• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menilik Kontroversi dibalik Revisi UU Minerba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Menilik Kontroversi dibalik Revisi UU Minerba"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Menilik Kontroversi dibalik Revisi UU Minerba

Pendahuluan

Gelombang aksi besar-besaran pada 24 September 2019 membawa banyak tuntutan terkait dengan pembentukan undang-undang yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia. Salah satu pointnya adalah penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut RUU Minerba).

Dalam perkembangannya, gelombang aksi tersebut berhasil menunda pembahasan RUU Minerba pada akhir tahun 2019 karena masalah masa jabatan DPR RI periode 2014-2019 yang hendak rampung. Namun, pada awal tahun 2020, RUU tersebut kembali dibahas dimana pemerintah dan Komisi VII DPR RI sepakat untuk membuat panitia kerja RUU Minerba pada 13 Februari 2020.1

Hal ini tentu tidak luput dari perhatian publik, setelah RKUHP yang tiba-tiba kembali dibahas di tengah masa pandemik, kini menyusul RUU Minerba yang akan disahkan. Banyak kalangan yang mengkritik niat DPR dan Pemerintah, salah satunya adalah PWYP Indonesia melalui Aryanto Nugroho yang menyayangkan pembahasan RUU Kontroversial selama masa pandemik.2 Selain itu, permasalahan RUU Minerba terdapat pada transparansi yang tak kunjung diberikan pada publik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Merah Johansyah dari JATAM yang mengatakan bahwa pembahasan RUU Minerba di Komisi VII sangat tertutup dan minim partisipasi publik.3

Polemik tersebut berhenti pada 12 Mei 2020 dimana RUU Minerba akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR RI dan resmi menjadi Undang-Undang. Ketua Komisi VII DPR RI menyatakan bahwa pembahasan telah dilakukan secara intensif sepanjang 7 Februari-6 Mei 2020 yang telah melibatkan stakeholders. Namun, pengesahan ini tentu menuai banyak kritik terhadap substansi UU Minerba yang tidak kunjung mengalami perubahan yang sesuai rasa

1 Vincent Fabian Thomas. 2020. Kembali dibahas, Pemerintah dan DPR Sepakat Bentuk Panja RUU Minerba.

Diakses dari https://tirto.id/kembali-dibahas-pemerintah-dpr-sepakat-bentuk-panja-ruu-minerba-eyG7 pada 20 Juli 2020

2 Yurika. 2020. DPR Diminta Tunda Pengesahan RUU Minerba. Diakses darihttps://www.dunia-energi.com/dpr- diminta-tunda-pengesahan-ruu-minerba/ pada 20 Juli 2020

3 Ibid.,

(3)

keadilan rakyat Indonesia.4 Kajian ini akan berfokus pada kilas balik point kontroversial RUU Minerba yang kini telah menjadi UU Minerba.

Catatan Terhadap Proses Pembentukan UU Minerba

Produk Undang-undang merupakan bentuk hukum yang paling tinggi statusnya setelah Undang-undang Dasar. Jika dikomparasikan dengan sistem hukum Belanda, Undang-undang dapat disepadankan dengan wet yang memiliki kedudukan tertinggi dibawah grondwet, atau seperti di Amerika Serikat dengan Act (Legislative Act) dan berada dibawah Constitution sebagai produk hukum, Undang-undang baru mengikat untuk umum sebagai algemene verbidende vioorschiften atau peraturan yang mengikat untuk umum yaitu ketika diundangkan.

Bentuk administrasi pengundangan Undang-undang dilakukan dengan cara menerbitkan naskah Undang-undang dimaksud melalui Lembaran Negara Republik Indonesia (LN-RI).

Sementara itu, untuk naskah penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLN-RI).5 Sederhananya, Undang-undang merupakan hanya salah satu bentuk peraturan yang dibentuk oleh DPR, dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, dan disahkan oleh Presiden dan diundangkan sebagaimana mestinya atas perintah Presiden sehingga menjadi norma hukum yang mengikat untuk umum.

UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya UU P3) menjabarkan bahwa dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan—termasuk undang-undang—meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Jika ditarik lebih jauh, bilamana berbicara mengenai peraturan perundang-undangan—sebagaimana dikatakan oleh Crabbe—maka tidak hanya berbicara mengenai pengaturannya, tetapi juga sampai ke pembentukannya yang harus sesuai dengan asas-asas yang berkaitan dengan materi muatannya.6 Maria Farida Indrati menyatakan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.7

4 Muh. Ahsan Ridhoi. 2020. Deretan Pasal Bermasalah RUU Minerba dan Alasan DPR Tetap Kebut Bahas.

Diakses dari https://katadata.co.id/berita/2020/04/17/deretan-pasal-bermasalah-ruu-minerba-dan-alasan- dpr-tetap-kebut-bahas pada 21 Juli 2020

5 Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press., hlm. 166.

6 VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited., hlm. 4

7 Maria Farida Indrati. 2010. Ilmu Perundang-undangan I. Yogyakarta: Kanisius., hlm. 252

(4)

Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik meliputi asas formal yang mencakup tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ atau lembaga yang tepat, materi muatan yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali. Juga harus meliputi asas material seperti sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum, sesuai dengan prinsip pemerintah berdasarkan konstitusi.8

Oleh karenanya, sebagaimana dikatakan oleh Maria Farida, bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik akan berfungsi sebagai rambu-rambu yang akan menuntun setiap pembentukan peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku, sehingga jika telah selesai nanti, hasil dari pembentukannya tidak cacat secara formil maupun cacat secara materiil.

Hal ini juga berlaku dalam pembahasan RUU Minerba sebelum disahkan menjadi UU yang harus sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam UU P3, meliputi kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.9

Namun, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ketika pembahasan RUU Minerba, banyak kelompok masyarakat yang malah mempertanyakan transparansi atau keterbukaan pembahasan RUU Minerba. Marah Johansyah dari JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) menyatakan bahwa pembahasan RUU Minerba terkesan tertutup dan minim partisipasi publik baik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), dialog-dialog publik, maupun forum resmi lainnya yang dilakukan Panja RUU Minerba dengan mengundang stakeholder, khususnya masyarakat terdampak di sekitar tambang, pemerintah daerah penghasil SDA, akademisi, pemerhati energi, dan organisasi masyarakat sipil. Bahkan Panja RUU Minerba dikatakan telah menyelesaikan pembahasan 938 DIM RUU Minerba dalam sidang-sidang tertutup di kurun waktu yang singkat.10

8 Ibid.,

9 Vide pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011

10 Yurika., loc.cit

(5)

Hal yang serupa disampaikan oleh Lucius Karius yang merupakan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang menilai DPR tertutup saat membahas revisi UU Minerba yang ditunjukan dengan tidak ada informasi terkait proses Revisi UU Minerba yang bisa diakses oleh publik. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa situs DPR tidak menginformasikan proses pembahasan RUU Minerba serta tidak adanya draft RUU Minerba di situs DPR dan Pemerintah.11

Nonet dan Selznick menekankan pentingnya peran masyarakat dalam pembentukan produk hukum harus terlihat pada proses pembentukannya yang partisipatif dengan mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu maupun kelompok masyarakat. Selain itu harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan masyarakat bukan hanya kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.12 Menurut Handoyo, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membuka ruang partisipasi masyarakat, yaitu13

1. Membuka akses informasi seluruh komponen masyarakat tentang proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan

2. Merumuskan aturan main khususnya yang menyangkut transparansi penyusunan dan perumusan rancangan peraturan perundang-undangan

3. Merumuskan secara bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara mengakomodi aspirasi masyarakat dalam pembahasan peraturan perundang-undangan

4. Menyusun kode etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunannya terdiri dari unsur DPR, masyarakat, akademisi, dan media massa

5. Memperluas jaringan kerjasama di kalangan civil society yang selama ini sifatnya ad hoc. Jaringan tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada pembagian tugas dan tanggung jawab memantau proses perumusan kaidah hukum.

11 Kompas. 2020. Strategi DPR dan Pemerintah Sahkan RUU Minerba di Tengah Wabah. Diakses dari

https://nasional.kompas.com/read/2020/05/12/08232201/strategi-dpr-dan-pemerintah-sahkan-ruu-minerba- di-tengah-wabah pada 21 Juli 2020

12 Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang yang Responsif.

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015., hlm. 331

13 Joko Riskiyono. 2015. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015., hlm. 160

(6)

Partisipasi dalam pembentukan undang-undang merupakan jaminan terhadap rakyat agar dapat turut serta dalam proses penyelenggaraan negara dan mengakses kebijakan publik secara bebas dan terbuka. Dalam hal ini, diberlakukan untuk mewujudkan adanya demokrasi partisipatoris yang akan berkaitan dengan penjaminan partisipasi politik rakyat pasca pemilu.14 Selain itu, sebagaimana telah disebutkan bahwa dengan dijaminnya partisipasi masyarakat akan membuat proses pembentukan undang-undang menjadi terbuka dan membuat kesan tidak ada sesuatu yang disembunyikan, sehingga legitimasi dari kebijakan yang diambil pun akan bertambah.15

Adanya catatan terhadap pembentukan undang-undang yang kurang melibatkan partisipasi masyarakat seakan menjadi lagu lama pada setiap pembentukan beberapa undang- undang yang kontroversial. Bila hak partisipasi masyarakat dilanggar, suatu undang-undang dapat dikatakan berlaku namun tidak memenuhi syarat secara formal undang-undang.16 Tentu dengan berbagai catatan terhadap pembentukan UU Minerba yang telah disebutkan oleh JATAM dan Formappi, hal ini tentu menimbulkan dampak terhadap legitimasi UU Minerba itu sendiri yang berkurang karena menimbulkan kesan ada sesuatu yang disembunyikan.

Catatan Terhadap Pasal yang Kontroversial

1. Penghapusan Aturan Terkait Guaranteed Royalty

Terdapat beberapa bentuk sumber pendapatan yang diterima oleh pemerintah yang berasal dari kegiatan pertambangan, diantaranya adalah pajak penghasilan dari perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, pendapatan berupa dividend atau timbal balik investasi dari perusahaan pertambangan yang mana pemerintah memiliki saham di dalamnya ataupun royalti dari setiap bahan galian yang ditambang oleh perusahaan pertambangan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Tentunya pendapatan berupa dividend bergantung pada besaran dividend yang disalurkan oleh perusahaan dan besaran saham yang dimiliki. Sedangkan Royalti bergantung pada aturan terkait dan juga banyaknya mineral atau batubara yang dieksplorasi oleh perusahaan pemegang IUP.

14 Ibid.,

15 Ibid.,

16 Ibid.,

(7)

Dengan disahkanya UU Minerba terbaru, sumber pendapatan dalam bentuk royalti berpotensi sangat berkurang bahkan hilang. Hal ini dikarenakan penghapusan aturan terkait royalti tersebut, yaitu penghapusan Pasal 45 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009. Dalam pasal 45 dijelaskan bahwa :

“Mineral atau batubara yang digali sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 dikenai iuran produksi”

Penghapusan pasal ini sudah sangat jelas merepresentasikan kepentingan dari perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan. Dengan adanya aturan yang mengatur terkait kewajiban perusahaan membayar royalti untuk satuan mineral atau batubara yang dieksplorasi, perusahaan tentu harus mengeluarkan biaya ekstra di luar biaya operasional pertambangan. Namun dengan penghapusan aturan tersebut, perusahaan tidak lagi berkewajiban membayar royalti untuk tiap satuan batubara atau mineral.

Di lain sisi, potensi pendapatan atau penerimaan pemerintah yang berasal dari royalti atas mineral atau batubara akan sangat berkurang bahkan hilang. Mengingat pihak – pihak pemegang IUP yang melakukan kegiatan pertambangan tidak lagi berkewajiban untuk membayar royalti kepada pemerintah.

2. Penghilangan Transparansi dan Kerentanan Eksploitasi Berlebihan

Selain adanya potensi penurunan pendapatan pemerintah dari royalti pertambangan mineral atau bahan tambang, alasan lain kenapa UU minerba harus ditolak adalah penghapusan aturan terkait kewajiban transparansi kegiatan pertambangan dan hasil pertambangan dari pemegang Izin Usaha pertambangan (IUP) kepada pemerintah sebagai pemberi Izin Usaha Pertambangan, yaitu penghapusan pasal 43 dalam UU minerba terbaru. Pasal 43 menjelaskan bahwa :

“(1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) esksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP

(2) Pemegang IUP eksplorasi yang ingin menjual atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan”

Penghapusan aturan terkait kewajiban melapor dari pemegang IUP kepada pemberi IUP - yang sebelumnya diatur pada Pasal 43 Undang – Undang Nomor 4

(8)

Tahun 2009 – secara langsung menggngurkan kewajiban pemegang IUP eksplorasi untuk melaporkan kegiatan pertambanganya dan hasil yang diperoleh dari kegiatan pertambangan. Dengan pengguguran kewajiban melapor ini, secara langsung akan memperlemah pengawasan pemerintah terhadap jalanya kegiatan pertambangan.

Konsekuensi logis yang muncul adalah keadaan ini memberikan ruang kepada para pemegang IUP melakukan eksplorasi secara berlebihan yang justru mengarah pada eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan.

3. Reduksi Semangat Desentralisasi

Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan ruh dari desentralisasi. Secara umum, aturan dan prinsip – prinsip terkait desentralisasi diatur dan dijelaskan didalam UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang selanjutnya diperbarui melalui UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah yang terakhir diubah dengan UU No 9 Tahun 2015.

Dalam hal pertambangan, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara tegas telah diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 4 ayat (2) UU No 4 Tahun 2009 menjelaskan bahwa :

“Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah”

Namun, Pasal 4 ayat (2) UU No 3 tahun 2020 yang merupakan perubahan atas Pasal 4 ayat (2) UU No 4 Tahun 2009 justru mengembalikan penyelenggaran atas kewenangan tersebut kepada pemerintah pusat. Pasal 4 ayat (2) yang diperbarui menjelaskan bahwa :

“Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”

Selanjutnya, ketentuan – ketentuan pelaksanaan penguasaan ini diatur dalam pasal 4 ayat (3) UU No 3 Tahun 2020 yang berbunyi :

“Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengeloiaan, dan pengawasan.”

(9)

Dampak atas perubahan Pasal 4 ayat (2) UU No 4 Tahun 2009 secara langsung adalah pemerintah daerah tidak lagi memiliki hak untuk melaksanakan kewenangan di bidang mineral dan batubara, yang mana hak ini akan tersentralisasi di pemerintah pusat. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan semangat desentralisasi, khususnya dalam hal yang kaitannya dengan mineral dan batubara.

Padahal, urusan pertambangan mineral dan batu bara menjadi salah satu hal strategis dimana peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan. Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 10/PUU-X/2012 menyatakan

“Bahwa di samping itu, Mahkamah juga perlu mempertimbangkan aspek lain yang juga menjadi semangat konstitusi dalam pembagian urusan pemerintahan, yaitu otonomi yang seluas-luasnya, demokratisasi politik serta pemberdayaan daerah yang diamanatkan oleh konstitusi. Menurut Mahkamah, pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam Minerba berdampak langsung terhadap daerah yang menjadi wilayah usaha pertambangan, baik dampak lingkungan yang berpengaruh pada kualitas sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan masyarakat daerah yang bersangkutan, maupun dampak ekonomi dalam rangka kesejahteraan masyarakat di daerah”

Dengan kekuasaan pengelolaan minerba yang terpusat mengakibatkan terreduksinya semangat otonomi daerah sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi. Apalagi pengelolaan pertambangan minerba sangat memiliki dampak langsung bagi daerah, sehingga sangat aneh apabila daerah sendiri tidak diberikan wewenang untuk mengatur sesuatu yang akan sangat berdampak bagi daerahnya.

4. Masalah Ruang Hidup Rakyat dan Potensi Kriminalisasi Akibat Mempertahankan Ruang Hidup

Dalam revisi UU Minerba menambahkan definisi baru terkait Wilayah Hukum Pertambangan (WHP) yang didefinisikan sebagai seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landasan kontinen. Penambahan definisi ini pada akhirnya berkaitan dengan ruang lingkup penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Namun, ICEL sendiri memberikan catatan terkait WHP akan sangat memiliki dampak dalam hubungannya dengan konsep tata ruang. WHP dalam Revisi UU

(10)

Minerba tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana posisi dan penetapan WHP di dalam konsep tata ruang nasional. Padahal, hal ini menjadi penting karena penataan ruang dan kebijakan penggunaan ruang yang memiliki peran krusial dalam mengelola trade off antara pemanfaatan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan manfaat sosial demi tercapainya pembangunan berkelanjutan.17

Kebijakan penggunaan ruang akan sangat berkaitan dengan ruang hidup masyarakat. Apalagi bila ditilik lebih lanjut, pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan merupakan salah sektor “penyumbang” terjadinya konflik agraria.

Selama tahun 2018, Konsorsium Pembaruan Agraria dalam laporannya yang berjudul

“Catatan Akhir Tahun 2018 : Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik”

mencatat konflik agraria terjadi sedikitnya 410 kejadian, dimana perkebunan menjadi sektor “penyumbang” terbesar konflik agraria sebanyak 144 kasus (35%), sektor properti menyumbang 137 kasus (33%), sektor pertambangan sebanyak 29 kasus (7%), dan sisanya berasal dari sektor pertanian, sektor infrastrukur serta sektor pesisir/kelautan.18

Dengan penambahan makna terkait wilayah hukum pertambangan (WHP), kejadian – kejadian terkait alih fungsi lahan hingga perampasan lahan sangat berpotensi semakin membesar dengan dalih untuk kepentingan pertambangan.

Di sisi lain, potensi kriminalisasi terkait dengan konflik agraria akibat perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 juga semakin tinggi. Pasal 162 UU No 3 Tahun 2020 mengatur terkait pemidanaan pihak – pihak yang dianggap menghalang – halangi kegiatan pertambangan akan sangat rawan digunakan untuk mengkriminalisasi pihak – pihak tertentu, terutama saat terjadinya sengketa lahan.

Masih dari catatan akhir tahun 2018 Konsorsium Pembaruan Agraria menjelaskan bahwa tingginya angka konflik agraria tersebut karena masih banyak terjadi tumpang tindih hak atas tanah dari warga dengan perusahaan swasta ataupun

17 ICEL. 2020. Beberapa Kritik Hukum Terhadap Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara. Diakses dari https://icel.or.id/wp-content/uploads/Seri-Analisis-ICEL-Minerba.rev1_-1.pdf pada 24 Juli 2020

18 Konsorsium Pembaruan Agraria. 2019. Catatan Akhir Tahun 2018 : Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik. Diakses dari

http://kpa.or.id/publikasi/baca/laporan/30/Catahu_2018_Masa_Depan_Reforma_Agraria_Melampaui_Tahun _Politik/ pada 24 Juli 2020

(11)

perusahaan milik negara, juga akibat pemberian izin baru atas lahan yang justru melanggar hak dari warga. Dengan merujuk pasal 162, maka terdapat potensi paradoks dari konflik agraria, dengan konteks konflik agraria terjadi saat kedua belah pihak yang mengklaim dirinya memiliki hak atas sebuah lahan saling berkonfrontasi untuk membela hak dengan dasar argumenya masing – masing, alih – alih kejadian – kejadian konflik agraria menurun karena perbaikan tata ruang, perbaikan perizinan dan perbaikan – perbaikan lainya yang bersifat sistemik, justru konflik agraria menghilang karena masyarakat yang mencoba membela haknya dapat dengan cepat dikriminalisasi, dengan dalih mengganggu kegiatan pertambangan seperti yang dijelaskan pada pasal 162. Ataupun lebih lanjut, masyarakat justru tidak lagi berani untuk membela hak – hak atas tanah dan ruang hidupnya yang terdegradasi akibat adanya kegiatan pertambangan karena adanya pasal 162 dalam UU No 3 Tahun 2020 ataupun kejadian – kejadian kriminalisasi akibat pasal 162 tersebut. Pada akhirnya, perusahaan pertambangan kembalilah yang akan sangat diuntungkan dengan adanya pasal tersebut.

5. Terkait Perizinan

Isu terkait perizinan juga merupakan salah satu aspek yang menjadi alasan kenapa perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 sama sekali tidak mencerminkan kepentingan masyarakat, namun semata – mata hanya mengakomodir kepentingan dari perusahaan pertambangan pemegang IUP. Dalam pasal 169A dijelaskan bahwa :

“KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak /Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan:

a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.”

Dengan adanya Pasal 169A, khususnya pasal 1, perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B)

(12)

memperoleh penjaminan untuk menerima perpanjangan kontrak sebanyak dua kali dengan masing – masing kontrak memiliki jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Yang menjadi masalah ketika sebuah perusahaan pemegang KK ataupun PKP2B mendapatkan penjaminan perpanjangan kontrak - yang mana penjaminan ini diatur sebanyak 2 (dua) kali – adalah hilangnya proses lelang terkait dengan KK ataupun PKP2B. Dalam proses lelang, seharusnya pemerintah dapat melakukan evaluasi terhadap perusahaan pemegang KK ataupun PKP2B berkenaan dengan kepatuhan perusahaan tersebut terhadap kontrak, kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku, hingga mengevaluasi bagaimana kinerja lingkungan dari pemegang KK ataupun PKP2B. Dengan penjaminan perpanjangan kontrak ini, tentu lelang dan ruang untuk melakukan evaluasi ini sama sekali hilang.

Penutup

Pengesahan revisi UU Minerba yang memiliki banyak masalah baik dalam taraf proses pembentukan dan substansi tentu menambah catatan hitam dalam sejarah legislasi di Indonesia.

Bagaimana tidak, DPR dan Pemerintah seharusnya menjadi lembaga yang mengedepankan akuntabilitas dalam proses pembentukan UU. Hal ini dikarenakan UU merupakan salah satu instrumen hukum yang akan membebani hak dan kewajiban rakyat, sehingga sudah seyogyanya pembentukan UU harus mengikuti kaidah yang baik dan benar.

Dari beberapa analisis resiko yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengesahan UU No 3 Tahun 2020 tidak lebih adalah sebatas untuk mengakomodasi kepentingan dari para perusahaan tambang, ataupun para pemilik modal yang sedang atau akan melakukan kegiatan ekonomi di bidang pertambangan. Jika dalih yang diajukan adalah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan, penghapusan pasal 45 terkait dengan royalti dari mineral atau batubara justru menghilangkan potensi pendapatan negara yang berasal dari royalti. Di lain sisi, perusahaan tambang tidak lagi mengeluarkan biaya ekstra sebagai kompensasi atas royalti yang harus dibayarkan untuk setiap satuan mineral atau batubara yang dieksplorasi.

Penghilangan kewajiban transparansi kegiatan pertambangan dan juga hasil pertambangan juga tentunya sangat menguntungkan para pengusaha tambang, dimana dengan hilangnya kewajiban transparansi ini, pengawasan dari pemerintah akan berkurang bahkan

(13)

hilang. Selain itu potensi semakin tingginya konflik agraria karena kriminalisasi berlebihan dalam pasal 162 revisi UU Minerba juga patut menjadi catatan. Apalagi permasalahan penyelesaiannya terkadang membuat rakyat terpaksa kalah karena relasi kuasa yang tak berimbang. Terakhir, permasalahan perpanjangan perizinan secara otomatis tanpa proses lelang terlebih dahulu juga akan bermasalah karena pemerintah sendiri akan kesulitan untuk melakukan evaluasi kontrak.

Hal-hal itulah yang kemudian menjadi catatan terhadap revisi UU Minerba yang kini telah berlaku di Indonesia. Catatan dalam proses pembentukan dan substansinya menjadi alasan kuat dari penolakan terhadap revisi UU Minerba. Hal ini yang kemudian harus menjadi perhatian bagi segenap masyarakat agar tidak lagi kecolongan pengesahan RUU lain yang masih bermasalah.

Kontributor :

 Hario Danang Pambudhi (FH 2017)

 Dika Gustiana Irawan (FEB 2018)

(14)

Daftar Pustaka Buku

Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press Maria Farida Indrati. 2010. Ilmu Perundang-undangan I. Yogyakarta

VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited

Karya Tulis

ICEL. 2020. Beberapa Kritik Hukum Terhadap Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara. Diakses dari https://icel.or.id/wp-content/uploads/Seri-Analisis-ICEL- Minerba.rev1_-1.pdf pada 24 Juli 2020

Joko Riskiyono. 2015. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015

Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang yang Responsif. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015

Laporan

Konsorsium Pembaruan Agraria. 2019. Catatan Akhir Tahun 2018 : Masa Depan Reforma

Agraria Melampaui Tahun Politik. Diakses dari

http://kpa.or.id/publikasi/baca/laporan/30/Catahu_2018_Masa_Depan_Reforma_Agraria_Mel ampaui_Tahun_Politik/ pada 24 Juli 2020

Media Daring

Kompas. 2020. Strategi DPR dan Pemerintah Sahkan RUU Minerba di Tengah Wabah.

Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/05/12/08232201/strategi-dpr-dan- pemerintah-sahkan-ruu-minerba-di-tengah-wabah pada 21 Juli 2020

Muh. Ahsan Ridhoi. 2020. Deretan Pasal Bermasalah RUU Minerba dan Alasan DPR Tetap Kebut Bahas. Diakses dari https://katadata.co.id/berita/2020/04/17/deretan-pasal-bermasalah- ruu-minerba-dan-alasan-dpr-tetap-kebut-bahas pada 21 Juli 2020

(15)

Vincent Fabian Thomas. 2020. Kembali dibahas, Pemerintah dan DPR Sepakat Bentuk Panja RUU Minerba. Diakses dari https://tirto.id/kembali-dibahas-pemerintah-dpr-sepakat-bentuk- panja-ruu-minerba-eyG7 pada 20 Juli 2020

Yurika. 2020. DPR Diminta Tunda Pengesahan RUU Minerba. Diakses darihttps://www.dunia-energi.com/dpr-diminta-tunda-pengesahan-ruu-minerba/ pada 20 Juli 2020

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengacu pada asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan Indonesia yang patut tersebut, dapat diharapkan terciptanya perturan perundang-undangan yang baik

Untuk menguji penerbitan Surat Keputusan penetapan tanah terlantar telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerin- tahan

Dengan demikian, ketentuan Pasal 11 UU ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5

d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut, baik secara

Secara logika peraturan perundang-undangan, materi muatan dalam suatu UU dapat dilengkapi oleh peraturan pelaksana di bawahnya.Pasal 12 UU Pembentukan Peraturan

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memperlihatkan bahwa selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bahwa Peraturan Perundang-undangan

Sayangnya, proses yang dijalankan terkesan hanya untuk memberikan dasar hukum penggunaan metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.. Upaya pengaturan metode omnibus

Dokumen ini membahas asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagai pedoman dalam pembentukan norma-norma