• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Kelinci

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ternak Kelinci"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ternak Kelinci

Kelinci memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, kulit/bulu, hewan percobaan dan hewan untuk dipelihara (Church, 1991). Kelinci merupakan hewan herbivora non-ruminan yang memiliki sistem pencernaan monogastrik dengan perkembangan sekum seperti ruminansia, sehingga kelinci disebut pseudo-ruminansia (Cheeke dan Patton, 1982).

Klasifikasi kelinci menurut Damron (2003) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animal (hewan)

Phylum : Chordata (mempunyai notochord) Sub phylum : Vertebrata (bertulang belakang) Kelas : Mamalia (memiliki kelenjar susu)

Ordo : Logomorpha (memiliki dua pasang gigi seri rahang atas) Famili : Leporidae (rumus gigi 8 pasang diatas dan 6 pasang dibawah) Genus : Oryctolagus (morfologi yang sama)

Spesies : Oryctolagus cuniculus.

Bangsa kelinci yang biasanya paling banyak digunakan sebagai hewan penelitian adalah New Zealand White. Kelinci ini memiliki beberapa keunggulan antara lain: sifat produksi yang tinggi, tidak dibutuhkan biaya dalam pemeliharaan, siklus hidup yang pendek, daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, adaptif terhadap lingkungan yang baru, dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelinci New Zealand White termasuk dalam bangsa medium yang memiliki bobot hidup antara 4kg-5kg (Blakely dan Bade, 1991) dan mencapai bobot dewasa pada umur 5-6 bulan (Cheeke et al., 2000).

Kelinci dapat menggunakan protein hijauan secara efisien dengan tingkat reproduksi tinggi, hanya membutuhkan makanan dalam jumlah sedikit dan kualitas dagingnya cukup tinggi karena kelinci dapat memanfaatkan feses lunak yang dihasilkan dari kegiatan coprophagy. Kegiatan tersebut yaitu memakan kembali feses yang dikeluarkan sehingga dapat mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein mikroba yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B dan memecah selulosa atau serat menjadi energi yang berguna (Cheeke,1983; Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci

(2)

4 merupakan ternak yang mempunyai potensi reproduksi tinggi, laju pertumbuhan cepat, periode kebuntingan yang pendek bila dibandingkan dengan ternak lain, seperti sapi, kerbau, babi, kecuali unggas (Cheeke et al., 1982). Seekor induk kelinci mampu beranak 4-5 kali dalam setahun dengan masa kebuntingan 30-35 hari dan dari satu periode kelahiran dapat memberikan 6-8 ekor anak (Rismunandar, 1981)

Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Kelinci mempunyai ukuran, kegunaan, warna dan panjang yang berbeda-beda. Berat kelinci saat dewasa bervariasi mulai dari 1,5 kg sampai 7 kg (Blakely dan Bade, 1991). Bangsa kelinci yang dijadikan sebagai penghasil daging diantaranya California, Flemish giant, Satin dan New Zealand White karena sifat produksinya yang tinggi, tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, siklus hidup yang pendek, memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan tidak memerlukan tempat yang luas (Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik kerena kelinci sangat cepat berkembang biak.

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Nutrient Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Pertumbuhan Hidup pokok Bunting Laktasi Digestible Energy (kcal/kg) 2500 2100 2500 2500

TDN (%) 65 55 58 70 Serat kasar (%) 10-12 14 10-12 10-12 Protein kasar (%) 16 12 15 17 Lemak (%) 2 2 2 2 Ca (%) 0,45 0,40 0,75 P (%) 0,55 0,5 Metionin + Cystine (%) 0,6 0,6 Lysin 0,65 0,75 Sumber: NRC (1977)

Menurut Cheeke (1987), kebutuhan protein kelinci berkisar antara 12%-18 %, tertinggi pada fase menyusui sebesar 18% dan terendah pada fase dewasa sebesar 12%, kebutuhan serat kasar induk menyusui, bunting dan muda berkisar antara

(3)

10%-5 12%, kebutuhan serat kasar kelinci dewasa sebesar 14% sedangkan kebutuhan lemak pada setiap periode pemeliharaan tidak berbeda yaitu sebesar 2% (Tabel 1).

Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan bervariasi bergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci (Tabel 2).

Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Kelinci

Status Bobot badan (BB)

(Kg)

Kebutuhan bahan kering (% BB) (g/ekor/hari)

Muda 1,8-3,2 6,2-5,4 112-173

Dewasa 2,3-6,8 4,0-3,0 92-204

Bunting 2,3-6,8 5,0-3,7 115-251

Menyusui dengan anak 7 ekor 4,5 11,5 520

Sumber: NRC (1977)

Saluran Pencernaan Kelinci

Saluran pencernaan merupakan saluran yang memanjang yang dimulai dari mulut sampai anus yang berfungsi sebagai tempat pakan ditampung, dicerna, diabsorbsi dan tempat sisa pencernaan yang akan dikeluarkan. Gerakan pakan di saluran pencernaan dilakukan oleh adanya kontraksi atau gerakan peristaltik otot sirkuler dinding saluran pencernaan. Berbagai macam getah pencernaan yang berisi macam-macam enzim pencernaan yang diekskresikan ke dalam saluran pencernaan (Kamal,1994)

Berdasarkan sistem pencernaannya, kelinci diklasifikasikan ke dalam hindgut fermentor yaitu saluran pencernaan bagian belakang memegang peranan penting seperti sekum dan kolon (McNitt et al., 1996). Pada ternak ruminansia fermentasi serat terjadi di dalam rumen, fermentasi pakan pada kuda terjadi di dalam kolon sedangkan pada kelinci terjadi di dalam sekum (Irlbeck, 2001).

Mikroba banyak terdapat di dalam sekum, sekum pada kelinci sangat besar dibandingkan bagian lainnya dan berbentuk spiral (Gambar 1). Proporsi sekum pada saluran pencernaan kelinci yaitu 40% dari total saluran pencernaannya (Irlbeck, 2001). Sekum kelinci 5 sampai 6 kali lebih panjang dibandingkan kuda (Gidenne et al., 2002). Church (1991) menyatakan bahwa sekum pada kelinci mempunyai ukuran

(4)

6 panjang 40 cm dan berat 25 gram, sedangkan lambung pada kelinci mempunyai ukuran berat 20 gram, lambung pada kelinci memiliki kapasitas 90-100 gram atau 17% bahan kering. Lambung memiliki pH yang asam yaitu berkisar antara 1,5-2,0. Usus halus pada kelinci memiliki ukuran panjang 330 cm dan berat 60 gram. Kapasitas usus halus pada kelinci yaitu berkisar antara 20-40 gram atau setara dengan 7% bahan kering.

Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci Sumber: Cheeke et al. (2000)

Kelinci memiliki kebiasaan yang berbeda dari ternak lainnya yaitu kebiasaan memakan feses yang sudah dikeluarkan yang disebut coprophagy. Sifat coprophagy biasanya terjadi pada malam atau pagi hari berikutnya. Sifat tersebut memungkinkan kelinci memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri di saluran bagian bawah, yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B, dan memecahkan selulosa atau serat menjadi energi yang berguna.

Ransum Komplit

Ransum merupakan campuran jenis pakan yang diberikan kepada ternak setiap hari pada waktu tertentu selama umur hidupnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Ransum yang sempurna harus mengandung zat-zat gizi yang

(5)

7 seimbang, disukai ternak dan dalam bentuk yang mudah dicerna oleh saluran pencernaan (Ensminger et al., 1990). Ransum komplit merupakan pakan yang cukup gizi untuk hewan dalam status fisiologis tertentu, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan pokok, produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Tillman et al., 1997).

Ensminger et al. (1990) melaporkan beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan ransum komplit antara lain: 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) meningkatkan konsumsi dari suplementasi hijauan yang kurang palatabel dengan konsentrat dan dapat mengganti konsentrat yang terbatas dengan hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat memudahkan ternak mendapatkan pakan lengkap. Keistimewaan ransum komplit adalah pencampuran bersama semua bahan-bahan pakan seperti hijauan, bijian, konsentrat, suplemen protein, vitamin dan mineral menjadi satu dan diberikan kepada ternak sebagai pakan tunggal.

Indigofera zollingeriana dan Pengaruhnya terhadap Ternak

Indigofera zollingeriana adalah tanaman leguminosa pohon dengan genus Indogofera dan memiliki sekitar 700 spesies yang tersebar secara geografis di Afrika tropis, Asia, Australia dan Amerika Utara, sekitar tahun 1900 Indigofera sp. dibawa ke Indonesia oleh bangsa Eropa dan terus berkembang hingga saat ini (Tjelele, 2006). Leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia tahan terhadap kekeringan, banjir, dan salinitas (Hassen et al. 2007). Berdasarkan penelitian Hassen et al., ( 2006) yang menggunakan beberapa spesies Indigofera sp. antara lain I. amorphoides, I. arecta, I. brevicalyx, I. coerulea, I. costata, I. cryptantha, I. spicata, I. trita, I. vicoides diketahui bahwa tanaman ini sangat berpotensi digunakan sebagai tanaman pakan sekaligus tanaman pelindung karena mampu memperbaiki kondisi tanah penggembalaan yang mengalami overgrazing dan erosi. Hasil penelitian Abdullah dan Suharlina (2010) menunjukkan bahwa manajemen panen yang optimal ditinjau dari aspek produktivitas dan kualitas nutrisi adalah panen pertama dilakukan pada umur 8 bulan disertai dngan frekuensi panen setiap 60 hari dengan tinggi potongan 1,5 m diatas permukaan tanah. Tepung daun Indigofera zollingeriana

(6)

8 mengandung protein kasar sebesar 27,9%, NDF 19%-50%, serat kasar 15%, fospor 0,19%, kalsium 0,22 dan kecernaan bahan organik yang diukur secara in vitro sebesar 56%-72% (Hassen et al. 2007).

Taksonomi tanaman Indigofera sebagai berikut divisi : Spermatophyta

sub divisi : Angiospermae kelas : Dicotyledonae bangsa : Rosales suku : Leguminosae marga : Indigofera

jenis : Indigofera zollingeriana

Gambar 2: Tanaman Indigofera zollingeriana Sumber : Dokumentasi Penelitian

Pellet daun Indigofera zollingeriana memiliki kandungan protein kasar sebesar 25,66% sehingga dengan kandungan protein kasar tersebut dapat dijadikan bahan pakan pengganti konsentrat (Abdullah, 2010). Keunggulan lain tanaman ini adalah kandungan taninnya sangat rendah berkisar antara 0,6 ppm-1,4 ppm (jauh dibawah taraf yang dapat menimbulkan sifat anti nutrisi), rendahnya kandungan tanin ini juga berdampak positif terhadap palatabilitasnya (Abdullah, 2010). Produksi

(7)

9 bahan kering total Indigofera zollingeriana adalah 51 ton/ha/tahun (Abdullah 2010). Tarigan (2009) menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering daun Indigofera sp. yang diberikan sebanyak 45% dari total ransum terhadap kambing Boerka adalah 60%.

Lamtoro ( Leucaena leucocephala) dan Pengaruhnya terhadap Kelinci

Lamtoro ( Leucaena leucocephala) merupakan tanaman legum pohon serba guna. Lamtoro umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan tanaman pelindung untuk tanaman komersial. Tanaman lamtoro dapat diberikan pada ternak berupa hijauan segar, kering, tepung, silase dan pellet. Hijauan lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak, dikarenakan daum lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan mineral (Soeseno dan Soedaharoedjian, 1992).

Menurut Mtenga dan Laswai (1994) lamtoro memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 21%, kandungan NDF sebesar 4,28% sedangkan kandungan asam aminonya cukup tinggi dan juga memiliki antinutrisi seperti mimosin dan tanin. Berdasarkan penelitian Futiha (2010), lamtoro memiliki kandungan protein kasar sebesar 26,07%, serat kasar 17,73%, lemak kasar 5%, Kalsium 1,86% dan Fospor 0,25%. Laconi dan Widiyastuti (2010) menyatakan bahwa kandungan mimosin pada daun lamtoro berkisar antara 2%-6%.

Gambar 3. Leucaena leucocephala Sumber : Dokumentasi Penelitian

(8)

10 Menurut Onwudike (1995), pellet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci dibanding daun gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish ( urin berwarna cokelat) pada kelinci. Wood et al. ( 2003) menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar mimosin daun lamtoro akibat pemanasan pada suhu 60ºC dan 145ºC yaitu sebesar 43%. Selain itu, terjadi inaktivasi mimosin akibat proses pelleting. Menurut Onwudike (1995) penggunaan lamtoro sebesar 50% dalam pakan kelinci akan menurunkan performa kelinci fase pertumbuhan.

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dimakan oleh hewan bila diberikan ad libitum. Konsumsi ransum juga merupakan faktor dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi, 1999). Ternak mampu mencapai tingkat penampilan produksi yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila memperoleh nutrien yang dibutuhkannya. Menurut Wiseman (1989), banyaknya ransum yang dikonsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas ransum yang tergantung pada cita rasa, ukuran dan tekstur. Aroma pakan juga mempengaruhi terhadap palatabilitas yang dapat meningkatkan konsumsi ransum (Pond et al., 1995).

Tingkat konsumsi ransum pada ternak kelinci dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat makanan, cekaman, kecepatan pertumbuhan dan yang paling utama adalah energi (NRC, 1977). Menurut Cheeke (1987), konsumsi ransum akan meningkat bila kandungan energi ransum rendah. Lang (1981) menyatakan bahwa kualitas protein dalam ransum penting untuk kelinci karena dapat meningkatkan konsumsi ransum.

Kecernaan Leguminosa pada Kelinci secara

in vivo

Kecernaan zat- zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas suatu bahan pakan. Kecernaan adalah bagian dari pakan yang tidak disekresikan dalam feses dimana bagian tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh ternak, biasanya dinyatakan dalam bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase makan disebut koefisien cerna (McDonald et al., 2002).

(9)

11 Daya cerna hijauan leguminosa sangat bervariasi yang banyak ditentukan oleh tingkat protein yang dikandungnya. Rendahnya protein kasar yang dicerna oleh seekor ternak tergantung tinggi rendahnya persentase protein dalam tanaman. Pada umumnya nilai daya cerna leguminosa lebih tinggi daripada rumput. Hal ini dimungkinkan karena leguminosa mempunyai kualitas yang baik terutama kandungan proteinnya yang tinggi (Ella, 1996). Kecernaan leguminosa pohon bervariasi. Gamal (Glicirida sepium) memiliki daya cerna berkisar antara 50%-75%, Leucaena leucocephala berkisar antara 65%-87%, kaliandra berkisar antara 35%-42% (Karti, 1998).

McDonald et al (2002) menyatakan bahwa zat makanan yang tercerna dapat dihitung dengan mengukur selisih zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan zat makanan yang tersisa dalam feses. Pengukuran kecernaan dapat dilakukan secara langsung pada ternak (in vivo) maupun tidak langsung di laboratorium (in vitro) dan melalui metode kantong nilon (in sacco).

Pengukuran kecernaan ternak ruminansia secara langsung (in vivo) dilakukan melalui koleksi feses total yang lebih mudah dilakukan pada ternak jantan karena saluran ekskresi feses (rektum) terpisah dari saluran uretra. Ternak ditempatkan dalam kandang individu sehingga dapat diukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan feses yang dikeluarkan. Tingkat kecernaan pakan dapat dihitung dengan rumus berikut (Cheeke, 2005):

% Kecernaan = Pakan yang dikonsumsi – Jumlah feses x 100% Pakan yang dikonsumsi

Sebelum melakukan koleksi feses, ternak harus beradaptasi terhadap pakan yang diberikan untuk memastikan kestabilan mikroflora dalam saluran pencernaan terhadap perlakuan pakan dan menghilangkan residu pakan yang diberikan sebelumnya. Adaptasi selama 10-14 hari dilakukan untuk memaksimalkan tingkat konsumsi pakan. Metode koleksi feses dibagi menjadi dua yaitu koleksi total feses dan koleksi sampel feses. Koleksi total dilakukan dengan mengumpulkan seluruh feses yang dikeluarkan ternak pada waktu yang sama setiap harinya. Sedangkan koleksi sampel feses dilakukan dengan mengambil feses dari rektum dua kali per

(10)

12 hari. Hasil koleksi feses harus dijaga dari kontaminasi. Panjang waktu koleksi feses adalah 4-12 hari (Rymer, 2000).

Salah satu unsur yang terpenting dalam ransum kelinci adalah protein (NRC 1977). Kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh tingginya kandungan protein kasar dalam ransum (Garcia et al., 1993). Kecernaan zat-zat makanan akan cenderung meningkat apabila kadar protein bahan makanan meningkat, serta kualitas protein sangat penting untuk kelinci karena konsumsi akan meningkat jika dalam ransum mengandung protein yang berkualitas tinggi (Lang, 1981). Faktor lain yang mempengaruhi kecernaan protein adalah ADF (Acid Detergent Fiber). Pakan yang mengandung ADF tinggi kemungkinan kandungan selulosa dan ligninnya tinggi, sehingga menyebabkan menurunnya kecernaan protein (Cheeke, 1987). Amrinawati (2004) melaporkan ransum bahwa kecernaan protein dipengaruhi oleh komposisi asam amino tersebut digunakan dalam tubuh ternak. Kecernaan protein kelinci yang diberi ransum komplit mengandung bungkil kedelai dan tepung ikan berkisar antara 67,79% - 78,78% (Amrinawati, 2004), sedangkan kecernaan protein kelinci yang diberi ransum biomassa ubi jalar sebesar 70,75% (Khotijah, 2006). Menurut Nicodema et al. (2007) kecernaan serat kasar kelinci yang diberi ransum mengandung kulit kedelai dan tepung biji anggur sebesar 21,6%.

Gambar

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci  Sumber: Cheeke et al.  (2000)
Gambar 2: Tanaman Indigofera zollingeriana  Sumber : Dokumentasi Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai jenis konsentrat terhadap konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan ternak kelinci jenis New Zealand

Kelinci merupakan salah satu ternak yang mempunyai peran dan prospek yang cukup baik untuk dibudidayakan. Kelinci sebagai penghasil daging merupakan salah satu

Kelinci merupakan salah satu ternak yang mempunyai peran dan prospek yang cukup baik untuk dibudidayakan. Kelinci sebagai penghasil daging merupakan salah satu

Kelinci merupakan salah satu ternak yang mempunyai peran dan prospek yang cukup baik untuk dibudidayakan. Kelinci sebagai penghasil daging merupakan salah satu

Bobot badan kelinci yang diharapkan pada peternakan komersial adalah 1.8-2.7 kg dengan produksi daging karkas 0.9-1.4 kg yang persentase karkasnya sebesar 55% dan rasio otot

Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet lebih baik dibandingkan dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash , hal ini dikarenakan ternak tidak

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah penambahan rumput laut (Sargassum sp.) sampai 8% pada ransum kelinci New Zealand White jantan menghasilkan rasio daging

Pertama kemampuan kelinci baik sekali dalam mengubah pakan menjadi daging dan tiap kilogram berat hidup kelinci akan menghasilkan daging yang lebih banyak dibandingkan