TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN
DALAM TARI PARAMASTRI
KARYA PARANDITYA WINTARNI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Indiartari Kussnowari
034114006
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN
DALAM TARI PARAMASTRI
KARYA PARANDITYA WINTARNI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Indiartari Kussnowari
034114006
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Kusediakan hati untuk seni
Kusiapkan jiwa bagi budaya
Kuhadirkan kasih untuk seni
Kuserahkan cinta untuk budaya
Kusampaikan kalbu untuk seni
Kukirimkan nurani untuk budaya
Jantungku untuk seni
Detaknya untuk budaya
Nadiku untuk seni
Denyutnya bagi budaya
Hidupku untuk seni
Matiku untuk budaya
(The Silent Love Nyanyian Hati Trie Utami)
Cinta tak harus memiliki
Tapi kalau bisa cinta itu dipertahankan
Dicintai seseorang lebih berharga dan bahagia dari pada mencintai seseorang
Kupersembahkan ini semua untuk
Tuhanku yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya
Ibuku tercinta yang telah melahirkanku…
maafkan aku belum sempat
membahagiakanmu
Bapak, Mbak Andit, Aul
Suami dan anakku
Keluarga Besar Bagong Kussudiardja
Keluarga Besar Hardjo Soedhono
Keluarga Besar PSBK, Kua Etnika, Gandrik
Dosen n temen2 Sasindo 2003
Thanks for your support
I love U All
ABSTRAK
Kussnowari, Indiartari. 2008. Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Tari Paramastri Karya Paranditya Wintarni. Skripsi S1. Yogyakarta : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Satra, Universitas Sanata Dharma.
Tari merupakan ekspresi perasaan yang ada dalam diri manusia yang kemudian diimajinasikan dan diwujudkan melalui gerak. Seni tari mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan dalam kehidupan sebagai suatu hiburan, maupun sebagai bagian dari upacara keagamaan.
Candi Prambanan yang terletak di desa Prambanan, Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia. Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Di dalam Candi Siwa terdapat relief yang berjumlah 24 panel. Relief ini menceritakan kisah Ramayana. Tari Paramastri karya Paranditya Wintarni menjadikan relief Candi Siwa Prambanan sebagai sumber inspirasi. Transformasi tersebut terlihat pada bentuk-bentuk tariannya.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Media komunikasi tari Paramastri adalah gerak. Oleh karena itu, peneliti juga mendeskripsikan gerakan tari Paramastri. Terdapat estetika yang berbeda antara relief candi Siwa Prambanan dan tari Paramastri. Relief candi Siwa Prambanan mempunyai estetika pada pahatan dan cerita relief Ramayananya, sedangkan tari Paramastri letak sisi estetikanya pada gerakan tariannya.
Gerak tari Paramastri mentransformasi dari relief-relief yang terpahat di dinding Candi Siwa Prambanan. Gerak yang paling dominan dalam tarian ini
adalah gerak tribhanga. Gerak tribhanga, merupakan pengembangan dari gerakan
para penari khayangan yang terpahat pada relief dinding Candi Siwa Prambanan. Bagian dari tari Paramastri yang merupakan transformasi dari Candi Siwa Prambanan adalah pose duduk, pose berdiri, pola lantai dan busana. Penata tari mentransformasikan pose duduk dan berdiri dari sebagian relief Candi Siwa Prambanan. Sebagian pola lantai tari Paramastri ditransformasikan dari beberapa adegan atau cerita yang terdapat pada panel-panel Candi Siwa Prambanan. Sedangkan untuk busana atau kostum, penata tari mentransformasikan dari arca Siwa Mahadewa. Alasan penata busana justru mentransformasikan busana arca Siwa Mahadewa karena busana Siwa Mahadewa yang dianggap paling pas jika digunakan sebagai busana tari Paramastri, daripada busana para penari khayangan yang terpahat pada relief Candi Siwa Prambanan.
ABSTRACT
Kussnowari, Indiartari. 2008. The Transformation of Prambanan Siwa Temples Reliefs in Paranditya Wintarni’s Dance. Skripsi S1. Yogyakarta : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Sanata Dharma University.
Dance is an expression of human’s emotions that are revealed and manifested into movements. It has a very important role in human’s life either as entertainment or as a significant part in religious ceremonies.
Prambanan Temple which is located in the Prambanan village is the biggest Hindu temple in Indonesia. Prambanan Temple has 3 major temples in the main yard, namely Wisnu temple, Brahma temple, and Siwa temple. Siwa Temple consists of 24 reliefs panels that portray the story of Ramayana.
This observation is use the description method. The communication media of Paramastri dance is movement. Therefore obeserver also describe the movement of Paramastri dance. There is a different esthetic between the relief of Siwa Prambanan Temple and Paramastri dance. Siwa Prambanan Temple’s relief has esthetic on its engraving and Ramayana’s relief story, while the Paramantri dance’s esthetic is on the dance movement it self.
Paramastri Dance alters its movements from the reliefs engraved on the walls of Prambanan Siwa Temple. The most dominant movement in this dance is the tribhanga. This movement is a transformation of the heavenly dancers’ movement carved on The Prambanan Siwa Temple.
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : INDIARTARI KUSSNOWARI
Nomor Mahasiswa : 034114006
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DALAM TARI PARAMASTRI KARYA PARANDITYA WINTARNI
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan rolyati kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 22 April 2008
Yang menyatakan
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan program sarjana pada Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari, selama persiapan, penyusunan hingga selesainya
skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, jika ada kesalahan dalam
penulisan maupun penyusunan skripsi ini, menjadi tanggung jawab penulis dan
penulis mohon maaf. Untuk itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Ibu Dra. Tjandrasih Adji, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs.
B. Rahmanto, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas
kesempatan, kritikan, kesabaran, dan waktunya dalam membimbing penulis
hingga skripsi ini selesai.
3. Pak Ari, Pak Yapi, Bu Peni, Pak Praptomo, Pak Hery matur nuwun atas ilmu
yang diberikan kepada saya. Mohon maaf kalau selama kuliah saya sering
bandel dan sering izin tidak masuk kuliah.
4. Staf Sekretariat Sastra Indonesia, Perpustakaan, BAA, dan BUK Universitas
Sanata Dharma terima kasih atas bantuannya selama saya kuliah, menyusun
skripsi hingga lulus.
5. Bapak Sutopo Tedjo Baskoro dan Mbak Paranditya Wintarni selaku
narasumber, terima kasih atas waktu, kesempatan dan segala sesuatu informasi
dan pelajaran yang diberikan kepada peneliti, maaf kalau sering merepotkan
6. Bapak, maafkan aku karena baru sekarang aku bisa menyelesaikan kuliahku.
Mbak Andit, Agra n Aul terima kasih atas bantuan kalian. Maaf kalau aku
selalu membuat kalian marah.
7. Almarhumah Ibunda tercinta Ida Manutranggana. Maafkan sewaktu Ibu masih
mendampingiku aku belum bisa membuat Ibu bahagia. Sekarang, aku sudah
bisa menyelesaikan salah satu tugasku. Aku yakin Ibu selalu mendampingiku
dan saat ini Ibu tersenyum bahagia di rumah Tuhan. Aku merindukan
senyuman Ibu. Mahal Kita Mom.
8. Suamiku Hendro Supadmo dan anakku tercinta akhirnya Bunda bisa
menyelesaikan tugas Bunda. Terima kasih atas support kalian. Bunda sayang
kalian.
9. Keluarga Besar Bagong Kussudiardja terima kasih atas suport sewaktu aku
merasa hilang, kosong, hampa, sendirian. Kalian selalu memberiku semangat
untuk bangkit.
10.Astri, Aik, Aning, Bekti, Bayu, Desi, Doan, Ditha, Firla, Icha, Jati, Rinto,
Simpli, Tasya dan semua temen-temen Sasindo 2003; persahabatan dan rasa
kekeluargaan kita tidak hanya sampai di sini terima kasih atas bantuan kalian
selama ini. Aku akan merindukan saat-saat kita bersama.
11.Aul, Agung, Siwo matur nuwun atas bantuannya mengumpulkan foto-foto
yang ’menghiasi’ skripsi ini.
12.Mbak Antis, Mbak Ninin, Mbak Wuri thanks supportnya. Terima kasih sudah
mendengarkan semua keluh kesahku selama ini.
13.Teman-teman PSBK, KUA Etnika, Teater Gandrik, Running Picture, terima
kasih atas kerjasamanya selama ini.
14.Temen-temen yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu dan telah
membantuku dari mencari, mengumpulkan data hingga skripsi ini selesai
disusun.
Tak lupa aku ucapkan terimakasih juga kepada semua pihak yang tidak dapat
aku sebutkan satu persatu. Matur nuwun sanget.
Yogyakarta tercinta
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI iii
HALAMAN MOTO iv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI viii
KATA PENGANTAR ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA xi
1.7.2.2 Wawancara 12
17.2.3 Dokumentasi 13
1.8 Sistematika Penyajian 14
BAB II DESKRIPSI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DAN
TARI PARAMASTRI
Pengantar 15
2.1 Deskripsi Relief Candi Siwa Prambanan 15
2.2 Deskripsi Tari Paramastri 40
2.2.1 Awal Tarian 41
2.2.2 Tengah Tarian 42
2.2.3 Akhir Tarian 50
BAB III TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN
DALAM TARI PARAMASTRI
Pengantar 53
3.1 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam
Pose Tari Paramastri 53
3.1.1 Pose Duduk 54
3.1.1.1Pose Duduk yang Digunakan 55
3.1.1.2Pose Duduk yang Tidak Digunakan 56
3.1.1.3Pose Duduk yang Ditambahkan 56
3.1.2 Pose Berdiri 58
3.1.2.1Pose Berdiri yang Digunakan 58
3.1.2.2Pose Berdiri yang Tidak Digunakan 61
3.1.2.3Pose Berdiri yang Ditambahkan 63
3.1.3 Pose lain yang Digunakan 63
3.2 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Pola
Lantai Tari Paramastri 65
3.2.1 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 1 Pilahan 1 66
3.2.2 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 7 Adegan 1 66
3.2.3 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 19 Adegan 2
Pilahan 1 68
3.2.4 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 20 Adegan 1
Pilahan 1 68
3.3 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Busana
Tari Paramastri 70
BAB IV PENUTUP
4.2 Saran 75
DAFTAR PUSTAKA 76
DAFTAR ISTILAH
• Aksamala : tasbih yang terbuat dari untaian manik-manik. • Ardhacandrakapala : hiasan mahkota yang berupa tengkorak dan bulan
sabit.
• Balustrade : pagar yang terdapat pada candi.
• Camara : kelut.
• Impang Encot : pola gerakan dengan rentangan lengan ke samping kiri dan kanan simetris dengan level sedang,
lengan kiri sedikit agak ditekuk. Gerakan kaki
merendah dan naik seperti ditarik. Gerakan ini
memberikan kesan halus dan tidak banyak
tingkah.
• Impang Ngewer Udhet : pola gerakan dengan rentangan lengan ke samping
kiri dan kanan simetris dengan level sedang,
lengan kiri sedikit agak ditekuk. Gerak badan
lebih bervariasi.
• Jamang lamba : hiasan kepala yang hanya satu lapis.
• Jatamalakuta : mahkota yang menggambarkan keabsolutan
(mutlak).
• Kalamakara : kepala raksasa yang lidahnya berwujud sepasang
mitologi.
• Kelat bahu : gelang yang di pakai di lengan tangan.
• Kinari – kinari : makhluk bertubuh burung berkepala manusia.
• Langkan : serambi tempat meninjau.
• Mekak : penutup dada, busana tari semacam strapless bagi penari puteri.
• Nggrudha : pola gerak dasar untuk tari puteri. Pola gerak ini
berbentuk tekukan lengan bawah ke depan yang
simetris dengan level rendah seperti sayap burung
• Ngruji : bentuk tangan pertama. Keempat jari berdiri sedangkan ibu jari ditekuk ke dalam.
• Panel : bagian dari permukaan dinding yang berupa papan
tipis, biasanya berbentuk persegi panjang.
• Pilaster : tiang atau pilar semu yang berbentuk empat
persegi panjang yang menjorok ke luar dari
tembok.
• Pradaksina : berjalan searah jarum jam.
• Sampur : selendang.
• Sirascakara : tanda kedewaan.
• Sumping : hiasan telinga.
• Trimurti : 3 Dewa dalam kepercayaan Hindu yaitu Dewa
Wisnu, Dewa Brahma dan Dewa Siwa. Secara
harafiah, Trimurti berarti badan tiga. Trimurti
menggambarkan 3 sifat kekuasaan kedewaan yaitu
pencipta (Dewa Brahma), pemelihara (Dewa
Wisnu), dan perusak (Dewa Siwa).
• Ratna : puncak tertinggi pada candi.
• Uncal : ikat pinggang.
• Urna : mata ketiga yang terletak di dahi.
• Usap Rawis : salah satu ragam tari Yogya Klasik yang
DAFTAR GAMBAR
• Gambar 25 : Beberapa pose penari yang berada di tengah panggung
• Gambar 25a : Pose berdiri dengan tangan ke atas
• Gambar 25b : Pose berdiri dengan tangan terbuka
• Gambar 25c : Pose berdiri dengan tangan tertutup
•Gambar 27 : Pose yang digunakan para penari sebelum bepindah pola lantai
• Gambar 28 : Pose 2 penari yang berada di depan kiri panggung
• Gambar 29 : Pose-pose yang digunakan oleh 5 penari yang berada di tengah
panggung
•Gambar 29a : Pose penari dengan tangan tertutup di atas
•Gambar 29b : Pose penari dengan tangan terbuka
•Gambar 29c : Pose penari dengan 1 tangan terbuka
•Gambar 29d : Pose penari dengan tangan tertutup di bawah
• Gambar 30 : Gerakan sembahan yang dikreasikan dengan bentuk tribhanga
• Gambar 31 : Hasil dari gerak nggrudha yang ditransformasikan dalam bentuk
tribhanga
•Gambar 32 : Impang, salah satu ragam gerak Yogya Klasik yang digunakan
dalam tari Paramastri
•Gambar 33 : Pose duduk yang terdapat dalam relief Candi Siwa Prambanan.
Terdapat pada panel 7 tokoh Rama yang sedang dinobatkan
menjadi Raja
• Gambar 34 : Pola lantai 3 penari duduk, 4 penari berdiri
• Gambar 35 : Ragam usap rawis yang digunakan dalam tari Paramastri
• Gambar 36 : Pola lantai ingkaran dengan posisi duduk
• Gambar 37 : 1 penari keluar dari lingkaran
• Gambar 38 : Salah satu motif nggrudha yang dimodifikasikan dalam bentuk
tribhanga
• Gambar 39 : 1 penari berada di sudut belakang panggung
• Gambar 40 : Keenam penari melingkari 1 orang penari
• Gambar 41 : Pola lantai saat 3 penari berdiri dan 4 penari lainnya duduk • Gambar 42 : Pose terakhir dalam tari Paramastri
• Gambar 43 : Beberapa pose duduk dalam tari Paramastri
• Gambar 44 : Pose duduk yang terdapat pada relief Candi Siwa Prambanan
• Gambar 45 : Pose duduk yang sudah ditransformasikan
• Gambar 47 : Pose duduk yang ditambahkan dalam tari Paramastri
• Gambar 48 : Pose berdiri yang terdapat pada Candi Siwa Prambanan
• Gambar 49 : Pose berdiri yang sudah ditransformasikan
• Gambar 50 : Pose berdiri yang terdapat pada Candi Siwa Prambanan
• Gambar 51 : Pose berdiri yang sudah ditransformasikan
• Gambar 52 : Pose berdiri yang terdapat pada Candi Siwa Prambanan
• Gambar 53 : Pose berdiri yang sudah ditransformasikan
• Gambar 54 : Pose berdiri yang terdapat pada relief Candi Siwa Prambanan
yang tidak digunakan dalam tari Paramastri
• Gambar 55 : Pose berdiri yang ditambahkan dalam tari Paramastri
• Gambar 56 : Beberapa pose dalam tari Paramastri yang menggunakan
pengembangan bentuk tangan, kaki, dan posisi badan
• Gambar 57 : 1 penari berada di sudut belakang panggung
• Gambar 58 : Keenam penari melingkari 1 orang penari
• Gambar 59 : Pola lantai 3 penari duduk, 4 penari berdiri • Gambar 60 : Pola lantai garis lurus
• Gambar 61 : Detail busana tari Paramastri
DAFTAR TABEL
• Tabel 1 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang
terdapat pada panel 1 pilahan 1
• Tabel 2 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang
terdapat pada panel 7 adegan 1
• Tabel 3 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang
terdapat pada panel 19 adegan 2 pilahan 1
• Tabel 4 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang
terdapat panel 20 adegan 1 pilahan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia mempunyai keanekaragaman budaya yang selalu
dikagumi oleh masyarakat mancanegara. Kekayaan budaya yang dimiliki serta
adat istiadat yang beranekaragam itu sudah selayaknya kita junjung tinggi dan kita
hargai. Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ialah seni
tari.
Tari sebagai suatu karya seni merupakan suatu ekspresi perasaan yang
ada dalam diri manusia yang kemudian diubah oleh imajinasi untuk diwujudkan
melalui media gerak. Tari merupakan sarana ekspresi manusia yang paling
mendasar dan paling tua. Semua perasaan dan pikiran yang ada dapat dicurahkan
dan diekspresikan melalui gerak tari. Selama manusia memiliki tubuh dan bisa
menggerakkannya, baik sebagai aktivitas gerak spontan maupun aktivitas gerak
visidental maka menari menjadi salah satu cara aktualisasi emosi seseorang yang
berkaitan dengan aspek-aspek lain kehidupannya, salah satunya adalah
komunikasi (Murgiyanto, 1977 : 2). Seni tari mempunyai fungsi yang sangat
penting dalam kehidupan sebagai suatu hiburan, maupun sebagai bagian dari
upacara keagamaan. Dalam upacara keagamaan, sebuah tarian waktu dipentaskan
akan mengandung kekuatan, yang menimbulkan kenikmatan (Murgiyanto, 1977 :
Dengan demikian, tari merupakan suatu ungkapan, pernyataan dan
ekspresi yang mendalam dari penata tari. Selain itu dapat dikatakan bahwa tari
bersifat individual dan sosial, seperti yang dijelaskan oleh Soedarsono (1972 : 6)
bahwa tari bersifat individual, dan tari bersifat sosial karena gerak-gerak ritmis
yang indah itu merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan ekspresi jiwa
kepada orang atau pihak lain.
Bangsa mana pun di dunia ini mempunyai tarian. Pada umumnya setiap
bangsa memiliki tiga jenis tarian, yaitu tarian klasik (classical dance), tarian
rakyat (folklore dance), dan tarian popular (popular dance). Tarian klasik
merupakan tarian yang indah dan berkaitan dengan dunia ilahi, dunia dewa-dewa,
keraton dan sebagainya. Tarian rakyat merefleksikan kebudayaan masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan tarian popular adalah tarian yang sering
dipentaskan secara massal dan meliputi berbagai kelompok (Soedarsono, 1997 :
360).
Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Indonesia, dan terletak
di pulau Jawa, kurang lebih 29 km timur Yogyakarta, 40 km barat Surakarta dan
120 km selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Prambanan terletak di desa Prambanan yang
wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten (Prasetya, 2003 : 16).
Menurut Hariyani Sitohang dalam website www.wisatanet.com/
candiprambanan.htm, candi ini dibangun sekitar tahun 850 Masehi. Tidak lama
setelah dibangun, candi ini ditinggalkan dan mulai rusak. Renovasi candi ini
baru diselesaikan pada tahun 1953. Banyak bagian candi yang direnovasi
menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak dicuri atau dipakai ulang di
tempat lain. Candi Prambanan adalah sebuah situs warisan dunia yang dilindungi
oleh UNESCO mulai tahun 1991. Hal ini berarti bahwa kompleks ini terlindung
dan memiliki status istimewa.
Candi Prambanan memiliki 3 (tiga) candi utama di halaman utama, yaitu
Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti
dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi
utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini
untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih
terdapat 2 (dua) candi apit, 4 (empat) candi kelir, dan 4 (empat) candi sudut.
Sementara, pada halaman kedua memiliki 224 candi. Hal ini dikemukakan oleh
Yunanto Wiji Utomo dalam website www.yogjes.com/prambanan.htm.
Memasuki Candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling
tinggi, kita akan melihat ada 4 (empat) buah ruangan. 1 (satu) ruangan utama
berisi arca Siwa, sementara 3 (tiga) ruangan yang lain masing-masing berisi arca
Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga
itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda Roro
Jonggrang (Utomo, 2006 via www.yogjes.com/prambanan.htm).
Candi Prambanan atau lebih dikenal dengan sebutan Candi Rara
Jonggrang, merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia
yang bernilai tinggi di dunia internasional, lebih-lebih Candi Prambanan sudah
mancanegara untuk melihat lebih dekat. Mereka ingin melihat bentuk bangunan
kuno yang memiliki nilai artistik tinggi. Mereka juga mengagumi relief dan
ornamen-ornamen yang dipahatkan pada kaki, tubuh, atap dan pagar langkan
Candi Prambanan (Prasetya, 2003 : 15)
Budaya adalah aktivitas cipta, rasa dan karsa manusia dalam masyarakat
(Soekanto, 1982 : 167). Karena budaya merupakan suatu aktivitas, maka mudah
sekali melakukan dinamika perubahan. Budaya merupakan suatu hal yang hidup
dan mempunyai dinamikanya sendiri. Salah satu dinamika budaya adalah
transformasi (Kayam, 1989 : 256).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976 : 1089), transformasi
adalah perubahan rupa, bentuk, sifat. Dalam tari Paramastri, transformasi yang
digunakan adalah transformasi bentuk atau perubahan bentuk. Transformasi
merupakan fenomena budaya yang sarat akan konflik. Konflik yang terjadi yaitu
konflik tradisi dan modernisasi atau pertentangan generasi tua dan generasi muda.
Generasi tua cenderung mempertahankan budaya yang lebih lama berjalan,
sedangkan generasi muda cenderung mencari nilai-nilai baru yang lebih relevan
dan mempunyai keinginan untuk melestarikan warisan budaya bukan dengan
menjalani kehidupan masa lalu, namun dengan mengadopsi nilai-nilai budaya
yang relevan dengan kondisi sekarang (Cahyono, 2006 : 89).
Tari Paramastri tidak luput dari konflik yang terjadi antara generasi tua
dan generasi muda. Tari Paramastri diciptakan oleh Paranditya Wintarni pada
tahun 2003. Paranditya Wintarni merupakan salah satu koreografer muda
cucu sulung seniman Bagong Kussudiarja dan putri pertama koreografer wanita
Ida Manutranggana.
Tari ini diikutsertakan dalam Parade Tari Daerah tahun 2003 di Taman
Mini Indonesia Indah mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta. Tarian ini berhasil
mendapatkan beberapa penghargaan antara lain Juara Umum, Penampilan
Terbaik, Penata Tari Terbaik, Penata Musik Terbaik, dan Penata Rias Busana
Unggulan. Sebagian besar gerak tari yang terdapat dalam tari Paramastri diambil
dari relief-relief Candi Prambanan khususnya Candi Siwa. Gerak-gerak yang
paling dominan dalam tarian ini adalah gerak tribhanga. Gerak-gerak tribhanga
ini merupakan pengembangan dari gerakan para penari khayangan yang terpahat
pada dinding Candi Siwa. Keunikan ide tarian yang mentransformasikan relief
Candi Siwa Prambanan, membuat peneliti tertarik untuk membahasnya lebih jauh.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana relief Candi Siwa Prambanan ditransformasikan dalam tari Paramastri
karya Paranditya Wintarni.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan relief Ramayana pada Candi Siwa Prambanan dan tari
Paramastri.
1.3.2 Mendeskripsikan transformasi relief Candi Siwa Prambanan dalam tari
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti
maupun bagi orang lain yang berkecimpung dalam bidang budaya Jawa. Manfaat
penelitian tersebut meliputi dua hal yaitu manfaat praktik dan manfaat teoritis.
1.4.1 Manfaat Praktis
1.4.1.1 Bagi dunia pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan tentang Candi Prambanan dan seni tari.
1.4.1.2 Bagi penggemar seni tari penelitian ini dapat membantu memahami
bagaimana relief candi itu dapat ditransformasikan dalam sebuah
tarian.
1.4.2 Manfaat Teoritis
1.4.2.1 Penelitian ini bermanfaat sebagai pengembangan ilmu kebudayaan
bahwa dari sebuah relief candi dapat dikembangkan menjadi
sebuah tarian.
1.4.2.2 Penelitian ini dapat sebagai acuan penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan transformasi, khususnya penelitian tentang
transformasi relief candi dalam sebuah tarian.
1.5 Landasan Teori
Transformasi adalah suatu proses pengalihan dari suatu bentuk ke sosok
baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu
proses perubahan (Kayam, 1989 : 256). Transformasi dapat berlangsung cepat
atau lambat. Cepat lambatnya proses transformasi tergantung pada kondisi
Makna kunci untuk istilah transformasi adalah perubahan, yaitu
perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Jika suatu hal atau keadaan itu adalah
budaya, maka budaya itulah yang mengalami perubahan. Perubahan terjadi jika
budaya itu muncul dalam kondisi atau lingkungan yang berbeda atau lain. Dalam
pemunculannya pada kondisi dan lingkungan yang berbeda itulah, budaya
mengalami perubahan (Nurgiyantoro, 1998 : 18). Budaya lama mulai ditinggalkan
dan budaya baru mulai dimasuki.
Persoalan transformasi budaya merupakan salah satu hal yang menjadi
persoalan zaman. Mochtar Lubis (1985 : vii) mengemukakan bahwa bila kita
sebagai suatu bangsa sungguh-sungguh hendak melangkah menuju modernisasi
masyarakat, maka budaya kita perlu mengalami proses transformasi.
Transformasi budaya yang perlu dilakukan adalah penyesuaian dan
perubahan sikap dalam rangka menghadapi tantangan zaman. Dengan
transformasi budaya, dimaksudkan perubahan dari sistem nilai, pola pikir, pola
tingkah laku, dan adat kebiasaan yang selama ini berlaku tetapi sudah usang atau
malah menjadi kendala bagi kemajuan ke sistem nilai, pola pikir, pola tingkah
laku, dan adat kebiasaan yang dituntut dan menunjang kemajuan (Sudarminta,
1990 : 31).
Transformasi merupakan usaha membebaskan diri dari pola budaya yang
lama ke pola budaya baru yang lebih maju (Lubis, 1985 : 33). Hendak dicapai
melalui budaya yang telah tertransformasikan tersebut. Proses transformasi selalu
menghasilkan unsur-unsur baru, baik dari aspek gaya, rasa maupun maknanya,
Hakikat transformasi sebenarnya adalah perubahan, sedang perubahan
menumbuhkan adanya kebaruan. Konteks perubahan semacam ini oleh Edi
Sedyawati dikatakan bahwa perubahan adalah pertanda kehidupan, adalah suatu
kebenaran yang telah mendasari sejarah. Hanya saja, derajat dari
perubahan-perubahan selalu berbeda, demikian juga laju perubahan-perubahan tidak selalu dan tidak
perlu sama dalam segala sektor kehidupan. Adapun yang menjadi peletup
perubahan adalah perubahan gagasan dasar (Sumaryono, 2003 : 100). Dapat
disimpulkan bahwa transformasi merupakan masalah penting dalam kajian
budaya. Dalam penelitian ini, transformasi digunakan sebagai ide dasar
pengembangan relief Candi Siwa Prambanan dalam sebuah tarian.
1.6 Batasan Istilah
1.6.1 Relief Candi Siwa Prambanan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976 : 149) candi adalah
bangunan kuno yang terbuat dari batu (sebagai tempat pemujaan,
penyimpanan abu-abu jenazah atau pendeta-pendeta Hindu atau Budha pada
zaman dulu). Sedangkan relief dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976
: 739) mempunyai 2 (dua) arti yaitu (1) pahatan yang menampilkan
perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata di sekitarnya, (2) gambar
timbul (pada candi dan sebagainya).
Relief sebenarnya merupakan bagian dari arsitektur yang pada
umumnya dipahat pada bidang atau dinding bangunan. Relief ada 2 (dua)
macam, yaitu relief sebagai penghias dan relief yang memuat cerita sesuai
merupakan pengungkapan dari naskah kesusasteraan baik yang berasal dari
India maupun yang bersumber dari cerita Indonesia asli (Kusnadi, 1979 :
56).
Yunanto Wiji Utomo, dalam website www.yogjes.com/
prambanan.htm, mengatakan bahwa Prambanan memiliki relief candi yang
memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita
Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik
adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon
kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief
pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon
ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 (sembilan)
memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.
Candi Prambanan yang ramping dengan gaya arsitektur yang indah
mempunyai tiga bagian candi utama pada halaman pusat, yaitu Candi
Brahma dan Wisnu dengan Candi Siwa sebagai induknya (Prasetyo, 2003 :
45). Tiga candi tersebut menggambarkan tokoh Dewa Hindu yang utama
yaitu Trimurti yang secara harafiah berarti mempunyai badan tiga. Trimurti
bermakna menggambarkan tiga sifat kekuasaan kedewaan yaitu pencipta,
pemelihara dan perusak. Tokoh pencipta diwujudkan dengan Dewa Brahma,
tokoh pemelihara diwujudkan dalam bentuk Dewa Wisnu dan sebagai dewa
perusak diwujudkan dengan Dewa Siwa (Prasetyo, 2003 : 45).
Dalam Candi Siwa terdapat relief-relief yang berjumlah 24 panel.
peneliti akan mendeskripsikan cerita Ramayana yang terdapat pada relief
Candi Siwa karena bentuk-bentuk yang terdapat pada relief tersebut telah
ditransformasikan oleh seorang koreografer muda dalam sebuah tarian.
1.6.2 Paramastri
Menurut Kamus Kawi – Jawa, Paramastri berarti widadari atau
dalam bahasa Indonesia bidadari (Ranggawarsita, 2003 : 205). Tari
Paramastri merupakan sebuah garapan baru yang bersumber dari
gerak-gerak tari tradisi Yogyakarta yang kemudian dikembangkan untuk
menggambarkan dan mengekspresikan sekelompok penari khayangan yang
sedang menari yang ada pada relief dinding luar balustrade Candi Siwa di
Candi Prambanan.
Tari Paramastri ditarikan oleh 7 (tujuh) orang penari putri yang
berbusana seperti relief candi. Sebagian gerak tari ini merupakan
pengembangan dari gerak para penari khayangan yang terdapat pada
dinding Candi Siwa. Paranditya Wintarni sebagai penata tari mencoba
mencari ide gagasan baru untuk mengembangkan gerak para penari yang
terpahat pada dinding Candi Siwa Prambanan tersebut dalam karya
perdananya. Ide yang diangkat oleh penata tari akhirnya dapat diterima para
pencinta seni tari dengan berhasilnya merebut beberapa penghargaan,
bahkan berhasil menjadi penyaji terbaik dan juara umum dalam rangka
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Metode Deskriptif
Metode deskriptif menurut Nawawi (1990 : 73) adalah prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek
atau objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya untuk memberikan bobot yang lebih tinggi pada metode ini,
maka fakta-fakta yang ditemukan harus diberi arti. Fakta atau data yang
terkumpul harus diolah dan ditafsirkan. Dengan kata lain, metode ini tak terbatas
sampai pada mengumpulkan data dan menyusun data, namun juga meliputi
analisis mengenai arti data itu.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mendeskripsikan atau menjelaskan
mengenai transformasi relief candi ke dalam gerak tari.
1.7.2 Metode Pengumpulan Data
Metode-metode yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.7.2.1Kepustakaan
Metode kepustakaan adalah metode mencari data mengenai hal-hal
yang variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
rapat dan sebagainya (Arikunto, 1993 : 234). Metode kepustakaan
dipergunakan untuk mendapatkan data yang konkret. Pelaksanaan metode
ini adalah menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian
yaitu tentang transformasi. Peneliti mengumpulkan data dari berbagai
1.7.2.2Wawancara
Wawancara adalah suatu proses tanya-jawab lisan, yaitu dua orang
atau lebih berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang
lain. Metode ini merupakan pengumpulan informasi langsung tentang
beberapa jenis data sosial, baik yang terendam (latent) maupun yang
memanifes (Hadi, 1979 : 192).
Wawancara menuntut peneliti untuk mampu bertanya
sebanyak-banyaknya dengan perolehan jenis data tertentu sehingga diperoleh data
atau informasi yang rinci (Hamidi, 2004 : 72). Dengan metode ini,
diharapkan akan tergali semua informasi yang dibutuhkan. Metode
wawancara atau metode intervieuw mencakup cara yang dipergunakan
untuk memperoleh keterangan secara lisan dengan seorang responden,
dengan cara bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut.
Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan menyampaikan keterangan
tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat (Paul via
Koentjaraningrat, 1981 : 129).
Menurut Hamidi (2004 : 71), peneliti dituntut agar membuat
responden lebih terbuka dan leluasa dalam memberikan informasi atau
data yang berguna untuk mengemukakan pengetahuan dan pengalamannya
terutama yang berkaitan dengan informasi sebagai jawaban terhadap
permasalahan penelitian sehingga terjadi semacam diskusi, obrolan santai,
dan spontanitas (alamiah) dengan subjek penelitian sehingga pemecahan
muncul wacana yang detail. Di sini, wawancara diharapkan berjalan secara
lancar tidak terstruktur (terbuka, bicara apa saja) dalam garis besar yang
terstruktur (mengarah menjawab permasalahan penelitian).
Wawancara dilakukan dengan cara mewawancarai narasumber yang
dianggap mampu memberikan penjelasan tentang transformasi relief Candi
Siwa Prambanan ke dalam tari Paramastri. Narasumber yang akan
memberikan penjelasan ini adalah : (1) Paranditya Wintarni, koreografer
tari Paramastri, (2) Sutopo Tedjo Baskoro, koreografer senior.
1.7.2.3Dokumentasi
Dokumen ialah setiap bahan yang tertulis maupun film, yang tidak
dipersiapkan karena adanya permintaan seorang peneliti. Dokumen sudah
lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data (Moleong, 1989 :
176).
Metode dokumentasi merupakan informasi yang berasal dari catatan
penting baik dari suatu lembaga atau organisasi maupun perseorangan,
baik berupa lisan maupun tulisan. Metode ini dilakukan dengan melakukan
wawancara secara mendalam, menggali informasi atau data
sebanyak-banyaknya dari responden atau informan agar peneliti memperoleh
informasi yang detail (Hamidi, 2004 : 72-78).
Dokumen dipergunakan untuk keperluan penelitian, karena
merupakan sumber yang stabil, kaya, mendorong dan dapat sebagai 'bukti'
Peneliti menggunakan alat perekam untuk mendapatkan informasi
dalam bentuk lisan, pencatatan juga digunakan untuk melengkapai data
yang sudah ada. Selain itu, untuk mendapatkan informasi tentang objek
penelitian, maka menggunakan dalam bentuk foto.
Foto menghasilkan data deskripstif yang cukup berharga dan sering
digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering
dianalisis secara induktif. Ada 2 (dua) kategori foto yang dapat
dimanfaatkan dalam penelitian, yaitu foto yang dihasilkan orang dan foto
yang dihasilkan oleh peneliti sendiri (Moleong, 1989 : 125).
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab I merupakan pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, batasan istilah,
metode penelitian serta sistematika penyajian. Bab II merupakan Deskripsi Relief
Candi Siwa Prambanan dan Tari Paramastri. Bab III merupakan Pembahasan
Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Tari Paramastri. Bab IV
BAB II
DESKRIPSI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN
DAN TARI PARAMASTRI
Pengantar
Sesuai dengan judul pada bab II ini, “Deskripsi Relief Candi Siwa
Prambanan dan Tari Paramastri”, akan dideskripsikan relief Candi Siwa
Prambanan dan Tari Paramastri. Bab ini terbagi atas 2 (dua) bagian, pertama akan
dibahas tentang deskripsi Relief Candi Prambanan khususnya Candi Siwa, dan
yang kedua akan dibahas tentang deskripsi tari Paramastri.
2.1 Deskripsi Relief Candi Siwa Prambanan
Candi Siwa merupakan candi induk dan di kompleks Candi Prambanan
dan mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada candi lainnya. Letak Candi
Siwa berada di halaman utama dan diapit oleh Candi Wisnu dan Candi Brahma.
Tinggi keseluruhan dari Candi Siwa 47 m yang berdiri di atas suatu pondasi.
Candi Siwa mempunyai 2 (dua) lantai, lantai pertama berukuran 34 x 34 m dan
lantai kedua yang berupa candinya berukuran 17 x 17 m (Santosa, 1998 via
www.candidiy.tripod.com/ prambanansyiwa.htm).
Bangunan ini dibagi atas 3 (tiga) bagian secara vertikal kaki, tubuh dan
kepala / atap. Kaki candi menggambarkan ‘dunia bawah’ tempat manusia yang
diliputi hawa nafsu, tubuh candi menggambarkan ‘dunia tengah’ tempat manusia
yang telah meninggalkan keduniawian dan atap melukiskan ‘dunia atas’ tempat
para dewa. Pintu utama menghadap ke timur dengan tangga masuknya yang
ganda yang merupakan manifestasi dari Siwa. Di dalam candi terdapat 4 (empat)
ruangan yang menghadap keempat arah mata angin dan mengelilingi ruangan
terbesar yang ada di tengah-tengah (Prasetyo, 2004 : 6).
Dasar kaki candi dikelilingi selasar yang dibatasi oleh pagar langkan. Pada
dinding langkan sebelah dalam terdapat relief cerita Ramayana. Relief cerita
Ramayana pada Candi Siwa, terbagi dalam panel-panel yang berjumlah 24 panel.
Setiap panel dipisahkan oleh pahatan pilaster. Kadang, sebuah panel memuat lebih
dari satu adegan (Prasetyo, 2004 : 7). Sedangkan hiasan dinding langkan sebelah
luar berupa ‘kinari-kinari’ (makhluk bertubuh burung berkepala manusia),
‘kalamakara’ (kepala raksasa yang lidahnya berwujud sepasang mitologi) dan
makhluk surgawi lainnya. Atap candi bertingkat-tingkat masing-masing dihiasi
sejumlah ‘ratna’ dan puncaknya terdapat ‘ratna’ terbesar (Prasetyo, 2004 : 8).
Relief cerita Ramayana yang terdapat di pagar langan bagian dalam Candi
Siwa dapat diikuti dengan cara pradaksina (berjalan searah jarum jam) dimulai
dari sebelah kiri pintu utama yang menghadap timur dan berakhir di sebelah
kanan pintu utama sisi timur (Prasetyo, 2004 : 7).
Berikut adalah deskripsi relief Candi Prambanan khususnya yang terpahat
2.1.1 Panel 1
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (1) Panel 1
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Relief Ramayana yang dipahatkan pada Candi Prambanan atau Lara
Jonggrang, diawali dengan kisah di Surga Tushita. Dewa Wisnu sedang duduk
di atas singgasana yang berbentuk Ular Naga yang muncul dari laut, dan di
belakangnya duduk seekor Garuda. Dalam cerita itu, Dewa Wisnu diminta
turun ke dunia oleh 5 (lima) dewa yang menumpas kejahatan yang ditimbulkan
oleh Rawana (Prasetyo, 2004 : 11).
• Adegan kedua (Pilahan 2)
Rama yang merupakan titisan dari Dewa Wisnu, Putra Prabu Dasarata, Raja
Ayodya, dan para abdi dalem Kraton sedang menghadap ayahanda Raja
Ayodya, yang didampingi oleh permaisuri. Raja Ayodya adalah raja yang
2.1.2 Panel 2
Foto : Agung
Gambar (2) Panel 2
Pada saat itu, Prabu Dasarata sedang menerima tamu seorang pendeta yakni
Bagawan Wismamitra. Kedatangan tamu tersebut memohon pertolongan Rama
untuk membantu membunuh raksasa yang sering mengganggu keamanan
pertapaan yang sedang beliau jalani. Sementara itu, di belakang Sang Raja duduk
ketiga isterinya yang bernama Kaikeyi atau Kekayi yang telah melahirkan Barata,
Kausalya yang telah melahirkan Rama dan Sumitra yang putranya bernama
Laksmana dan Satrugna. Rama dan Laksmana terlihat duduk di sebelah kanan
meraka. Prabu Dasarata mengutus Rama dan Laksmana untuk membunuh semua
raksasa yang mengganggu pertapaan Bagawan Wismamitra. Rama dengan senang
hati bersedia membantu Bagawan Wismamitra dan segera pergi ke tempat
2.1.3 Panel 3
Foto : Agung
Gambar (3) Panel 3
Dalam perjalanan ke tempat pertapaan pendeta Wismamitra, tiba-tiba Rama dan
Laksmana dihadang oleh raseksi, yang bernama Tataka. Tataka dapat dibunuh
oleh Rama dengan menggunakan panahnya (Prasetyo, 2004 : 13).
2.1.4 Panel 4
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (4) Panel 4
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Rama selamat sampai ke pertapaan dan menjumpai Bagawan Wismamitra yang
• Adegan kedua (Pilahan 2)
Sementara Rama tinggal di pertapaan, muncullah raksasa-raksasa yang selalu
mengganggu pertapaan Bagawan Wismamitra. Namun, semua raksasa itu dapat
dibinasakan oleh Rama, sehingga pertapaan itu kembali aman dan tentram
seperti sedia kala (Prasetyo, 2004 : 14).
2.1.5 Panel 5
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (5)
Panel 5
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Sementara itu, Prabu Janaka yang memerintah Kerajaan Mantilireja sedang
mengadakan sayembara, barang siapa dapat membentangkan dan mematahkan
busur panah panah miliknya, akan dikawinkan dengan puterinya yang sangat
cantik yang bernama Sinta (Prasetyo, 2004 : 15).
• Adegan kedua (Pilahan 2)
Rama mendengar sayembara yang diadakan oleh Prabu Janaka. Rama
memutuskan untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh Prabu Janaka.
Rama berhasil membentangkan dan mematahkan busur panah milik Prabu
Rama dikawinkan dengan Sinta. Pesta perkawinan berlangsung sangat meriah
(Prasetyo, 2004 : 15).
2.1.6 Panel 6
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (6)
Panel 6
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Tidak lama kemudian, Sinta diboyong ke Negara Ayodya. Laksmana, yang
selalu mendampingi Rama dalam sayembara itu, ikut kembali ke Ayodya.
Mereka melanjutkan perjalanan kembali ke Negara Ayodya (Prasetyo, 2004 :
16).
• Adegan kedua (Pilahan 2)
Selama dalam perjalanan kembali ke Ayodya, di tengah jalan, rombongan
Rama bertemu dengan Rama Parasu. Ia minta dibunuh dengan pusaka sakti
pemberian Dewa pada waktu Rama Parasu sedang bertapa (Prasetyo, 2004 :
16).
• Adegan ketiga
Rama mengabulkan permintaan Rama Parasu. Rama membunuh Rama Parasu
• Adegan keempat
Akhirnya dua bersaudara, Rama dan Laksmana, beserta Sinta selamat sampai
Ayodya. Kedatangan kedua putera dan menantunya disambut gembira oleh
Prabu Dasarata. Tidak lama setelah Rama kembali ke Ayodya, Raja Dasarata
ingin mewariskan tahta kerajaan kepada Rama karena usia Sang Prabu sudah
lanjut. Persiapan-persiapan telah dilakukan, baik oleh keluarga maupun
rakyatnya (Prasetyo, 2004 : 17).
2.1.7 Panel 7
Foto : Agung
Pilahan 1 Gambar (7)
Panel 7
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Sebelum Rama dinobatkan menjadi raja, terlebih dahulu dilakukan penobatan
Rama sebagai putera mahkota. Menurut tradisi kraton, lebih dulu dinobatkan
sebagai putera mahkota baru kemudian dinobatkan sebagai raja. Penobatan
Rama sebagai putera mahkota Kerajaan Ayodya dilakukan oleh seorang
pendeta. Sementara itu, di luar pagar istana Ayodya, rakyat merayakan
• Adegan kedua
Namun, sebelum Rama dinobatkan sebagai Raja mewarisi kedudukan
ayahanda, tiba-tiba isteri kedua Dasarata yang bernama Kaikeyi atau Kekayi
menghadap Sang Prabu. Kaikeyi atau Kekayi memohon pada Prabu Dasarata
untuk membatalkan penobatan Rama menjadi Raja di Ayodya. Selain itu, ia
meminta agar Rama diasingkan ke hutan selama 14 (empat belas) tahun dan
Barata putera Kaikeyi diangkat menjadi Raja Ayodya. Malam harinya mereka
berangkat ke hutan. Sebelum mereka berangkat, Rama dan Sinta berdoa
terlebih dahulu di tempat pemujaan yang berupa candi (Prasetyo, 2004 : 19).
• Adegan ketiga
Selesai berdoa, Rama, Sinta dan Laksmana, adik Rama, menuju ke
pengasingan di salah satu hutan yang masih termasuk dalam wilayah Kerajaan
Ayodya (Prasetyo, 2004 : 19).
2.1.8 Panel 8
Foto : Agung
Gambar (8) Panel 8
Selama ditinggal oleh Rama, Sang Prabu selalu sedih dan akhirnya jatuh sakit
Tuhan tidak memberikan umur panjang lagi kepada Prabu Dasarata. Ia wafat dan
jenazahnya diperabukan.
Sepeninggal Prabu Dasarata, para brahmana dan permaisuri Kausalya
membagikan harta kepada rakyat Ayodya (Prasetyo, 2004 : 20).
2.1.9 Panel 9
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2 Gambar (9)
Panel 9
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Barata putera Kaikeyi atau Kekayi akan dinobatkan menjadi raja, tetapi ia
menolak. Ia pergi ke hutan mencari Rama, Laksmana dan Sinta yang sedang
menjalani hukuman. Tujuan Barata mencari Rama, Laksmana dan Sinta adalah
untuk membujuk Rama kembali ke istana dan memerintah Kerajaan Ayodya
(Prasetyo, 2004 : 21).
• Adegan kedua (Pilahan 2)
Setelah lama mencari, akhirnya mereka dapat ditemukan juga. Barata
memberitahukan bahwa Ramanda Prabu Dasarata sudah wafat. Barata mohon
kepada Rama untuk kembali ke Ayodya menggantikan kedudukan ayahanda
tidak mau kembali ke negaranya, dan hanya menitipkan tlumpah atau sandal
sebagai gantinya. Pesan Rama, agar tlumpah atau sandal tersebut ditaruh di
atas Singgasana dan Barata disuruh pulang kembali ke Ayodya menggantikan
ayahanda sebagai Raja Ayodya atas nama Rama (Prasetyo, 2004 : 21).
2.1.10 Panel 10
Foto : Agung
Gambar (10) Panel 10
Sekembali Barata ke Ayodya, Rama, Sinta dan Laksmana masih tetap di hutan.
Selama di hutan, Sinta diganggu oleh dua raksasa, salah satunya bernama
Wiradha. Tetapi keduanya dapat dibunuh oleh Rama (Prasetyo, 2004 : 22).
2.1.11 Panel 11
Foto : Agung
Gambar (11) Panel 11
Di dalam hutan itu, Rama menempati gubug atau rumah kecil yang tidak begitu
kadang-kadang ditemani oleh Laksmana. Rama sering mendapatkan rusa dan dibawa
pulang. Sementara Rama sedang berburu, Sinta menjemur daging rusa yang sudah
dikuliti. Tiba-tiba muncul burung gagak mencuri daging rusa yang sedang dijemur
di halaman rumah. Setiap kali menjemur, burung itu pasti datang dan
menghabiskannya. Lama kelamaan Rama menjadi marah dan ketika burung gagak
itu kembali lagi ingin mencuri daging rusa, ia dibunuh dengan anak panah dan
kepalanya dipenggal (Prasetyo, 2004 : 23).
2.1.12 Panel 12
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (12)
Panel 12
• Adegan pertama
Belum lagi kemarahan Rama mereda, tiba-tiba muncul Sarpakenaka, seorang
adik perempuan Rawana, yang menyamar sebagai bidadari. Ia memohon agar
Rama menjadikan dia isterinya. Secara halus Rama menolak, karena Rama
sudah memiliki isteri. Lalu ia menunjuk Laksmana yang belum mempunyai
isteri. Rama memperkenalkan Laksmana kepada Raseksi Sarpakenaka
• Adegan kedua (Pilahan 1)
Setelah ia sampai pada Laksmana, ternyata juga mendapatkan jawaban yang
sama. Cinta Sarpakenaka ditolak oleh Laksmana. Ia diusir. Tetapi karena
Sarpakenaka tidak mau pergi, akhirnya Laksmana memotong telinga serta
melukai hidung Sarpakenaka. Adik Rawana tidak pernah menduga akan
mendapatkan perlakuan sekejam itu, maka ia pun lari untuk menemui Rawana.
Mendengar laporan bahwa Rama menghina adiknya, Rawana marah dan
Kalamarica, raksasa pembantu Rawana, disuruh menyelidiki ke hutan yang
ditunjukkan oleh adiknya. Kemudian Kalamarica berangkat sendiri terrnyata
itu benar, dan di sana juga ada seorang wanita cantik. Begitu mengetahui ada
wanita cantik, mengalirlah darah muda Rawana. Seketika itu pula, Rawana
menyuruh Kalamarica untuk menyamar sebagai seekor Kijang Kencana, untuk
menggoda Sinta (Prasetyo, 2004 : 24).
• Adegan ketiga (Pilahan 2)
Melihat Kijang, Sinta terpikat dan meminta Rama menangkap Kijang tersebut,
yang berkali-kali muncul dan menghilang secara tiba-tiba di dekat Sinta. Sinta
merengek terus dan mendesak Rama agar Kijang itu secepat mungkin
ditangkap. Sebelum ke hutan mencari Kijang, Rama berpesan kepada
2.1.13 Panel 13
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2 Gambar (13)
Panel 13
• Adegan pertama
Belum lama Rama pergi, tiba-tiba Sinta mendengar jeritan dari dalam hutan. Ia
menyangka, Rama mendapatkan malapetaka di tengah hutan. Sinta menyuruh
Laksmana segera menyusul Rama, karena mungkin terjadi sesuatu atas dirinya.
Laksmana merasa keberatan meninggalkan Sinta seorang diri. Namun, ia
didesak terus sehingga terpaksa menuruti keinginan isteri kakaknya. Sebelum
pergi, ia membuat lingkaran yang mempunyai kekuatan gaib. Barang siapa
melanggar lingkaran itu, akan ada kekuatan lain yang menyebabkan ia tidak
sadarkan diri, bahkan jika tidak kuat, akan meninggal seketika. Laksmana
menyusul Rama. Sementara itu, Sinta berada di gubug sendirian (Prasetyo,
2004 : 26).
• Adegan kedua (Pilahan 1)
Begitu Laksmana pergi, muncullah Rawana yang menyamar sebagai pendeta
tua yang sudah pikun. Perlahan-lahan, ia mendekati Sinta dan berpura-pura
Sinta memberikan nasi, secepat kilat tangan Sinta ditarik keluar dan di bawa
terbang ke angkasa (Prasetyo, 2004 : 26).
• Adegan ketiga (Pilahan 2)
Rawana berhasil menculik Sinta dan membawanya terbang ke angkasa. Ratap
tangis Sinta tak dihiraukan oleh Rawana. Namun, gerak-gerik Rawana selalu
diikuti oleh seekor burung garuda yang bernama Jatayu. Pada awalnya, burung
itu mendengar tangis seorang wanita yang minta dikembalikan. Tangis itu
terdengar sayup-sayup oleh Jatayu, maka ia pun lalu mendekat. Jatayu terkejut
melihat seorang wanita dibawa terbang oleh seorang raksasa. Jatayu ingin
membebaskan wanita tersebut yang tidak lain adalah Sinta. Maka terjadilah
perang memperebutkan Sinta. Karena Jatayu kalah kuat, Rawana dengan
mudahnya meringkus dan menghempaskannya ke tanah. Sebelum Jatayu jatuh
ke bumi, Sinta sempat memberikan sebentuk cincin agar diberikan kepada
suaminya (Prasetyo, 2004 : 27).
• Adegan keempat
Sementara itu, hati Rama semakin penasaran melihat ulah Kijang yang sukar
ditangkap. Pada waktu Kijang itu mendekat, Rama melepaskan anak panah dan
dapat mengenai Kijang tadi. Namun, tiba-tiba Kijang tadi berubah wujud
menjadi Kalamarica yang menjerit melarikan diri menjauhi Rama. Dengan
kecewa Rama kembali menemui Sinta, namun Sinta sudah tidak ada di gubug
mereka. Rama dan Laksmana sangat sedih ketika mereka mengetahui
hilangnya Sinta. Rama dan Laksmana mencari dengan penuh kekhawatiran,
dalam hati. Lama ia merenung dalam hati. Ke mana ia akan mencari, sebab
belum diketahui tempat Sinta berada. Kemudian Laksmana mendekati Rama,
untuk diajak mencari Sinta sampai ketemu. Dengan dirundung kesedihan,
kakak beradik itu terus mencari Sinta. Selama menggembara, tak diduga
selama melintasi hutan yang belum dijamah oleh manusia, mereka menjumpai
burung Garuda yang hampir mati penuh dengan luka. Burung Garuda yang
bernama Jatayu itu menceritakan semua yang dialaminya kepada Rama dengan
tersendat-sendat, menahan sakit. Setelah memberikan sebentuk cincin kepada
Rama, Jatayu meninggal. Rama dan Laksmana berdoa bagi arwah Jatayu.
Setelah berdoa, mereka kembali melanjutkan perjalanan mencari Sinta
(Prasetyo, 2004 : 28).
• Adegan kelima
Selama perjalanan, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, tidak dirasakan
oleh Rama dan Laksmana. Hatinya kuat seperti baja, ingin agar isterinya yang
dilarikan orang segera diketemukan. Belum sempat beristirahat setelah menaiki
gunung, tiba-tiba ia dihadang oleh raksasa yang bernama Kabandha. Rama
dengan mudah membunuh raksasa tadi, tetapi tiba-tiba Kabandha berubah
wujud. Ia adalah reinkarnasi dewa yang dikutuk oleh Dewa Siwa dan dihukum
untuk hidup sebagai makhluk yang jelek. Rama tidak habis mengerti, mengapa
perjalanan mereka mencari Sinta penuh cobaan dari Dewa (Prasetyo, 2004 :
2.1.14 Panel 14
Foto : Agung
Gambar (14)
Panel 14
Baru saja mereka melangkah, muncul seekor buaya secara tiba-tiba dan
menyerang mereka. Setelah dibunuh, buaya itu pun berubah wujud. Ternyata ia
adalah reinkarnasi seorang bidadari yang mendapat kutukan dari Dewa. Bidadari
itu lalu terbang kembali ke surge (Prasetyo, 2004 : 29).
2.1.15 Panel 15
Foto : Agung
Gambar (15) Panel 15
Dengan hati yang penuh kesabaran, Rama dan Laksmana menghadapi segala
cobaan. Mereka bertekad tidak akan mengurungkan niatnya sampai menemukan
Sinta kembali. Mereka sudah berjalan sampai berbulan-bulan. Setiap hutan dilalui
untuk mendapatkan berita dari orang lain mengenai tempat di mana Sinta
muncullah seekor Kera Putih yang kemudian mendekati mereka. Ia mengaku
bernama Hanoman, anak Dewa Angin. Sambil menyembah, Hanoman memohon
kepada Rama supaya mau menemui Sugriwa, Raja Kera. Permintaan Hanoman
dituruti oleh Rama (Prasetyo, 2004 : 30).
2.1.16 Panel 16
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (16)
Panel 16
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Rama dan Laksmana sedang beristirahat di tengah hutan. Sebelum
meninggalkan tempat beristirahat tadi, Rama menyuruh adiknya, Laksmana,
untuk mencari air (Prasetyo, 2004 : 31).
• Adegan kedua (Pilahan 2)
Tidak lama kemudian, Laksmana menemukan air yang menetes dari atas
pohon. Anehnya, air itu terasa asin. Setelah diamati, Laksmana baru tahu
bahwa air yang menetes itu adalah air mata Raja Kera, Sugriwa yang sedang
menangis karena badannya terjepit di antara dua pohon besar, sehingga ia tidak
• Adegan ketiga
Melihat kejadian itu, Rama dan Laksmana merasa kasihan. Lalu kayu besar itu
dilepasi anak panah, sehingga Sugriwa dapat diturunkan dari atas pohon.
Sesampai di tanah, Sugriwa mengucapkan terima kasih dan memohon kepada
Rama agar membantunya menaklukkan Subali yang telah merebut Kerajaan
Kiskendha dan isterinya secara paksa. Tetapi Rama juga memohon agar
Sugriwa bersedia membantu Rama untuk mendapatkan kembali Sinta yang
telah diculik oleh Rawana dari Alengka. Sebagai ucapan terima kasih, Sugriwa
dengan bala tentara kera akan membantu Rama untuk membebaskan Sinta
(Prasetyo, 2004 : 32).
2.1.17 Panel 17
Foto : Agung
Gambar (17) Panel 17
Untuk meyakinkan Sugriwa atas kesaktian Rama, Rama sempat melepaskan anak
panah, dengan satu anak panah yang dapat sekaligus memotong 7 (tujuh) pohon
2.1.18 Panel 18
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (18)
Panel 18
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Kemudian berangkatlah Rama, Laksmana dan Sugriwa disertai Hanoman
menuju Gua Kiskenda. Setiba di Gua Kiskenda, mereka menyusun strategi
untuk menyerang Subali. Segera Rama menyuruh Sugriwa menantang Subali
dari luar gua (Prasetyo, 2004 : 34).
• Adegan kedua (Pilahan 2)
Mendengar suara Sugriwa, Subali keluar dan terjadilah peperangan. Keduanya
mempunyai kekuatan yang seimbang. Tapi lama kelamaan, Sugriwa terdesak
dan mohon agar Rama segera membunuh Subali. Pada mulanya Rama masih
ragu-ragu, karena keduanya hampir serupa dari kejauhan. Setelah Sugriwa
memberi tanda lain, Rama tidak ragu-ragu lagi. Pada saat peperangan agak
renggang, anak panah Rama mengenai Subali dan matilah ia seketika. Jenazah
• Adegan ketiga
Tidak lama kemudian, dengan matinya Subali, Sugriwa dapat kembali naik
tahta Kerajaan Kiskenda dan Anggada, anak Subali diangkat sebagai putera
mahkota. Sugriwa disambut meriah oleh para kera (Prasetyo, 2004 : 36).
2.1.19 Panel 19
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (19)
Panel 19
• Adegan pertama
Selesai pengangkatan raja dan putera mahkota, berangkatlah mereka menuju
Alengkapura disertai prajurit kera yang jumlahnya tidak sedikit. Setiba di
pantai, semua prajurit kera beristirahat dan Sugriwa menghadap Rama. Rama,
Laksmana dan Sugriwa pergi ke suatu tempat untuk berunding (Prasetyo, 2004
: 37).
• Adegan kedua (Pilahan 1)
Rama, Laksmana dan Sugriwa sedang berunding untuk merencanakan dan
• Adegan ketiga (Pilahan 2)
Sugriwa mengajukan permohonan kepada Rama supaya Hanoman diutus pergi
ke Alengka terlebih dahulu untuk mencari Sinta. Rama setuju, maka
berangkatlah Hanoman ke Alengka. Rama menitipkan cincin agar diberikan
kepada Sinta bila nanti bertemu (Prasetyo, 2004 : 38).
• Adegan keempat
Dengan tangkas, Hanoman pergi ke Kerajaan Alengka dengan jalan
melompat-lompat dari Gunung Mahameru untuk menyeberangi laut. Hanoman juga
terbang melayang bagaikan anak panah lepas dari busurnya menuju ke
Alengka. Dalam waktu sekejap, ia sudah sampai di Negara Rawana. Ia
melompat dari satu rumah ke rumah lain atau dari atap satu ke atap lain
mencari tempat di mana Sinta disembunyikan (Prasetyo, 2004 : 38).
2.1.20 Panel 20
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (20) Panel 20
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Akhirnya Hanoman dapat masuk ke taman istana Rawana, tempat di mana
Sinta disekap. Di taman keputerian, tampak dari kejauhan Sinta ditemani
Hanoman mendekat dari balik pepohonan di taman keputerian. Bayangan
Hanoman sempat dilihat oleh salah seorang abdi dalem taman keputerian.
Kemudian abdi dalem itu melaporkan apa yang dilihatnya kepada Trijata.
Trijata adalah keponakan Rawana yang selalu mendampingi Sinta selama di
taman keputerian (Prasetyo, 2004 : 39).
• Adegan kedua (Pilahan 2)
Mendengar laporan tadi, Trijata segera mencari Kera Putih yang masih
bersembunyi di antara pepohonan. Setelah yakin bahwa Kera Putih itu utusan
Rama, maka ia dihadapkan kepada Sinta. Melihat kera, Sinta agak ketakutan.
Semula ia masih curiga, mengira bahwa kera itu utusan Rawana. Kemudian
Hanoman menceritakan semua yang dialami Rama. Beliau dalam waktu dekat
akan segera membebaskan Sinta dan segera akan menjemputnya. Sebelum
kembali pulang, Hanoman memberikan cincin pemberian Rama kepada Sinta.
Sebaliknya Sinta memberikan perhiasan sanggulnya agar disampaikan kepada
suaminya. Sambil menyembah, Hanoman meninggalkan taman keputerian,
2.1.21 Panel 21
Foto : Agung
Pilahan 1 Pilahan 2
Gambar (21)
Panel 21
• Adegan pertama (Pilahan 1)
Tetapi di halaman keputerian, Hanoman sempat dilihat oleh prajurit pengawal
istana Alengka. Seluruh prajurit pengawal istana berhamburan menangkap
Hanoman. Karena dikeroyok oleh prajurit pengawal yang jumlahnya tidak
sedikit, Hanoman tertangkap, lalu dihadapkan kepada Rawana. Atas perintah
Rawana, Hanoman diikat di alun-alun lalu dibakar. Semua prajurit bersorak
gembira. Tidak lama kemudian, ekornya mulai menyala dan merembet ke
seluruh tubuhnya (Prasetyo, 2004 : 40).
• Adegan kedua (Pilahan 2)
Selagi api belum panas, Hanoman mengerahkan kesaktian pemberian Dewa,
sehingga dengan mudah melepaskan diri dari ikatannya. Lalu dengan ekor
yang masih menyala, Hanoman membakar istana Rawana. Ia melompat dari
atap satu ke atap yang lain sambil membakar apa saja yang dijumpainya.
Dalam sekejap api telah menjalar ke semua bangunan istana Alengka, sehingga
2.1.22 Panel 22
Foto : Agung
Gambar (22) Panel 22
Setelah puas merusak istana Alengka, kembalilah ia ke pantai dekat Gunung
Mahameru tempat Rama, Laksmana dan Sugriwa menunggu kedatangannya.
Kedatangan Hanoman disambut dengan haru. Semua kejadian yang dialami oleh
Hanoman selama menjadi utusan, didengarkan oleh Rama dengan penuh
perhatian. Tidak lupa Hanoman menyerahkan hiasan sanggul yang dipakai Sinta.
Rama menerima dengan penuh kerinduan, sehingga tanpa disadari air mata
meleleh membasahi pipinya (Prasetyo, 2004 : 41).
2.1.23 Panel 23
Foto : Agung
Gambar (23)
Panel 23
Beliau merenung sejenak, lalu memerintahkan prajurit kera agar menyerang
pusaka pemberian Dewa akan digunakan oleh Rama. Rencana itu sempat didengar
oleh Dewa air atau Dewa Laut. Kalau rencana Rama itu tetap dilaksanakan, semua
ikan yang berada di dalam laut akan mati. Oleh karena itu, Dewa Air atau Dewa
Laut memohon kepada Rama agar membatalkan rencananya, dan memberi saran
untuk membuat jembatan dari pantai ke Kerajaan Alengka. Pembuatan jembatan
itu akan dibantu oleh Dewa Laut dan ikan-ikan lainnya (Prasetyo, 2004 : 42).
2.1.24 Panel 24
Foto : Agung
Gambar (24) Panel 24
• Adegan pertama
Rama, Laksmana dan Sugriwa menyaksikan para kera membuat jembatan yang
juga dibantu oleh ikan dan Dewa Laut (Prasetyo, 2004 : 43).
• Adegan kedua
Berkat kerjasama yang baik, akhirnya jembatan itu dapat diselesaikan dalam
waktu singkat. Rama, Laksmana dan Sugriwa disertai prajurit kera sedang
melewati jembatan yang menuju ke Kerajaan Alengka. Mereka selamat sampai
di Alengka (Prasetyo, 2004 : 43).
2.2 Deskripsi Tari Paramastri
Tari Paramastri diciptakan tahun 2003 oleh seorang koreografer muda
mewakili DIY untuk tingkat nasional dan berhasil merebut Juara Umum, Penyaji
Terbaik, Penata Musik Terbaik, Penata Rias Busana Unggulan.
Tari Paramastri mengambil ide dari gerak-gerak para penari yang
terpahat pada dinding Candi Siwa Prambanan. Dari gerak-gerak yang terpahat itu
kemudian dikembangkan oleh koreografer. Tapi koreografer tidak meninggalkan
pakem-pakem yang terpahat pada dinding candi, hal ini terlihat dari
bentuk-bentuk tribhanga yang selalu terlihat pada pose para penarinya. Gerak merupakan
media komunikasi dalam tari Paramastri. Oleh karena itu, dalam mendeskripsikan
tari Paramastri, penulis mendeskripsikannya berdasarkan gerak tari Paramastri.
Tari Paramastri tidak mempunyai cerita karena tari Paramastri merupakan tarian
pendek. Tari Paramastri dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian tarian, yaitu awal
tarian, tengah tarian dan akhir tarian. (Hasil wawancara dengan Sutopo Tejo
Baskoro pada tanggal 14 Maret 2008).
2.2.1 Awal Tarian
Tarian ini diawali dengan 1 (satu) orang penari keluar dari sudut kanan
belakang menuju tengah panggung. 6 (enam) penari lainnya keluar dari sudut
depan, 3 (tiga) penari dari sudut kanan depan dan 3 (tiga) penari dari sudut kiri
depan. Keenam penari itu menuju ke tengah panggung mendekati 1 (satu) penari
yang sudah terlebih dahulu berpose di tengah panggung. Keenam penari itu
membentuk lingkaran. 1 (satu) penari berdiri di tengah lingkaran, bergerak pelan
menggunakan pose-pose tribhanga. Perlahan-lahan keenam penari berdiri berjalan
Foto : Aul Foto : Aul Foto : Aul
Gambar (25a) Gambar (25b) Gambar (25c)
Gambar (25)
Beberapa pose penari yang berada di tengah panggung (25a) pose berdiri dengan tangan ke atas (25b) pose berdiri dengan tangan terbuka (25c) pose berdiri dengan tangan tertutup
Foto : Aul
Gambar (26)
Pose saat 1 penari berada di tengah lingkaran
2.2.2 Tengah Tarian
Ketujuh penari berpisah, 4 (empat) penari menuju kanan belakang
Mereka semua menghadap belakang dan bergeser menuju tengah
panggung menggunakan pose-pose tribhanga. Setelah sampai di tengah semua
penari menghadap ke depan dan berpose menggunakan bentuk tribhanga. Setelah
dua hitungan semua penari maju, 2 (dua) penari berpose di depan kiri panggung, 5
(lima) penari lainnya berpose di tengah panggung. Para penari tersebut
menggunakan pose-pose yang berbeda-beda.
Foto : dok Dinas Kebudayaan DIY
Gambar (27)
Pose-pose yang digunakan para penari sebelum berpindah pola lantai
Foto : Aul
Gambar (28)