• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konsep diversi ini sejatinya adalah hasil dari Restorative Justice. Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konsep diversi ini sejatinya adalah hasil dari Restorative Justice. Indonesia"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diversi

1. Definisi Diversi

Diversi merupakan suatu sistem penyelesaian perkara pada pidana anak.

Konsep diversi ini sejatinya adalah hasil dari Restorative Justice. Indonesia telah memulai mengembangkan konsep diversi melalui pilot projek UNICEF di Bandung sejak tahun 2005

6. Diversi dalam hal ini adalah gagasan, pemikiran tentang diversi. Kata diversi berasal dari kata bahasa Inggris Diversion, menjadi istilah diversi.7 Ide diversi dicanangkan dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules (Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985), dimana diversi (Diversion) tercantum dalam Rule 11,1, 11.2 dan Rule 17.4. Diversi yang dicanangkan dalam SMRJJ (The Beijing Rules) sebagai standar internasional dalam penyelenggaraan peradilan pidana anak ini, berdasar rekomendasi hasil Pertemuan Para Ahli PBB tentang “Children and Juveniles in Detention:

6 Marlina, Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 “Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”

7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2005, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Get. Ke VII, Bandung:

Pustaka Setia, hal. 84-87.

(2)

18 Aplication of Human Rights Standards”, di Vienna, Austria tanggal 30 Oktober sampai dengan 4 November 1994, telah menghimbau seluruh negara mulai tahun 2000, untuk mengimplementasikan The Beijing Rules, The Riyadh Guidelines dan The United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty8.

Menurut Chris Graveson, Diversi merupakan proses yang telah diakui secara internasional sebagai cara terbaik dan paling baik dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.9

Pelaksanaan diversi di Indonesia diatur di Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut pasal 1 ayat 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa “Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.”

Konsep diversi ini banyak juga diterapkan pada negara-negara lain contohnya adalah Jepang, Filipina, Australia dan China.

8 Sebagaimana diketahui, berdasar rekomendasi hasil Pertemuan Para Ahli PBB tentang “Children and Juveniles in Detention: Aplication of Human Rights Standards”, di Vienna, Austria tanggal 30 Oktober sampai dengan 4 November 1994, telah menghimbau seluruh negara mulai tahun 2000, untuk mengimplementasikan The Beijing Rules, The Riyadh Guidelines dan The United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty. Lihat Ewald Filler (Ed.), 1995, Children In Trouble United Nations Expert Group Meeting, Austrian Federal Ministery for Youth and Family, Fransz-Josefs- Kai 51, A-1010 Viena, Ausria, hlm. 199. Sebagaimana dikutip dalam Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, hlm. 4

9 Dr, Lilik Mulyadi Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia P.T Alumni Bandung Hal 111

(3)

19 2. Tujuan Diversi

Dibentuknya suatu konsep tentu mempunyai sebuah tujuan, begitu pula dengan Diversi. Tujuan diversi menurut pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah :

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak

Diversi sejatinya beriorientasi kepada dimensi mencapai perdamaian antara korban dan anak terlepas tindak pidana apa yang dilakukan. Kemudian menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab anak.

3. Batas Kriteria Diversi

Batas kriteria diversi di Indonesia diatur di pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa :

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

(4)

20 Berdasarkan bunyi pasal tersebut mengartikan bahwa pelaku anak yang diancam pidana penjara diatas 7 tahun dan merupakan pengulangan tindak pidana tidak bisa mendapatkan hak diversi.

Kemudian diatur pula pada pasal 3 PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak yang mendalilkan

“Hakim Anak wajib mengupayakan diversi dalam hal Anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaaan subsidiartis, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan)” Isi pasal tersebut menandakan bahwa hakim wajib melakukan diversi pada pidana dibawah 7 tahun ataupun diatas 7 tahun, yang artinya adalah pasal 3 PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak ini bertentangan dengan pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam pelakasanaanya.

Merujuk pada negara lain seperti filipina yang diakomodir di Juvenile Justice and Welfare Act of 2006 (Republic Act No. 9344). Menariknya negara filiina ini mengatur batas kriteria hanya dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan psikologi. Dengan tidak memberikan batas kriteria pada masa

(5)

21 pidanya ini merupakan salah satu langkah dari jaminan perlindungan hukum bagi anak agar selalu mendapatkan upaya diversi.

4. Tahapan Diversi

Apabila pelaku pidana anak memenuhi batas kriteria diversi maka akan dilakukan tahapan-tahapan pelaksanaan diversi :

a. Diversi tahap penyidikan

Pada tahap ini diatur dalam pasal 7, pasal 27, pasal 28, dan pasal 29 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

b. Diversi tahap penuntutan

Pada tahap ini diatur dalam pasal 7, pasal 42 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

c. Diversi tahap pengadilan

Pada tahap ini diatur dalam pasal 7, pasal 14 dan pasal 52 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengakomodir untuk melakukan diversi disegala tahapan perkara pidana anak, sehingga dapat memperbesar keberhasilan diversi itu sendiri.

(6)

22 B. Sistem Peradilan Anak

1. Definisi Sistem Peradilan Anak

Sistem Peradilan Anak di Indonesia di akomodir dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012 yang terdiri dari 14 Bab dan 109 Pasal dan berdasarkan ketentuan pasal 108 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan undang-undang yang memuat keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Secara sederhana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini memuat mengenai :

a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang kecuali ditentukan lain dalam undang-undang

b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan pada lingkungan peradilan umum secara tertutup

(7)

23 c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

2. Filosofi Sistem Peradilan Anak

Filosofi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah memprioritaskan kepentingan sang anak. Hal ini bertujuan untuk mengimplementasikan ketentuan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu tugas negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu anak merupakan penerus harapan suatu bangsa dalam beberapa tahun kedepan, maka dari itu Anak membutuhkan pembinaan, pembimbingan dan perlindungan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Perkembangan fisik dan mental adalah menjadi prioritas yang utama untuk pertumbuhan anak. Tentu hal ini membuat aspek perlindungan anak tidak bisa dilepaskan begitu saja, Masyarakat internasional pun sepakat dalam hal itu sehingga terbentuk lah beberapa peraturan yaitu Konveksi Hak-Hak Anak (convention on the Rights of the Child), Peraturan- Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice atau The Beijing Rules/SMJJ) melalui adopted by General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985, Resolusi PBB 45/113-UN Standard for the Protection of Juvenile Deprived of

(8)

24 Their Liberty, Resolusi PBB 45/112-UN Guidelines for the Prevention of Junivele Delinquency (The Riyardh Guidelines) dan Resolusi PBB 45/110-UN Standard Minimum Rules for Custodial Measures 1990 (The Tokyo Rules).

Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menghilangkan paradigma lama yaitu Retributive Justice menuju Restorative Justice yang mana hal itu masih diterapkan pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.

Restorative Justice yang dimaksud adalah penyelesaian perkara dengan musyawarah yang diwujudkan dengan nama Diversi.

Filosofi lainya adalah penerapan pidana penjara atau penahanan sebagai upaya yang terakhir atau ultimum remedium. Kemudian dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi perlindungan khusus bagi anak berdasarkan asas perlindungan keadilan, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran pembalasan.

Sistem Peradilan Pidana Anak juga bertujuan untuk melindungi harkat, martabat dan kepentingan anak yang mana anak berhak untuk mendapatkan sebuah perlindugan khusus, oleh karena itu Sistem Peradilan Pidana Anak hadir tidak hanya sebagai pejatuhan sanksi pidana pada anak pelaku tindak pidana

(9)

25 akan tetapi sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana.

3. Konsep Restorative Justtice

Dalam perkembangannya terdapat pergeseran paradigma tentang keadilan pada hukum pidana yakni dari Retributive Justice menuju Restorative Justice. Retributive Justice singkatnya ialah sebuah keadilan yang menekankan keadilan pada pembalasan namun prosesnya penyelesaiannya dinilai tidak seimbang karena fokus pada menjatuhkan kesalahan. Kemudian Restorative Justice merupakan keadilan hukum yang berfokus pada pemecahan masalah, perbaikan dan pemulihan pada korban. Restorative Justice merupakan alternatif penyelesaian dalam peradilan tindak pidana. Titik berat dari restorative justice ini adalah penyelesaian melalui mediasi diluar ranah pengadilan antara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana. Restorative justice merupakan produk dari pemikiran yang lebih mengedepankan salah satu tujuan hukum yakni kemanfaatan hukum.

Menurut Howard Zehr dalam bukunya (The little book of restoratif justice), menyatakan bahwa “keadilan restoratif adalah sebuah proses untuk melibatkan sejauh mungkin mereka yang mempunyai kepentingan pada pelanggaran tertentu dan untuk secara kolektif mengidentifikasi dan menyinggung kejahatan, kebutuhan, dan kewajiban, untuk menyembuhkan dan meletakkan semuanya pada posisi yang sebaik mungkin”.

(10)

26 Lebih lanjut Howard menjelaskan bahwa restorative justice memandang bahwa :

1. Kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antar warga masyarakat

2. Pelanggaran menciptakan kewajiban

3. Keadilan mencakup para korban, para pelanggar, dan warga masyarakat di dalam suatu upaya untuk meletakan segala sesuatunya secara benar

4. Fokus dari restorative justice adalah para korban membutuhkan pemulihan kerugian yang dideritanya (baik secara fisik, psikologis, dan materi) dan pelaku bertanggung jawab untuk memulihkan (biasanya dengan cara pengakuan bersalah dari pelaku, permohonan maaf dan rasa penyesalan dari pelaku dan pemberian kompensasi ataupun restitusi).

Di indonesia konsep restorative justice diadopsi untuk sistem peradilan pidana anak. Pada pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa :

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”. Kemudian pada pasal 5 ayat 1 menjelaskan : “Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.”

(11)

27 Sistem Peradilan Pidana Anak harus sesuai konsep restorative justice baik secara substansi atau prosedural harus mengimplementasikan konsep tersebut secara utuh, supaya tujuan dari restorative justice yakni untuk mencapai perlindungan masyarkat sekaligus perlindungan individu dalam suatu sistem peradilan atau keadilan berbasis musywarah agar lebih optimal.

C. Anak Dalam Hukum Positif 1. Definisi Anak

Secara sederhana anak merupakan sebuah hasil perkawinan antara laki- laki dan perempuan. Anak adalah sebuah fase pertumbuhan seorang manusia, fase tersebut mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tengah baya dan masa tua. Anak merupakan aset harapan penerus bangsa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Anak merupakan generasi kedua atau manusia yang masih kecil. Pengertian Anak dapat dijumpai di perundang-undangan di Indonesia, tepatnya pada Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Anak menurut Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak , “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Kemudian menurut W.J.S Poerwodarminto anak adalah manusia yang masih kecil.10 Menurut R.A Koesnoen memberikan pengertian bahwa

10 W.J.S. Poerwodarminto, 1976 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta hal. 735

(12)

28 anak adalah manusia muda, muda dalam umur, muda dalam jiwa dan pengalaman hidupnya, karena mudah terkena pengaruh keadaan sekitarnya.11

Dalam perundang-undangan di Indonesia anak diklasifikasikan berdasarkan usia, seperti tertera pada :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 45 menyebutkan: “Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelu umur 16 tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun”.

2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan, “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan “. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

4. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18

11 R.A. Koesnoen, 1964, hal. 120

(13)

29 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

5. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan

“Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”

6. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan “Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. Kemudian pada pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak.”

Melihat definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Anak merupakan keadaan setiap manusia yang mana usianya belum genap dalam klasifikasi undang-undang dan masih dalam pengawasan orang tuan, dan dalam usia tersebut masih rentan terpengaruh pada keadaan sekitarnya.

(14)

30 2. Hak Anak

Anak adalah suatu hal yang harus diperhatikan dengan seksama oleh Pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat karena Anak merupakan aset bangsa yang harus diberikan perlindungan haknya. Adapun Prinsip perlindungan anak pada hukum diatur dalam Konvensi Hak Anak (disahkan RI dengan Keppres no. 36 tahun 1990) yang bersi sebagai berikut :

a. Hak Kelangsungan Hidup

Hak kelangsungan hidup adalah Hak fundamental bagi anak - anak yang dimaksudkan untuk dapat menjalani hidup dengan nyaman mulai dari kesehatan dan perawatan seoptimal mungkin. Selain itu yang termasuk hak kelangsungan hidup yaitu Hak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan sejak lahir, hak untuk hidup bersama orang tuanya, dan hak untuk menerima tanggung jawab orang tua.

b. Hak Perlindungan

Hak perlindungan berkaitan dengan perlindungan dari diskriminasi dan eksploitasi anak. Diskriminasi sendiri adalah perbedaan perlakuan atau tindakan yang didapati oleh sang anak walaupun berbeda berdasarkan suku, agama atuapun golongan serta kondisi fisik / mental. Kemudian eksploitasi adalah tindakan kepada anak untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang bisa mengancam kesehatan, pendidikan dan tumbuh kembang anak, dan perlakuan hukum yang kejam.

(15)

31 c. Hak Atas untuk tumbuh kembang

Hak Atas untuk tumbuh kembang dimaksudkan hak anak untuk berkembang secara fisik dan mental. Pertumbuhan tersebut dapat diperoleh melalui sekolah atau pendidikan hingga standard hidup yang layak seperti makanan minuman.

d. Hak Partisipasi

Hak Partisipasi anak merupakan hak untuk mengutarakan pendapatnya dan memperoleh sebuah informasi. Kemudian anak juga berhak untuk berserikat pada masyarakat.

Pemenuhan hak anak ini terwujud apabila semua komponen pemerintahan seperti legislatif, penegak hukum, penyelenggara pendidikan dapat saling bersinergi.

3. Prinsip Umum Perlindungan Anak

Prinsip umum perlindungan anak dimuat dalam pasal 2 Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 yang telah diubah oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, ada empat prinsip umum yaitu : a. Prinsip Nondiskriminasi

Prinsip Nondiskriminasi artinya adalah segala hak anak yang diakui dan terkandung didalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini terdapat dalam pasal 2 KHA ayat (1) dan (2) yang menyebutkan :

(16)

32 (1) Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada di wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaanm etnik atau sosial, status kepemilikan cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua walinya yang sah.

(2) Negara-negara pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarganya.

b. Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) KHA yang menyebutkan : “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”.

Dapat disimpulkan bahwa segala tindakan hukum atau kebijakan- kebijakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif yang menjadi pertimbangan utama adalah kepentingan anak.

c. Prinsip Hak Hidup

Prinsip hak hidup tercantum dalam Pasal 6 KHA Ayat (1) dan (2) yang menyebutkan :

(17)

33 (1) Negara-negara pihak mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang

melekat atas kehidupan.

(2) Negara-negara pihak akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak.

Maksudnya adalah negara berkewajiban untuk menjaga kelangsungan hidup anak dan perkembangan anak, yang mana hal tersebut dapat dilakukan dengan negara harus menyediakan lingkungan yang positif, sarana dan prasarana yang memadai, serta yang paling penting adalah akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar yang fundamental.

d. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak

Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak ada dalam Pasal 12 Ayat (1) KHA: “Negara-negara pihak akan menjamin anak anak yang mempunyai pandangan sendiri memperoleh hak menyatakan pandangan- pandangan secara bebas dalam semua hal yang memengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.” Maksudnya adalah anak juga memiliki wewenang untuk pandangan atau pendapanya sendiri sehingga kita harus bijak dalam memperlakukannya. Karena anak tidak bisa hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.

(18)

34 Dapat disimpulkan bahwa prinsip perlindungan anak ini adalah cara pandang dalam menyikapi sesuatu hal yang mana fokus utamanya adalah anak sebagai pertimbangannya.

4. Anak Berhadapan dengan Hukum

Sebelum membahas mengenai anak berhadapan dengan hukum, terlebih dahulu harus mengulas mengenai anak menurut hukum pidana. Pada hukum pidana anak dikatakan dewasa apabila sudah berumur 15 atau 16 tahun berdasarkan KUHP. Adapun ketentuan yang menyangkut anak pada KUHP terdapat pada pasal 45, pasal 46, pasal 47.

Dalam pasal 45 KUHP secara garis besar mengatur mengenai memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun.

Kemudian pada pasal 46 KUHP menjelaskan yang pada pokoknya mengenai pemenuhan hak anak melalui hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan.

Pasal 47 KUHP menjelaskan mengenai penjatuhan pidana yang mana pidana pokok yang dilakukan anak terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. Kemudian perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan

(19)

35 pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pada hakikatnya anak dalam proses hukum pidana dibedakan karena ketidakmampuanya dalam mempertanggungjawabkan tindak pidananya.

Sehingga hal tersebutlah yang membuat anak harus mendapatkan sebuah perlakuan khusus agar kepentinganya tetap terlindungi.

Anak yang berhadapan dengan hukum dalam hukum nasional dibedakan menjadi tiga yaitu anak pelaku, anak korban, anak saksi hal tersebut dijelaskan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan “Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mana pada prosesnya diduga sebagai pelaku tindak pidana. Kemudian anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mana dalam peristiwa tersebut mengalami penderitaan fisik atau mental, dan/atau kerugian materil. Kemudian anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mana dapat memberikan keterangan guna kepentingan proses hukum seperti penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan tentang suatu perkara tertentu yang mana ia lihat, dengar atau

(20)

36 dialaminya sendiri. Dalam penulisan ini fokus yang di ambil adalah anak sebagai pelaku tindak pidana atau anak yang berkonflik dengan hukum.

Menurut Harry E. Allen and Clifford E. Simmonsen menjelaskan bahwa ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat anak harus berhadapan dengan hukum, yaitu :

1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah, atau kabur dari rumah;

2. Juvenile Deliquence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Melihat pendapat tersebut, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang melakukan tindakan yang dianggap kejahatan yang tentunya melanggar hukum yang mana apabila hal tersebut dilakukan oleh orang dewasa dianggap perbuatan melawan hukum.

D. Asas Kemanfaatan Hukum

Kemanfaatan hukum merupakan salah satu tujuan hukum yang tidak bisa dikecualikan. Kemanfaatan hukum ini memrupakan tujuan hukum yang berorientasi pada manfaat atau kegunaan hukum itu sendiri pada saat diciptakan

(21)

37 untuk masyarakat. Adapun beberapa teori kemanfaatan hukum yang akan penulis gunakan :

1. Teori Kemanfaatan Hukum Menurut Jeremi Bentham

Teori kemanfaatan hukum ini dipopulerkan oleh Jeremi Bentham.

Bentham melalui pandanganya menjelaskan bahwa tujuan hukum ialah memberikan kemanfaatan hukum dan kebahagiaan terbesar dan sebanyak- banyaknya untuk masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan melalui penilaian baik buruk dan adil tidaknya suatu hukum di masyarakat sehingga mampu memberikan kebahagian sebanyak-banyaknya. Sehingga aliran ini mempunyai orientasi masa depan sebagai teori tujuan pidana yang terdiri dari preventif, deterrence dan reformatif.

Kebahagiaan masyarakat dapat tercipta apabila sebuah hukum dapat memberi to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup); to Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah); to provide security (untuk memberikan perlindungan); dan to attain equity (untuk mencapai persamaan).

Berangkat dari teori ini lah penulis mencoba merelevansikan penetapan batas kriteria diversi pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah sesuai dengan aspek kemanfaatan hukum.

(22)

38 2. Teori Kemanfaatan Hukum Menurut Gustav Radbruch

Gustav merupakan salah satu filsuf hukum yang sangat terkenal. Salah satu teori yang beliau lahirkan adalah tujuan hukum. Menurut Gustav tujuan hukum meliputi kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum.

Dalam kemanfaatan hukum Gustav pernah menerangkan bahwa tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan dan kebahagian orang banyak yang sebesar-besarnya bagi manusia. Lebih lanjut Gustav menjelaskan dalam nilai kemanfataan, hukum berfungsi sebagai alat untuk memotret fenomena masyarakat atau realita sosial yang memberi manfaat atau berdaya guna (utility). Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial, bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya. Fokus utama dari pendapat Gustav tersebut adalah hukum sebagai alat untuk memotret fenomena masyarakat atau realita sosial yang mana dengan hadirnya hukum maka dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh komponen masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Garis perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste dengan tiga distrik yaitu Maliana, Kovalima dan Oecusse membentang sepanjang kurang lebih 268,8 km

Merupakan suatu anugerah yang tak ternilai bagi penulis bisa memperoleh ilmu dan berkesempatan menerapkannya dalam sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “

Selan itu, dalam ayat (4) “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal” juga tidak diikuti penjelasan, sehingga dapat

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel minuman probiotik whey keju dengan 5% sari tomat pada saat setelah fermentasi selesai

Penelitian lain mengenai bioplastik pati yang pernah dilakukan adalah (Riza et al ., 2013) dengan judul “Sintesa Plastik Biodegradable dari Pati Sagu dengan Gliserol dan

Permukiman Nelayan Terpadu Vertikal di Manado merupakan lingkungan tempat tinggal yang kompleks, terpadu yang menghadirkan tidak sekedar sebuah bangunan tampat tinggal namun sebuah

Dalam lingkungan sekolah, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga