5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Konsep Partisipasi Masyarakat
Partisipasi berasal dari Bahasa Inggris “Participation” berarti keikutsertaan atau pengambilan bagian. Webster (1976) mengartikan partisipasi sebagai tindakan untuk mengambil bagian dengan maksud memperoleh manfaat ( dalam Mardikanto & Subianto, 2014). Menurut Keith Davis (1979) partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi dari orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk menyumbangkan pada tujuan-tujuan kelompok dan sama-sama bertanggung jawab terhadapnya (dalam Huraerah, 2011). Menurut Huraerah, partisipasi menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai penerima (objek) tetapi sebagai subjek dari kegiatan pembangunan yang dilakukan (Huraerah, 2011). Berikut ialah bentuk partisipasi yang ada di masyarakat menurut Abu Huraerah (Huraerah, 2011):
a. Partisipiasi Harta Benda, berkaitan dengan suatu harta/ benda yang disumbangkan oleh seseorang/ kelompok untuk melancarkan suatu kegiatan tertentu demi tujuan bersama.
b. Partisipasi Buah Pikiran merupakan keterlibatan atau keikutsertaan masyarakat perihal memberikan sumbangan ide untuk menyusun, menjalankan maupun memperlancar suatu kegiatan bersama yang disampaikan dalam forum diskusi.
c. Partisipasi Keterampilan/ Kemahiran yaitu memberikan sumbangsih melalui keterampilan/ kemahiran yang dimilikinya kepada masyarakat.
d. Partisipasi Tenaga adalah sumbangsih yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program bersama.
e. Partisipasi Sosial ini diberikan oleh partisipan sebagai tanda paguyuban.
Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya. Dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi.
2. Pelestarian Cagar Budaya di Surakarta
Menurut UU Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 disebutkan bahwa pelestarian merupakan upaya dinamis untuk mempertahankan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
Benda atau Bangunan Cagar Budaya tidak hanya dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan tetapi juga harus dijamin pelestariannya. Pelestarian bangunan cagar budaya sudah diatur dalam Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 tahun 2010, karena UU tersebut bersifat Nasional dan terpusat maka masing masing daerah membuat kebijakan lagi agar lebih terfokus pada tujuan masing-masing daerah. Pemerintah Kabupten/ Kota sebagai penyelenggara pembangunan di daerah dan pengambil keputusan memegang peranan kunci dalam pelestarian kawasan cagar budaya, oleh karena itu, Pemerintah Kota Surakarta membuat beberapa regulasi terkait dengan pelestarian cagar budaya di Kota Surakarta, berikut perincian regulasinya :
a. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 10 tahun 2013 Tentang Pelestarian Cagar Budaya.
b. Perjanjian Kerja sama Antara Kepala Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) dengan Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah Nomor 019.6/589/V/2013-973/61.SP/BPCB/P.V/2013 tentang Kerja sama di Bidang Pelestarian Cagar Budaya.
c. Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah Kota Surakarta dengan BPCB Jawa Tengah Nomor 019.6/1/787-572/101.SP/BPCB/P.III/2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya Kota Surakarta.
d. Pemerintah daerah telah menjadi anggota Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) sejak tahun 2008 dan saat ini telah memiliki Tim Kota Pusaka yang telah ditetapkan melalui SK Walikota
Surakarta No. 071/4-Q/2014 tanggal 9 januari 2014 tentang Tim Kota Pusaka Kota Surakarta.
Selain itu, Kota Surakarta menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres IV JKPI pada 24-26 Oktober 2018 (Suharsih, 2018). Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) adalah organisasi induk kabupaten/kota yang berkomitmen dalam pelestarian pusaka (tangible dan intangible heritage). Peraturan dan tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai upaya Pemerintah Kota dalam pelestarian cagar budaya di Surakarta. Sayangnya upaya dari satu pihak saja tidak akan maksimal apabila masyarakat kurang paham mengenai cagar budaya. Oleh karena itu, diperlukan adanya partisipasi dari masyarakat setempat dalam pelestarian cagar budaya agar pelestarian dapat tercapai secara maksimal karena adanya keterlibatan dari semua pihak baik pemerintah, pemerintah kota maupun masyarakat.
3. Landasan Teori
Teori yang digunakan sebagai analisis ialah patron klien menurut S.N Eisenstadt dan L Roniger. Patron berasal dari Bahasa Portugis asal kata paronust berarti bangsawan atau seseorang yang memiliki kekuasaan, pengaruh, status, dan wewenang. Klien berasal dari kata clien berarti pengikut atau orang yang diperintah dan disuruh (Usman, 2004). Patron klien merupakan hubungan yang vertikal atau tidak sederajat. Artinya, dalam hubungan sosial yang dibangun terdapat perbedaan kedudukan antara pihak- pihak yang terlibat dalam suatu interaksi. Ini terdiri dari orang-orang dari kedudukan sosial yang berbeda; dengan kata lain, para aktor sosial yang memiliki strata yang berbeda dihubungkan bersama dan membentuk stuktur berdasarkan hubungan sosial tersebut.
Sejak abad ke-19, kriteria kepemilikan tanah menjadi dasar penting untuk stratifikasi sosial di bawah pemerintahan kolonial Belanda, patron memperoleh kekuatan ekonomi sebagai pemilik tanah (Eisenstadt & Roniger, 1984). Patron memerlukan orang-orang di luar desa/ wilayahnya (klien) untuk mendapatkan sumber daya kritis. Secara tradisional, patron memberi klien akses ke tanah
atau pekerjaan pertanian, baik sebagai petani bagi hasil atau sebagai pekerja upahan, serta membantu dalam keadaan darurat seperti kekeringan, dan pinjaman untuk melunasi rentenir. Klien merasa bahwa bantuan ini menimbulkan kewajiban moral (utang budi) di pihak mereka, yang mungkin tidak akan pernah habis.
Sementara nilai tunai dari bantuan yang diberikan oleh patron mungkin tidak pernah dikembalikan kepadanya, utang budi tersebut ditransformasikan menjadi komitmen jangka panjang. Klien dapat dipanggil untuk memberikan layanan tenaga kerja, untuk menghormati, menghadiri upacara, meminta nasihat patron ketika memilih dan bertindak sesuai dengan instruksinya, mengadopsi sudut pandangnya tentang hal-hal tertentu dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, dan dari perspektif emik, klientelisme Indonesia idealnya ditulis dalam istilah kekeluargaan, dikenal sebagai bapakism. Sang bapak adalah pemimpin klien (anak buah) dan diharapkan untuk mengurus kebutuhan material, spiritual, dan emosional para klien (Eisenstadt & Roniger, 1984) .
Sebagai imbalannya, klien diharapkan untuk mendukungnya, untuk memberikan kontribusi, untuk berpartisipasi dalam upacara yang memberi kesaksian tentang kepentingan sosial patron, untuk bergabung atau meninggalkan partai politik sesuai dengan keinginannya dan bahkan untuk melawan dan membelanya dalam bentrokan fisik. Oleh sebab itu, klien mengharapkan patron untuk melindungi di masa depan memberi bantuan tambahan, uang tunai dan lainnya. Berdasarkan hubungan yang terjalin, para patron mendapatkan penghormatan, posisi sosial yang menonjol, dan saran mereka dicari dan sebagian besar diikuti. Kepuasan emosional dirasakan patron ketika klien menunjukkan keseganan dan rasa hormat kepada patron.
4. Penelitian yang Relevan
Terdapat empat penelitian yang relevan dengan permasalahan di dalam skripsi ini, yang pertama, Tahun 2014 oleh Agus Budi Wibowo dengan judul
“Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis Masyarakat” dengan hasil penelitian bahwa strategi yang dilakukan ialah memberdayakan aparatur
pemerintahan gampong dan memperkuat struktur lembaga gampong. Penelitian kedua oleh Wahyudin, Murtanti Jani Rahayu dan Rizon Pamardhi Utomo pada tahun 2015 dengan judul “Partisipasi Warga dalam Pelestarian Bangunan dan Struktur Cagar Budaya di Baluwarti”. Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa Partisipasi Pelestarian Terhadap Cagar Budaya Baluwarti, tingkat partisipasi pelestarian berada pada tingkatan sedang secara keseluruhan (perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan).
Penelitian yang ketiga oleh Muhammad Badrun tahun 2017 dengan judul
“Peran Lembaga dan Masyarakat Terhadap Situs Budaya di Kelurahan Kampung Bandar Kecamatan Senapelan Pekanbaru” yang menghasilkan bahwa Kelompok Sadar Wisata dan Kelurahan Kampung Bandar Senapelan telah melakukan perannya dengan pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki kemudian bertindak swadaya sebagai bentuk kepeduliaanya. Penelitian yang keempat oleh Danang Ari Wibowo tahun 2017 yang berjudul “Penegakan Hukum Bagi Pelaku Kejahatan Terhadap Benda Cagar Budaya di Kota Surakarta” yang menunjukan bahwa penegakan hukum bagi pelaku kejahatan terhadap benda cagar budaya, yaitu berupa hukuman penjara sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggarnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No. Judul & Nama
Penulis
Metode & Teori
Hasil Penelitian
1. Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis Masyarakat
Metode:
Analisis SWOT
Teori:
Strategi yang dilakukan ialah memberdayakan aparatur pemerintahan gampong dan memperkuat struktur lembaga gampong. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
Oleh:
Agus Budi Wibowo (2014)
masyarakat untuk berkembang.
Kedua, memperkuat potensi masyarakat dan yang ketiga melindungi cagar budaya. Ketiga cara itu diperkuat dengan program pengembangan sumber daya manusia (SDM) aparatur pemerintahan.
2. Partisipasi Warga dalam Pelestarian Bangunan dan Struktur Cagar Budaya di Baluwarti
Oleh:
Wahyudin, Murtanti Jani Rahayu, Rizon Pamardhi Utomo (2015)
Metode:
Pendekatan Deduktif
Teori:
Partisipasi pelestarian terhadap Cagar Budaya Baluwarti, tingkat partisipasi pelestarian berada pada tingkatan sedang secara keseluruhan. Tindakan pelindungan masih berada pada kegiatan melindungi dan merawat bangunan dan struktur secara parsial. Tindakan pengembangan, warga belum sepenuhnya diajak untuk turut serta bersama pemerintah dan pihak Keraton.
Dalam intensitas tindakan, warga Baluwarti sudah melakukan tindakan pelestarian secara nyata, dan memberikan umpan balik terhadap pihak keraton, maupun terhadap Pemerintah Kota Surakarta dalam hal pelestarian kawasan.
3. Peran Lembaga dan Masyarakat Terhadap
Metode: Kelompok Sadar Wisata dan Kelurahan Kampung Bandar
Situs Budaya di Kelurahan Kampung Bandar Kecamatan Senapelan Pekanbaru
Oleh:
Muhammad Badrun (2017)
Kualitatif
Teori:
Fungsional- Struktural
Senapelan telah melakukan perannya dengan pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki kemudian bertindak swadaya sebagai bentuk kepeduliaanya. Penerapan aturan pemerintah tidak dapat terlaksana dengan baik apabila masyarakatnya tidak memahami jenis bentuk dan tujuan dari aturan itu sendiri.
4. Penegakan Hukum
Bagi Pelaku
Kejahatan Terhadap Benda Cagar Budaya di Kota Surakarta
Oleh:
Danang Ari Wibowo (2017)
Metode:
Kualitatif
Teori:
Perlindungan hukum cagar budaya di Kota Surakarta ialah dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya. Penegakan hukum bagi pelaku kejahatan terhadap benda cagar budaya, yaitu berupa hukuman penjara sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggarnya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitan yang disebutkan di atas, fokus yang diteliti diantaranya ialah penegakan hukum dan partisipasi masyarakat dalam melestarikan cagar budaya. Namun belum ada penelitian yang mengulas secara
detail mengenai bentuk partisipasi masyarakat (yang berupa Harta benda, ide/
gagasan pikiran, keahlian, tenaga dan partisipasi sosial) dalam melestarikan bangunan cagar budaya. Oleh karena itu, peneliti berfokus pada bentuk partisipasi masyarakat dalam melestarikan bangunan cagar budaya khususnya di Kawasan Keraton Surakarta. Beragamnya bentuk partisipasi yang ada, mengarah pada hubungan yang terjalin antara masyarakat Baluwarti dan Keraton Surakarta dalam melestarikan cagar budaya kompleks Keraton Surakarta Hadiningrat.
B. Kerangka Berpikir
Kawasan Cagar Budaya Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu warisan budaya yang perlu dilestarikan demi eksistensi budaya. Keraton Surakarta menjadi pengelola dan pihak pertama yang bertanggungjawab dalam pelestarian cagar budaya. Selain itu, pemerintah dan pemerintah Kota Surakarta dalam upaya pelestarian cagar budaya sudah melakukan tindakan dengan membuat beberapa regulasi baik melalui undang-undang maupun surat keputusan.
Pemerintah Kota melakukan berbagai kerja sama dengan pihak terkait misalnya bekerjasama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), Dinas Tata Ruang Kota (DTRK), membentuk Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan sebagainya.
Selain upaya dari keraton, pemerintah, pemerintah kota, diperlukan juga tindakan dari masyarakat berupa partisipasi. Pada penelitian ini peneliti mengkaji bentuk partisipasi yang dilakukan masyarakat untuk melestarikan bangunan cagar budaya dengan sudut pandang teori patron klien menurut S.N Eisenstadt dan L Roniger untuk menganalisis hasil temuan data. Gagasan utama patron klien adanya hubungan dari beberapa pihak yang kedudukannya tidak setara, namun bersifat timbal balik. Dalam pelestarian bangunan cagar budaya, diperlukan campur tangan dari seluruh pihak yang mana memiliki peran masing-masing dalam keterlibatannya yang bersifat saling melengkapi. Khususnya di Kawasan
Cagar Budaya Keraton Surakarta sebagai pihak utama ialah Keraton Surakarta Hadiningrat kemudian masyarakat setempat (Baluwarti).
Menurut Eisenstadt dan Roniger Patron klien merupakan hubungan yang terdiri dari orang-orang dari kedudukan sosial atau stratas yang berbeda. Sejak abad ke 19 kepemilikan tanah menjadi dasar penting untuk stratifikasi sosial di bawah pemerintahan kolonial Belanda, patron memperoleh kekuatan ekonomi sebagai pemilik tanah. Patron memerlukan orang-orang di luar desa/ wilayahnya (klien) untuk mendapatkan sumber daya kritis. Dalam pelestarian cagar budaya, pihak Keraton Surakarta berkedudukan sebagai patron dikarenakan sumber daya (tanah) yang dimiliki. Kemudian masyarakat Baluwarti sebagai klien dikarenakan sebagai pihak yang membutuhkan sumber daya (tanah).
Hubungan yang terjalin antara Keraton Surakarta dan masyarakat Baluwarti disebut sebagai hubungan patron klien. Patron (Keraton Surakarta) memberikan “bantuan” berupa tanah/ izin tinggal di kawasan Keraton Surakarta, memberikan kebutuhan material maupun kebutuhan spiritual kepada klien. Klien merasa bahwa bantuan yang diberikan patron menimbulkan kewajiban moral (utang budi) di pihak klien, yang mungkin tidak akan pernah habis. Sebab itu, utang budi tersebut ditransformasikan menjadi komitmen jangka panjang klien kepada patron berupa pengabdian, kesetiaan maupun sumber daya manusia. Salah satu bentuk perwujudan dari utang budi klien kepada patron ialah dengan ikut terlibat dalam eksistensi keraton salah satunya dengan ikut berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya kompleks Keraton Surakarta Hadiningrat. Keterlibatan masyarakat Baluwarti sebagai klien diwujudkan dalam beberapa bentuk partisipasi seperti: partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi keahlian, partisipasi buah pikiran dan partisipasi sosial.
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Kawasan
Cagar Budaya Keraton Surakarta Hadiningrat
Masyarakat Baluwarti (Membutuhkan
sumber daya/
tanah)
Patron
•Sumber Daya/
tanah
•Kebutuhan Material
•Kebutuhan Spiritual
Klien
•Sumber Daya Manusia
•Kepatuhan
•Pengabdian
Bentuk Partisipasi Pelestarian Keraton Surakarta Hadiningrat (Pemilik sumber
daya/ tanah)