(Pucciniapolysora) pada Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.)
Oleh :
RULI ROHMATUL HIDAYAH
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2017
polysora Underw) pada Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.)
Oleh:
Ruli Rohmatul Hidayah 135040201111285
MINAT STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN MALANG
2
Skripsi ini adalah wujud semangat atas cinta, doa, dukungan, dan ketulusan dari orang teristimewa dalam
hidup saya, sahabat terbaik saya, panutan saya ...
Ibu dan Bapak
i RINGKASAN
RULI ROHMATUL HIDAYAH. 135040201111285. Keragaman Jamur Endofit Daun dan Hubungannya dengan Ketahanan Tanaman terhadap Penyakit Karat Daun (Puccinia polysora Underw) pada Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.). Dibawah bimbingan Dr. Ir. Syamsuddin Djauhari, MS.
sebagai Pembimbing Utama dan Antok Wahyu Sektiono, SP., MP. sebagai Pembimbing Pendamping.
Mikroba endofit hidup bersimbiosis dengan tanaman dalam jaringan tanaman. Endofit dapat ditemukan pada berbagai spesies tanaman dan dapat mempengaruhi fisiologi tanaman inangnya. Mikroba endofit, diantaranya jamur endofit mampu membantu tanaman mempertahankan diri dari serangan patogen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan jamur endofit yang diisolasi dari daun terhadap ketahanan tanaman jagung yang terserang patogen penyebab penyakit karat daun. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai potensi biotik yang berasal dari tanaman inang dan dapat dijadikan pengendalian hayati.
Penelitian dilaksanakan pada Desember 2016 hingga Juni 2017 di lahan pertanian jagung Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang dan Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Dari sepuluh varietas yang ditanam yaitu BMD57, BMD58, BMD59, BMD60, TF8016, BISI18, DK95, P35, NK6326 dan Pertiwi2, diambil 5 sampel varietas tanaman untuk eksplorasi jamur endofit. Pengambilan sampel berdasarkan nilai intensitas penyakit di lapang yang mewakili kategori tinggi, sedang, dan rendah. Kelima varietas yaitu Pertiwi2, BMD58, BMD60, DK95, dan BISI18. Hasil eksplorasi jamur endofit diidentifikasi berdasarkan karakter makroskopis dan mikroskopis. Dihitung pula nilai keanekaragaman (H’), dominasi (C), dan keseragaman (E). Ketahanan tanaman dilihat dari nilai intensitas penyakit dan hasil produksi melalui perhitungan indeks produksi.
Ditemukan 16 isolat jamur yang terdiri dari 4 genus yaitu Penicillium, Acremonium, Fusarium, dan Curvularia. Indeks keanekaragaman (H’) jamur endofit varietas BMD60 tergolong sedang yaitu 1,040. Indeks keanekaragaman (H’) varietas Pertiwi2, BISI18, BMD58 dan DK95 tergolong rendah yaitu masing- masing 0,562, 0,347, 0,693 dan 0,637. Indeks dominasi (C) jamur endofit varietas Pertiwi2 dan DK95 tergolong sedang yaitu 0,625 dan 0,555. Indeks dominasi (C) jamur endofit varietas BISI18, BMD58, BMD60 dan DK95 tergolong rendah yaitu masing-masing 0,250, 0,50, dan 0,375. Indeks keseragaman (E) jamur endofit varietas Pertiwi2, BISI18, BMD58, BMD60 dan DK95 tergolong rendah yaitu masing-masing 0,203, 0,125, 0,250, 0,375 dan 0,230.
Kategori ketahanan berdasarkan intensitas penyakit menunjukkan bahwa 10 varietas yang ditanam tergolong agak tahan dengan nilai intensitas penyakit antara 11-25%. Kategori ketahanan berdasarkan indeks produksi menunjukkan bahwa 10 varietas yang ditanam tergolong tahan dengan rerata indeks antara 0,94-1,57. Varietas dengan jumlah jamur endofit lebih banyak, nilai intensitas penyakit lebih rendah. Data menunjukkan bahwa keragaman jamur endofit berhubungan tidak langsung dengan ketahanan tanaman terhadap penyakit karat.
ii SUMMARY
RULI ROHMATUL HIDAYAH. 135040201111285. Diversity of Endophytic Fungi on Leaves and the Relation with Plant Resistance to Rust Disease (Puccinia polysora Underw) on Maize (Zea mays L.) Varieties. Supervised by Dr. Ir. Syamsuddin Djauhari, MS. and Antok Wahyu Sektiono, SP., MP.
Endophytic microorganism lifes simbion with plants tissues. Endophytic was found in the variety of plants and influence host physiology. Endophytic microorganism such as fungi can induce resistance of plants. This research aims to know the influence of fungi diversity on the plant resistances to rust disease.
This research expects could give information the development of rust disease and potential of microorganism to use biological control.
The research was conducted at PT BISI International Tbk’s field in Ngantang Sub District, Malang and Laboratory of Phytopathology Department of Pest and Plant Disease Faculty of Agriculture Brawijaya University from December 2016 to June 2017. There was ten varieties of maize had to plant, BMD57, BMD58, BMD59, BMD60, TF8016, BISI18, DK95, P35, NK6326 dan Pertiwi2. The varieties of Pertiwi2, BMD58, BMD60, BISI18 and DK95 was taken to exploration endophytic fungi based on rust disease intensity. Endophytic fungi that identified were analyzed on macroscopic and microscopic, diversity, domination and uniformmity. The resistance of plant based on development disease and yield index.
There are 16 isolate of endophytic fungi were grouped to Penicillium sp., Acremonium sp., Fusarium sp., and Curvularia sp. The diversity index (H’) of BMD60 was grouped medium (1,040). The diversity index of Pertiwi2, BISI18, BMD58 dan DK95 was grouped low (0,562; 0,347; 0,693; 0,637). The domination index of Pertiwi2 (0,625) and DK95 (0,555) was grouped medium, and BISI18 (0,250), BMD58 (0,50), and BMD60 (0,375) was grouped low. The uniformity index of all varieties was grouped low, Pertiwi2 (0,203), BISI18 (0,125), BMD58 (0,250), BMD60 (0,375), DK95 (0,230).
The resistance category based on disease intensity showed that all varieties was grouped mid-resistance with value 11-25%. The resistance category based on yield index showed that all varieties was grouped resistance with value 0,94-1,57. The variety was higher endophytes has lower disease intensity. The data showed that endophytic fungi influences to host.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Keragaman Jamur Endofit Daun dan Hubungannya dengan Ketahanan Tanaman terhadap Penyakit Karat Daun (Puccinia polysora Underw) pada Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.)”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada,
1. Dr. Ir. Syamsuddin Djauhari, M.S. sebagai dosen pembimbing utama dan Antok Wahyu Sektiono, S.P., M.P. sebagai dosen pembimbing pendamping yang telah memberikan saran, bimbingan, dan kesabaran kepada penulis dalam penyusunan skripsi.
2. Luqman Qurata Aini, S.P., M.Si., Ph.D dan Dr.Agr.Sc. Hagus Tarno, S.P., M.P., selaku dosen penguji dan pembimbing akademik, atas segala nasihat dan bimbingannya kepada penulis.
3. Dr. Ir. Ludji Pantja Astuti, MS. selaku Ketua Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
4. Ibu dan Bapak serta saudara, atas doa, motivasi dan dukungan materi kepada penulis.
5. Rekan-rekan jurusan Perlindungan Tanaman 2013, sahabat penulis jurusan Manajemen Sumber Daya Lahan dan Budidaya Pertanian 2013, atas doa, motivasi dan saran kepada penulis.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan memberikan sumbangan pemikiran dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Malang, Agustus 2017 Penulis
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 29 September 1995 sebagai putri dari Bapak Buyamin dan Ibu Djunakah.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 1 Kebonagung Malang pada tahun 2001 sampai tahun 2007, kemudian melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 1 Wagir pada tahun 2007 sampai tahun 2010.
Pada tahun 2010 sampai tahun 2013 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di MAN 3 Malang. Pada tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Strata 1 Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Jawa Timur melalui jalur SNMPTN.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biokimia Tanaman tahun 2014-2015 dan tahun 2015-2016, Fisiologi Tanaman tahun 2015-2016, dan Ilmu Penyakit Tanaman tahun 2016-2017.
Penulis pernah mengikuti kegiatan kepanitiaan Arthropoda 2016 sebagai divisi konsumsi.
v DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... i
SUMMARY ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ...iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ...ix
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan ... 2
1.4 Hipotesis ... 3
1.5 Manfaat ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Jagung ... 4
2.2 Fase Pertumbuhan Tanaman Jagung ... 6
2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung ... 10
2.4 Budidaya Tanaman Jagung ... 11
2.5 Gejala Penyakit Karat Pada Jagung ... 12
2.6 Patogen Penyebab Penyakit Karat Jagung (Puccinia polysora) ... 14
2.7 Pengendalian Penyakit Karat ... 17
2.8 Ketahanan Terinduksi ... 18
2.9 Jamur Endofit ... 20
III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu ... 24
3.2 Alat ... 24
3.3 Bahan ... 24
3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 24
3.5 Analisis Data ... 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Penyakit Karat Daun Oleh Puccinia polysora ... 31
4.2 Intensitas Penyakit Karat Daun ... 33
4.3 Hasil Produksi Jagung ... 35
4.4 Jamur Endofit ... 36
4.5 Ketahanan Tanaman Jagung ... 51
V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 56
5.2 Saran ... 56
vi
DAFTAR PUSTAKA ... 57 LAMPIRAN ... 63
vii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Daftar Varietas Jagung yang Diuji ... 25
2. Skala Serangan Penyakit Karat ... 26
3. Kategori Tingkat Ketahanan... 28
4. Kriteria Indeks Keragaman Shannon ... 29
5. Kriteria Indeks Dominasi Simpson ... 29
6. Kriteria Indeks Keseragaman ... 30
7. Rata-rata Intensitas Penyakit Karat Daun dengan Perlakuan Varietas ... 33
8. Kategori Ketahanan Jagung Berdasarkan Intensitas Penyakit 91 hst ... 35
9. Rata-Rata Berat Tongkol Per Plot, Berat 5 Tongkol Sampel, Berat Pipilan Sampel dan Rendemen Jagung yang Terserang Penyakit Karat Daun ... 35
10. Hasil Jamur Endofit dari Daun Jagung ... 49
11. Indek Keanekaragaman, Indek Keseragaman, dan Indek Dominasi Jamur Endofit Daun Jagung antara Lima Varietas ... 50
12. Hubungan Jamur Endofit dengan Ketahanan Tanaman Jagung ... 52
13. Kategori Ketahanan Berdasarkan Indeks Produksi (kg) ... 54
LAMPIRAN Nomor Halaman Teks 1. Analisis Ragam Intensitas Penyakit Pengamatan 42 HST ... 63
2. Analisis Ragam Intensitas Penyakit Pengamatan 49 HST ... 63
3. Analisis Ragam Intensitas Penyakit Pengamatan 56 HST ... 63
4. Analisis Ragam Intensitas Penyakit Pengamatan 63 HST ... 63
5. Analisis Ragam Intensitas Penyakit Pengamatan 70 HST ... 64
6. Analisis Ragam Intensitas Penyakit Pengamatan 77 HST ... 64
7. Analisis Ragam Intensitas Penyakit Pengamatan 84 HST ... 64
8. Analisis Ragam Intensitas Penyakit Pengamatan 91 HST ... 64
9. Analisis Ragam Berat Tongkol Jagung Per Plot ... 65
10. Analisis Ragam Berat 5 Tongkol Sampel Jagung ... 65
11. Analisis Ragam Berat Pipilan Sampel Jagung ... 65
12. Analisis Ragam Rendemen ... 65
13. Perhitungan Indek Keanekaragaman (H’) Jamur Endofit Varietas Pertiwi2 .. 66
14. Perhitungan Indek Keanekaragaman (H’) Jamur Endofit Varietas BISI18 .... 66
15. Perhitungan Indek Keanekaragaman (H’) Jamur Endofit Varietas BMD58 ... 66
16. Perhitungan Indek Keanekaragaman (H’) Jamur Endofit Varietas BMD60 ... 66
17. Perhitungan Indek Keanekaragaman (H’) Jamur Endofit Varietas DK95 ... 66
18. Perhitungan Dominasi (C) Jamur Endofit Varietas Pertiwi2, BISI18, BMD58, BMD60 dan DK95 ... 67
viii
19. Perhitungan Keseragaman (E) Jamur Endofit Varietas Pertiwi2, BISI18,
BMD58, BMD60 dan DK95 ... 67
20. Nilai Indek Tertinggi dan Indek Terendah Setiap Komponen Produksi ... 67
21. Perhitungan Indek Produksi Varietas BMD57 ... 68
22. Perhitungan Indek Produksi Varietas BMD58 ... 68
23. Perhitungan Indek Produksi Varietas BMD59 ... 69
24. Perhitungan Indek Produksi Varietas BMD60 ... 69
25. Perhitungan Indek Produksi Varietas TF8016 ... 70
26. Perhitungan Indek Produksi Varietas BISI18... 70
27. Perhitungan Indek Produksi Varietas DK95 ... 71
28. Perhitungan Indek Produksi Varietas P35 ... 71
29. Perhitungan Indek Produksi Varietas NK6326 ... 72
30. Perhitungan Indek Produksi Varietas Pertiwi2 ... 72
31. Tinggi Tanaman Jagung Pipil ... 73
32. Jumlah Daun Jagung Pipil ... 73
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1. Morfologi Akar Jagung ... 4
2. Morfologi Batang Jagung ... 5
3. Morfologi Bunga Jagung ... 5
4. Morfologi Biji Jagung... 6
5. Gejala Penyakit Karat oleh P. polysora Pada Daun dan Batang ... 13
6. Serangan P. polysora Pada Lahan Jagung ... 14
7. Morfologi P. polysora Secara Mikroskopis ... 15
8. Diagram Induksi Ketahanan Tanaman Melalui SAR dan SIR ... 19
9. Mekanisme Ketahanan Tanaman Oleh Jamur Endofit ... 22
10. Gejala Serangan Karat Daun di Lapang ... 31
11. Mikroskopis urediospora P. polyspora ... 32
12. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Acremonium sp. ... 37
13. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Penicillium sp. ... 37
14. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Penicillium sp. ... 38
15. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Penicillium sp. ... 39
16. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Acremonium sp. ... 40
17. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Curvularia sp. ... 41
18. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Penicillium sp. ... 41
19. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Curvularia sp. ... 42
20. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Penicillium sp. ... 43
21. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Curvularia sp. ... 44
22. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Curvularia sp. ... 45
23. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Penicillium sp. ... 45
24. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Fusarium sp. ... 46
25. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Cuvularia sp. ... 47
26. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Penicillium sp ... 48
27. Isolat Jamur Endofit Daun Genus Curvularia sp ... 49
LAMPIRAN Nomor Halaman Gambar 1. Morfologi daun jagung sehat (Skor 0) ... 74
2. Morfologi daun jagung sehat (Skor 1) ... 74
3. Morfologi daun jagung sehat (Skor 2) ... 75
4. Morfologi daun jagung sehat (Skor 3) ... 75
5. Morfologi daun jagung sehat (Skor 4) ... 76
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komoditas jagung memiliki peran yang penting dalam sistem ketahanan pangan dan penggerak roda ekonomi nasional. Saat ini jagung tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan dan pakan saja, tetapi juga digunakan sebagai bahan baku industri seperti bahan bakar alternatif (biofuel), polimerasi, dan fermentasi (Dirjen Tanaman Pangan, 2015). Permintaan terhadap jagung yang tinggi menyebabkan dilakukan upaya peningkatan produksi baik melalui luas tanam maupun produktivitas.
Produksi Jagung di Indonesia tahun 2010-2014 mengalami rerata pertumbuhan sebesar 1,11% per tahun. Peningkatan produksi jagung terjadi karena adanya peningkatan produktivitas sekitar 2,87% per tahun (Kementan, 2015). Produksi jagung Indonesia sebagian besar berasal dari pulau Jawa (±
66%) dan sisanya berasal dari provinsi luar Jawa terutama Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur (Susmawati, 2014). Kendala utama pada produksi pertanian di masa sekarang yaitu kondisi iklim global yang tidak stabil. Perubahan iklim global berdampak pada perubahan pola dan intensitas curah hujan. Bagi sektor pertanian, dampak lanjutan dari perubahan iklim adalah bergesernya pola dan kalender tanam, perubahan keanekaragaman hayati, eksplosi hama dan penyakit tanaman dan hewan, serta pada akhirnya adalah penurunan produksi pertanian (Kementan, 2015).
Penyakit karat merupakan penyakit yang endemis, sering menjadi penyebab utama rendahnya hasil di beberapa daerah sentra produksi jagung di Indonesia. Di Indonesia penyakit karat telah dilaporkan menyebar luas di wilayah-wilayah sentra pertanaman jagung, terutama pada lokasi dengan kelembaban yang tinggi seperti di Sulawesi Tengah, Bali, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang merupakan sentra produksi jagung (Pakki, 2016). Di wilayah kabupaten Kediri, Jawa Timur penyakit karat oleh Puccinia polysora menjadi salah satu penyakit utama pada tanaman jagung (Talanca et al., 2015). Isakeit (2014) melaporkan bahwa serangan penyakit karat mengakibatkan kerugian hasil panen sebesar 4-45%.
Upaya pengendalian karat dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penggunaan varietas tahan, waktu tanam yang serentak, sanitasi lingkungan tanaman jagung, dan penggunaan fungisida. Cara yang paling mudah untuk
dilakukan oleh petani dan tanpa pengaruh negatif terhadap lingkungan adalah penggunaan varietas tahan (Talanca et al., 2015).
Ketahanan tanaman terhadap herbivor atau patogen berupa pertahanan fisik dan pertahanan kimia. Pertahanan tersebut dapat dipengaruhi oleh keberadaan mikroba dalam tanaman. Mikroba endofit hidup bersimbiosis dengan tanaman dalam jaringan tanaman. Endofit dapat ditemukan pada berbagai spesies tanaman dan dapat mempengaruhi fisiologi tanaman inangnya.
Huang et al., (2009) melaporkan dari 29 jenis tanaman obat yang diisolasi, terdapat 549 isolat jamur yang diperoleh dari jaringan daun.
Mikroba endofit, diantaranya jamur endofit mampu membantu tanaman mempertahankan diri dari serangan patogen. Jamur endofit mampu menginduksi ketahanan tanaman dari penyakit, dan banyak mekanisme yang berkaitan dengan ketahanan tersebut (Selim et al., 2012). Tanaman yang sehat secara langsung dapat bertahan terhadap adanya berbagai serangan penyakit (Melliawati et al., 2006).
Jamur endofit yang pernah ditemukan pada jagung yaitu Acremonium zeae bersifat antagonis dan menghambat produksi senyawa mikotoksin oleh Aspergillus flavus dan Fusarium verticillioides (Wicklow et al., 2005). Ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit karat dapat dipengaruhi oleh keberadaan jamur endofit. Jumlah jamur endofit dalam jaringan daun diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan tanaman jagung.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketahanan tanaman jagung terhadap serangan karat oleh P.
polysora?
2. Bagaimana keragaman jamur endofit pada daun jagung?
3. Bagaimana hubungan antara keragaman jamur endofit dengan ketahanan tanaman terhadap penyakit karat serta kemampuan tanaman untuk berproduksi?
1.3 Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut.
1. Mengkaji ketahanan tanaman jagung terhadap serangan penyakit karat oleh P. polysora
2. Mengkaji keragaman jamur endofit pada daun jagung
3. Mengkaji hubungan antara keragaman jamur endofit yang diisolasi dari daun dengan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit karat daun dan kemampuan tanaman untuk berproduksi.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Terdapat perbedaan ketahanan tanaman jagung terhadap serangan penyakit karat oleh P. polysora
2. Terdapat perbedaan tingkat keragaman jamur endofit pada daun jagung 3. Keragaman jamur endofit pada daun jagung memiliki hubungan dengan
ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit karat daun
1.5 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perkembangan tingkat serangan karat daun P. polysora pada tanaman jagung, serta dapat digunakan sebagai dasar pengendalian penyakit karat jagung secara hayati.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tanaman Jagung
Jagung diklasifikasikan dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisio Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, ordo Graminae, famili Graminaceae, genus Zea dan spesies Zea mays L. Jagung merupakan tanaman yang tinggi, berumah satu, dan semusim (Ministry Environment and Forest, 2009). Morfologi tanaman jagung terdiri dari akar, batang, bunga dan biji.
1. Akar
Awal fase pertumbuhan jagung berupa kecambah. Akar primer menjadi awal pertumbuhan tanaman. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan tumbuh menyamping. Akar yang tumbuh relatif dangkal ini merupakan akar adventif dengan percabangan yang amat lebat (Wakman et al., 2007). Umumnya jagung memiliki tiga jenis akar yaitu, (1) akar seminal yang berkembang dari radikal dan terbentuk dalam waktu yang lama, (2) akar adventif, serabut akar yang berkembang dari titik tumbuh batang bagian bawah yang dekat dengan perakaran, dan (3) akar tunjang, yang berkembang dari dua buku terbawah. Pertumbuhan akar sangat cepat baik secara vertikal maupun horizontal. Pada jenis tanah yang ringan, akar jagung mampu mencapai kedalaman 60 cm di bawah permukaan tanah (Ministry Environment and Forest, 2009).
Gambar 1. Morfologi akar jagung (Ritchie et al., 1992) 2. Batang
Batang tanaman jagung berbentuk silindris dan tidak berlubang. Batang tanaman jagung yang masih muda (hijau) rasanya manis karena cukup banyak mengandung zat gula. Rata-rata panjang (tinggi) tanaman jagung antara 1-3 meter di atas permukaan tanah. Daun jagung tumbuh di setiap ruas batang.
Daun ini berbentuk pipa, mempunyai lebar 4-15 cm dan panjang 30-150 cm,
serta didukung oleh pelepah daun yang menyelubungi batang. Daun mempunyai dua jenis bunga yang berumah s
Gambar 2. Morfologi batang jagung (Ritchie 3. Bunga
Pada setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung tanaman, sedangkan bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina ini biasanya disebut tongkol selalu dibungkus kelopak
sekitar 6-14 helai.
Gambar 3. Morfologi bunga jagung, A. Bunga jantan, B. Bunga betina (O’Keeffe et al., 2009)
Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terjumbai di ujung tongkol sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga jantan yang terdapat di ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga betina (Wakman dan Burhanuddin, 2
oleh beberapa lapis daun, dan sangat dekat dengan batang.
serta didukung oleh pelepah daun yang menyelubungi batang. Daun mempunyai dua jenis bunga yang berumah satu (Wakman et al., 2007).
Gambar 2. Morfologi batang jagung (Ritchie et al., 1992)
Pada setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung an bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina ini biasanya disebut tongkol selalu dibungkus kelopak-kelopak yang jumlahnya
A B
Gambar 3. Morfologi bunga jagung, A. Bunga jantan, B. Bunga betina (O’Keeffe 2009)
Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terjumbai di ujung tongkol sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga jantan yang terdapat di ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga betina (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Bunga betina tebal dan dilindungi oleh beberapa lapis daun, dan sangat dekat dengan batang.
serta didukung oleh pelepah daun yang menyelubungi batang. Daun mempunyai
1992)
Pada setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung an bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina kelopak yang jumlahnya
Gambar 3. Morfologi bunga jagung, A. Bunga jantan, B. Bunga betina (O’Keeffe
Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terjumbai di ujung tongkol sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga jantan yang terdapat di ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga 007). Bunga betina tebal dan dilindungi
4. Biji
Jagung memiliki buah matang berbiji tunggal yang disebut karyopsis.
Buah ini gepeng dengan permukaan atas cembung atau cekung dan dasar runcing. Buah ini terdiri endosperma yang melindungi embrio lapisan aleuron dan jaringan perikarp yang merupakan jaringan pembungkus. Biji memiliki dua struktur, inti biji yang terdiri dari plumula dan radikal dan endosperma sebagai penyimpan cadangan nutrisi selama perkecambahan (Ministry Environment and Forest, 2009).
Gambar 4. Morfologi biji jagung (Hoeft et al., 1992)
2.2 Fase Pertumbuhan Tanaman Jagung
Pertumbuhan jagung dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu fase perkecambahan, fase pertumbuhan vegetatif dan fase reproduktif (O’Keeffe et al., 2009).
1. Fase Perkecambahan
Proses perkecambahan diawali saat biji ditanam pada kondisi lembab dan tanah hangat. Air akan terserap melalui lapisan biji dan biji mulai membesar.
Biji yang awalnya kering akan terakumulasi oleh air sekitar 30%. Aktivitas enzim pada embrio mulai meningkat. Aktivasi enzim pertumbuhan pada embrio mengakibatkan perpanjangan radikel dan kemunculan biji selama 2-3 hari. Plumula mulai memanjang dan daun muncul dari bagian dalamnya.
Daun yang masih kecil dan halus tertutupi oleh struktur koleoptil yang akan tumbuh ke permukaan atas tanah.
Pertumbuhan akar (radikel) berperan dalam penyerapan air dan nutrisi.
Akar yang muncul dari biji disebut akar primer. Akar primer tumbuh secara langsung dari biji dan menegakkan kecambah selama 2 hingga 3 minggu
sampai terbentuk perakaran sekunder. Koleoptil dan mesokotil memanjang dan tumbuh ke atas menembus permukaan tanah. Koleoptil yang sudah menembus permukaan tanah dan terkena sinar matahari, akan tumbuh secara terus-menerus. Koleoptil muncul dari dalam tanah sekitar 6-10 hari setelah penanaman. Kemudian 7 hari setelah muncul di tanah, daun dan akar primer mulai terbentuk. Setelah satu hingga daun tumbuh, rata-rata pertumbuhan daun berikutnya terjadi setiap 3 hari sekali.
2. Fase Vegetatif
Fase V1-V2
Fase ini berlangsung 1 minggu setelah tanaman berkecambah. Pada fase ini, 1-2 daun tumbuh dari batang dan akar primer berukuran kecil.
Nutrisi yang digunakan tanaman masih sedikit, namun penyerapan nutrisi oleh akar berlangsung terus menerus. Pemupukan di dalam tanah efektif dilakukan pada fase ini.
Fase V3-V5
Fase ini berlangsung pada saat tanaman berumur antara 10-18 hari setelah berkecambah. Pada fase ini akar seminal sudah mulai berhenti tumbuh, akar nodul sudah mulai aktif, dan titik tumbuh di bawah permukaan tanah. Pada fase ini, secara mikroskopis pembentukan tassel dimulai. Suhu tanah sangat mempengaruhi titik tumbuh. Suhu rendah akan menurunkan kemampuan tanaman menyerap nutrisi dan perkembangan menjadi lambat. Jumlah daun yang terbuka sempurna 3-5.
Fase V5-V8
Pertumbuhan telinga daun terjadi. Perkembangan jumlah biji bergantung dari kondisi lingkungan. Jumlah daun yang terbuka sempurna 5-8.
Fase V6-V7
Berlangsung pada 3 minggu setelah perkecambahan. Sistem perakaran mulai berkembang 45 cm secara vertikal dan 60 cm secara horizontal. Penyerapan nutrisi oleh tanaman lebih besar. Dilakukan pemangkasan akar berlebihan yang tumbuh ke atas permukaan tanah.
Fase V7
Polinasi yang terjadi pada fase ini ditentukan oleh panjang telinga dan jumlah biji. Ovul tumbuh pertama, dan disusul oleh ovul yang lain.
Setelah perkembangan ovul lengkap, energi, nutrisi dan air harus tetap
tersedia. Jika kebutuhan nutrisi tercukupi, ovul akan berkembang dan menghasilkan rambut dan siap untuk diserbuki. Jika kebutuhan nutrisi tidak tercukupi, pertumbuhan ovul akan terhambat dan kondisi tanaman tertekan.
Fase V8-V9
Berlangsung 4 minggu setelah perkecambahan. Percabangan akar yang keempat memanjang. Beberapa buku pada batang terbentuk.
Masing-masing perkembangan buku batang terjadi lambat. Kekurangan unsur hara akan membatasi pertumbuhan daun. Pengurangan jumlah daun yang menggulung dan kering sebesar 10-20% hingga panen. Air yang menggenang dan suhu tinggi dapat membunuh tanaman dalam beberapa hari.
Fase V10-V11
Fase ini berlangsung pada saat tanaman berumur 5 minggu setelah berkecambah. Pertumbuhan daun menjadi lambat. Kebutuhan hara dan air relatif sangat tinggi untuk mendukung laju pertumbuhan tanaman.
Tanaman sangat sensitif terhadap cekaman kekeringan dan kekurangan hara. Pada fase ini, pertumbuhan lebih banyak menentukan hasil panen.
Jagung hibrida yang kematangannya lebih awal, melalui fase ini dengan waktu singkat.
Fase V12-V13
Fase ini berlangsung pada saat tanaman berumur 6 minggu setelah berkecambah. Percabangan akar dari buku kelima terbentuk. Potensi jumlah biji dan ovul berkembang.
Fase V14-V15
Fase ini berlangsung pada saat tanaman berumur 7 minggu setelah berkecambah, atau 12 hari sebelum masuk ke fase reproduktif. Fase ini merupakan fase kritis dari vegetatif. Pembentukan biji sudah terjadi secara lengkap. Kekeringan akan menghambat pembentukan biji. Pembentukan tassel sudah sempurna namun masih belum terlihat muncul. Rambut tongkol mulai tumbuh di bawah buku. Percabangan akar dari buku yang ke enam terbentuk. Panjangnya bisa mencapai kedalaman 100 cm. Pada beberapa hibrida, pecabangan akar tumbuh lagi pada buku ke delapan atau sembilan.
Fase V18 atau VT (Tasseling)
Fase tasseling biasanya berkisar antara 45-52 hari, ditandai oleh adanya cabang terakhir dari bunga jantan sebelum kemunculan bunga betina (silk/rambut tongkol). Tahap VT dimulai 2-3 hari sebelum rambut tongkol muncul, dimana pada periode ini tinggi tanaman hampir mencapai maksimum dan mulai menyebarkan serbuk sari (pollen). Pertumbuhan telinga daun tetap terjadi. Tekananan dari lingkungan dapat menunda pemasakan serbuk sari. Jika serbuk sari terlambat masak, fase silking juga tertunda.
3. Fase Generatif
Fase R1 (silking)
Terdapat dua bagian penting dari polinasi yaitu (i) viabilitas serbuk sari saat menyerbuki dan kemampuan reseptif rambut ongkol, (ii) serbuk sari harus berkecambah dan membentuk tabung kecambah saat bersatu dengan gamet betina untuk bisa membentuk zigot. Penyerbukan terjadi ketika serbuk sari yang dilepas oleh bunga jantan jatuh menyentuh permukaan rambut tongkol yang masih segar. Serbuk sari tersebut membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk mencapai sel telur, dimana pembuahan akan berlangsung membentuk bakal biji.
Rambut tongkol muncul dan siap diserbuki selama 3-5 hari. Bakal biji hasil pembuahan tumbuh dalam suatu struktur tongkol dengan dilindungi oleh tiga bagian penting biji, yaitu glume, lemma, dan palea, serta memiliki warna putih pada bagian luar biji. Bagian dalam biji berwarna bening dan mengandung sangat sedikit cairan. Pada tahap ini, apabila biji dibelah dengan menggunakan silet, belum terlihat struktur embrio di dalamnya.
Fase R2 (blister)
Fase R2 muncul sekitar 10-14 hari seletelah silking, rambut tongkol sudah kering dan berwarna gelap. Ukuran tongkol, kelobot, dan janggel hampir sempurna, biji sudah mulai nampak dan berwarna putih melepuh, pati mulai diakumulasi ke endosperma, kadar air biji sekitar 85%, dan akan menurun terus sampai panen.
Fase R3 (masak susu)
Fase ini terbentuk 18-22 hari setelah silking. Pengisian biji semula dalam bentuk cairan bening, berubah seperti susu. Akumulasi pati pada setiap biji sangat cepat, warna biji sudah mulai terlihat (bergantung pada
warna biji setiap varietas), dan bagian sel pada endosperm sudah terbentuk lengkap. Kekeringan pada fase R1-R3 menurunkan ukuran dan jumlah biji yang terbentuk. Kadar air biji dapat mencapai 80%.
Fase R5 (pengerasan biji)
Fase R5 akan terbentuk 35-42 hari setelah silking. Seluruh biji sudah terbentuk sempurna, embrio sudah masak, dan akumulasi bahan kering biji akan segera terhenti. Kadar air biji mencapai 55%.
Fase R6 (masak fisiologis)
Tanaman jagung memasuki tahap masak fisiologis 55-65 hari setelah silking. Pada tahap ini, biji-biji pada tongkol telah mencapai bobot kering maksimum. Lapisan pati yang keras pada biji telah berkembang dengan sempurna dan telah terbentuk pula lapisan absisi berwarna coklat atau kehitaman. Pembentukan lapisan hitam (black layer) berlangsung secara bertahap, dimulai dari biji pada bagian pangkal tongkol menuju ke bagian ujung tongkol.
Pada varietas hibrida, tanaman yang mempunyai sifat tetap hijau (stay-green) yang tinggi, kelobot dan daun bagian atas masih berwarna hijau meskipun telah memasuki tahap masak fisiologis. Pada tahap ini kadar air biji berkisar 30-35% dengan total bobot kering dan penyerapan NPK oleh tanaman mencapai masing-masing 100%.
2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung
Tanaman jagung membutuhkan air sekitar 100-140 mm/bulan.
Penanaman dimulai bila curah hujan sudah mencapai 100 mm/bulan. Jagung menghendaki tanah yang subur untuk dapat berproduksi dengan baik. Hal ini dikarenakan tanaman jagung membutuhkan unsur hara terutama nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) dalam jumlah yang banyak (BBPP, 2008).
Tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik pada lahan kering, lahan sawah, lebak dan pasang surut dengan berbagai jenis tanah pada berbagai tipe iklim dan pada ketinggian tempat 0-2.000 m dari permukaan laut. Syarat tumbuh dan berkembangnya tanaman jagung dengan baik adalah (1) lahan bertekstur halus sampai sedang, (2) kedalaman tanah minimal 0,4 m, (3) tanaman jagung masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi drainase agak cepat sampai sedang, namun yang paling baik adalah berada keadaan drainase yang baik (Djaenudin, 2003).
Tanaman jagung akan tumbuh dengan baik pada kapasitas tukar kation (KTK) minimal 16 cmol, pH 5,5-8,2 dan terbaik pada pH 5,8-7,8. Kejenuhan basa (KB) minimal 35% terbaik jika KB>50%, C-organik minimal 0,4%. Sementara itu, tanaman jagung masih dapat tumbuh dengan baik pada kandungan alkalinitas (ESP) 20%, terbaik pada ESP temperatur 20-26°C. Selanjutnya untuk curah hujan adalah 1200-1600 mm dan 400-500 mm, terbaik pada curah hujan 500- 1200 mm, dengan kelembaban 36-42% dan terbaik jika kelembaban >42%
(Djaenudin, 2003).
2.4 Budidaya Tanaman Jagung
Tahapan budidaya tanaman jagung secara umum menurut BBPP (2008) adalah sebagai berikut.
1. Penyiapan Lahan
Pengolahan tanah untuk penanaman jagung dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu olah tanah sempurna (OTS) dan tanpa olah tanah (TOT) bila lahan gembur. Tanah berkadar liat tinggi dilakukan pengolahan tanah sempurna (intensif). Lahan yang ditanami jagung dua kali setahun, pada musim penghujan (rendeng) dilakukan OTS dan pada musim tanam berikutnya (musim gadu) penanaman dapat dilakukan dengan TOT untuk mempercepat waktu tanam.
2. Penanaman
Penanaman dilakukan menggunakan tugal. Pupuk kandang atau kompos diberikan sebanyak 1-2 genggam (50-75 gr) tiap lubang tanam. Pemberian pupuk kandang ini dilakukan 3-7 hari sebelum tanam. Pupuk kandang juga bisa diberikan saat penanaman sebagai penutup benih. Jarak tanam yang dianjurkan ada 2 cara yaitu 70 cm x 20 cm dengan 1 benih per lubang tanam dan 75 cm x 40 cm dengan 2 benih per lubang tanam.
3. Pemupukan
Pemberian pupuk dilakukan sebanyak tiga kali. Pemupukan pertama dilakukan saat 7 hari setelah tanam (hst). Jenis pupuk yang diaplikasikan yaitu Urea 100 kg/ha, SP36 150 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Pemupukan kedua dilakukan saat 28-30 hst. Jenis pupuk yang diaplikasikan yaitu Urea 150 kg/ha. Pemupukan ketiga dilakukan saat 45-50 hst. Jenis pupuk yang diaplikasikan yaitu Urea 100-150 kg/ha. Apabila pupuk yang digunakan berjenis NPK 15:15:15 maka aplikasi dilakukan sebanyak 3 kali. Pertama
saat 7 hst diberikan Phonska sebanyak 350 kg/ha. Kedua saat 28-30 hst diberikan Urea 150 kg/ha. Ketiga saat 45-50 hst diberikan Urea 100-150 kg/ha.
4. Penyiangan
Penyiangan dilakukan dua kali selama masa pertumbuhan tanaman jagung. Penyiangan pertama pada umur 14-20 hst dengan cangkul atau bajak, bersamaan dengan pembumbunan. Penyiangan kedua dilakukan tergantung pada perkembangan gulma (rumput). Penyiangan dapat dilakukan menggunakan herbisida kontak. Pada saat menyemprot nozzle diberi pelindung plastik berbentuk corong agar tidak mengenai daun jagung.
5. Pengendalian Hama dan Penyakit
Penyakit yang banyak dijumpai pada tanaman jagung adalah penyakit bulai. Pengendalian penyakit bulai dengan perlakuan benih, 1 kg benih dicampur dengan metalaksis (Ridhomil atau Saromil) 2 gr yang dilarutkan dalam 7,5-10 ml air. Selain itu dapat disemprot dengan Fungisida (Dithane M- 45) dengan dosis 45 gr/tank isi 15 liter. Penyemprotan dilakukan pada bagian tanaman di bawah tongkol. Penyemprotan dilakukan sesaat setelah ada gejala infeksi jamur. Dapat juga dilakukan dengan cara membuang daun bagian bawah tongkol dengan ketentuan biji tongkol sudah terisi sempurna dan biji sudah keras.
6. Pengairan (Pada musim kemarau)
Pengairan diperlukan bila musim kemarau pada fase (umur) pertumbuhan 15 hst, 30 hst, 45 hst, 60 hst, dan 75 hst. Pada fase atau umur tersebut tanaman jagung sangat riskan kekurangan air. Pengairan dengan pompanisasi pada wilayah yang terdapat air tanah dangkal sangat efektif untuk dikembangkan pada budidaya jagung. Dengan sistem pengairan pompanisasi (sumur dangkal) seperti ini menciptakan sistem sirkulasi air pada lokasi budidaya.
2.5 Gejala Penyakit Karat Pada Jagung
Gejala penyakit karat dominan tampak pada daun tanaman jagung dibanding dengan bagian tanaman lainnya. Pada tanaman dewasa yaitu daun yang sudah tua terdapat titik-titik noda yang berwarna kecoklatan seperti karat serta terdapat serbuk yang berwarna kuning kecoklatan, serbuk ini kemudian menjadi bermacam-macam bentuk (Burhanuddin, 2009). Tipe infeksi di
lapangan adalah mulai menginfeksi pada daun tengah ke bagian daun yang terletak pada bagian atas. Infeksi ditandai dengan adanya pustul kecil berwarna merah kecoklatan yang menyebar dibagian sebelah bawah daun dan atas.
Pustul memperbanyak diri dan dapat menginfeksi keseluruh bagian tanaman.
Pada serangan yang berat pustul karat menginfeksi batang (Pakki, 2016).
Lesio awal terjadi pada daun berukuran kecil dan berbentuk bulat hingga lonjong, biasanya diikuti lingkaran berwarna hijau muda hingga kuning. Lesio berkembang menjadi berwarna orange muda hingga merah keemasan, bentuk bulat hingga oval (0,2–2 mm), muncul pustul pada permukaan daun. Pustul karat yang terbentuk banyak terdapat di permukaan daun bagian atas, dan sedikit berada di permukaan daun bawah. Saat pustul pecah, spora jatuh ke permukaan daun dan masuk ke dalam epidermis. Masa spora yang jatuh ini mengalami siklus penyakit yang kedua, hingga menimbulkan karat kembali.
Banyaknya spora yang terbentuk menyebabkan permukaan bagian atas daun menjadi kasar. Pada tingkat serangan berat daun menjadi kering. Pada tanaman dewasa, pustul berubah warna menjadi coklat kehitaman hingga hitam dan menghasilkan teliospora. Dalam kondisi sakit, daun menjadi klorotik dan matang sebelum waktunya. Lesio dapat berkembang pada batang, kulit ari, dan jaringan daun (Kloppers et al., 2009).
Gambar 5. Gejala penyakit karat oleh Puccini polysora pada daun dan batang jagung (Ziems-Jackson et al., 2014)
Gejala karat oleh Puccinia polysora pada umumnya sama dengan karat oleh Puccinia sorghi. Perbedaannya, pustul P. polysora lebih kecil, berwarna terang (orange muda) dan lebih bulat dan terdapat pada permukaan daun atas sedangkan pustul P. sorghi terdapat pada permukaan daun atas dan bawah.
Uredia dari P. polysora berbentuk bulat dan berwarna coklat emas terang, dan
menyebar ke seluruh permukaan daun (Gambar 5), sedangkan uredia P. sorghi berbentuk bulat lonjong berwarna coklat dan terdapat pada bagian tertentu (CIMMYT, 2004). Penyakit karat oleh P. polysora memiliki kenampakan pustul berwarna orange, bulat hingga lonjong dan lebih kecil dibandingkan dengan pustul oleh P. sorghi. Saat pustul telah menutup permukaan daun, pembentukan pustul baru terjadi di jaringan daun lain, batang dan telinga daun. Daun yang terserang karat akan berwarna kuning, kering, dan mati. Rusaknya daun menyebabkan kematian tanaman di awal, dan hal ini mengakibatkan kehilangan hasil panen (Hagan, 2013)
Gambar 6. Serangan P. polysora pada lahan jagung (Hagan, 2013)
Secara fisiologis, tanaman jagung yang terinfeksi karat mengalami penurunan klorofil dan hormon, penurunan laju fotosintesis dan peningkatan laju respirasi yang diikuti oleh meningkatnya enzim oksidase, sedangkan secara morfologi sebagian tanaman menjadi kerdil, daun mengering. Infeksi karat juga menyebabkan penurunan jumlah hasil biji (Pakki, 2016). Jamur patogen penyebab penyakit karat merupakan parasit yang menyerap nutrisi tanaman untuk pertumbuhan. Pustul karat juga merusak jaringan epidermis, sehingga mengganggu pengaturan penguapan air melalui stomata. Akibatnya beberapa penyakit karat dapat mengurangi efisiensi penggunaan air sehingga tanaman menjadi tertekan. Dampak ini juga berkontribusi terhadap perkembangan penyakit busuk batang (Wise, 2010).
2.6 Patogen Penyebab Penyakit Karat Jagung (Puccinia polysora) 2.6.1. Karakteristik dan Siklus Hidup P. polysora
P.polysora termasuk ke dalam parasit obligat yang menyerang tanaman jagung pada fase pertumbuhan generatif hingga masa panen terutama pada
bagian daun tanaman (Sumartini, 1992), dan apabila tingkat serangan berat maka serangan mencapai seludang daun dan tongkol, hal ini biasanya terjadi pada varietas jagung yang rentan. P. polysora diklasifikasikan ke dalam kingdom Fungi, phylum Basidiomycota, subdivisi Pucciniomycotina, kelas Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili Pucciniaceae, genus Puccinia, spesies Puccinia polysora (Hiratsuka et al., 1982). Jamur ini mempunyai urediospora berwarna kekuningan sampai keemasan, berbentuk elips, berukuran 20-29 x 29- 40 µm (Gambar 7). Tebal dinding spora 1-1,5 µm dengan 4-5 lubang ekuator.
Teliospora berwarna coklat, halus, elips, kedua ujungnya membulat, ukuran 18- 27 x 29-41 µm, mudah lepas, dua sel, timbul pada tangkai pendek ukuran 10-30 µm. Aeciospora belum diketahui (Wakman et al., 2007).
Pada P. polysora, teliospora jarang ditemukan dan tidak diketahui perkecambahannya. Urediospora berfungsi sebagai inokulum primer dan sekunder. Penyebarannya melalui angin. Belum diketahui inang lainnya. Hanya stadia uredia dan telia yang diketahui. P. polysora dan P. zeae cocok pada suhu tinggi (27oC) dengan kelembaban tinggi. Perbedaan ras masing-masing spesies telah diketahui dari reaksi beberapa varietas jagung. P. polysora tidak berkembang pada ketinggian tempat di atas 1200 mdpl. Ketinggian kurang dari 900 mdpl cocok bagi perkembangan penyakit karat (Wakman et al., 2007).
.
Gambar 7. Morfologi P. polysora secara mikroskopis; A uredenia dan telia, B dan C urediospora, D teliospora (Crouch et al., 2011)
Jamur karat memiliki siklus hidup yang kompleks, dimana terdapat lima bentuk spora sesuai perkembangan fasenya yaitu 1) Pycniospora, yang membentuk badan buah Pycnium pada fase perkembangan 0; 2) Aeciospora, yang membentuk badan buah Aecium pada fase perkembangan I; 3) Urediospora, yang membentuk badan buah Uredium pada fase perkembangan II;
4) Teliospora, yang membentuk badan buah Telium pada fase perkembangan III;
5) Basidiospora, yang membentuk badan buah Metabasidium pada fase perkembangan IV (Voegele, 2009). P. polysora tidak memiliki inang alternatif (CIMMYT, 2004), sehingga jamur ini disebut autoecious.
Siklus P. polysora dianggap sama dengan U. fabae yang hanya memiliki satu inang. Setelah musim dingin, teliospora diploid (2n) berkecambah pada musim semi menjadi metabasidium yang terdiri dari 4 basidiospora haploid (n).
Terjadi perkawinan antara basidiospora (-) dengan (+). Pycniospora haploid berubah menjadi bentuk Pycnia saat perkawinan yang terjadi di atas permukaan daun. Setelah spermatisasi, aeciospora dikariotik (n+n) terbentuk dalam aecia di bawah permukaan daun. Infeksi dari aeciospora menghasilkan uredia yang membentuk urediospora dikariotik (n+n). Saat akhir musim panas, urediospora berdiferensiasi menjadi telia yang membentuk teliospora. Siklus hidup selesai dan bisa terulang ke tahap berikutnya (Voegele, 2009).
2.6.2 Ekologi P. polysora
Hampir semua jenis jamur karat memiliki biologi yang kompleks, yaitu dengan banyak fase spora dan membutuhkan lebih dari satu inang untuk menyempurnakan siklus hidupnya. Jamur karat membutuhkan periode yang pendek untuk melakukan infeksi saat daun dalam kondisi yang lembab atau basah (Wise, 2010). Penyebaran penyakit karat dipengaruhi oleh terbentuknya urediospora. Jamur ini tidak dapat bertahan hidup pada jaringan mati karena tidak dapat hidup sebagai saprofit. Berkembang sangat baik pada suhu 27-28oC dan kelembaban udara yang tinggi serta jenis varietas atau tanaman tertentu (Burhanuddin, 2009). Kelembaban udara yang tinggi juga dapat meningkatkan serangan penyakit karat. Penyakit karat dapat terjadi di dataran rendah sampai tinggi dan infeksinya berkembang baik pada musim penghujan atau musim kemarau.
Jamur karat membutuhkan waktu enam jam atau lebih saat kelembaban
>95% untuk perkecambahan spora dan infeksi. P. polysora berkembang pada suhu 77-82oF dan P. sorghi berkembang pada 61-77oF. Urediospora terbentuk di dalam pustul akibat terjadinya infeksi kedua. Pustul karat oleh P. sorghi dilaporkan mencapai 5.000 spora (Jackson-Ziems et al., 2014). Jaringan muda tanaman lebih mudah terinfeksi dan tanaman membutuhkan waktu lebih lama dalam proses penyembuhan.
Penyakit karat disebarkan oleh urediospora dengan bantuan angin, percikan air hujan ataupun serangga. Urediospora tidak dapat bertahan lama
pada sisa-sisa tanaman sakit, terutama pada kondisi yang panas. Oleh karena itu, diduga jamur karat bertahan dari satu musim ke musim berikutnya (Saleh, 2010). Jamur karat umumnya merupakan heteroecious dan membutuhkan sejumlah telia atau uredinia (biasanya gandum) dan inang alternatif (pycnia atau aecia) untuk menyelesaikan siklus hidup secara penuh (Bolton et al., 2008).
Jamur karat menghasilkan basidiospora dan urediospora. Basidiospora dapat pindah ke tempat lain melalui udara, air hujan, dan serangga.
Basidiospora yang jatuh pada permukaan daun akan berkecambah dan melakukan penetrasi pada sel epidermis. Kemudian miselium tumbuh melalui interseluler. Selama 3–4 hari miselium berkembang menjadi spermagonium yang merusak epidermis, dan membuka jaringan permukaan tanaman (Agrios, 2005). Jamur karat termasuk parasit obligat yang membentuk haustoria untuk melakukan penetrasi terhadap sel inang.
Mekanisme infeksi jamur karat dimulai dari menempelnya spora (urediospora atau basidiospora) di permukaan jaringan tanaman dan membentuk tabung kecambah. Terbentuk appresorium yang kemudian masuk ke dalam jaringan tanaman. Vesikel terbentuk secara interseluler dan menyebar ke jaringan tanaman. Terbentuk sel haustorial mother yang berdekatan dengan sel mesofil. Haustoria terbentuk setelah penetrasi dengan dinding sel tanaman.
Haustoria berkembang di dalam jaringan tanaman dan menginfeksi sel (Voegele et al., 2009).
P. polysora merupakan patogen tular udara yang dapat tersebar ke lokasi lahan jagung di wilayah berbeda. Penelitian di Thailand menunjukkan bahwa urediospora mampu berpindah antar wilayah dalam satu provinsi. Perbedaan lokasi menunjukkan kandungan genetik yang tidak sama dari populasi jamur karat. Urediospora yang diproduksi secara berulang terdistribusi dan menginfeksi tanaman jagung lain. Jika klon tersebut memiliki kemampuan berkembang yang tinggi, maka seluruh pasangan alel dapat membentuk populasi di lokasi baru (Janruang, 2013).
2.7 Pengendalian Penyakit Karat
Pengendalian terhadap penyakit karat dapat dilakukan melalui beberapa strategi seperti menanam varietas tahan, waktu tanam tepat, dan kimiawi.
Penanaman varietas tahan merupakan metode yang mudah untuk diaplikasikan.
1. Menanam Varietas Tahan
Pengendalian penyakit dengan menanam varietas tahan merupakan cara yang mudah penerapannya bagi petani, biayanya murah dan ramah terhadap lingkungan. Menanam varietas tahan dimaksudkan untuk menekan serangan penyakit sehingga tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi atau kehilangan hasil relatif kecil. Varietas tahan penyakit karat daun diantaranya Lamuru, Sukmaraga, Palakka, Bima 1 dan Semar 10. Selama periode tahun 2003-2009 telah dilepas varietas jagung hibrida tahan terhadap penyakit karat diantaranya Bisi-16, Bisi-18, Bisi-222, Bisi-818, Pertiwi 1, Pertiwi 2, Pertiwi 3, NK 81, NK 88, DK-2, DK-3, Makmur 4, AS 1 dan Pioneer-21 (Puslitbangtan, 2009).
2. Waktu Tanam Tepat
Pengaturan waktu tanam bertujuan untuk menghindari masa kritis tanaman dari serangan penyakit. Menanam pada waktu yang tepat secara serempak pada suatu hamparan yaitu pada saat sumber inokulum penyakit masih relatif rendah atau belum ada di lapangan dapat memperkecil dan memperpendek distribusi sumber inokulum (Burhanuddin, 2009). Kendala yang masih menghambat teknik pengendalian ini yaitu terbatasnya informasi mengenai fluktuasi penyakit karat di sentra-sentra produksi jagung di Indonesia.
Penyakit yang disebabkan oleh jamur atau cendawan dapat berkembang dengan baik pada kondisi suhu rendah dan kelembaban (RH) yang relatif tinggi.
Oleh karena itu, untuk menghindari tanaman jagung dari serangan penyakit karat sebaiknya menanam pada awal musim hujan, terutama di lahan tegal.
3. Kimiawi
Dalam konsep PHT, penggunaan bahan kimia untuk pengendalian penyakit tanaman merupakan alternatif terakhir. Jenis-jenis pestisida yang direkomendasikan untuk pengendalian penyakit yang disebabkan oleh jamur masih sangat terbatas jumlahnya. Salah satu cara untuk mengurangi frekuensi pemberian fungisida dalam pengendalian penyakit karat pada tanaman jagung adalah menggunakan fungisida yang memiliki efektivitas tinggi dan diaplikasikan berdasarkan tingkat kerusakan tanaman yang diperkirakan akan menimbulkan kerugian secara ekonomi.
Tanaman jagung yang terserang penyakit karat P. polysora dengan intensitas serangan hingga 21% tidak mempengaruhi hasil biji pipilan kering jagung. Hasil yang dicapai pada tingkat serangan 21% secara statistik tidak berbeda nyata dengan hasil dari perlakuan yang disemprot dengan berbagai
jenis fungisida selama fase pertumbuhan tanaman dengan selang waktu aplikasi 10 hari. Dengan demikian, aplikasi fungisida dianjurkan pada saat intensitas serangan penyakit karat lebih besar 21% (Sumartini, 1992).
2.8 Ketahanan Terinduksi
Secara umum tumbuhan akan memberikan respon terhadap serangan patogen. Tanaman akan mempertahankan diri dengan dua cara, yaitu (i) adanya sifat-sifat struktural pada tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan akan menghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam tanaman, dan (ii) respon biokimia yang berupa reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman sehingga patogen dapat mati atau terhambat pertumbuhannya (Siregar, 2003). Peningkatan ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui proses SAR (Systemic Aqcuired Resistance) atau SIR (Induced Systemic Resistance) yang melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein.
Gambar 8. Diagram induksi ketahanan tanaman melalui SAR (Systemic Acquire Resistance) dan ISR (Induced Systemic Resistance) (Pieterse et al., 2009)
Peningkatan ketahanan tanaman melalui SAR terjadi setelah adanya infeksi patogen secara lokal pada tanaman, kemudian tanaman yang terinfeksi mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam ketahanan (pathogenic related genes; PR) yang memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat (SA). Selanjutnya, apabila tanaman yang sudah terangsang ketahanannya itu diinfeksi oleh patogen lain maka tanaman akan dapat mempertahankan dirinya sehingga infeksi patogen tidak berkembang (misanya terlokalisasi akibat sel-sel tanaman di sekitar tempat infeksi mati, disebut reaksi hipersensitif (HR). Pemicu peningkatan ketahanan melalui SIR terjadi bukan karena infeksi patogen, tetapi oleh adanya infeksi mikroba non
patogen pada perakaran, seperti bakteri, jamur atau mikoriza. Respon tanaman terhadap adanya infeksi mikroba nonpatogen, maka tanaman akan memproduksi senyawa-senyawa pertahanan tanaman, seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET). Aktivasi senyawa pertahanan tersebut tidak berhubungan dengan peran gen-gen pertahanan (PR) seperti halnya pada SAR (Supriadi et al., 2013).
Induksi ketahanan sistemik adalah suatu proses stimulasi resistensi tanaman inang tanpa introduksi gen-gen baru. Induksi ketahanan sistemik menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur sistem ketahanan menjadi aktif dan atau menstimulasi mekanisme resistensi alami yang dimiliki oleh inang dengan pengaplikasian bahan penginduksi eksternal (Hoerussalam et al., 2013).
Jamur nonpatogen yang menginduksi tanaman mampu menghasilkan enzim yang membantu proses lignifikasi sehingga tanaman menjadi lebih resisten (Santiago et al., 2013).
2.9 Jamur Endofit 2.9.1 Jamur Endofit pada Jagung
Jamur endofit yang pernah ditemukan pada jagung yaitu Acremonium zeae bersifat antagonis dan menghambat produksi senyawa mikotoksin oleh Aspergillus flavus dan Fusarium verticillioides (Wicklow et al., 2005).
Acremonium zeae yang diisolasi dari jagung dilaporkan memproduksi senyawa pirosidin A dan B yang dapat melindungi tanaman dari patogen penyebab hawar dan busuk batang (Wicklow et al., 2009). Penicillium sp. diketahui bersifat saprofit dan terinfestasi pada biji jagung sebesar 12 hingga 100% (Somda et al., 2008).
Sejumlah 63 isolat jamur endofit yang diisolasi dari akar jagung var. Pulut terdiri dari genus Trichoderma sp., Fusarium sp., Acremonium sp., Aspergillus sp., Penicillium sp., dan Botryodiplodia sp. Genus Fusarium sp., Acremonium sp., Aspergillus sp., dan Trichoderma sp., mampu menghambat pertumbuhan patogen Helminthosporium sp., secara in vitro lebih dari 90% setelah 4 hari aplikasi (Amin et al., 2014). Penelitian lain menyebutkan beberapa macam genus jamur endofit yang ditemukan di jaringan tanaman jagung sehat yaitu Penicillium, Pleosporales, Sarocladium, Gibberella, Eutypella, Sordariomycetes, Aspergillus, Eupenicillium, Acremonuim, Epicoccum, Talaromyces, Phoma, Galactomyces, Trichoderma (Potshangbam et al., 2017).
2.9.2 Peran Jamur Endofit
Endofit merupakan organisme yang hidup pada hidup pada jaringan tanaman dan tidak menimbulkan gejala serta perubahan, walaupun memiliki strategi hidup yang berbeda dengan inang. Endofit dapat hidup secara individual dan kelompok. Asosiasi endofit dengan tanaman dapat berupa mutualisme, komensalisme, patogen laten dan eksploitasi (Schulz et al., 2006). Endofit hidup dalam tanaman inang secara keseluruhan atau sebagian dari siklus hidupnya (Selim et al., 2012).
Keberadaan jamur endofit sangat penting terkait dengan biodiversitas jamur dan komunitas tanaman. Macam interaksi antara jamur endofit dengan tanaman inangnya berupa mutualisme atau simbiosis antagonis terhadap patogen (Arnold, 2007). Jamur endofit memiliki peranan penting pada jaringan tanaman inang yang memperlihatkan interaksi mutualistik, yaitu interaksi positif dengan inangnya dan interaksi negatif terhadap OPT (Azevedo et al, 2000).
Hubungan antara endofit dan tanaman inang dapat dijelaskan dalam bentuk inang spesifik, inang dominan, inang selektif dan inang kesukaan (Cohen, 2006). Inang spesifik yaitu endofit hanya memiliki satu inang atau satu kelompok inang yang memiliki kesamaan spesies. Inang dominan yaitu endofit memiliki beberapa inang yang memiliki habitat sama. Inang selektif yaitu endofit lebih menyukai salah satu jenis inang dibandingkan yang lain. Inang kesukaan yaitu endofit memiliki banyak inang pada tanaman satu famili, habitat sama dan kekerabatan dekat (Selim et al., 2012).
Kolonisasi jamur endofit dapat menginduksi tanaman untuk menghasilkan senyawa dan beberapa jenis senyawa yang telah ada dalam jaringan tanaman dapat bertambah kuantitasnya sebab keberadaan jamur endofit (Huang et al., 2008). Jamur endofit dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotik. Keunggulan jamur ini sebagai agens pengendali hayati yaitu mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi, dan menghasilkan hormon pertumbuhan tanaman inang.
Jamur endofit yang diisolasi dari tumbuhan obat akan memiliki aktivitas senyawa bioaktif yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan tumbuhan inangnya (Anggraini, 2012). Jamur endofit sebagai agens antagonis seperti Penicillium sp. dan Acremonium sp. dilaporkan dapat menghambat perkembangan jamur U. Tepperianum dan beberapa jenis serangga hama pada tanaman sengon (Wiryadiputra, 2007).
Beberapa cendawan fitopatogen penting yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma sp. antara lain Rhizoctonia solani, Fusarium sp., Lentinus lepidus, Phytium sp., Botrytis cinerea, Gloeosporium gloeosporoides, Rigidoporus lignosus dan Sclerotium roflsii yang menyerang tanaman jagung, kedelai, tomat, dan kacang buncis, kubis, cucumber, kapas, kacang tanah, pohon buah- buahan, semak dan tanaman hias (Tindaon, 2008).
2.9.3 Mekanisme Ketahanan Tanaman Oleh Jamur Endofit
Jamur dapat masuk ke dalam tanaman dengan cara masuknya hifa ke dalam akar melalui ronggga intrasel epidermis sehingga mengakibatkan sel akar berlubang dan terjadinya penetrasi hifa (Handayani, 2011). Jamur endofit dapat berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain melalui benih. Miselium jamur tumbuh selama masa pembentukan batang dan dan daun, kemudian hidup dalam jaringan daun dan batang (Aly et al., 2011). Saat berasosiasi dengan tanaman inangnya, jamur endofit juga memiliki pengaruh terhadap jamur patogen tumbuhan. Senyawa metabolit yang dikeluarkan jamur endofit dapat mencegah atau menghambat pertumbuhan patogen tanaman.
Gambar 9. Mekanisme jamur endofit dalam ketahanan tanaman (Schulz et al., 2005)
Koloni endofit yang tidak menimbulkan gejala merupakan bentuk interaksi keseimbangan antagonis antara tanaman inang dengan endofit, termasuk virulensi endofit dan pertahanan tanaman. Interaksi antara inang dan endofit dapat menjadikan ketidakseimbangan antara penyakit pada tanaman, sehingga pertahanan tanaman mampu membunuh atau menghambat patogen. Interaksi dapat dikatakan seimbang atau tidak bergantung pada status inang, virulensi jamur, dan ketahanan tanaman. Virulensi jamur dan ketahanan tanaman
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kondisi nutrisi, fase perkembangan inang (Schulz et al., 2005).
Mekanisme endofit dalam melindungi tanaman terhadap serangan serangga ataupun patogen menurut Gao et al., (2010) sebagai berikut.
(1) Penghambatan pertumbuhan patogen secara langsung melalui senyawa antibiotik dan enzim litik yang dihasilkan.
(2) Penghambatan secara tidak langsung melalui perangsangan endofit terhadap tanaman dalam pembentukan metabolit sekunder seperti asam salisilat, asam jasmonat, dan etilene yang berfungsi dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen atau yang berfungsi sebagai antimikroba seperti fitoaleksin.
(3) Perangsangan pertumbuhan tanaman sehingga lebih tahan terhadap serangan patogen.
(4) Kolonisasi jaringan tanaman sehingga patogen sulit penetrasi.
(5) Hiperparasit.
2.8.2 Faktor Sebaran Jamur Endofit
Endofit dapat ditemukan pada berbagai spesies tanaman dan dapat mempengaruhi fisiologi tanaman inangnya. Melimpahnya kandungan nutrisi dan mikroorganisme di dalam tanah mengakibatkan tumbuhnya jamur di dalam jaringan tanaman. Spesifikasi jaringan tanaman juga berpengaruh terhadap keberadaan jamur endofit. Ditemukan lebih banyak jamur endofit pada jaringan daun, batang dan buah dibandingkan jaringan bunga dan akar. Dari 29 jenis tanaman obat yang diisolasi, terdapat 549 isolat jamur yang diperoleh dari jaringan daun (Huang et al., 2008).
Setiap jamur endofit memiliki perbedaan kesukaan pada tipe jaringan tanaman. Hal ini diperkirakan sebagai gambaran kapasitas untuk bertahan dengan subtrat spesifik seperti senyawa kimia penyusun jaringan dan tekstur jaringan (Srinivas et al., 2015). Sebaran keragaman jamur endofit juga dapat dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan, seperti kelembaban, temperatur, curah hujan dan sumber inokulum yang potensial (Santamaria et al., 2005).
Endofit yang berhasil diisolasi dapat menunjukkan keadaan bioaktivitasnya. Dibutuhkan seleksi dari spesies tanaman karena keberadaan endofit dapat dipengaruhi oleh keunikan biologi tanaman, umur tanaman, kondisi endemis, sejarah botani, dan kondisi lingkungan (Selim et al., 2012).
III. METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan secara in vitro di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan lahan pertanian jagung di Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang sejak Desember 2016 sampai Juni 2017.
3.2 Alat
Alat yang digunakan meliputi autoclave, mikroskop, erlenmeyer, alumunium foil, plastik wrapping, korek api, buku identifikasi, bunsen, cawan petri, LAFC, beaker glass, pinset, kamera, penggaris dan meteran, alat tulis, termohigrometer, dan tisu.
3.3 Bahan
Bahan yang digunakan meliputi daun jagung sehat (tua, medium, muda), media PDA, alkohol 70%, alkohol 96%, chloramphenicol, aquades steril dan khlorox (NaOCl 2%).
3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Penanaman
Penelitian terdiri dari 10 perlakuan dan 3 kali ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 10 plot. Satu plot terdiri dari 4 baris dan setiap baris terdapat 25 tanaman jagung. Satu plot ditanami satu jenis varietas. Perlakuan berupa jenis varietas yaitu BMD57, BMD58, BMD59, BMD60, TF8016, BISI18, DK95, P35, NK6326 dan Pertiwi2. Setiap ulangan dilakukan pengacakan seperti yang tertera pada Tabel 1. Keseluruhan percobaan dilakukan menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Jagung ditanam pada luas plot 2 x 5 m dan jarak tanam 50 x 20 cm.
Setiap lubang ditanam dua biji dan diberi Carbofuran 3G untuk mencegah hama semut atau pemakan daun. Penjarangan tanaman dilakukan pada 7 hari setelah tanam (hst) dengan menyisakan satu tanaman.
Tabel 1. Daftar Varietas Jagung yang Diuji dan Nomor Pengacakan saat Penanaman
No Hibrida
Nomor Plot
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
01 BMD57 101 208 302
02 BMD58 103 209 306
03 BMD59 105 201 303
04 BMD60 109 207 304
05 TF8016 110 202 309
06 BISI18 102 206 307
07 DK95 107 203 308
08 P35 106 205 310
09 NK6326 108 204 305
10 Pertiwi2 104 210 301
3.4.2 Pengamatan Suhu dan Kelembaban
Pengamatan suhu dan kelembaban dilakukan sebanyak 3 kali pada 63 hst, 70 hst dan 77 hst. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan sebagai perbandingan faktor lingkungan di lahan. Alat yang digunakan yaitu termohigrometer.
3.4.3 Pengamatan Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun
Beberapa parameter pengamatan yang akan diukur dalam percobaan ini meliputi pengamatan tidak merusak (non destruktif) dan pengamatan merusak (destruktif). Pengamatan tidak merusak meliputi pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, gejala penyakit, dan intensitas penyakit. Pengamatan merusak meliputi pemotongan daun jagung yang digunakan sebagai sampel isolasi jamur endofit.
Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali, selama 8 minggu sejak 42 hst.
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari tajuk tertinggi hingga batang bawah dekat permukaan tanah. Jumlah daun dihitung secara manual.
3.4.4 Pengamatan Gejala Penyakit Karat dan Penghitungan Intensitas Penyakit
Pengamatan gejala penyakit karat daun dilakukan setiap 7 hari sekali sejak 42 hst. Pengamatan dilakukan sebanyak 8 kali. Sampel pengamatan diambil menggunakan metode sistematik, 10 tanaman setiap plot dan 5 tanaman setiap baris. Pengambilan sampel hanya dilakukan pada baris 2 dan 3.
Penilaian intensitas penyakit dilakukan berdasarkan metode skoring dengan skala 0 sampai 6 menurut Stubbs et al., (1986). Kategori serangan tertinggi adalah skor 6 dan tidak dinilai atau nilai 0 apabila tidak ada serangan pada daun sesuai Tabel 2.
Data pengamatan penularan penyakit karat daun dimasukkan ke dalam rumus berikut (Pakki et al., 2007).
I =∑(n x v)
N x Z x 100%
I : Intensitas penularan
n : Nilai skoring dari setiap sampel tanaman v : Banyaknya daun pada skoring tersebut N : Jumlah daun yang diamati
Z : Nilai skoring tertinggi
Tabel 2. Skala Serangan Penyakit Karat
Skala Keterangan
0 Tidak ada serangan
1 >0% sampai dengan 10%
2 >10% sampai dengan 20%
3 >20% sampai dengan 30%
4 >30% sampai dengan 50%
5 >50% sampai dengan 60%
6 >60% sampai dengan 100%
Sumber: Stubbs et al., (1986)
3.4.5 Pengambilan Sampel Jamur Endofit
Sampel tanaman untuk isolasi jamur endofit diambil berdasarkan nilai intensitas penyakit yang mewakili kategori serangan tinggi, sedang dan rendah.
Setiap ulangan diambil 5 jenis varietas sesuai kriteria ketahanan. Setiap plot diambil 1 tanaman secara acak terpilih yang menunjukkan morfologi tanaman sehat. Satu tanaman diambil 3 daun yang terdiri dari daun muda, medium, dan tua.