• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Kerja pasal 1 ayat 1, yang dimaksud tempat kerja adalah tiap ruangan atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Kerja pasal 1 ayat 1, yang dimaksud tempat kerja adalah tiap ruangan atau"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 5 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Tempat Kerja

Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 1 ayat 1, yang dimaksud tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut. Oleh karena pada tiap tempat kerja terdapat sumber bahaya maka pemerintah mengatur keselamatan kerja baik di darat, di tanah, di permukaan air, di dalam air, maupun di udara yang berada di wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Menurut Undang-undang No.1 tahun 1970 pasal 2 ayat 2 ketentuan tersebut berlaku dalam tempat kerja dimana tempat-tempat tersebut merupakan :

a. Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan, atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan.

(2)

commit to user

b. Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit atau beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.

c. Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan pengairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau dilakukan pekerjaan persiapan.

d. Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan, lapangan kesehatan.

e. Dilakukan usaha pertambangan, dan pengolahan emas, perak, logam atau bijih logam lainnya, batuan-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan.

f. Dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia baik didaratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara.

g. Dikerjakan bongkar muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun atau gudang.

h. Dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air.

i. Dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau di perairan.

(3)

commit to user

j. Dilakukan pekerjaan di bawah tekanan bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting.

k. Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting.

l. Dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lubang.

m. Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.

n. Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah.

o. Dilakukan pemancaran, penyinaran atau penerimaan radio, radar, televisi atau telepon.

p. Dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang menggunakan alat teknis.

q. Dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air.

r. Diputar film, pertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik.

Pekerjaan panas (Hot Work) adalah setiap pekerjaan dengan menggunakan api terbuka atau sumber panas yang menghasilkan nyala api atau menimbulkan percikan bunga api pada material di area kerja panas (Shahab, 1997; Hughes Phil dan Ferrett Ed, 2009; PT. FMC, 2013; PT.

Chevron, 2012)

(4)

commit to user

Dalam upaya melaksanakan kontrol terhadap operasi atau aktivitas kerja yang menggunakan api atau menimbulkan api, perusahaan atau industri menerapkan 29 program ijin kerja panas. Dalam pelaksanaan program ini pihak manajemen harus membuat suatu prosedur/instruksi kerja yang digunakan untuk mengawasi dan memberikan pedoman agar program yang dijalankan sesuai dengan harapan. Jenis dan cakupan ijin kerja panas tergantung dari perusahaan/industri yang menerapkannya, karena tergantung dari ukuran pabrik, fasilitas yang ada, keragaman operasi/aktivitas kerja, dan potensi bahaya yang akan timbul di lokasi kerja dan area sekitarnya (Rijanto, 2010).

Pengelasan yaitu salah satu cara menyambung dua bagian logam secara permanen dengan menggunakan tenaga panas (Suratman 2001).

Pengelasan (welding) adalah salah satu teknik penyambungan logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam penambah dan menghasilkan sambungan yang kontinyu.

Disamping untuk pembuatan, proses las dapat juga dipergunakan untuk reparasi misalnya untuk mengisi lubang-lubang pada coran. Membuat lapisan las pada perkakas, mempertebal bagian-bagian yang sudah aus, dan macam-macam reparasi lainnya.

2. Bahaya

Menurut undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dalam pasal 1 tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan yang

(5)

commit to user

tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dimana terdapat sumber-sumber bahaya, sedangkan yeng termasuk tempat kerja adalah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubugan dengan tempat kerja tersebut.

Hal-hal yang utama pada peristiwa permit to work (PWT) adalah :

a. Identifikasi yang jelas atas siapa yang berwenang pada pekerjaan tertentu (dan ada batasan terhadap wewenangnya) dan siapa yang bertanggung jawab secara khusus untuk menentukan tindakan pencegahan apabila diperlukan.

b. Pelatihan dan instruksi terhadap pengguna permit (izin).

c. Monitoring dan auditing untuk menjamin bahwa sistem kerja direncanakan.

Hot Work Permit System diterapkan untuk menanggulangi bahaya kebakaran dan peledakan yang di sebabkan oleh pekerjaan panas.

Berdasarkan National Fire Protection Assosiation (NFPA) 51B Tahun 2009 upaya pencegahan bahaya kebakaran dan peledakan pada pekerjaan panas perlu diperhatikan beberapa aspek, antara lain :

a. Desain tempat kerja.

b. Keamanan alat.

c. Kompetensi tenaga kerja.

d. Kondisi lingkungan kerja.

(6)

commit to user e. Alat pemadam api.

f. Perijinan kerja.

g. Penanggungjawab pekerjaan.

3. Identifikasi Bahaya

Identifikasi bahaya adalah proses pencarian terhadap semua jenis kegiatan, situsi, produk, dan jasa yang dapat menimbulkan potensi cedera atau sakit (Sucofindo, 1998).

Identifikasi hazard marupakan suatu proses yang dapat dilakukan untuk mengenali seluruh situasi atau kejadang berpotensi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin timbul di tempat kerja. Suatu hazard di tempat kerja yang mungkin nampak jelas dan kelihatan, seperti: sebuah tangki berisi bahan kimia, atau mungkin juga tidak nampak dengan jelas atau tidak kelihatan, seperti: radiasi, gas pencemar di udara.

Menurut Pertamina (1998), kegunaan identifikasi bahaya adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui bahaya-bahaya yang ada.

b. Mengetahui potensi bahaya, baik akibat maupun frekuensi terjadinya.

c. Mengetahui lokasi bahaya.

d. Menunjukkan bahwa bahaya tertentu telah atau belum dilengkapi alat pelindung keselamatan kerja.

e. Menganalisa lebih lanjut.

(7)

commit to user

Menurut Pertamina (1998), keuntungan identifikasi bahaya adalah sebagai berikut:

a. Menentukan sumber penyebab timbulnya bahaya.

b. Menentukan kualifikasi fisik dan mental seseorang atau tenaga kerja yang diberi tugas.

c. Menentukan cara, prosedur, pengoprasian maupun posisi yang berpotensi bahaya dan mencaricara untuk mengatasinya.

d. Menentukan hal-hal atau lingkup yang harus dianalisa lebih lanjut.

e. Untuk tujuan non keselamatan kerja seperti peningkatan mutu dan keandalan.

Menurut SK No.45 DJPPK (2008) Pedoman Rope Access tentang pelaksanaan identifikasi bahaya dan penilaian risiko adalah:

a. Tujuan dilaksanakannya identifikasi bahaya dan penilaian risiko adalah untuk membantu praktisi akses tali dan pengurus menentukan tingkat risiko yang ada dalam suatu pelerjaan.

b. Identifikasi bahaya dan penilaian risiko harus dilaksanakan untuk setiap pekerjaan yang dilakukan.

c. Dokumen tertulis identifikasi bahaya dan penilaian risiko harus tersedia d itempat kerja.

d. Identifikasi bahaya dan penilaian risiko harus dibuat oleh ahli K3 yang kompeten dalam metode akses tali atau teknisi akses tali tingkat 3 dengan berkonsultasi dengan pengurus atau pemilik gedung.

(8)

commit to user

e. Dokumen pernyataan metode kerja atau disusun untuk memberikan penjelasan bagaimana suatu pekerjaan akan dilakukan. Dokumen ini berguna dalam memberikan arahan (briefing), sebagai informasi bagi mitra kerja atau acuan bagi pengawas ketenagakerjaan dalam melakukan pengawasan.

f. Setiap pekerja hanya dapat melakukan pekerjaan dengan akses tali jika memperoleh izin kerja akses tali (rope access work permit).

Identifikasi bahaya dilakukan dengan cara mengenali proses pekerjaan yang terdapat dalam suatu proyek. Identifikasi bahaya bisa dilakukan dengan cara (Departemen Pekerjaan Umum, 2010):

a. Mempelajari Informasi

Informasi yang terdapat dalam spesifikasi pekerjaan, peraturan, standar, teknik, gambar proyek, dokumen kontrak, dan lain- lain. Dengan kemampuan yang dimilikinya, penyediaan jasa bisa dilakukan identifikasi bahaya melalui analisa yang dilakukan terhadap informasi yang terdapat dalam dokumen-dokumen tersebut. Biasanya cara ini dilakukan sebelum dimulainya proyek.

b. Survey

Survey adalah suatu aktivitas dalam pelaksanaan suatu proyek yang dilakukan untuk suatu keperluan yang lebih sempit, misalnya:

1) Survey terhadap faktor-faktor fisika (panas matahari, radiasi ultra violet, tingkat kebisingan yang dihasilkan, besar getaran yang dihasilkan oleh peralatan kerja).

(9)

commit to user

2) Survey terhadap faktor-faktor kimia yang terdapat dalam pelaksanaan proyek.

c. Wawancara

Wawancara dengan ahli-ahli Keselamatan dan Kesehatan kerja bidang pekerjaan konstruksi juga bisa digunakan sebagai cara untuk mengidentifikasi bahaya.

d. Inspeksi

Inspeksi merupakan salah satu pekerjaan dalam program kerja proyek secara keseluruhan. Biasanya, inspeksi dilakukan bersama dengan berjalannya proyek yersebut. Hasil-hasil yang diperoleh dalam melakukan inspeksi bisa dijadikan masukan dalam meng-update identifikasi bahaya. Penyedia jasa disarankan untuk selalu meng-update Identifikasi Bahaya sesuai dengan perkembangan pelaksanaan proyek.

e. Observasi

Observasi adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk menyelidiki suatu kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang telah terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan suatu proyek. Hal ini perlu dilakukan sebagai pembelajaran agar kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. Hasil-hasil yang diperoleh dalam melakukan observasi bisa dijadikan masukan dalam meng-up-date identifikasi bahaya.

(10)

commit to user 4. Kecelakaan Kerja

a. Definisi Kecelakaan Kerja

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1970, kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian, baik korban manusia atau harta benda.

Kecelakaan adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Tak terduga disini, dikarenakan tidak ada unsur kesengajaan, lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan disini dikarenakan kecelakaan itu disertai kerugian material atau penderitaan korban kecelakaan (Suma’mur,1996).

Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki yang sering kali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda atau properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam suatu proses kerja industri atau yang berkaitan dengannya. Unsur-unsur dalam kecelakaan kerja antara lain adalah (Tarwaka, 2008):

1) Tidak diduga semula, oleh karena dibelakang peristiwa kecelakaan tidak terdapat unsur kesengajaan dan perencanaan.

2) Tidak diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan selalu disertai kerugian baik fisik maupun mental.

3) Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang- kurangnya menyebabkan gangguan proses kerja.

(11)

commit to user

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2010), kecelakaan kerja terjadi dan dapat menimbulkan korban jiwa (manusia). Kecelakaan kerja ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:

1) Kecelakaan Kerja Ringan

Bila manusia atau tenaga kerja yang menjadi korban peristiwa kecelakaan kerja, setelah diberi pengobatan seperlunya, selanjutnya bisa langsung bekerja kembali seperti semula (sama dengan kondisi sebelum menjadi korban kecelakaan).

2) Kecelakaan Kerja Sedang

Bila manusia atau tenaga kerja yang menjadi korban peristiwa kecelakaan kerja dalam waktu maksimal 2 x 24 jam setelah diberi pengobatan seperlunya, selanjutnya bisa bekerja kembali seperti semula (sama dengan kondisi sebelumnya menjadi korban kecelakaan kerja).

3) Kecelakaan Kerja Berat

Bila manusi atau tenaga kerja yang menjadi korban peristiwa kecelakaan kerja, tidak bisa kerja kembali seperti semula (sama dengan kondisi sebelum menjadi korban kecelakaan kerja) dalam waktu lebih dari 2 x 24 jam setelah diberi pengobatan seperlunya.

Atau bila manusia atau tenaga kerja yang menjadi korban peristiwa kecelakaan kerja mengalami cacat tubuh seumur hidup.

Menurut Internasional Labour Organization (ILO) (1989), kecelakaan kerja di industri dapat diklasifikasikan menurut jenis

(12)

commit to user

kecelakaan, agen penyebab atau objek kerja, jenis cedera atau luka dan lokasi tubuh yang terkluka. Klasifikasi kecelakaan kerja di industri secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Klasifikasi Menurut Jenis Kecelakaan (1) Terjatuh

(2) Tertimpa tau kejatuhan benda atau objek kerja

(3) Tersandung benda atau objek, terbentur benda, terjepit antara dua benda

(4) Gerakan-gerakan paksa atau peregangan otot berlebih (5) Terpapar atau kontak dengan benda panas atau suhu tinggi (6) Terkena arus listrik

(7) Terpapar kepada atau bahan-bahan berbahaya atau radiasi, dan lai-lain

b) Klasifikasi Menurut Agen Penyebabnya

(1) Mesin-mesin, seperti: mesin penggerak kecuali motor listrik, mesin transmisi, mesin-mesin produksi, mesin- mesin pertambangan, mesin pertanian, dan lain-lain.

(2) Sarana alat angkat dan angkut, seperti forklilt. Alat angkut kereta, alat angkut beroda selain kereta, alat angkut di perairan, alat angkut di udara, dan lain-lain.

(3) Peralatan-peralatan lain seperti: bejana tekan, tanur atau dapur peleburan, instalasi listrik termasuk motor listrik,

(13)

commit to user

alat-alat tangan listrik, perkakas, tangga, perancah, dan lain-lain.

(4) Bahan-bahan berbahaya dan radiasi, seperti: bahan mudah meledak, debu, gas, cairan, bahan kimia, radiasi, dan lain- lain .

(5) Lingkungan kerja, seperti: tekanan panas dan tekanan dingin, intensitas kebisingan tinggi, getaran, ruang dibawah tanah, dan lain-lain.

c) Klasifikasi Menurut Jenis Luka dan Cederanya 1) Patah tulang

2) Keseleo atau dislokasi atau terkilir 3) Kenyerian otot dan kejang

4) Gagar otak dan luka bagian dalam lainnya 5) Amputasi dan enukleasi

6) Luka tergores dan luka luar lainnya 7) Memar dan retak

8) Luka bakar 9) Keracuna akut

10) Aspixia atau sesak nafas 11) Efek terkena arus listrik 12) Efek terkena paparan radiasi

13) Luka pada banyak tempat di bagian tubuh, dan lain-lain d) Klasifikasi Menurut Lokasi Bagian Tubuh yang Terluka

(14)

commit to user

(1) Kepala, leher, badan, lengan, kaki, dan berbagai bagian tubuh.

(2) Luka umum, dan lain-lain.

Kerugian-kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan akibat kerja menurut Suma’mur (1989) adalah:

a) Kerusakan

b) Kekacauan organisasi c) Keluhan dan kesedihan d) Kelainan dan cacat e) Kematian

Bagian mesin, pesawat, alat kerja, bahan, proses, tempat dan lingkungan kerja mungkin rusak oleh kecelakaan. Akibat dari itu, terjadilah kekacauan organisasi sedangkan keluarga dan kawan-kawan sekerja akan bersedih hati. kecelakaan tidak jarang berakibat luka-luka, terjadinya kelainan tubuh dan cacat. Bahkan tidak jarang kecelakaan merenggut nyawa dan berakibat kematian.

Kerugian-kerugian tersebut dapat diukur dengan besarnya biaya yang dikeluarkan bagi terjadinya kecelakaan. Biaya tersebut dibagi menjadi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung adalah biaya pemberian pertolongan pertama bagi kecelakaan, pengobatan, perawatan, biaya rumah sakit, biaya angkutan, upah selama tidak mampu bekerja, kompensasi cacat, dan biaya perbaikan alat-alat mesin serta biaya atas kerusakan bahan-bahan. Biaya tidak langsung

(15)

commit to user

meliputi segala sesuatu yang tidak terlihat pada waktu atau beberapa waktu setelah kecelakaan terjadi. Biaya ini mencakup berhentinya proses produksi dikarenakan pekerja-pekerja lainnya menolong atau tertarik oleh peristiwa kecelakaan itu, biaya yang harus diperhatikan untuk mengganti orang yang sedang menderita karena kecelakaan dengan orang baru yang belum biasa bekerja di tempat itu, dan lain-lain lagi. Atas dasar penelitian-penelitian dinegara-negara industrinya maju perbandingan di antara biaya langsung dan biaya tidak langsung adalah satu banding empat, sedangkan di negara-negara berkembang satu dibanding dua.

Kecelakaan besar dengan kerugian besar biasanya dilaporkan, sedangkan kecelakaan kecil tidak dilaporkan. Padahal biasanya peristiwa kecil adalah 10 kali kejadian kecelakaan besar. Maka dari itu, kecelakaan kecil menyebabkan kerugian yang besar pula, apabila dijumlahkan secara keseluruhan.

Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan cara:

a) Peraturan perundangan yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan mengenai kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi, perawatan, dan pemeliharaan, pengawasan, pengujian, dan cara kerja peralatan industri, tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, superviser media, PPPK, dan pemeriksaan kesehatan.

b) Standarisasi yaitu penerapan standar-standar resmi, setelah resmi atau tidak resmi mengenai misalnya konstruksi yang memenuhi

(16)

commit to user

syarat-syarat keselamatan jenis-jenis peralatan industri tertentu, praktek-praktek keselamatan dan higiene umum, atau alat-alat perlindungan diri.

c) Pengawasan yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan- ketentuan perundang-undangan yang diwajibkan.

d) Penelitian bersifat teknis yaitu meliputi sifat dan ciri-ciri bahan- bahan yang berbahaya, menyelidiki tentang pagar pengaman, menguji alat-alat perlindungan diri, penelitian tentang pencegahan peledakan gas dan debu, atau penelaahan tentang bahan-bahan dan desain paling tepat untuk tambang-tambang pengankat dan peralatan perangkat lainnya.

e) Riset medis yaitu meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis dan patologis faktor-faktor lingkungan dan teknologis, dan keadaan-keadaan fisik yang mengakibatkan kecelakaan.

f) Penelitian psikologis yaitu penyelidikan tentang pola-pola kejiwaan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.

g) Penelitian secara statistik yaitu penelitian untuk menetapkan jenis- jenis kecelakaan yang terjadi banyaknya, mengenai siapa saja, dalam pekerjaan apa, dan apa-apa sebabnya.

h) Pendidikan yang menyangkut pendidikan keselamatan dalam kurikulum teknis, sekolah-sekolah perniagaan atau kursus-kursus pertukangan.

(17)

commit to user

i) Latihan-latihan yaitu latihan praktek bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang baru dalam keselamatan kerja.

j) Penggairahan yaitu penggunaan aneka cara penyuluhan atau pendekatan lain untuk menimbulkan sikap untuk selamat.

k) Asuransi yaitu insentif finansial untuk meningkatkan pencegahan kecelakaan-kecelakaan misalnya dalam bentuk pengurangan premi yang dibayar oleh perusahaan, jika tindakan-tindakan keselamatan sangat baik.

l) Usaha keselamatan pada tingkat perusahaan yang merupakan ukuran utama efektif tidaknya penerapan keselamatan kerja. Pada perusahaanlah, kecelakaan-kecelakaan terjadi sedangkan pola-pola kecelakaan pada suatu perusahaan sangat tergantung pada tingkat kesadaran akan keselamatan kerja oleh semua pihak yang bersangkutan.

Untuk pencegahaan kecelakaan akibat kerja diperlukan kerjasama aneka keahlian dan profesi seperti pembuatan undang-undang, pegawai pemerintahan, ahli-ahli teknik, dokter, ahli ilmu jiwa, ahli statistik, guru-guru dan sudah barang tertentu pengusaha dan buruh (Suma’mur, 1989).

b. Teori-teori kecelakaan kerja 1) Teori Domino

Menurut Heinrich (1980) kejadian sebuah cedera disebabkan oleh bermacam-macam yang terangkai, dimana pada akhir dari

(18)

commit to user

rangkaian itu adalah cedera (loss). Kecelakaan yang menimbulkan cedera disebabkan secara langsung oleh perilaku yang tidak aman dan tau potensi bahaya mekanik atau fisik. Prinsip dasar tersebut kemudian dikenal dengan “Teori Domino”, dimana Heinrich menggambarkan seri rangkaian kerjadinya kecelakaan.

Gambarn 1. Teori Domino Sumber: Heinrich, 1980

Menurut Teori domino (Heinrich) tahun 1980, sebuah peristiwa kecelakaan yang terjadi terlihat seperti barisan domino.

Sebuah domino yang jatuh akan menyebabkan domino yang lain di depannya akan jatuh pula secara cepat. Barisan domino tersebut adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu kecelakaan sampai terjadinya injuri. Setiap faktor yang ada sangat bergantung dari faktor yang mendahuluinya.

Aksioma Heinrich (1980) dari Teori Domino:

(19)

commit to user

a) Injuri disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kecelakaan itu sendiri.

b) Kecelakaan hanya terjadi dari sebuah tindakan yang tidak aman yang dilakukan oleh seseorang dan atau kondisi yang berbahaya.

c) Kebanyakan kecelakaan disebabkan oleh perilaku yang tidak aman.

d) Tindakan yang tidak aman tidak selalu dengan segera menghasilkan kecelakaan.

e) Sebab dari tindakan yang tidak aman dapat dijadikan panduan untuk evaluasi.

f) Kerasnya dari sebuah kcelakaan terjadi oleh perubahan dari kesempatan dan dapat dicegah.

g) Pencegahan kecelakaan terbaik adalah kualitas dan teknis produksi terbaik.

h) Manajemen seharusnya memikul tanggung jawab keselamatan.

i) Penanggung jawab adalah kunci penting dari pencegahaan tersebut.

j) Kecelakaan dapat merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung.

2) Teori Swiss Cheese

Teori ini, Reason (1995) membagi penyebab kelalaian atau kesalahan manusia menjadi 4 tingkatan:

(20)

commit to user a) Tindakan tidak aman (unsafe acts)

b) Pra-kondisi yang dapat menyebabkan tindakan tidak aman (preconditions for unsafe acts)

c) Pengawasan yang tidak aman (unsafe supervision) d) Pengaruh organisasi (organizational influences)

Dalam Swiss Cheese Model, berbagai macam tipe dari kesalahan manusia ini mempresentasikan lubang pada sebuah keju.

Jika keempat keju ini (unsafe act, preconditions for unsafe acts, unsafe supervision, organizational influences) sama-sama mempunyai lubang, maka kecelakaan menjadi tak terhindarkan (Naval Safety Center).

Gambar 2. Teori Swiss Cheese Sumber: James Reason, 1995-1997 3) Human factors Theory

Menurut Geotsch (1996) teori Human factors menyebutkan kecelakaan disebabkan karena kesalahan manusia. Teori ini

(21)

commit to user

dikembangkan oleh Ferrel. Ada tiga faktor yang menyebabkan kesalahan manusia yaitu: overload, inappropriate response dan incompatibility dan inapproriate activities.

a) Overload adalah ketidakseimbangan antara beban kerja dan kapasitas yang dimiliki pekerja dalam melakukan pekerjaan.

Selain beban kerja individu, terdapat juga beban tambahan dari faktor lingkungan (contoh: kebisingan dan gangguan lainnya), faktor internal (contoh: masalah pribadi, strees emosional, rasa cemas, dan lain-lain), serta faktor situasi (misalnya tingkat risiko, instruksi yang tidak jelas, dan lain-lain).

b) Respon yang tidak tepat adalah bagaimana seseorang menghadapi situasi yang dapat mengakibatkan kecelakaan.

Bila seseorang mendeteksi adanya bahaya namun tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya, maka dia telah melakukan respon yang tidak tepat.

c) Aktivitas yang tidak tepat adalah ketidaktahuan seseorang dalam melakukan pekerjaan. Contohnya seseorang yang mengerjakan suatu pekerjaan namun orang tersebut belum terlatih untuk melakukan pekerjaan tersebut.

4) Accident/Incident Model

Teori ini dikembangkan oleh Petersen (1978). Teori ini merupakan pengembangan dari Ferrel’s Human Factor Theory dan Heinrich’s Domino Theory. Human error dapat menjadi penyebab

(22)

commit to user

langsung terjadinya kecelakaan atau dapat menyebabkan kegagalan sistem yang akhirnya juga dapat menyebabkan kecelakaan.

Komponen kegagalan sistem adalah kontribusi yang penting menurut teori Peterson. Pertama, hal ini menunjukkan potensi hubungan penyebab antara keputusan manajemen atau perilaku manajemen dan keselamatan. Kedua, itu membangun peran manajemen dalam mencegah kecelakaan seperti konsep keselamatan dan kesehatan di tempat kerja. Kegagalan itu dapat disebabkan karena manajemen tidak membangun kebijakan keselamatan, tanggung jawab yang berkaitan dengan keselamtan tidak secara jelas ditentukan, prosedur keselamatan seperti standar, inspeksi, pengukuran, investigasi diabaikan, pekerjaan tidak diberikan pelatihan (Geotsch, 1996).

c. Unsafe Action

Menurut Tarwaka (2008), faktor manusia atau yang dikenal dengan tindakan tidak aman (unsafe action) adalah tindakan yang berbahaya dari para tenaga kerja yang mungkin dilatar belakangi oleh berbagai penyebab. Yang dimaksud sebagai penyebab dari tindakan berbahaya tenaga kerja diantaranya sebagai berikut:

1) Kekurangan pengetahuan dan keterampilan (lack of knowledge and skill).

2) Ketidakmampuan untuk bekerja secara normal (inadequate capability).

(23)

commit to user

3) Ketidakfungsian tubuh karena cacat yang tidak nampak (biodilly defect).

4) Kelelahan dan kejenuhan (fatique and boredom).

5) Sikap dan tingkah laku yang tidak aman (unsafe attitude and habits).

6) Kebingungan dan stress (confuse and stress) karena prosedur kerja yang baru dan/belum dipahami.

7) Belum menguasai/belum trampil dengan peralatan mesin-mesin baru (lack of skill).

8) Penurunan konsentrasi (difficult in concerting) dari tenaga kerja saat melakukan pekerjaan.

9) Sikap masa bodoh (ignorance) dari tenaga kerja.

10) Kurang adanya motivasi kerja (improper motivation) dari tenaga kerja.

11) Kurang adanya kepuasan kerja (low job satisfaction).

12) Sikap kecenderungan mencelakai diri sendiri.

Tindakan tidak aman (unsafe action) menyumbagkan 92%

penyebab terhadap terjadinya kecelakaan kerja, sedangkan sisanya 8%

disumbangan dari kondisi tidak aman (unsafe condition).

d. Unsafe Condition

Menurut Henrich (1930) dalam Ramli (2010), yang diungkapkan dalam teori domino menjelaskan bahwa kondisi tidak aman (unsafe condition) ialah kondisi di lingkungan kerja baik alat, material, atau

(24)

commit to user

lingkungan yang tidak aman dan membahayakan. Faktor lingkungan yang berkontribusi mengakibatkan unsafe action yaitu faktor lingkungan fisik, lingkungan kimia, dan lingkungan biologis. Kondisi tidak aman (unsafe condition) menyumbangkan 8% penyebab terhadap terjadinya kecelakaan kerja, sedangkan sisanya 92% disumbangkan dari tindakan tidak aman (unsafe action).

Menurut Anizar (2009), kondisi tidak aman (unsafe condition) disebabkan oleh berbagai hal yang mendukung dalam terjadinya kondisi tidak aman, diantaranya yaitu:

1) Peralatan yang sudah tidak layak pakai.

2) Terdapat api di tempat bahaya.

3) Pengaman gedung yang kurang standar.

4) Terpapar kebisingan.

5) Terpapar radiasi.

6) Pencahayaan dan ventilasi yang kurang dan/atau berlebihan.

7) Kondisi suhu yang membahayakan.

8) Dalam keadaan pengamanan yang berlebihan.

9) Sistem peringatan yang berlebihan.

10) Sifat pekerjaan yang mengandung potensi bahaya.

Tindakan tidak aman (unsafe action) dan kondisi tidak aman (unsafe condition) pada suatu pekerjaan yang telah dijelaskan di atas, merupakan penyumbang pada kejadian kecelakaan kerja. Apabila dalam suatu pekerjaan khususnya pekerjaan panas, tindakan tidak aman

(25)

commit to user

(unsafe action) dan kondisi tidak aman (unsafe condition) tidak diperhatikan maka pekerjaan tersebut meningkatkan potensi terhadap kejadian kebakaran.

5. Hot Work Permit System a. Definisi

Pekerjaan yang melibatkan/menimbulkan api dan percikan bunga api baik berasal dari gesekan atau obor las, perlu dilakukan pelaksanaan kontrol terhadap aktivitas tersebut. Oleh karena itu perusahaan/industri mengadakan suatu program kontrol yaitu, sistem ijin kerja (khususnya ijin kerja panas). ijin kerja panas merupakan ijin kerja untuk pekerja yang menghasilkan api atau menggunakan api, dimana lokasi pekerjaan tersebut berdekatan dengan bahan yang mudah terbakar. Ijin kerja panas dapat berupa sebuah prosedur kerja ataupun instruksi kerja, tergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan. menurut Furness Andrew dan Mucket Martin (2007), dalam sebuah formulir ijin kerja terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1) Lokasi untuk melakukan pekerjaan.

2) Terdapat checklist daftar alat dan peralatan kerja yang akan digunakan.

3) Terdapat checklist alat pelindung diri.

4) Masa berlakunya ijin harus tertera jelas.

5) Mencantumkan metode isolasi yang digunakan di area kerja.

(26)

commit to user

6) Terdapat checklist keadaan penting dan tindakan pencegahan bahan yang terdapat di area kerja.

7) Terdapat kolom untuk mencatat hasil tes gas (gas testing).

8) Terdapat kolom pengesahan dari penerima wewenang dan pemberi wewenang.

Menurut United State of America Chemical Safety Board (CSB) (2010) dan Rijanto (2011), ciri-ciri yang penting dari program ijin kerja panas adalah:

1) Melakukan inspeksi pada area kerja, dan dilihat seberapa dekat dengan bahan mudah terbakar.

2) Terdapat pengawas kebakaran, pengawas kebakaran tetap siaga sampai 30 menit setelah peralatan yang menghasilkan percikan atau nyala api dimatikan.

3) Dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran 4) Dilakukan tes gas (gas testing).

5) Dilakukan koordinasi dengan semua pihak yang terlibat dengan perlindungan kebakaran.

6) Dilakukan isolasi bahan mudah terbakar dari area kerja.

Menurut Furness andrew dan Mucket Martin (2007: 164), dalam formulir ijin kerja panas, minimal harus mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1) Sifat dan lokasi pekerjaan panas untuk dilakukan.

(27)

commit to user

2) Alokasi waktu yang diusulkan untuk memulai pekerjaan dan durasi kerja panas yang akan dilakukan.

3) Terdapat masa berlaku ijin kerja.

4) Pekerja dikontrol langsung melalui monitoring kerja (penyelesaian dan cek pekerjaan).

Menurut National Fire Protection Assosiation (NFPA) 51B tahun 2009 mengenai Standard for Fire Prevention During Welding, Cutting, and Other Hot Work pekerjaan panas memiliki potensi bahaya ledakan atau kebakaran yang akibatnya bisa fatal. Berikut ini adalah beberapa poin yang bisa kita sosialisasikan pada rekan-rekan pekerja yang akan melakukan pekerjaan panas:

1) Memakai APD yang lengkap seperti welding mask, sarung tangan untuk pekerjaan panas, dan apron.

2) Memeriksa keamanan peralatan kerja misalnya dengan memeriksa apakah selang las tidak rusak dan tabung tidak mengalami kebocoran.

3) Memasang rambu pekerjaan panas di wilayah kerja agar setiap orang yang berada dekat area pekerjaan panas dapat mengetahui bahwa di tempat tersebut sedang dilakukan aktivitas kerja yang menggunakan api terbuka.

4) Mengamankan wilayah kerja dengan tirai pelindung agar tidak membahayakan orang yang berada atau melewati wilayah pekerjaan panas.

(28)

commit to user

5) Menyingkirkan bahan yang mudah terbakar yang dapat memicu terjadinya ledakan atau kebakaran saat dilakukannya pekerjaan panas.

6) Mematikan api bila tidak digunakan sehingga dapat mencegah risiko terjadinya insiden kebakaran atau ledakan.

7) Mendinginkan tabung gas yang terlihat memancarkan panas.

Dalam National Fire Protection Assosiation (NFPA) 51B tahun 2009 mengenai Standard for Fire Prevention During Welding, Cutting, and Other Hot Work juga menjelaskan bahwa sebelum ijin kerja panas dikeluarkan, kondisi berikut harus diverifikasi oleh petugas yang ditunjuk (Departemen K3 perusahaan):

1) Peralatan kerja panas yang akan digunakan harus dalam kondisi memuaskan dan dalam kondisi baik.

2) Bahan mudah terbakar, seperti kliping koran, serutan kayu, atau serat tekstil, yang berada di lantai, harus disapu bersih radius (11 m), dan kriteria berikut juga harus dipenuhi:

a) Lantai mudah terbakar harus dalam kondisi basah, ditutupi dengan pasir basah.

b) Apabila lantai telah basah, peralatan las atauperalatan memotong harus dilindungi dari kemungkinan shock/konsleting.

(29)

commit to user

3) Semua bahan mudah terbakar harus dipindahkan setidaknya (11 m) disegala arah dari tempat kerja, dan kriteria berikut juga harus dipenuhi:

a) Jika relokasi tidak praktis, bahan mudah terbakar harus dilindungi oleh bahan tahan api yang sesuai standar.

b) Untuk mencegah masuknya bunga api, tepi bahan tahan api di lantai harus ketat.

4) Bukan atau retakan di dinding, lantai, dengan jarak (11 m) harus ditutupi atau disegel untuk mencegah percikan api ke daerah- daerah yang berdekatan.

5) Saluran dan sistem conveyor yang mungkin membawa percikan untuk pembakaran jauh harus terlindungi, dimatikan, atau keduanya.

6) Jika pekerjaan panas dilakukan di dekat dinding, partisi, langit- langit, atau atap konstruksi yang mudah terbakar, maka harus dilengkapi dengan bahan pelindung tahan api.

7) Jika pekerjaan panas dilakukan pada salah satu sisi dinding, partisi, langit-langit, atau atap, salah satu kriteria berikut ini harus dipenuhi: tindakan pencegahan harus diambil untuk mencegah pengapian disisi lain dengan memindahkan bahan mudah terbakar.

8) Pekerjaan panas tidak boleh dicoba pada partisi, dinding, langit- langit, atau atap yang memiliki penutup yang mudah terbakar.

(30)

commit to user

9) Alat pemadam kebakaran yang beroperasi dalam keadaan siap digunakan.

10) Berikut ini jika pekerjaan panas yang dilakukan berada di dekat kepala sprinkler: sebuah kain basah harus diletakkan di atas kepala sprinkler dan kemudian dilepas pada akhir pengelasan atau pemotongan.

11) Operator dan personil terdekat harus terlindungi terhadap bahaya seperti; panas, dan percikan api.

b. Alat Pelindung Diri (APD)

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010 Alat Pelindung Diri (APD) adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja.

Alat Pelindung Diri (APD) secara umum merupakan sarana pengendalian yang digunakan untuk jangka pendek dan bersifat sementara mana kala sistem pengendalian yang lebih permanen belum dapat diimplementasikan (Tarwaka, 2008).

6. Proteksi Kebakaran

Adanya sistem proteksi kebakaran bertujuan untuk mendeteksi dan memadamkan kebakaran sedini mungkin dengan menggunakan peralatan yang digerakkan secara manual maupun otomatis (Ramli, 2010).

Menurut Kepmen PU nomor: 10/KPTS/2000 dan Ramli (2010), sistem proteksi kebakaran dibagi menjadi 2, yaitu sebagai berikut:

(31)

commit to user a. Sistem proteksi aktif

1) Definisi

Sistem proteksi aktif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melaksanakan operasi pemadaman. Selain itu sistem ini digunakan dalam melaksanakan penanggulangan awal kebakaran. Yang termasuk proteksi aktif yaitu:

a) Detektor asap: mendeteksi kebakaran berdasarkan keberadaan asap. Detektor asap cocok digunakan di dalam bangunan, dikarenakan banyak terdapat kebakaran kelas A (bahan padat;

kertas, kayu, kain, dll.) yang menghasilkan asap.

b) Detektor panas: mendeteksi kebakaran melalui panas yang diterimanya. Detektor panas cocok digunakan/ditempatkan di area dengan kelas kebakaran kelas B (bahan cair dan gas;

cairan dan gas mudah terbakar).

c) Detektor nyala api: mendeteksi kebakaran berdasarkan keberadaan radiasi sinar infra merah dan ultraviolet yang dilepaskan api. Dalam pemasangan detektor ini perlu dipertimbangkan mengenai sifat/kelas kebakaran yang mungkin terjadi.

(32)

commit to user

Menurut rencana tindak darurat kebakaran pada bangunan gedung (Badan Litbang PU Departemen Pekerjaan Umum, 2006), setiap kotak (Box) fire hydrant yang ada selalu dilengkapi dengan lampu darurat (flash light emergency), Alarm Bell dan Manual Push Button (Break Glass). Flash Light (Visual Coverage), akan menyala apabila terjadi keadaan darurat. Alarm Bell (Audiblec Coverage), akan berbunyi apabila terjadi keadaan darurat. Manual Push Button (Break Glass), berupa kotak logam berwarna merah yang pada kacanya tertulis Break Glass, yang akan mengaktifkan alarm apabila kacanya dipecahkan. Apabila kaca salah satu kotak alarm tersebut dipecahkan, bel tanda bahaya kebakaran akan berbunyi. Bel tanda bahaya kebakaran tersebut juga akan berbunyi apabila heat detector, smoke detektor atau sprinkle bekerja.

Banyak cara untuk menginformasikan adanya kebakaran.

Cara mudah yang bisa dilakukan adalah berteriak, namun cara tersebut kurang efektif. Secara lebih modern, dikembangkan sistem alarm kebakaran yang biasanya sudah diintegrasikan dengan sistem deteksi kebakaran. Sistem alarm biasanya dilengkapi dengan tanda atau alarm yang memudahkan untuk dilihat atau didengar. Alarm kebakaran bekerja secara manual dengan menekan tombol alarm, dan bekerja secara otomatis bila terjadi kebakaran dan mengaktifkan sistem penanggulangan kebakaran lainnya.

(33)

commit to user 2) Jenis-jenis sistem proteksi aktif

a) Alat Pemadam Api Ringan (APAR)

Menurut Permenakertrans No. PER.04/MEN/2980, Alat Pemadam Api Ringan (APAR) ialah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang untuk memadamkan api pada mulai terjadi kebakaran. Jenis Alat Pemadam Api Ringan (APAR) terdiri jenis cairan (air), jenis tepung kering, dan jenis gas (hydrocarbon berhalogen dan sebagainya).

Permenakertrans No. PER.04/MEN/1980, menjelaskan tentang ketentuan pemasangan Apar sebagai berikut:

(1) Setiap satu atau kelompok alat pemadam api ringan harus ditempatkan pada posisi yang mudah dilihat dengan jelas, mudah dicapai dan diambil serta dilengkapi dengan pemberian tanda pemasangan.

(2) Tanda pemasangan Apar berupa segitiga sama sisi dengan warna dasar merah, dengan ukuran sisi 35 cm, tinggi huruf 3 cm berwarna putih, dan tinggi tanda panah 7,5 cm dengan putih seperti pada gambar 3.

Gambar 3. Tanda Pemasangan APAR

Sumber: Permenakertrans No: Per-04/MEN/1980 tentang Syarat-Syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.

(34)

commit to user

(3) Tinggi pemberian tanda pemasangan adalah 125 cm dari dasar lantai tepat diatas satu atau kelompok alat pemadam api ringan bersangkutan.

(4) Pemasangan dan penempatan alat pemadam api ringan harus sesuai dengan jenis dan penggolongan kebakaran.

(5) Penempatan antara alat pemadam api yang satu dengan lainnya atau kelompok satu dengan lainnya tidak boleh melebihi 15 meter, kecuali ditetapkan lain oleh pegawai atau ahli Keselamatan Kerja.

(6) Semua tabung alat pemadaman api ringan sebaiknya berwarna merah.

(7) Dilarang memasang dan menggunakan alat pemadam api ringan yang didapati sudah berlubang-lubang atau cacat karena karat.

(8) Setiap alat pemadam api ringan harus dipasang (ditempatkan) menggantung pada dinding dengan penguatan sengkang atau dengan konstruksi penguat lainnya atau ditempatkan dalam lemari atau peti (box) yang tidak dikunci.

(9) Pemasangan alat pemadam api ringan harus sedemikian rupa sehingga bagian paling atas (puncaknya) berada pada ketinggian 1,2 m dari permukaan lantai kecuali jenis CO2

dan tepung kering (dry chemical) dapat ditempatkan lebih

(35)

commit to user

rendah dengan syarat, jarak antara dasar alat pemadam api ringan tidak kurang 15 cm dari permukaan lantai.

(10)Alat pemadam api ringan tidak boleh dipasang dalam ruangan atau tempat dimana suhu melebihi 49oC atau turun sampai 44oC kecuali apabila alat pemadam api ringan tersebut dibuat khusus untuk suhu diluar batas tersebut diatas.

(11)Alat pemadam api ringan yang ditempatkan di alam terbuka harus dilindungi dengan tutup pengaman.

Menurut Ramli(2010: 113), penggunaan APAR secara tepat dan efektif sebagai upaya penanggulangan kebakaran yang mana mampu memadamkan nyala api dengan segera.

Latihan penggunaan APAR harus direncanakan secara berkala dan terus-menerus serta mempelajari teknik penggunakan APAR yang populer dikenal dengan teknik P.A.S.S., yaitu sebagai berikut:

(1) Pull the pin (menarik/mencabut pengaman), apabila pengaman terpasang maka katup APAR tidak bias digerakkan.

(2) Aim (mengarahkan ke api), mengarahkan ke pangkal api dan memperhatikan arah angin, agar pemadaman dapat efektif serta tidak terkena semburan media pemadam.

(36)

commit to user

(3) Squezee the handle (menekan katup), agar saluran media pemadam terbuka, dan bahan pemadam keluar dari ujung penyemprot.

(4) Sweep (mengayunkan), selang penyalur media pemadam dianyunkan kiri ke arah kanan ataupun sebaliknya, sesuai kobaran api dan dilakukan dari pangkal api.

b) Hydrant

Hydrant adalah alat yang dilengkapi dengan selang dan mulut pancar (nozzle) untuk mengalirkan air bertekanan yang digunakan bagi keperluan pemadaman kebakaran. Instalasi hydrant dalam bangunan dimaksudkan untuk menyediakan sarana bagi penghuni untuk melakukan pemadaman kebakaran pada tahap awal dan sebelum membesar/sebelum mencapai langit-langit ruangan/atap bangunan (Kepmen PU nomor:

10/KPTS/2000). Menurut Ramli (2010: 94) dan Anizar (2009:

31), menjelaskan mengenai jenis dan letak hydrant. Terdapat 2 jenis hydrant yaitu bejana kering dan bejana basah. Pada bejana kering di dalamnya tidak berisi air, walaupun telah dihubungkan dengan sumber air. Sedangkan pada bejana basah, di dalamnya berisi air yang siap disemprotkan ketika dibuka. Sedangkan menurut letaknya, hydrant dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu hydrant gedung, hydrant halaman, dan hydrant kota.

(37)

commit to user

c) Sistem pemadam kebakaran otomatis

Sistem pemadaman otomatis merupakan sistem proteksi kebakaran yang digerakkan secara otomatis tanpa perlu tenaga manusia. Sistem proteksi ini terdiri dari beberapa elemen, yaitu tabung bahan pemadam, pipa penyalur, penyemprot, dan sistem penggerak (Ramli, 2010: 101).

Sistem sprinkler termasuk ke dalam sistem pemadam kebakaran otomatis. Selain air, digunakan juga bahan-bahan khusus seperti gas atau busa (foam) untuk melindungi peralatan tertentu. Sistem pemadam otomatis dengan bahan khusus ini ditujukan untuk memberikan proteksi bagi ruang/bangunan yang berisikan bahan, peralatan dan proses yang memerlukan jenis bahan pemadam bukan hanya air. Pada sistem pemadam khusus meliputi sistem gas, busa dan bubuk kering (Kepmen PU nomor: 10/KPTS/2000).

Sistem sprinkler harus dirancang untuk memadamkan kebakaran atau sekurang-kurangnya 30 menit sejak kepala sprinkler pecah jika terjadi kebakaran. Panas dari api akan melelehkan sambungan solder/memecahkan bulb, kemudian kepala sprinkler akan mengeluarkan air.

b. Sistem proteksi pasif

Menurut Kepmen PU nomor: 10/KPTS/2000, sistem proteksi pasif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan

(38)

commit to user

dengan melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan gedung dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran.

Sistem kebakaran proteksi pasif meliputi:

1) Perencanaan struktur dan konstruksi bangunan

2) Perencanaan dan desain site, akses dan lingkungan bangunan 3) Perencanaan daerah dan jalur penyelamatan (evakuasi) pada

bangunan

4) Manajemen sistem penanggulangan kebakaran

Persyaratan sistem proteksi pasif menurut SNI No. 03-1736- 2000 meliputi:

1) Persyaratan kinerja sistem pasif

2) Persyaratan penggunaan bahan bangunan

3) Persyaratan ketahanan api komponen struktur bangunan 4) Persyaratan kompartemenisasi dan pemisahan

5) Persyaratan perlindungan pada bukaan atau penembusan dalam ruangan

Persyaratan kinerja sistem proteksi pasif meliputi:

1) Temperatur lapisan gas panas dalam ruang tidak melebihi 500oC dan fluks kalor ke lantai tidak melebihi 20kW/m2 atau tidak terjadi flashover.

2) Kebakaran dibatasi lokasi dan penjalarannya.

(39)

commit to user

3) Struktur tetap stabil sampai batas waktu yang aman untuk penyelamatan penghuni.

4) Stabilitas stuktur bangunan harus memperhitungkan:

a) Fungsi bangunan b) Beban api

c) Intensitas kebakaran yang bakal terjadi d) Potensi bahaya kebakaran

e) Ketinggian bangunan

f) Kedekatan dengan bangunan lainnya g) Sistem proteksi aktif terpasang

h) Ukuran/dimensi kompartemen kebakaran i) Elemen bangunan lain yang mendukung j) Evakuasi penghuni bangunan

5) Produksi asap tidak mengurangi jarak pandang khususnya di jalur evakuasi.

6) Pembatasan beban api sesuai penggunaan atau fungsi bangunan.

(40)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Gambar 4. Kerangka Pemikiran

Keterangan : (---) tidak diteliti

Hot Work (pekerjaan panas)

Welding

Hot Work Permit System Upaya Penanggulangan

Sesuai dengan Persyaratan

Potensi Bahaya 1. Kebakaran 2. Peledakan

Proteksi Kebakaran Potensi Bahaya

1. Kebisingan 2. Terkontaminasi

zat-zat kimia 3. Kulit terbakar 4. Dan lain-lain

Gambar

Gambar 2. Teori Swiss Cheese  Sumber: James Reason, 1995-1997 3)   Human factors Theory
Gambar 3. Tanda Pemasangan APAR
Gambar 4. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Bimbingan kelompok merupakan salah satu layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada anggota kelompok yaitu siswa kelas VII C MTs Matholi’ul Falah Dawe

Pada komponen pendapatan rumah tangga kini terdapat 29 dari 33 provinsi yang nilai indeksnya menunjukkan perbaikan kondisi ekonomi, sedangkan pada komponen pengaruh inflasi

SUCIYONO SMPN SATU ATAP 1 KAMPAKBIMBINGAN DAN KONSELING (KONSELOR) 5 Tidak hadir 6 11051781011032 RETNANINGTYAS SMP N 1 DONGKO BIMBINGAN DAN KONSELING (KONSELOR) 5 Syarat

Berikut ini pertanyaan tentang hal – hal yang berkaitan dengan tingkat pemahaman wisatawan terhadap aturan lokal (Awig-Awig) yang ada di Gili Trawangan Berikanlah tanda ceklis

Pertanyaan tentang pengalaman dan keterampilan ditujukan untuk mengetahui tujuan karier Anda, bagaimana cara Anda bekerja, loyalitas Anda , bagaimana Anda menghadapi

Skema alat yang digunakan dalam percobaan dapat dilihat pada Gambar V.1 berikut.. Gambar 3.1

Jadi, berdasarkan teori – teori tersebut keturunan atau pembawaan tidak mempunyai peranan dalam perkembangan individu. Pendidikan sebagai bagian dari pengalaman mempunyai peranan

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 sebagaimana telah