TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
LELANG BARANG JAMINAN DI PEGADAIAN SYARIAH
CABANG MAJAPAHIT SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh : ILMIANA SOFIA NIM : 214 – 12 – 019
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
F A K U L T A S S Y A R I A H
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
MOTTO
Musuh yang paling berbahaya di Atas Dunia ini adalah
penakut dan bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah
keberanian dan keyakinan yang teguh
Bermimpilah, karena tuhan akan memeluk mimpimu
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak (Mukminan), Ibu (Tri Astuti). Sebagai motivator terbesar dalam hidupku yang tak mengenal lelah dan mendoakan aku serta menyayangiku, terima kasih atas semua pengorbanan, keringat dan kesabaran mengantarkanku sampai kini.
2. Almamaterku
3. Keluarga besar dan Sahabat
ABSTRAK
Sofia.Ilmiana (2017). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan di Pegadaian Syariah cabang Majapahit Semarang.
Skripsi. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Drs. Mahfudz, M. Ag
Kata Kunci : Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan Pegadaian Syariah
Dengan kebutuhan manusia yang semkain meningkat, banyak lembaga keuangan baik bank maupun non-bankyang memberikan penawaran kemudahan pinjaman dana untuk memenuhi kebutuhan setiap orang baik yang bersifat mendesak atau bersifat komsumtif dengan menggunakan jaminan. Begitu juga dengan Pegadaian Syariah, masyarakat yang ingin mendapatkan pinjaman cukup membawa barang yang masih memiliki nilai, dapat digunakan sebagai jaminan dengan menggunakan sistem gadai. Masyarakat sangat terbantu untuk memenuhi kebutuhan dengan jangka waktu yang telah ditentukan untuk melunasi hutangnya. Tetapi ada sebagian orang yang tidak bisa membayar hutang pada saat jatuh tempo, yang mengakibatkan barang jaminannya dilelang untuk melunasi hutangnya.
Penelitian ini mengacu pada pokok permasalahan Bagaimana Pelaksanaan Lelang barang Jaminan yang dilakukan Pegadaian Syariah Cabang Majapahit Semarang, Bagaimana Menurut Perundang-undangan tentang pelaksanaan Lelang di Pegadaian Syariah Semarang, dan Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Lelang barang jaminan di Pegadaian Syariah Semarang.
Penelitian ini menggunakan metode library research dan field research. Penelitian melalui penelitian pustaka (library research) adalah penelitian yang dilakukan dengan menelaah berbagai macam literature, referensi-referensi, serta buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan ini. Sedangkan penelitian lapangan (field research) adalah penelitian yang dilakukan dengan terjun langsung kelapangan untuk melihat serta mengambil data-data secara langsung.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, bahwa Pelaksanaan lelang barang jaminan di Perum Pegadaian Syariah Cabang Majapahit Semarang debitur atau nasabah tidak memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan atau memperpanjang pinjamannya, maka perum pegadaian berhak menjual barang jaminan dalam pelelangan. Berkaitan dengan pelelangan barang jaminan ini sudah sesuai dengan KUHPerdata Buku 2 bab 20 Pasal 1150 yaitu debitur memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk menggunakan barang jaminan yang telah diserahkan dan digunakan sebagai jaminan untuk melunasi hutangnya apabila pihak yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo/wanprestasi. Pihak pegadaian menggunakan uang hasil lelang tersebut untuk melunasi semua kewajiban nasabah. Menurut tinjauan hukum Islam pelaksanaan pelelangan yang
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena
atas rahmat dan karuninnya-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai strata satu Hukum Ekonomi Syariah. Penulis menyadari tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai dari masa perkuliahan sampai
dalam penyusunannya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan banyak
terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syar’iah IAIN
Salatiga.
3. Ibu Evi Ariyani, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah
IAIN Salatiga.
4. Bapak Nafis Irkhami, M.Ag., M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan untuk selalu melakukan
yang terbaik.
5. Ibu Lutfiana Zahriani, S. H., M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari’ah IAIN
Salatiga.
6. Bapak Drs. Mahfudz, M. Ag selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dukungannya untuk mengarahkan
saya dalam penyusunan skripsi ini.
7. Pihak Perum Pegadaian Syariah Cabang Majapahit Semarang yang telah
membantu,kepada Bapak Nasokha yang telah berkenan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan guna menyelesaikan skripsi ini.
8. Keluarga tercinta Ibuk ,bapak, adek-adek yang tak henti-hentinya selalu
mendoakan memberikan semangat.
9. Kepada semua Narasumber yang berkenan memberikan informasi.
10.Terimakasih kepada teman-teman tercinta Rini, Dwi, Tiva, ipay, zaka, eko,
wahyu, lupi, agung,Ilyas serta temen-temen yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu, terimakasih banyak untuk pertemanannya selama ini dan sukses selalu
untuk kalian semua.
11.Seluruh jajaran Academi Institut Agama Islam Negeri Salatiga Fakultas
Syariah yang tidak bisa penulis sebutkan semuannya terimakasih banyak telah
banyak membantu penyusunan skripsi ini.
12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan Konstribusi dan dukungan yang cukup besar sehingga penulis
dapat menjalani perkuliahan dari awal hingga akhir di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
Semoga Allah SWTmembalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan dan senantiasa mendapatkan
maghfiroh, dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amin.
DAFTAR ISI
COVER ... i
SURAT PERNYATAAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6
D. Penegasan Istilah ... 8
E. Kajian Pustaka ... 9
F. Kerangka Teoritik ... 10
G. Metode Penelitian ... 12
H. Tekhnik Pengumpulan Data………13
I. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KERANGKA TEORITIK A. Barang Jaminan Dalam Prespektif Islam ... 15
1. Pengertian Barang Jaminan………..15
2. Barang-barang Yang Bisa Dijadikan Jaminan……….15
3. Asas-asas Jaminan………17
4. Jaminan Menurut Hukum Islam………...19
5. Fungsi Jaminan……….21
B. Tinjauan Umum Tentang Gadai ... .22
1. Pengertian Gadai………...23
2. Sifat-sifat Gadai………23
3. Obyek Gadai……….26
4. Terjadinya Gadai………..27
5. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai………..31
6. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai……….36
7. Hapusnya Gadai………...36
C. Tinjauan Umum Tentang Gadai Syariah ... 38
1. Pengertian Gadai Syariah……….39
2. Dasar Hukum Gadai Syariah………40
3. Rukun Gadai……….43
4. Syarat Gadai……….44
5. Ketentuan Gadai Dalam Islam………..45
D. Lelang………..47
6. Lelang Dalam Islam……….54
E. Pegadaian Syariah………...55
1. Pengertian Pegadaian………...55
2. Tujuan Pegadaian……….55
3. Manfaat Pegadaian………...56
4. Jasa Pegadaian Syariah………57
BAB III GAMBARAN UMUM PEGADAIAN SYARIAH CABANG
F. Tugas Dan TanggungJawab………..67
G. Produk-produk Pegadaian Syariah………71
H. Prosedur Pelelangan Barang Jaminan………73
I. Pelaksanaan Lelang Di Pegadaian Syariah cabang Majapahit Semarang………74
BAB IV PELAKSANAAN LELANG BARANG JAMINAN BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG MAJAPAHIT SEMARANG A. Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan ... 81
B. Analisis Pelaksanaan Pelelangan Barang Jaminan Berdasarkan Perundang-undangan ... 82
C. Analisis Pelaksanaan Pelelangan Barang Jaminan Berdasarkan Hukum Islam ... 85
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 91
B. Saran-saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 94
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 96
DAFTAR LAMPIRAN
NO LAMPIRAN HALAMAN
1. Surat Bukti Observasi 2. Lembar Konsultasi Skripsi 3. Daftar Nilai SKK
4. Interview Guide 5. Dokumentasi 6. Curriculum Vitae
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa terlepas dari hubungan
dengan manusia lain. Islam juga mengajarkan agar hidup bermasyarakat
dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan dari praktek-praktek
penindasan dan pemerasan. Tolong-menolong merupakan salah satu prinsip
dalam bermuamalah.Bentuk tolong-menolong ini bisa berupa pemberian
ataupun pinjaman.
Tolong-menolong dalam bentuk pinjaman, hukum Islam
mengajarkan agar kepentingan kreditur jangan sampai dirugikan.Oleh
karena itu, harus ada jaminan barang dari debitur atas pinjaman yang
diberikan oleh kreditur. Sehingga apabila debitur tidak mampu melunasi
pinjamannya, barang jaminan itu dapat dijual sebagai penebus
jaminan.Konsep inilah dalam fiqh Islam dikenal dengan istilah rahn atau
gadai.
Gadai adalah suatu barang yang dijadikan jaminan kepercayaan
dalam utang-piutang.Barang itu boleh dijual apabila hutang tersebut tidak
dapat dibayar, karena penjualan itulah harus dengan keadilan.Gadai
merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang yang mana
untuk kepercayaan dari orang yang berpiutang. orang yang berhutang
menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu.Barang
jaminan tetap milik orang yang menggadaikan tetapi dikuasai oleh penerima
gadai. namun dalam kenyataannya bahwa gadai saat ini dalam prakteknya,
menunjukkan adanya beberapa hal yang tidak sesuai aturan syariah Islam
atau dengan keadilan yang mengarah pada suatu persoalan riba.
(Hakim,2012:121)
Lembaga pegadaian melaksanakan kegiatan usaha penyaluran uang
pinjaman atas dasar hukum gadai.Nasabah/ pinjaman ada kalanya tidak
memenuhi kewajibannya sesuai waktu yang disepakati. Setelah melalui
peringatan terlebih dahulu, dan tidak melakukan perpanjangan, maka
lembaga pegadaian mempunyai hak untuk mengambil pelunasan piutangnya
dengan cara melelang barang jaminan gadai yang dibawah kekuasaannya.
Jual beli secara umun adalah suatu perjanjian, dengan perjanjian itu
kedua belah pihak mengatakan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas
suatu barang dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan.
Perdagangan atau jual beli dapat dilakukan dengan langsung dan dapat
dengan lelang.Cara jual beli dengan sistem lelang dalam fiqh disebut
muzayyadah.
Barang yang akan digadaikan terlebih dahulu dinilai dengan cara
untuk barang gudang yaitu barang gadai selain emas dan permata, dinilai
dengan melihat harga pasar setempat barang gadai tersebut, menentukan
presentase penaksiran dan dilanjutkan perhitungan pemberian pinjaman
berdasarkan golongannya. Untuk barang berupa emas, dinilai dengan
melihat harga pasar pusat dan standar taksiran logam, melakukan pengujian
karatase dan mengukur beratnya, menentukan presentase penaksiran, dan
dilanjutkan perhitungan pemberi pinjaman berdasarkan golongan. (Usman,
2008:129)
Penaksiran hanya boleh dilakukan oleh pejabat penaksir yang
ditunjuk dan dididik khusus untuk tugas itu. Harga pasar pusat adalah harga
yang ditetapkan oleh pegadaian pusat, sedangkan taksiran logam dan standar
taksiran permata adalah patokan harga yang ditetapkan oleh pegadaian
pusat. Apabila barang gadai tidak ditebus dalam tempo yang telah
ditentukan, maka barang gadai tersebut akan dijual lelang pada waktu yang
ditetapkan oleh pegadaian. Sebelum pelelangan dilakukan, pegadaian
mengumumkan kepada masyarakat bahwa lelang akan dilakukan dan
pembeli yang berhak, yaitu yang menawar dua kali tetapi tidak disambut
dengan tawaran yang lebih tinggi oleh penawar lain. (Usman, 2008:131)
Lelang masa kini tidak hanya terjadi pada lembaga informal saja,
lembaga formal juga banyak yang melaksanakan proses lelang. Khususnya
lembaga yang mempunyai produk gadai seperti lembaga keuangan yaitu
pegadaian syariah.Aktivitas gadai sekarang ini, sedah berbeda dengan jaman
Rasulullah SAW. Sebab sekarang ini aktivitas gadai sudah tidak lagi bersifat
perorangan, namun sudah berupa lembaga keuangan formal yang telah
diakui oleh pemerintah.Mengenai fungsi lembaga pegadaian tersebut tentu
sudah sangat jauh bebeda, yaitu bukan lagi bersifat sosial, namun lebih
bersifat komersial. Pada suatu kenyataan, bahwa dengan fungsi gadai
tersebut tentu akan berakibat pula pada perubahan sistem operasionalnya.
Artinya dalam aktivitas lembaga tersebut harus memperoleh pendapatan
guna mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkannya. Untuk menutupi
biaya-biaya yang telah dikeluarkan, maka lembaga tersebut mewajibkan
menambahkan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang
pada waktu membayar utang kepada pegadai sebagai imbalan jasa.Hal ini
lebih lazim disebut dengan “bunga gadai”. Praktek semacam ini jelas akan
sangat memberatkan dan merugikan pihak pegadai. sebab pembayaran
bunga gadai tersebut harus dilakukan setiap 15 hari sekali, dan jika terjadi
keterlambatan satu hari bunga tersebut akan naik menjadi dua kali lipat.
(Hadi, 2003:31)
Implementasi operasi pegadaian syaiah hampir mirip dengan
pegadaian konvensional. Perbedaan mendasar antara pegadaian
konvensional dengan pegadaian syariah terletak pada pengenaan
biaya.Pegadaian konvensional, biaya adalah bunga yang bersifat akumulatif
dan berlipat ganda.Namun pada pegadaian syariah, biaya ditetapkan sekali
dan dibayarkan dimuka yang ditujukan untuk penitipan, pemeliharaan,
penjagaan dan penaksiran. Seperti halnya pegadaian konvensional,
pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan benda
bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat
sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang
sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang relatif
tidak lama. Begitupun untuk melunai pinjaman, nasabah cukup dengan
menyerahkan sejumlah uang dan suratrahnsaja dengan proses yang sangat
singkat. Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn ialah
menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian uang dapat diterima. (Suhendi, 2010:105)
Pegadaian dalam memberikan pinjaman harus ada barang jaminan
(marhun) dari debitur. Apabila debitur tidak dapat melunasi pinjamannya,
maka kreditur dalam hal ini Pegadaian Syariah berhak melelang barang
jaminan (marhun) dari debitur. Pada kenyataannya, tidak semua barang
jaminan ditebus oleh debitur. Barang yang tidak ditebus oleh debitur
kemudian dilelang pegadaian. Pengelolaannyapun tidak terlepas dengan
permasalahan seperti kesulitan mencari nasabah yang mempunyai barang
jaminan yang akan dilelang, barang yang tidak laku karena penawaran lebih
rendah dari pinjaman maupun barang dengan taksiran terlalu tinggi.
Hukum jual beli lelang dalam pandangan Islam adalah salah satu
jenis jual beli dimana penjual menawarkan barang ditengah keramaian lalu
para pembeli saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual
akan menentukan yang berhak membeli adalah yang mengajukan harga
tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari
penjual.Dalam kitab fiqh, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah
ba’i al-muzzayadah. Lelang adalah salah satu jenis jual beli dimana pembeli
menawarkan barang ditengah keramaian lalu para pembeli saling menawar
dengan harga tinggi sampai pada batas harga tertinggi dari satu pembeli, lalu
terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.
(http://wwwRrafiqatulHanniah.blogspot.com/html) (diakses pada tanggal 25
Desember 2016)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diajukan
rumusanpokok masalah yang dijadikan fokus pembahasan dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana Pelaksanaan Lelang barang Jaminan yang dilakukan
Pegadaian Syariah Cabang Majapahit Semarang?
2. Bagaimana Tinjauan Perundang-undangan tentang pelaksanaan
Lelang di Pegadaian Syariah Semarang?
3. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Lelang
barang jaminan di Pegadaian Syariah Semarang?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Obyektif
1) Untuk mengetahui tentang pelaksanaan gadai yang dilakukan oleh
Pegadaian Syariah cabang Majapahit Semarang
2) Untuk mengetahui apakah pelaksanaan lelang barang jaminan
sudah memenuhi ketentuan berdasarkan perundang-undangan
yang berlaku
3) Untuk mengetahui tinjauan hukum islam terhadap lelang barang
jaminan di pegadaian syariah semarang
b. Tujuan Subyektif
Untuk membangkan dan memperdalam pengetahuan penulis
di bidng hukum ekonomi syariah dan guna memenuhi persyaratan
akademis dalam bidang muamalah atau hukum ekonomi syariah di
Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
2. Kegunaan Penelitian
a. Bagi Penulis, hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan
yang luas dan mendalam mengenai tinjauan hukum islam terhadap
lelang barang jaminan di pegadaian syariah semarang.
b. Bagi Perusahaan, membantu memudahkan pihak–pihak terkait
secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya pelaksanaan
lelang barang jaminan.
c. Bagi Akademisi, adalah untuk memberikan acuan referensi dan saran
pemikiran bagi kalangan akademisi untuk menunjang perkembangan
penulisan selanjutnya.
d. Bagi Masyarakat, hasil penelitianini diharapkan dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan yang lebih mendalam tentang dunia
pegadaian syariah.
D. Penegasan Istilah
Agar lebih memperjelas maksud dari judul tersebut dan untuk
menghindari penafsiran keliru dalam memahami tulisan ini, maka penulis
mengemukakan Penegasan Istilah sebagai berikut:
1. Lelang adalah penjualan barang dihadapan banyak orang dengan tawarmenawar, tawaran tertinggi adalah pemenang. Lelang yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah penawaran atau penjualan barang
jaminan melalui penawaran harga taksiran yang dilaksanakan dengan
system lelang tertutup. (Sianturi, 2013: 51)
2. Barang jaminan adalah asset pihak peminjam yang dijanjikan kepada pemberi pinjaman jika peminjam tersebut tidak dapat mengembalikan
pinjaman tersebut. (Usman, 2008: 66)
3. Gadai adalah Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan
kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin
suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk
mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada
kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu,
biaya-biaya mana harus didahulukan. (Kashadi, 2003: 13)
4. Gadai Syariah adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah
atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam
kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. (Ali, 2008: 1)
5. Pegadaian syariah adalah produk jasa berupa pemberian pinjaman menggunakan system gadai dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip
syariat islam, yaitu antara lain tidak menentuan tarif jasa dari besarnya
uang pinjaman. (Puspitasari, 2011: 6)
E. TelaahPustaka
Dari beberapa penelitian dan pembahasan terdahulu yang telah
ditelusuri oleh penulis, ternyata tidak ditemukan apa yang dibahas dan diteliti
oleh penulis. Akan tetapi dari beberapa penelitian terdahulu penulis
menemukan hal-hal yang ada kaitannya dengan lelang dengan objek
penelitian yang berbeda, antara lain skripsi karya Elvira Suzana Ekaputri
yang berjudul “Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan Gadai Pada PERUM
Pegadaian Cabang Depok ” penelitian ini membahas bagaimana praktek
pelaksanaan lelang barang jaminan gadai di perum pegadaian.
(http//lib.ui.ac.id, diakses pada tanggal 17 november 2016).
Kemudian skripsi karya sri suspa hotmaidah sarumpaet yang berjudul
“ presepsi masyarakat terhadap proses lelang barang jaminan pada perum
pegadaian syariah cabang setia budi medan” penelitian ini membahas
pelelangan barang jaminan dilakukan dengan system penjulan.
(http//repository.usu.ac.id, diakses pada tanggal 17 november 2016)
Buku yang berjudul “Hukum Gadai Syariah” karya Prof.Dr. H.
Zainuddin Ali, M.A.Membahas mengenai gadai yang didalamnya membahas
tentang gadai secara syariah. Yang memuat subab pengertian gadai dan
Al-Qardh, Dasar hukum gadai syariah, Sejarah pegadaian secara umum dan
khusus. (Ali:1-9)
Buku karya Dr. Purnama Trioria Sianturi, SH., M. Hum.Yang berjudul
“Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak
Melalui Lelang” yang didalammya membahas mengenai Karakter Jual Beli
Melalui Lelang. (Sianturi,2013:25)
Kemudian buku karya Tim Laskar Pelangi yang berjudul “Metodologi
Fikih Muamalah” yang di dalamnya membahas Jaminan atau Dlaman. (Tim
Laskar Pelangi, 2013:170-171)
F. Kerangka Teoritik
Transaksi hukum gadai dalam fikih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn
adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan
utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam,
yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang
berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT sebagai
berikut (Ali:1):
38. tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, QS.
Al-Muddatsir (74) ayat 38
Pegadaian adalah badan usaha milik Negara (BUMN) yang memiliki
usaha utama di bidang jasa penyaluran kredit kepada masyarakat atas dasar
hukum gadai. Pegadaian merupakan salah satu badan usaha yang dimiliki
oleh Negara, tetapi berstatus perusahaan umum (perum). (Puspitasari,2011:6)
Selama ini, pelaksanaan usaha gadai syariah yang dilakukan
PT.Pegadaian (Persero) berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya, serta sejumlah fatwa DSN yang menjadi pedoman
operasional usaha gadai syariah.Selain itu, juga terdapat beberapa aturan yang
secara tidak langsung mengatur pegadaian Syariah. Uraian dibawah berupaya
menjelaskan tentang aturan-aturan dan fatwa-fatwa dimaksud ditinjau dari
hirerarki perundang-undangan, sehingga terlihat peraturan apa yang mestinya
ada untuk mengembangkan Pegdaian Syariah ke depan. (Mulazid,2012:107)
Dalam kontek utang-piutang (ad-duyun), terminologidlaman adalah,
kontrak kesanggupan menjamin atas hak yang telah menjadi tanggungan
orang lain. Dalam konteks barang-barang yang harus dikembalikan secara
fisik oleh seseorang (al-a’yan al-madlmunah), (radd) barang-barang
madlmunah.Sedangkan dalam konteks orang (al-badan), terminologidlaman
adalah, kontrak kesanggupan menjamin kehadiran (ihdlar) orang yang terlibat
dalam kasus hukum.
Dari definisi ini bias dimengerti bahwa, dalam terminologidlaman
terdapat tiga obyek dlaman yang berbeda, yakni :Hutang (dlaman), Barang
(dlaman’ain), dan Orang (dlaman badan). Pihak yang memberikan
kesanggupan jaminan, disebut dlamin, dlamin, hamil, za’im, kafil, kafil,
shabir, atau qabil.Hanya saja, istilah dlamin lazim digunakan dalam konteks
dlaman dengan obyek berupa dain dan‘ain (dlaman al-mal).Sedangkan dalam
konteks dlaman berupa orang, lazim digunakan istilah kafil. (Tim Laskar
Pelangi,2013:170-171)
Lelang adalah menawarkan (menjual) barang yang di hadapan orang
banyak untuk mendapatkan harga penawaran yang terbaik (tertinggi).Jadi
lelang yang diselenggarakan oleh kantor/balai lelang adalah suatu upaya
untuk mendapatkan nilai (harga) tertinggi dari harga yang
ditawarkan.Bilatidak ada penawaran berikutnya yang melibihi dari nilai
penawaran sebelumnya, maka penawaran sebelumnya dianggap memiliki
nilai penawaran tertinggi, sehingga nilai penawaran tersebut yang menjadi
pemenang lelang. (Prasetyo,2009:76)
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yaitu peneliti
melakukan penelitian secara langsung dengan melakukan pendekatan
dengan narasumber.
2. Kehadiran Peneliti
Peniliti terjun langsung sehingga terjadi keakraban antara peneliti
dan narasumbr sehingga memudahkan peneliti untuk memperoleh data.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Pegadaian Syariah Semarang yang
beralamat di Jl. Majapahit No. 420 Semarang
4. Sumber Data
Dalam Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan
sekunder.Adapun sumber data primer yaitu peneliti memperoleh sumber
data informasi yang dikumpulkan langsung dari sumbernya.Sedangkan
sumber data sekunder diperoleh dari literatur, buku-buku dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini.
5. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara
Dengan metode ini dapat diperoleh data tentang lelang barang
jaminan, metode ini ditujukan kepada pimpinan pegadaian syariah
semarang dan ulama yang dalam bidangnya.
b. Dokumentasi
Metode Dokumentasi adalah cara pengumplan data yang bersumber
pada dokumen. Metode ini digunakan untuk mendapatkan data
berupa foto atau dokumen yang terkait dengan tentang lelang barang
jaminan.
c. Observasi
Metode observasi adalah cara pengumpulan data dengan cara
mengamati langsung obyek yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Metode analisis data dari data kualitatif hasil penelitian pertama
akan diperoleh hasil yang menjadi evaluasi pelaksanaan pembelajaran
dan digunakan untuk meningkatkan keaktifan pembelajaran selanjutnya,
sehingga dapat dikatakan bahwa teknik analisis yang digunakan yaitu
analisis kualitatif.
H. Sistematika Penulisan
Sebagai gambaran-gambaran umum dalam skripsi ini, penulis akan
paparkan sekilas tentang sistematika penulisan dalam skripsi ini dengan
menggunakan system sebagai berikut :
Bab I: Merupakan Bab pendahuluan yang menguraikan gambaran
singkat dari penelitian ini, Bab I ini terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah
pustaka,dan sistematika penulisan.
Bab II: merupakan bab pembahasan teoritik yang didalamnya akan
diuraikan mengenai gambaran umum tentang Barang jaminan, lelang dan
gambaran umum tentang pegadaian syariah.
Bab III: Pada Bab ini akan di paparkan mengenai gambaran umum
tentang lokasi penelitian dan paparan data mengenai pelaksanaan lelang
terhadap barang jaminan.
Bab IV: Pada Bab ini akan diuraikan mengenai analisis Pelaksanaan
lelang barang jaminan di pegadaian syariah.
Bab V: Merupakan Bab penutup yang berisi kesimpulan dari
pembahasan penelitian dan saran penulis.
BAB II
KERANGKA TEORITIK
A. Barang Jaminan Dalam Perspektif Islam 1. Pengertian Barang Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu
Zekerheid atau Cautie yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau
melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara
menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagaimana tanggungan
atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.
Istilah jaminan dibedakan dengan istilah agunan. Arti jaminan menurut
UU Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah “agunan” atau “tanggungan”
sedangkan” jaminan” menurut UU Nomor 10 tahun 1998, yaitu
keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan sesuai yang
diperjanjikan. (Usman,2008:66).
2. Barang-barang yang bisa dijadikan jaminan
a. Jenis barang jaminan dilihat dari obyek yang dibiayai
1) Jaminan Pokok
Jaminan pokok adalah barang atau obyek yang dibiayai dengan
kredit
2) Jaminan Tambahan
Jaminan tambahan adalah barang yang dijadikan jaminan untuk
menambah jaminan pokok.
b. Jenis barang jaminan dilihat dari wujud barang
1) Jaminan Berwujud
Jaminan berwujud adalah jaminan tersebut dapat dilihat dan
diraba.
2) Jaminan Tidak Berwujud
Jaminan tidak berwujud adalah jaminan yang bentuknya hanya
komitmen atau janji saja.Walaupun hanya komitmen atau janji
saja, hal tersebut harus didokumentasikan kedalam tulisan
sehingga, dapat diadministrasikan dengan baik.
c. Jenis barang jaminan dilihat dari pergerakannya
1) Barang Bergerak
Barang jaminan yang bergerak artinya barang tersebut mudah
dipindah tempat dari tempat satu ke tempat lainnya.
2) Barang Tidak Bergerak
Barang jaminan yang tidak bergerak adalah jaminan yang tidak
dapat dipindah dari satu tempat ke tempat yamg lain.
d. Jenis barang jaminan dilihat dari mudah tidaknya barang diawasi
1) Barang yang tidak mudah dikontrol
Barang yang tidak mudah dikontrol adalah barang jaminan yang
sulit diawasi oleh Bank, karena pergerakannya sangat cepat.
2) Barang yang mudah dikontrol
Barang jaminan yang mudah dikontrol adalah barang
jaminan yang tidak dapat bergerak.
(http://arsipbisnis.wordpress .com/html (Diakses, 24 November
2016)
3. Asas-asas Jaminan a. Asas Jaminan hutang
Undang-undang telah mengatur mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan jaminan bagi pemberian utang oleh kreditur
kepada debitur. Terdapat dua asas umum mengenai jaminan:
1) Pasal 1131 KUHPerdata, pasal tersebut menentukan bahwa segala
harta kekayaan debitur, baik yang berupa benda bergerak maupun
benda tetap, baik yang sudah ada ataupun yang akan ada
dikemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan yang
dibuat oleh debitur dengan para krediturnya. Dengan kata lain
pasal 1311 KUHPerdata member ketentuan bahwa apabila debitur
wanprestasi, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan
debitur tanpa kecuali, merupakan sumber pelunasan bagi
hutangnya
2) Asas yang kedua pasal 1132 KUHPerdata, bahwa kekayaan
debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua pihak
yang memberikan hutang kepada debitur, sehingga apabila
kreditur wanprestasi, maka hasil penjualan atas harta kekayaan
debitur dibagikan secara proporsional menurut besarnya piutang
masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara para kreditur
tersebut terdapat alasan-alasan yang yang sah untuk didahulukan
dari kreditur-kreditur lain.
b. Asas-asas mengenai hak jaminan
1) Asas territorial, menentukan barang jaminan yang adadi Indonesia
hanya dapat jaminan hutang sejauh perjanjian hutang maupun
pengikatan hipotik tersebut dibuat di Indonesia.
2) Asas aksesoir, bahwa suatu perjanjian ada apabila terdapat
perjanjian pokoknya.
3) Asas hak preferensi bahwa oihak kreditur kepada siapa debitur
telah menjamin hutangnya pada umumnya mempunyai hak atas
jaminan kredit tersebut untuk pelunasan hutangnya yang harus
didahulukan dari kreditur lainnya.
4) Asas non distribusi, bahwa suatu hak jaminan tidak dapat
dipecah-pecah kepada beberapa kreditur.
5) Asas publisitas, bahwa suatu jaminan hutang harus dipublikasikan
sehingga diketahui umum.
6) Asas eksistensi benda, bahwa suatu hipotik atau hak tanggungan
hanya dapat diletakkan pada benda yang benar-benar ada.
7) Asas eksistensi perjanjian pokok, bahwa benda jaminan dapat
diikat setelah adanya perjanjian pokok.
8) Asas larangan janji benda jaminan dimiliki untuk sendiri kreditur
dilarang untuk memiliki benda jaminan untuk diri sendiri.
4. Jaminan Menurut Hukum Islam a) Dasar Hukum
Dalil yang mendasari legislasi akad dlaman adalah Al-Quran, Hadist,
dan Ijma’.
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".(Q.S. Al-Yusuf 72)
Tanyakanlah kepada mereka: "Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?".(Q.S. Al-Qolam :40) (Tim laskar pelangi,2013:170)
b) Definisi
Secara etimologis, dlaman adalah kesanggupan.Sedangkan
terminologi dlaman memiliki beberapa konteks. Dalam konteks
utang-piutang (ad-duyun) terminologi dlaman adalah, sebuah kontrak
kesanggupan menjamin atas hak yang telah menjadi tanggungan orang
lain. Dalam konteks barang-barang yang harus dikembalikan secara
fisik oleh seseorang (al-a’yan al-madlmunah), terminologi dlaman
adalah, kontrak kesanggupan menjamin pengembalian (radd)
barang-barang madlmunah. (Tim laskar pelangi,2013:170)
c) Struktur Akad
Secara akad dlaman dalam konteks menjamin hutang (dain),
terdiri dari lima rukun. Yaitu dlamin, madlmun lah, madlmun ‘anhu,
madlmun bih, dan shigah.
1. Dlamin
Yaitu pihak yang menyanggupi penjaminan hutang madlmun
‘anhu.
2. Madlmun Lah
Yaitu pemilik piutang dalam tanggungan mudlmun ‘anhu, dan
mendapat jaminan dari dlamin.
3. Madlmun ‘Anhu
Yaitu pihak yang memiliki hutang pada madlmun lah, dan
dijaminkan hutangnya oleh pihak dlamin.
4. Madlmun Bih
Yaitu hutang madlmun ‘anhu kepada madlmun lah, yang menjadi
obyek akad dlaman.
5. Shighat
Shighat atau bahasa transaksi dalam akad dlaman meliputi ijab
dan qabul yang menunjukan makna kesanggupan atau komitmen
(iltizam), baik secara eksplisit (sharih) atau implisit (kinayah).
(Tim laskar pelangi,2013:171-174)
d) Konsekuensi Hukum Akad Dlaman
Setelah akad dlaman terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya,
selanjutnya akan menetapkan konsekuensi hukum, sebagai berikut:
1) Bagi madlmun lah berhak menagih piutangnya kepada dua
pihak, dlamin dan madlmun ‘anhu.
2) Apabila pihak madlmun ‘anhu telah melakukan pembayaran
hutangnya kepada pihak madlmun lah, maka tanggungannya
menjadi terbebas, demikian juga tanggungan dlamin.
3) Apabila madlmun lah membebaskan piutangnya dari
tanggungan madlmun ‘anhu, maka tanggungan dlamin juga
turut bebas, sesuai kaidah, at-tabi’ tabi’.
4) Apabila salah satu dari dlamin dan madlmun ‘anhu mati, maka
hutangnya yang mu’ajjal berubah menjadi hal, sebab kematian
menjadikan tanggungan yang bersifat kredit menjadi cash
(jatuh tempo). (Tim laskar pelangi, 2013:174-178)
5. Fungsi Jaminan
Jaminan memiliki fungsi antara lain:
a. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk
membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan
usaha atau prokyeknya dengan merugikan dirinya sendiri atau
perusahaannya dapat dicegah.
b. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya,
khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan
syarat-syarat yang disetujui agar debitur dan pihak ketiga yang ikut
menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada
bank.
c. Memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak lembaga
keuangan bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara
mengeksekusi jaminan kredit.
d. Memberikan hak dan kekuasaan kepada lembaga keuangan untuk
mendapatkan pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan
cidera janji yaitu untuk pengembalian dana yang dikeluarkan oleh
debitur pada waktu yang telah ditentukan. (Ali, 2008:1)
B. Tinjauan Umum Tentang Gadai 1. Pengertian Gadai
Gadai ini diatur dalam Buku II Titel 20 Pasal 1150 sampai
dengan Pasal 1161 KUHPerdata.
Menurut Pasal 1150 KUHPerdata pengertian dari gadai adalah:
Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak
yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh
debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang,
dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk
mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada
kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara
benda itu, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Dari definisi gadai tersebut terkandung adanya beberapa unsur
pokok, yaitu :
a. Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas barang
gadai kepada kreditor pemegang gadai
b. Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitor atau orang lain atas
nama debitor
c. Barang yang menjadi obyek gadai hanya barang bergerak, baik
bertubuh maupun tidak bertubuh
d. Kreditor pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari
barang gadai lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.
(Kashadi,2003:13)
2. Sifat-sifat Gadai
a. Gadai adalah hak kebendaan
Dalam Pasal 1150 KUHPerdata tidak disebutkan sifat ini,
namun demikian sifat kebendaan ini dapat diketahui dari Pasal
1152 ayat (3) KUHPerdata yang mengatakan bahwa : “Pemegang
gadai mempunyai hak revindikasi dari Pasal 1977 ayat (2)
KUHPerdata apabila barang gadai hilang atau dicuri.” Oleh karena
hak gadai mengandung hak revindikasi, maka hak gadai merupakan
hak kebendaan sebab revindikasi merupakan ciri khas dari hak
kebendaan.Hak kebendaan dari hak gadai bukanlah hak untuk
menikmati suatu benda seperti eigendom, hak bezit, hak pakai dan
sebagainya.Memang benda gadai harus diserahkan kepada kreditor
tetapi tidak untuk dinikmati, melainkan untuk menjamin
piutangnya dengan mengambil, penggantian dari benda tersebut
guna membayar piutangnya.
b. Hak gadai bersifat accessoir
Hak gadai hanya merupakan tambahan saja dari perjanjian
pkoknya, yang berupa perjanjian pinjam uang. Sehingga
bolehdikatakan bahwa seseorang akan mempunyai hak gadai
apabila ia mempunyai piutang, dan tidak mungkin seseorang dapat
mempunyai hak gadai tanpa mempunyai piutang. Jadi hak gadai
merupakan hak tambahan atau accessoir, yang ada dan tidaknya
tergantung dari ada dan tidaknya piutang yang merupakan
perjanjian pokoknya.
Dengan demikian hak gadai akan hapus jika perjanjian
pokoknya hapus. Beralihnaya piutang membawa serta beralihnya
hak gadai,hak gadai berpindah kepada orang lain bersama-sama
dengan piutang yang dijamin dengan hak gadai tersebut, sehingga
hak gadai tidak mampunyai kedudukan yang berdiri sendiri
melainkan accessoir terhadap perjanjian pokoknya.
c. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi
Karena hak gadai tidak dapat dibagi-bagi, maka dengan
dibayarnya sebagian hutang tidak akan membebaskan sebagian dari
benda gadai. Hak gadai tetap membebani benda gadai secara
keseluruhan. Dalam Pasal 1160 KUHPerdata disebutkan
bahwa :“Tak dapatnya hak gadai dan bagi-bagi dalam hal kreditor,
atau debitur meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa ahli
waris.” Ketentuan ini tidak merupakan ketentuan hukum memaksa,
sehingga para pihak dapat menentukan sebaliknya atau dengan
perkataan lain sifat tidak dapat dibagi-bagi dalam gadai ini dapat
disimpangi apabila telah diperjanjikan lebih dahuIu oleh para
pihak.
d. Hak gadai adalah hak yang didahulukan
Hak gadai adalah hak yang didahulukan.Ini dapat diketahui
dari ketentuan Pasal 1133 dan 1150 KUHPerdata.Karena piutang
dengan hak gadai mempunyai hak untuk didahulukan daripada
piutang-piutang lainnya, maka kreditor pemegang gadai
mempunyai hak mendahulu (droit de preference).
e. Benda yang menjadi obyek gadai adalah benda bergerak baik yang
bertubuh maupun tidak bertubuh
f. Hak gadai adalah hak yang kuat dan mudah penyitaannya
Menurut Pasat 1134 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa:
"Hak gadai dan hipotik lebih diutamakan daripada privilege,
kecuali jika undang-undang menentukan sebaliknya". Dari bunyi
pasal tersebut jelas bahwa hak gadai mempunyai kedudukan yang
kuat.Di samping itu kreditor pemegang gadai adalah termasuk
kreditor separatis.Selaku separatis, pemegang gadai tidak
terpengaruh oleh adanya kepailitan si debitor. Kemudian apabila si
debitor wanprestasi, pemegang gadai dapat dengan mudah menjual
benda gadai tanpa memerlukan perantaraan hakim, asalkan
penjualan benda gadai dilakukan di muka umum dengan lelang dan
menurut kebiasaan setempat dan harus memberitahukan secara
tertulis lebih dahulu akan maksud-maksud yang akan dilakukan
oleh pemegang gadai apabila tidak ditebus (Pasal 1155 juncto 1158
ayat (2) KUHPerdata)
. Jadi di sini acara penyitaan Iewat juru sita dengan
ketentuan-ketentuan menurut Hukum Acara Perdata.tidak berlaku
bagi gadai. (Kashadi,2005:13-17)
3. Obyek Gadai
Obyek gadai adalah segala benda bergerak, baik yang
bertubuh maupun tidak bertubuh. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal
1150 juncties 1153 ayat (1), 1152 bis, dan 1153 KUHPerdata. Namun
benda bergerak yang tidak dapat dipindahtangankan tidak dapat
digadaikan.
Dalam Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata disebutkan tentang
hak gadai atas surrat-surat bawa dan seterusnya, demikian juga dalam
Pasal 1153 bis KUHPerdata dikatakan bahwa untuk meletakkan hak
gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan endosemen dan penyerahan
suratnya. Penyebutan untuk surat-surat ini dapat menimbulkan kesan
yang keliru mengenai obyek gadai adalah piutang-piutng dibuktilan
dengan surat-surat tersebut. (Kashadi,2005:17)
4. Terjadinya Gadai
Untuk terjadinya gadai harus dipenuhi persyaratan-persyaratan
yang ditentukan sesuai dengan jenis benda yang digadaikan Adapun
cara-cara terjadinya gadai adalah sebagai berikut:
a. Cara terjadinya gadai pada benda bergerak bertubuh
1) Perjanjian Gadai
Dalam hal ini antara debitor dengan kreditor mengadakan
perjanjian pinjam uang (kredit) dangan janji sanggup memberikan
benda bergerak sebagai jaminan gadai atau perjanjian untuk
memberikan hak gadai (perjanjian gadai). Perjanjian ini bersifat
konsensual dan obligatoir.
Dalam Pasal 1151 KUHPerdata disebutkan bahwa: Perjanjian
gadai dapat dibuktikan dengan segala atat yang dlperbolehkan
bagi pembuktian perjanjian pokok.
Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa bentuk perjanjian
gadai tidak terikat pada formalitas tertentu (bentuknya bebas),
sehingga dapat dibuat secara tertulis maupun lisan.
(Wijaya,2005:74-75)
2) Penyerahan benda Gadai
Dalam Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata disebutkan : Tidak
ada hak gadai atas benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan
debitor atas kemauan kreditor. Dengan demikian hak gadai terjadi
dengan dibawanya barang gadai ke luar dari kekuasaan di debitor
pemberi gadai.Syarat bahwa barang gadai harus dibawa keluar
dari kekuasaan si pamberi gadai ini merupakan syarat
inbezitstelling" Inbezitstelling adalah syarat mutlak yang harus
dipenuhi dalam gadai. Barang dikatakan dibawa ke luar dan
kekuasaan pemberi gadai jika barang gadai diserahkan oleh
pemberi gadai kepada kreditor atau pihak ketiga (sebagai
pemegang gadai) yang disetujui oleh kreditor.
Mengingat benda gadai harus dibawa keluar dari
kekuasaaan pemberi gadai maka diperlukan suatu
penyarahan.Penyerahan benda gadai dapat dilakukan secara
nyata, simbolis, traditto brevt manuataupun traditio longa
manu.Panyerahan secara constitutum possessoriumtidak
menimbulkan hak gadai karena tidak memenuhi syarat
inbezitstelling.
b. Cara terjadinya gadai pada piutang atas bawa (atas tunjuk atau
aantoonder)
1) Perjanjian Gadai
Antara debitor dengan kreditor dibuat perjanjian untuk
mamberikan hak gadai.Perjanjian ini bersifat konsensual,
obligator dan bentuknya bebas.
2) Penyerahan Surat Bukti
Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata mengatakan bahwa :
“Gadai surat atas bawa terjadi, dengan menyerahkan surat itu ke
dalam tangan pemegang gadai atau pihak ketiga yang disetujui
kedua belah pihak.” Perlu diketahui bahwa piutang atas bawa
(atas tunjuk) selalu ada surat buktinya, surat bukti ini mewakili
piutang.
Surat (piutang) atas bawa (atas tunjuk) adalah surat yang dibuat
debitor, dimana diterangkan bahwa ia berhutang sejumlah uang
tertentu kepada pemegang surat, surat mana diserahkannya ke
dalam tangan pemegang. Pemegang berhak menagih pembayaran
dari debitor, dengan mengembalikan surat atas bawa itu kepada
debitor. (Badrulzaman: 97)
c. Cara terjadinya gadai pada piutang atas order (aanorder)
1) Perjanjian Gadai
Antara kreditor dan dabitor membuat perjanjian gadai yang
bersifat konsensual, obligator dan bentuknya bebas.
2) Adanya andosemen yang diikuti dengan penyerahan suratnya
Pasal 1152 bis KUHPerdata. menyebutkan bahwa: "Untuk
mengadakan hak gadai piutang atas tunjuk, diperlukan
adanya endosemen pada surat hutangnya diserahkannya surat
hutang kepada pemegang gadai.” Piutang atas tunjuk ini juga
selalu ada surat buktinya, di mana surat bukti ini mewakili
piutang. Endosemen adalah pernyataan-penyerahan piutang
yang ditandatangani kreditor (endosen) yang bertindak
sebagai pemberi gadai dan harus memuat nama pemegang
gadai (geendasseerde).
d. Cara terjadinya gadai pada piutang atas nama (opnaam)
1) Perjanjian Kredit
Debitor dengan kreditor membuat perjanjian gadai.Perjanjiain ini
bersifat konsensual, obligator dan bentuknya bebas.
2) Adanya pemberitahuan kepada debitor dari piutang yang
digadaikan.
Pasal 1153 KUHPerdata menyebutkan bahwa: "Hak gadai
piutang atas nama diadakan dengan memberitahukan akan
penggadaiannya (perjanjian gadainya) kepada debitor.
Dalam memberitahukan ini debitor dapat meminta bukti
tertulis perihal penggadaiannya dan persetujuan dari pemberi
gadai.Setelah itu debitor hanya dapat membayar hutangnya kepada
pemegang gadai.Bentuk pemberitahuan ini dapat dilakukan baik
secara tertentu maupun secara lisan.Pemberitahuan dengan
perantaraan jurusita perlu dilakukan apabila si debitor tidak
bersedia memberikan keterangan tertulis tentang persetujuan
pemberian gadai itu.
Dalam gadai piutang atas nama tersangkut tiga pihak seperti
penyerahan piutang atas nama (cessie). Gadai piutang atas nama
juga dinamakan cessie, karena di sini yang digadaikan adalah
piutang atas nama, sedang penyerahan piutang ataa nama dilakukan
dengan cessie. (Kashadi,2005:20-21)
5. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai
Selama berlangsungnya gadai, pemegang gadai mempunyai beberapa
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, baik pada gadai benda
bergerak bertubuh maupun pada gadai atas piutang (benda bergerak
tidak bertubuh).
Hak-hak pemegang gadai adalah sebagai berikut:
a. Hak untuk menjual benda gadai atas kekuasaan sendiri atau
mengeksekusi benda gadai
Dalam Pasal 1155 KUH Perdata disebutkan bahwa: Apabila
oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, jika si berutang atau
si pemberi gadai wanprestasi, maka si kreditor berhak menjual
barang gadai dengan maksud untuk mengambil pelunasan piutang
pokok, bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.
b. Hak untuk menahan benda gadai
Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata menyatakan:
Dalam hal pemegang gadai tidak menyalahgunakn benda gadai,
maka si berhutang tidak berkuasa untuk menuntut
pengembaliannya, sebelum ia membayar seoenuhnya baik utang
pokok, maupun bunga dan biaya hutangnya yang untuk
menjaminnya barang gadai telah diberikan, beserta segala biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang
gadai.Ketentuan ini memberi wewenang kepada pemegang gadai
untuk menahan benda gadai selama debitor belum melunasi
hutangnya.
c. Hak Kompensasi
Hak ini erat hubungannya dengan hutang kedua sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1159 ayat (2) KUHPerdata apabila guna
melunasi piutang pertama si kreditor telah mengeksekusi benda
gadai, maka dari hasil pendapatan lelang kreditor dapat mengambil
lebih dahulu sejumlah uang yang sama banyaknya dengan piutang
pertama yang dijamin dengan gadai. Jika ada sisa, maka diserahkan
kepada debitor.Apabila sisa tersebut tidak diserahkan kepada
debitor, maka kreditor berhutang kepada debitor. Dalam Pasal 1425
disebutkan bahwa: "Jika dua orang saling berhutang satu kepada
yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan hutang,
dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersabut
dihapuskan." Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pemegang
gadai dapat mengkompensasikan piutangnya yang kedua dengan
hutangnya (sisa penjualan lelang benda gadai) kepada debitor.
d. Hak untuk mendapatkan ganti rugi atas biaya uang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkan benda
Pasal 1157 ayat (2) KUHPerdata menentukan bahwa yang
harus diganti oleh debitor adalah biaya-biaya yang berguna dan
perlu yang telah dikeluarkan guna keselamatan barang gadai.
Selama biaya-biaya itu belum dibayar, maka si kreditor tidak
diwajibkan untuk mengembalikan barang gadai kepada debitor.Di
sini kreditor mempunyai hak retensi juga.
e. Hak untuk menjual dalam kepailitan debitor
Jika debitor pailit, maka kreditor pemegang gadai dapat
melaksanakan hak-haknya, seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Dengan demikian hak kreditor untuk melakukan parate eksekusi
berkurang dengan terjadinya kepailitan debitor. Hak untuk menjual
barang gadai harus dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan
setelah debitor dinyatakan pailit, kecuali jika.tenggang waktu
tersebut diperpanjang oleh hakim.
f. Hak preferensi
Kreditor pemegang gadai rnampunyai hak untuk didahulukan
dalam pelunasan piutangnya daripada krediter-kreditor yang lain.
g. Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai
Pemegang gadai dapat menuntut agar benda gadai akan tetap
pada pemegang gadai untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan
dalam vonnis hingga sebesar hutangnya beserta bunga dan biaya
(Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata).Hal ini berarti bahwa barang
gadai dibeli oleh kreditor dengan harga pantas menurut pendapat
hakim.
h. Hak untuk menjual benda gadai dengan perantaraan hakim
Penjualan benda gadai untuk mengambil pelunasan piutang
dapat juga terjadi jika si berpiutang menuntut di muka hakim
supaya barang gadai dijual menurut cara-cara yang ditentukan oleh
hakim untuk melunasi hutang pokok beserta bunga dan biaya.Hal
ini biasanya terjadi jika benda gadai berupa benda antik.
i. Hak untuk menerima bunga piutang gadai
Hak ini berdasarkan Pasal 1158 KUHPerdata yang
menentukan bahwa: Pemegang gadai dari suatu piutang yang
menghasilkan bunga, berhak menerima bunga itu, dengan
kewajiban memperhitungkan dengan bunga piutang yang harus
dibayarkan kepadanya.
j. Hak untuk menagih piutang gadai
Hak ini dilakukan dengan cara pemberian kuasa yang tidak
dapat dicabut kembali dari pemberi gadai kepada pemegang gadai
untuk menagih dan menerima pembayaran dari debitor yang
hutang-hutangnya digadaikan. Pemberian kuasa ini dicantumkan
dalam perjanjian gadai.
Adapun kewajiban-kewajian dari pemegang gadai adalah
sebagai berikut :
1) Kewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai jika
barang gadai dijual. Pemberitahuan dengan telegraf atau surat
tercatat berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156
ayat (3) KUHPerdata)
2) Kewajiban memelihara benda gadai
Kewajiban memelihara benda gadai ini dapat
disimpulkan dari bunyi Pasal 1157 ayat (1) dan Pasal 1159
ayat (1) KUHPerdata. Dalam Pasal 1157 ayat (1)
KUHPerdata ditentukan bahwa: “Pemegang gadai
bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya barang
gadai, sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya.” Begitu
juga pemegang gadai tidak boleh menyalahgunakan benda
gadai (Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata).
3) Kewajiban untuk memberikan perhitungan antara hasil
penjualan barang gadai dengan besarnya piutang kepada
pemberi gadai.
4) Kewajiban untuk mengembalikan barang gadai
Kewajiban ini dapat diketahui dari bunyi Pasal 1159 ayat (1)
KUHPerdata, yaitu apabila:
a) Kreditor telah menyalahgunakan barang gadai
b) Debitor telah melunasi sepenuhnya, baik utang pokok,
bunga dan biaya hutangnya serta biaya untuk
menyelamatkan barang gadai
5) Kewajiban untuk memperhitungkan hasil penagihan bunga
piutang gadai dengan besarnya bunga piutangnya kepada
debitor.
6) Kewajiban untuk mengembalikan sisa hasil penagihan
piutang gadai kepada pemberi gadai. (Kashadi,2005:20-29).
6. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Hak-hak pemberi gadai:
a. Hak untuk menerima sisa hasil gendapatan penjuatan benda
gadaisetelah dikurangi dengan piutang pokok, bunga dan biaya
dari pemegang gadai.
b. Hak untuk menerima penggantian benda gadai apabila benda
gadai telah hilang dari kekuasaan si pemegang gadai.
Kewajiban-kewajiban pemberi gadai:
a. Demi keselamatan benda gadai dari bencana alam/force
majuerdi dalam praktek sering pemberi gadai diwajibkan
untuk mengasuransikan benda gadai. Kewajiban ini memang
efisien untuk kredit dalam jumlah besar.
b. Apabila yang digadaikan adalah piutang, maka selama piutang
itu digadaikan pemberi gadai tidak boleh melakukan
penagihan atau menerima pembayaran dari debitornya (debitor
piutang gadai). Jika debitor piutang gadai telah membayar
hutaugnya kepada pemberi gadai, maka pembayaran itu tidak
sah dan kewajibannya untuk membayar kepada pemegang
gadai tetap mengikat.(Kashadi,2005:29)
7. Hapusnya Gadai
Hak gadai dapat menjadi hapus karena beberapa alasan:
a. Karena hapusnya perikatan pokok
Hak gadai adalah hak accessoir, maka dengan hapusnya
perikatan pokok membawa serta hapusnya hak gadai.
b. Karena benda gadai keluar dari kekuasaan pemegang gadai
Pasal 1152 ayat (3) KUHPerdata menentukan bahwa: "Hak
gadai hapus apabila barang gadai keluar dari kebiasaan si
pemegang gadai Namun demikian hak gadai tidak menjadi hapus
apabila pemegang gadai kehilangan kekuasaan atas barang gadai
tidak dengan suka rela (karena hilang atau dicuri). Dalam hal ini
jika ia memperoleh kembali barang gadai tersebut, maka hak gadai
dianggap tidak pernah hilang.
c. Karena musnahnya benda gadai
Tidak adanya obyek gadai mengakibatkan tidak adanya hak
kebendaan yang semula membebani benda gadai, yaitu hak gadai.
d. Karena penyalahgunaan benda gadai
Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa:
"Apablila kreditor menyalahgunakan benda gadai, pemberi gadai
berhak menuntut pengembalian benda gadai.”
Dengan dituntutnya kembali benda gadai oleh pemberi gadai
maka hak gada yang dipunyaj pemegang gadai menjadi hapus,
apabila pemegang gadai menyalahgunakan benda gadai.
e. Karena pelaksanaan benda gadai
Dengan dilaksanakannya eksekusi terhadap benda gadai,
maka benda gadai berpindah ke tangan orang lain. Oleh karena itu
maka hak gadai menjadi hapus.
f. Karena kreditor melepaskan benda gadai secara sukarela
Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa: Tak
ada hak gadai apabila barang gadai kembali dalam kekausaan
pemberi gadai.
g. Karena percampuran
Percampuran terjadi apabila piutang yang dijamin dengan hak
gadai dan benda gadai berada dalam tangan satu orang.Dalam hal
ini terjadi percampuran, maka hak gadai menjadi hapus. Orang
tidak mungkin mempunyai hak gadai atas benda miliknya sendiri.
(Satrio,2002:132)
C. Tinjauan Umum Tentang Gadai Syariah 1. Pengertian Gadai Syariah
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn.Ar-rahn
adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai
tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah
atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam
kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan
firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat (38) yaitu :
“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yarg telah
diperbuatnya.Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan
makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata
ini merupakan makna yang bersifat materiil.Karena itu, secara bahasa
kata ar-rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi
sebagai pengikat utang.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas
adalah tetap, kekal, dan jaminan, sedangkan dalam pengertian istilah
adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan
secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah
ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu
barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh
orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang
mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum
perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan
rungguhan.Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam
(syara') adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta
dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan
untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.
(Ali,2008:1-2)
2. Dasar Hukum Gadai Syariah a. Al-Quran
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Ali,2008:5)
b. Hadist Nabi Muhammad Saw
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat
rumusan gadai syariah adalah hadis Nabi Muhammad saw., yang
diungkapkan sebagai berikut:
1) Hadis A'isyah ra, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang
berbunyi: Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim
Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyarm berkata : keduanya
mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin 'Amasy dari
Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasanya
Rasulullah saw membeli makanan dariseorang Yahudi dengan
menggadaikan baju besinya.(HR.Muslim) (Zaki Din,
Al-Mundziri, 2002: 523)
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Syariah Nastonal Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, di
antaranya dikemukakan sebagai berikut:
1) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 25/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn
2) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 26/DSNMUI/III/2002, tentang RahnEmas
3) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 09/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah
4) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No:10/DSNMUI/IV/2000 tentang Wakalah
5) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No:43/DSNMUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.
(Ali,2008:7-8)
3. Rukun Gadai
Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus
memenuhi rukun gadai syariah antara lain:
a. Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, dapat dipercaya, dan
memiliki barang yang digadaikan,
b. Al-Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk
mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
c. Al-Marhun/Rahn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam
mendapatkan utang.
d. Al-Marhun Bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas
dasar besarnya tafsiran marhun.
e. Sighat, Ijab dan Qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan
transaksi gadai.(Sudarsono,2003:160).
4. Syarat Gadai
a. Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian Rahn, yakni rahin dan
murtahin harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu
berakan sehat.
b. Sighat
1. Shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga
dengan suatu waktu dimasa depan.
2. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian
hutang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh
diikat dengan syarat tertentu.
c. Marhun bih (utang)
1. Harus merupakan hak wajib yang diberikan/diserahkan
kepada pemiliknya.
2. Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang
tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
3. Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
d. Marhun (barang jaminan)
Secara umum barang gadai harus memenuhi syarat yaitu:
1. Harus bias diperjual belikan.
2. Harus berupa harta yang bernilai.
3. Mahrun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.
4. Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah
untuk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara
langsung.
5. Harus dimiliki oleh rahin (peminjam/penggadai) setidaknya
harus seizin pemiliknya.
e. Syarat kesempurnaan Rahn(memegang barang)
Secara umum, ulama’ fiqih sepakat bahwa memegang atau
menerima barang adalah syarat rahn, rahn adalah akad yang
membutuhkan qabul, yang otomatis memegang marhun.Murtahin
harus meminta kepada rahin barang yang digadaikan, jika tidak
memintanya atau merelakan barang jaminan ditangan rahin, rahn
menjadi batal.(Syafi’i, 2001:164).
Cara memegang marhun adalah penyerahan marhun secara
nyata atau dengan wasilah yang intinya memberikan keamanan
kepada yang memberikan utang (murtahin). Syarat memegang
marhun adalah:
1) Atas seizin rahin
2) Rahin dan murtahin harus ahli dalam akad
3) Murtahin harus tetap memegang rahin
Orang yang berkuasa. (Syafi’I, 2001: 165)
5. Ketentuan Gadai Dalam Islam a. Kedudukan Barang Gadai
Selama ada ditangan pemegang gadai, kedudukan barang
gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepada
pihak penggadai.
Sebagai pemegang amanat, murtahin (penerima gadai)
berkewajiban memelihara keselamatan barang yang diterimanya,
sesuai dengan keadaan barang. (Hadi,2003:3).