PREDIKSI DAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN USAHA TANI PEGUNUNGAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH
Husein Suganda dan Neneng L. Nurida
Peneliti Badan Litbang Pertanian Pada Balai Penelitian Tanah
ABSTRAKUsaha tani di lahan kering berlereng tanpa menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah merupakan penyebab utama terjadinya penurunan kualitas lahan.
Curah hujan cukup tinggi di Kledung sekitar 2.738 mm/tahun, ditambah lahan usaha tani miring (> 15%) mempercepat proses terjadinya erosi. Tindakan mengurangi laju erosi perlu dilakukan agar pertanian di daerah ini berkelanjutan. Teknologi konservasi yang tepat diterapkan di daerah ini, perlu memperhatikan sifat-sifat tanah seperti kedalaman tanah, komoditas yang diusahakan, curah hujan, serta laju erosi yang terjadi saat ini perlu diketahui. Untuk memprediksi dan menilai tingkat bahaya erosi, digunakan rumus penduga Universal Soil Loss Equation (USLE) yaitu A = RKLSCP. R, faktor erosivitas hujan; K, faktor erodibilitas tanah; LS, faktor panjang dan kemiringan lahan; C, faktor pengelolaan tanaman; P, faktor tindakan konservasi. Didasarkan pada erosi yang terjadi selama periode tertentu (> satu tahun) dan kedalaman solum tanah maka tingkat bahaya erosi dapat ditentukan. Rata-rata kedalaman solum tanah Kec. Kledung < 60 cm. Prediksi Erosi yang terjadi bervariasi tergantung persen kemiringan, di Desa Kledung sekitar 31,9 t/ha dan di Batursari 61,2 t/ha sehingga tingkat bahaya erosi tergolong kedalam kelas berat dan sangat berat. Upaya menurunkan tingkat bahaya erosi tersebut, dapat dilakukan dengan menerapkan teknik konservasi tanah seperti pembuatan gulud searah kontur yang ditanami rumput sebagai penguat, dan memperbaiki pola tanam.
PENDAHULUAN
Wilayah Kab. Temanggung sebagian besar memiliki kondisi topografi yang didominasi berbukit dan bergunung, maka usaha budi daya pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian dalam hal penerapan tindakan konservasi tanah dan air (Balittanah 2004). Sektor pertanian merupakan mata pencaharian dominan (68,46%) di daerah ini. Sedang usaha pertanian tersebut banyak dilakukan di lahan kering berkisar > 75% dari total wilayahnya (87.226 ha).
Kecamatan Kledung merupakan salah satu kecamatan di Kab.
Temanggung terletak diantara dua kaki gunung yang cukup tinggi yaitu gunung Sindoro ( 3.151 m dpl.) dan G. Sumbing ( 3.260 m dpl.) ketinggian tempat daerah ini sekitar >1.400 m dpl. Budi daya pertanian yang diusahakan di daerah ini yaitu pada lahan kering sekitar 92,3% dari total luas lahan untuk pertanian di kecamatan ini, sedang komoditas utamanya adalah tembakau (BPS 2006).
Usaha tani di lahan kering terutama pada lahan miring jika tanpa
penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air adalah paling rawan dalam
tingkat bahaya erosi. Apalagi ditunjang di daerah ini mempunyai curah hujan rata-rata tahunan berkisar 2.300–3.100 mm dengan bulan basah (> 200 mm/bulan) berlangsung sampai 5 bulan dalam setahun (Balittanah 2004), sehingga peluang terjadinya erosi pada musim hujan cukup besar. Akibatnya luas lahan-lahan pertanian yang terdegradasi makin luas. Suwardjo dan Neneng (1994) melaporkan bahwa di Indonesia terdapat 57 juta ha lahan kering untuk pertanian, sekitar 32,15% sudah terdegradasi. Hidayat dan Mulyani (2005) menyebutkan potensi lahan kering untuk pertanian saat ini sekitar 78,5 juta ha, sehingga dikhawatirkan luas lahan terdegradasipun makin meningkat. Lahan terdegradasi ditandai antara lain: kesuburan, dan produktivitas tanah menurun.
Akibat degradasi lahan selain dapat menurunkan pendapatan petani juga dapat meningkatkan kemiskinan dan menambah jumlah desa-desa tertinggal.
Sudirman et al. (1995), melaporkan hasil penelitiannya di Pacitan, Jawa Timur bahwa desa-desa yang tertinggal umumnya terdapat pada lahan dengan tingkat bahaya erosi sangat berat. Intensitas dan kinerja masyarakat dalam bidang pertanian dan dengan bertambahnya keluarga petani serta makin terbatasnya lahan-lahan produktif yang mereka miliki menyebabkan petani merambah kawasan hutan yang mempunyai kelerengan curam (> 40%), sehingga akhirnya menambah lahan terdegradasi dan jumlah petani miskin pada desa-desa tertinggal (Balittanah 2004).
Oleh karena itu penerapan teknik konservasi menjadi suatu keharusan pada usaha tani di lahan kering miring, selain untuk mengurangi penambahan lahan terdegradasi juga diharapkan dapat menghambat berkembangnya jumlah desa-desa tertinggal. Sebagai tindak lanjut perencanaan untuk menentukan teknik konservasi yang tepat perlu di dukung data dan informasi bahaya erosi, melalui penghitungan prediksi erosi. Menurut Aburachman et al. (2005) menyatakan bahwa dalam upaya mencari teknologi pencegahan erosi yang bersifat tepat guna untuk lahan pertanian tanaman semusim yang dikelola oleh petani kecil, maka prediksi erosi yang terjadi pada lahan pertanian tersebut akan lebih sesuai, bukan prediksi erosi skala DAS mikro atau sub-DAS.
Tulisan ini bertujuan, secara umum adalah guna mendukung
pelaksanaan kegiatan “penerapan teknik konservasi tanah untuk lahan usaha
tani berbasis sayuran di Temanggung” bagian dari kegiatan oleh P4MI
(Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi TA 2006). Secara khusus, ingin
mengetahui prediksi erosi per tahun dan tingkat bahaya erosi yang terjadi di
daerah ini dengan pola tanam yang ada, menyajikan data dukung sebagai bahan
usulan kepada pihak terkait tentang pentingnya penerapan teknik konservasi
dalam budi daya di lahan kering miring di Kab. Temanggung untuk mengurangi
tingkat bahaya erosi.
METODOLOGI Lokasi dan waktu
Penghitungan prediksi erosi dilakukan di lokasi kegiatan P4MI pada kegiatan ”konservasi tanah untuk lahan usaha tani berbasis sayuran di Temanggung”, Kec. Kledung, Kab. Temanggung TA 2006, yaitu pada lahan yang belum menerapkan teknik konservasi tanah. Tanah tergolong Andisol pada ketinggian 1.425-1.500 m dpl.
Pengumpulan data
Data curah hujan bulanan merupakan data sekunder yang diambil dari data BPS Temanggung (BPS 2006). Data tanah yang mencakup data beberapa sifat tanah merupakan data primer diambil dari lahan P4MI, dan di analisis di Bogor pada bulan Oktober dan Nopember 2006. Kedalaman solum tanah (lapisan tanah atas dan bawah) tidak termasuk batuan induk ditentukan dengan mengukur pada masing-masing profil tanah pada lubang/bak untuk menampung erosi yang telah dibuat.
Analisis data
Jumlah dugaan erosi yang terjadi selama periode tertentu (satu musim atau satu tahun) digunakan metode pendugaan erosi yang selama ini dikenal dan digunakan secara luas di Indonesia yaitu universal soil loss equation (USLE). Rumus penduga tersebut: A = RKLSP (Wischmeier and Smith 1978). A
= Jumlah tanah hilang maksimum dalam (
t ha-1tahun
-1); R = erosivitas hujan; K = faktor erodibilitas tanah; LS = indeks panjang dan kemiringan lahan; C = indeks faktor pengelolaan tanaman; P = indeks faktor tindakan konservasi tanah. Untuk menilai erosi yang dapat diabaikan berdasar tanah dan substratanya mengikuti kelas penilaian laju erosi yang dibolehkan (Thompson,1957) dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan untuk menilai tingkat bahaya erosi digunakan kelas tingkat bahaya erosi (Tabel 2) (Ditjen RRL-Dephut, 1986).
i) Erosivitas hujan (R)
Erosivitas hujan adalah kemampuan hujan untuk menyebabkan erosi.
Untuk menghitung nilai R digunakan rumus yang dikembangkan oleh Bols (1978), sebagai berikut: R
m= 2.21 (Rain)
m1,36, dimana R
m= erosivitas hujan bulanan dan (Rain)
m= curah hujan bulanan (cm).
ii) Erodibilitas tanah (K)
Erodibilitas tanah (K) atau kepekaan erosi tanah adalah kemampuan
tanah dapat tererosi (Hudson, 1971). Erodibilitas adalah jumlah tanah tererosi
(t/ha) per unit indeks erosivitas hujan pada sebidang lahan dengan panjang
lereng 22,1 m dan kemiringan lahan 9%, selalu dalam keadaan terolah tanpa tanaman dan tanpa tindakan konservasi tanah paling sedikit 2 tahun. Faktor erodibilitas diperoleh dengan menggunakan nomograf (Wischmeier et al 1971) yaitu merupakan fungsi dari kadar debu, pasir, bahan organik tanah serta struktur dan permeabilitas tanah. Oleh karena itu harus tersedia data: tekstur tanah meliputi persentase pasir kasar, debu, pasir sangat halus (dapat diduga sepertiga dari % pasir), persentase bahan organik (dihitung dengan % C x 1,724), struktur tanah dan permeabilitas tanah.
iii). Faktor panjang dan kemiringan lahan (LS)
Faktor panjang lereng dan kemiringan lahan (LS) dihitung dengan rumus Morgan (1979) sebagai berikut: LS = (√L/100) (1,38 + 0,965 S + 0,138 S
2), dimana LS = faktor lereng; L = panjang lereng (m); dan S = persen kemiringan lahan. Nilai panjang lereng yang digunakan untuk mendapatkan nilai faktor L = 1 adalah 22 m (Wischmeier and Smith, 1978). Kemiringan lahan di Desa Batursari diperkirakan antara 15-35% dan > 50% dengan panjang lereng masing-masing + 60 m dan ± 50 m. Sedangkan di Kledung kemiringannya 15–35% dan 35–50%
dengan panjang lereng ±100 m dan ± 50 m.
iv). Faktor pengelolaan tanaman (C)
Indeks pengelolaan tanaman dihitung dengan mempertimbangkan sifat perlindungan tanaman terhadap erosivitas hujan, dari mulai pengolahan tanah, sampai panen dan bahkan hingga pertanaman berikutnya. Penyebaran hujan selama satu tahun pun perlu mendapat perhatian. Dengan tidak mengurangi dasar ketelitian indeks faktor C di dekati dengan menggunakan nilai faktor C, dengan pertanaman tunggal dan dengan berbagai pengelolaan tanaman yang dikemukakan oleh Abdurachman et al 1981 dan Hammer 1981.
v). Faktor tindakan konservasi (P)
Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah yaitu nisbah antara
besarnya erosi dari tanah yang diberi tindakan konservasi khusus seperti
pengolahan tanah menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap
besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan identik (Arsyad
1989). Erosi yang diperhitungkan dalam tulisan ini adalah pada lahan yang belum
ada tindakan konservasi tanah untuk Desa Batursari, dan lahan dengan tindakan
konservasi belum sempurna yaitu guludan memotong lereng tetapi jarak antar
guludan terlalu jauh (> 7 m), serta rumput penguat guludan belum ditanam dengan
baik.
Tabel 1. Penilaian laju erosi yang dibolehkan pada keadaan tanah tertentu
Sifat tanah dan substrata Erosi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tanah dangkal di atas batuan Tanah dalam di atas batuan
Tanah yang lapisan bawahnya (subsoil) padat terletak di atas substrata yang tidak terkonsolidasi
Tanah dengan lapisan bawah berpermeabilitas lambat di atas substrata yang tidak terkonsolidasi
Tanah dengan lapisan bawah agak permeabel di atas substrata yang tidak terkonsolidasi
Tanah dengan lapisan bawah permeabel di atas substrata tidak terkonsolidasi
t ha-1tahun-1
1,12 2,24 4,48
8,97
11,21
13,45
Sumber: Thompson, 1957
Tabel 2. Kelas Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Erosi Klas Erosi
I II III IV V
Solum tanah (cm) Erosi t ha-1tahun-1
< 15 15 – 60 60 – 180 180 - 480 > 480 Dalam
> 90
SR O
R I
S II
B III
SB IV Sedang
60 – 90
R I
S II
B III
SB IV
SB IV Dangkal
30 – 60
S II
B III
SB IV
SB IV
SB IV Sangat dangkal
< 30
B III
SB IV
SB IV
SB IV
SB IV
Keterangan: O – SR = sangat ringan; I – R = ringan; II – S = sedang; III – B = berat; IV – SB = sangat berat (Sumber : Ditjen RRL, 1986).
HASIL DAN PEMBAHASAN Erosivitas hujan (R)
Berdasarkan distribusi rata-rata hujan bulanan (1987-2002), erosi dapat terjadi sepanjang tahun, namun meningkat dari Nopember sampai April tahun berikutnya. Berdasarkan perhitungan dengan rumus R (Bols 1978), diperoleh nilai erosivitas hujan untuk kedua lokasi yang berdekatan tersebut (Batursari dan Kledung) yaitu 3558. Nilai ini termasuk dalam kisaran yang ada dalam peta the Iso- Erodent Map of Java and Madura (Bols 1978) yaitu antara nilai 3.000 - 4.000.
Erodibilitas tanah (K)
Dalam menghitung faktor erodibilitas tanah (K) desa Batursari dan
Kledung ini digunakan nomograf (Wischmeier et al 1971). Data sifat-sifat tanah
yang digunakan untuk menentukan faktor erodibilitas tanah disajikan pada Tabel
3. Dengan menggunakan nomograf (Gambar 1) menunjukkan bahwa K untuk Batursari dan Kledung tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing 0,21 dan 0,22.
Gambar 1. Curah hujan rata-rata bulanan Kec. Kledung (1987 – 2002)
400 414
163 141
92 76 57
93 215
336 455
295
0 100 200 300 400 500
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des (bulan)
(mm)
Gambar 2. Nomograph kepekaan tanah untuk menghitung nilai K
Tabel 3. Rata-rata beberapa sifat tanah di Batursari dan Kledung
Sifat tanah Batursari Kledung
Tekstur
Pasir kasar (%) Pasir sangat halus (%) Debu (%) Struktur tanah
C-Organik (%)
Bahan organik Wakley&Black (%) Permeabilitas tanah (cm/jam)
Ketebalan solum tanah (cm)
Lempung liat berpasir 34
17 24 Granular halus
(Nilai: 2) 2,46 4,2
12,67 Kelas sedang
(Nilai : 3) 30 – 50
Lempung berpasir 45 22 22 Granular halus
(Nilai: 2) 2,96 5,1
14,19 Kelas sedang-cepat
(Nilai : 2) 30 – 50
Faktor panjang dan kemiringan lahan (LS)
Kemiringan lahan dan panjang lereng untuk dua lokasi (Batursari dan Kledung) diukur dengan alat sederhana di lapangan disajikan pada Tabel 4. Hasil pengukuran masing-masing panjang dan kecuraman lereng tergolong pada kelas kemiringan lahan yang berbeda. Data tersebut digunakan untuk menghitung faktor panjang dan kemiringan lahan atau indeks LS. Hasil perhitungan diperoleh faktor LS disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kemiringan, panjang lereng, dan indeks LS
Lokasi Kemiringan lahan
(%)
Panjang lereng (m)
LS
Batursari
Kledung
15 - 35
> 50
15 - 35 35 - 50
60 50
100 50
0,126 0,134
0,163 0,128
Faktor pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi tanah (P)
Pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi di kedua lokasi tersebut
diperoleh dari informasi petani setempat dan secara visual di lapangan pada saat
kunjungan lapangan. Data tersebut digunakan untuk menentukan indeks
pengelolaan (C) tanaman dan konservasi tanah (P). Mengacu pada nilai faktor C
dan P yang dikemukakan Abdurachman et al. (1981) dan Hammer et al (1978)
diperoleh indeks C dan P untuk masing-masing lokasi seperti tertera pada Tabel
5.
Tabel 5. Pengelolaan tanaman, tindakan konservasi tanah, dan indeks C dan P
Lokasi Pengelolaan tanaman (C) Indeks
Batursari
Kledung
Petani umumnya menanam tembakau
Petani umumnya menanam tembakau
0,7
0,7
Tindakan konservasi tanah (P) Batursari
Kledung
Belum ada tindakan konservasi tanah yang permanen, hanya ada penanaman searah kontur Sudah ada tindakan konservasi/teras tradisional (jarak guludan memotong lereng masih terlalu jauh)
0,9
0,4
Erosi dan tingkat bahaya erosi
Berdasarkan hasil perhitungan, prediksi erosi yang tertinggi terjadi di Batursari (> 60 t ha
-1tahun
-1) tergolong pada tingkat bahaya erosi sangat berat.
Hal ini disebabkan antara lain faktor tindakan konservasi belum ada, selain itu kemiringan lahan yang digunakan cukup curam yaitu > 50%. Lain halnya di Kledung justru pada lereng antara 15–35 masih menimbulkan erosi yang tinggi (>
30 t ha
-1tahun
-1) dan tergolong tingkat bahaya erosi berat, ini diakibatkan antara lain kemiringan lahan dan panjang lereng yang terlalu panjang (> 50 m). Dengan tindakan konservasi dan memperbaiki pola tanam, misalnya dengan pergiliran tanaman dengan komoditas sayuran diharapkan dapat menurunkan laju erosi.
Sebagai perbandingan pada hasil penelitian erosi sistem petak kecil di lahan sayuran desa Batulawang, Cipanas, Cianjur, erosi yang terjadi pada pertanaman kubis dapat mencapai < 27,0
t ha-1(Suganda et al., 1998).
Jika mengacu pada jumlah erosi yang masih diperkenankan untuk tanah yang lapisan bawahnya (subsoil) padat terletak di atas substrata tidak terkonsolidasi yaitu sekitar 4,48
t/ha, maka erosi yang terjadi untuk dua lokasi (di Batursari dan Kledung) tersebut semuanya sudah melampaui batas dan harus diturunkan.
Jumlah erosi maupun tingkat bahaya erosi yang tinggi di daerah ini masih
dapat diupayakan untuk diturunkan yaitu melalui penerapan teknik konservasi
tanah yang tepat, misalnya pembuatan guludan-guludan yang memotong lereng
sehingga panjang lereng yang ada sekarang menjadi pendek. Selain itu pola
tanam perlu diintroduksikan untuk memasukan komoditas lain yang ekonomis
selain tembakau, yaitu perlu di tumpanggilirkan dengan tanaman yang canopinya
cukup baik seperti sayuran, sehingga tanah relatif dapat terlindung dan
berkurang dari percikan hujan.
Tabel 6. Erosi dan tingkat bahaya erosi (TBE)
Lokasi Kemiringan lahan Prediksi erosi (A) Tingkat bahaya erosi
% t ha-1 tahun-1
Batursari
Kledung
15 - 35
> 50
15 - 35 35 - 50
59,3 63,1
35,7 28,1
Berat Sangat berat
Berat Berat