• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Bab ini merupakan elaborasi dari pemikiran-pemikiran berkaitan dengan konsep yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Bab ini merupakan elaborasi dari pemikiran-pemikiran berkaitan dengan konsep yang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

20 BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini merupakan elaborasi dari pemikiran-pemikiran berkaitan dengan konsep yang perlu dipahami mengenai sampah dan ritual dalam telaah cosmic beauty. Konsep tentang cosmic beauty, ekologi dan ritual merupakan titik dasar untuk memahami tulisan ini. Konsep-konsep

tersebut merupakan konsep yang dekat dengan kehidupan manusia. Cosmic beauty secara umum berbicara mengenai keberadaan alam semesta beserta segala isinya. Oleh karena itu konsep lainnya yang perlu dipahami adalah konsep tentang ekologi yang menjadi bagian pokok dari cosmic beauty. Dalam ekologi, nyatanya dapat terlihat adanya unsur ritual yang secara praktis

terjadi dalam kehidupan manusia. Ritual dilaksanakan oleh individu dan masyarakat sebagai pelaku ritual. Pelaksanaan ritual dan unsur-unsur dalam ritual sebagian besar berasal dan berkaitan dengan alam. Hal ini berarti terdapat hubungan yang berkaitan erat antara konsep- konsep tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat tiga bagian yang menjadi fokus pembahasan dalam bagian ini yaitu konsep tentang cosmic beauty, ekologi, dan ritual.

1. Cosmic Beauty

Secara etimologis konsep kosmos dalam bahasa Yunani Kuno adalah ὁ κόσμος (ho kósmos) yang berarti alam semesta juga ornamennya. Bentuk verbal kosmos adalah κοσμῶ (kosmô), yang hanya berarti saya berornamen. Hal ini dapat berarti alam semesta merupakan suatu keteraturan

(2)

21

dan keindahan.1 Pada sisi lain kecantikan menurut definisi yang dikutip oleh Plotinus yang terdapat dalam tulisan Jula Wildberger, adalah simetri dari suatu bagian terhadap satu sama lain dan terhadap keseluruhan (Wildberger 2019, 70). Definisi ini mengekspresikan konsepsi fungsional tentang keindahan, yaitu bahwa kriteria untuk menilai keindahan suatu benda adalah sejauh mana strukturnya, simetri antara bagian-bagian antara satu sama lain dan berkaitan dengan keseluruhan. Keindahan ada di mana saja, individu perlu menyadari, membuka mata dan melihat keindahan dari hal-hal yang disebut sebagai anugerah pemeliharaan ilahi.2

Konsep keindahan kosmos didasarkan pada dua asumsi yaitu pertama, manusia tidak hanya sebagai makhluk rasional tetapi juga menemukan nilai tertinggi dalam mencintai dan merawat apapun selain dirinya sendiri. Kedua, orientasi motivasi ini menyelaraskan manusia dengan dunia di sekitar mereka sehingga mampu mengekspresikan sifat tersebut dengan baik dan berkembang dalam pelaksanaannya. Selayaknya setiap individu memiliki bagian-bagian tubuh, kosmos juga memiliki keindahannya. Hal tersebut perlu dipertahankan dan disediakan atau disiapkan dengan baik. Keindahan kosmos hanya dapat diingini untuk Tuhan, kosmos itu sendiri dan makhluk di dalamnya.3

Keindahan kosmos adalah milik kosmos yang memastikan manfaat optimal dari kosmos secara keseluruhan (termasuk di dalamnya jumlah, jenis, ketahanan dan keberlanjutannya) dan dari bagian individu yang berada di dalam kosmos. Keindahan kosmos mencapai tujuan yang ditetapkan oleh penyedia. Tujuan penyedia adalah menciptakan sebanyak mungkin hal dan

1 Quora, The Etymology and Origin of the Word “Cosmic”, diakses pada Agustus 2020,

https://www.quora.com/What-is-the-etymology-and-origin-of-the-words-cosmic-and-cosmas.

2 Jula Wildberger, “Cosmic Beauty In Stoicism: A Foundation For An Environmental Ethic As Love Of The Other”

dalam Ailsa Hunt & Hillary Marlow, “Ecology and Theology in the Ancient World Cross Dicisplinary Perspective”

(New York: Bloomsbury Academic, 2019), 70.

3 Wildberger, “Cosmic Beauty,” 69.

(3)

22

mempromosikan kepentingan masing-masing sedemikian rupa sehingga keseluruhan, yaitu kosmos, berisi semua ketentuan yang diperlukan baik untuk pemeliharaan individu maupun untuk keberlanjutannya sendiri. Namun hasil dari kepentingan yang beragam adalah konflik.

Konflik menjadikan segala kepentingan tidak akan terpenuhi dengan baik. Keindahan adalah fitur dari kosmos, yang mengurangi konflik seperti itu dan mengubahnya menjadi harmoni atau sinergi.4

Konsep Stoic tentang kecantikan memperhitungkan keterkaitan individu tanpa mengabaikan kebutuhan mereka, dan terutama kebutuhan yang paling lemah. Dalam mengembangkan berbagai kemampuannya, manusia belajar untuk menjadi semakin berperan dalam cara yang tidak berhenti pada batas antara manusia dan non-manusia, antara yang hidup dan tidak hidup.

Orang bijak berkembang dengan kepedulian pada berbagai masyarakat non manusia, seperti alam semesta, planet bumi, atau ekosistem tempat mereka hidup. Kemampuan tersebut memiliki makna dan kebaikan hanya dalam melayani semua makhluk lain serta masyarakat secara keseluruhan. Jika seorang manusia gagal berperan, mengeksploitasi dan merusak makhluk lain secara tidak perlu, maka ini adalah tanda kelemahan dan ketidakbahagiaan, bahwa orang atau masyarakat yang bersangkutan belum dapat mengembangkan potensi dan kemampuan bersosialisasi mereka. Menurut Stoics, individu bukan didorong oleh insting biologis, tetapi bertindak karena telah memilih untuk melakukan sesuatu yang dinilai rasional (Wildberger 2019, 74). Cosmic beauty mencakup hal-hal yang kompleks dan berkaitan erat satu dengan yang lain, termasuk di dalamnya adalah keseluruhan dan bagian individu dalam kosmik.

Konsep llain oleh Michael Idvorsky Pupin mengenai cosmic beauty dalam tulisan Edward B.

Davis, didasarkan pada tradisi agama Ortodoks Timur, yaitu kehadiran keindahan dan

4 Wildberger, “Cosmic Beauty”, 69.

(4)

23

keteraturan di alam semesta sebagai manifestasi dari Firman Ilahi yang transenden (Davis 2009, 295). Firman Ilahi yang membuat segala sesuatu menjadi ada dan diungkapkan dalam Yesus Kristus. Pupin memiliki perhatian khusus pada gerakan gelombang dan bentuk energi yang lain, dan menafsirkannya sebagai sarana utama Tuhan yang imanen menciptakan dan memelihara ketertiban di alam semesta. Dalam ajaran St Gregory Palamas disebut sebagai “energi” ilahi.

Bagi Pupin, seluruh kosmos adalah sebuah ikon yang mana melalui ikon tersebut kemuliaan dan kebijaksanaan dari pencipta yang tak terlukiskan dapat terlihat.5

James B. Cuffe dalam tulisannya, Beauty and Careful Representation: Interpreting the Social and the Cosmic juga mengemukakan pemahaman mengenai hubungan manusia dengan alam

semesta (Cuffe 2012, 144). Hubungan manusia dengan alam semesta (kosmos) merupakan suatu hubungan yang saling berkaitan antara manusia dan keberadaannya di atau dalam alam semesta.

Setiap pemahaman abstrak yang dikembangkan tentang dunia adalah sebuah representasi dari hubungan hidup manusia di dalam dan dengan kosmos. Ketika pemahaman ini dilupakan, maka yang tersisa bersama manusia adalah segala sesuatu yang buatan dan tidak nyata. Kecantikan atau keindahan telah dilupakan/diabaikan di berbagai tempat. Keindahan hilang dalam kehadiran mimikri atau sesuatu yang buatan/diadaptasi, yang merupakan gejala dunia teknologi saat ini.

Gagasan struktur politik, ekonomi, dan sosial suatu masyarakat dapat mengalami perubahan seiring waktu, memahami manusia sebagai pembuat takdirnya sendiri dan tidak tunduk kepada Tuhan atau kosmos.6

5 Edward B. Davis, “Michael Idvorsky Pupin: Cosmic Beauty, Created Order, and the Divine Word”, dalam Nicholaas A. Rupke, “Eminent Lives in Twentieth-Century Science and Religion,” New York: Peter Lang GmbH, 2009, 295.

6 James B. Cuffe, Beauty and Careful Representation: Interpreting the Social and the Cosmic, University College Cork, 2012, 143-144.

(5)

24

Representasi terhadap benda menjadi keutamaan aktivitas manusia (Cufee 2012, 149).

Memahami dengan pasti hakikat pemikiran manusia purba merupakan sesuatu yang cukup sulit.

Terdapat salah satu teknik yang dikembangkan adalah representasi. Kecantikan muncul dari representasi hubungan dengan kosmos, apa yang diungkapkan oleh hubungan manusia dengannya. Manusia perlu bertindak dengan kesadaran akan rasa keindahan yang tidak terbatas dan membiarkannya kecantikan atau keindahan tersebut terungkap. Namun jika manusia bertindak untuk membatasi atau memiliki atau memperbaiki beberapa kualitas kecantikan, maka dapat terjadi kesalahan dalam membentuk kemungkinan perwujudannya. Identifikasi diri dengan simbol objek melalui kepemilikan mendistorsi kemungkinan pengenalan diri yang tepat dan hubungan seseorang dengan kosmos.7

Representasi pengalaman dapat diartikan sebagai seni. Seni dihasilkan dalam konteks atau tradisi tertentu dan bersama dengan itu juga turut berbicara dalam konteks atau tradisi tersebut.

Setiap tradisi berbicara hanya kepada otoritasnya sendiri. Hal ini merupakan suatu penghormatan kepada beberapa dewa baik itu dewa, orang atau ideologi. Tradisi adalah yang menempatkan hukum yang mengatur tindakan. Seni tidak terlepas dari konteks meskipun ia dibawa keluar dari konteks aslinya dan ditempat dalam konteks yang baru. Peran seni dalam politik dan peran estetika dalam seni berputar di sekitar sifat kecantikan. Keindahan muncul dari representasi yang cermat dari pemahaman tentang hubungan manusia dengan kosmos. Seni, sebagai representasi, merepresentasikan keberadaan manusia dengan sesama di kosmos.8 Gambaran yang cermat tentang hubungan manusia dengan alam seringkali ditawarkan oleh penutur cerita. Penutur cerita seseorang yang memiliki bakat, keahlian, atau teknik untuk menyampaikan pengalaman melalui narasi kepada pendengar. Pengalaman dinilai sebagai sesuatu yang utama atau yang menjadi

7 Cuffe, Beauty and Careful, 151-155.

8 Cuffe, Beauty and Careful, 155-160.

(6)

25

pusat. Ketika manusia belajar dari pengalaman, mereka memperoleh pemahaman dan menjadi bijak. Budaya cenderung menghargai kearifan di atas pengetahuan yang abstrak karena yang satu lahir dari pengalaman sedangkan yang lain dari pendidikan formal (sistematis).9

Pemikiran-pemikiran tersebut di atas menunjukkan berbagai hal yang dapat dipahami mengenai cosmic beauty. Salah satu hal yang terlihat didalamnya adalah sinergi. Sinergi dapat dipahami sebagai suatu hubungan bersama atau gabungan antara berbagai unsur. Dengan demikian sinergi yang dilihat cosmic beauty adalah gabungan atau hubungan bersama yang saling mendukung antara segala sesuatu yang ada pada kosmik dan kosmik itu sendiri.

2. Ekologi

Egerton dalam tulisan Utina yang berjudul Ekologi dan Lingkungan Hidup, mengemukakan bahwa kata “ekologi” diusulkan oleh seorang biologiwan yang berasal dari Jerman, Ernest Haeckel pada tahun 1869.10 Ekologi kemudian mulai berkembang sekitar tahun 1900 hingga saat ini. Masyarakat terutama pada tahun 1968 dan 1970 memiliki perhatian yang kuat terhadap masalah polusi, pelestarian alam, kependudukan serta konsumsi pangan dan energi. Hal ini kemudian memberi pengaruh yang kuat terhadap perkembangan ekologi dan ilmu pengetahuan.

Odum dalam Utina juga mengemukakan bahwa ekologi sebelumnya dipandang sebagai bagian dari biologi. Ekologi menjadi disiplin ilmu baru yang mempertanyakan proses fisis dan bilogis, serta menjembatani ilmu alam dan ilmu sosial. Ruang lingkup ekologi kemudian semakin luas dengan pengkajian tentang bagaimana individu dan spesies berinteraksi serta menggunakan

9 Cuffe, Beauty and Careful, 161-162.

10 Ramli Utina dan Dewi Baderan, Ekologi dan Lingkungan Hidup, Gorontalo: 2009, 10.

(7)

26

sumber daya alam semakin diintensifkan. Ekologi mempelajari rumah tangga makhluk hidup (oikos), istilah yang digunakan Ernest Hackel sejak tahun 1869.11

Ekologi berasal dari bahasa latin “oikos” yang berarti rumah dan “logos” yang berarti ilmu.12 Ekologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya).13 Secara harafiah ekologi berarti ilmu kerumahtanggaan. Namun pada kenyataannya, rumah tangga yang dimaksud tidak terbatas pada pengertian rumah tangga yang biasa dipahami tetapi cakupannya lebih luas. Desa, negara hingga seluruh dunia dapat dianggap sebagai rumah tangga bersama. Pengertian lingkungan meliputi tempat dan segala sesuatu yang terdapat di sekitarnya. Dimulai dari rumah tangga yang dipahami pada umumnya hingga yang dipahami secara luas, yaitu angkasa raya atau alam semesta.14 Segala sesuatu yang ada di luar bumi adalah lingkungan bumi. Maka lingkungan tersebut juga menjadi lingkungan penghuni bumi, semua makhluk hidup yang mendiami bumi ini. Segala sesuatu yang ada di bumi saling memberikan pengaruh. Pengaruh timbal balik antara penghuni bumi dan ruang angkasa. William Stern dalam tulisan D. Dwidjoseputro berjudul Ekologi Manusia dan Lingkungannya, memahami manusia sebagai produk dari interaksi antara diri aslinya dengan lingkungan (Dwidjoseputro 1991, 1). Mengamati, mendalami dengan menafsirkan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungan fisiknya dan makhluk hidup yang lain, khususnya dari segi tingkah laku, menjadi ruang gerak dari ekologi. Dalam ekologi, lingkungan fisik disebut sebagai komponen fisik, komponen tak hidup/non hayati/abiotik.

Komponen ini terdiri atas tanah, air, udara, dan benda alam lainnya. Adapun komponen hidup yang disebut sebagai komponen hayati/biotik yang terdiri atas tumbuhan, hewan, dan semua

11 Utina, Ekologi dan Lingkungan, 11.

12 Ekologi, https://id.quora.com/Apa-itu-ekologi, diakses pada Oktober 2020.

13 Ekologi, https://kbbi.web.id/ekologi, diakses pada Oktober 2020.

14 D. Dwidjoseputro, Ekologi Manusia dengan Lingkungannya, (Jakarta: Erlangga, 1991), 1.

(8)

27

makhluk hidup lainnya. Antara semua komponen tersebut terdapat hubungan atau pengaruh timbal balik yang tidak dapat disangkal.15

Dalam interaksi yang terjadi antara makhluk hidup dengan lingkungannya dapat menghasilkan keadaan-keadaan yang mengganggu stabilitas lingkungan. Keadaan yang dianggap mengganggu stabilitas lingkungan yaitu perusakan dan pencemaran. Perusakan lingkungan adalah perbuatan manusia secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung mengakibatkan rusaknya suatu lingkungan. Hal ini juga dapat terjadi secara alamiah melalui faktor-faktor alam seperti petir, hujan yang lebat, dan lain sebagainya. Kerusakan lingkungan lainnya adalah pencemaran. Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam suatu lingkungan, atau berubahnya tata lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam yang mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Arti lain dari pencemaran yaitu segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam jumlah yang demikian banyak hingga dapat mengganggu kesehatan atau kesejahteraan manusia. Segala sesuatu hasil ulah manusia dapat berupa non fisik seperti pencemaran moral, pencemaran kebudayaan dan lain-lain nilai kemanusiaan.16

Kelompok biosentrisme atau konservationisme memahami kehidupan antara manusia dengan lingkungannya harus merupakan satu kesatuan yang harmonis tanpa adanya kecenderungan untuk menguasai atau menentang yang lainnya. Pemahaman ini berdasar pada beberapa alasan yaitu pertama, segala sistem alami yang mendasari perkembangan sejarah umat manusia telah menyatu dalam proses seleksi. Menyadari hal itu, kita didorong untuk terus memperbaiki

15 Dwidjoseputro, Ekologi Manusia, 9.

16 Dwidjoseputro, Ekologi Manusia, 11-13.

(9)

28

komunitas kita. Adanya kemungkinan peluang-peluang yang belum dimanfaatkan tetapi sudah terlanjur hilang. Kedua, keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hubungan biologik dengan lingkungannya. Sistem-sistem alami menghasilkan sumber kekayaan yang tidak dapat diganti, berupa keindahan dan kepuasan batin. Ketiga, sistem alami dipandang dapat menjadi peyangga kelestarian manusia. Keempat, pandangan bahwa semua kehidupan patut untuk dihormati. Membuat cidera atau rusak merupakan perbuatan yang tidak bermoral. Manusia memiliki kemampuan untuk memilih melakukan atau tidak melakukan hal tersebut.17 Kehidupan manusia juga tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di daerah tempat tinggalnya. Budaya masyarakat juga mempengaruhi bagaimana seseorang memperlakukan lingkungan. Kadangkala lingkungan dianggap sebagai lahan produksi tanpa memperhatikan faktor sosial dan budaya.

Dalam analisis Sahlins, manusia sebaiknya memiliki prinsip “cultural ecology”, yaitu dalam memproduksi atau memanfaatkan alam harus mempertimbangkan faktor budaya, sosial, psikologi masyarakat.18

3. Ritual

Pembahasan mengenai ritual seringkali dibicarakan dalam ruang lingkup filosofi, antropologi, dan sosiologi. Ritual dalam pemahaman umum, secara definitif dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ritual dipahami sebagai hal yang berkaitan dengan ritus; hal ihwal ritus.19 Koentjaraningrat, seorang antropolog mengemukakan empat unsur pokok dari religi pada umumnya, yaitu emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, dan kelompok keagamaan (Koentjaraningrat 1981, 228). Pertama, emosi keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang dirasakan oleh manusia dalam jangka waktu hidupnya, lama ataupun singkat

17 Dwidjoseputro, Ekologi Manusia, 29.

18 Roy A. Rappaport, “Ecology, Meaning, and Religion,” (California: North Atlantic Books, 1979), 18-19.

19 Ritual, https://kbbi.web.id/ritual, diakses pada Oktober 2020.

(10)

29

yang mendorong manusia menjalankan kelakuan keagamaan. Emosi keagamaan yang ada di belakang setiap kelakuan keagamaan menyebabkan kelakuan keagamaan tersebut kemudian memiliki suatu nilai keramat atau sacred value. Demikian pula segala hak yang berkaitan dengan kelakuan keagamaan tersebut menjadi keramat.20

Kedua, sistem kepercayaan adalah bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam,

alam gaib, hidup, maut, dan lain sebagainya. Sistem kepercayaan terbentuk dari kesadaran manusia akan adanya suatu alam dunia yang berada di luar batas pancaindera dan luar batas akalnya. Hal ini diyakini sebagai sesuatu yang supernatural atau sebagai dunia gaib. Terdapat makhluk dan kekuatan yang mendiami dunia gaib, di antaranya adalah dewa-dewa, makhluk halus, dan kekuatan sakti. Dewa-dewa merupakan makhluk halus yang dibayangkan dengan nama-nama, bentuk atau ciri-ciri tertentu, sifat-sifat dan kepribadian yang tegas. Kedua, makhluk halus. Manusia tidak memiliki gambaran yang tepat tentang makhluk halus karena makhluk halus atau ruh-ruh itu biasanya tidak menjadi tokoh utama dalam dongeng-dongeng atau mitologi. Bayangan tentang ruh-ruh tersebut berbeda-beda dalam bayangan setiap orang. Ruh- ruh dianggap menempati alam sekitar tempat tinggal manusia. Ketiga, kekuatan sakti. Kekuatan sakti merupakan kepercayaan manusia akan adanya suatu kekuatan dalam gejala-gejala, hal-hal dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Gejala atau hal yang dimaksud dapat berupa gejala alam, tokoh manusia, bagian tubuh makhluk hidup (manusia, binatang, tumbuhan), benda-benda, dan suara. Sedangkan peristiwa luar biasa adalah peristiwa yang berbeda dari jalan kehidupan manusia sehari-hari atau mengandung bahaya bagi keselamatan hidupnya.21

20 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1981), 228.

21 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 229.

(11)

30

Sistem kepercayaan juga memuat bayangan manusia tentang hidup dan mati. Hidup dalam banyak religi dipahami sebagai akibat dari suatu kekuatan yang ada dalam tubuh manusia, yaitu jiwa. Jika jiwa meninggalkan tubuh dan memutuskan hubungan dengan tubuh manusia untuk selamanya maka tubuh itu mati. Jiwa kemudian menjadi ruh. Ruh menurut kepercayaan berbagai suku bangsa di dunia, akan pergi ke salah satu dari tiga tempat, yaitu tempat ruh, tubuh yang baru (reinkarnasi), atau menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Berbagai bentuk kepercayaan atau religious beliefs dalam alam pikiran orang yang percaya akan hal-hal tersebut tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Bayangan-bayangan tersebut menjadi suatu ikatan atau jaringan yang erat satu sama lain. Orang yang hidupnya terpengaruh dengan hal-hal tersebut di atas biasanya tidak bisa memberikan uraian yang tepat tentang berbagai bentuk kepercayaan tersebut. Hal tersebut tidak dipikirkan tetapi dirasakannya.22

Sistem kepercayaan dapat berupa konsepsi yang hidup terlepas dari pikiran individu maupun yang terintegrasi ke dalam dongeng-dongeng dan aturan-aturan yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang bersifat keramat dan menjadi kesusasteraan yang suci. Kesusasteraan suci mengandung konsepsi dan dongeng suci tentang sifat dan kehidupan dewa dan makhluk halus lain, ajaran, aturan dan hukum keagamaan. Kesusateraan suci biasanya bersifat tak tertulis dan hidup dalam ingatan ahli-ahli dan pemuka agama. Ada pula yang bersifat tertulis dalam kitab- kitab suci.23

Ketiga, sistem upacara keagamaan. Manusia menghadapi dunia gaib dengan berbagai

perasaan seperti cinta, hormat, bakti, takut, ngeri, dan lain sebagainya. Perasaan-perasaan itu mendorong manusia untuk melakukan sesuatu yang bertujuan untuk mencari atau membangun

22 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 234.

23 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 239.

(12)

31

hubungan dengan dunia gaib. Hal ini disebut sebagai kelakuan keagamaan atau religious behavior. Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan dengan berdasar pada tata kelakuan yang

baku disebut upacara/ritual keagamaan (religious ceremonies/rites.) Ritual ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya tempat upacara dilakukan, waktu upacara, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara. Tempat upacara biasanya merupakan suatu tempat yang dikhususkan dan yang tidak boleh didatangi oleh orang yang tidak berkepentingan. Setiap orang harus memperhatikan larangan dan pantangan yang ada.

Tempat upacara bisa terletak di dalam rumah tangga seperti tempat perapian atau dapur, di suatu tempat pusat desa berupa bangunan/rumah upacara atau semacam tiang/tahta/panggung, kuburan, ladang/sawah, hutan, pantai/laut dan semua tempat di mana orang merasakan dunia gaib.24

Waktu upacara biasanya dirasakan sebagai saat yang genting dan penuh dengan bahaya gaib.

Lazimnya adalah pergantian siang dan malam. Waktu upacara lainnya adalah waktu pergantian musim, waktu menanam, waktu hamil, waktu kelahiran, waktu wabah penyakit, waktu bencana alam, dan lain sebagainya. Segala bahaya dipahami berpangkal pada suatu peristiwa dalam dunia gaib. Datangnya bahaya-bahaya gaib kepada manusia dapat melalui berbagai macam tanda terlebih dahulu. Dalam berbagai kebudayaan suku di Indonesia, tanda-tanda ini dapat juga menjadi tanda bagi manusia untuk melakukan upacara untuk berjaga-jaga atau menolak bahaya.

Alat atau benda dalam upacara merupakan alat-alat yang digunakan ketika menjalankan upacara keagamaan. alat-alat ini dapat berupa wadah untuk tempat sajian, sendok, pisau, senjata, bendera, patung, topeng, hingga alat bunyi-bunyian.25

24 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 241-242.

25 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 244-245.

(13)

32

Orang-orang yang menjalankan upacara biasanya disebut sebagai pemuka upacara keagamaan yang seringkali dikenal dengan beberapa golongan yaitu pendeta, dukun, dan syaman. Pendeta adalah orang yang karena pendidikannya menjadi ahli dalam hal melakukan pekerjaan sebagai pemuka upacara keagamaan. Pendeta seringkali adalah kaum terpelajar dalam masyarakatnya dan merupakan suatu lapisan sosial dalam masyarakat dengan kesadaran kelas yang besar. Misalnya pada masyarakat Bali, pendeta-pendeta tinggi disebut pedande yang berasal dari kasta Brahmana. Adapun pendeta-pendeta berpangkat rendah yang secara umum dianggap memiliki pengetahuan tentang upacara dan dapat menjalankan upacara-upacara kecil.

Hal ini juga terdapat dalam kehidupan masyarakat Bali yang dikenal dengan pemangku.

Pemangku merupakan pejabat tertentu yang tinggal di sekitar pura (sebagai tempat pusat

penyembahan dan upacara keagamaan), menjaga dan memeliharanya. Pemangku seringkali diminta oleh masyarakat di desa-desa untuk menjadi pemuka dalam upacara keagamaan. syaman atau shaman adalah istilah yang juga digunakan untuk menyebut dukun. Syaman memiliki kehidupan sehari-hari yang sama dengan sesamanya. Hanya saja syaman memiliki kemampuan untuk mengundang ruh-ruh, menjadi medium antara ruh-ruh dan manusia. Semua unsur atau komponen dalam upacara keagamaan bersifat sacral atau keramat, harus dihadapi dengan tidak sembarangan karena dapat menimbulkan bahaya. Berhadapan dengan hal-hal yang keramat, seseorang harus mengindahkan berbagai larangan atau pantangan. Bentuknya bermacam-macam, seperti makanan, bahasa, keadaan tertentu dari diri seseorang, dan lain sebagainya.26

Upacara keagamaan terdiri dari perbuatan-perbuatan yang seringkali tidak dapat dijelaskan alasannya. Beberapa unsur perbuatan yang khusus dalam upacara keagamaan yaitu: bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama, menari, berprosesi atau berpawai, upacara seni drama,

26 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 245-249.

(14)

33

berpuasa, intoxikasi, bertapa dan bersemedi. Bersaji merupakan perbuatan untuk menyajikan makanan, benda, atau lain sebagainya kepada dewa, ruh nenek moyang, atau makhluk halus lainnya. Dalam upacara bersaji, makanan yang disajikan merupakan makanan yang dianggap lezat oleh manusia. Dewa dan ruh-ruh dipandang memiliki kesukaan yang sama dengan manusia.

Air dan api dalam bersaji memiliki peranan yang penting. Sajian yang dilempar ke dalam air atau api (sungai, laut) akan sampai kepada dewa-dewa. Sajian diletakkan di tempat keramat, kemudian ”sarinya” akan sampai kepada tujuannya. Para leluhur hanya datang untuk membau, sedangkan sisa yang tinggal dan menjadi basi akan dibuang.27

Berkorban dipahami sebagai perbuatan pembunuhan binatang korban atau manusia secara upacara. Terdapat beragam alasan atau pemahaman yang mendasari perbuatan berkorban ini.

Berdoa adalah ucapan berupa keinginan manusia, hormat dan pujian kepada para leluhur, dewata, atau Tuhan. Doa biasanya diiringi dengan gerak atau sikap tubuh yang secara khusus menunjukkan sikap hormat dan merendahkan diri. Dalam doa juga terdapat unsur kepercayaan bahwa kata-kata yang diucapkan memiliki kekuatan yang gaib atau sakti. Doa seringkali diucapkan dalam bahasa yang lain seperti bahasa kuno atau bahasa asing, misalnya upacara dalam agama Bali. Makan bersama dilakukan dalam suatu upacara atau ritual atas dasar pemikiran untuk mencari hubungan dengan dewa-dewa dengan cara mengundang dewa-dewa pada suatu pertemuan makan bersama.28

Menari juga salah satu perbuatan yang seringkali ada dalam pelaksanaan upacara atau ritual.

Perbuatan ini didasari oleh pemahaman untuk memaksa alam bergerak. Manusia mempunyai dorongan batin agar alam tidak berhenti atau mati, memaksanya bergerak dengan jalan menari.

27 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 251.

28 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 252.

(15)

34

Menari juga termasuk salah satu teknik untuk mencapai keadaan trance kemasukan ruh.

Berprosesi/berpawai dalam suatu upacara atau ritual dilakukan dengan perbuatan membawa patung dewa, lambang-lambang, benda keramat atau benda pusaka, dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar kesaktian dari benda-benda tersebut dapat memberi pengaruh pada keadaan sekitar tempat tinggal manusia. Berpawai atau berprosesi juga dimaksudkan untuk mengusir makhluk halus atau kekuatan yang menyebabkan keburukan seperti penyakit atau bencana di sekitar tempat tinggal manusia menggunakan berbagai nyanyian keramat, mantra, atau bunyi- bunyian yang keras. Ritual atau upacara keagamaan juga seringkali tidak terlepas dari kesan adanya seni drama dalam pelaksanaannya. Upacara seni drama seringkali diartikan sebagai upacara agama dengan memainkan cerita suci dari mitologi atau kitab suci yang dapat menimbulkan suasana keramat dan diyakini dapat memberikan kekuatan kepada orang-orang untuk bertahan dalam penderitaan.29

Selain beberapa hal tersebut di atas, upacara atau ritual keagamaan juga lekat dengan perbuatan berpuasa. Berpuasa merupakan suatu perbuatan berupa penghindaran atau pantangan terhadap makanan tertentu, dilakukan dalam kurun waktu tertentu pula. Berpuasa dimaksudkan untuk membersihkan diri atau menguatkan batin. Bentuk perbuatan lainnya adalah intoxikasi.

Intoxikasi adalah perbuatan untuk memabukkan atau menghilangkan kesadaran diri pelaku upacara yang kemudian dapat melihat bayangan atau khayalan. Perbuatan ini juga diyakini penting untuk mendapat wahyu atau untuk mencapai trance. Bertapa juga seringkali dilakukan dengan dasar pemahaman bahwa hasrat-nafsu jasmani manusia dapat ditekan, sehingga jiwa menajdi bersih dan suci. Lazimnya bertapa dilakukan dengan cara menghindar dari keramaian dunia selama beberapa waktu lamanya, kemudian dalam kesunyian tersebut seseorang dapat

29 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 254-256.

(16)

35

hidup dengan sederhana, berpuasa, berdoa, atau bersemedi. Bersemedi merupakan berbagai perbuatan religi yang bertujuan untuk membuat rohani menjadi suci dengan cara pemusatan pikiran. Keempat, unsur terakhir dalam pemahaman Koentjaraningrat mengenai religi yaitu kelompok keagamaan adalah kesatuan masyarakat yang mengonsepsikan dan mengaktifkan suatu religi beserta sistem upacara keagamaannya. Kesatuan masyarakat yang menjadi pusat aktivitas religi dalam kehidupan sosial terbagi dalam empat kelompok, yaitu keluarga inti atau kelompok kekerabatan yang kecil, kelompok kekerabatan yang lebih besar, kesatuan hidup setempat atau komuniti, dan kesatuan sosial dengan orientasi yang khas.30

Dalam pemahaman yang holistik mengenai ritual, Chaterine Bell seorang ahli ilmu agama dan ritual melakukan sebuah analisis mendalam terhadap perkembangan ritual yang terjadi di dalam masyarakat dengan pendekatan budaya dan sejarah. Bell mengemukakan bahwa ritual yang terjadi dalam masyarakat merupakan sesuatu yang dinamis yaitu bergerak atau berubah sesuai dengan konteks atau lingkungannya. Sehingga ritual bukanlah sesuatu yang diam atau tetap. Konteks dalam pandangan Bell yaitu sebuah bangunan kehidupan ritual. Ritual dapat dipakai sebagai sarana untuk bertahan hidup di tengah perubahan dalam kehidupan. Dengan demikian ritual dapat dikatakan sebagai suatu strategi atau cara bertindak yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Cara bertindak tersebut lahir dari hasil konstruksi manusia dalam menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya (kontekstual).31

Ritual pada satu sisi dipandang sebagai sesuatu yang khas, jelas berbeda dari semua jenis aktivitas lainnya. Pada sisi yang lain juga menekankan kesesuaian ritual dengan bentuk tindakan manusia lainnya, biasanya dengan melihat ritual sebagai "aspek ekspresif, simbolis atau

30 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok, 256-268.

31 Chaterine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice, (New York: Oxford University, 1992), 205.

(17)

36

komunikatif" tindakan secara umum.32 Aktivitas ritual yang berkembang dalam masyarakat menurut Bell memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aktivitas harian biasa yaitu33 :

Pertama, aktivitas ritual bersifat formal atau diformalisasi. Aktivitas ritual tampak

melalui sikap tubuh, tuturan, perilaku, hingga ekspresi yang menunjukkan adanya hirarki dan ciri tradisional. Kedua, berciri tradisional. Ciri tradisional ini menunjukkan tradisi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya, misalnya melalui cara berpakaian dan tuturan bahasa. Tradisi dan budaya juga berkaitan erat dengan sejarah tentang suatu peristiwa, tokoh, atau sesuatu yang hidup dalam masyarakat tersebut. Ciri tradisional ini merujuk pada identitas budaya masyarakat tersebut. Ketiga, ritual pada dasarnya kurang mengalami perubahan karena ritual yang terjadi di masyarakat cenderung merupakan pengulangan dari bentuk ritual yang telah ada sebelumnya.

Keempat, penekanan terhadap aturan, tradisi, cara berpakaian, tuturan atau bahasa dan gesture

yang dimaksudkan untuk menjaga kesesuaian dan harmoni sosial dalam masyarakat. Kelima, sakralisasi simbol. Simbol-simbol yang disakralkan tidak secara eksplisit merupakan klaim terhadap ketuhanan, namun keistimewaannya adalah simbol tersebut mewakili sesuatu yang penting dan bermakna. Sesuatu yang mampu membangkitkan gambaran dan pengalaman yang penuh emosi. Objek sebagai simbol sakral atau suci melalui cara pengekspresiannya menjadi jalan yang menunjuk pada sesuatu yang melampaui dirinya, ide-ide yang lebih besar, lebih abstrak dan transenden. Kualitas sakralitas ini tidak terbatas hanya pada benda, tetapi juga pada tempat, bangunan serta orang. Keenam, ritual dapat terlihat seperti suatu pertunjukan yang bersifat dramatis yang dilakukan di depan publik. Tindakan tersebut merupakan tindakan simbolis yang dilakukan secara sadar. Pertunjukan menampilkan atau menunjukkan berbagai

32 Bell, Ritual Theory, 70.

33 Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions, (New York: Oxford University Press, 1997), 139-162.

(18)

37

tindakan simbolis melalui kemampuan sensorik manusia yaitu secara visual, suara, sentuhan, bau atau penciuman, dan pernapasan guna mengomunikasikan berbagai pesan.

Ritual dalam konteks keagamaan merupakan agama dalam tindakan. Penghadiran kembali pengalaman keagamaan dalam bentuk kultis merupakan bentuk tindakan simbolis yang menjadi pokok bagi kehidupan kelompok keagamaan yang bersangkutan.34 Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol tersebut mengungkapkan perilaku, perasaan dan membentuk pemahaman pribadi para permuja.

Pengobjekan simbol-simbol ini merupakan sesuatu yang penting demi kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok keagamaan.35

Menurut Max Gluckman dalam tulisan Dhavamony, ritual dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu pertama, tindakan magi, yang dikaitakan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja dengan daya mistis. Kedua, tindakan religius, kultus para leluhur. Ketiga, ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis. Keempat, ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas, kekuatan, pemurnian atau perlindungan. Tidak hanya melalui kurban namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan. Ritual memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam pelaksanaannya. Ada yang diarahkan pada masalah transformasi keadaan manusia atau alam. Terkadang tujuan suatu ritual adalah untuk mencegah perubahan yang tidak diinginkan. Sebagai kontrol sosial, upacara bermaksud mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu.36 Seperti halnya dalam tulisan Sartini, “Ritual Bahari di Indonesia: antara Kearifan Lokal dan Aspek Konservasinya” dalam jurnal Jantra, Cassirer mengemukakan bahwa pikiran dan tingkah laku simbiolis merupakan

34 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:PT Kanisius, 1995), 167.

35 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 174.

36 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 179-181.

(19)

38

suatu ciri khas dari manusia. Ciri simbolis manusia adalah keberagaman dan berubah-ubah, termasuk simbol religius seperti ritual-ritual. Hal ini tampak dalam beberapa ritual yaitu ritual Mapadensassi37 dan Buang Jong/Jung38 yang dilaksanakan sebagai wujud ungkapan syukur atas

kelimpahan rejeki, pengharapan atas hasil panen yang melimpah, dan keselamatan dalam bekerja. Ritual tersebut ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, Maha Penguasa atau ketakutan atas entitas supranatural lain yang disimbolkan dengan Mambang laut, penjaga laut atau makhluk halus lainnya. Pelaksanaan ritual hingga bentuk sesaji menjadi berbeda-beda karena bergantung pada interpretasi dan pemahaman simbolis masyarakat. hal ini juga menunjukkan manifestasi simbolik atas pesan yang relatif sama dapat dimunculkan dalam bentuk-bentuk aktivitas yang berbeda, sehingga ritual berkembang dan dihayati menurut kearifan lokal masyarakatnya.39

Ritual berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di atas dapat dipahami sebagai perilaku keramat yang dalam praktisnya dilakukan oleh masyarakat berdasar pada kepercayaan dan agama yang dianutnya. Ritual ditandai dengan berbagai unsur seperti waktu, tempat, alat, dan orang yang menjalankannya. Konteks atau lingkungan di mana ritual dilaksanakan merupakan salah satu bagian yang juga pokok dalam pemahaman akan ritual. Sehingga unsur-unsur dalam suatu konteks tidak dapat dihindarkan.

37 Mappadensassi adalah ritual budaya etnik Mandar, Sulawesi Tenggara yang dilaksanakan menjelang atau sesudah melaut. Ritual dilakukan dengan memberi makan penjaga laut (settasasi) dengan sesaji berupa tumbuhan, hewan, nasi, telur, dupa. Ini merupakan kepercayaan masyarakat Mandar atas mitos penguasa laut. ritual ini juga mempunyai fungsi sosial untuk mengintegrasikan kerjasama dan memperkuat solidaritas.

38 Buang Jong/Jung merupakan ritual yang dilakukan oleh suku Sawang (penduduk asli Bangka Belitung) menjelang musim angin barat, yaitu ketika gelombang meninggi dan laut mengganas. Ritual ini dimaksudkan sebagai

penghantar sesaji bagi dewa laut dan memohon keselamatan serta kelimpahan ikan tangkapan. Persembahan akan dipersembahkan kepada penguasa laut dengan melepas jong (perahu kecil berukuran sekitar satu meter2 ) yang sudah dipenuhi aneka macam sesaji ke laut.

39 Sartini, Ritual Bahari di Indonesia: antara Kearifan Lokal dan Aspek Konservasinya, Jurnal Jantra (2012): 42-50.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang pertumbuhan dan hasil cabe keriting (C.annuum.) pada tanah yang diberi perlakuan kerapatan gulma Simaih (A.conyzoides.) yang berbeda didapatkan

PKM-M yang berjudul “Revitalisasi Minat Baca Al-Qur’an untuk Terciptanya Remaja yang Cinta al-Qur’an” ini diharapkan bisa menjadi sarana bagi remaja di desa Tugu

Selain Windows Server 2008 R2 hyper-V, komponen lain untuk menunjang kehandalan Microsoft Private Cloud adalah Microsoft System Center dimana dengan System Center akan

Ucapan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa menyertai penulis dalam segala proses pembelajaran di Universitas Kristen Satya Wacana selama 4 tahun dan juga dalam

As we see from the cumulative cash flow series in Figure 5.2(b), the total investment is recovered at the end of year 4. If the firm's stated maxi- mum payback period is

Selain itu guru praktikan memperoleh gambaran langsung mengenai pembelajaran di dalam kelas, karakteristik anak didik, cara berinteraksi antara guru dengan siswa, cara

kembali materi yang telah diajarkan (apersepsi). Komunikasi Dengan Siswa.. Komunikasi antara siswa dengan guru adalah yang terpenting selama. PBM karena dengan komunikasi

Salah satu metode yang sudah dikenal selama ini adalah memasang isolasi antara bangunan atas dan bangunan bawah (pondasi) untuk meredam energi gempa sehingga membatasi beban