• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang lebih demokratik, dan diharapkan lebih berkeadilan sosial.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang lebih demokratik, dan diharapkan lebih berkeadilan sosial."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintahan Habibie yang menggantikan rezim Soeharto yang dimulainya

Era Reformasi di tahun 1998 dipercaya sebagai masa pencerahan tata kelola

pemerintahan yang lebih demokratik, dan diharapkan lebih berkeadilan sosial.

Salah satu perubahan besar dan radikal di era ini ialah diselenggarakannya sistem

pemerintahan desentralistik yang mengakui otonomi daerah di Indonesia.

Desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah dimulai dengan

diterbitkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada perjalanannya, untuk

menyesuaikan dengan keadaan, kedua undang-undang tersebut digantikan oleh

Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan desentralisasi ini, pada derajat tertentu,

mengubah lanskapkebijakan pembangunan di Indonesia. ‘Kekuasaan’ menentukan

pembangunan daerah bergeser ke daerah pada derajat tertentu. Hak penggunaan dan

kewenangan pengelolaan keuangan negara dan daerah pun semakin meleluasakan

daerah sehingga daerah berhak menentukan nasib sendiri.

Weingast (1995 dalam Hankla, 2008: 636) berpendapat bahwa desentralisasi

bermanfaat untuk meningkatkan kompetisi antarpemerintah daerah untuk

(2)

itu, manfaat desentralisasi selanjutnya menurutnya ialah untuk mencegah

pemerintah pusat melakukan intervensi ekonomik yang merugikan daerah,

mengurangi korupsi, mempromosikan keresponsifan pelayanan birokrasi, dan

memeriksa pertumbuhan kualitas pemerintah pusat. Sementara, pandangan yang

berlawanan menyatakan bahwa pada kondisi tertentu desentralisasi akan

melemahkan kohesi ekonomik dan sosial (ketimpangan) suatu bangsa dan

memerkuat identitas regional hingga gerakan-gerakan separatisma (Hankla, 2008:

636-637). Selain itu, Prud’homme (1994) menambahkan bahwa desentralisasi

berpotensi berbahaya yang sangat mungkin selain meningkatkan disparitas juga

mengurangi efisiensi dan membahayakan stabilitas.

Setidaknya, secara teoretis desentralisasi dapat dilihat dari tiga dimensi:

desentralisasi politik, desentralisasi administrasif, dan desentralisasi fiskal (Falleti,

2004; Schneider, 2003). Mengerucutkan pembicaraan mengenai desentralisasi

fiskal dalam perspektif sejarah sistem pemerintahan Indonesia, Nugrahanto dan

Muhyiddin (2008: 12) menyatakan bahwa sebelum desentralisasi fiskal, aktivitas

pembangunan daerah oleh pemerintah daerah bergantung pada pemerintah pusat

dan menunggu alokasi dana yang sifatnya kondisional. Dua contoh alokasi dana

dari pusat sebelum desentralisasi fiskal ialah Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan

Instruksi Presiden (Inpres) (Brodjonegoro, 2001: 15).

Desentralisasi fiskal di Indonesia dimanifestasikan dengan digulirkannya

Dana Perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN). Dana perimbangan yang dialokasikan kepada daerah dimaksudkan untuk

(3)

perimbangan terdiri dari tiga jenis, yaitu: (1) Dana Bagi Hasil (DBH), (2) Dana

Alokasi Umum (DAU), dan (3) Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan

dimaksudkan selain untuk membantu pemerintah daerah untuk mendanai

kewenangannya, juga untuk mengurangi ketimpangan antara pemerintah pusat

dengan daerah (kesenjangan vertikal) dan ketimpangan antardaerah (kesenjangan

horizontal).

Pertanyaan reflektifnya kemudian apakah desentralisasi yang telah berjalan

tiga belas tahun ini (2001-2013) telah menghasilkan idealitas pemerataan

pembangunan di Indonesia dengan berkurangnya ketimpangan? Apakah

daerah-daerah di luar Pulau Jawa telah berhasil mengejar (catching up) pulau Jawa dalam

konteks pembangunan? Apakah era reformasi yang telah lebih demokratik lebih

baik dari era orde baru?

Gambar 1.1 berikut menampilkan tren dana perimbangan dari tahun 2001

sampai dengan tahun 2012. Terlihat dari gambar tersebut, tren untuk ketiga jenis

dana perimbangan semuanya meningkat dari tahun ke tahun. DAU mengalami tren

kenaikan yang paling curam dan bernilai rupiah paling besar. DAK yang bernilai

rupiah paling kecil, mencatat kelipatan kenaikan paling tinggi yaitu 25,9 kali di

tahun 2012, diukur dari tahun 2001. Sementara DBH dan DAU masing-masing

hanya mengalami pertumbuhan 5,13 dan 4,49 kali lipat selama rentang tiga belas

tahun tersebut. Secara hipotetis, kenaikan dana perimbangan yang digulirkan ke

daerah yang notabene untuk menurunkan ketimpangan ekonomik antardaerah

seharusnya menurunkan ketimpangan itu; namun, fakta empiris menunjukkan

(4)

Ketimpangan pendapatan yang diproksikan oleh indeks Gini justru

memerlihatkan tren yang juga menaik. Indeks Gini yang di tahun 1999 sebesar 0,30,

di tahun 2011, 2012, dan 2013 naik hingga sebesar 0,41. Indeks Gini suatu negara

yang berada di atas 0,40 menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan distribusi

pendapatan yang tinggi di negara tersebut (Kuncoro, 2013: 99 ). Berdasarkan

penelitian Frankema dan Marks (2007: 4) yang berbasiskan data BPS, rezim orde

baru bahkan hanya mencatat rekaman tren rasio Gini secara fluktuatif di kisaran

angka 0,32-0,38 di rentang waktu dari 1964 sampai dengan 1996. Gambar 1.2.

berikut akan menyajikan tren indeks Gini untuk era orde baru dan era reformasi

(1964-2013).

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 DBH 21.7 25.3 29.7 37.9 49.7 64.9 62.9 78.4 76.1 92.2 96.9 111.3 DAU 61 67 76.6 82.1 88.8 145.7 164.8 179.5 186.4 203.6 225.5 273.8 DAK 1 1.9 4.9 2.8 4.8 11.6 16.2 20.8 24.7 21 24.8 25.9 Total Dana Perimbangan 83.70 94.2 111.2 122.8 143.3 222.2 243.9 278.7 287.2 316.8 347.2 411

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 T riliu n Ru p ia h Dana Perimbangan 2001-2012 (dalam triliun rupiah)

Gambar 1.1 Tren Dana Perimbangan 2001-2012

(5)

Kuncoro (2013: 270-271) menyatakan bahwa ketimpangan Indonesia pada

rentang waktu 2001-2010 juga menarik untuk dicermati. Kuncoro berkesimpulan

bahwa selama periode sepuluh tahun tersebut tidak terjadi perubahan berarti pada

ketimpangan antarprovinsi yang ditunjukkan oleh indeks Williamson sebesar 0,84

(2001) dan 0,82 (2010). Menggunakan indeks Theil, Kuncoro juga berpendapat

bahwa tidak ada prestasi pembangunan yang signifikan. Theil indeks total

(antarpulau dan dalam satu pulau) di tahun 2001 sebesar 0,75 dan di tahun 2010

sebesar 0,74 (Kuncoro, 2013: 272-275).

Kesimpulan reflektifnya kemudian ialah bahwa desentralisi fiskal yang

dengannya digulirkan dana perimbangan justru antitesis dengan tujuannya untuk

mengurangi ketimpangan antardaerah. Penelitian ini didesain untuk

1964 -1965 1969 -1970 1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rasio Gini 0.35 0.35 0.34 0.38 0.34 0.33 0.33 0.32 0.32 0.34 0.3600.3080.3290.3630.364 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 0.413 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 In d ek s G in i

Tren Indeks Gini Indonesia (1964-2013)

era reformasi era orde baru

Gambar 1.2 Tren Indeks Gini Indonesia (1964-2013)

(6)

menginvestigasi keberhasilan atau kegagalan otonomi daerah dalam pembangunan,

spesifik pada isu ketimpangan. Menggunakan data panel provinsi selama era

desentralisasi 2005-2010, penelitian ini mengeksplorasi peran desentralisasi yang

diproksikan oleh dana perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) dan PAD yang

sebagai indikator kemandirian daerah terhadap ketimpangan yang diproksikan oleh

rasio Gini. Variabel-variabel independen lain akan dimasukkan ke dalam model

regresi selain dana perimbangan dan PAD untuk melihat peran variabel-variabel

tersebut terhadap ketimpangan nasional.

1.2 Rumusan Masalah

Melihat fenomena naiknya ketimpangan yang diproksikan oleh indeks Gini

pada Gambar 1.2 selama empat belas tahun terakhir (1999-2013) yang bertahan

pada kategori tinggi di angka 0,41 di tahun 2011 sampai dengan 2013 di era

desentralisasi yang jumlah dana perimbangan juga naik dari tahun ke tahun, maka

rumusan masalah penelitian ini adalah belum berhasilnya kebijakan desentralisasi

fiskal untuk mengurangi ketimpangan ekonomi di Indonesia. Studi investigatif

untuk melihat peran dana perimbangan dan pendapatan asli daerah terhadap

ketimpangan perlu dilakukan.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diderivasi dari rumusan masalah di

atas adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana tren desentralisasi fiskal dalam bentuk rasio dana perimbangan dan

kemampuan daerah terhadap total pendapatan daerah (DBH/TPD, DAU/TPD,

(7)

2. Bagaimana tren ketimpangan di Indonesia dalam bingkai waktu desentralisasi

(2002-2013)?

3. Bagaimana peran dana perimbangan DBH dan DAU, dan PAD beserta

variabel-variabel lain terhadap ketimpangan antardaerah di Indonesia selama era

desentralisasi 2005-2010?

1.4 Tujuan Penelitian

Bertolak dari ketiga pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. menganalisis tren desentralisasi fiskal dalam bentuk rasio dana perimbangan

dan kemampuan daerah terhadap total pendapatan daerah (DBH/TPD,

DAU/TPD, dan PAD/TPD) dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2012 di

Indonesia;

2. menganalisis tren ketimpangan di Indonesia dalam bingkai waktu desentralisasi

2002-2013;

3. menginvestigasi peran dana perimbangan DBH dan DAU, PAD, serta

variabel-variabel lain terhadap ketimpangan antardaerah di Indonesia selama era

desentralisasi 2005-2010.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagi pemerintah pusat, penelitian ini dapat menjadi literatur tambahan yang

(8)

kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia, spesifik pada peran dana perimbangan

terhadap ketimpangan.

2. Bagi pemerintah daerah, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan

agenda evaluasi kebijakan-kebijakan pemerintahan daerah yang berfokus pada

isu ketimpangan dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi fiskal. Selain

itu, pemerintah daerah dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai cermin

otokritik kualitas kinerja dalam konteks autonomi daerah.

3. Bagi dunia akademik, penelitian ini menjadi tambahan literatur yang

memfokuskan bahasan pada desentralisasi fiskal, dana perimbangan, dan

ketimpangan ekonomi.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian tesis ini terdiri dari lima bab. Bab 1 pendahuluan, berisi

latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,

dan sistematika penulisan. Bab 2 survai literatur, berisi landasan konseptual

mengenai desentralisasi dan ketimpangan beserta studi-studi empiris yang telah

dilakukan baik di Indonesia maupun di mancanegara. Bab 3 metoda penelitian,

berisi elaborasi dan definisi paradigma dan jenis penelitian, dan operasionalisasi

teknis penelitian berupa, populasi penelitian, karakteristik data, alat analisis dan

variabel penelitian, dan metoda pengumpulan data. Bab 4 ialah hasil penelitan dan

Gambar

Gambar 1.1 Tren Dana Perimbangan 2001-2012
Gambar 1.2 Tren Indeks Gini Indonesia (1964-2013)

Referensi

Dokumen terkait

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu mempercepat dalam proses penetapan zonasi Ketiga, akses masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di dalam

Indeks pencemaran (IP) dengan baku mutu air kelas I terendah pada Desa Menanga kluster hulu dengan nilai IP 11,6 dan tertinggi pada Desa Muncan dengan IP 24,8 lebih

mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen terhadap merk tersebut. Pengetahuan konsumen tentang perusahaan yang ada di balik merk suatu produk merupakan dasar awal pemahaman

Inti dari Backpropagation adalah untuk mencari error suatu node. Dari hasil forward phase akan dihasilkan suatu output , dari output tersebut, pastilah tidak sesuai

1. Apakah nama IUPAC dari alkohol dengan rumus struktur berikut: a.. Suatu senyawa memiliki rumus molekul C 4 H 10 O, bila senyawa tersebut direaksikan dengan logam natrium

Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat Sistem Informasi Ruang Baca Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya yang mencakup empat proses,meliputi proses

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Dalam peranan lembaga pemasyarakatan dalam proses peradilan pidana anak di lembaga pemasyarakatan klas IIA maros tempat untuk

▪ Mengidentifikasi ciri hidup pada sel yang ditunjuk oleh proses yang berlangsung di dalam sel sebagai unit terkecil kehidupan.. ▪ Menjelaskan ciri hidup pada sel