• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada anak, dan biasanya kejang sudah dimulai sejak usia bayi dan anak-anak. Kejang pada anak-anak dapat disebabkan oleh proses intrakranial maupun proses ekstrakranial. Proses intrakranial yang dapat menimbulkan kejang di antaranya infeksi susunan saraf pusat, massa intrakranial, hidrosefalus, perdarahan intrakranial, trauma, dan penyebab lain yang tidak diketahui, sedangkan proses ekstrakranial yang dapat menyebabkan kejang di antaranya gangguan keseimbangan elektrolit, syok hipovolemik, dan penyakit metabolik.

Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan gangguan yang berat misalnya malformasi kongenital, pasca infeksi, tumor, penyakit vaskuler, dan pasca trauma otak. Penelitian prevalensi epilepsi telah dilaporkan dari berbagai negara tetapi perbandingannya sering sulit dilakukan karena para peneliti menggunakan metode pemilihan kasus dan klasifikasi epilepsi yang berbedabeda. Prevalensi epilepsi di negara maju 4 -9/1000 populasi, dengan insiden 25-50/100.000 populasi/tahun, sedangkan di negara berkembang prevalensi 14-57/1000 populasi, insiden 30-115/100.000 populasi/tahun ( Shakya, dkk., 2003; Kwan, dkk., 2010 ). Prevalensi epilepsi dari berbagai penelitian berkisar 1,5–31/1000 penduduk. Prevalensi epilepsi di Afrika

(2)

2

2-58/1000 penduduk sedangkan prevalensi epilepsi di Asia 5-10/1000 penduduk. Prevalensi epilepsi di Norwegia 4,3/1000 dan di Islandia 5,2/1000 penduduk. Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Indonesia dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, kemungkinan penyandang epilepsi di Indonesia diramalkan sekitar 0,7-1,0%, yang berarti berjumlah 1,5-2 juta orang dan ada peneliti yang mengatakan prevalensi sewaktu 4-10 per 1000 pada populasi umum. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut. Prevalensi epilepsi berdasarkan tipe kejang pada anak, kejang umum tonik-klonik 53%, kejang parsial sederhana dan kejang miscellaneous 6% kejang parsial kompleks 27% ( Passat, 1999; Panayiotopoulos, 2005; Duggan, 2010; Rantanen dkk., 2011 ).

Insiden dan prevalensi epilepsi hampir sama di semua negara sekitar 1-2% populasi di seluruh dunia ( Silanpaa dan Schmidt, 2011; Lorigados dkk., 2013 ). Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi. Penderita epilepsi aktif di seluruh dunia saat ini diperkirakan 50 juta orang, 40% pada anak dan remaja, 40% pada dewasa, serta 20% usia lanjut ( Fosgren, 2001) . Pada penelitian di Tanzania didapatkan insiden epilepsi 77 per 100.000 penduduk per tahun ( Banerjee dan Hauser, 2007 ). Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar

(3)

3

70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak ( Suwarba, 2011 ).

Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun 1990 didapatkan 172 pasien epilepsi baru di antara 6830 pasien yang datang ke klinik Saraf Anak atau 77.016 pasien yang datang ke poliklinik bagian IKA FKUI-RSCM, sehingga prevalensi di antara pasien yang datang di RSCM adalah 2 per 1000 pasien. Sedangkan pada tahun 1991 didapatkan 181 pasien epilepsi baru di antara 6372 pasien yang berobat ke klinik Saraf Anak atau 56.518 pasien yang datang ke poliklinik bagian IKA FKUI-RSCM, suatu prevalensi sebesar 3 per 1000 pasien. Pada tahun 1990 dan 1991 didapatkan pasien epilepsi baru terbanyak pada kelompok umur 5-12 tahun masing-masing tahun 1990 sebesar 43,6% dan tahun 1991 sebesar 48,6%. Dua puluh dua dari 64 kasus yang terdeteksi dari pemantauan 11 tahun mendapatkan pendidikan khusus. Di antara 32 kasus yang terdeteksi pada pemantauan 16-23 tahun, 12 menderita cacat mental (Passat, 1999). Pada penelitian di RSUP Sanglah dijumpai pasien epilepsi baru 276 kasus, rata-rata 69 kasus pertahun. Kejadian epilepsi dibandingkan dengan pasien yang berkunjung ke poliklinik anak RSUP Sanglah Denpasar sebesar 5,3%. Insiden terbanyak ditemukan pada kelompok umur 1-5 tahun sebesar 42%, sedangkan

onset epilepsi terbanyak pada kelompok umur < 1 tahun sebanyak 46% ( Suwarba, 2011 ).

Anak-anak yang telah didiagnosis dengan epilepsi akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan serangan kejang berikutnya, sehingga pada anak-anak dengan epilepsi diberikan terapi dalam jangka waktu yang lama dengan

(4)

4

harapan tidak terjadinya kejang berikutnya. Epilepsi pada anak-anak dapat menimbulkan masalah yang sangat besar pada kehidupan sosial-ekonomi keluarga, dan masalah tumbuh kembang anak yang meliputi masalah neurobehavioural dan kognitif anak ( Rantanen dkk., 2008 ).

Ada berbagai alat untuk menilai pertumbuhan dan perkembangan anak yang sudah distandardisasi salah satunya adalah dengan skala Mullen. Skala Mullen digunakan untuk mengukur fungsi kognitif anak umur 0 sampai 68 bulan, menilai lima aspek pertumbuhan dan perkembangan yaitu gross motor, visual reception, fine motor, expressive language, and receptive language. Penilaian skala Mullen menggunakan alat permainan yang sangat menarik sehingga mudah diaplikasikan ke anak-anak. Hasil pengukuran dari skala Mullen dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu very high, above average, average, below average, dan very low ( Mullen, 1995 ).

Rantanen dkk. ( 2008 ) pada penelitian Social Competence of Preschool Children with Epilepsy mendapatkan prevalensi gangguan pemusatan perhatian dan perilaku sebesar 35% pada anak usia prasekolah dengan epilepsi. Rantanen dkk. ( 2011 ) pada penelitian Cognitive Impairment in Preschool Children with Epilepsy mendapatkan prevalensi gangguan perkembangan kognitif pada anak usia prasekolah dengan epilepsi, normal dan borderline 50%, retardasi ringan 22%, retardasi berat dan sangat berat 28%. Siilanpaa dalam penelitian Prognosis Intelegensia dan Penyesuaian Sosial penderita Epilepsi mendapatkan 47,3% penderita dengan intelegensia normal, 13,1% dengan retardasi mental ringan dan sisanya dengan retardasi mental sedang atau berat. Di samping itu terdapat

(5)

5

gangguan perkembangan motor halus pada 42,7% pasien, gangguan berbicara pada 40% pasien dan kesulitan dalam hubungan interpersonal pada 37,8% pasien. Sebanyak 60% pasien dapat mengikuti sekolah normal dan hanya 4,7% pasien yang dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi ( Passat, 1999; Rantanen dkk., 2008; Rantanen dkk., 2011 ).

Penelitian di RSUP Sanglah Denpasar jenis epilepsi berdasarkan tipe kejang ditemukan sebagian besar 62% kejang umum tonik klonik, 12,3% tipe tonik, dan 4,3% tipe absanse. Epilepsi fokal/parsial ditemukan pada 12,6%, sedangkan sindrom epilepsi yang ditemukan hanya spasme infantil 6,9% kasus. Etiologi ditemukan terbanyak 74,3% kasus idiopatik. Berdasarkan skrining Denver II, mendapatkan hasil tumbuh kembang normal sebesar 75% dan suspek sebesar 25% ( Suwarba, 2011 ).

Penelitian epilepsi dalam kaitannya dengan tingkat perkembangan kognitif anak belum pernah dikerjakan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar oleh karena itu diadakan penelitian ini yang terbatas pada penilaian tingkat perkembangan kognitif anak usia 6 sampai 68 bulan dengan epilepsi umum menggunakan skala Mullen.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan diteliti yaitu: Bagaimana tingkat perkembangan kognitif anak usia 6 sampai 68 bulan dengan epilepsi umum ?

(6)

6 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi :

1. Tujuan umum adalah untuk membuktikan hubungan tingkat perkembangan kognitif anak dengan epilepsi umum usia 6 sampai 68 bulan.

2. Tujuan khusus adalah

a. Untuk membuktikan hubungan tingkat perkembangan kognitif anak yang menderita epilepsi umum usia 6 sampai 68 bulan dengan usia awitan.

b. Untuk membuktikan hubungan tingkat perkembangan kognitif anak yang menderita epilepsi umum usia 6 sampai 68 bulan dengan frekuensi kejang.

c. Untuk membuktikan hubungan tingkat perkembangan kognitif anak yang menderita epilepsi umum usia 6 sampai 68 bulan dengan lamanya kejang.

d. Untuk membuktikan hubungan tingkat perkembangan kognitif anak yang menderita epilepsi umum usia 6 sampai 68 bulan dengan gambaran EEG.

e. Untuk membuktikan hubungan tingkat perkembangan kognitif anak yang menderita epilepsi umum usia 6 sampai 68 bulan dengan pemberian obat anti epilepsi.

(7)

7 1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a.Manfaat terhadap penderita: penderita dan keluarga memahami tentang penyakit epilepsi yang diderita, komplikasi yang ditimbulkan termasuk gangguan perkembangan kognitif, dan penatalaksanaanya.

b.Manfaat terhadap pelayanan kesehatan: untuk deteksi dini dan intervensi dini gangguan perkembangan kognitif pada anak dengan epilepsi umum. c.Manfaat terhadap pengembangan ilmu: hasil penelitian ini dapat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keaktifan pembelajaran ips materi lingkungan alam dan buatan melalui metode Problem Based Instruction (PBI) pada siswa kelas III

Pada sembilan mesin yang digunakan untuk produksi kain C1037 sering mengalami downtime sehingga perlu dilakukan langkah-langkah serta metode yang dapat menganalisa

XIV Bukittinggi Nurhasma Lainis Kuriak Kusuik BP

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap

Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan yaitu untuk meneliti beberapa faktor yang mempengaruhi niat pembelian ulang terhadap smartphone merek iPhone, untuk

Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Raharjo,.. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada penafsiran dan pengamalan

Untuk menentukan faktor yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan cagar budaya Singosari Malang sebagai Heritage Tourism. Langkah awalnya adalah melakukan analisis

Disamping pendekatan hukum dan mekanis pasar, petani harus pula diberikan alternatf lain yang bisa mencapai tujuan pengendalian lingkungan pada tngkat produksi yang