• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DALAM TARI PARAMASTRI KARYA PARANDITYA WINTARNI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DALAM TARI PARAMASTRI KARYA PARANDITYA WINTARNI"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN

DALAM TARI PARAMASTRI

KARYA PARANDITYA WINTARNI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Indiartari Kussnowari

034114006

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN

DALAM TARI PARAMASTRI

KARYA PARANDITYA WINTARNI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Indiartari Kussnowari

034114006

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

Kusediakan hati untuk seni

Kusiapkan jiwa bagi budaya

Kuhadirkan kasih untuk seni

Kuserahkan cinta untuk budaya

Kusampaikan kalbu untuk seni

Kukirimkan nurani untuk budaya

Jantungku untuk seni

Detaknya untuk budaya

Nadiku untuk seni

Denyutnya bagi budaya

Hidupku untuk seni

Matiku untuk budaya

(The Silent Love Nyanyian Hati Trie Utami)

Cinta tak harus memiliki

Tapi kalau bisa cinta itu dipertahankan

Dicintai seseorang lebih berharga dan bahagia dari pada mencintai seseorang

(6)

Kupersembahkan ini semua untuk

Tuhanku yang telah melimpahkan rahmat

dan karunia-Nya

Ibuku tercinta yang telah melahirkanku…

maafkan aku belum sempat

membahagiakanmu

Bapak, Mbak Andit, Aul

Suami dan anakku

Keluarga Besar Bagong Kussudiardja

Keluarga Besar Hardjo Soedhono

Keluarga Besar PSBK, Kua Etnika, Gandrik

Dosen n temen2 Sasindo 2003

Thanks for your support

I love U All

(7)

ABSTRAK

Kussnowari, Indiartari. 2008. Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Tari Paramastri Karya Paranditya Wintarni. Skripsi S1. Yogyakarta : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Satra, Universitas Sanata Dharma.

Tari merupakan ekspresi perasaan yang ada dalam diri manusia yang kemudian diimajinasikan dan diwujudkan melalui gerak. Seni tari mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan dalam kehidupan sebagai suatu hiburan, maupun sebagai bagian dari upacara keagamaan.

Candi Prambanan yang terletak di desa Prambanan, Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia. Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Di dalam Candi Siwa terdapat relief yang berjumlah 24 panel. Relief ini menceritakan kisah Ramayana. Tari Paramastri karya Paranditya Wintarni menjadikan relief Candi Siwa Prambanan sebagai sumber inspirasi. Transformasi tersebut terlihat pada bentuk-bentuk tariannya.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Media komunikasi tari Paramastri adalah gerak. Oleh karena itu, peneliti juga mendeskripsikan gerakan tari Paramastri. Terdapat estetika yang berbeda antara relief candi Siwa Prambanan dan tari Paramastri. Relief candi Siwa Prambanan mempunyai estetika pada pahatan dan cerita relief Ramayananya, sedangkan tari Paramastri letak sisi estetikanya pada gerakan tariannya.

Gerak tari Paramastri mentransformasi dari relief-relief yang terpahat di dinding Candi Siwa Prambanan. Gerak yang paling dominan dalam tarian ini

adalah gerak tribhanga. Gerak tribhanga, merupakan pengembangan dari gerakan

para penari khayangan yang terpahat pada relief dinding Candi Siwa Prambanan. Bagian dari tari Paramastri yang merupakan transformasi dari Candi Siwa Prambanan adalah pose duduk, pose berdiri, pola lantai dan busana. Penata tari mentransformasikan pose duduk dan berdiri dari sebagian relief Candi Siwa Prambanan. Sebagian pola lantai tari Paramastri ditransformasikan dari beberapa adegan atau cerita yang terdapat pada panel-panel Candi Siwa Prambanan. Sedangkan untuk busana atau kostum, penata tari mentransformasikan dari arca Siwa Mahadewa. Alasan penata busana justru mentransformasikan busana arca Siwa Mahadewa karena busana Siwa Mahadewa yang dianggap paling pas jika digunakan sebagai busana tari Paramastri, daripada busana para penari khayangan yang terpahat pada relief Candi Siwa Prambanan.

(8)

ABSTRACT

Kussnowari, Indiartari. 2008. The Transformation of Prambanan Siwa Temples Reliefs in Paranditya Wintarni’s Dance. Skripsi S1. Yogyakarta : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Sanata Dharma University.

Dance is an expression of human’s emotions that are revealed and manifested into movements. It has a very important role in human’s life either as entertainment or as a significant part in religious ceremonies.

Prambanan Temple which is located in the Prambanan village is the biggest Hindu temple in Indonesia. Prambanan Temple has 3 major temples in the main yard, namely Wisnu temple, Brahma temple, and Siwa temple. Siwa Temple consists of 24 reliefs panels that portray the story of Ramayana.

This observation is use the description method. The communication media of Paramastri dance is movement. Therefore obeserver also describe the movement of Paramastri dance. There is a different esthetic between the relief of Siwa Prambanan Temple and Paramastri dance. Siwa Prambanan Temple’s relief has esthetic on its engraving and Ramayana’s relief story, while the Paramantri dance’s esthetic is on the dance movement it self.

Paramastri Dance alters its movements from the reliefs engraved on the walls of Prambanan Siwa Temple. The most dominant movement in this dance is the tribhanga. This movement is a transformation of the heavenly dancers’ movement carved on The Prambanan Siwa Temple.

(9)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : INDIARTARI KUSSNOWARI

Nomor Mahasiswa : 034114006

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DALAM TARI PARAMASTRI KARYA PARANDITYA WINTARNI

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan rolyati kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 22 April 2008

Yang menyatakan

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

menyelesaikan program sarjana pada Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari, selama persiapan, penyusunan hingga selesainya

skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Penulis

menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, jika ada kesalahan dalam

penulisan maupun penyusunan skripsi ini, menjadi tanggung jawab penulis dan

penulis mohon maaf. Untuk itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa

2. Ibu Dra. Tjandrasih Adji, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs.

B. Rahmanto, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas

kesempatan, kritikan, kesabaran, dan waktunya dalam membimbing penulis

hingga skripsi ini selesai.

3. Pak Ari, Pak Yapi, Bu Peni, Pak Praptomo, Pak Hery matur nuwun atas ilmu

yang diberikan kepada saya. Mohon maaf kalau selama kuliah saya sering

bandel dan sering izin tidak masuk kuliah.

4. Staf Sekretariat Sastra Indonesia, Perpustakaan, BAA, dan BUK Universitas

Sanata Dharma terima kasih atas bantuannya selama saya kuliah, menyusun

skripsi hingga lulus.

5. Bapak Sutopo Tedjo Baskoro dan Mbak Paranditya Wintarni selaku

narasumber, terima kasih atas waktu, kesempatan dan segala sesuatu informasi

dan pelajaran yang diberikan kepada peneliti, maaf kalau sering merepotkan

(11)

6. Bapak, maafkan aku karena baru sekarang aku bisa menyelesaikan kuliahku.

Mbak Andit, Agra n Aul terima kasih atas bantuan kalian. Maaf kalau aku

selalu membuat kalian marah.

7. Almarhumah Ibunda tercinta Ida Manutranggana. Maafkan sewaktu Ibu masih

mendampingiku aku belum bisa membuat Ibu bahagia. Sekarang, aku sudah

bisa menyelesaikan salah satu tugasku. Aku yakin Ibu selalu mendampingiku

dan saat ini Ibu tersenyum bahagia di rumah Tuhan. Aku merindukan

senyuman Ibu. Mahal Kita Mom.

8. Suamiku Hendro Supadmo dan anakku tercinta akhirnya Bunda bisa

menyelesaikan tugas Bunda. Terima kasih atas support kalian. Bunda sayang

kalian.

9. Keluarga Besar Bagong Kussudiardja terima kasih atas suport sewaktu aku

merasa hilang, kosong, hampa, sendirian. Kalian selalu memberiku semangat

untuk bangkit.

10.Astri, Aik, Aning, Bekti, Bayu, Desi, Doan, Ditha, Firla, Icha, Jati, Rinto,

Simpli, Tasya dan semua temen-temen Sasindo 2003; persahabatan dan rasa

kekeluargaan kita tidak hanya sampai di sini terima kasih atas bantuan kalian

selama ini. Aku akan merindukan saat-saat kita bersama.

11.Aul, Agung, Siwo matur nuwun atas bantuannya mengumpulkan foto-foto

yang ’menghiasi’ skripsi ini.

12.Mbak Antis, Mbak Ninin, Mbak Wuri thanks supportnya. Terima kasih sudah

mendengarkan semua keluh kesahku selama ini.

13.Teman-teman PSBK, KUA Etnika, Teater Gandrik, Running Picture, terima

kasih atas kerjasamanya selama ini.

14.Temen-temen yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu dan telah

membantuku dari mencari, mengumpulkan data hingga skripsi ini selesai

disusun.

Tak lupa aku ucapkan terimakasih juga kepada semua pihak yang tidak dapat

aku sebutkan satu persatu. Matur nuwun sanget.

Yogyakarta tercinta

(12)
(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI iii

HALAMAN MOTO iv

HALAMAN PERSEMBAHAN v

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI viii

KATA PENGANTAR ix

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA xi

(14)

1.7.2.2 Wawancara 12

17.2.3 Dokumentasi 13

1.8 Sistematika Penyajian 14

BAB II DESKRIPSI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DAN

TARI PARAMASTRI

Pengantar 15

2.1 Deskripsi Relief Candi Siwa Prambanan 15

(15)

2.2 Deskripsi Tari Paramastri 40

2.2.1 Awal Tarian 41

2.2.2 Tengah Tarian 42

2.2.3 Akhir Tarian 50

BAB III TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN

DALAM TARI PARAMASTRI

Pengantar 53

3.1 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam

Pose Tari Paramastri 53

3.1.1 Pose Duduk 54

3.1.1.1Pose Duduk yang Digunakan 55

3.1.1.2Pose Duduk yang Tidak Digunakan 56

3.1.1.3Pose Duduk yang Ditambahkan 56

3.1.2 Pose Berdiri 58

3.1.2.1Pose Berdiri yang Digunakan 58

3.1.2.2Pose Berdiri yang Tidak Digunakan 61

3.1.2.3Pose Berdiri yang Ditambahkan 63

3.1.3 Pose lain yang Digunakan 63

3.2 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Pola

Lantai Tari Paramastri 65

3.2.1 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 1 Pilahan 1 66

3.2.2 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 7 Adegan 1 66

3.2.3 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 19 Adegan 2

Pilahan 1 68

3.2.4 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 20 Adegan 1

Pilahan 1 68

3.3 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Busana

Tari Paramastri 70

BAB IV PENUTUP

(16)

4.2 Saran 75

DAFTAR PUSTAKA 76

(17)

DAFTAR ISTILAH

Aksamala : tasbih yang terbuat dari untaian manik-manik. • Ardhacandrakapala : hiasan mahkota yang berupa tengkorak dan bulan

sabit.

• Balustrade : pagar yang terdapat pada candi.

• Camara : kelut.

Impang Encot : pola gerakan dengan rentangan lengan ke samping kiri dan kanan simetris dengan level sedang,

lengan kiri sedikit agak ditekuk. Gerakan kaki

merendah dan naik seperti ditarik. Gerakan ini

memberikan kesan halus dan tidak banyak

tingkah.

Impang Ngewer Udhet : pola gerakan dengan rentangan lengan ke samping

kiri dan kanan simetris dengan level sedang,

lengan kiri sedikit agak ditekuk. Gerak badan

lebih bervariasi.

Jamang lamba : hiasan kepala yang hanya satu lapis.

Jatamalakuta : mahkota yang menggambarkan keabsolutan

(mutlak).

Kalamakara : kepala raksasa yang lidahnya berwujud sepasang

mitologi.

Kelat bahu : gelang yang di pakai di lengan tangan.

Kinari kinari : makhluk bertubuh burung berkepala manusia.

• Langkan : serambi tempat meninjau.

Mekak : penutup dada, busana tari semacam strapless bagi penari puteri.

Nggrudha : pola gerak dasar untuk tari puteri. Pola gerak ini

berbentuk tekukan lengan bawah ke depan yang

simetris dengan level rendah seperti sayap burung

(18)

Ngruji : bentuk tangan pertama. Keempat jari berdiri sedangkan ibu jari ditekuk ke dalam.

• Panel : bagian dari permukaan dinding yang berupa papan

tipis, biasanya berbentuk persegi panjang.

• Pilaster : tiang atau pilar semu yang berbentuk empat

persegi panjang yang menjorok ke luar dari

tembok.

Pradaksina : berjalan searah jarum jam.

Sampur : selendang.

Sirascakara : tanda kedewaan.

Sumping : hiasan telinga.

• Trimurti : 3 Dewa dalam kepercayaan Hindu yaitu Dewa

Wisnu, Dewa Brahma dan Dewa Siwa. Secara

harafiah, Trimurti berarti badan tiga. Trimurti

menggambarkan 3 sifat kekuasaan kedewaan yaitu

pencipta (Dewa Brahma), pemelihara (Dewa

Wisnu), dan perusak (Dewa Siwa).

• Ratna : puncak tertinggi pada candi.

Uncal : ikat pinggang.

Urna : mata ketiga yang terletak di dahi.

Usap Rawis : salah satu ragam tari Yogya Klasik yang

(19)

DAFTAR GAMBAR

• Gambar 25 : Beberapa pose penari yang berada di tengah panggung

• Gambar 25a : Pose berdiri dengan tangan ke atas

• Gambar 25b : Pose berdiri dengan tangan terbuka

• Gambar 25c : Pose berdiri dengan tangan tertutup

(20)

•Gambar 27 : Pose yang digunakan para penari sebelum bepindah pola lantai

• Gambar 28 : Pose 2 penari yang berada di depan kiri panggung

• Gambar 29 : Pose-pose yang digunakan oleh 5 penari yang berada di tengah

panggung

•Gambar 29a : Pose penari dengan tangan tertutup di atas

•Gambar 29b : Pose penari dengan tangan terbuka

•Gambar 29c : Pose penari dengan 1 tangan terbuka

•Gambar 29d : Pose penari dengan tangan tertutup di bawah

• Gambar 30 : Gerakan sembahan yang dikreasikan dengan bentuk tribhanga

• Gambar 31 : Hasil dari gerak nggrudha yang ditransformasikan dalam bentuk

tribhanga

•Gambar 32 : Impang, salah satu ragam gerak Yogya Klasik yang digunakan

dalam tari Paramastri

•Gambar 33 : Pose duduk yang terdapat dalam relief Candi Siwa Prambanan.

Terdapat pada panel 7 tokoh Rama yang sedang dinobatkan

menjadi Raja

• Gambar 34 : Pola lantai 3 penari duduk, 4 penari berdiri

• Gambar 35 : Ragam usap rawis yang digunakan dalam tari Paramastri

• Gambar 36 : Pola lantai ingkaran dengan posisi duduk

• Gambar 37 : 1 penari keluar dari lingkaran

• Gambar 38 : Salah satu motif nggrudha yang dimodifikasikan dalam bentuk

tribhanga

• Gambar 39 : 1 penari berada di sudut belakang panggung

• Gambar 40 : Keenam penari melingkari 1 orang penari

• Gambar 41 : Pola lantai saat 3 penari berdiri dan 4 penari lainnya duduk • Gambar 42 : Pose terakhir dalam tari Paramastri

• Gambar 43 : Beberapa pose duduk dalam tari Paramastri

• Gambar 44 : Pose duduk yang terdapat pada relief Candi Siwa Prambanan

• Gambar 45 : Pose duduk yang sudah ditransformasikan

(21)

• Gambar 47 : Pose duduk yang ditambahkan dalam tari Paramastri

• Gambar 48 : Pose berdiri yang terdapat pada Candi Siwa Prambanan

• Gambar 49 : Pose berdiri yang sudah ditransformasikan

• Gambar 50 : Pose berdiri yang terdapat pada Candi Siwa Prambanan

• Gambar 51 : Pose berdiri yang sudah ditransformasikan

• Gambar 52 : Pose berdiri yang terdapat pada Candi Siwa Prambanan

• Gambar 53 : Pose berdiri yang sudah ditransformasikan

• Gambar 54 : Pose berdiri yang terdapat pada relief Candi Siwa Prambanan

yang tidak digunakan dalam tari Paramastri

• Gambar 55 : Pose berdiri yang ditambahkan dalam tari Paramastri

• Gambar 56 : Beberapa pose dalam tari Paramastri yang menggunakan

pengembangan bentuk tangan, kaki, dan posisi badan

• Gambar 57 : 1 penari berada di sudut belakang panggung

• Gambar 58 : Keenam penari melingkari 1 orang penari

• Gambar 59 : Pola lantai 3 penari duduk, 4 penari berdiri • Gambar 60 : Pola lantai garis lurus

• Gambar 61 : Detail busana tari Paramastri

(22)

DAFTAR TABEL

• Tabel 1 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang

terdapat pada panel 1 pilahan 1

• Tabel 2 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang

terdapat pada panel 7 adegan 1

• Tabel 3 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang

terdapat pada panel 19 adegan 2 pilahan 1

• Tabel 4 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang

terdapat panel 20 adegan 1 pilahan 1

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia mempunyai keanekaragaman budaya yang selalu

dikagumi oleh masyarakat mancanegara. Kekayaan budaya yang dimiliki serta

adat istiadat yang beranekaragam itu sudah selayaknya kita junjung tinggi dan kita

hargai. Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ialah seni

tari.

Tari sebagai suatu karya seni merupakan suatu ekspresi perasaan yang

ada dalam diri manusia yang kemudian diubah oleh imajinasi untuk diwujudkan

melalui media gerak. Tari merupakan sarana ekspresi manusia yang paling

mendasar dan paling tua. Semua perasaan dan pikiran yang ada dapat dicurahkan

dan diekspresikan melalui gerak tari. Selama manusia memiliki tubuh dan bisa

menggerakkannya, baik sebagai aktivitas gerak spontan maupun aktivitas gerak

visidental maka menari menjadi salah satu cara aktualisasi emosi seseorang yang

berkaitan dengan aspek-aspek lain kehidupannya, salah satunya adalah

komunikasi (Murgiyanto, 1977 : 2). Seni tari mempunyai fungsi yang sangat

penting dalam kehidupan sebagai suatu hiburan, maupun sebagai bagian dari

upacara keagamaan. Dalam upacara keagamaan, sebuah tarian waktu dipentaskan

akan mengandung kekuatan, yang menimbulkan kenikmatan (Murgiyanto, 1977 :

(24)

Dengan demikian, tari merupakan suatu ungkapan, pernyataan dan

ekspresi yang mendalam dari penata tari. Selain itu dapat dikatakan bahwa tari

bersifat individual dan sosial, seperti yang dijelaskan oleh Soedarsono (1972 : 6)

bahwa tari bersifat individual, dan tari bersifat sosial karena gerak-gerak ritmis

yang indah itu merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan ekspresi jiwa

kepada orang atau pihak lain.

Bangsa mana pun di dunia ini mempunyai tarian. Pada umumnya setiap

bangsa memiliki tiga jenis tarian, yaitu tarian klasik (classical dance), tarian

rakyat (folklore dance), dan tarian popular (popular dance). Tarian klasik

merupakan tarian yang indah dan berkaitan dengan dunia ilahi, dunia dewa-dewa,

keraton dan sebagainya. Tarian rakyat merefleksikan kebudayaan masyarakat

dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan tarian popular adalah tarian yang sering

dipentaskan secara massal dan meliputi berbagai kelompok (Soedarsono, 1997 :

360).

Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Indonesia, dan terletak

di pulau Jawa, kurang lebih 29 km timur Yogyakarta, 40 km barat Surakarta dan

120 km selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan

Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Prambanan terletak di desa Prambanan yang

wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten (Prasetya, 2003 : 16).

Menurut Hariyani Sitohang dalam website www.wisatanet.com/

candiprambanan.htm, candi ini dibangun sekitar tahun 850 Masehi. Tidak lama

setelah dibangun, candi ini ditinggalkan dan mulai rusak. Renovasi candi ini

(25)

baru diselesaikan pada tahun 1953. Banyak bagian candi yang direnovasi

menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak dicuri atau dipakai ulang di

tempat lain. Candi Prambanan adalah sebuah situs warisan dunia yang dilindungi

oleh UNESCO mulai tahun 1991. Hal ini berarti bahwa kompleks ini terlindung

dan memiliki status istimewa.

Candi Prambanan memiliki 3 (tiga) candi utama di halaman utama, yaitu

Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti

dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi

utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini

untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih

terdapat 2 (dua) candi apit, 4 (empat) candi kelir, dan 4 (empat) candi sudut.

Sementara, pada halaman kedua memiliki 224 candi. Hal ini dikemukakan oleh

Yunanto Wiji Utomo dalam website www.yogjes.com/prambanan.htm.

Memasuki Candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling

tinggi, kita akan melihat ada 4 (empat) buah ruangan. 1 (satu) ruangan utama

berisi arca Siwa, sementara 3 (tiga) ruangan yang lain masing-masing berisi arca

Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga

itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda Roro

Jonggrang (Utomo, 2006 via www.yogjes.com/prambanan.htm).

Candi Prambanan atau lebih dikenal dengan sebutan Candi Rara

Jonggrang, merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia

yang bernilai tinggi di dunia internasional, lebih-lebih Candi Prambanan sudah

(26)

mancanegara untuk melihat lebih dekat. Mereka ingin melihat bentuk bangunan

kuno yang memiliki nilai artistik tinggi. Mereka juga mengagumi relief dan

ornamen-ornamen yang dipahatkan pada kaki, tubuh, atap dan pagar langkan

Candi Prambanan (Prasetya, 2003 : 15)

Budaya adalah aktivitas cipta, rasa dan karsa manusia dalam masyarakat

(Soekanto, 1982 : 167). Karena budaya merupakan suatu aktivitas, maka mudah

sekali melakukan dinamika perubahan. Budaya merupakan suatu hal yang hidup

dan mempunyai dinamikanya sendiri. Salah satu dinamika budaya adalah

transformasi (Kayam, 1989 : 256).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976 : 1089), transformasi

adalah perubahan rupa, bentuk, sifat. Dalam tari Paramastri, transformasi yang

digunakan adalah transformasi bentuk atau perubahan bentuk. Transformasi

merupakan fenomena budaya yang sarat akan konflik. Konflik yang terjadi yaitu

konflik tradisi dan modernisasi atau pertentangan generasi tua dan generasi muda.

Generasi tua cenderung mempertahankan budaya yang lebih lama berjalan,

sedangkan generasi muda cenderung mencari nilai-nilai baru yang lebih relevan

dan mempunyai keinginan untuk melestarikan warisan budaya bukan dengan

menjalani kehidupan masa lalu, namun dengan mengadopsi nilai-nilai budaya

yang relevan dengan kondisi sekarang (Cahyono, 2006 : 89).

Tari Paramastri tidak luput dari konflik yang terjadi antara generasi tua

dan generasi muda. Tari Paramastri diciptakan oleh Paranditya Wintarni pada

tahun 2003. Paranditya Wintarni merupakan salah satu koreografer muda

(27)

cucu sulung seniman Bagong Kussudiarja dan putri pertama koreografer wanita

Ida Manutranggana.

Tari ini diikutsertakan dalam Parade Tari Daerah tahun 2003 di Taman

Mini Indonesia Indah mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta. Tarian ini berhasil

mendapatkan beberapa penghargaan antara lain Juara Umum, Penampilan

Terbaik, Penata Tari Terbaik, Penata Musik Terbaik, dan Penata Rias Busana

Unggulan. Sebagian besar gerak tari yang terdapat dalam tari Paramastri diambil

dari relief-relief Candi Prambanan khususnya Candi Siwa. Gerak-gerak yang

paling dominan dalam tarian ini adalah gerak tribhanga. Gerak-gerak tribhanga

ini merupakan pengembangan dari gerakan para penari khayangan yang terpahat

pada dinding Candi Siwa. Keunikan ide tarian yang mentransformasikan relief

Candi Siwa Prambanan, membuat peneliti tertarik untuk membahasnya lebih jauh.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana relief Candi Siwa Prambanan ditransformasikan dalam tari Paramastri

karya Paranditya Wintarni.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mendeskripsikan relief Ramayana pada Candi Siwa Prambanan dan tari

Paramastri.

1.3.2 Mendeskripsikan transformasi relief Candi Siwa Prambanan dalam tari

(28)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti

maupun bagi orang lain yang berkecimpung dalam bidang budaya Jawa. Manfaat

penelitian tersebut meliputi dua hal yaitu manfaat praktik dan manfaat teoritis.

1.4.1 Manfaat Praktis

1.4.1.1 Bagi dunia pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan tentang Candi Prambanan dan seni tari.

1.4.1.2 Bagi penggemar seni tari penelitian ini dapat membantu memahami

bagaimana relief candi itu dapat ditransformasikan dalam sebuah

tarian.

1.4.2 Manfaat Teoritis

1.4.2.1 Penelitian ini bermanfaat sebagai pengembangan ilmu kebudayaan

bahwa dari sebuah relief candi dapat dikembangkan menjadi

sebuah tarian.

1.4.2.2 Penelitian ini dapat sebagai acuan penelitian selanjutnya yang

berkaitan dengan transformasi, khususnya penelitian tentang

transformasi relief candi dalam sebuah tarian.

1.5 Landasan Teori

Transformasi adalah suatu proses pengalihan dari suatu bentuk ke sosok

baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu

proses perubahan (Kayam, 1989 : 256). Transformasi dapat berlangsung cepat

atau lambat. Cepat lambatnya proses transformasi tergantung pada kondisi

(29)

Makna kunci untuk istilah transformasi adalah perubahan, yaitu

perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Jika suatu hal atau keadaan itu adalah

budaya, maka budaya itulah yang mengalami perubahan. Perubahan terjadi jika

budaya itu muncul dalam kondisi atau lingkungan yang berbeda atau lain. Dalam

pemunculannya pada kondisi dan lingkungan yang berbeda itulah, budaya

mengalami perubahan (Nurgiyantoro, 1998 : 18). Budaya lama mulai ditinggalkan

dan budaya baru mulai dimasuki.

Persoalan transformasi budaya merupakan salah satu hal yang menjadi

persoalan zaman. Mochtar Lubis (1985 : vii) mengemukakan bahwa bila kita

sebagai suatu bangsa sungguh-sungguh hendak melangkah menuju modernisasi

masyarakat, maka budaya kita perlu mengalami proses transformasi.

Transformasi budaya yang perlu dilakukan adalah penyesuaian dan

perubahan sikap dalam rangka menghadapi tantangan zaman. Dengan

transformasi budaya, dimaksudkan perubahan dari sistem nilai, pola pikir, pola

tingkah laku, dan adat kebiasaan yang selama ini berlaku tetapi sudah usang atau

malah menjadi kendala bagi kemajuan ke sistem nilai, pola pikir, pola tingkah

laku, dan adat kebiasaan yang dituntut dan menunjang kemajuan (Sudarminta,

1990 : 31).

Transformasi merupakan usaha membebaskan diri dari pola budaya yang

lama ke pola budaya baru yang lebih maju (Lubis, 1985 : 33). Hendak dicapai

melalui budaya yang telah tertransformasikan tersebut. Proses transformasi selalu

menghasilkan unsur-unsur baru, baik dari aspek gaya, rasa maupun maknanya,

(30)

Hakikat transformasi sebenarnya adalah perubahan, sedang perubahan

menumbuhkan adanya kebaruan. Konteks perubahan semacam ini oleh Edi

Sedyawati dikatakan bahwa perubahan adalah pertanda kehidupan, adalah suatu

kebenaran yang telah mendasari sejarah. Hanya saja, derajat dari

perubahan-perubahan selalu berbeda, demikian juga laju perubahan-perubahan tidak selalu dan tidak

perlu sama dalam segala sektor kehidupan. Adapun yang menjadi peletup

perubahan adalah perubahan gagasan dasar (Sumaryono, 2003 : 100). Dapat

disimpulkan bahwa transformasi merupakan masalah penting dalam kajian

budaya. Dalam penelitian ini, transformasi digunakan sebagai ide dasar

pengembangan relief Candi Siwa Prambanan dalam sebuah tarian.

1.6 Batasan Istilah

1.6.1 Relief Candi Siwa Prambanan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976 : 149) candi adalah

bangunan kuno yang terbuat dari batu (sebagai tempat pemujaan,

penyimpanan abu-abu jenazah atau pendeta-pendeta Hindu atau Budha pada

zaman dulu). Sedangkan relief dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976

: 739) mempunyai 2 (dua) arti yaitu (1) pahatan yang menampilkan

perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata di sekitarnya, (2) gambar

timbul (pada candi dan sebagainya).

Relief sebenarnya merupakan bagian dari arsitektur yang pada

umumnya dipahat pada bidang atau dinding bangunan. Relief ada 2 (dua)

macam, yaitu relief sebagai penghias dan relief yang memuat cerita sesuai

(31)

merupakan pengungkapan dari naskah kesusasteraan baik yang berasal dari

India maupun yang bersumber dari cerita Indonesia asli (Kusnadi, 1979 :

56).

Yunanto Wiji Utomo, dalam website www.yogjes.com/

prambanan.htm, mengatakan bahwa Prambanan memiliki relief candi yang

memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita

Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik

adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon

kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief

pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon

ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 (sembilan)

memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.

Candi Prambanan yang ramping dengan gaya arsitektur yang indah

mempunyai tiga bagian candi utama pada halaman pusat, yaitu Candi

Brahma dan Wisnu dengan Candi Siwa sebagai induknya (Prasetyo, 2003 :

45). Tiga candi tersebut menggambarkan tokoh Dewa Hindu yang utama

yaitu Trimurti yang secara harafiah berarti mempunyai badan tiga. Trimurti

bermakna menggambarkan tiga sifat kekuasaan kedewaan yaitu pencipta,

pemelihara dan perusak. Tokoh pencipta diwujudkan dengan Dewa Brahma,

tokoh pemelihara diwujudkan dalam bentuk Dewa Wisnu dan sebagai dewa

perusak diwujudkan dengan Dewa Siwa (Prasetyo, 2003 : 45).

Dalam Candi Siwa terdapat relief-relief yang berjumlah 24 panel.

(32)

peneliti akan mendeskripsikan cerita Ramayana yang terdapat pada relief

Candi Siwa karena bentuk-bentuk yang terdapat pada relief tersebut telah

ditransformasikan oleh seorang koreografer muda dalam sebuah tarian.

1.6.2 Paramastri

Menurut Kamus Kawi – Jawa, Paramastri berarti widadari atau

dalam bahasa Indonesia bidadari (Ranggawarsita, 2003 : 205). Tari

Paramastri merupakan sebuah garapan baru yang bersumber dari

gerak-gerak tari tradisi Yogyakarta yang kemudian dikembangkan untuk

menggambarkan dan mengekspresikan sekelompok penari khayangan yang

sedang menari yang ada pada relief dinding luar balustrade Candi Siwa di

Candi Prambanan.

Tari Paramastri ditarikan oleh 7 (tujuh) orang penari putri yang

berbusana seperti relief candi. Sebagian gerak tari ini merupakan

pengembangan dari gerak para penari khayangan yang terdapat pada

dinding Candi Siwa. Paranditya Wintarni sebagai penata tari mencoba

mencari ide gagasan baru untuk mengembangkan gerak para penari yang

terpahat pada dinding Candi Siwa Prambanan tersebut dalam karya

perdananya. Ide yang diangkat oleh penata tari akhirnya dapat diterima para

pencinta seni tari dengan berhasilnya merebut beberapa penghargaan,

bahkan berhasil menjadi penyaji terbaik dan juara umum dalam rangka

(33)

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Metode Deskriptif

Metode deskriptif menurut Nawawi (1990 : 73) adalah prosedur pemecahan

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek

atau objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau

sebagaimana adanya untuk memberikan bobot yang lebih tinggi pada metode ini,

maka fakta-fakta yang ditemukan harus diberi arti. Fakta atau data yang

terkumpul harus diolah dan ditafsirkan. Dengan kata lain, metode ini tak terbatas

sampai pada mengumpulkan data dan menyusun data, namun juga meliputi

analisis mengenai arti data itu.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mendeskripsikan atau menjelaskan

mengenai transformasi relief candi ke dalam gerak tari.

1.7.2 Metode Pengumpulan Data

Metode-metode yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1.7.2.1Kepustakaan

Metode kepustakaan adalah metode mencari data mengenai hal-hal

yang variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,

rapat dan sebagainya (Arikunto, 1993 : 234). Metode kepustakaan

dipergunakan untuk mendapatkan data yang konkret. Pelaksanaan metode

ini adalah menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian

yaitu tentang transformasi. Peneliti mengumpulkan data dari berbagai

(34)

1.7.2.2Wawancara

Wawancara adalah suatu proses tanya-jawab lisan, yaitu dua orang

atau lebih berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang

lain. Metode ini merupakan pengumpulan informasi langsung tentang

beberapa jenis data sosial, baik yang terendam (latent) maupun yang

memanifes (Hadi, 1979 : 192).

Wawancara menuntut peneliti untuk mampu bertanya

sebanyak-banyaknya dengan perolehan jenis data tertentu sehingga diperoleh data

atau informasi yang rinci (Hamidi, 2004 : 72). Dengan metode ini,

diharapkan akan tergali semua informasi yang dibutuhkan. Metode

wawancara atau metode intervieuw mencakup cara yang dipergunakan

untuk memperoleh keterangan secara lisan dengan seorang responden,

dengan cara bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut.

Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan menyampaikan keterangan

tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat (Paul via

Koentjaraningrat, 1981 : 129).

Menurut Hamidi (2004 : 71), peneliti dituntut agar membuat

responden lebih terbuka dan leluasa dalam memberikan informasi atau

data yang berguna untuk mengemukakan pengetahuan dan pengalamannya

terutama yang berkaitan dengan informasi sebagai jawaban terhadap

permasalahan penelitian sehingga terjadi semacam diskusi, obrolan santai,

dan spontanitas (alamiah) dengan subjek penelitian sehingga pemecahan

(35)

muncul wacana yang detail. Di sini, wawancara diharapkan berjalan secara

lancar tidak terstruktur (terbuka, bicara apa saja) dalam garis besar yang

terstruktur (mengarah menjawab permasalahan penelitian).

Wawancara dilakukan dengan cara mewawancarai narasumber yang

dianggap mampu memberikan penjelasan tentang transformasi relief Candi

Siwa Prambanan ke dalam tari Paramastri. Narasumber yang akan

memberikan penjelasan ini adalah : (1) Paranditya Wintarni, koreografer

tari Paramastri, (2) Sutopo Tedjo Baskoro, koreografer senior.

1.7.2.3Dokumentasi

Dokumen ialah setiap bahan yang tertulis maupun film, yang tidak

dipersiapkan karena adanya permintaan seorang peneliti. Dokumen sudah

lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data (Moleong, 1989 :

176).

Metode dokumentasi merupakan informasi yang berasal dari catatan

penting baik dari suatu lembaga atau organisasi maupun perseorangan,

baik berupa lisan maupun tulisan. Metode ini dilakukan dengan melakukan

wawancara secara mendalam, menggali informasi atau data

sebanyak-banyaknya dari responden atau informan agar peneliti memperoleh

informasi yang detail (Hamidi, 2004 : 72-78).

Dokumen dipergunakan untuk keperluan penelitian, karena

merupakan sumber yang stabil, kaya, mendorong dan dapat sebagai 'bukti'

(36)

Peneliti menggunakan alat perekam untuk mendapatkan informasi

dalam bentuk lisan, pencatatan juga digunakan untuk melengkapai data

yang sudah ada. Selain itu, untuk mendapatkan informasi tentang objek

penelitian, maka menggunakan dalam bentuk foto.

Foto menghasilkan data deskripstif yang cukup berharga dan sering

digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering

dianalisis secara induktif. Ada 2 (dua) kategori foto yang dapat

dimanfaatkan dalam penelitian, yaitu foto yang dihasilkan orang dan foto

yang dihasilkan oleh peneliti sendiri (Moleong, 1989 : 125).

1.8 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, batasan istilah,

metode penelitian serta sistematika penyajian. Bab II merupakan Deskripsi Relief

Candi Siwa Prambanan dan Tari Paramastri. Bab III merupakan Pembahasan

Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Tari Paramastri. Bab IV

(37)

BAB II

DESKRIPSI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN

DAN TARI PARAMASTRI

Pengantar

Sesuai dengan judul pada bab II ini, “Deskripsi Relief Candi Siwa

Prambanan dan Tari Paramastri”, akan dideskripsikan relief Candi Siwa

Prambanan dan Tari Paramastri. Bab ini terbagi atas 2 (dua) bagian, pertama akan

dibahas tentang deskripsi Relief Candi Prambanan khususnya Candi Siwa, dan

yang kedua akan dibahas tentang deskripsi tari Paramastri.

2.1 Deskripsi Relief Candi Siwa Prambanan

Candi Siwa merupakan candi induk dan di kompleks Candi Prambanan

dan mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada candi lainnya. Letak Candi

Siwa berada di halaman utama dan diapit oleh Candi Wisnu dan Candi Brahma.

Tinggi keseluruhan dari Candi Siwa 47 m yang berdiri di atas suatu pondasi.

Candi Siwa mempunyai 2 (dua) lantai, lantai pertama berukuran 34 x 34 m dan

lantai kedua yang berupa candinya berukuran 17 x 17 m (Santosa, 1998 via

www.candidiy.tripod.com/ prambanansyiwa.htm).

Bangunan ini dibagi atas 3 (tiga) bagian secara vertikal kaki, tubuh dan

kepala / atap. Kaki candi menggambarkan ‘dunia bawah’ tempat manusia yang

diliputi hawa nafsu, tubuh candi menggambarkan ‘dunia tengah’ tempat manusia

yang telah meninggalkan keduniawian dan atap melukiskan ‘dunia atas’ tempat

para dewa. Pintu utama menghadap ke timur dengan tangga masuknya yang

(38)

ganda yang merupakan manifestasi dari Siwa. Di dalam candi terdapat 4 (empat)

ruangan yang menghadap keempat arah mata angin dan mengelilingi ruangan

terbesar yang ada di tengah-tengah (Prasetyo, 2004 : 6).

Dasar kaki candi dikelilingi selasar yang dibatasi oleh pagar langkan. Pada

dinding langkan sebelah dalam terdapat relief cerita Ramayana. Relief cerita

Ramayana pada Candi Siwa, terbagi dalam panel-panel yang berjumlah 24 panel.

Setiap panel dipisahkan oleh pahatan pilaster. Kadang, sebuah panel memuat lebih

dari satu adegan (Prasetyo, 2004 : 7). Sedangkan hiasan dinding langkan sebelah

luar berupa ‘kinari-kinari’ (makhluk bertubuh burung berkepala manusia),

‘kalamakara’ (kepala raksasa yang lidahnya berwujud sepasang mitologi) dan

makhluk surgawi lainnya. Atap candi bertingkat-tingkat masing-masing dihiasi

sejumlah ‘ratna’ dan puncaknya terdapat ‘ratna’ terbesar (Prasetyo, 2004 : 8).

Relief cerita Ramayana yang terdapat di pagar langan bagian dalam Candi

Siwa dapat diikuti dengan cara pradaksina (berjalan searah jarum jam) dimulai

dari sebelah kiri pintu utama yang menghadap timur dan berakhir di sebelah

kanan pintu utama sisi timur (Prasetyo, 2004 : 7).

Berikut adalah deskripsi relief Candi Prambanan khususnya yang terpahat

(39)

2.1.1 Panel 1

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (1) Panel 1

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Relief Ramayana yang dipahatkan pada Candi Prambanan atau Lara

Jonggrang, diawali dengan kisah di Surga Tushita. Dewa Wisnu sedang duduk

di atas singgasana yang berbentuk Ular Naga yang muncul dari laut, dan di

belakangnya duduk seekor Garuda. Dalam cerita itu, Dewa Wisnu diminta

turun ke dunia oleh 5 (lima) dewa yang menumpas kejahatan yang ditimbulkan

oleh Rawana (Prasetyo, 2004 : 11).

• Adegan kedua (Pilahan 2)

Rama yang merupakan titisan dari Dewa Wisnu, Putra Prabu Dasarata, Raja

Ayodya, dan para abdi dalem Kraton sedang menghadap ayahanda Raja

Ayodya, yang didampingi oleh permaisuri. Raja Ayodya adalah raja yang

(40)

2.1.2 Panel 2

Foto : Agung

Gambar (2) Panel 2

Pada saat itu, Prabu Dasarata sedang menerima tamu seorang pendeta yakni

Bagawan Wismamitra. Kedatangan tamu tersebut memohon pertolongan Rama

untuk membantu membunuh raksasa yang sering mengganggu keamanan

pertapaan yang sedang beliau jalani. Sementara itu, di belakang Sang Raja duduk

ketiga isterinya yang bernama Kaikeyi atau Kekayi yang telah melahirkan Barata,

Kausalya yang telah melahirkan Rama dan Sumitra yang putranya bernama

Laksmana dan Satrugna. Rama dan Laksmana terlihat duduk di sebelah kanan

meraka. Prabu Dasarata mengutus Rama dan Laksmana untuk membunuh semua

raksasa yang mengganggu pertapaan Bagawan Wismamitra. Rama dengan senang

hati bersedia membantu Bagawan Wismamitra dan segera pergi ke tempat

(41)

2.1.3 Panel 3

Foto : Agung

Gambar (3) Panel 3

Dalam perjalanan ke tempat pertapaan pendeta Wismamitra, tiba-tiba Rama dan

Laksmana dihadang oleh raseksi, yang bernama Tataka. Tataka dapat dibunuh

oleh Rama dengan menggunakan panahnya (Prasetyo, 2004 : 13).

2.1.4 Panel 4

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (4) Panel 4

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Rama selamat sampai ke pertapaan dan menjumpai Bagawan Wismamitra yang

(42)

• Adegan kedua (Pilahan 2)

Sementara Rama tinggal di pertapaan, muncullah raksasa-raksasa yang selalu

mengganggu pertapaan Bagawan Wismamitra. Namun, semua raksasa itu dapat

dibinasakan oleh Rama, sehingga pertapaan itu kembali aman dan tentram

seperti sedia kala (Prasetyo, 2004 : 14).

2.1.5 Panel 5

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (5)

Panel 5

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Sementara itu, Prabu Janaka yang memerintah Kerajaan Mantilireja sedang

mengadakan sayembara, barang siapa dapat membentangkan dan mematahkan

busur panah panah miliknya, akan dikawinkan dengan puterinya yang sangat

cantik yang bernama Sinta (Prasetyo, 2004 : 15).

• Adegan kedua (Pilahan 2)

Rama mendengar sayembara yang diadakan oleh Prabu Janaka. Rama

memutuskan untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh Prabu Janaka.

Rama berhasil membentangkan dan mematahkan busur panah milik Prabu

(43)

Rama dikawinkan dengan Sinta. Pesta perkawinan berlangsung sangat meriah

(Prasetyo, 2004 : 15).

2.1.6 Panel 6

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (6)

Panel 6

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Tidak lama kemudian, Sinta diboyong ke Negara Ayodya. Laksmana, yang

selalu mendampingi Rama dalam sayembara itu, ikut kembali ke Ayodya.

Mereka melanjutkan perjalanan kembali ke Negara Ayodya (Prasetyo, 2004 :

16).

• Adegan kedua (Pilahan 2)

Selama dalam perjalanan kembali ke Ayodya, di tengah jalan, rombongan

Rama bertemu dengan Rama Parasu. Ia minta dibunuh dengan pusaka sakti

pemberian Dewa pada waktu Rama Parasu sedang bertapa (Prasetyo, 2004 :

16).

• Adegan ketiga

Rama mengabulkan permintaan Rama Parasu. Rama membunuh Rama Parasu

(44)

• Adegan keempat

Akhirnya dua bersaudara, Rama dan Laksmana, beserta Sinta selamat sampai

Ayodya. Kedatangan kedua putera dan menantunya disambut gembira oleh

Prabu Dasarata. Tidak lama setelah Rama kembali ke Ayodya, Raja Dasarata

ingin mewariskan tahta kerajaan kepada Rama karena usia Sang Prabu sudah

lanjut. Persiapan-persiapan telah dilakukan, baik oleh keluarga maupun

rakyatnya (Prasetyo, 2004 : 17).

2.1.7 Panel 7

Foto : Agung

Pilahan 1 Gambar (7)

Panel 7

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Sebelum Rama dinobatkan menjadi raja, terlebih dahulu dilakukan penobatan

Rama sebagai putera mahkota. Menurut tradisi kraton, lebih dulu dinobatkan

sebagai putera mahkota baru kemudian dinobatkan sebagai raja. Penobatan

Rama sebagai putera mahkota Kerajaan Ayodya dilakukan oleh seorang

pendeta. Sementara itu, di luar pagar istana Ayodya, rakyat merayakan

(45)

• Adegan kedua

Namun, sebelum Rama dinobatkan sebagai Raja mewarisi kedudukan

ayahanda, tiba-tiba isteri kedua Dasarata yang bernama Kaikeyi atau Kekayi

menghadap Sang Prabu. Kaikeyi atau Kekayi memohon pada Prabu Dasarata

untuk membatalkan penobatan Rama menjadi Raja di Ayodya. Selain itu, ia

meminta agar Rama diasingkan ke hutan selama 14 (empat belas) tahun dan

Barata putera Kaikeyi diangkat menjadi Raja Ayodya. Malam harinya mereka

berangkat ke hutan. Sebelum mereka berangkat, Rama dan Sinta berdoa

terlebih dahulu di tempat pemujaan yang berupa candi (Prasetyo, 2004 : 19).

• Adegan ketiga

Selesai berdoa, Rama, Sinta dan Laksmana, adik Rama, menuju ke

pengasingan di salah satu hutan yang masih termasuk dalam wilayah Kerajaan

Ayodya (Prasetyo, 2004 : 19).

2.1.8 Panel 8

Foto : Agung

Gambar (8) Panel 8

Selama ditinggal oleh Rama, Sang Prabu selalu sedih dan akhirnya jatuh sakit

(46)

Tuhan tidak memberikan umur panjang lagi kepada Prabu Dasarata. Ia wafat dan

jenazahnya diperabukan.

Sepeninggal Prabu Dasarata, para brahmana dan permaisuri Kausalya

membagikan harta kepada rakyat Ayodya (Prasetyo, 2004 : 20).

2.1.9 Panel 9

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2 Gambar (9)

Panel 9

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Barata putera Kaikeyi atau Kekayi akan dinobatkan menjadi raja, tetapi ia

menolak. Ia pergi ke hutan mencari Rama, Laksmana dan Sinta yang sedang

menjalani hukuman. Tujuan Barata mencari Rama, Laksmana dan Sinta adalah

untuk membujuk Rama kembali ke istana dan memerintah Kerajaan Ayodya

(Prasetyo, 2004 : 21).

• Adegan kedua (Pilahan 2)

Setelah lama mencari, akhirnya mereka dapat ditemukan juga. Barata

memberitahukan bahwa Ramanda Prabu Dasarata sudah wafat. Barata mohon

kepada Rama untuk kembali ke Ayodya menggantikan kedudukan ayahanda

(47)

tidak mau kembali ke negaranya, dan hanya menitipkan tlumpah atau sandal

sebagai gantinya. Pesan Rama, agar tlumpah atau sandal tersebut ditaruh di

atas Singgasana dan Barata disuruh pulang kembali ke Ayodya menggantikan

ayahanda sebagai Raja Ayodya atas nama Rama (Prasetyo, 2004 : 21).

2.1.10 Panel 10

Foto : Agung

Gambar (10) Panel 10

Sekembali Barata ke Ayodya, Rama, Sinta dan Laksmana masih tetap di hutan.

Selama di hutan, Sinta diganggu oleh dua raksasa, salah satunya bernama

Wiradha. Tetapi keduanya dapat dibunuh oleh Rama (Prasetyo, 2004 : 22).

2.1.11 Panel 11

Foto : Agung

Gambar (11) Panel 11

Di dalam hutan itu, Rama menempati gubug atau rumah kecil yang tidak begitu

(48)

kadang-kadang ditemani oleh Laksmana. Rama sering mendapatkan rusa dan dibawa

pulang. Sementara Rama sedang berburu, Sinta menjemur daging rusa yang sudah

dikuliti. Tiba-tiba muncul burung gagak mencuri daging rusa yang sedang dijemur

di halaman rumah. Setiap kali menjemur, burung itu pasti datang dan

menghabiskannya. Lama kelamaan Rama menjadi marah dan ketika burung gagak

itu kembali lagi ingin mencuri daging rusa, ia dibunuh dengan anak panah dan

kepalanya dipenggal (Prasetyo, 2004 : 23).

2.1.12 Panel 12

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (12)

Panel 12

• Adegan pertama

Belum lagi kemarahan Rama mereda, tiba-tiba muncul Sarpakenaka, seorang

adik perempuan Rawana, yang menyamar sebagai bidadari. Ia memohon agar

Rama menjadikan dia isterinya. Secara halus Rama menolak, karena Rama

sudah memiliki isteri. Lalu ia menunjuk Laksmana yang belum mempunyai

isteri. Rama memperkenalkan Laksmana kepada Raseksi Sarpakenaka

(49)

• Adegan kedua (Pilahan 1)

Setelah ia sampai pada Laksmana, ternyata juga mendapatkan jawaban yang

sama. Cinta Sarpakenaka ditolak oleh Laksmana. Ia diusir. Tetapi karena

Sarpakenaka tidak mau pergi, akhirnya Laksmana memotong telinga serta

melukai hidung Sarpakenaka. Adik Rawana tidak pernah menduga akan

mendapatkan perlakuan sekejam itu, maka ia pun lari untuk menemui Rawana.

Mendengar laporan bahwa Rama menghina adiknya, Rawana marah dan

Kalamarica, raksasa pembantu Rawana, disuruh menyelidiki ke hutan yang

ditunjukkan oleh adiknya. Kemudian Kalamarica berangkat sendiri terrnyata

itu benar, dan di sana juga ada seorang wanita cantik. Begitu mengetahui ada

wanita cantik, mengalirlah darah muda Rawana. Seketika itu pula, Rawana

menyuruh Kalamarica untuk menyamar sebagai seekor Kijang Kencana, untuk

menggoda Sinta (Prasetyo, 2004 : 24).

• Adegan ketiga (Pilahan 2)

Melihat Kijang, Sinta terpikat dan meminta Rama menangkap Kijang tersebut,

yang berkali-kali muncul dan menghilang secara tiba-tiba di dekat Sinta. Sinta

merengek terus dan mendesak Rama agar Kijang itu secepat mungkin

ditangkap. Sebelum ke hutan mencari Kijang, Rama berpesan kepada

(50)

2.1.13 Panel 13

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2 Gambar (13)

Panel 13

• Adegan pertama

Belum lama Rama pergi, tiba-tiba Sinta mendengar jeritan dari dalam hutan. Ia

menyangka, Rama mendapatkan malapetaka di tengah hutan. Sinta menyuruh

Laksmana segera menyusul Rama, karena mungkin terjadi sesuatu atas dirinya.

Laksmana merasa keberatan meninggalkan Sinta seorang diri. Namun, ia

didesak terus sehingga terpaksa menuruti keinginan isteri kakaknya. Sebelum

pergi, ia membuat lingkaran yang mempunyai kekuatan gaib. Barang siapa

melanggar lingkaran itu, akan ada kekuatan lain yang menyebabkan ia tidak

sadarkan diri, bahkan jika tidak kuat, akan meninggal seketika. Laksmana

menyusul Rama. Sementara itu, Sinta berada di gubug sendirian (Prasetyo,

2004 : 26).

• Adegan kedua (Pilahan 1)

Begitu Laksmana pergi, muncullah Rawana yang menyamar sebagai pendeta

tua yang sudah pikun. Perlahan-lahan, ia mendekati Sinta dan berpura-pura

(51)

Sinta memberikan nasi, secepat kilat tangan Sinta ditarik keluar dan di bawa

terbang ke angkasa (Prasetyo, 2004 : 26).

• Adegan ketiga (Pilahan 2)

Rawana berhasil menculik Sinta dan membawanya terbang ke angkasa. Ratap

tangis Sinta tak dihiraukan oleh Rawana. Namun, gerak-gerik Rawana selalu

diikuti oleh seekor burung garuda yang bernama Jatayu. Pada awalnya, burung

itu mendengar tangis seorang wanita yang minta dikembalikan. Tangis itu

terdengar sayup-sayup oleh Jatayu, maka ia pun lalu mendekat. Jatayu terkejut

melihat seorang wanita dibawa terbang oleh seorang raksasa. Jatayu ingin

membebaskan wanita tersebut yang tidak lain adalah Sinta. Maka terjadilah

perang memperebutkan Sinta. Karena Jatayu kalah kuat, Rawana dengan

mudahnya meringkus dan menghempaskannya ke tanah. Sebelum Jatayu jatuh

ke bumi, Sinta sempat memberikan sebentuk cincin agar diberikan kepada

suaminya (Prasetyo, 2004 : 27).

• Adegan keempat

Sementara itu, hati Rama semakin penasaran melihat ulah Kijang yang sukar

ditangkap. Pada waktu Kijang itu mendekat, Rama melepaskan anak panah dan

dapat mengenai Kijang tadi. Namun, tiba-tiba Kijang tadi berubah wujud

menjadi Kalamarica yang menjerit melarikan diri menjauhi Rama. Dengan

kecewa Rama kembali menemui Sinta, namun Sinta sudah tidak ada di gubug

mereka. Rama dan Laksmana sangat sedih ketika mereka mengetahui

hilangnya Sinta. Rama dan Laksmana mencari dengan penuh kekhawatiran,

(52)

dalam hati. Lama ia merenung dalam hati. Ke mana ia akan mencari, sebab

belum diketahui tempat Sinta berada. Kemudian Laksmana mendekati Rama,

untuk diajak mencari Sinta sampai ketemu. Dengan dirundung kesedihan,

kakak beradik itu terus mencari Sinta. Selama menggembara, tak diduga

selama melintasi hutan yang belum dijamah oleh manusia, mereka menjumpai

burung Garuda yang hampir mati penuh dengan luka. Burung Garuda yang

bernama Jatayu itu menceritakan semua yang dialaminya kepada Rama dengan

tersendat-sendat, menahan sakit. Setelah memberikan sebentuk cincin kepada

Rama, Jatayu meninggal. Rama dan Laksmana berdoa bagi arwah Jatayu.

Setelah berdoa, mereka kembali melanjutkan perjalanan mencari Sinta

(Prasetyo, 2004 : 28).

• Adegan kelima

Selama perjalanan, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, tidak dirasakan

oleh Rama dan Laksmana. Hatinya kuat seperti baja, ingin agar isterinya yang

dilarikan orang segera diketemukan. Belum sempat beristirahat setelah menaiki

gunung, tiba-tiba ia dihadang oleh raksasa yang bernama Kabandha. Rama

dengan mudah membunuh raksasa tadi, tetapi tiba-tiba Kabandha berubah

wujud. Ia adalah reinkarnasi dewa yang dikutuk oleh Dewa Siwa dan dihukum

untuk hidup sebagai makhluk yang jelek. Rama tidak habis mengerti, mengapa

perjalanan mereka mencari Sinta penuh cobaan dari Dewa (Prasetyo, 2004 :

(53)

2.1.14 Panel 14

Foto : Agung

Gambar (14)

Panel 14

Baru saja mereka melangkah, muncul seekor buaya secara tiba-tiba dan

menyerang mereka. Setelah dibunuh, buaya itu pun berubah wujud. Ternyata ia

adalah reinkarnasi seorang bidadari yang mendapat kutukan dari Dewa. Bidadari

itu lalu terbang kembali ke surge (Prasetyo, 2004 : 29).

2.1.15 Panel 15

Foto : Agung

Gambar (15) Panel 15

Dengan hati yang penuh kesabaran, Rama dan Laksmana menghadapi segala

cobaan. Mereka bertekad tidak akan mengurungkan niatnya sampai menemukan

Sinta kembali. Mereka sudah berjalan sampai berbulan-bulan. Setiap hutan dilalui

untuk mendapatkan berita dari orang lain mengenai tempat di mana Sinta

(54)

muncullah seekor Kera Putih yang kemudian mendekati mereka. Ia mengaku

bernama Hanoman, anak Dewa Angin. Sambil menyembah, Hanoman memohon

kepada Rama supaya mau menemui Sugriwa, Raja Kera. Permintaan Hanoman

dituruti oleh Rama (Prasetyo, 2004 : 30).

2.1.16 Panel 16

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (16)

Panel 16

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Rama dan Laksmana sedang beristirahat di tengah hutan. Sebelum

meninggalkan tempat beristirahat tadi, Rama menyuruh adiknya, Laksmana,

untuk mencari air (Prasetyo, 2004 : 31).

• Adegan kedua (Pilahan 2)

Tidak lama kemudian, Laksmana menemukan air yang menetes dari atas

pohon. Anehnya, air itu terasa asin. Setelah diamati, Laksmana baru tahu

bahwa air yang menetes itu adalah air mata Raja Kera, Sugriwa yang sedang

menangis karena badannya terjepit di antara dua pohon besar, sehingga ia tidak

(55)

• Adegan ketiga

Melihat kejadian itu, Rama dan Laksmana merasa kasihan. Lalu kayu besar itu

dilepasi anak panah, sehingga Sugriwa dapat diturunkan dari atas pohon.

Sesampai di tanah, Sugriwa mengucapkan terima kasih dan memohon kepada

Rama agar membantunya menaklukkan Subali yang telah merebut Kerajaan

Kiskendha dan isterinya secara paksa. Tetapi Rama juga memohon agar

Sugriwa bersedia membantu Rama untuk mendapatkan kembali Sinta yang

telah diculik oleh Rawana dari Alengka. Sebagai ucapan terima kasih, Sugriwa

dengan bala tentara kera akan membantu Rama untuk membebaskan Sinta

(Prasetyo, 2004 : 32).

2.1.17 Panel 17

Foto : Agung

Gambar (17) Panel 17

Untuk meyakinkan Sugriwa atas kesaktian Rama, Rama sempat melepaskan anak

panah, dengan satu anak panah yang dapat sekaligus memotong 7 (tujuh) pohon

(56)

2.1.18 Panel 18

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (18)

Panel 18

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Kemudian berangkatlah Rama, Laksmana dan Sugriwa disertai Hanoman

menuju Gua Kiskenda. Setiba di Gua Kiskenda, mereka menyusun strategi

untuk menyerang Subali. Segera Rama menyuruh Sugriwa menantang Subali

dari luar gua (Prasetyo, 2004 : 34).

• Adegan kedua (Pilahan 2)

Mendengar suara Sugriwa, Subali keluar dan terjadilah peperangan. Keduanya

mempunyai kekuatan yang seimbang. Tapi lama kelamaan, Sugriwa terdesak

dan mohon agar Rama segera membunuh Subali. Pada mulanya Rama masih

ragu-ragu, karena keduanya hampir serupa dari kejauhan. Setelah Sugriwa

memberi tanda lain, Rama tidak ragu-ragu lagi. Pada saat peperangan agak

renggang, anak panah Rama mengenai Subali dan matilah ia seketika. Jenazah

(57)

• Adegan ketiga

Tidak lama kemudian, dengan matinya Subali, Sugriwa dapat kembali naik

tahta Kerajaan Kiskenda dan Anggada, anak Subali diangkat sebagai putera

mahkota. Sugriwa disambut meriah oleh para kera (Prasetyo, 2004 : 36).

2.1.19 Panel 19

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (19)

Panel 19

• Adegan pertama

Selesai pengangkatan raja dan putera mahkota, berangkatlah mereka menuju

Alengkapura disertai prajurit kera yang jumlahnya tidak sedikit. Setiba di

pantai, semua prajurit kera beristirahat dan Sugriwa menghadap Rama. Rama,

Laksmana dan Sugriwa pergi ke suatu tempat untuk berunding (Prasetyo, 2004

: 37).

• Adegan kedua (Pilahan 1)

Rama, Laksmana dan Sugriwa sedang berunding untuk merencanakan dan

(58)

• Adegan ketiga (Pilahan 2)

Sugriwa mengajukan permohonan kepada Rama supaya Hanoman diutus pergi

ke Alengka terlebih dahulu untuk mencari Sinta. Rama setuju, maka

berangkatlah Hanoman ke Alengka. Rama menitipkan cincin agar diberikan

kepada Sinta bila nanti bertemu (Prasetyo, 2004 : 38).

• Adegan keempat

Dengan tangkas, Hanoman pergi ke Kerajaan Alengka dengan jalan

melompat-lompat dari Gunung Mahameru untuk menyeberangi laut. Hanoman juga

terbang melayang bagaikan anak panah lepas dari busurnya menuju ke

Alengka. Dalam waktu sekejap, ia sudah sampai di Negara Rawana. Ia

melompat dari satu rumah ke rumah lain atau dari atap satu ke atap lain

mencari tempat di mana Sinta disembunyikan (Prasetyo, 2004 : 38).

2.1.20 Panel 20

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (20) Panel 20

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Akhirnya Hanoman dapat masuk ke taman istana Rawana, tempat di mana

Sinta disekap. Di taman keputerian, tampak dari kejauhan Sinta ditemani

(59)

Hanoman mendekat dari balik pepohonan di taman keputerian. Bayangan

Hanoman sempat dilihat oleh salah seorang abdi dalem taman keputerian.

Kemudian abdi dalem itu melaporkan apa yang dilihatnya kepada Trijata.

Trijata adalah keponakan Rawana yang selalu mendampingi Sinta selama di

taman keputerian (Prasetyo, 2004 : 39).

• Adegan kedua (Pilahan 2)

Mendengar laporan tadi, Trijata segera mencari Kera Putih yang masih

bersembunyi di antara pepohonan. Setelah yakin bahwa Kera Putih itu utusan

Rama, maka ia dihadapkan kepada Sinta. Melihat kera, Sinta agak ketakutan.

Semula ia masih curiga, mengira bahwa kera itu utusan Rawana. Kemudian

Hanoman menceritakan semua yang dialami Rama. Beliau dalam waktu dekat

akan segera membebaskan Sinta dan segera akan menjemputnya. Sebelum

kembali pulang, Hanoman memberikan cincin pemberian Rama kepada Sinta.

Sebaliknya Sinta memberikan perhiasan sanggulnya agar disampaikan kepada

suaminya. Sambil menyembah, Hanoman meninggalkan taman keputerian,

(60)

2.1.21 Panel 21

Foto : Agung

Pilahan 1 Pilahan 2

Gambar (21)

Panel 21

• Adegan pertama (Pilahan 1)

Tetapi di halaman keputerian, Hanoman sempat dilihat oleh prajurit pengawal

istana Alengka. Seluruh prajurit pengawal istana berhamburan menangkap

Hanoman. Karena dikeroyok oleh prajurit pengawal yang jumlahnya tidak

sedikit, Hanoman tertangkap, lalu dihadapkan kepada Rawana. Atas perintah

Rawana, Hanoman diikat di alun-alun lalu dibakar. Semua prajurit bersorak

gembira. Tidak lama kemudian, ekornya mulai menyala dan merembet ke

seluruh tubuhnya (Prasetyo, 2004 : 40).

• Adegan kedua (Pilahan 2)

Selagi api belum panas, Hanoman mengerahkan kesaktian pemberian Dewa,

sehingga dengan mudah melepaskan diri dari ikatannya. Lalu dengan ekor

yang masih menyala, Hanoman membakar istana Rawana. Ia melompat dari

atap satu ke atap yang lain sambil membakar apa saja yang dijumpainya.

Dalam sekejap api telah menjalar ke semua bangunan istana Alengka, sehingga

(61)

2.1.22 Panel 22

Foto : Agung

Gambar (22) Panel 22

Setelah puas merusak istana Alengka, kembalilah ia ke pantai dekat Gunung

Mahameru tempat Rama, Laksmana dan Sugriwa menunggu kedatangannya.

Kedatangan Hanoman disambut dengan haru. Semua kejadian yang dialami oleh

Hanoman selama menjadi utusan, didengarkan oleh Rama dengan penuh

perhatian. Tidak lupa Hanoman menyerahkan hiasan sanggul yang dipakai Sinta.

Rama menerima dengan penuh kerinduan, sehingga tanpa disadari air mata

meleleh membasahi pipinya (Prasetyo, 2004 : 41).

2.1.23 Panel 23

Foto : Agung

Gambar (23)

Panel 23

Beliau merenung sejenak, lalu memerintahkan prajurit kera agar menyerang

(62)

pusaka pemberian Dewa akan digunakan oleh Rama. Rencana itu sempat didengar

oleh Dewa air atau Dewa Laut. Kalau rencana Rama itu tetap dilaksanakan, semua

ikan yang berada di dalam laut akan mati. Oleh karena itu, Dewa Air atau Dewa

Laut memohon kepada Rama agar membatalkan rencananya, dan memberi saran

untuk membuat jembatan dari pantai ke Kerajaan Alengka. Pembuatan jembatan

itu akan dibantu oleh Dewa Laut dan ikan-ikan lainnya (Prasetyo, 2004 : 42).

2.1.24 Panel 24

Foto : Agung

Gambar (24) Panel 24

• Adegan pertama

Rama, Laksmana dan Sugriwa menyaksikan para kera membuat jembatan yang

juga dibantu oleh ikan dan Dewa Laut (Prasetyo, 2004 : 43).

• Adegan kedua

Berkat kerjasama yang baik, akhirnya jembatan itu dapat diselesaikan dalam

waktu singkat. Rama, Laksmana dan Sugriwa disertai prajurit kera sedang

melewati jembatan yang menuju ke Kerajaan Alengka. Mereka selamat sampai

di Alengka (Prasetyo, 2004 : 43).

2.2 Deskripsi Tari Paramastri

Tari Paramastri diciptakan tahun 2003 oleh seorang koreografer muda

(63)

mewakili DIY untuk tingkat nasional dan berhasil merebut Juara Umum, Penyaji

Terbaik, Penata Musik Terbaik, Penata Rias Busana Unggulan.

Tari Paramastri mengambil ide dari gerak-gerak para penari yang

terpahat pada dinding Candi Siwa Prambanan. Dari gerak-gerak yang terpahat itu

kemudian dikembangkan oleh koreografer. Tapi koreografer tidak meninggalkan

pakem-pakem yang terpahat pada dinding candi, hal ini terlihat dari

bentuk-bentuk tribhanga yang selalu terlihat pada pose para penarinya. Gerak merupakan

media komunikasi dalam tari Paramastri. Oleh karena itu, dalam mendeskripsikan

tari Paramastri, penulis mendeskripsikannya berdasarkan gerak tari Paramastri.

Tari Paramastri tidak mempunyai cerita karena tari Paramastri merupakan tarian

pendek. Tari Paramastri dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian tarian, yaitu awal

tarian, tengah tarian dan akhir tarian. (Hasil wawancara dengan Sutopo Tejo

Baskoro pada tanggal 14 Maret 2008).

2.2.1 Awal Tarian

Tarian ini diawali dengan 1 (satu) orang penari keluar dari sudut kanan

belakang menuju tengah panggung. 6 (enam) penari lainnya keluar dari sudut

depan, 3 (tiga) penari dari sudut kanan depan dan 3 (tiga) penari dari sudut kiri

depan. Keenam penari itu menuju ke tengah panggung mendekati 1 (satu) penari

yang sudah terlebih dahulu berpose di tengah panggung. Keenam penari itu

membentuk lingkaran. 1 (satu) penari berdiri di tengah lingkaran, bergerak pelan

menggunakan pose-pose tribhanga. Perlahan-lahan keenam penari berdiri berjalan

(64)

Foto : Aul Foto : Aul Foto : Aul

Gambar (25a) Gambar (25b) Gambar (25c)

Gambar (25)

Beberapa pose penari yang berada di tengah panggung (25a) pose berdiri dengan tangan ke atas (25b) pose berdiri dengan tangan terbuka (25c) pose berdiri dengan tangan tertutup

Foto : Aul

Gambar (26)

Pose saat 1 penari berada di tengah lingkaran

2.2.2 Tengah Tarian

Ketujuh penari berpisah, 4 (empat) penari menuju kanan belakang

(65)

Mereka semua menghadap belakang dan bergeser menuju tengah

panggung menggunakan pose-pose tribhanga. Setelah sampai di tengah semua

penari menghadap ke depan dan berpose menggunakan bentuk tribhanga. Setelah

dua hitungan semua penari maju, 2 (dua) penari berpose di depan kiri panggung, 5

(lima) penari lainnya berpose di tengah panggung. Para penari tersebut

menggunakan pose-pose yang berbeda-beda.

Foto : dok Dinas Kebudayaan DIY

Gambar (27)

Pose-pose yang digunakan para penari sebelum berpindah pola lantai

Foto : Aul

Gambar (28)

Gambar

Gambar (26)
Gambar (27)
Gambar (29)
Gambar (32)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

juga telah mengerjakan dengan benar, sudah paham mengenai perkalian logaritma dan memahami sifat logaritma yaitu

[r]

Interferensi maksimum (pola terang) terjadi apabila kedua gelombang memiliki fase yang sama (360 ° dan kelipatannya), yaitu beda lintasannya sama dengan nol

The purposes of this research are : 1) to acknowledge the describe of teachers commitment and competence, 2) to acknowledge the describe of student achievement and, 3)

Penurunan pada It dipengaruhi oleh penurunan pada semua subkelompok baik padi maupun palawija sebesar 1,20 persen dan 1,01 persen sedangkan naiknya Ib dipengaruhi oleh

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat, taufik dan hidayahnya,penyusun skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI PROGRAM PENJANGKAUAN

m. Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. 2 Pengawasan pemerintah berupa audit lingkungan hidup perlu guna mengevaluasi ketaatan