KARYA PARANDITYA WINTARNI
3.3 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Busana Tari Paramastri
Terkait dengan kostum atau busana yang dikenakan oleh para penari Paramastri, jika ditinjau secara utuh memperlihatkan suatu busana yang bagus dan anggun. Hal ini terlihat dari pemilihan warna busana yang dominan dengan warna hitam dan emas. Dalam tari Paramastri, para penari berdandan layaknya seorang penari khayangan atau bidadari yang sedang menari. Sesuai dengan jalan cerita tari Paramastri yang menggambarkan atau menceritakan para penari khayangan. (Hasil wawancara dengan Paranditya Wintarni pada tanggal 13 Oktober 2007).
Busana yang dikenakan para penari Paramastri juga merupakan transformasi dari arca Siwa Mahadewa yang ada di Candi Siwa Prambanan. Hal ini dilakukan agar Paramastri ditransformasikan dari relief yang terpahat di Candi Siwa Prambanan, maka busana yang dikenakan dalam tari Paramastri pun juga merupakan transformasi dari arca Siwa Mahadewa yang ada di Candi Siwa Prambanan.
Siwa sebagai Mahadewa merupakan Siwa dalam kedudukan yang paling tingi, yaitu sebagai raja dari para dewa. Siwa dalam Trimurti dikenal sebagai dewa perusak dunia. Karena sebagai dewa perusak, maka Siwa merupakan deewa yang amat ditakut dan banyak dipuja secara luas dalam masyarakat Jawa Kuno. Siwa mempunyai kendaraan berupa nandi (lembu) (Prasetyo, 2003 : 45).
Arca Siwa Mahadewa digambarkan dengan menggunakan busana yang indah dan lengkap dengan segala atributnya. Bagian belakang kepala Siwa
Mahadewa terdapat sirascakra yang melambangkan tanda kedewaan. Jumlah
tangannya 4 (empat), kedua tangan ditekuk ke atas. Tangan kanan depan ditekuk di muka dada , tangan kiri depan ditekuk ke perut. Tangan kanan belakang
memegang aksamala (tasbih yang terbuat dari manik-manik), tangan kiri depan
dalam posisi terbuka menghadap ke atas, sedangkan di atas telapak tangan
terdapat benda semacam kuncup bunga (Prasetyo, 2003 : 45). Arca Siwa
Mahadewa mempunyai kepala satu dalam posisi tegak, dengan mata ketiga (urna)
di dahi. Pada kepala memakai hiasan mahkota yang berbentuk jatamakuta yang
menggambarkan keabsolutan (mutlak) dan berhiaskan ardhacandrakapala
(tengkorak dan bulan sabit) pada bagian depan. Dewa ini digambarkan memakai
sumping dan anting-anting serta kalung bersusun tiga. Upawita berbentuk ular menjulur dari bahu kiri ke pinggang kanan. Perhiasan lain berupa ikat dada, kelat
bahu berhias kala, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian berupa kain panjang
sampai pergelangan kaki, ditutup dengan kain berupa kulit harimau yang melambangkan nafsu hingga batas lutut. Ikat pinggangnya ganda, juga memakai
sampur yang terurai di kanan dan kiri pinggang. Kedua uncal (ikat pinggang) menjulur ke bawah terletak di bawah sampur (Prasetyo, 2003 : 45).
Para penari juga menggunakan busana yang hampir sama dengan busana Arca Siwa Mahadewa. Tetapi tentu saja ada beberapa perubahan. Hal ini dilakukan untuk mencari kenyamanan penari dalam menggunakan dan
menggerakkannya. Kelengkapan busana tari Paramastri hampir sama dengan kelengkapan busana pada Arca Siwa Mahadewa.
Untuk hiasan kepala pada arca Siwa Mahadewa dengan menggunakan hiasan bulan sabit, sedangkan pada tari Paramastri, para penari menggunakan
jamang lamba yang dibentuk sesuai dengan hiasan kepala yang terdapat pada
Arca Siwa Mahadewa. Para penari Paramastri tidak menggunakan sumping dan
anting-anting karena jamang lamba yang digunakan oleh para penari sudah dibuat
sedemikian rupa sehingga pada bagian telinga sudah seperti menggunakan sumping dan anting-anting.
Penari Paramastri menggunakan 2 (dua) lapis kain. Lapis yang luar sangat tipis berwarna merah agak keemasan, sedang lapisan dalam kain berwarna hitam yang pada bagian bawah bermotif batik lurik. Kain tipis berwarna merah digunakan untuk menghasilkan kilauan jika terkena cahaya panggung. Arca Siwa Mahadewa juga menggunakan 2 (dua) lapis kain tetapi model penggunaannya sangat rumit dan dapat menggangu gerak tari jika ditransformsikan ke busana tari Paramastri. Berikut ini adalah tabel perbedaan kelengkapan busana yang digunakan oleh arca Siwa Mahadewa dan penari Paramastri.
Kelengkapan busana arca Siwa Mahadewa
Kelengkapan busana penari Paramastri
Sirascakra (lambang kedewaan) Tidak ada
Aksamala Tidak ada
Camara Tidak ada
Urna (mata ke tiga) Tidak ada
Mahkota Jamatakuta Tidak ada
Sumping Tidak ada
Anting-anting Tidak ada
Kalung bersusun tiga Tidak ada
Ikat dada Ada
Gelang tangan Ada
Gelang kaki Ada
Kain panjang 2 (dua) lapis Ada
Ikat pinggang Ada
Sampur Tidak ada
Tidak ada Mahkota Jamang lamba
Tidak ada Mekak (penutup dada)
Tabel (5)
Perbedaan busana arca Siwa Mahadewa dan penari Paramastri
Foto : Aul (Prasetyo, 2003 : 85)
Gambar (61) Gambar (62)
Detail busana tari Paramastri Detail busana Arca Siwa
Mahadewa
Penata busana justru mentransformasikan arca Siwa Mahadewa bukan arca para penari khayangan karena busana Siwa Mahadewalah yang dianggap paling pas jika digunakan sebagai busana tari Paramastri, daripada busana para penari khayangan yang terpahat pada relief Candi Siwa Prambanan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tari sebagai suatu karya seni merupakan ekspresi perasaan yang ada dalam diri manusia yang kemudian diimajinasikan dan diwujudkan melalui media gerak. Dapat dikatakan, tari lebih bersifat individual dan sosial karena gerak-gerak ritmis yang indah merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan ekspresi jiwa kepada orang atau pihak lain. Dengan kata lain, gerak merupakan media komunikasi dari seni tari.
Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Indonesia, terletak di pulau Jawa. Candi Prambanan terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten. Candi Prambanan memiliki 3 (tiga) candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Candi Brahma dan Candi Siwa.
Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu.
Gerak merupakan media komunikasi dalam tari Paramastri. Oleh karena itu, dalam mendeskripsikan tari Paramastri, penulis mendeskripsikannya berdasarkan gerak tari Paramastri. Tari Paramastri tidak mempunyai cerita karena tari Paramastri merupakan tarian pendek dan merupakan tarian hiburan. Sebagian besar gerak dalam tari Paramastri merupakan transformasi dari relief yang terpahat pada dinding Candi Siwa Prambanan. Gerak yang paling dominan dalam
tarian ini adalah gerak tribhanga. Gerak tribhanga, merupakan pengembangan
dari gerakan para penari khayangan yang terpahat pada relief dinding Candi Siwa Prambanan. Tari Paramastri mempunyai ’nyawa’ yang cantik dan anggun.
Terdapat estetika yang berbeda antara relief candi Siwa Prambanan dan tari Paramastri. Relief candi Siwa Prambanan mempunyai estetika pada pahatan dan cerita relief Ramayananya sedangkan tari Paramastri letak sisi estetikanya pada gerakan tariannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bagian mana saja dari Tari Paramastri yang merupakan transformasi dari relief Candi Siwa Prambanan. Hal-hal yang ditransformasikan oleh penata tari dari karyanya adalah pose duduk, pose berdiri, pola lantai dan busana. Tidak semua pose duduk yang terpahat pada dinding relief Candi Siwa Prambanan digunakan oleh penata tari, demikian juga pose berdiri. Tidak semua pose berdiri digunakan, tetapi juga ada pose yang ditambahkan. Dalam arti pose yang ditambahkan ini tidak terdapat pada relief Candi Siwa Prambanan. Alasan penata tari memilih pose yang digunakan dalam tari Paramastri karena dilihat dari segi keindahan, kecantikan dan segi artistik keseluruhan penampilan tari Paramastri.
Penata tari mentransformasikan pose duduk dan berdiri dari sebagian relief Candi Siwa Prambanan. Sebagian pola lantai tari Paramastri ditransformasikan dari beberapa adegan atau cerita yang terdapat pada panel-panel Candi Siwa Prambanan. Sedangkan untuk busana atau kostum, penata tari mentransformasikan dari arca Siwa Mahadewa.
4.2 Saran
Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama tentang transformasi dalam sebuah tarian. Penulis mengharapkan setelah adanya penelitian ini ada juga penelitian dengan topik yang sama.