakan metode CTAB dengan modifikasi, dengan tahapan sebagai berikut : sampel digerus dengan menggunakan mortar hingga menjadi seperti tepung yang kemudian dimasukkan kedalam tabung mikro 1,5 mL. Selanjutnya ditambahkan buffer ekstrak 500 µL

(26)

15

15

dan PVP 1% sebanyak 100 µL. Campuran tersebut divortex agar menjadi homogen, kemudian larutan tersebut diinkubasi di water bath selama 60 menit degan suhu 65°C selama 60 menit, dimana setiap 15 menit larutan dibolak-balik agar tidak terjadi endapan, lalu larutan didinginkan sesaat.

Setelah proses ekstraksi DNA selanjutnya adalah proses pemurniaan DNA. Proses pemurnian DNA diawali dengan menambahkan chloroform sebanyak 500 µL dan fenol 10 µL, yang kemudian disentrifugasi dengan kecapatan 10.000 rpm selama 10 menit, ini dilakukan agar terjadi pemisahan fase air (supernatan) dan fase organik dengan baik. Fase air (supernatan) ini kemudian dipindahkan ke tabung mikro yang baru berukuran 1,5 mL dan ditambahkan chloroform sebanyak 500 µL dan fenol 10 µL, selanjutnya larutan disentrifigasi kembali dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Lalu supernatan tersebut dipindahkan kembali ke tabung mikro berukuran 1,5 mL yang baru. Supernatan tersebut ditambahkan dengan isopropanol 500 µL dan NaCl 300 µL, selanjutnya larutan disimpan didalam freezer selama 45 menit – 60 menit untuk proses pengendapan DNA.

Larutan yang telah disimpan di freezer kemudian disentrifugasi 10.000 rpm selama 10 menit, lalu cairan didalam tabung dibuang hingga menyisakan pelet DNA didasar tabung. Proses pencucian DNA diawali dengan menambahkan Etanol 70% sebanyak 300 µL pada pelet DNA, kemudian disentrifuse 10.000 rpm delama 10 menit. Cairan pada larutan tersebut dibuang hingga menyisakan pelet DNA, pelet DNA kemudian ditamabahkan Etanol 70% sebanyak 300 µL dan disentrifuse 10.000 rpm selama 3 menit. Cairan dibuang dan hanya menyisakan pelet DNA untuk proses pengeringan DNA. Pengeringan DNA ini dilakukan

(27)

16

16

dengan menggunakan desikator yang berisi silica gel selama 15-20 menit. Pelet DNA yang telah kering ditambahkan dengan buffer TE sebanyak 50 µL dengan tujuan untuk memekatkan dan melarutkan pelet DNA dan disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 3 menit. Selanjutnya dilakukan uji kualitas DNA.

Uji kualitas DNA menggunakan agarose untuk melihat DNA dengan menggunakan alat UV transiluminator. Uji kualitas DNA menggunakan agarose 1%, Komponen yang penting dalam proses elektroforesis adalah gel yang sudah terbentuk lubang sumur, DNA leader, DNA kemenyan, loading dye (Blue Juice).

Loading dye (Blue Juice) sebagai pewarna DNA diletakkan diatas parafilm sebanyak 1 µl, dan ditambahkan DNA kemenyan sebanyak 3 µl, campuran DNA tersebut kemudian dietakkan ke dalam pallete agarose (sumur). DNA leader diletakkan di pallete agarose pada ujung sebelah kiri. Kemudian di elektroforesis selama 30 menit dan divisualisasikan menggunakan mesin UV transiluminator untuk melihat DNA hasil elektroforesis.

PCR dilakukan dengan menggunakan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction) PTC-100 Programmable Thermal Cycler. Masukkan produk PCR ke dalam blok PCR dan disusun secara seimbang. Kondisi reaksi PCR adalah : Proses ini dilakukan selama 30 siklus (Denaturasi dengan suhu 95°C selama 2 menit, penempelan primer (annealing) untuk rbcL dengan suhu 55°C dan matK dengan suhu 52°C selama 1 menit dan Pemanjangan DNA dengan suhu 72°C selama 1 menit). Pita DNA hasil dari PCR kemudian dielektroforesis menggunakan agarose 2% dan divisualisasikan dengan menggunakan UV transiluminator.

(28)

17

17

Tabel 1. Urutan nukleotida primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA

Region Nama Primer Sequence (5’ – 3’) Arah

rbcL rbcLaF ATGTCACCACAAACAGAGACTAAAGC F

rbcLaR GTAAAATCAAGTCCACCRCG R

matK matK390F CGATCTATTCATTCAATATTT C F

matK1326R TCTAGCACACGAAAGTCGAAGT R

Keterangan : F= forward; R=reverse

Amplifikasi PCR dilakukan dengan volume final sebanyak 16 µL dalam 1 tabung mikro PCR untuk 1 sampel reaksi dengan komposisi seperti pada tabel 2 : Tabel 2. Komposisi komponen yang digunakan dalam amplifikasi PCR

No. Komponen Volume 1 tabung PCR

1 DNA 2

2 Primer forward 1

3 Primer reverse 1

4 NFW (Nucleas Free Water) 4

5 Green GoTaq 8

Analisa Sekuens dan Analisa Data

Hasil dari proses sekuen yang didapat perlu dilakukan pengeditan dikarenakan adanya kesalahan pembacaan mesin atau pun sekuen yang tidak diketahui, pengeditan ini menggunakan software BioEdit. Selanjutnya untuk pembacaan urutan nukleotida dan penjajaran sekuen depan maupun belakang menggunakan software MEGA 5.0.

Data hasil penjajaran nukleotida tersebut kemudian dicocokkan kedalam data yang ada di GeneBank NCBI menggunakan BLAST. Hasil BLAST ini akan digunakan untuk mengamati keragaman genetik kemenyan yang ada di Sumatera Utara dengan yang ada didalam GenBank.

(29)

18

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi DNA dan Amplifikasi PCR

Ekstraksi DNA merupakan bagian awal dalam analisis molekuler. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah pemecahan lisis (dinding sel), pemisahan DNA dari protein dan selulosa serta pemurnian DNA. Untuk mengetahui DNA sudah berhasil diekstraksi dengan melakukan uji kualitas DNA yang dilakukan dengan melakukan proses elektroforesis yang kemudian divisualisasikan dengan menggunakan UV transilluminator seperti pada Gambar 1. Triwibowo (2008) menyatakan Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul berdasarkan ukurannya. Teknik ini memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul misalnya DNA yang bermuatan negatif. DNA yang berkualitas baik apabila pita DNA terlihat tebal dan bersih. Pita DNA yang kurang jelas dan terdapat smear diduga disebabkan karena adanya sisa-sisa etanol pada saat proses pengeringan pelet DNA dan kontaminasi zat-zat dari dinding sel pada saat proses ekstraksi DNA (Ardiana, 2009). Konsentrasi DNA yang tinggi menyebabkan DNA tidak turun dan ini ditandai dengan adanya smear (Komalasari, 2009).

.

Gambar 1. Hasil Ekstraksi DNA DNA leader

DNA

Sampel

(30)

19

19

Dari 20 sampel yang diekstraksi, seluruh DNA berhasil diekstraksi namun pita DNA yang diperoleh tipis dan terdapat banyak smear. Setelah diperoleh DNA selanjutnya dilakukan proses PCR, pada proses ini DNA akan melewati 3 tahapan yaitu denaturasi DNA (peleburan DNA dengan suhu tinggi dimana DNA menjadi bentuk tunggal), annealing (pada tahap ini primer akan menempel pada DNA templat yang sesuai dengan urutan basanya), dan elongasi DNA (proses pemanjangan untai DNA baru). Tahapan ini disebut replikasi DNA secara enzimatik. Dari proses PCR ini sampel yang teramplifikasi untuk locus matK hanya berjumlah tujuh sampel dan sampel yang teramplifikasi untuk locus rbcL berjumlah 13 sampel. Rendahnya jumlah sampel yang teramplifikasi kemungkinan dikarenakan pada saat proses ekstraksi DNA, DNA yang diperoleh tidak berupa DNA murni melainkan masih banyak zat kimia lainnya dan kualitas produk PCR. Dimana zat kimia lain tetap terlihat sampai pada hasil dari produk PCR seperti pada Gambar 2. Selain itu faktor yang mempengaruhi kualitas produk PCR adalah terjadinya kontaminasi primer pada saat pencampuran komponen PCR (Anwar, 2015) dan kondisi penyimpanan produk PCR yang kurang optimal (Rangkuti, 2016).

Gambar 2. Hasil produk PCR DNA Leader

Sampel DNA teramplifikasi

(31)

20

20 Analisis Sekuen dan Analisis Data

Setelah melalui proses amplifikasi DNA maka dilakukan proses sekuensing. Hasil sekuensing kemudian diedit menggunakan BioEdit pada sekuen reverse dan forward, tujuan dari proses pengeditan sekuen adalah untuk membuang sekuen yang tidak jelas, selanjutnya dilakukan penjajaran dengan menggunakan MEGA 5.0. Setelah melalui proses penjajaran maka sekuen yang diperoleh digunakan untuk analisis BLAST di dengan tujuan untuk memperoleh informasi lengkap mengenai jenis tersebut.

Dari hasil sekuensing untuk lokus rbcL dari 13 sampel yang teramplifikasi hanya tujuh sampel yang memiliki kromatogram yang baik, sedangkan untuk lokus matK tujuh sampel yang teramplifikasi dan memiliki kromatogram yang baik. Dimana untuk lokus rbcL jumlah basa yang diperoleh sebanyak 588bp dan untuk lokus matK jumlah basa yang diperoleh sebanyak 894bp. Kromatogram terdiri dari beberapa kurva dengan tinggi puncak dan warna yang berbeda pada setiap basa. Jika dilihat hasil sekuensing terdapat lebih dari satu puncak yang bertumpuk pada satu posisi dengan tinggi puncak yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah templat DNA, kemurnian DNA dan kualitas primer.

Kromatogram yang baik adalah kromatogram yang memiliki puncak yang tinggi serta tidak saling bertumpuk.

Analisis DNA

Penelusuran dalam NCBI (National Center for Biotechnology Information) untuk sekuens matK sampel kemenyan batak yang berasal dari Pakpak Bharat dan kemenyan durame yang berasal dari Tapanuli Utara menghasilkan tingkat kemiripan 100% (identik) dengan Styrax benzoin yang ada

(32)

21

21

didalam Genebank NCBI, sedangkan kemenyan durame yang berasal dari Humbang Hasundutan menghasilkan tingkat kemiripan yang tinggi 99,44%

dengan Styrax benzoin. Ini menandakan bahwa gen matK telah mampu membedakan spesies ini dengan baik dan bisa dimanfaatkan untuk identifikasi.

Untuk kemenyan toba dan kemenyan minyak yang berasal dari Pakpak Bharat, kemenyan toba yang berasal dari Tapanuli Utara dan kemenyan durame yang berasal dari Humbang Hasundutan memiliki tingkat kemiripan yang tinggi dengan Styrax grandiflorus dimana tingkat kemiripan diatas 99% pada analisis BLAST Genebank NCBI. Pengunaan gen matK ini dapat membedakan tanaman sampai tingkat jenis yang cukup akurat. Dimana jenis kemenyan dengan penamaan yang sama dan berasal dari tempat yang berbeda memiliki genetik yang sama yaitu kemenyan durame. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kolondam (2012) yang menyatakan gen matK memiliki tingkat evolusi yang tinggi dan urutan sekuen yang lebih bervariasi sehingga gen matK dianggap lebih baik dan lebih akurat dalam membedakan dan mengidentifikasi suatu jenis. Karena tingkat keakuratannya yang lebih baik dalam mengidentifikasi jenis tanaman, sehingga gen matK lebih banyak digunakan dalam penelitian dibandingkan dengan gen rbcL. Hal senada juga dikemukakan Barthet (2012) bahwa gen matK lebih banyak digunakan dalam penelitian dibandingkan dengan gen rbcL karena gen matK dapat membedakan sampai tingkat spesies. Walaupun gen matK mampu membedakan hingga tingkat spesies, tetapi gen matK belum mampu menyusun jenis yang sama kedalam satu kelompok seperti yang terlihat pada pohon filogeni (Gambar 3) susunan dalam satu kelompok masih tidak beraturan. Berdasarkan pohon filogeni lokus matK terlihat ada 2 klad yang terbentuk. Dimana spesies

(33)

22

22

yang berada dalam satu suku ataupun yang memiliki kekerabatan dekat akan berada dalam satu klad dan diduga memiliki perbedaan susunan basa yang sangat kecil.

Gambar 3. Pohon filogenetik lokus matK

Penelusuran dalam NCBI gen rbcL untuk semua sampel kemenyan yang berhasil teramplifikasi dan memiliki kromatogram yang baik memiliki tingkat kemiripan yang tinggi >99% namun tidak ada yang identik dengan spesies yang ada didalam GeneBank. Kemungkinan yang terjadi adalah gen rbcL memiliki kemampuan pembeda yang rendah. Kemampuan pembeda gen rbcL ini telah diperkirakan pada beberapa publikasi ilmiah yang merekomendasikan penggunaan gen ini. Tetapi penggunaan gen rbcL ini membuktikan bahwa gen ini mampu mengamplifikasi DNA lebih baik dibandingkan dengan gen matK tetapi resolusi yang rendah dalam membedakan spesies. Hal ini sesuai dengan pernyataan Holingsworth et al (2011) yang menyatakan gen matK lebih sulit teramplifikasi tetapi membrikan resolusi yang tinggi dalam membedakan spesies tumbuhan, sedangkan gen rbcL lebih mudah diamplifikasi akan tetapi resolusinya rendah dalam membedakan spesies tanaman. Konfirmasi keberhasilan amplifikasi DNA dilakukan dengan melakukan visualisasi melalui elektroforesis. Pada pohon filogeni diatas hanya kemenyan durame dan kemenyan toba yang berasal dari

Kemenyan Toba TU01 matK Kemenyan Durame HB05 matK Kemenyan Toba PB03 matK Kemenyan Minyak PB02 matK Kemenyan Batak PB02 matK Kemenyan Durame TU01 matK Kemenyan Minyak PB01 matK 85

0.0002

(34)

23

23

Humbang Hasundutan yang memiliki kekerabatan dekat. Untuk jenis kemenyan yang lainnya tidak berada dalam satu tempat yang sama. Ini juga membuktikan bahwa gen rbcL rendah dala membedakan jenis tanaman hingga tingkat spesies.

Gambar 4. Pohon filogenetik lokus rbcL

DNA kloroplas berbentuk lingkaran dimana lokus-lokus seperti gen rbcL dan matK dapat dikombinasikan. Jumlah pasang basa yang diperoleh dengan menggabungkan lokus matK + rbcL adalah 1482 bp. Seperti halnya dengan lokus rbcL + matK, sekuen dengan kombinasi antara gen matK + rbcL dilakukan penelusuran di NCBI untuk melihat spesies kerabatnya. Dalam penelusuran di NCBI kemenyan durame yang berasal dari Tapanuli Utara, kemenyan minyak dan kemeyan batak yang berasal dari Pakpak Bharat memiliki tingkat kemiripan yang tinggi dengan Styrax benzoin yaitu 100% (identik), sedangkan kemenyan durame yang berasal dari Humbang Hasundutan memiliki tingkat kemiripan yang tinggi yaitu 99,44% dengan Styrax benzoin. Ini menunjukkan bahwa kombinasi antar dua gen (rbcL + matK) menunjukkan hasil yang sama dengan lokus matK. Hal ini juga terlihat pada pohon filogeni, hasil yang diperoleh dengan mengkombinasikan kedua gen tersebut membentuk dua kelompok seperti hasil pada lokus matK.

KemenyanToba TU01 rbcL Kemenyan Durame HB05 rbcL Kemenyan Toba PB03 rbcL Kemenyan Minyak PB02 rbcL Kemenyan Minyak PB01 rbcL Kemenyan Durame TU01 rbcL Kemenyan Batak PB02 rbcL 14

3 4

13

(35)

24

24

Gambar 5. Pohon filogenetik Lokus matK + rbcL

Berdasarkan hasil tersebut untuk membedakan jenis hingga tingkat spesies lokus matK atau pun kombinasi antar dua lokus (matK + rbcL) menghasilkan hasil yang lebih baik untuk identifikasi ataupun konfirmasi jenis hingga tingkat spesies bila dibandingkan dengan lokus rbcL. Sehingga lokus matK maupun lokus matK+rbcL lebih direkomendasikan untuk identifikasi tanaman hingga tingkat spesies, hanya saja lokus matK lebih sulit untuk teramplifikasi. Untuk lokus rbcL meskipun memiliki kemampuan yang rendah dalam membedakan jenis hingga tingkat spesies, namun lokus rbcL lebih mudah untuk teramplifikasi. Meskipun belum memberikan hasil yang cukup kuat untuk membedakan jenis Styrax yang ada di Sumatera Utara.

Kemenyan Durame HB05 KemenyanToba TU01 Kemenyan Toba PB03 Kemenyan Minyak PB02 Kemenyan Batak PB02 Kemenyan Durame TU01 Kemenyan Minyak PB01 29

87

16 16

(36)

25

25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Lokus matK lebih sulit teramplifikasi namun memiliki kemapuan dalam membedakan jenis lebih baik bila dibandingkan dengan lokus rbcL hingga ke level jenis berdasarkan BLAST yaitu kemenyan batak dan kemenyan durame identik (100%) dengan Styrax benzoin yang ada pada Genebank berdasarkan lokus matK, sedangkan pada lokus rbcL semua jenis kemenyan memiliki tingkat kemiripan >99% terhadap jenis kemenyan yang ada di Genebank namun tidak ada yang identik. Berdasarkan pohon filogeni lokus matK mengelompokkan jenis kemenyan mnjadi dua klad.

Saran

Dari kedua penanda tersebut yaitu lokus matK dan rbcL berpotensi sebagai kandidat DNA barcode pada jenis Styrax sp, sehingga perlu dilakukan pnelitian lebih lanjut terhadap kedua penanda ini. Keakuratan identifikasi Styrax sp masih menjadi kendala karena terbatasnya data pada GeneBank. Sehingga perlu dilakukan pengisian data sekuen DNA pada GenBank NCBI.

(37)

26

26

DAFTAR PUSTAKA

Anwar A. 2015. Variasi morfologi daun dan sekuens ITS2 pada Jelutung darat (Dyera costulata (Miq.) Hook.f) dan Jelutung rawa (Dyera polyphylla (Miq.) Steenis) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ardiana DW. 2009. Teknik isolasi DNA genom tanaman pepaya dan jeruk dengan menggunakan modifikasi bufer CTAB. Buletin Teknik Pertanian. 14(1):

12−16.

Balke M, Schmidt S. 2012. Indonesian-German Network for Teaching, Training and Research Collaborations (IGN-TTRC) Training of Trainers and Students Module II: DNA barcoding course material. Zoologische Staatssammlung Munich, Germany.

Barthet, M.M (2006) Expression and function of the chloroplast-encoded gene matK. Virginia Polytechnic Institute and State University. Blacksburg Burkil, I.H. 1935. A Dictionary of The Economic Product od Tree Malay

Peninsula. Published of Behalf of Government of The Strait Settlement and Federated malay States. (Vol II (1-Z) London.

Davis, P. H. and Heywood, V. H. 1963. Principles of Angiosperm Taxonomy 1st Edition (Edinburgh and London: Oliver and Boyd).

Dick CW, Kress WJ .2009. Dissecting tropical plant diversity with forest plots and a molecular toolkit. Bioscience 59: 745-755

Hebert, P.D.N., Cywinska, N.A.,Ball, S.L. dan de Waard, J.R. 2003. Biological identifications through DNA barcodes. Proc. Roy. Soc. B-Biol. Sci. 270:

313–321

Heyne, K. 1982. dalam Jayusman (2014). Styraceae. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Hal 1601 – 1609.

Hillis, D, M, et al. 1996. Molecular Systematics. 2nd

Hollingsworth PM, ForrestLL, SpougeJL, HajibabaeiM, RatnasinghamR. 2009.

A DNA barcode for land plants. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 106: 12794 - 12797.

edition. Sunderland, MA:Sinauer Associates, Inc.

Hollingsworth PM, Graham SW, Little DP. 2011. Choosing and Using a Plant DNA Barcode. PLoS ONE 6(5): e19254.

doi:10.1371/journal.pone.0019254

Jayusman. 2014. Mengenal Pohon Kemenyan (Styrax spp.) Jenis dengan Spektrum Pemanfaatan Luas yang Belum Dioptimalkan. Institut Pertania Bogor Press. Bogor.

(38)

27

27

Kolondam, B.J. 2012. Barcode DNA rbcL dan matK Aglaonema (Aglaonema sp.), Anthurium Gelombang Cinta (Anthurium plowmanii) dan Anggrek Payus Limondok (Phaius tancarvilleae) [tesis]. Program Pascasarjana UNSRAT, Manado.

Komalasari K. 2009. Pengaruh perbandingan volume darah dan lisis buffer serta kecepatan sentrifugasi terhadap kualitas produk DNA pada sapi Friesian holstein (FH) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kress, W.J., K.J. Wurdack, E.A. Zimmer, L.A. Weigt, and D.H. Janzen. 2005.

Use of DNA barcodes to identify flowering plants. Proceedings of the National Academy of Sciences USA, 102: 8369–8374.

Lahaye R, Van der Bank M, Bogarin D, Warner J, Pupulin F, Gigot G, Maurin O, Duthoit S, Barraclough TG, Savolainen V. 2008. DNA barcoding the floras of biodiversity hotspots. Proc. Nat. Acad. Sci., 105(8): 2923-2928 Rajagukguk, K. 2009. Analisis Faktor Penyebab penurunan Intensitas Pengelolaan

Hutan Kemenyan, Studi Kasus: Hutan Kemenyan di Desa Tangga Batu Barat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Tobasa. Unversitas Sumatera Utara Press. Medan.

Rangkuti AB. 2016. Aplikasi DNA Barcode untuk identifikasi jenis meranti dan rotan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soltis, P. S., D. E. Soltis, and J. J. Doyle. 1998. Molecular Systematics of Plants.

International Thomson Publishing, New York.

Steenis, V. (1953). dalam Jayusman (2014). Styracaceae. Flora Malesiana Seri. I Vol.42.

Sugita, M., K. Shinozaki, and M. Sugiura. 1985. Tobacco Chloroplast tRNALys(UUU) Gene Contains a 2,5-kilobase-pair Intron. Proceeding of the National Academy of Sciences. 82: 3557-3561.

Thompson JD, Higgins DG, Gibson TJ. 1994. CLUSTAL W: improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighting, position-specific gap penalties and weight matrix choice.

Nucleic Acids Res 22:4673-4680

Triwibowo, Y. 2008. Biologi Molekuler. Erlangga, Jakarta.

Virgilio M, Jordaens K, Breman F, et al. 2012. Turning DNA barcodes into an alternative tool for identification: African fruit flies as a model (Poster).

Consortium for the Barcode of Life (CBOL).

Xue CY, Li DZ .2011. Use of dna barcode sensu lato to identify traditional Tibetan medicinal plant Gentianopsis paludosa (Gentianaceae). J. Sys.E vol., 49 (3): 267-270

Yu J, Xue JH, Zhou SL. 2011. New universal matK primers for DNA barcoding angiosperms.Journal of Systematics and Evolution 49:176-181.

Referensi

Dokumen terkait

Artinya adalah semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki remaja, maka akan semakin rendah perilaku cybersex yang terjadi pada remaja yang menggunakan internet di

The Rainforest Alliance works to conserve biodiversity and ensure sustainable livelihoods by transforming land-use practices, business practices and consumer behavior. The

Hasil penelitian menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari bimbingan karier melalui pelatihan perencanaan studi lanjut dengan efikasi diri dalam pengambilan

Dengan adanya lingkungan yang nyaman, aman, budaya kerja yang harmonis dan juga fasilitas dan alat bantu kerja yang baik di dalam organisasi, akan

Menurut Nana Sudjana (2010: 76) metode pembelajaran adalah, “Metode pembelajaran ialah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui besar potensi cadangan karbon pada tegakan pohon, dan nilai ekonomi cadangan karbon pada tegakan pohon di hutan primer resort

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut rumusan masalah sebagai berikut : “Apakah ada perbedaan hasil belajar siswa menggunakan metode pembelajaran Jigsaw dengan metode

11 Saya selalu meminta siswa untuk memberikan masukan tentang metode pembelajaran seperti apa yang akan digunakan untuk pembelajaran selanjutnya. Perubahan Energi Dalam Diri