• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN LELANG BARANG JAMINAN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG MAJAPAHIT SEMARANG SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN LELANG BARANG JAMINAN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG MAJAPAHIT SEMARANG SKRIPSI"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN

LELANG BARANG JAMINAN DI PEGADAIAN SYARIAH

CABANG MAJAPAHIT SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh : ILMIANA SOFIA NIM : 214 – 12 – 019

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

F A K U L T A S S Y A R I A H

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2017

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

Musuh yang paling berbahaya di Atas Dunia ini adalah

penakut dan bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah

keberanian dan keyakinan yang teguh

Bermimpilah, karena tuhan akan memeluk mimpimu

(6)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini kepada:

1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak (Mukminan), Ibu (Tri Astuti). Sebagai motivator terbesar dalam hidupku yang tak mengenal lelah dan mendoakan aku serta menyayangiku, terima kasih atas semua pengorbanan, keringat dan kesabaran mengantarkanku sampai kini.

2. Almamaterku

3. Keluarga besar dan Sahabat

(7)

ABSTRAK

Sofia.Ilmiana (2017). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan di Pegadaian Syariah cabang Majapahit Semarang.

Skripsi. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Drs. Mahfudz, M. Ag

Kata Kunci : Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan Pegadaian Syariah

Dengan kebutuhan manusia yang semkain meningkat, banyak lembaga keuangan baik bank maupun non-bankyang memberikan penawaran kemudahan pinjaman dana untuk memenuhi kebutuhan setiap orang baik yang bersifat mendesak atau bersifat komsumtif dengan menggunakan jaminan. Begitu juga dengan Pegadaian Syariah, masyarakat yang ingin mendapatkan pinjaman cukup membawa barang yang masih memiliki nilai, dapat digunakan sebagai jaminan dengan menggunakan sistem gadai. Masyarakat sangat terbantu untuk memenuhi kebutuhan dengan jangka waktu yang telah ditentukan untuk melunasi hutangnya. Tetapi ada sebagian orang yang tidak bisa membayar hutang pada saat jatuh tempo, yang mengakibatkan barang jaminannya dilelang untuk melunasi hutangnya.

Penelitian ini mengacu pada pokok permasalahan Bagaimana Pelaksanaan Lelang barang Jaminan yang dilakukan Pegadaian Syariah Cabang Majapahit Semarang, Bagaimana Menurut Perundang-undangan tentang pelaksanaan Lelang di Pegadaian Syariah Semarang, dan Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Lelang barang jaminan di Pegadaian Syariah Semarang.

Penelitian ini menggunakan metode library research dan field research. Penelitian melalui penelitian pustaka (library research) adalah penelitian yang dilakukan dengan menelaah berbagai macam literature, referensi-referensi, serta buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan ini. Sedangkan penelitian lapangan (field research) adalah penelitian yang dilakukan dengan terjun langsung kelapangan untuk melihat serta mengambil data-data secara langsung.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, bahwa Pelaksanaan lelang barang jaminan di Perum Pegadaian Syariah Cabang Majapahit Semarang debitur atau nasabah tidak memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan atau memperpanjang pinjamannya, maka perum pegadaian berhak menjual barang jaminan dalam pelelangan. Berkaitan dengan pelelangan barang jaminan ini sudah sesuai dengan KUHPerdata Buku 2 bab 20 Pasal 1150 yaitu debitur memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk menggunakan barang jaminan yang telah diserahkan dan digunakan sebagai jaminan untuk melunasi hutangnya apabila pihak yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo/wanprestasi. Pihak pegadaian menggunakan uang hasil lelang tersebut untuk melunasi semua kewajiban nasabah. Menurut tinjauan hukum Islam pelaksanaan pelelangan yang

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena

atas rahmat dan karuninnya-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat

untuk mencapai strata satu Hukum Ekonomi Syariah. Penulis menyadari tanpa

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai dari masa perkuliahan sampai

dalam penyusunannya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan banyak

terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syar’iah IAIN

Salatiga.

3. Ibu Evi Ariyani, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah

IAIN Salatiga.

4. Bapak Nafis Irkhami, M.Ag., M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan untuk selalu melakukan

yang terbaik.

5. Ibu Lutfiana Zahriani, S. H., M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari’ah IAIN

Salatiga.

6. Bapak Drs. Mahfudz, M. Ag selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dukungannya untuk mengarahkan

saya dalam penyusunan skripsi ini.

(9)

7. Pihak Perum Pegadaian Syariah Cabang Majapahit Semarang yang telah

membantu,kepada Bapak Nasokha yang telah berkenan menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan guna menyelesaikan skripsi ini.

8. Keluarga tercinta Ibuk ,bapak, adek-adek yang tak henti-hentinya selalu

mendoakan memberikan semangat.

9. Kepada semua Narasumber yang berkenan memberikan informasi.

10.Terimakasih kepada teman-teman tercinta Rini, Dwi, Tiva, ipay, zaka, eko,

wahyu, lupi, agung,Ilyas serta temen-temen yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu, terimakasih banyak untuk pertemanannya selama ini dan sukses selalu

untuk kalian semua.

11.Seluruh jajaran Academi Institut Agama Islam Negeri Salatiga Fakultas

Syariah yang tidak bisa penulis sebutkan semuannya terimakasih banyak telah

banyak membantu penyusunan skripsi ini.

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah

memberikan Konstribusi dan dukungan yang cukup besar sehingga penulis

dapat menjalani perkuliahan dari awal hingga akhir di Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Salatiga.

Semoga Allah SWTmembalas semua amal kebaikan mereka dengan

balasan yang lebih dari yang mereka berikan dan senantiasa mendapatkan

maghfiroh, dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amin.

(10)
(11)

DAFTAR ISI

COVER ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Penegasan Istilah ... 8

E. Kajian Pustaka ... 9

F. Kerangka Teoritik ... 10

G. Metode Penelitian ... 12

H. Tekhnik Pengumpulan Data………13

I. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KERANGKA TEORITIK A. Barang Jaminan Dalam Prespektif Islam ... 15

1. Pengertian Barang Jaminan………..15

2. Barang-barang Yang Bisa Dijadikan Jaminan……….15

3. Asas-asas Jaminan………17

4. Jaminan Menurut Hukum Islam………...19

5. Fungsi Jaminan……….21

(12)

B. Tinjauan Umum Tentang Gadai ... .22

1. Pengertian Gadai………...23

2. Sifat-sifat Gadai………23

3. Obyek Gadai……….26

4. Terjadinya Gadai………..27

5. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai………..31

6. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai……….36

7. Hapusnya Gadai………...36

C. Tinjauan Umum Tentang Gadai Syariah ... 38

1. Pengertian Gadai Syariah……….39

2. Dasar Hukum Gadai Syariah………40

3. Rukun Gadai……….43

4. Syarat Gadai……….44

5. Ketentuan Gadai Dalam Islam………..45

D. Lelang………..47

6. Lelang Dalam Islam……….54

E. Pegadaian Syariah………...55

1. Pengertian Pegadaian………...55

2. Tujuan Pegadaian……….55

3. Manfaat Pegadaian………...56

4. Jasa Pegadaian Syariah………57

(13)

BAB III GAMBARAN UMUM PEGADAIAN SYARIAH CABANG

F. Tugas Dan TanggungJawab………..67

G. Produk-produk Pegadaian Syariah………71

H. Prosedur Pelelangan Barang Jaminan………73

I. Pelaksanaan Lelang Di Pegadaian Syariah cabang Majapahit Semarang………74

BAB IV PELAKSANAAN LELANG BARANG JAMINAN BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG MAJAPAHIT SEMARANG A. Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan ... 81

B. Analisis Pelaksanaan Pelelangan Barang Jaminan Berdasarkan Perundang-undangan ... 82

C. Analisis Pelaksanaan Pelelangan Barang Jaminan Berdasarkan Hukum Islam ... 85

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 91

B. Saran-saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 96

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

NO LAMPIRAN HALAMAN

1. Surat Bukti Observasi 2. Lembar Konsultasi Skripsi 3. Daftar Nilai SKK

4. Interview Guide 5. Dokumentasi 6. Curriculum Vitae

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa terlepas dari hubungan

dengan manusia lain. Islam juga mengajarkan agar hidup bermasyarakat

dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan dari praktek-praktek

penindasan dan pemerasan. Tolong-menolong merupakan salah satu prinsip

dalam bermuamalah.Bentuk tolong-menolong ini bisa berupa pemberian

ataupun pinjaman.

Tolong-menolong dalam bentuk pinjaman, hukum Islam

mengajarkan agar kepentingan kreditur jangan sampai dirugikan.Oleh

karena itu, harus ada jaminan barang dari debitur atas pinjaman yang

diberikan oleh kreditur. Sehingga apabila debitur tidak mampu melunasi

pinjamannya, barang jaminan itu dapat dijual sebagai penebus

jaminan.Konsep inilah dalam fiqh Islam dikenal dengan istilah rahn atau

gadai.

Gadai adalah suatu barang yang dijadikan jaminan kepercayaan

dalam utang-piutang.Barang itu boleh dijual apabila hutang tersebut tidak

dapat dibayar, karena penjualan itulah harus dengan keadilan.Gadai

merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang yang mana

untuk kepercayaan dari orang yang berpiutang. orang yang berhutang

menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu.Barang

(16)

jaminan tetap milik orang yang menggadaikan tetapi dikuasai oleh penerima

gadai. namun dalam kenyataannya bahwa gadai saat ini dalam prakteknya,

menunjukkan adanya beberapa hal yang tidak sesuai aturan syariah Islam

atau dengan keadilan yang mengarah pada suatu persoalan riba.

(Hakim,2012:121)

Lembaga pegadaian melaksanakan kegiatan usaha penyaluran uang

pinjaman atas dasar hukum gadai.Nasabah/ pinjaman ada kalanya tidak

memenuhi kewajibannya sesuai waktu yang disepakati. Setelah melalui

peringatan terlebih dahulu, dan tidak melakukan perpanjangan, maka

lembaga pegadaian mempunyai hak untuk mengambil pelunasan piutangnya

dengan cara melelang barang jaminan gadai yang dibawah kekuasaannya.

Jual beli secara umun adalah suatu perjanjian, dengan perjanjian itu

kedua belah pihak mengatakan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas

suatu barang dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan.

Perdagangan atau jual beli dapat dilakukan dengan langsung dan dapat

dengan lelang.Cara jual beli dengan sistem lelang dalam fiqh disebut

muzayyadah.

Barang yang akan digadaikan terlebih dahulu dinilai dengan cara

untuk barang gudang yaitu barang gadai selain emas dan permata, dinilai

dengan melihat harga pasar setempat barang gadai tersebut, menentukan

presentase penaksiran dan dilanjutkan perhitungan pemberian pinjaman

berdasarkan golongannya. Untuk barang berupa emas, dinilai dengan

melihat harga pasar pusat dan standar taksiran logam, melakukan pengujian

(17)

karatase dan mengukur beratnya, menentukan presentase penaksiran, dan

dilanjutkan perhitungan pemberi pinjaman berdasarkan golongan. (Usman,

2008:129)

Penaksiran hanya boleh dilakukan oleh pejabat penaksir yang

ditunjuk dan dididik khusus untuk tugas itu. Harga pasar pusat adalah harga

yang ditetapkan oleh pegadaian pusat, sedangkan taksiran logam dan standar

taksiran permata adalah patokan harga yang ditetapkan oleh pegadaian

pusat. Apabila barang gadai tidak ditebus dalam tempo yang telah

ditentukan, maka barang gadai tersebut akan dijual lelang pada waktu yang

ditetapkan oleh pegadaian. Sebelum pelelangan dilakukan, pegadaian

mengumumkan kepada masyarakat bahwa lelang akan dilakukan dan

pembeli yang berhak, yaitu yang menawar dua kali tetapi tidak disambut

dengan tawaran yang lebih tinggi oleh penawar lain. (Usman, 2008:131)

Lelang masa kini tidak hanya terjadi pada lembaga informal saja,

lembaga formal juga banyak yang melaksanakan proses lelang. Khususnya

lembaga yang mempunyai produk gadai seperti lembaga keuangan yaitu

pegadaian syariah.Aktivitas gadai sekarang ini, sedah berbeda dengan jaman

Rasulullah SAW. Sebab sekarang ini aktivitas gadai sudah tidak lagi bersifat

perorangan, namun sudah berupa lembaga keuangan formal yang telah

diakui oleh pemerintah.Mengenai fungsi lembaga pegadaian tersebut tentu

sudah sangat jauh bebeda, yaitu bukan lagi bersifat sosial, namun lebih

bersifat komersial. Pada suatu kenyataan, bahwa dengan fungsi gadai

tersebut tentu akan berakibat pula pada perubahan sistem operasionalnya.

(18)

Artinya dalam aktivitas lembaga tersebut harus memperoleh pendapatan

guna mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkannya. Untuk menutupi

biaya-biaya yang telah dikeluarkan, maka lembaga tersebut mewajibkan

menambahkan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang

pada waktu membayar utang kepada pegadai sebagai imbalan jasa.Hal ini

lebih lazim disebut dengan “bunga gadai”. Praktek semacam ini jelas akan

sangat memberatkan dan merugikan pihak pegadai. sebab pembayaran

bunga gadai tersebut harus dilakukan setiap 15 hari sekali, dan jika terjadi

keterlambatan satu hari bunga tersebut akan naik menjadi dua kali lipat.

(Hadi, 2003:31)

Implementasi operasi pegadaian syaiah hampir mirip dengan

pegadaian konvensional. Perbedaan mendasar antara pegadaian

konvensional dengan pegadaian syariah terletak pada pengenaan

biaya.Pegadaian konvensional, biaya adalah bunga yang bersifat akumulatif

dan berlipat ganda.Namun pada pegadaian syariah, biaya ditetapkan sekali

dan dibayarkan dimuka yang ditujukan untuk penitipan, pemeliharaan,

penjagaan dan penaksiran. Seperti halnya pegadaian konvensional,

pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan benda

bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat

sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang

sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang relatif

tidak lama. Begitupun untuk melunai pinjaman, nasabah cukup dengan

menyerahkan sejumlah uang dan suratrahnsaja dengan proses yang sangat

(19)

singkat. Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn ialah

menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai

tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu

seluruh atau sebagian uang dapat diterima. (Suhendi, 2010:105)

Pegadaian dalam memberikan pinjaman harus ada barang jaminan

(marhun) dari debitur. Apabila debitur tidak dapat melunasi pinjamannya,

maka kreditur dalam hal ini Pegadaian Syariah berhak melelang barang

jaminan (marhun) dari debitur. Pada kenyataannya, tidak semua barang

jaminan ditebus oleh debitur. Barang yang tidak ditebus oleh debitur

kemudian dilelang pegadaian. Pengelolaannyapun tidak terlepas dengan

permasalahan seperti kesulitan mencari nasabah yang mempunyai barang

jaminan yang akan dilelang, barang yang tidak laku karena penawaran lebih

rendah dari pinjaman maupun barang dengan taksiran terlalu tinggi.

Hukum jual beli lelang dalam pandangan Islam adalah salah satu

jenis jual beli dimana penjual menawarkan barang ditengah keramaian lalu

para pembeli saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual

akan menentukan yang berhak membeli adalah yang mengajukan harga

tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari

penjual.Dalam kitab fiqh, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah

ba’i al-muzzayadah. Lelang adalah salah satu jenis jual beli dimana pembeli

menawarkan barang ditengah keramaian lalu para pembeli saling menawar

dengan harga tinggi sampai pada batas harga tertinggi dari satu pembeli, lalu

terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.

(20)

(http://wwwRrafiqatulHanniah.blogspot.com/html) (diakses pada tanggal 25

Desember 2016)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diajukan

rumusanpokok masalah yang dijadikan fokus pembahasan dalam penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana Pelaksanaan Lelang barang Jaminan yang dilakukan

Pegadaian Syariah Cabang Majapahit Semarang?

2. Bagaimana Tinjauan Perundang-undangan tentang pelaksanaan

Lelang di Pegadaian Syariah Semarang?

3. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Lelang

barang jaminan di Pegadaian Syariah Semarang?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Obyektif

1) Untuk mengetahui tentang pelaksanaan gadai yang dilakukan oleh

Pegadaian Syariah cabang Majapahit Semarang

2) Untuk mengetahui apakah pelaksanaan lelang barang jaminan

sudah memenuhi ketentuan berdasarkan perundang-undangan

yang berlaku

3) Untuk mengetahui tinjauan hukum islam terhadap lelang barang

jaminan di pegadaian syariah semarang

(21)

b. Tujuan Subyektif

Untuk membangkan dan memperdalam pengetahuan penulis

di bidng hukum ekonomi syariah dan guna memenuhi persyaratan

akademis dalam bidang muamalah atau hukum ekonomi syariah di

Fakultas Syariah IAIN Salatiga.

2. Kegunaan Penelitian

a. Bagi Penulis, hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan

yang luas dan mendalam mengenai tinjauan hukum islam terhadap

lelang barang jaminan di pegadaian syariah semarang.

b. Bagi Perusahaan, membantu memudahkan pihak–pihak terkait

secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya pelaksanaan

lelang barang jaminan.

c. Bagi Akademisi, adalah untuk memberikan acuan referensi dan saran

pemikiran bagi kalangan akademisi untuk menunjang perkembangan

penulisan selanjutnya.

d. Bagi Masyarakat, hasil penelitianini diharapkan dapat menambah

khazanah ilmu pengetahuan yang lebih mendalam tentang dunia

pegadaian syariah.

D. Penegasan Istilah

Agar lebih memperjelas maksud dari judul tersebut dan untuk

menghindari penafsiran keliru dalam memahami tulisan ini, maka penulis

mengemukakan Penegasan Istilah sebagai berikut:

(22)

1. Lelang adalah penjualan barang dihadapan banyak orang dengan tawarmenawar, tawaran tertinggi adalah pemenang. Lelang yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah penawaran atau penjualan barang

jaminan melalui penawaran harga taksiran yang dilaksanakan dengan

system lelang tertutup. (Sianturi, 2013: 51)

2. Barang jaminan adalah asset pihak peminjam yang dijanjikan kepada pemberi pinjaman jika peminjam tersebut tidak dapat mengembalikan

pinjaman tersebut. (Usman, 2008: 66)

3. Gadai adalah Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan

kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin

suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk

mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada

kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang

tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu,

biaya-biaya mana harus didahulukan. (Kashadi, 2003: 13)

4. Gadai Syariah adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah

atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam

kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. (Ali, 2008: 1)

5. Pegadaian syariah adalah produk jasa berupa pemberian pinjaman menggunakan system gadai dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip

(23)

syariat islam, yaitu antara lain tidak menentuan tarif jasa dari besarnya

uang pinjaman. (Puspitasari, 2011: 6)

E. TelaahPustaka

Dari beberapa penelitian dan pembahasan terdahulu yang telah

ditelusuri oleh penulis, ternyata tidak ditemukan apa yang dibahas dan diteliti

oleh penulis. Akan tetapi dari beberapa penelitian terdahulu penulis

menemukan hal-hal yang ada kaitannya dengan lelang dengan objek

penelitian yang berbeda, antara lain skripsi karya Elvira Suzana Ekaputri

yang berjudul “Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan Gadai Pada PERUM

Pegadaian Cabang Depok ” penelitian ini membahas bagaimana praktek

pelaksanaan lelang barang jaminan gadai di perum pegadaian.

(http//lib.ui.ac.id, diakses pada tanggal 17 november 2016).

Kemudian skripsi karya sri suspa hotmaidah sarumpaet yang berjudul

“ presepsi masyarakat terhadap proses lelang barang jaminan pada perum

pegadaian syariah cabang setia budi medan” penelitian ini membahas

pelelangan barang jaminan dilakukan dengan system penjulan.

(http//repository.usu.ac.id, diakses pada tanggal 17 november 2016)

Buku yang berjudul “Hukum Gadai Syariah” karya Prof.Dr. H.

Zainuddin Ali, M.A.Membahas mengenai gadai yang didalamnya membahas

tentang gadai secara syariah. Yang memuat subab pengertian gadai dan

Al-Qardh, Dasar hukum gadai syariah, Sejarah pegadaian secara umum dan

khusus. (Ali:1-9)

(24)

Buku karya Dr. Purnama Trioria Sianturi, SH., M. Hum.Yang berjudul

“Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak

Melalui Lelang” yang didalammya membahas mengenai Karakter Jual Beli

Melalui Lelang. (Sianturi,2013:25)

Kemudian buku karya Tim Laskar Pelangi yang berjudul “Metodologi

Fikih Muamalah” yang di dalamnya membahas Jaminan atau Dlaman. (Tim

Laskar Pelangi, 2013:170-171)

F. Kerangka Teoritik

Transaksi hukum gadai dalam fikih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn

adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan

utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam,

yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang

berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT sebagai

berikut (Ali:1):











38. tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, QS.

Al-Muddatsir (74) ayat 38

Pegadaian adalah badan usaha milik Negara (BUMN) yang memiliki

usaha utama di bidang jasa penyaluran kredit kepada masyarakat atas dasar

hukum gadai. Pegadaian merupakan salah satu badan usaha yang dimiliki

oleh Negara, tetapi berstatus perusahaan umum (perum). (Puspitasari,2011:6)

(25)

Selama ini, pelaksanaan usaha gadai syariah yang dilakukan

PT.Pegadaian (Persero) berdasarkan pada peraturan perundang-undangan

yang mengaturnya, serta sejumlah fatwa DSN yang menjadi pedoman

operasional usaha gadai syariah.Selain itu, juga terdapat beberapa aturan yang

secara tidak langsung mengatur pegadaian Syariah. Uraian dibawah berupaya

menjelaskan tentang aturan-aturan dan fatwa-fatwa dimaksud ditinjau dari

hirerarki perundang-undangan, sehingga terlihat peraturan apa yang mestinya

ada untuk mengembangkan Pegdaian Syariah ke depan. (Mulazid,2012:107)

Dalam kontek utang-piutang (ad-duyun), terminologidlaman adalah,

kontrak kesanggupan menjamin atas hak yang telah menjadi tanggungan

orang lain. Dalam konteks barang-barang yang harus dikembalikan secara

fisik oleh seseorang (al-a’yan al-madlmunah), (radd) barang-barang

madlmunah.Sedangkan dalam konteks orang (al-badan), terminologidlaman

adalah, kontrak kesanggupan menjamin kehadiran (ihdlar) orang yang terlibat

dalam kasus hukum.

Dari definisi ini bias dimengerti bahwa, dalam terminologidlaman

terdapat tiga obyek dlaman yang berbeda, yakni :Hutang (dlaman), Barang

(dlaman’ain), dan Orang (dlaman badan). Pihak yang memberikan

kesanggupan jaminan, disebut dlamin, dlamin, hamil, za’im, kafil, kafil,

shabir, atau qabil.Hanya saja, istilah dlamin lazim digunakan dalam konteks

dlaman dengan obyek berupa dain dan‘ain (dlaman al-mal).Sedangkan dalam

konteks dlaman berupa orang, lazim digunakan istilah kafil. (Tim Laskar

Pelangi,2013:170-171)

(26)

Lelang adalah menawarkan (menjual) barang yang di hadapan orang

banyak untuk mendapatkan harga penawaran yang terbaik (tertinggi).Jadi

lelang yang diselenggarakan oleh kantor/balai lelang adalah suatu upaya

untuk mendapatkan nilai (harga) tertinggi dari harga yang

ditawarkan.Bilatidak ada penawaran berikutnya yang melibihi dari nilai

penawaran sebelumnya, maka penawaran sebelumnya dianggap memiliki

nilai penawaran tertinggi, sehingga nilai penawaran tersebut yang menjadi

pemenang lelang. (Prasetyo,2009:76)

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yaitu peneliti

melakukan penelitian secara langsung dengan melakukan pendekatan

dengan narasumber.

2. Kehadiran Peneliti

Peniliti terjun langsung sehingga terjadi keakraban antara peneliti

dan narasumbr sehingga memudahkan peneliti untuk memperoleh data.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Pegadaian Syariah Semarang yang

beralamat di Jl. Majapahit No. 420 Semarang

4. Sumber Data

Dalam Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan

sekunder.Adapun sumber data primer yaitu peneliti memperoleh sumber

data informasi yang dikumpulkan langsung dari sumbernya.Sedangkan

(27)

sumber data sekunder diperoleh dari literatur, buku-buku dan

dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini.

5. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara

Dengan metode ini dapat diperoleh data tentang lelang barang

jaminan, metode ini ditujukan kepada pimpinan pegadaian syariah

semarang dan ulama yang dalam bidangnya.

b. Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah cara pengumplan data yang bersumber

pada dokumen. Metode ini digunakan untuk mendapatkan data

berupa foto atau dokumen yang terkait dengan tentang lelang barang

jaminan.

c. Observasi

Metode observasi adalah cara pengumpulan data dengan cara

mengamati langsung obyek yang diteliti.

6. Teknik Analisis Data

Metode analisis data dari data kualitatif hasil penelitian pertama

akan diperoleh hasil yang menjadi evaluasi pelaksanaan pembelajaran

dan digunakan untuk meningkatkan keaktifan pembelajaran selanjutnya,

sehingga dapat dikatakan bahwa teknik analisis yang digunakan yaitu

analisis kualitatif.

(28)

H. Sistematika Penulisan

Sebagai gambaran-gambaran umum dalam skripsi ini, penulis akan

paparkan sekilas tentang sistematika penulisan dalam skripsi ini dengan

menggunakan system sebagai berikut :

Bab I: Merupakan Bab pendahuluan yang menguraikan gambaran

singkat dari penelitian ini, Bab I ini terdiri dari latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah

pustaka,dan sistematika penulisan.

Bab II: merupakan bab pembahasan teoritik yang didalamnya akan

diuraikan mengenai gambaran umum tentang Barang jaminan, lelang dan

gambaran umum tentang pegadaian syariah.

Bab III: Pada Bab ini akan di paparkan mengenai gambaran umum

tentang lokasi penelitian dan paparan data mengenai pelaksanaan lelang

terhadap barang jaminan.

Bab IV: Pada Bab ini akan diuraikan mengenai analisis Pelaksanaan

lelang barang jaminan di pegadaian syariah.

Bab V: Merupakan Bab penutup yang berisi kesimpulan dari

pembahasan penelitian dan saran penulis.

(29)

BAB II

KERANGKA TEORITIK

A. Barang Jaminan Dalam Perspektif Islam 1. Pengertian Barang Jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu

Zekerheid atau Cautie yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau

melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara

menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagaimana tanggungan

atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.

Istilah jaminan dibedakan dengan istilah agunan. Arti jaminan menurut

UU Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah “agunan” atau “tanggungan”

sedangkan” jaminan” menurut UU Nomor 10 tahun 1998, yaitu

keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur

untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan sesuai yang

diperjanjikan. (Usman,2008:66).

2. Barang-barang yang bisa dijadikan jaminan

a. Jenis barang jaminan dilihat dari obyek yang dibiayai

1) Jaminan Pokok

Jaminan pokok adalah barang atau obyek yang dibiayai dengan

kredit

2) Jaminan Tambahan

(30)

Jaminan tambahan adalah barang yang dijadikan jaminan untuk

menambah jaminan pokok.

b. Jenis barang jaminan dilihat dari wujud barang

1) Jaminan Berwujud

Jaminan berwujud adalah jaminan tersebut dapat dilihat dan

diraba.

2) Jaminan Tidak Berwujud

Jaminan tidak berwujud adalah jaminan yang bentuknya hanya

komitmen atau janji saja.Walaupun hanya komitmen atau janji

saja, hal tersebut harus didokumentasikan kedalam tulisan

sehingga, dapat diadministrasikan dengan baik.

c. Jenis barang jaminan dilihat dari pergerakannya

1) Barang Bergerak

Barang jaminan yang bergerak artinya barang tersebut mudah

dipindah tempat dari tempat satu ke tempat lainnya.

2) Barang Tidak Bergerak

Barang jaminan yang tidak bergerak adalah jaminan yang tidak

dapat dipindah dari satu tempat ke tempat yamg lain.

d. Jenis barang jaminan dilihat dari mudah tidaknya barang diawasi

1) Barang yang tidak mudah dikontrol

Barang yang tidak mudah dikontrol adalah barang jaminan yang

sulit diawasi oleh Bank, karena pergerakannya sangat cepat.

(31)

2) Barang yang mudah dikontrol

Barang jaminan yang mudah dikontrol adalah barang

jaminan yang tidak dapat bergerak.

(http://arsipbisnis.wordpress .com/html (Diakses, 24 November

2016)

3. Asas-asas Jaminan a. Asas Jaminan hutang

Undang-undang telah mengatur mengenai hal-hal yang

berhubungan dengan jaminan bagi pemberian utang oleh kreditur

kepada debitur. Terdapat dua asas umum mengenai jaminan:

1) Pasal 1131 KUHPerdata, pasal tersebut menentukan bahwa segala

harta kekayaan debitur, baik yang berupa benda bergerak maupun

benda tetap, baik yang sudah ada ataupun yang akan ada

dikemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan yang

dibuat oleh debitur dengan para krediturnya. Dengan kata lain

pasal 1311 KUHPerdata member ketentuan bahwa apabila debitur

wanprestasi, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan

debitur tanpa kecuali, merupakan sumber pelunasan bagi

hutangnya

2) Asas yang kedua pasal 1132 KUHPerdata, bahwa kekayaan

debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua pihak

yang memberikan hutang kepada debitur, sehingga apabila

kreditur wanprestasi, maka hasil penjualan atas harta kekayaan

(32)

debitur dibagikan secara proporsional menurut besarnya piutang

masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara para kreditur

tersebut terdapat alasan-alasan yang yang sah untuk didahulukan

dari kreditur-kreditur lain.

b. Asas-asas mengenai hak jaminan

1) Asas territorial, menentukan barang jaminan yang adadi Indonesia

hanya dapat jaminan hutang sejauh perjanjian hutang maupun

pengikatan hipotik tersebut dibuat di Indonesia.

2) Asas aksesoir, bahwa suatu perjanjian ada apabila terdapat

perjanjian pokoknya.

3) Asas hak preferensi bahwa oihak kreditur kepada siapa debitur

telah menjamin hutangnya pada umumnya mempunyai hak atas

jaminan kredit tersebut untuk pelunasan hutangnya yang harus

didahulukan dari kreditur lainnya.

4) Asas non distribusi, bahwa suatu hak jaminan tidak dapat

dipecah-pecah kepada beberapa kreditur.

5) Asas publisitas, bahwa suatu jaminan hutang harus dipublikasikan

sehingga diketahui umum.

6) Asas eksistensi benda, bahwa suatu hipotik atau hak tanggungan

hanya dapat diletakkan pada benda yang benar-benar ada.

7) Asas eksistensi perjanjian pokok, bahwa benda jaminan dapat

diikat setelah adanya perjanjian pokok.

(33)

8) Asas larangan janji benda jaminan dimiliki untuk sendiri kreditur

dilarang untuk memiliki benda jaminan untuk diri sendiri.

4. Jaminan Menurut Hukum Islam a) Dasar Hukum

Dalil yang mendasari legislasi akad dlaman adalah Al-Quran, Hadist,

dan Ijma’.































Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".(Q.S. Al-Yusuf 72)











Tanyakanlah kepada mereka: "Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?".(Q.S. Al-Qolam :40) (Tim laskar pelangi,2013:170)

b) Definisi

Secara etimologis, dlaman adalah kesanggupan.Sedangkan

terminologi dlaman memiliki beberapa konteks. Dalam konteks

utang-piutang (ad-duyun) terminologi dlaman adalah, sebuah kontrak

kesanggupan menjamin atas hak yang telah menjadi tanggungan orang

lain. Dalam konteks barang-barang yang harus dikembalikan secara

fisik oleh seseorang (al-a’yan al-madlmunah), terminologi dlaman

adalah, kontrak kesanggupan menjamin pengembalian (radd)

barang-barang madlmunah. (Tim laskar pelangi,2013:170)

(34)

c) Struktur Akad

Secara akad dlaman dalam konteks menjamin hutang (dain),

terdiri dari lima rukun. Yaitu dlamin, madlmun lah, madlmun ‘anhu,

madlmun bih, dan shigah.

1. Dlamin

Yaitu pihak yang menyanggupi penjaminan hutang madlmun

‘anhu.

2. Madlmun Lah

Yaitu pemilik piutang dalam tanggungan mudlmun ‘anhu, dan

mendapat jaminan dari dlamin.

3. Madlmun ‘Anhu

Yaitu pihak yang memiliki hutang pada madlmun lah, dan

dijaminkan hutangnya oleh pihak dlamin.

4. Madlmun Bih

Yaitu hutang madlmun ‘anhu kepada madlmun lah, yang menjadi

obyek akad dlaman.

5. Shighat

Shighat atau bahasa transaksi dalam akad dlaman meliputi ijab

dan qabul yang menunjukan makna kesanggupan atau komitmen

(iltizam), baik secara eksplisit (sharih) atau implisit (kinayah).

(Tim laskar pelangi,2013:171-174)

(35)

d) Konsekuensi Hukum Akad Dlaman

Setelah akad dlaman terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya,

selanjutnya akan menetapkan konsekuensi hukum, sebagai berikut:

1) Bagi madlmun lah berhak menagih piutangnya kepada dua

pihak, dlamin dan madlmun ‘anhu.

2) Apabila pihak madlmun ‘anhu telah melakukan pembayaran

hutangnya kepada pihak madlmun lah, maka tanggungannya

menjadi terbebas, demikian juga tanggungan dlamin.

3) Apabila madlmun lah membebaskan piutangnya dari

tanggungan madlmun ‘anhu, maka tanggungan dlamin juga

turut bebas, sesuai kaidah, at-tabi’ tabi’.

4) Apabila salah satu dari dlamin dan madlmun ‘anhu mati, maka

hutangnya yang mu’ajjal berubah menjadi hal, sebab kematian

menjadikan tanggungan yang bersifat kredit menjadi cash

(jatuh tempo). (Tim laskar pelangi, 2013:174-178)

5. Fungsi Jaminan

Jaminan memiliki fungsi antara lain:

a. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk

membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan

usaha atau prokyeknya dengan merugikan dirinya sendiri atau

perusahaannya dapat dicegah.

(36)

b. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya,

khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan

syarat-syarat yang disetujui agar debitur dan pihak ketiga yang ikut

menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada

bank.

c. Memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak lembaga

keuangan bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara

mengeksekusi jaminan kredit.

d. Memberikan hak dan kekuasaan kepada lembaga keuangan untuk

mendapatkan pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan

cidera janji yaitu untuk pengembalian dana yang dikeluarkan oleh

debitur pada waktu yang telah ditentukan. (Ali, 2008:1)

B. Tinjauan Umum Tentang Gadai 1. Pengertian Gadai

Gadai ini diatur dalam Buku II Titel 20 Pasal 1150 sampai

dengan Pasal 1161 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1150 KUHPerdata pengertian dari gadai adalah:

Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak

yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh

debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang,

dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk

mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada

kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang

(37)

barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara

benda itu, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Dari definisi gadai tersebut terkandung adanya beberapa unsur

pokok, yaitu :

a. Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas barang

gadai kepada kreditor pemegang gadai

b. Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitor atau orang lain atas

nama debitor

c. Barang yang menjadi obyek gadai hanya barang bergerak, baik

bertubuh maupun tidak bertubuh

d. Kreditor pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari

barang gadai lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.

(Kashadi,2003:13)

2. Sifat-sifat Gadai

a. Gadai adalah hak kebendaan

Dalam Pasal 1150 KUHPerdata tidak disebutkan sifat ini,

namun demikian sifat kebendaan ini dapat diketahui dari Pasal

1152 ayat (3) KUHPerdata yang mengatakan bahwa : “Pemegang

gadai mempunyai hak revindikasi dari Pasal 1977 ayat (2)

KUHPerdata apabila barang gadai hilang atau dicuri.” Oleh karena

hak gadai mengandung hak revindikasi, maka hak gadai merupakan

hak kebendaan sebab revindikasi merupakan ciri khas dari hak

kebendaan.Hak kebendaan dari hak gadai bukanlah hak untuk

(38)

menikmati suatu benda seperti eigendom, hak bezit, hak pakai dan

sebagainya.Memang benda gadai harus diserahkan kepada kreditor

tetapi tidak untuk dinikmati, melainkan untuk menjamin

piutangnya dengan mengambil, penggantian dari benda tersebut

guna membayar piutangnya.

b. Hak gadai bersifat accessoir

Hak gadai hanya merupakan tambahan saja dari perjanjian

pkoknya, yang berupa perjanjian pinjam uang. Sehingga

bolehdikatakan bahwa seseorang akan mempunyai hak gadai

apabila ia mempunyai piutang, dan tidak mungkin seseorang dapat

mempunyai hak gadai tanpa mempunyai piutang. Jadi hak gadai

merupakan hak tambahan atau accessoir, yang ada dan tidaknya

tergantung dari ada dan tidaknya piutang yang merupakan

perjanjian pokoknya.

Dengan demikian hak gadai akan hapus jika perjanjian

pokoknya hapus. Beralihnaya piutang membawa serta beralihnya

hak gadai,hak gadai berpindah kepada orang lain bersama-sama

dengan piutang yang dijamin dengan hak gadai tersebut, sehingga

hak gadai tidak mampunyai kedudukan yang berdiri sendiri

melainkan accessoir terhadap perjanjian pokoknya.

c. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi

Karena hak gadai tidak dapat dibagi-bagi, maka dengan

dibayarnya sebagian hutang tidak akan membebaskan sebagian dari

(39)

benda gadai. Hak gadai tetap membebani benda gadai secara

keseluruhan. Dalam Pasal 1160 KUHPerdata disebutkan

bahwa :“Tak dapatnya hak gadai dan bagi-bagi dalam hal kreditor,

atau debitur meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa ahli

waris.” Ketentuan ini tidak merupakan ketentuan hukum memaksa,

sehingga para pihak dapat menentukan sebaliknya atau dengan

perkataan lain sifat tidak dapat dibagi-bagi dalam gadai ini dapat

disimpangi apabila telah diperjanjikan lebih dahuIu oleh para

pihak.

d. Hak gadai adalah hak yang didahulukan

Hak gadai adalah hak yang didahulukan.Ini dapat diketahui

dari ketentuan Pasal 1133 dan 1150 KUHPerdata.Karena piutang

dengan hak gadai mempunyai hak untuk didahulukan daripada

piutang-piutang lainnya, maka kreditor pemegang gadai

mempunyai hak mendahulu (droit de preference).

e. Benda yang menjadi obyek gadai adalah benda bergerak baik yang

bertubuh maupun tidak bertubuh

f. Hak gadai adalah hak yang kuat dan mudah penyitaannya

Menurut Pasat 1134 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa:

"Hak gadai dan hipotik lebih diutamakan daripada privilege,

kecuali jika undang-undang menentukan sebaliknya". Dari bunyi

pasal tersebut jelas bahwa hak gadai mempunyai kedudukan yang

kuat.Di samping itu kreditor pemegang gadai adalah termasuk

(40)

kreditor separatis.Selaku separatis, pemegang gadai tidak

terpengaruh oleh adanya kepailitan si debitor. Kemudian apabila si

debitor wanprestasi, pemegang gadai dapat dengan mudah menjual

benda gadai tanpa memerlukan perantaraan hakim, asalkan

penjualan benda gadai dilakukan di muka umum dengan lelang dan

menurut kebiasaan setempat dan harus memberitahukan secara

tertulis lebih dahulu akan maksud-maksud yang akan dilakukan

oleh pemegang gadai apabila tidak ditebus (Pasal 1155 juncto 1158

ayat (2) KUHPerdata)

. Jadi di sini acara penyitaan Iewat juru sita dengan

ketentuan-ketentuan menurut Hukum Acara Perdata.tidak berlaku

bagi gadai. (Kashadi,2005:13-17)

3. Obyek Gadai

Obyek gadai adalah segala benda bergerak, baik yang

bertubuh maupun tidak bertubuh. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal

1150 juncties 1153 ayat (1), 1152 bis, dan 1153 KUHPerdata. Namun

benda bergerak yang tidak dapat dipindahtangankan tidak dapat

digadaikan.

Dalam Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata disebutkan tentang

hak gadai atas surrat-surat bawa dan seterusnya, demikian juga dalam

Pasal 1153 bis KUHPerdata dikatakan bahwa untuk meletakkan hak

gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan endosemen dan penyerahan

suratnya. Penyebutan untuk surat-surat ini dapat menimbulkan kesan

(41)

yang keliru mengenai obyek gadai adalah piutang-piutng dibuktilan

dengan surat-surat tersebut. (Kashadi,2005:17)

4. Terjadinya Gadai

Untuk terjadinya gadai harus dipenuhi persyaratan-persyaratan

yang ditentukan sesuai dengan jenis benda yang digadaikan Adapun

cara-cara terjadinya gadai adalah sebagai berikut:

a. Cara terjadinya gadai pada benda bergerak bertubuh

1) Perjanjian Gadai

Dalam hal ini antara debitor dengan kreditor mengadakan

perjanjian pinjam uang (kredit) dangan janji sanggup memberikan

benda bergerak sebagai jaminan gadai atau perjanjian untuk

memberikan hak gadai (perjanjian gadai). Perjanjian ini bersifat

konsensual dan obligatoir.

Dalam Pasal 1151 KUHPerdata disebutkan bahwa: Perjanjian

gadai dapat dibuktikan dengan segala atat yang dlperbolehkan

bagi pembuktian perjanjian pokok.

Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa bentuk perjanjian

gadai tidak terikat pada formalitas tertentu (bentuknya bebas),

sehingga dapat dibuat secara tertulis maupun lisan.

(Wijaya,2005:74-75)

2) Penyerahan benda Gadai

Dalam Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata disebutkan : Tidak

ada hak gadai atas benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan

(42)

debitor atas kemauan kreditor. Dengan demikian hak gadai terjadi

dengan dibawanya barang gadai ke luar dari kekuasaan di debitor

pemberi gadai.Syarat bahwa barang gadai harus dibawa keluar

dari kekuasaan si pamberi gadai ini merupakan syarat

inbezitstelling" Inbezitstelling adalah syarat mutlak yang harus

dipenuhi dalam gadai. Barang dikatakan dibawa ke luar dan

kekuasaan pemberi gadai jika barang gadai diserahkan oleh

pemberi gadai kepada kreditor atau pihak ketiga (sebagai

pemegang gadai) yang disetujui oleh kreditor.

Mengingat benda gadai harus dibawa keluar dari

kekuasaaan pemberi gadai maka diperlukan suatu

penyarahan.Penyerahan benda gadai dapat dilakukan secara

nyata, simbolis, traditto brevt manuataupun traditio longa

manu.Panyerahan secara constitutum possessoriumtidak

menimbulkan hak gadai karena tidak memenuhi syarat

inbezitstelling.

b. Cara terjadinya gadai pada piutang atas bawa (atas tunjuk atau

aantoonder)

1) Perjanjian Gadai

Antara debitor dengan kreditor dibuat perjanjian untuk

mamberikan hak gadai.Perjanjian ini bersifat konsensual,

obligator dan bentuknya bebas.

2) Penyerahan Surat Bukti

(43)

Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata mengatakan bahwa :

“Gadai surat atas bawa terjadi, dengan menyerahkan surat itu ke

dalam tangan pemegang gadai atau pihak ketiga yang disetujui

kedua belah pihak.” Perlu diketahui bahwa piutang atas bawa

(atas tunjuk) selalu ada surat buktinya, surat bukti ini mewakili

piutang.

Surat (piutang) atas bawa (atas tunjuk) adalah surat yang dibuat

debitor, dimana diterangkan bahwa ia berhutang sejumlah uang

tertentu kepada pemegang surat, surat mana diserahkannya ke

dalam tangan pemegang. Pemegang berhak menagih pembayaran

dari debitor, dengan mengembalikan surat atas bawa itu kepada

debitor. (Badrulzaman: 97)

c. Cara terjadinya gadai pada piutang atas order (aanorder)

1) Perjanjian Gadai

Antara kreditor dan dabitor membuat perjanjian gadai yang

bersifat konsensual, obligator dan bentuknya bebas.

2) Adanya andosemen yang diikuti dengan penyerahan suratnya

Pasal 1152 bis KUHPerdata. menyebutkan bahwa: "Untuk

mengadakan hak gadai piutang atas tunjuk, diperlukan

adanya endosemen pada surat hutangnya diserahkannya surat

hutang kepada pemegang gadai.” Piutang atas tunjuk ini juga

selalu ada surat buktinya, di mana surat bukti ini mewakili

piutang. Endosemen adalah pernyataan-penyerahan piutang

(44)

yang ditandatangani kreditor (endosen) yang bertindak

sebagai pemberi gadai dan harus memuat nama pemegang

gadai (geendasseerde).

d. Cara terjadinya gadai pada piutang atas nama (opnaam)

1) Perjanjian Kredit

Debitor dengan kreditor membuat perjanjian gadai.Perjanjiain ini

bersifat konsensual, obligator dan bentuknya bebas.

2) Adanya pemberitahuan kepada debitor dari piutang yang

digadaikan.

Pasal 1153 KUHPerdata menyebutkan bahwa: "Hak gadai

piutang atas nama diadakan dengan memberitahukan akan

penggadaiannya (perjanjian gadainya) kepada debitor.

Dalam memberitahukan ini debitor dapat meminta bukti

tertulis perihal penggadaiannya dan persetujuan dari pemberi

gadai.Setelah itu debitor hanya dapat membayar hutangnya kepada

pemegang gadai.Bentuk pemberitahuan ini dapat dilakukan baik

secara tertentu maupun secara lisan.Pemberitahuan dengan

perantaraan jurusita perlu dilakukan apabila si debitor tidak

bersedia memberikan keterangan tertulis tentang persetujuan

pemberian gadai itu.

Dalam gadai piutang atas nama tersangkut tiga pihak seperti

penyerahan piutang atas nama (cessie). Gadai piutang atas nama

juga dinamakan cessie, karena di sini yang digadaikan adalah

(45)

piutang atas nama, sedang penyerahan piutang ataa nama dilakukan

dengan cessie. (Kashadi,2005:20-21)

5. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai

Selama berlangsungnya gadai, pemegang gadai mempunyai beberapa

hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, baik pada gadai benda

bergerak bertubuh maupun pada gadai atas piutang (benda bergerak

tidak bertubuh).

Hak-hak pemegang gadai adalah sebagai berikut:

a. Hak untuk menjual benda gadai atas kekuasaan sendiri atau

mengeksekusi benda gadai

Dalam Pasal 1155 KUH Perdata disebutkan bahwa: Apabila

oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, jika si berutang atau

si pemberi gadai wanprestasi, maka si kreditor berhak menjual

barang gadai dengan maksud untuk mengambil pelunasan piutang

pokok, bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.

b. Hak untuk menahan benda gadai

Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata menyatakan:

Dalam hal pemegang gadai tidak menyalahgunakn benda gadai,

maka si berhutang tidak berkuasa untuk menuntut

pengembaliannya, sebelum ia membayar seoenuhnya baik utang

pokok, maupun bunga dan biaya hutangnya yang untuk

menjaminnya barang gadai telah diberikan, beserta segala biaya

yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang

(46)

gadai.Ketentuan ini memberi wewenang kepada pemegang gadai

untuk menahan benda gadai selama debitor belum melunasi

hutangnya.

c. Hak Kompensasi

Hak ini erat hubungannya dengan hutang kedua sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1159 ayat (2) KUHPerdata apabila guna

melunasi piutang pertama si kreditor telah mengeksekusi benda

gadai, maka dari hasil pendapatan lelang kreditor dapat mengambil

lebih dahulu sejumlah uang yang sama banyaknya dengan piutang

pertama yang dijamin dengan gadai. Jika ada sisa, maka diserahkan

kepada debitor.Apabila sisa tersebut tidak diserahkan kepada

debitor, maka kreditor berhutang kepada debitor. Dalam Pasal 1425

disebutkan bahwa: "Jika dua orang saling berhutang satu kepada

yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan hutang,

dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersabut

dihapuskan." Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pemegang

gadai dapat mengkompensasikan piutangnya yang kedua dengan

hutangnya (sisa penjualan lelang benda gadai) kepada debitor.

d. Hak untuk mendapatkan ganti rugi atas biaya uang telah

dikeluarkan untuk menyelamatkan benda

Pasal 1157 ayat (2) KUHPerdata menentukan bahwa yang

harus diganti oleh debitor adalah biaya-biaya yang berguna dan

perlu yang telah dikeluarkan guna keselamatan barang gadai.

(47)

Selama biaya-biaya itu belum dibayar, maka si kreditor tidak

diwajibkan untuk mengembalikan barang gadai kepada debitor.Di

sini kreditor mempunyai hak retensi juga.

e. Hak untuk menjual dalam kepailitan debitor

Jika debitor pailit, maka kreditor pemegang gadai dapat

melaksanakan hak-haknya, seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Dengan demikian hak kreditor untuk melakukan parate eksekusi

berkurang dengan terjadinya kepailitan debitor. Hak untuk menjual

barang gadai harus dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan

setelah debitor dinyatakan pailit, kecuali jika.tenggang waktu

tersebut diperpanjang oleh hakim.

f. Hak preferensi

Kreditor pemegang gadai rnampunyai hak untuk didahulukan

dalam pelunasan piutangnya daripada krediter-kreditor yang lain.

g. Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai

Pemegang gadai dapat menuntut agar benda gadai akan tetap

pada pemegang gadai untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan

dalam vonnis hingga sebesar hutangnya beserta bunga dan biaya

(Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata).Hal ini berarti bahwa barang

gadai dibeli oleh kreditor dengan harga pantas menurut pendapat

hakim.

(48)

h. Hak untuk menjual benda gadai dengan perantaraan hakim

Penjualan benda gadai untuk mengambil pelunasan piutang

dapat juga terjadi jika si berpiutang menuntut di muka hakim

supaya barang gadai dijual menurut cara-cara yang ditentukan oleh

hakim untuk melunasi hutang pokok beserta bunga dan biaya.Hal

ini biasanya terjadi jika benda gadai berupa benda antik.

i. Hak untuk menerima bunga piutang gadai

Hak ini berdasarkan Pasal 1158 KUHPerdata yang

menentukan bahwa: Pemegang gadai dari suatu piutang yang

menghasilkan bunga, berhak menerima bunga itu, dengan

kewajiban memperhitungkan dengan bunga piutang yang harus

dibayarkan kepadanya.

j. Hak untuk menagih piutang gadai

Hak ini dilakukan dengan cara pemberian kuasa yang tidak

dapat dicabut kembali dari pemberi gadai kepada pemegang gadai

untuk menagih dan menerima pembayaran dari debitor yang

hutang-hutangnya digadaikan. Pemberian kuasa ini dicantumkan

dalam perjanjian gadai.

Adapun kewajiban-kewajian dari pemegang gadai adalah

sebagai berikut :

1) Kewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai jika

barang gadai dijual. Pemberitahuan dengan telegraf atau surat

(49)

tercatat berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156

ayat (3) KUHPerdata)

2) Kewajiban memelihara benda gadai

Kewajiban memelihara benda gadai ini dapat

disimpulkan dari bunyi Pasal 1157 ayat (1) dan Pasal 1159

ayat (1) KUHPerdata. Dalam Pasal 1157 ayat (1)

KUHPerdata ditentukan bahwa: “Pemegang gadai

bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya barang

gadai, sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya.” Begitu

juga pemegang gadai tidak boleh menyalahgunakan benda

gadai (Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata).

3) Kewajiban untuk memberikan perhitungan antara hasil

penjualan barang gadai dengan besarnya piutang kepada

pemberi gadai.

4) Kewajiban untuk mengembalikan barang gadai

Kewajiban ini dapat diketahui dari bunyi Pasal 1159 ayat (1)

KUHPerdata, yaitu apabila:

a) Kreditor telah menyalahgunakan barang gadai

b) Debitor telah melunasi sepenuhnya, baik utang pokok,

bunga dan biaya hutangnya serta biaya untuk

menyelamatkan barang gadai

(50)

5) Kewajiban untuk memperhitungkan hasil penagihan bunga

piutang gadai dengan besarnya bunga piutangnya kepada

debitor.

6) Kewajiban untuk mengembalikan sisa hasil penagihan

piutang gadai kepada pemberi gadai. (Kashadi,2005:20-29).

6. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Hak-hak pemberi gadai:

a. Hak untuk menerima sisa hasil gendapatan penjuatan benda

gadaisetelah dikurangi dengan piutang pokok, bunga dan biaya

dari pemegang gadai.

b. Hak untuk menerima penggantian benda gadai apabila benda

gadai telah hilang dari kekuasaan si pemegang gadai.

Kewajiban-kewajiban pemberi gadai:

a. Demi keselamatan benda gadai dari bencana alam/force

majuerdi dalam praktek sering pemberi gadai diwajibkan

untuk mengasuransikan benda gadai. Kewajiban ini memang

efisien untuk kredit dalam jumlah besar.

b. Apabila yang digadaikan adalah piutang, maka selama piutang

itu digadaikan pemberi gadai tidak boleh melakukan

penagihan atau menerima pembayaran dari debitornya (debitor

piutang gadai). Jika debitor piutang gadai telah membayar

hutaugnya kepada pemberi gadai, maka pembayaran itu tidak

(51)

sah dan kewajibannya untuk membayar kepada pemegang

gadai tetap mengikat.(Kashadi,2005:29)

7. Hapusnya Gadai

Hak gadai dapat menjadi hapus karena beberapa alasan:

a. Karena hapusnya perikatan pokok

Hak gadai adalah hak accessoir, maka dengan hapusnya

perikatan pokok membawa serta hapusnya hak gadai.

b. Karena benda gadai keluar dari kekuasaan pemegang gadai

Pasal 1152 ayat (3) KUHPerdata menentukan bahwa: "Hak

gadai hapus apabila barang gadai keluar dari kebiasaan si

pemegang gadai Namun demikian hak gadai tidak menjadi hapus

apabila pemegang gadai kehilangan kekuasaan atas barang gadai

tidak dengan suka rela (karena hilang atau dicuri). Dalam hal ini

jika ia memperoleh kembali barang gadai tersebut, maka hak gadai

dianggap tidak pernah hilang.

c. Karena musnahnya benda gadai

Tidak adanya obyek gadai mengakibatkan tidak adanya hak

kebendaan yang semula membebani benda gadai, yaitu hak gadai.

d. Karena penyalahgunaan benda gadai

Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa:

"Apablila kreditor menyalahgunakan benda gadai, pemberi gadai

berhak menuntut pengembalian benda gadai.”

(52)

Dengan dituntutnya kembali benda gadai oleh pemberi gadai

maka hak gada yang dipunyaj pemegang gadai menjadi hapus,

apabila pemegang gadai menyalahgunakan benda gadai.

e. Karena pelaksanaan benda gadai

Dengan dilaksanakannya eksekusi terhadap benda gadai,

maka benda gadai berpindah ke tangan orang lain. Oleh karena itu

maka hak gadai menjadi hapus.

f. Karena kreditor melepaskan benda gadai secara sukarela

Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa: Tak

ada hak gadai apabila barang gadai kembali dalam kekausaan

pemberi gadai.

g. Karena percampuran

Percampuran terjadi apabila piutang yang dijamin dengan hak

gadai dan benda gadai berada dalam tangan satu orang.Dalam hal

ini terjadi percampuran, maka hak gadai menjadi hapus. Orang

tidak mungkin mempunyai hak gadai atas benda miliknya sendiri.

(Satrio,2002:132)

C. Tinjauan Umum Tentang Gadai Syariah 1. Pengertian Gadai Syariah

Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn.Ar-rahn

adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai

tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah

atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam

(53)

kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan

firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat (38) yaitu :

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yarg telah

diperbuatnya.Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan

makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata

ini merupakan makna yang bersifat materiil.Karena itu, secara bahasa

kata ar-rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi

sebagai pengikat utang.

Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas

adalah tetap, kekal, dan jaminan, sedangkan dalam pengertian istilah

adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan

secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah

ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh

seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu

barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh

orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang

mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum

perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan

rungguhan.Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam

(syara') adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta

dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan

(54)

untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.

(Ali,2008:1-2)

2. Dasar Hukum Gadai Syariah a. Al-Quran

  

 



283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang

kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan

yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu

mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan

amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan

janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang

menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;

dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Ali,2008:5)

b. Hadist Nabi Muhammad Saw

Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat

rumusan gadai syariah adalah hadis Nabi Muhammad saw., yang

diungkapkan sebagai berikut:

1) Hadis A'isyah ra, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang

berbunyi: Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim

Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyarm berkata : keduanya

(55)

mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin 'Amasy dari

Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasanya

Rasulullah saw membeli makanan dariseorang Yahudi dengan

menggadaikan baju besinya.(HR.Muslim) (Zaki Din,

Al-Mundziri, 2002: 523)

c. Fatwa Dewan Syariah Nasional

Fatwa Dewan Syariah Nastonal Majelis Ulama Indonesia

(DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, di

antaranya dikemukakan sebagai berikut:

1) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

No: 25/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn

2) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

No: 26/DSNMUI/III/2002, tentang RahnEmas

3) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

No: 09/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah

4) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

No:10/DSNMUI/IV/2000 tentang Wakalah

5) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

No:43/DSNMUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.

(Ali,2008:7-8)

(56)

3. Rukun Gadai

Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus

memenuhi rukun gadai syariah antara lain:

a. Ar-Rahin (yang menggadaikan)

Orang yang telah dewasa, berakal, dapat dipercaya, dan

memiliki barang yang digadaikan,

b. Al-Murtahin (yang menerima gadai)

Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk

mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).

c. Al-Marhun/Rahn (barang yang digadaikan)

Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam

mendapatkan utang.

d. Al-Marhun Bih (utang)

Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas

dasar besarnya tafsiran marhun.

e. Sighat, Ijab dan Qabul

Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan

transaksi gadai.(Sudarsono,2003:160).

4. Syarat Gadai

a. Rahin dan Murtahin

Pihak-pihak yang melakukan perjanjian Rahn, yakni rahin dan

murtahin harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu

berakan sehat.

(57)

b. Sighat

1. Shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga

dengan suatu waktu dimasa depan.

2. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian

hutang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh

diikat dengan syarat tertentu.

c. Marhun bih (utang)

1. Harus merupakan hak wajib yang diberikan/diserahkan

kepada pemiliknya.

2. Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang

tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.

3. Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.

d. Marhun (barang jaminan)

Secara umum barang gadai harus memenuhi syarat yaitu:

1. Harus bias diperjual belikan.

2. Harus berupa harta yang bernilai.

3. Mahrun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.

4. Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah

untuk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara

langsung.

5. Harus dimiliki oleh rahin (peminjam/penggadai) setidaknya

harus seizin pemiliknya.

(58)

e. Syarat kesempurnaan Rahn(memegang barang)

Secara umum, ulama’ fiqih sepakat bahwa memegang atau

menerima barang adalah syarat rahn, rahn adalah akad yang

membutuhkan qabul, yang otomatis memegang marhun.Murtahin

harus meminta kepada rahin barang yang digadaikan, jika tidak

memintanya atau merelakan barang jaminan ditangan rahin, rahn

menjadi batal.(Syafi’i, 2001:164).

Cara memegang marhun adalah penyerahan marhun secara

nyata atau dengan wasilah yang intinya memberikan keamanan

kepada yang memberikan utang (murtahin). Syarat memegang

marhun adalah:

1) Atas seizin rahin

2) Rahin dan murtahin harus ahli dalam akad

3) Murtahin harus tetap memegang rahin

Orang yang berkuasa. (Syafi’I, 2001: 165)

5. Ketentuan Gadai Dalam Islam a. Kedudukan Barang Gadai

Selama ada ditangan pemegang gadai, kedudukan barang

gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepada

pihak penggadai.

Sebagai pemegang amanat, murtahin (penerima gadai)

berkewajiban memelihara keselamatan barang yang diterimanya,

sesuai dengan keadaan barang. (Hadi,2003:3).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinjauan hukum Islam tentang barang jaminan pada pegadaian syariah dan bertujuan untuk mengetahui tinjauan hukum islam tentang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nasabah telah mendapatkan perlindungan hukum dalam pelelangan barang jaminan di Pegadaian Syariah Landungsari Malang dalam

Dengan permasalahan yang ada penulis menarik kesimpulan bahwa praktek pelunasan pinjaman dalam produk rahn di Perum Pegadaian Syari’ah Cabang Majapahit Semarang

Dwi Rahmayanti 2012 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem informaasi akuntansi terhadap lelang barang gadai di Perum Pegadaian Cabang Salemba,

Adapun pokok pemasalahan yang dijadikan sebagai dasar dalam pembahasan skripsi ini adalah bagaimana bentuk pertanggungjawaban Pegadaian Syariah apabila barang

Pegadaian (Persero) terjadi karena nasabah tidak melakukan pembayaran pinjaman atau penebusan barang jaminan pada tanggal jatuh tempo yang sudah ditentukan.. Pegadaian (Persero)

Sedangkan teknik analisis data dalam penelitian adalah analisis kualitatif-induktif dan analisis deskriptif.Hasil dari penelitian ini adalah praktek lelang barang jaminan pada Pegadaian

Pandangan Masyarakat Terhadap Pelelangan Barang Gadai Nasabah pada pegadaian Cabang Barru Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada salah satu Nasabah terkait pelelangan