1
MITOS DAN LEGENDA DALAM BABAD PULESARI
Drs . Komang Paramartha,M.S.
PRODI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2017
▸ Baca selengkapnya: sudut pandang legenda batu menangis
(2)2
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa paper yang berjudul Mitos dan Legenda dalam Babad Pulesari dapat diselesaikan sesuai rencana . Penyusunan paper ini tidak akan terwujud apabila tidak ada masukan-masukan dari Bapak , Ibu dan teman-teman sehingga melalui kesempatan ini ucapkankan Terimakasih kepada :
1. Ketua Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana . 2. Kepala Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Daerah Tingkat I Bali . 3. Kepala lembaga Lontar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana .
4. Teman-teman di Prodi Jawa Kuno yang telah memberikan masukan terkait dengan penulisan paper ini .
Semoga budi baik Bapak ,Ibu dan teman –teman mendapat pahala setimpal dari Nya .
Saya menyadari bahwa paper ini jauh dari sempurna , dan dari segala kerendahan hati
dimohon kritik dan saran .
3 DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR……… 2
DAFTAR ISI………. 3
1. Pendahuluan ………. 4
2.
Definisi Babad ……….. 5
3. Babad Pulesari ……….. 6
a. Mitos dalam Babad Pulesari ……….. 7
b. Unsur Legenda dalam Babad Pulesari ……… 9
4. Simpulan ……… 11 DAFTAR PUSTAKA………..
4 1. P
endahuluan
Di Bali, karya sastra memiliki hubungan erat dengan kehidupan masyarakat, terutama pada zaman kerajaan, sastra menjadi dasar dan cermin tindakan para raja dalam mengemban masyarakat yang diayominya, dan dalam melaksanakan politik kerajaan serta tindakan-tindakan penting lainnya (Kanta, 1984:2 dalam Suarka, 1989:1).
Salah satu ragam sastra yang hidup dan berkembang sampai saat ini adalah karya sastra sejarah. Sastra sejarah merupakan karya sastra yang selain mengandung unsur keindahan dan unsur imajinasi, juga mengandung unsur sejarah. Unsur keindahan dan imajinasi menjadi tuntutan yang harus dipenuhi sebagaimana halnya dengan karya sastra lainnya. Sementara unsur historis akan menjadi ciri pembeda khususdari jenis karya sastra lainnya (Darusuprapta, 1986:36).
Di lingkungan budaya Bali, babad merupakan titik temu antara sastra dan sejarah.
Babad sebagai tulisan sejarah yang merupakan penjelasan hubungan antarperistiwa atau fakta dalam suatu rangkuman pemahaman, di pihak lain babad merupakan suatu jenis cerita yang mempunyai unsur verbal dan fiktif (Wiryamartana, 1986:97-102).
Adanya tradisi karya sastra sebagai milik bersama yang mencerminkan kedekatan antara karya sastra dengan penyambutnya, digunakan penulis babad dalam mengenalkan peristiwa-peristiwa yang dialami dan dilakukan pleh para leluhur pada masa lampau.
Sastra dan sejarah dalam babad menunjukkan bahwa penulisan sejarah yang tepat
memerlukan atau mengandalkan kepengarangan yang unggul. Demikianlah babad
merupakan karya sastra sejarah.
5
Penelitian terhadap babad perlu dilakukan karena karya di dalamnya menuangkan nilai-nilai penting bagi kehidupan masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung tersebut antara lain: pola berpikir, adat istiadat, kepercayaan, sistem budaya masyarakat pada suatu daerah, pandangan hidup, perbuatan yang dianggap baik dan benar, dipuji, dan yang dijauhi serta dicela. Memerhatikan kandungan babad seperti itu, jelaslah bagi kita bahwa babad dapat dianalisis dari berbagai sudut pandang, seperti: sosiologi sastra, pendekatan structural, semiotic, dan lainnya. Hal ini sangat memungkinkan dilakukan karena sastra babad bukan tulisan sejarah yang dapat dipakai sebagai data primer dalam penelitian sejarah,di samping di dalamnya juga banyak terkandung hal yang bersifat mitos maupun unsur legenda. Unsur mitos dan legenda itulah yang menjadi focus penulisan paper ini.
2.
Definisi Babad
Pada umumnya istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.
Sedangkan di daerah-daerah lain seperti di Sulawesi Selatan disebut Lontara, di Sumatera Barat dikenal dengan istilah tambo, di Kalimantan dan Malaysia dikenal dengan istilah
hikayat, silsilah, sejarah, sedangkan di Thailand dikenal dengan sebutan kronikel.Ada bermacam-macam batasan mengenai babad, Darusuprapta (1986:6) menyebutkan bahwa sastra babad adalah salah satu jenis sastra sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam, anatara lain berdasarkan nama diri, nama geografi, nama peristiwa atau yang lainnya.
Babad merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional
adalah suatu bentuk dari suatu kultur yang membentangkan riwayat, di mana sifat-sifat
6
dan tingkat kultur mempengaruhi bahkan menentukan bentuk itu, sehingga historiografi selalu mencerminkan kultur yang menciptakannya.
Menurut Soekmono (1973:103), babad merupakan cerita sejarah yangbiasanya lebih berupa cerita daripada uraian sejarah, meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa sejarah.
Babad, hikayat, atau sejarah merupakan teks-teks historic atau genealogic yang mengandung unsur-unsur kesastraan, oleh karena teks-teks tersebut tidak pertama-tama boleh dipandang sebagai dokumen sejarah dalam arti ilmu sejarah modern, tetapi teks- teks ini secara kreatifdan menurut konvensi kebudayaan masing-masing menafsirkan dan membayangkan hal-hal sejarah dan bukan sejarah dalam rangka pandangan dunia
masyarakat Indonesia yang bersangkutan (Teeuw, 1984:343).
Babad dapat berarti riwayat, sejarah, tambo (Poerwadarminta, 1982:70). Dalam Bahasa Jawa Kuno, babad dapat berarti tebas, tebang, pangkas, rambah (Mardiwarsito, 1981:104). Dalam kaitannya dengan sejarah, babad dapat berarti silsilah atau asal-usul.
Menurut Uhlenbek (1964:128), babad merupakan suatu kronikel atau tulisan sejarah yang digunakan oleh masyarakat Jawa dalam menentukan dan menuliskan peristiwa-peristiwa sejarah yang digubah dalam bentuk tembang atau bentuk yang lain.
3. Babad Pulesari
Babad Pulesari merupakan salah satu koleksi naskah di Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Daerah Tingkat I Bali, dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1998 oleh Tim Penerjemah Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Daerah Tingkat I Bali, melalui Proyek Alih Aksara Lontar dan Alih Bahasa/Pengkajian Naskah Sastra Budaya Bali.
7
Dalam penelitian tersebut terdapat alih aksara dari aksara Bali ke dalam huruf latin, dan alih Bahasa dari Bahasa sumber yaitu Bahasa Jawa Kuno ke dalam Bahasa sasran, yakni Bahasa Indonesia. Namun tidak menjelaskan adanya unsur mitos dan legenda yang terdapat di dalam Babad Pulesari.
a. Mitos dalam Babad Pulesari
Mitos (Bahasa Yunani: mythos) atau mite (Bahasa Belanda: mythe) adalah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos dapat mengacu kepada cerita tradisional.
Pada umumnya mitos menceritakan terjadinya alam semesta, dunia dan para makhluk penghuninya, bentuk topografi, kisah para makhluk supranatural, dan sebagainya. Mitos dapat timbul sebagai catatan peritiwa sejarah yang terlalu dilebih-lebihkan, sebagai alegori atau personifikasi bagi enomena alam, atau sebagai suatu penjelasan tentang ritual. Mereka disebarkan untuk menyampaikan pengalaman religious ataunideal, untuk mmbentuk model sifat-sifat tertentu, dan sebagai bahan ajaran dalam suatu komunitas.
Mitos dalam babad Pulesari tergambar pada tokoh Sri Masula Masuli. Beliau dimitoskan sebagai seorang raja dari penjelmaan siluman sakti tiada tanding pada zamannya. Setelah melalui proses ritual dan pembebasan dosa oleh Hyang Puru, beliau lahir kembali ke dunia dan bertapa di lereng gunung Tolangkir. Kemudian pada akhirnya menjadi raja yang bertahta di Bali.
Penceritaannya digambarkan melalui teks berikut:
8
Ri purwa kala, hana maya sakti tan pahingan. Krura kara asiyung adhangastra tiksna, angamah-amah kadi trap ninh danawa. Lobha, moha, murka, nindheng sastra, pramadheng hayu. Cinacad ikang sarwa tatweng atita. Ya ta wisirna binajra de Hyang Puru, hutakantep ri puput ikang kasmala umantuk maring Swarga sthana. Wus puput pwa nalikan ira ring yatana, tinuduh dening Hyang Anjanma, linugraha sakama-kama, ardha nariswari pwa sira metu, sinuksma ri tata Kalapa, pinuter dening pedang, wus pinali-pali binresihan, sapratapa ri
parswaning Tolangkir. Aganti pwa sira sapujasthawa, ri sthula nira sang jumeneng ratu ring bali, bhiniseka ta Sri Masula Masuli, winiwaha ta sira ring sang ari.
Ada pula tokoh Kresna Wang Bang Kepakisan yang dimitoskan lahir dari dalam batu,dan batu tersebut sesungguhnya jelmaan bidadari. Bidadari tersebut adalah utusan Sanghyang Indra dan juga sekaligus sebagai perantara Sanghyang Wisnu menjelma ke dunia. Kelahiran tokoh ini diceritakan sebagai hasil kekuatan yoga dari Danghyang Kapakisan dalam hubungannya memohon cipta kepada Sanghyang Hari. Berikut teks yang menggambarkan hal tersebut:
Hana ta sira Brahmana, Danghyang Kapakisan ngaranira, pandita paramartha, prasidha umangguhang kasteswryan. Sakti tan papada, sira ta kanggeh cudhamanyanira Mada. Sira inaturan agawe putra ksatriya, jodo ning Bali raja, tar wihang sira Danghyang Kapakisan, anuli sira maraning Tamansari, irika sira anganaken yoga, umradhana Sanghyang Hari.
Sapayoganira, hana ta widadhari piturunira Sanghyang Indra, maka hawan Sanghyang Wisnu mangjanma. Sakaton ikang wiwudhangghana de nira Danghyang Kapakisan, ajerih ta sira khrasa ring smara cumbana. Matanghyang inawesanira tang widadhari ika, arupa watu. Inenah nira sor ning nagapuspa. Kabwat ri kasidhyajnyanira Danghyang Kapakisan, siddha sakama- kama. Ri wekasan mijil tang putra sakeng watu ika, sawiji laki-laki, sawiji tang rare, linesunira
9
tang yoga. Kunang watu ika muksa tan pahamengan, waluya muwah widadhari. Winastu de nira mpu maluyeng Indraloka.
Hasil cipta yoga Danghyang Kapakisan telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang keluar dari dalam batu. Bayi tersebut di tempatkan di bawah pohon nagasari. Sanghyang Puradhara (Indra) melihat keadaan itu lalu mengutus dua bidadari yang telah diubah wujudnya menjadi seekor burung merak dan kijang putih. Si burung merak bertugas memangku sang bayi, tuju bulan, kedua dan kijang putih bertugas menyusuinya.
Setelah sang bayi berumur jelmaan bidadari itupun kembali ke surga. Kemudian
Danghyang Kapakisan membawa sang bayi ke pertapaan dan bayi laki-laki itu selanjutnya diberi nama Kresna Wang Bang Kapakisan.
Demikian unsur mitologi yang terdapat di dalam babad Pulesari, dan tentunya unsur mitologi semacam ini banyak ditemukan di dalam sastra babad lainnya.
b. Unsur Legenda dalam Babad Pulesari
Legenda (Bahasa Latin: legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda sering kali
dianggap sebagai sejarah kolektif (folk history). Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka
kisah tersebut telah mengalami distorsi sehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya.
Oleh karena itu, jika legenda hendak digunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, maka legenda harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari yang mengandung sifat- sifat folklore.
10
Menurut buku Sari Kata Bahasa Indonesia, legenda adalah cerita rakyat zaman dahulu yang berkaitan dengan peristiwa dan asal-usul terjadinya suatu tempat. Contohnya:
Sangkuriang, Batu Menangis, dan Legenda Pulau Giliraja.
Legenda adalah cerita yang dipercaya oleh beberapa penduduk setempat benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci atau sakral yang juga membedakannya dengan mite. Legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah.
Legenda adalah cerita kuno yang setengah berdasarkan sejarah dan yang setengah lagi berdasarkan angan-angan.
Legenda adalah cerita yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mitos, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Legenda adalah dongeng tentang hal-hal yang berdasarkan sejarah yang mengandung sesuatu hal yang ajaib atau kejadian yang menandakan kesaktian. Masih banyak lagi definisi legenda yang dipaparkan para peneliti sastra dan sejarah, namun pada kesempatan ini dicoba untuk melihat unsur tersebut di dalam babad Pulesari.
Unsur-unsur legenda yang ditemukan dalam babad Pulesari adalah dalam bentuk:
a) Sumpah/janji.
Dalem Taruk bersumpah bahwa seketurunannya tidak akan memakan buah “jawa”, “jali”, burung perkutut, dan puyuh. Hal itu diucapkannya karena Dalem Taruk merasa
terselamatkan ketika bersembunyi didalam rimbunnya tanaman jelai dan jali, serta kicauan burung perkutut dan puyuh yang menyebabkan urungnya musuh mendekati tempat persembunyiannya.
b) Nama Desa
Pertempuran sengit antara pasukan Dalem melawan I Dewa Gde Muter bersama pengikutnya mengakibatkan banyaknya jatuh korban di kedua pihak. Mayat-mayat
11
bergelimpangan, lalu dibuatkan “bangbang”/lubang besar untuk mengubur masal mayat- mayat tersebut. Tempat penguburan mayat-mayat tersebut kemudian disebut sebagai Desa Bangbang sampai saat ini.
c) Golongan/klan
Setelah perang usai, Dalem Ketut mengeluarkan maklumat bahwa sejak saat itu Gusti Gede Sekar beserta adik-adik dan keturunannya tidak diperkenankan menggunakan nama Gusti, apalagi menyamai Dalem. Mereka di tempatkan sebagai golongan wesia, namun
diperkenankan menjadi rohaniawan.
12 4. Simpulan
Babad Pulesari adalah sebuah karya sastra-sejarah yang di dalamnya mengandung unsur-unsur kesejarahan, namun dalam penyusunannya dibumbui unsur-unsur mitologi dan legenda. Sebagai sebuah karya sastra, babad Pulesari dapat diteliti dari berbagai sudut pandang, dan diperlukan penanganan lebih teliti untuk memisahkan unsur-unsur kesastraannya dan kesejarahannya.
Babad Pulesari adalah salah satu peninggalan budaya yang dapat menambah khazanah budaya bangsa, sehingga dipandang perlu untuk dikaji guna melengkapi kajian-kajian babad lainnya. Babad Pulesari diharapkan dapat disosialisasikan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Bali, karena sampai saat ini masyarakat Bali masih percaya akan kebenaran isi babad.
13 DAFTAR PUSTAKA
Darusuprapta. 1986. Babad Blambangan. Yogyakarta.
Mardiwarsito. 1981. Kamus Jwa Kuno-Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama Poerwadarminta, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta.
Pradotokusumo, Partini Sarjono. 1986. Kakawin Gajah Mada. Bandung Soekmono. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta.
Suarka, I Nyoman. 1989. Karya Sastra-Sejarah Bali: Babad. Denpasar
Sutrisno, Sulastin.1983. Hikayat Hang Tuah. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Satra. Jakarta. Djambatan.
Uhlenbeck, E.M. 1964. A Critical Servey of Studies on the Languages of Java and Madura. S Gravenhage
Wiryamartana, Kuntara. 1986. Kakawin Arjunawiwaha. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Babad Pulesari. Koleksi Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Daerah Tingkat I Bali