• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREDIKSI DAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN USAHA TANI PEGUNUNGAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREDIKSI DAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN USAHA TANI PEGUNUNGAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PREDIKSI DAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN USAHA TANI PEGUNUNGAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH

Husein Suganda dan Neneng L. Nurida

Peneliti Badan Litbang Pertanian Pada Balai Penelitian Tanah

ABSTRAK

Usaha tani di lahan kering berlereng tanpa menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah merupakan penyebab utama terjadinya penurunan kualitas lahan.

Curah hujan cukup tinggi di Kledung sekitar 2.738 mm/tahun, ditambah lahan usaha tani miring (> 15%) mempercepat proses terjadinya erosi. Tindakan mengurangi laju erosi perlu dilakukan agar pertanian di daerah ini berkelanjutan. Teknologi konservasi yang tepat diterapkan di daerah ini, perlu memperhatikan sifat-sifat tanah seperti kedalaman tanah, komoditas yang diusahakan, curah hujan, serta laju erosi yang terjadi saat ini perlu diketahui. Untuk memprediksi dan menilai tingkat bahaya erosi, digunakan rumus penduga Universal Soil Loss Equation (USLE) yaitu A = RKLSCP. R, faktor erosivitas hujan; K, faktor erodibilitas tanah; LS, faktor panjang dan kemiringan lahan; C, faktor pengelolaan tanaman; P, faktor tindakan konservasi. Didasarkan pada erosi yang terjadi selama periode tertentu (> satu tahun) dan kedalaman solum tanah maka tingkat bahaya erosi dapat ditentukan. Rata-rata kedalaman solum tanah Kec. Kledung < 60 cm. Prediksi Erosi yang terjadi bervariasi tergantung persen kemiringan, di Desa Kledung sekitar 31,9 t/ha dan di Batursari 61,2 t/ha sehingga tingkat bahaya erosi tergolong kedalam kelas berat dan sangat berat. Upaya menurunkan tingkat bahaya erosi tersebut, dapat dilakukan dengan menerapkan teknik konservasi tanah seperti pembuatan gulud searah kontur yang ditanami rumput sebagai penguat, dan memperbaiki pola tanam.

PENDAHULUAN

Wilayah Kab. Temanggung sebagian besar memiliki kondisi topografi yang didominasi berbukit dan bergunung, maka usaha budi daya pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian dalam hal penerapan tindakan konservasi tanah dan air (Balittanah 2004). Sektor pertanian merupakan mata pencaharian dominan (68,46%) di daerah ini. Sedang usaha pertanian tersebut banyak dilakukan di lahan kering berkisar > 75% dari total wilayahnya (87.226 ha).

Kecamatan Kledung merupakan salah satu kecamatan di Kab.

Temanggung terletak diantara dua kaki gunung yang cukup tinggi yaitu gunung Sindoro ( 3.151 m dpl.) dan G. Sumbing ( 3.260 m dpl.) ketinggian tempat daerah ini sekitar >1.400 m dpl. Budi daya pertanian yang diusahakan di daerah ini yaitu pada lahan kering sekitar 92,3% dari total luas lahan untuk pertanian di kecamatan ini, sedang komoditas utamanya adalah tembakau (BPS 2006).

Usaha tani di lahan kering terutama pada lahan miring jika tanpa

penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air adalah paling rawan dalam

(2)

tingkat bahaya erosi. Apalagi ditunjang di daerah ini mempunyai curah hujan rata-rata tahunan berkisar 2.300–3.100 mm dengan bulan basah (> 200 mm/bulan) berlangsung sampai 5 bulan dalam setahun (Balittanah 2004), sehingga peluang terjadinya erosi pada musim hujan cukup besar. Akibatnya luas lahan-lahan pertanian yang terdegradasi makin luas. Suwardjo dan Neneng (1994) melaporkan bahwa di Indonesia terdapat 57 juta ha lahan kering untuk pertanian, sekitar 32,15% sudah terdegradasi. Hidayat dan Mulyani (2005) menyebutkan potensi lahan kering untuk pertanian saat ini sekitar 78,5 juta ha, sehingga dikhawatirkan luas lahan terdegradasipun makin meningkat. Lahan terdegradasi ditandai antara lain: kesuburan, dan produktivitas tanah menurun.

Akibat degradasi lahan selain dapat menurunkan pendapatan petani juga dapat meningkatkan kemiskinan dan menambah jumlah desa-desa tertinggal.

Sudirman et al. (1995), melaporkan hasil penelitiannya di Pacitan, Jawa Timur bahwa desa-desa yang tertinggal umumnya terdapat pada lahan dengan tingkat bahaya erosi sangat berat. Intensitas dan kinerja masyarakat dalam bidang pertanian dan dengan bertambahnya keluarga petani serta makin terbatasnya lahan-lahan produktif yang mereka miliki menyebabkan petani merambah kawasan hutan yang mempunyai kelerengan curam (> 40%), sehingga akhirnya menambah lahan terdegradasi dan jumlah petani miskin pada desa-desa tertinggal (Balittanah 2004).

Oleh karena itu penerapan teknik konservasi menjadi suatu keharusan pada usaha tani di lahan kering miring, selain untuk mengurangi penambahan lahan terdegradasi juga diharapkan dapat menghambat berkembangnya jumlah desa-desa tertinggal. Sebagai tindak lanjut perencanaan untuk menentukan teknik konservasi yang tepat perlu di dukung data dan informasi bahaya erosi, melalui penghitungan prediksi erosi. Menurut Aburachman et al. (2005) menyatakan bahwa dalam upaya mencari teknologi pencegahan erosi yang bersifat tepat guna untuk lahan pertanian tanaman semusim yang dikelola oleh petani kecil, maka prediksi erosi yang terjadi pada lahan pertanian tersebut akan lebih sesuai, bukan prediksi erosi skala DAS mikro atau sub-DAS.

Tulisan ini bertujuan, secara umum adalah guna mendukung

pelaksanaan kegiatan “penerapan teknik konservasi tanah untuk lahan usaha

tani berbasis sayuran di Temanggung” bagian dari kegiatan oleh P4MI

(Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi TA 2006). Secara khusus, ingin

mengetahui prediksi erosi per tahun dan tingkat bahaya erosi yang terjadi di

daerah ini dengan pola tanam yang ada, menyajikan data dukung sebagai bahan

usulan kepada pihak terkait tentang pentingnya penerapan teknik konservasi

dalam budi daya di lahan kering miring di Kab. Temanggung untuk mengurangi

tingkat bahaya erosi.

(3)

METODOLOGI Lokasi dan waktu

Penghitungan prediksi erosi dilakukan di lokasi kegiatan P4MI pada kegiatan ”konservasi tanah untuk lahan usaha tani berbasis sayuran di Temanggung”, Kec. Kledung, Kab. Temanggung TA 2006, yaitu pada lahan yang belum menerapkan teknik konservasi tanah. Tanah tergolong Andisol pada ketinggian  1.425-1.500 m dpl.

Pengumpulan data

Data curah hujan bulanan merupakan data sekunder yang diambil dari data BPS Temanggung (BPS 2006). Data tanah yang mencakup data beberapa sifat tanah merupakan data primer diambil dari lahan P4MI, dan di analisis di Bogor pada bulan Oktober dan Nopember 2006. Kedalaman solum tanah (lapisan tanah atas dan bawah) tidak termasuk batuan induk ditentukan dengan mengukur pada masing-masing profil tanah pada lubang/bak untuk menampung erosi yang telah dibuat.

Analisis data

Jumlah dugaan erosi yang terjadi selama periode tertentu (satu musim atau satu tahun) digunakan metode pendugaan erosi yang selama ini dikenal dan digunakan secara luas di Indonesia yaitu universal soil loss equation (USLE). Rumus penduga tersebut: A = RKLSP (Wischmeier and Smith 1978). A

= Jumlah tanah hilang maksimum dalam (

t ha-1

tahun

-1

); R = erosivitas hujan; K = faktor erodibilitas tanah; LS = indeks panjang dan kemiringan lahan; C = indeks faktor pengelolaan tanaman; P = indeks faktor tindakan konservasi tanah. Untuk menilai erosi yang dapat diabaikan berdasar tanah dan substratanya mengikuti kelas penilaian laju erosi yang dibolehkan (Thompson,1957) dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan untuk menilai tingkat bahaya erosi digunakan kelas tingkat bahaya erosi (Tabel 2) (Ditjen RRL-Dephut, 1986).

i) Erosivitas hujan (R)

Erosivitas hujan adalah kemampuan hujan untuk menyebabkan erosi.

Untuk menghitung nilai R digunakan rumus yang dikembangkan oleh Bols (1978), sebagai berikut: R

m

= 2.21 (Rain)

m1,36

, dimana R

m

= erosivitas hujan bulanan dan (Rain)

m

= curah hujan bulanan (cm).

ii) Erodibilitas tanah (K)

Erodibilitas tanah (K) atau kepekaan erosi tanah adalah kemampuan

tanah dapat tererosi (Hudson, 1971). Erodibilitas adalah jumlah tanah tererosi

(t/ha) per unit indeks erosivitas hujan pada sebidang lahan dengan panjang

(4)

lereng 22,1 m dan kemiringan lahan 9%, selalu dalam keadaan terolah tanpa tanaman dan tanpa tindakan konservasi tanah paling sedikit 2 tahun. Faktor erodibilitas diperoleh dengan menggunakan nomograf (Wischmeier et al 1971) yaitu merupakan fungsi dari kadar debu, pasir, bahan organik tanah serta struktur dan permeabilitas tanah. Oleh karena itu harus tersedia data: tekstur tanah meliputi persentase pasir kasar, debu, pasir sangat halus (dapat diduga sepertiga dari % pasir), persentase bahan organik (dihitung dengan % C x 1,724), struktur tanah dan permeabilitas tanah.

iii). Faktor panjang dan kemiringan lahan (LS)

Faktor panjang lereng dan kemiringan lahan (LS) dihitung dengan rumus Morgan (1979) sebagai berikut: LS = (√L/100) (1,38 + 0,965 S + 0,138 S

2

), dimana LS = faktor lereng; L = panjang lereng (m); dan S = persen kemiringan lahan. Nilai panjang lereng yang digunakan untuk mendapatkan nilai faktor L = 1 adalah 22 m (Wischmeier and Smith, 1978). Kemiringan lahan di Desa Batursari diperkirakan antara 15-35% dan > 50% dengan panjang lereng masing-masing + 60 m dan ± 50 m. Sedangkan di Kledung kemiringannya 15–35% dan 35–50%

dengan panjang lereng ±100 m dan ± 50 m.

iv). Faktor pengelolaan tanaman (C)

Indeks pengelolaan tanaman dihitung dengan mempertimbangkan sifat perlindungan tanaman terhadap erosivitas hujan, dari mulai pengolahan tanah, sampai panen dan bahkan hingga pertanaman berikutnya. Penyebaran hujan selama satu tahun pun perlu mendapat perhatian. Dengan tidak mengurangi dasar ketelitian indeks faktor C di dekati dengan menggunakan nilai faktor C, dengan pertanaman tunggal dan dengan berbagai pengelolaan tanaman yang dikemukakan oleh Abdurachman et al 1981 dan Hammer 1981.

v). Faktor tindakan konservasi (P)

Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah yaitu nisbah antara

besarnya erosi dari tanah yang diberi tindakan konservasi khusus seperti

pengolahan tanah menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap

besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan identik (Arsyad

1989). Erosi yang diperhitungkan dalam tulisan ini adalah pada lahan yang belum

ada tindakan konservasi tanah untuk Desa Batursari, dan lahan dengan tindakan

konservasi belum sempurna yaitu guludan memotong lereng tetapi jarak antar

guludan terlalu jauh (> 7 m), serta rumput penguat guludan belum ditanam dengan

baik.

(5)

Tabel 1. Penilaian laju erosi yang dibolehkan pada keadaan tanah tertentu

Sifat tanah dan substrata Erosi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Tanah dangkal di atas batuan Tanah dalam di atas batuan

Tanah yang lapisan bawahnya (subsoil) padat terletak di atas substrata yang tidak terkonsolidasi

Tanah dengan lapisan bawah berpermeabilitas lambat di atas substrata yang tidak terkonsolidasi

Tanah dengan lapisan bawah agak permeabel di atas substrata yang tidak terkonsolidasi

Tanah dengan lapisan bawah permeabel di atas substrata tidak terkonsolidasi

t ha-1tahun-1

1,12 2,24 4,48

8,97

11,21

13,45

Sumber: Thompson, 1957

Tabel 2. Kelas Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Erosi Klas Erosi

I II III IV V

Solum tanah (cm) Erosi t ha-1tahun-1

< 15 15 – 60 60 – 180 180 - 480 > 480 Dalam

> 90

SR O

R I

S II

B III

SB IV Sedang

60 – 90

R I

S II

B III

SB IV

SB IV Dangkal

30 – 60

S II

B III

SB IV

SB IV

SB IV Sangat dangkal

< 30

B III

SB IV

SB IV

SB IV

SB IV

Keterangan: O – SR = sangat ringan; I – R = ringan; II – S = sedang; III – B = berat; IV – SB = sangat berat (Sumber : Ditjen RRL, 1986).

HASIL DAN PEMBAHASAN Erosivitas hujan (R)

Berdasarkan distribusi rata-rata hujan bulanan (1987-2002), erosi dapat terjadi sepanjang tahun, namun meningkat dari Nopember sampai April tahun berikutnya. Berdasarkan perhitungan dengan rumus R (Bols 1978), diperoleh nilai erosivitas hujan untuk kedua lokasi yang berdekatan tersebut (Batursari dan Kledung) yaitu 3558. Nilai ini termasuk dalam kisaran yang ada dalam peta the Iso- Erodent Map of Java and Madura (Bols 1978) yaitu antara nilai 3.000 - 4.000.

Erodibilitas tanah (K)

Dalam menghitung faktor erodibilitas tanah (K) desa Batursari dan

Kledung ini digunakan nomograf (Wischmeier et al 1971). Data sifat-sifat tanah

yang digunakan untuk menentukan faktor erodibilitas tanah disajikan pada Tabel

(6)

3. Dengan menggunakan nomograf (Gambar 1) menunjukkan bahwa K untuk Batursari dan Kledung tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing 0,21 dan 0,22.

Gambar 1. Curah hujan rata-rata bulanan Kec. Kledung (1987 – 2002)

400 414

163 141

92 76 57

93 215

336 455

295

0 100 200 300 400 500

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des (bulan)

(mm)

Gambar 2. Nomograph kepekaan tanah untuk menghitung nilai K

(7)

Tabel 3. Rata-rata beberapa sifat tanah di Batursari dan Kledung

Sifat tanah Batursari Kledung

Tekstur

Pasir kasar (%) Pasir sangat halus (%) Debu (%) Struktur tanah

C-Organik (%)

Bahan organik Wakley&Black (%) Permeabilitas tanah (cm/jam)

Ketebalan solum tanah (cm)

Lempung liat berpasir 34

17 24 Granular halus

(Nilai: 2) 2,46 4,2

12,67 Kelas sedang

(Nilai : 3) 30 – 50

Lempung berpasir 45 22 22 Granular halus

(Nilai: 2) 2,96 5,1

14,19 Kelas sedang-cepat

(Nilai : 2) 30 – 50

Faktor panjang dan kemiringan lahan (LS)

Kemiringan lahan dan panjang lereng untuk dua lokasi (Batursari dan Kledung) diukur dengan alat sederhana di lapangan disajikan pada Tabel 4. Hasil pengukuran masing-masing panjang dan kecuraman lereng tergolong pada kelas kemiringan lahan yang berbeda. Data tersebut digunakan untuk menghitung faktor panjang dan kemiringan lahan atau indeks LS. Hasil perhitungan diperoleh faktor LS disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kemiringan, panjang lereng, dan indeks LS

Lokasi Kemiringan lahan

(%)

Panjang lereng (m)

LS

Batursari

Kledung

15 - 35

> 50

15 - 35 35 - 50

60 50

100 50

0,126 0,134

0,163 0,128

Faktor pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi tanah (P)

Pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi di kedua lokasi tersebut

diperoleh dari informasi petani setempat dan secara visual di lapangan pada saat

kunjungan lapangan. Data tersebut digunakan untuk menentukan indeks

pengelolaan (C) tanaman dan konservasi tanah (P). Mengacu pada nilai faktor C

dan P yang dikemukakan Abdurachman et al. (1981) dan Hammer et al (1978)

diperoleh indeks C dan P untuk masing-masing lokasi seperti tertera pada Tabel

5.

(8)

Tabel 5. Pengelolaan tanaman, tindakan konservasi tanah, dan indeks C dan P

Lokasi Pengelolaan tanaman (C) Indeks

Batursari

Kledung

Petani umumnya menanam tembakau

Petani umumnya menanam tembakau

0,7

0,7

Tindakan konservasi tanah (P) Batursari

Kledung

Belum ada tindakan konservasi tanah yang permanen, hanya ada penanaman searah kontur Sudah ada tindakan konservasi/teras tradisional (jarak guludan memotong lereng masih terlalu jauh)

0,9

0,4

Erosi dan tingkat bahaya erosi

Berdasarkan hasil perhitungan, prediksi erosi yang tertinggi terjadi di Batursari (> 60 t ha

-1

tahun

-1

) tergolong pada tingkat bahaya erosi sangat berat.

Hal ini disebabkan antara lain faktor tindakan konservasi belum ada, selain itu kemiringan lahan yang digunakan cukup curam yaitu > 50%. Lain halnya di Kledung justru pada lereng antara 15–35 masih menimbulkan erosi yang tinggi (>

30 t ha

-1

tahun

-1

) dan tergolong tingkat bahaya erosi berat, ini diakibatkan antara lain kemiringan lahan dan panjang lereng yang terlalu panjang (> 50 m). Dengan tindakan konservasi dan memperbaiki pola tanam, misalnya dengan pergiliran tanaman dengan komoditas sayuran diharapkan dapat menurunkan laju erosi.

Sebagai perbandingan pada hasil penelitian erosi sistem petak kecil di lahan sayuran desa Batulawang, Cipanas, Cianjur, erosi yang terjadi pada pertanaman kubis dapat mencapai < 27,0

t ha-1

(Suganda et al., 1998).

Jika mengacu pada jumlah erosi yang masih diperkenankan untuk tanah yang lapisan bawahnya (subsoil) padat terletak di atas substrata tidak terkonsolidasi yaitu sekitar 4,48

t/ha

, maka erosi yang terjadi untuk dua lokasi (di Batursari dan Kledung) tersebut semuanya sudah melampaui batas dan harus diturunkan.

Jumlah erosi maupun tingkat bahaya erosi yang tinggi di daerah ini masih

dapat diupayakan untuk diturunkan yaitu melalui penerapan teknik konservasi

tanah yang tepat, misalnya pembuatan guludan-guludan yang memotong lereng

sehingga panjang lereng yang ada sekarang menjadi pendek. Selain itu pola

tanam perlu diintroduksikan untuk memasukan komoditas lain yang ekonomis

selain tembakau, yaitu perlu di tumpanggilirkan dengan tanaman yang canopinya

cukup baik seperti sayuran, sehingga tanah relatif dapat terlindung dan

berkurang dari percikan hujan.

(9)

Tabel 6. Erosi dan tingkat bahaya erosi (TBE)

Lokasi Kemiringan lahan Prediksi erosi (A) Tingkat bahaya erosi

% t ha-1 tahun-1

Batursari

Kledung

15 - 35

> 50

15 - 35 35 - 50

59,3 63,1

35,7 28,1

Berat Sangat berat

Berat Berat

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Jumlah kehilangan tanah dalam satu tahun akibat erosi di lahan Desa Batursari diprediksikan lebih tinggi dibandingkan di Desa Kledung, yaitu berturut-turut 59,3

t ha-1

sampai 63,1

t ha-1

, dan 28,1

t ha-1

sampai 35,7

t ha-1

. Sejalan dengan itu tingkat bahaya erosi di Batursari tergolong berat sampai sangat berat sedangkan di Kledung tergolong berat.

2. Pengurangan kehilangan tanah akibat erosi di dua desa tersebut dapat dilakukan antara lain, dengan memperpendek panjang bidang olah dan menurunkan persen kemiringan lahan, serta pengelolaan tanah dan tanaman.

3. Erosi maupun tingkat bahaya erosi yang tinggi pada lahan pertanian dapat diturunkan yaitu melalui penerapan teknik konservasi tanah yang tepat misalnya dengan pembuatan guludan memotong lereng pada lahan pertanaman yang ditanami rumput penguat gulud, sehingga panjang lereng yang ada sekarang menjadi lebih pendek. Selain itu dapat juga dikombinasikan dengan menerapkan pola tanam, yaitu dengan mengintroduksikan atau memasukan komoditas lain yang ekonomis serta mempunyai nilai faktor C relatif lebih rendah dibanding tembakau.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman. A., S. Sutono., dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi pengendalian

erosi lahan berlereng. hlm. 101-139 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan

Kering. Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang

Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

(10)

Abdurachman.A., A. Sofíah, dan U. Kurnia. 1981. Pengelolaan Tanah dan Pengelolaan Pertanian dalam Usaha Konservasi Tanah. Paper pada Konggres HITI, 16-19 Maret 1981 di Malang. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. (tidak dipublikasikan).

Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.

Balittanah. 2004. Laporan Akhir. Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zone Agro-Ekologi skala 1:50.000 di Kabupaten Temanggung. Provinsi Jawa Tengah. Bagian Proyek Penelitian Sumber daya Tanah dan Poor Farmers‟ Income Improvement Through Innovation Project. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. (tidak dipublikasikan).

Bols, P.L. 1978. The Iso-erodent Map of Java and Madura. Report Technical Assistance Project. ATA105-Soil Research Institute. Bogor, Indonesia.

BPS. 2006. Temanggung Dalam Angka 2006. Kerjasama Pemerintah Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Temanggung. BPS-Temanggung.

Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Ditjen RRL. Departemen Kehutanan. Jakarta.

H. Suganda, H. Kusnadi, M.S. Djunaedi, dan U. Kurnia. 1998. Pembandingan erosi pendugaan metode USLE dengan erosi hasil pengukuran dalam usaha tani sayuran pada tanah Andisol. hlm. 57-71 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Físika dan Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Hammer, W.I. 1978. Soil Conservation Consultant Report INS/78/006. Technical Note No. 7. Soil Research Institute Bogor. 72 p.

Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2005. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 7–37 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Hudson, N. 1971. Soil Conservation. BT Batsford LTD. London.

Sudirman, H. Suganda, HW. Basuni, dan S. Sukmana. 1995. Penyebaran tingkat

bahaya erosi pada desa-desa tertinggal, di Pacitan, Jawa Timar. hlm 167-

179 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil

Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, serta

Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang

Pertanian, Departemen Pertanian.

(11)

Suwardjo and L.N. Neneng 1994. Land degradation in Indonesia: data collection and analysis. p. 121-136. In The Collection and Analysis of Land Degradation Data. Report of the Expert Consultation of the Asian Network on Problem Soils. Regional Office for Asia and the Pasific. FAO. the United Nations, Bangkok, Thailand 25-29 October. 1993.

Thompson, L.M. 1957. Soil and Soil Fertility. Mc Graw-Hill Book Company Inc.

New York.

Wischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses – A Guide to Conservation Planning. USDA Agric. Handbook. No. 537.

Wischmeier, W.H., C.B. Johnson, and B.V. Cross. 1971. A soil erodibility nomograph for farmland and construction sites. J.Soil and Water Cons.

26: 189-193.

Gambar

Gambar 1. Curah hujan rata-rata bulanan Kec. Kledung (1987 – 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Optimasi Desain dengan Metode Taguchi Metode Taguchi DOE ( Design of Experiment )digunakan untuk mengevaluasi parameter yang berpengaruh dalam mendesaian hybrid plating

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan dengan menggunakan teori-teori yang mendukung, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah pengaruh produk

Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan selama tiga siklus, dan berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat

(3) Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak melaksanakan tindakan preventif untuk mencegah penularan infeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

meninjau dan menyesuaikan tarif retribusi kebersihan yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng Nomor 2 tahun 1995 tentang Retribusi

kejadian masa lalu akan bersfat statis kedepan sehinga sejarah emisi dari masa lalu akan diekstrapolasi.. Penentuan REL pada metode ini bahwa emisi masa lalu dapat digunakan

uc Use Case Manajer HRD Data Kriteria Data Karyawan Kontrak Login Sistem Data Penilaian Kinerja Pimpinan Logout Sistem Cetak Penilaian Kinerja Data User Rekomendasi

Selain itu, dalam Tembang Cianjuran Pangapungan (wanda papantunan) merupakan data empirik yang dapat dianalisis dengan lima pembahasan yaitu; struktur, proses