• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 j RAN HIV Health Sector Action Plan 2015 2019 FINAL 070615

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1 j RAN HIV Health Sector Action Plan 2015 2019 FINAL 070615"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Rencana Aksi Nasional

Pengendalian HIV-AIDS

Tahun 2015 - 2019

(2)

Rencana Aksi Nasional

Pengendalian HIV dan AIDS

Bidang Kesehatan

2015-2019

(3)

Sambutan Direktur Jenderal Pencegahan

Pengendalian Penyakit

Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan 2015-2019 merupakan penjabaran dari Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015 – 2019 dan merupakan kelanjutan dari rencana pengendalian penyakit HIV dan AIDS sebelumnya yang telah berakhir pada tahun 2014. Dalam penyusunan rencana aksi ini juga mengacu pada Visi, Misi, dan Nawacita Presiden yang ditetapkan pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019.

Rencana aksi ini berisi upaya pengendalian yang dijabarkan dalam bentuk strategi, kegiatan, indikator dan target sampai dengan kerangka pendanaan yang bertujuan untuk menghentikan epidemi AIDS di Indonesia pada tahun 2030 sesuai dengan situasi epidemi di setiap wilayah serta kondisi sumber daya yang tersedia. Rencana aksi ini menjadi dasar dalam penyelenggaraan program pengendalian HIV dan AIDS untuk digunakan sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program dalam kurun waktu 2015-2019, serta dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan jajaran kesehatan baik di Pusat maupun Daerah termasuk dukungan lintas sektor pemerintah maupun swasta serta dunia usaha.

Saya mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkonstribusi dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan Tahun 2015-2019 dengan mengajak kepada semua pihak untuk saling bersinergi dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan guna tercapainya sasaran pembangunan kesehatan.

(4)
(5)
(6)
(7)

Daftar Isi

Kata Pengantar... Error! Bookmark not defined.

Ringkasan Eksekutif ... iii

Sambutan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan LingkunganError! Bookmark no Daftar Isi ... v

Daftar Istilah dan Singkatan ... viii

Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan ... 10

Tahun 2015-2019 ... 10

Bab 1 Pendahuluan ... 10

1.1 Latar Belakang ... 10

1.2 Dasar Hukum ... 12

1.3 Kebijakan Pembangunan Nasional ... 16

Bab 2 Analisis Situasi ... 19

2.1 Situasi Epidemi Global ... 19

2.2 Situasi Epidemi di Indonesia ... 19

2.3 Situasi Pengendalian HIV dan AIDS ... 24

2.3.1 Perkembangan respon untuk mengendalikan HIV dan AIDS di Indonesia ... 24

2.3.2 Perkembangan Program dan Cakupan ... 28

Bab 3 Kebijakan dan Target ... 35

4.2.1 Kegiatan utama Strategi-1: Meningkatkan cakupan layanan HIV-AIDS dan IMS melalui LKB ... 40

4.2.1.1 Peningkatan Konseling dan Tes HIV ... 40

4.2.1.2 Peningkatan Cakupan dan Retensi Pengobatan ARV ... 42

4.2.1.3 Pengendalian Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Kesehatan Reproduksi (Kespro) ... 45

4.2.1.4 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), ... 48

4.2.1.5 Kolaborasi TB-HIV ... 50

4.2.1.6 Pengembangan Laboratorium HIV dan IMS ... 52

4.2.1.7 Program Pengurangan Dampak Buruk Napza (PDBN) ... 56

4.2.1.8 Kewaspadaan Standar ... 59

4.2.1.9 Peningkatan Promosi Pencegahan HIV dan IMS ... 61

4.2.1.10 Meningkatkan Pengamanan Darah Donor dan Produk Darah Lain ... 63

(8)

4.2.2.1 Memperkuat Sistem Pembiayaan Program ... 69

4.2.2.2 Penguatan Manajemen Program ... 70

4.2.2.3 Pengembangan Sumber Daya Manusia ... 72

4.2.2.4 Penguatan Sistem Informasi Strategis dan Monitoring dan Evaluasi ... 75

4.2.2.5 Penguatan Tata Kelola Logistik program HIV-AIDS dan IMS ... 76

4.2.2.6 Memperkuat Jejaring Kerja dan Meningkatkan Partisipasi Masyarakat ... 82

Bab 5 Pembiayaan ... 84

5.1 Prinsip Penganggaran ... 84

5.2 Transparansi dan Akuntabilitas ... 85

5.3 Kapasitas Fiskal dan Upaya Fasilitasi ... 85

Bab 6 Monitoring dan Evaluasi ... 87

6.1 Monitoring ... 87

6.2 Evaluasi... 87

Penutup ... 88

Daftar Pustaka ... 89

Daftar Tabel dan Gambar

Tabel 1. Tabel Indikator Pencapaian Pembangunan Kesehatan Nasional ... 18

Tabel 2. Target ... 36

Tabel 3. Rencana Pengembangan Layanan Konseling dan Tes HIV tahun 2015-2019 di Indonesia ... 41

Tabel 4. Target cakupan KT-HIV tahun 2015 – 2019 ... 41

Tabel 5. Target cakupan tes HIV pada bumil, pasien TB dan pasien IMS ... 41

Tabel 6. Rencana Pengembangan layanan PDP tahun 2015-2019 di Indonesia ... 43

Tabel 7. Target cakupan pengobatan ARV tahun 2015 – 2019 ... 43

Tabel 8. Rencana Pengembangan Layanan IMS tahun 2015 – 2019 di Indonesia ... 45

Tabel 9. Target Cakupan Layanan IMS tahun 2015 – 2019 di Indonesia ... 46

Tabel 10. Rencana Pengembangan Layanan PPIA tahun 2015-2019 di Indonesia ... 48

Tabel 11. Target Layanan PPIA tahun 2015-2019 di Indonesia ... 49

Tabel 12. Indikator & Target ... 51

Tabel 13. Rencana Pengembangan Layanan TB-HIV tahun 2015-2019 di Indonesia ... 51

Tabel 14. Rencana Pengembangan Layanan LASS tahun 2015-2019 di Indonesia ... 57

Tabel 15. Rencana Pengembangan Layanan PTRM tahun 2015 – 2019 di Indonesia ... 58

Tabel 16. Rencana Pengembangan UTD yang mampu melaksanakan uji saring IMLTD dengan metode immunoassay tahun 2015-2019 di Indonesia ... 67

Tabel 17. Data Pelatihan terkait Program Pengendalian HIV-AID dan IMS yang pernah dilaksanakan di Pusat tahun 2014 ... 73

(9)

Gambar 1. Estimasi infeksi HIV baru berdasarkan populasi kunci Tahun

2000-2025 ... 20

Gambar 2. Jumlah kasus Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin sampai dengan September 2014 ... 20

Gambar 3. Estimasi Jumlah ODHA di Indonesia per Provinsi, tahun 2012 ... 21

Gambar 4. Kaskade Pengobatan ARV ... 24

Gambar 5. Kerangka Kerja Layanan Komprehensif Berkesinambungan ... 28

Gambar 6. Jumlah Pasien PTRM aktif pertahun, Tahun 2010- September 2014 ... 29

Gambar 7. Jumlah Orang yang dites HIV pertahun, Tahun 2010- Sept 2014 ... 29

Gambar 8. Skema Sistem Rujukan Laboratorium HIV dan IMS ... 54

Gambar 9. Jumlah Fasyankes yang memberikan Layanan PTRM dan Perkembangan Jumlah Kumulatif Pasien yang dilayani (2007 – 2014) ... 58

Gambar 10. Jumlah Unit Transfusi Darah Berdasarkan Kepemilikan Tahun 2013 ... 64

Gambar 12. Hasil Uji Saring IMLTD tahun 2005-2013 ... 66

Gambar 13. Dukungan Sistem Kesehatan dalam Pelaksanaan LKB ... 68

(10)

Daftar Istilah dan Singkatan

AEM : Asian Epidemic Model

AIDS : Aqcuired Immuno Deficiency Syndrome APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional ART : Antiretroviral Therapy

ARV : Antiretroviral

Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

CD4 : cluster of differentiation 4, salah satu jenis sel darah putih DFAT : (Australian) Department of Foreign Affairs and Trade

DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Fasyankes : Fasilitas Layanan Kesehatan

GARPR : Global AIDS response progress reporting HIV : Human Immunodeficiency Virus

IBI : Ikatan Bidan Indonesia ICA : Investment Case Analysis IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia IDI : Ikatan Dokter Indonesia

IMLTD : Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah IMS : Infeksi Menular Seksual

IVA : Inspeksi Visual dengan Asam Asetat JKN : Jaminan Kesehatan Nasional

Kemendagri : Kementerian Dalam Negeri Kemenkes : Kementerian Kesehatan Kemensos : Kementerian Sosial

KKP : Kantor Kesehatan Pelabuhan KPA : Kuasa Pengguna Anggaran

KPAN : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

KTIPK : Konseling, Testing Inisisasi Petugas Kesehatan Lapas : Lembaga Pemasyarakatan

LASS : Layanan Alat Suntik Steril

LKB : Layanan Komprehensif Berkesinambungan LSL : Laki-laki yang berhubungan Seks dengan Laki-laki MDGs : Millenium Development Goals

NAPZA : Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya ODHA : Orang Dengan HIV dan AIDS

PBI : Penerima Bantuan Iuran

PDBN : Pengurangan Dampak Buruk akibat NAPZA PDP : Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Penasun : Pengguna Napza Suntik

Perdossi : Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia

(11)

PKVHI : Perhimpuan Konselor VCT HIV Indonesia POGI : Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia PPIA : Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak

PP INH : Pengobatan Preventif Isoniazid (IPT = Isoniazid preventive therapy) PPNI : Persatuan Perawat Nasional Indonesia

PPU : Pekerja Penerima Upah

PTRM : Pelayanan Terapi Rumatan Metadon Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

RAN : Rencana Aksi Nasional Renja : Rencana Kerja

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RKA-KL : Rencana Kerja dan Anggaran – Kementerian dan Lembaga RKP Rencana Kerja Pemerintah

RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah

RS : Rumah Sakit

Rutan : Rumah Tahanan SCP : Survei Cepat Peri laku

SIKDA : Sistem Informasi Kesehatan Daerah SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah

SKPD – KUA : Satuan Kerja Perangkat Daerah – Kebijakan Umum Anggaran SKPD - RKA : Satuan Kerja Perangkat Daerah – Rencana Kerja Anggaran SPM : Standar Pelayanan Minimum

SRAN : Strategi dan Rencana Aksi Nasional (untuk HIV dan AIDS) SSH : Surveilans Sentinel HIV

STBP : Survei Terpadu Bilogis dan Peri laku

TB : Tuberculosis

TEMPO : Temukan secara aktif, Pisahkan dan Obati TKHIV : Tes, Konseling HIV

TWG : Technical Working Group

UN : United Nations (Persatuan Bangsa-Bangsa) UNAIDS : Joint United Nations Programme on HIV/AIDS UNDP : United Nations Development Programme UNFPA : United Nations Population Fund

UNICEF : United Nations Children’s Fund

UNGASS : United Nations General Assembly Special Session UTD : Unit Transfusi Darah

Waria : Wanita Pria (Trans-gender)

WBP : Warga Binaan Pemasyarakatan (penghuni Lapas dan Rutan) WHO : World Health Organization

(12)

Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan

AIDS Bidang Kesehatan

Tahun 2015-2019

Bab 1

Pendahuluan

1.1

Latar Belakang

Hasil estimasi dan proyeksi HIV/AIDS (Kemkes, 2014), memperkirakan lebih dari satu juta orang Indonesia akan terinfeksi HIV pada tahun 2025. Angka estimasi dapat meningkat bila upaya percepatan penanggulangan HIV dan AIDS tidak segera dilakukan.

Tantangan yang dihadapi sangat besar, dipandang dari segi geografis maupun sosial-ekonomi. Indonesia berpenduduk terbesar ke-empat di dunia dan terdiri 17,500 pulau serta dengan sistem pemerintahan terdesentralisasi mencakup 508 kabupaten/kota di 34 provinsi. Jika Indonesia mampu mengendalikan HIV dan AIDS di seluruh wilayah, maka dapat memberikan manfaat juga bagi upaya pengendalian HIV dan AIDS secara global.

Dalam pelaksanaan pengendalian HIV dan AIDS selama periode 2009-2014, telah banyak terjadi perkembangan dan kesepakatan baru di tingkat nasional, regional maupun global, yang mempengaruhi arah pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia untuk tahun 2015-2019, seperti:

• Di tingkat global: adanya komitmen politik dan penetapan target global untuk mencapai cakupan pengobatan ARV sebanyak 15 juta pada tahun 2015 oleh negara anggota PBB.

• Di tingkat regional: disepakatinya Gettting to Zero1 termasuk Universal Access

terhadap pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan terkait HIV dan AIDS pada pertemuan KTT ASEAN di Bali.

• Berdasarkan bukti ilmiah dari berbagai negara terutama Afrika, pada tahun 2013 WHO merekomendasikan inisiasi ART dini untuk mencegah angka kematian terkait AIDS, dan mencegah 3,5 juta orang tertular HIV. (Sumber: WHO and UNAIDS. Global update on HIV treatment: results, impact and opportunities, Geneva, WHO, 2013).

• Di Indonesia, rekomendasi WHO ini diadaptasi dengan melakukan akselerasi temuan kasus HIV2,3 dan memperluas inisiasi dini ART, untuk segera mendapatkan

1

(13)

pengobatan ARV berapapun jumlah CD4 nya pada kelompok populasi kunci (WPS, Penasun, Waria, LSL) dan kelompok khusus (ibu hamil, pasien ko-infeksi TB-HIV, pasien ko-infeksi Hepatitis B-HIV, dan ODHA yang pasangan tetapnya HIV negatif)

• Dengan tersedianya bukti bahwa pemberian ARV mengendalikan HIV hingga tidak terdeteksi dan memperbaiki kualitas hidup serta menurunkan risiko penularan, maka pemberian ARV dapat dilakukan di tingkat Fasyankes primer, oleh dokter sebagai kewenangan dasar melakukan inisiasi dini pengobatan ARV, bahkan pada situasi epidemi generalisata dapat dilakukan task-shifting kepada petugas kesehatan lain yang terlatih

• Hasil Kajian Eksternal Respon Sektor Kesehatan terhadap HIV dan AIDS di Indonesia pada tahun 2011 dalam rangka akselerasi pencapaian Getting to Zero, dapat diidentifikasi beberapa hal yang perlu perhatian khusus, seperti:

o revitalisasi pengendalian HIV-AIDS dan IMS di Puskesmas dan RS,

o penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota,

o peningkatan keterlibatan odha dan keluarganya, komunitas/LSM peduli AIDS, populasi kunci dan kader masyarakat dalam upaya penjangkauan,

o perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas,

o perluasan kampanye peningkatan pengetahuan komprehensif tentang pencegahan penularan HIV dan AIDS dan bahaya Napza di lingkungan pendidikan formal dan non-formal, terstruktur (kurikuler) maupun tidak terstruktur (nonkurikuler).

o penguatan penanganan pencegahan penularan lebih lanjut berupa distribusi kondom dan layanan alat suntik steril (LASS) di Fasyankes,

Rencana Aksi Nasional (RAN) ini disusun dengan merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019 dimana isu HIV dan AIDS menjadi bagian dari strategi pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. RAN ini akan menjadi acuan pengembangan strategi dan pelaksanaannya di sektor pemerintahan, swasta, para mitra kerja dan masyarakat dalam pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia dengan memperhatikan prioritas nasional dalam memantapkan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dengan mengedepankan keunggulan kompetitif sesuai struktur budaya dan sosial dan SDM yang berkualitas untuk pemenuhan hak rakyat Indonesia di bidang kesehatan, khususnya HIV-AIDS dan IMS di Indonesia.

Dokumen ini juga akan menjadi acuan untuk penyusunan RAPBN dan RAPBD serta pengembangan rencana aksi masing-masing provinsi dan kabupaten/kota sebagai pemenuhan UU Pemerintahan Daerah. Selain itu, di tingkat nasional dokumen ini menjadi perangkat untuk mobilisasi dana ke tingkat nasional maupun internasional. Kegiatan yang dipaparkan dalam RAN ini berorientasi pada kegiatan-kegiatan intervensi yang

2

Surat Edaran Kementrian Kesehatan no. 129 tahun 2013

3

(14)

terstruktur terpadu , dengan prioritas sasaran adalah masyarakat berisiko tinggi dan orang terinfeksi HIV, serta masyarakat rentan lainnya dengan pendekatan pelayanan komprehensif berkesinambungan, mulai dari tahap promosi, pencegahan, deteksi dini/penemuan kasus dengan tes HIV dan diagnosis, pengobatan sampai perawatan dan dukungan serta rehabilitasi kesehatan.

1.2

Dasar Hukum

Dasar Hukum RAN ini menjadi dasar dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS di semua tingkatan untuk:

1. Mobilisasi sumber daya baik nasional maupun daerah secara optimal sebagai investasi pembangunan nasional, termasuk sumber pendanaan internasional serta dukungan para mitra lainnya

2. Mengembangkan pelayanan HIV dan AIDS secara terintegrasi sesuai dengan epidemi HIV setempat dalam kerangka kerja layanan komprehensif berkesinambungan (LKB)

3. Menentukan rincian target pencapaian tahunan (indikator tahun 2015-2019, dan memasukannya dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah-Kebijakan Umum Anggaran (Renja SKPD-KUA) dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah-Rencana Kerja Anggaran (SKPD-RKA)

4. Menetapkan indikator yang dapat dilakukan oleh wilayahnya, serta memantau perkembangannya dengan mengacu pada indikator yang tertuang dalam RAN ini. 5. Meningkatkan koordinasi pengendalian HIV dan AIDS secara berjenjang dan terpadu

Dasar Hukum dan peraturan perundangan tersebut adalah sbb:

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 4. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia

7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial 9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 10.Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba.

11.Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 12.Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

(15)

14.Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

15.Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara 16.Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 17.Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan 18.Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan

19.Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular.

20.Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintahan Propinsi dan pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

21.Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

22.Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah.

23.Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika

24.Peraturan Pemerintah RI Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif

25.Peraturan Pemerintah RI Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik

26.Peraturan Pemerintah RI Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan

27.Peraturan Pemerintah RI Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi 28.Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional.

29.Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.

30.Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. 31.Peraturan Presiden RI Nomor 76 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Paten Oleh

Pemerintah Terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral.

32.Peraturan Presiden RI Nomor 32 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.

33.Peraturan Presiden RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019

34.Peraturan Presiden RI Nomor 3 tahun 2015 tentang perubahan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2015

35.Peraturan Bersama Mendagri Nomor 15 Tahun 2010 dan Menkes Nomor 162/Menkes/PB/I/2010 tentang Pelaporan Kematian dan Penyebab Kematian 36.Peraturan Menteri Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 2 Tahun 2007

(16)

37.Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / KaBappenas Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

38.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis

39.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/MENKES/PER/VII/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

40.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.

41.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 411/Menkes/Per/III/2010 tentang Laboratorium Klinik

42.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

43.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian

44.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

45.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan.

46.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran

47.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat.

48.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 46 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang dalam Proses atau yang telah Diputus oleh Pengadilan.

49.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 tahun 2013 tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan.

50.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 17 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.

51.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2013 tentang Cara Penyelenggaraan Laboratorium Klinik yang Baik.

52.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak

53.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 55 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis

(17)

55.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pemeriksaan Laboratorium untuk Ibu Hamil, Bersalin dan Nifas.

56.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan.

57.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional

58.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 tahun 2014 tentang Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik

59.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

60.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2014 tentang Klinik

61.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak

62.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

63.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV

64.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas

65.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular

66.Kesepakatan Bersama Menkes, Mendagri, Mendikbud, Menag dan Mensos RI tentang Peningkatan Pengetahuan Komprehensif HIV dan AIDS pada Penduduk Usia 15 sampai dengan 24 Tahun

67.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1190/MENKES/SK/X/2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retro Virat (ARV) untuk HIV/AIDS.

68.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 567 Tahun 2006 tentang Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza

69.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1278/MENKES/SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV.

70.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.

71.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 451/MENKES/SK/XII/2012 tentang Rumah Sakit Rujukan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS.

72.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 328/Menkes/SK/VIII/2013 Tentang Formularium Nasional

73.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 445/Menkes/SK/XI/2013 Tentang Kelompok Kerja Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS Kementerian Kesehatan. 74.Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor GK/MENKES/001/I/2013 tentang

(18)

75.Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV DAN AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).

76.Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Nomor HK.02.03/D/III.2/823/2013 tentang Alokasi Pembiayaan Logistik Program Pengendalian HIV DAN AIDS dan IMS.

77.Surat Edaran Direktur Jenderal BUK Nomor HK.03.03/III/0992/2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Orng dengan HIV-AIDS di Rumah Sakit

78.Surat Direktur PPML Nomor BN.01.01/III.2/2482/2013 Perihal Surat Pemberitahuan Proses Aktivasi Layanan ARV

1.3

Kebijakan Pembangunan Nasional

1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015 – 2019

Arah pembangunan nasional tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang merupakan tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007. Dengan berpayung kepada UUD 1945 dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJP tadi, RPJMN 2015-2019, disusun sebagai penjabaran dari Visi, Misi, dan 9 agenda prioritas yang disebut Nawa Cita yaitu:

a. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara.

b. Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.

c. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

d. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

e. Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia.

f. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.

g. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

h. Melakukan revolusi karakter bangsa.

i. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

(19)

Sesuai dengan visi pembangunan “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong”, maka pembangunan nasional 2015-2019 akan diarahkan untuk mencapai sasaran utama yang mencakup:

a. Sasaran Makro;

b. Sasaran Pembangunan Manusia dan Masyarakat: c. Sasaran Pembangunan Sektor Unggulan;

d. Sasaran Dimensi Pemerataan;

e. Sasaran Pembangunan Wilayah dan Antarwilayah; f. Sasaran Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan

Pembangunan Kesehatan merupakan bagian dari sasaran utama kedua;

Pembangunan Manusia dan Masyarakat yang meliputi Kependudukan dan keluarga berencana, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak. Sasaran dalam pembangunan kesehatan meliputi tiga sasaran pokok yaitu 1) meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat; 2) meningkatnya pengendalian penyakit menular dan tidak menular dan 3) meningkatnya pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan dan sumber daya kesehatan.

2. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015 – 2019

Rencana Strategis Kementerian Kesehatan merupakan penjabaran dari RPJMN 2015-2019, dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/52/2015. Renstra ini disusun dengan mengacu pada Visi, Misi, dan Nawacita Presiden yang ditetapkan pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019.

Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 ini digunakan sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam kurun waktu 2015-2019, serta dilaksanakan oleh seluruh stakeholders jajaran kesehatan baik di Pusat maupun Daerah termasuk dukungan lintas sektor dan dunia usaha. Selanjutnya Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 dijabarkan dalam bentuk Rencana Aksi Program (RAP) di tingkat Eselon I dan Rencana Aksi Kegiatan (RAK) di tingkat Eselon II.

(20)

kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan; (4) meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan, (5) terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin; serta (6) meningkatkan responsivitas sistem kesehatan.

Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS menjadi salah satu sasaran penting dari pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya pengendalian penyakit sebagaimana dapat dilihat pada tabel rencana pencapaian yang diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut:

Tabel 1. Tabel Indikator Pencapaian Pembangunan Kesehatan Nasional

No Indikator Status Awal

2013 Target 2019

1 Meningkatnya Status Kesehatan dan Gizi Masyarakat

1 AKI per 100.000 kelahiran hidup 346 306

2 AKB per 1.000 kelahiran hidup(persen) 32 24

3 Prevalensi kekurangan gizi pada anak balita 19,6 17

4 Prevalensi stunting pada anak baduta 32,9 28

2 Meningkatnya Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak Menular

1 Prevalensi TB per 100.000 penduduk 297 245

2 Prevalensi HIV (persen) 0,46 < 0,50

3 Jumlah Kab/Kota mencapai eliminasi malaria 212 300

4 Prevalensi tekanan darah tinggi (persen) 25,8 23,4

5 Prevalensi obesitas pada penduduk 18+

tahun 15,4 15,4

6 Prevalensi merokok penduduk usia < 18

tahun 7,2 5,4

3 Meningkatnya Pemerataan dan Mutu Pelayanan Kesehatan 1

Jumlah kecamatan yang memiliki minimal

satu puskesmas yang tersertifikasi akreditasi 0 5.600

2 Jumlah kab/kota yang memiliki minimal satu

RSUD yang tersertifikasi akreditasi nasional 10 481

3 Persentase kab/kota yang mencapai 80%

imunisasi dasar lengkap pada bayi 71,2 95

4 Meningkatnya Perlindungan Finansial, Ketersediaan, Penyebaran dan Mutu Obat serta Sumber Daya Kesehatan

1 Persentase kepesertaan JSN kesehatan

(persen) 51,8 Min 95

2 Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5

jenis tenaga kesehatan 1.015 5.600

3 Persentase RSU Kab/kota kelas C yang

memiliki 7 dokter spesialis 25 60

4 Persentase ketersediaan obat dan vaksin di

Puskesmas 75,5 90

(21)

Bab 2

Analisis Situasi

2.1

Situasi Epidemi Global

Secara global, epidemi HIV mengalami penurunan sekitar 33% sejak 2001, sehingga pada tahun 2012 diperkirakan terjadi hanya sekitar 2,3 juta infeksi baru pada dewasa dan anak. Kematian yang dikaitkan dengan AIDS menurun sampai 30% sejak 2005 karena peningkatan akses pengobatan ARV, termasuk kematian yang dikaitkan dengan TB, juga menurun sampai 30% sejak 2004 (WHO, Global Update on HIV treatment, 2013).

Dalam setahun, telah terjadi peningkatan 20% dalam pengobatan ARV karena hampir 10 juta orang dari negara-negara berkembang mendapat akses pengobatan ARV. Diperkirakan di tahun 2013 dan seterusnya akan ada tambahan 10 juta ODHA lagi yang masuk ke dalam kriteria pengobatan sebagai dampak dari perubahan batas ambang nilai CD4 untuk pengobatan ARV yang diperlonggar dari 350 cell/mm3 menjadi 500 cell/mm3 4. Beberapa negara bahkan telah menjalankan Test and Treat dimana inisiasi pengobatan ARV dilakukan segera setelah hasil tes HIV nya positif, tanpa perlu merujuk pada nilai CD4-nya.

Pengendalian HIV dan AIDS di Asia Pasifik cukup sukses dengan perkiraan penurunan infeksi baru HIV sampai dengan 26% sejak 2001. Jika dihitung pencapaian keseluruhan region Asia Pasifik, cakupan pengobatan ARV mencapai 51%, atau peningkatan sampai 46% sejak tahun 2009. Kematian yang dikaitkan dengan AIDS diperkirakan menurun sampai 270.000 orang atau 18% sejak 2005 sampai 2012.

2.2

Situasi Epidemi di Indonesia

Indonesia menghadapi epidemi HIV terkonsentrasi di sebagian besar provinsi, kecuali di dua provinsi, yaitu Papua dan Papua Barat, menghadapi epidemi HIV pada populasi umum. Secara nasional, estimasi prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun pada daerah epidemi terkonsentrasi sebesar 0,4%, sedangkan di Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar 2,4% pada populasi kelompok umur yang sama (2013).

Dengan estimasi dan proyeksi HIV dan AIDS yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2012, dapat diperkirakan pada tahun 2013 terdapat 80.000 infeksi baru HIV, 600.000 orang dengan HIV dan AIDS, dan 30.000 orang meninggal terkait AIDS di Indonesia. Situasi ini akan terus mengalami peningkatan jika tidak dibarengi dengan upaya yang strategis.

4

(22)

Pada daerah epidemi terkonsentrasi, infeksi HIV terjadi dengan angka prevalensi tinggi pada populasi kunci, seperti laki-laki suka seks dengan laki-laki (LSL), waria, wanita pekerja seks (WPS) dan pelanggannya, serta pengguna napza suntik (penasun). Pada tahun 2012, diperkirakan estimasi jumlah populasi kunci tersebut sebesar 8 juta orang.

Estimasi infeksi baru HIV yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah infeksi baru HIV pada orang dewasa mengalami peningkatan terutama pada kelompok LSL, dan perempuan dari populasi umum (Gambar 1).

Gambar 1. Estimasi infeksi HIV baru berdasarkan populasi kunci Tahun 2000-2025

(Sumber: Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia, Kemenkes 2012)

Berdasarkan laporan program HIV provinsi, secara kumulatif sampai dengan September 2014 telah ditemukan 150.296 orang yang HIV positif, dimana 86,3% dari seluruh kasus merupakan kelompok umur 20-49 tahun (69,1% pada kelompok umur 25-49 tahun, 17,2% pada kelompok umur 20-24 tahun – (Kemenkes, 2014).

Gambar 2. Jumlah kasus Infeksi HIV Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin sampai dengan September 2014

(23)

Laporan kasus HIV sejak tahun 2008 – hingga September 2014 menunjukkan bahwa proporsi perempuan terinfeksi HIV mengalami peningkatan dari 34% menjadi 42%.

Peta di dibawah ini menunjukkan sebaran ODHA di Indonesia yang bervariasi antar wilayah. Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali merupakan 7 (tujuh) provinsi dengan jumlah ODHA terbesar, yaitu melebihi 25.000 orang.

Gambar 3. Estimasi Jumlah ODHA di Indonesia per Provinsi, tahun 2012

Sumber: Estimasi dan Proyeksi HIV di Indonesia, Kemenkes 2012

Indonesia telah melaksanakan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada populasi kunci di dua kelompok daerah yang berbeda. Satu kelompok dilakukan pada tahun 2007 dan 2011, sementara kelompok lainnya dilakukan pada tahun 2009 dan 2013. Selain itu, untuk mendapatkan situasi epidemi pada wilayah STBP tahun 2007 dan 2011, maka pada tahun 2013 Kemenkes melakukan kegiatan surveilans sentinel HIV (SSH) dan survei cepat perilaku (SCP) bersama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. STBP pada populasi umum dilaksanakan di Tanah Papua tahun 2006 dan 2013 pada kelompok usia 15-49 tahun.

Hasil STBP, SSH dan SCP ini memberikan informasi tentang prevalensi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) pada populasi kunci seperti dibawah ini:

1. Penasun

(24)

2. LSL

Data yang sama menunjukkan adanya peningkatan prevalensi HIV pada LSL yang signifikan. Pada STBP 2007 dan 2011, prevalensi HIV pada LSL naik dari 5,3% menjadi 12%, dan STBP 2009 dan 2013 naik dari 7% menjadi 12,8%. Hasil STBP 2013 menunjukkan prevalensi HIV tertinggi pada LSL ditemukan di lokasi survei Kota Tangerang, Kota Yogyakarta, dan Kota Makasar antara 19%-20%. Prevalensi gonore juga mengalami peningkatan di 3 kabupaten/kota tersebut dari 17% menjadi 21% dan klamidia meningkat dari 17% menjadi 23%. Keadaan ini sangat mungkin berhubungan dengan masih rendahnya konsistensi penggunaan kondom saat hubungan seks anal terakhir seperti ditunjukkan di Kota Surabaya yaitu dari 75,9% pada STBP 2011 menjadi 53% pada SSH/SCP 2013.

3. Waria

Hasil STBP 2007 dan SSH/SCP 2013 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada waria mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu dari 23,8% menjadi 19% di 22 kabupaten/kota dimana Kota Malang tercatat mengalami penurunan yang paling signifikan dari 16,8% menjadi 9,2%.

Sejalan dengan penurunan prevalensi HIV pada waria, terjadi pula penurunan prevalensi IMS seperti yang dilaporkan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013 di beberapa lokasi survei. SSH/SCP 2013 mengindikasikan prevalensi sifilis menurun signifikan dari 27,5% menjadi 16,2% pada waria. Perubahan yang signifikan terjadi di Kota Malang dan Bandung dimana prevalensi sifilis turun masing-masing dari 26,4% menjadi 14% dan dari 20,8% menjadi 4,2%. Penurunan prevalensi IMS lainnya juga terjadi pada STBP 2009 dan 2013 pada wilayah survei yang berbeda. Prevalensi klamidia turun dari 24% menjadi 19,8% pada waria di Kota Malang, Kota Samarinda, Kota Pontianak, dan Kota Makasar. Prevalensi gonore juga mengalami penurunan pada periode waktu yang sama.

4. WPSL dan WPSTL

Prevalensi HIV pada WPSL mengalami penurunan yang signifikan di Jakarta dan Bandung seperti yang dapat dilihat dari hasil SSH/SCP 2013 dan STBP 2013, yaitu dari 10,5% menjadi 3,8% dan dari 20,7% menjadi 9,4%, sedangkan kota Malang mengalami peningkatan secara signifikan dari 36,4% menjadi 59,1%.

(25)

10,4% menjadi 2,8%, Kota Surabaya dari 12,4% menjadi 4,6% dan Kota Batang dari 13,4% menjadi 1,2%.

Penurunan prevalensi IMS pada WPS juga tercatat pada STBP 2009 dan STBP 2013 di 9 lokasi survei lainnya (Kota Palembang, Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda, Bitung, Makasar, Sorong, dan Mimika). Prevalensi klamidia turun dari 39,5% menjadi 30,8% pada WPSTL dan dari 42,4% menjadi 40% pada WPSL. Prevalensi gonore mengalami penurunan pada periode waktu yang sama.

Perubahan perilaku merupakan tantangan pada kelompok WPS. Jumlah rata-rata pelanggan WPSL cenderung mengalami kenaikan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013. Penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir sangat bervariasi di berbagai tempat pada kedua survei tersebut. Terjadi penurunan yang signifikan pada proporsi WPSL dalam penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir di Kota Denpasar, yaitu dari 90% menjadi 76,5%, akan tetapi pada periode waktu yang sama terjadi kenaikan yang signifikan proporsi penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir secara umum di lokasi survei dari 49,6% menjadi 65,5%. Tercatat pula bahwa penurunan yang signifikan dari proporsi ini terjadi di Kota Bandung dari 35,1% menjdai 12,5% dan di Kota Malang dari 44,9% menjadi 24,2%.

5. Tanah Papua

Berdasarkan hasil STBP tahun 2013 pada populasi umum usia 15-49 tahun di Tanah Papua, 2,3% populasi terinfeksi HIV dimana 2,3% pada laki-laki dan 2,2% pada perempuan. Hasil survei juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara sirkumsisi pada laki-laki dengan infeksi HIV, dimana infeksi HIV terjadi pada 2,4% laki-laki yang tidak disirkumsisi dan 0,1% pada laki-laki yang disirkumsisi. Pada perempuan, asosiasi yang signifikan terjadinya infeksi HIV adalah pada orang yang melakukan hubungan seks dengan imbalan pada satu tahun terakhir sebesar 3,5%, sedangkan 2,2% perempuan terinfeksi HIV tidak melakukannya. Secara statistik tidak ada perbedaan signifikan antara prevalensi HIV pada STBP tahun 2006 (2,4%) dan 2013 (2,3%) di Tanah Papua.

Prevalensi sifilis aktif dilaporkan sebesar 4,7% pada laki-laki dan 4,2% pada perempuan. Diantara laki-laki yang tidak sirkumsisi ditemukan prevalensi cukup tinggi yaitu 4,8% jika dibandingkan dengan laki-laki yang disirkumsisi sebesar 1,1%.

(26)

2006) menjadi 40,3% (STBP 2013). Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan yang positif pada perilaku seks yang aman.

Peningkatan juga terjadi pada akses ODHA untuk mendapatkan perawatan HIV dan pengobatan ARV. Sampai dengan Bulan September 2014 terdapat 45.631 ODHA yang dalam pengobatan ART dan 2.398 diantaranya anak-anak. Cakupan pengobatan ARV secara nasional mencapai 23% dari ODHA yang membutuhkan pengobatan ARV (dengan dasar perhitungan mengacu pada pedoman WHO tahun 2010 tentang syarat pemberian ARV dengan batas ambang CD4 350 cell/mm3). Percepatan cakupan program dan pengobatan ARV masih menghadapi tantangan besar sebagaimana dapat dilihat dari kaskade pengobatan ARV. Data kumulatif perawatan HIV dan pengobatan ARV tahun 2013 mengindikasikan diantara orang yang masuk perawatan HIV dan memenuhi syarat ART, sekitar 75% memulai ART dan berdasarkan laporan kohort tahun 2013, 71% masih dalam pengobatan setelah 1 tahun, 29% dilaporkan meninggal dan gagal follow-up. Cakupan pengobatan ARV pada ibu hamil dan anak-anak dengan HIVjuga meningkat, namun masih dibawah 20% (ibu hamil) dan 15% (anak-anak).

Gambar 4. Kaskade Pengobatan ARV

(Sumber: Kemenkes, September 2014)

Dengan demikian, akselerasi cakupan tes HIV dan pengobatan ARV serta perbaikan kualitas layanan HIV dan AIDS akan menjadi prioritas dalam 5 tahun mendatang.

2.3

Situasi Pengendalian HIV dan AIDS

2.3.1

Perkembangan respon untuk mengendalikan HIV dan AIDS di

Indonesia

Pada saat ditemukan kasus AIDS pertama di Bali pada tahun 1987, upaya pengendalian HIV dan AIDS dimulai secara lokal di beberapa kota, bekerja sama dengan mitra lembaga internasional dan negara / lembaga donor. Respon sektor kesehatan

45,631 84,030

108,060 153,887

- 50,000 100,000 150,000 200,000 Kumulatif Orang Yang Dalam

Perawatan ART Kumulatif Orang Yang Pernah

Mendapat ART Kumulatif Orang Yang Memenuhi

Syarat ART

(27)

secara nasional dimulai setelah Kementerian Kesehatan membentuk Komisi AIDS Nasional yang diketuai Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2MPL). Upaya pengendalian AIDS menjadi lebih intensif dengan adanya Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1994 tentang pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), yang salah satu tugasnya adalah menyusun strategi nasional dan rencana lima tahun pengendalian HIV dan AIDS. Kementerian Kesehatan menjadi Wakil Ketua 1 Bidang Kesehatan dan berperan lebih aktif dalam pengendalian HIV dan AIDS.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor 1285/MENKES/ SK/X/2002 tentang Pedoman Penanggulangan AIDS dan Penyakit Menular Seksual dan Rencana Strategis Penanggulangan HIV dan AIDS Sektor Kesehatan tahun 2003-2007 menjadi landasan program nasional pengendalian HIV dan AIDS sejak saat itu. Mengacu pada landasan tersebut, Menko Kesra menyusun Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2003-2007. Didukung dengan perkembangan teknologi kesehatan dan mulai tersedianya obat ARV untuk menekan jumlah virus di dalam tubuh ODHA, Kementerian Kesehatan mengembangkan 25 Rumah Sakit Rujukan ODHA pada tahun 2003.

Menteri Kesehatan ikut menandatangani Komitmen Sentani di tahun 2004 bersama-sama dengan Menteri Koordinator bidang Kesehjateraan Rakyat, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Kepala BKKBN, Ketua Komisi VII DPR RI serta 6 Gubernur dari provinsi-provinsi yang paling banyak terkena dampak (Bali, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Riau dan Papua). Komitmen Sentani merupakan upaya menghindari agar epidemi tersebut tidak menjadi lebih luas lagi, dan menyebar ke populasi umum (generalized epidemic) dan menjadi ancaman nasional, melalui 7 poin komitmen.

Untuk menanggulangi masalah penularan HIV melalui penggunaan alat suntik, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan no. 567/2006 tentang Pengurangan Dampak Buruk Pengguna Napza. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi penyediaan dan distribusi peralatan menyuntik steril pada penasun serta menghentikan beredarnya alat suntik bekas pakai yang berpotensi menularkan HIV, Hepatitis B dan C.

(28)

termasuk beberapa daerah dengan beban HIV dan AIDS tertinggi, yaitu di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).

Kemajuan dan peningkatan komitmen pada upaya pengendalian HIV dan AIDS di Tanah Papua dapat dilihat pada peningkatan anggaran baik nasional maupun lokal, dan peningkatan koordinasi program. Hasilnya dapa dilihat dari angka penggunaan kondom tertinggi di Indonesia pada kelompok WPS, namun demikian, cakupan pencegahan dan pengobatan masih menjadi tantangan dengan hanya sekitar 38% ODHA mendapatkan pengobatan ARV. Di beberapa daerah, koordinasi antar layanan masih belum sebaik yang diharapkan dan tantangan yang harus dihadapi di daerah sulit masih sangat berat, antara lain infrastruktur kesehatan yang lemah dan akses ke layanan sangat sulit karena jarak dan tingginya biaya yang harus dibayar pasien.

Terjadi peningkatan anggaran Kemenkes pada pembelanjaan obat ARV, namun, di beberapa provinsi serta kabupaten/kota lain, jumlah pembelanjaan untuk program HIV tidak tampak meningkat sejak tahun 2007, bahkan secara riil menunjukkan ada sedikit penurunan.

Upaya pencegahan juga terlihat meningkat sejak kajian terakhir. Hasil STBP 2013 menunjukkan dampak dari upaya yang ada. Program pencegahan, terutama penggunaan kondom, pengendalian IMS, Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan cakupan program LASS menunjukkan kemajuan meskipun masih sangat terbatas. Beberapa tantangan besar yang masih harus dihadapi antara lain tidak konsistennya penyediaan layanan di provinsi maupun antar provinsi, kurangnya jejaring antar layanan dan antar komponen program, rendahnya cakupan program serta keberlanjutan program pencegahan. Beberapa tahun terakhir telah tampak kemajuan signifikan dalam hal pengembangan jumlah layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP) dan cakupan ART, namun retensi pengobatan ARV masih perlu ditingkatkan. Beberapa layanan PDP telah tampak ada kemajuan, sementara beberapa layanan lain tetap menjadi tantangan, seperti layanan infeksi oportunistik dan HIV pediatrik.

Menindaklanjuti salah satu rekomendasi kajian eksternal terhadap upaya sektor kesehatan dalam pengendalian HIV dan AIDS tahun 2011, Indonesia menerapkan model layanan komprehensif HIV dan IMS berkesinambungan (LKB). Dalam strategi nasional tahun 2010-2014 layanan komprehensif HIV-IMS berkesinambungan menjadi dasar upaya pengendalian HIV, yang bertujuan:

• Meningkatkan akses dan cakupan upaya promosi, pencegahan dan pengobatan HIV dan IMS serta rehabilitasi yang berkualitas dengan memperluas jejaring layanan hingga tingkat Puskesmas, termasuk layanan untuk populasi kunci.

(29)

madani dalam pemberian layanan sebagai cara meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan

• Memperbaiki dampak pengobatan HIV dalam model layanan terintegrasi dan terdesentralisasi di tingkat kabupaten/ kota.

Peraturan Menteri Kesehatan no. 21 tahun 2013 menandai pengaturan kembali prinsip dan strategi penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan perkembangan selama 5 tahun terakhir. Pada tahun tersebut juga telah tersusun buku Pedoman Layanan Komprehsif HIV dan IMS Berkesinambungan (LKB) yang penyelenggaraannya didasarkan atas 6 pilar utama yaitu:

1. Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini untuk mendapatkan dukungan dan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan

2. Peran aktif komunitas termasuk ODHA dan Keluarga untuk membangun akseptabilitas layanan, meningkatkan cakupan, dan retensi, serta mengurangi stigma dan diskriminasi

3. Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat

4. Paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan, berkualitas sesuai kebutuhan individu.

5. Sistem rujukan dan jejaring kerja untuk menjamin kesinambungan dan kelekatan antara komunitas dan layanan kesehatan

6. Akses Layanan Terjamin baik dari sisi geografis, finansial dan sosial, termasuk bagi kebutuhan populasi kunci

Ketiga unsur utama dalam LKB yaitu 1) layanan kesehatan (primer, sekunder, dan tersier) termasuk layanan swasta maupun pemerintah, 2) unsur koordinasi melalui KPAD dan 3) unsur masyarakat termasuk LSM, Ormas, organisasi keagamaan dan kelompok populasi kunci, merupakan jejaring yang harus terkait satu sama lain dalam suatu kerangka kerja sebagaimana tergambar di bawah ini.

(30)

Gambar 5. Kerangka Kerja Layanan Komprehensif Berkesinambungan

2.3.2

Perkembangan Program dan Cakupan

Promosi Kesehatan

Pada tahun 2012, pemerintah berupaya untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk peningkatan pengetahuan tentang HIV dan AIDS bagi masyarakat melalui Kesepakatan Bersama 5 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama. Upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman di kalangan remaja dilakukan melalui melalui program Aku Bangga Aku Tahu (ABAT) yang diintegrasikan dalam kegiatan pendidikan formal dan non-formal (SMP, SMA, MTs, MA, Perguruan Tinggi, Karang Taruna). Program ABAT dilengkapi dengan 325 fasilitator terlatih yang berasal dari 65 Kabupaten/kota di 13 provinsi.

Bentuk kampanye lain yang dilakukan adalah melalui media sosial (Microsite, tweeter dan facebook), media elektronik (media televisi, radio dan talkshow) dan media cetak (periklanan pada koran dan pesan kampanye pada kereta rel listrik di jabodetabek), menjalin kemitraan dengan dunia usaha, koordinasi dan konsolidasi dengan lintas sektor.

Layanan Alat Suntik Steril dan Terapi Rumatan Metadon

Sejak tahun 2006, Puskesmas telah melaksanakan LASS bagi penasun. Sampai dengan tahun 2013, terdapat 194 unit LASS dimana 162 unit adalah Puskesmas dan 32 unit di LSM, yang tersebar di 19 propinsi dan 72 kabupaten/kota. Review program LASS oleh KPAN menyimpulkan akses alat suntik steril di kota-kota seperti Makassar, Surabaya, Medan, Jakarta dan Bandung bagi penasun sudah tidak menjadi masalah. Dari hasil STBP

(31)

2011 juga disebutkan bahwa 33% penasun memperoleh alat suntik steril secara mandiri dari apotek.

Layanan program terapi rumatan metadon (PTRM) umumnya diberikan oleh RS, namun di beberapa kota dengan tingkat kebutuhan yang cukup tinggi seperti di Provinsi DKI Jakarta, Pulau Jawa dan Bali maka layanan terapi rumatan metadon tersedia di Puskesmas dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terpilih. Sampai dengan Bulan September 2014, layanan PTRM berjumlah 86 unit dimana 35 unit di RS, 42 unit di Puskesmas dan 9 unit di Lapas dan Rutan, yang tersebar di 17 provinsi. Jumlah pasien metadon yang aktif cenderung stabil, seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Jumlah Pasien PTRM aktif pertahun, Tahun 2010- September 2014

Konseling dan Tes HIV

Selama 5 tahun terakhir, fasilitas layanan konseling dan tes HIV meningkat 6 kali lipat dari 156 layanan di 27 provinsi pada tahun 2008 menjadi 990 layanan di 33 provinsi pada tahun 2013 dan terus bertambah. Jumlah orang yang dites HIV juga mengalami peningkatan yang signifikan, seperti terlihat pada grafik dibawah ini

(32)

Pemanfaatan layanan tes HIV yang meningkat dikonfirmasi oleh data STBP yang menunjukkan telah terjadi peningkatan pada populasi kunci, waria 45% menjadi 54%, WPSL 54% menjadi 67%, WPSTL 31% menjadi 42%, penasun 40% menjadi 54%, LSL 25% menjadi 38% (STBP 2009 dan STBP 2013).

Penanganan IMS dan Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual

Data STBP 2011 dan STBP 2013 mengungkapkan tetap tingginya angka IMS di kalangan populasi kunci. Angka penggunaan kondom pada seks komersial dilaporkan telah meningkat, tapi angka klamidia dan gonore pada WPSL dan WPSTL meningkat sedangkan prevalensi sifilis dilaporkan berkurang. Prevalensi IMS di populasi umum tidak diketahui dan surveilans IMS tidak secara rutin dilaksanakan.. Kondom mulai tersedia di beberapa klinik, bahkan beberapa Puskesmas sudah mulai menyediakan kondom di tempat-tempat yang mudah diakses. Antibiotik untuk pengobatan sifilis (benzatin penisilin), gonore (sefiksim) dan klamidia (azitromisin) tersedia di klinik IMS, namun pengobatannya terkadang tidak sesuai standar,pemberitahuan pada pasangan dan penanganannya juga tidak rutin dilaksanakan. Belum semua layanan IMS terintegrasi dengan layanan KIA dan skrining sifilis pada ibu hamil tidak secara rutin dilaksanakan. Dilaporkan bahwa pemeriksaan sifilis pernah dilakukan secara rutin di layanan ibu hamil tetapi berhenti pada beberapa tahun terakhir dengan alasan yang tidak jelas.

Jumlah layanan IMS telah bertambah dari 301 layanan pada tahun 2011 menjadi 1.287 layanan di bulan September 2014, 1.174 di antaranya adalah Puskesmas di 124 kabupaten dan 70 kota di 34 provinsi. Dukungan pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis IMS masih kurang memadai, begitu pulapemantapan mutu eksternal nya. Jumlah layanan IMS dan jejaring antara layanan IMS dengan layanan lainnya masih terbatas. Surveilans untuk resistensi terhadap antibiotik juga belum dilakukan secara rutin.

Program Pencegahan Penularan HIV melalui Ibu ke Anak (PPIA)

Berdasarkan hasil proyeksi, prevalensi ibu hamil yang positif cenderung meningkat dari 0,34% pada tahun 2011 menjadi 0,49% di tahun 2016 (Estimasi 2012). Dengan meningkatnya jumlah perempuan usia reproduktif yang terinfeksi HIV, maka penularan HIV dari ibu ke anak akan cenderung meningkat jika upaya pencegahan tidak dipercepat dan diperluas. Sampai September 2014, jumlah unit layanan PPIA telah mencapai 119 Rumah Sakit dan 91 Puskesmas. Sebanyak 236 fasyankes terlatih layanan PPIA di 65 kab/kota di 21 provinsi. Jumlah ibu hamil yang mengikuti tes HIV meningkat secara signifikan dari 100,926 orang (2013) menjadi 215.879 (September 2014), dimana 3.1% (2013) dan 0.9% (September 2014) diantaranya HIV positif.

(33)

2013 tentang Pelayanan PPIA, (2) Peraturan Menteri Kesehatan No 51 tahun 2013, tentang Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), (3) Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (RAN PPIA) 2013-2017, dan (4) Pedoman Pelaksanaan PPIA bagi Petugas Kesehatan. Dokumen-dokumen tersebut mendukung perluasan cakupan tes HIV pada ibu hamil yang datang ke pelayanan antenatal.

Di beberapa layanan, penerimaan atas penawaran tes HIV di kalangan ibu hamil yang dilakukan pada ANC cukup tinggi, namun beberapa layanan konseling dan tes HIV nampak secara pasif menawarkan tes HIV. Dokter spesialis kebidanan belum banyak dilibatkan dan umumnya masih merekomendasikan persalinan melalui bedah sesar tanpa memandang status klinis ataupun terapi ARV. Meskipun banyak ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas, namun kunjungan antenatal pertama di Puskesmas seringkali dilakukan pada kehamilan yang telah lanjut bahkan sering sudah mendekati persalinan. Program monitoring dan evaluasi yang komprehensif atas program layanan PPIA selain pelaporan rutin PPIA mulai dikembangkan melibatkan kedua program.

Program Perawatan, Dukungan dan Pengobatan

Dalam kurun waktu 2009 sampai dengan September 2014 terjadi peningkatan jumlah layanan PDP dari 154 menjadi 329 Rumah Sakit rujukan ARV, 15 Puskesmas Rujukan Mandiri, dan 6 fasyankes lainnya serta 120 unit layanan satelit ARV. Layanan ART masih terpusat di RS, dan masih menjadi kendala bagi beberapa ODHA untuk mengakses ARV karena sulitnya transportasi. Cakupan pengobatan ARV nasional baru 23% dari estimasi jumlah ODHA yang membutuhkan pengobatan ARV. Perluasan layanan ARV sampai ke Puskesmas akan memudahkan ODHA untuk mengakses yang akan meningkatkan cakupan ARV bagi ODHA.

Infeksi oportunistik merupakan penyebab kematian pada ODHA, dan yang paling sering dilaporkan adalah kandidiasis (mencapai 30% dari seluruh kasus infeksi oportunistik) Tuberkulosis (22%), dan diare kronis (22%). (Kemenkes, September 2014).

Surveilans, Monitoring dan Evaluasi

(34)

Sistem pencatatan dan pelaporan rutin dari unit pelayanan kesehatan sampai nasional merupakan bagian dari respon nasional untuk pengendalian HIV–AIDS dan IMS. Sistem informasi yang disebut Sistem Informasi HIV-AIDS dan IMS (SIHA) tersebut diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan pada akhir Desember 2012, dan telah berfungsi dengan baik di 686 fasilitas pelayanan kesehatan pada 146 kabupaten/kota di 24 provinsi.

STBP pada populasi berisiko dilaksanakan secara periodik pada 2 kelompok wilayah yang berbeda. Kelompok pertama terdiri dari 22 kab/kota di 11 provinsi, dan kelompok kedua terdiri dari 9 kab/kota di 9 provinsi. STBP pada kelompok pertama dilaksanakan tahun 2007 dan 2011 dan kelompok kedua pada tahun 2009 dan 2013. STBP juga dilakukan pada populasi umum di Provinsi Papua dan Papua barat, yang dilaksanakan pada tahun 2006 dan tahun 2013.

Pemetaan populasi kunci merupakan alat penting dalam perencanaan program. Pada tahun 2013, Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan KPAN telah mengembangkan petunjuk teknis nasional dengan menggunakan metodologi standar bagi petugas kabupaten/kota dalam melakukan pemetaan populasi kunci, khususnya WPS, waria, LSL dan penasun. Pemetaan populasi kunci dengan metodologi standar ini telah dilaksanakan khusus pada kelompok LSL di 16 kabupaten/kota pada tahun 2014 dan kelompok Penasun di 68 kabupaten/kota.

Estimasi populasi kunci dan proyeksi epidemi HIV telah dilakukan untuk memahami situasi epidemi dalam suatu area, memperkirakan beban penyakit, dan menyusun prioritas yang sesuai dalam merespon epidemi HIV. Kementerian Kesehatan telah melakukan beberapa kali estimasi, yaitu pada tahun 2002, 2004, 2006, 2009, dan 2012. Sedangkan untuk estimasi dan proyeksi epidemi HIV telah dilakukan pada tahun 2008 dan 2012.

Indonesia telah mengadopsi strategi untuk memantau hubungan antara faktor progam pengobatan ARV dan perkembangan resistensi obat HIV (HIV Drug Resistance/HIV-DR) selama pengobatan. Pada tahun 2013, Kementerian Kesehatan membuat strategi nasional untuk pencegahan dan pemantauan resistensi obat HIV sebagai bagian dari program pengendalian HIV dan AIDS nasional. Departemen Mikrobiologi Universitas Indonesia telah ditunjuk sebagai laboratorium rujukan nasional untuk resistensi obat HIV dan sedang dipersiapkan untuk mendapat akreditasi WHO.

Tiga kegiatan utama HIV-DR yang telah dilaksanakan adalah (1) pelaksanaan survei ambang batas (threshold survey)5 untuk memantau mutasi resistensi transmisi, (2)

5

(35)

monitoring indikator kewaspadaan dini (Early Warning Indicators/EWI) di layanan ART6; dan (3) survei pemantauan (monitoring survey) untuk memonitor munculnya mutasi yang resisten selama pengobatan7.

Laporan Kajian Paruh Waktu tahun 2013 terhadap pelaksanaan SRAN 2010-2014 menyimpulkan bahwa meskipun ada respon yang meningkat seperti yang digambarkan di atas, Indonesia masih belum memenuhi target dan dampak program sebagaimana yang diharapkan. MDG menargetkan 95% populasi umum usia 15-24 tahun memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS. Hasil Riskesdas dan Survei Cepat pada tahun 2010, dan 2012 menunjukkan peningkatan dua kali lipat, dari 11,4% pada tahun 2010 menjadi 20,6% pada tahun 2012. Meskipun demikian, tentu saja hasil ini masih jauh dari target MDG.. SRAN 2010-2014 menargetkan 70% populasi kunci memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS. Namun hasil STBP 2011 dan 2013 pada populasi kunci, menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti, yaitu antara 15% - 43% (IBBS 2011) menjadi 15% - 42% (STBP 2013). Penasun memiliki tingkat pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS yang tertinggi pada hasil STBP 2011 dibandingkan populasi kunci lain (44%), namun ada penurunan dibandingkan tahun 2007 (60%).

Penggunaan kondom secara konsisten di antara WPS langsung dan pelanggannya berdasarkan STBP 2011 dan STBP 2013 bervariasi antar kota (5% - 89%). Dari hasil Laporan Bulanan Perawatan HIV dan AIDS (LBPHA), hanya 23% ODHA yang masih minum ARV dari ODHA yang memerlukan ARV. Cakupan PPIA di kalangan ibu hamil meningkat pesat, laporan PPIA dari 131 kab/kota di 31 provinsi menunjukkan bahwa 268.308 ibu hamil mendapat test HIV dengan hasil HIV pos 2061. Sekitar 80% (1624) sudah mendapat ARV. Jumlah lahir hidup dilaporkan 1772 dan jumlah anak yang HIV pos 97. Hasil kegiatan ini masih dibawah 20% terhadap target, dan hanya 15% dari estimasi anak yang memenuhi syarat yang mendapatkan pengobatan ARV.

Hanya sedikit atau tidak ada penurunan prevalensi HIV di antara populasi kunci, kecuali penasun dan WPS langsung yang baru. Bahkan prevalensi di kalangan LSL menjadi dua kali lipat, dan meningkat di antara pelanggan. Kajian Paruh Waktu menggarisbawahi pendekatan yang berpotensi memberi dampak positif di masa mendatang seperti Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang disertai dengan penggunaan strategis obat antiretroviral (Strategic Use of ARV - SUFA).

Hasil analisis finansial tahun 2014 oleh KPAN menunjukkan 49% sumber pendanaan pengendalian HIV dan AIDS berasal dari pembiayaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dimana 5/6 nya berasal dari APBN. Dengan asumsi kontribusi pemerintah pusat

6

EWIs monitoring di 16 RS di 6 Propinsi pada tahun 2011. Rumah sakit yang melaksanakan EWIs 2011 adalah RSK Dharmais, RSPAD Gatot Soebroto, RSPI Sulianti Saroso, RSKO Cibubur, RS Hasan Sadikin, RS dr. Kariadi, RS Sardjito, RS dr. Soetomo, RS Karang Tembok, RS Ramelan, RS Sanglah, RS Buleleng, RS Wangaya, RS Badung, RS Sanjiwani, dan RS Tabanan. Pengembangan EWIs tahun 2012 dilaksanakan pada 82 RS di 18 propinsi.

7

(36)

naik 10% per tahun, pemerintah daerah naik 20% per tahun, dan sektor swasta (filantrofi, CSR, swasta lain) naik 0.5-2% per tahun, maka sampai dengan tahun 2019 Indonesia diperkirakan masih kekurangan dana 55,810,000 USD (ICA 2014).

Pembiayaan untuk pengendalian HIV harus lebih ditingkatkan, terutama APBD bukan hanya APBN. UU no. 36 tahun 2009 menyatakan bahwa minimal 5% anggaran pemerintah pusat dan 10% anggaran pemerintah daerah harus digunakan untuk kesehatan, namun dalam pelaksanaannya alokasi anggaran untuk kesehatan masih rendah. Contohnya, selama ini alat suntik steril dan petugas penjangkau masih mengandalkan dana dari Global Funds ATM dan Australian Aid (melalui proyek HCPI). Hanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kota Bandung yang menyanggupi pengadaan alat suntik steril yang didistribusikan melalui Puskesmas.

Peraturan Menteri Kesehatan no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, menetapkan tugas dan kewajiban di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pengendalian HIV dan AIDS. Surat Edaran Dirjen PP dan PL tahun 2013 tentang Alokasi Pembiayaan Logistik Program Pengendalian HIV-AIDS dan IMS yang mengatur agar pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan obat dan bahan habis pakai melalui anggaran yang menyatu atau terpisah dengan anggaran kesehatan (lihat tabel 1, dalam kegiatan pengadaan).

(37)

Bab 3

Kebijakan, Tujuan dan Target

3.1

Kebijakan

Dasar kebijakan RAN Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 2015-2019 sebagaimana tertuang dalam Permenkes no. 21 tahun 2013, sebagai berikut:

a. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia;

b. memprioritaskan komitmen nasional dan internasional;

c. meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;

d. meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan promotif;

e. meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan;

f. meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;

g. meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;

h. meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan

i. meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna.

Beberapa prinsip yang harus diterapkan dalam pengendalian HIV dan AIDS adalah:

a) memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan norma kemasyarakatan;

b) menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender;

c) kegiatan diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga;

d) kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota;

e) kegiatan dilakukan secara sistimatis dan terpadu, mulai dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi yang terinfeksi HIV (ODHA) serta orang-orang terdampak HIV dan AIDS;

(38)

g) melibatkan peran aktif populasi kunci dan ODHA serta orang-orang yang terdampak HIV dan AIDS;

h) memberikan dukungan kepada ODHA dan orang-orang yang terdampak HIV dan AIDS agar dapat mempertahankan kehidupan sosial ekonomi yang layak dan produktif.

3.2

Tujuan

RAN HIV dan AIDS Bidang Kesehatan ini disusun untuk mencapai tujuan pengendalian HIV dan AIDS.

Tujuan umum:

Menghentikan epidemi AIDS di Indonesia pada tahun 2030.

Tujuan khusus:

• Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru

• Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS

• Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA

3.3

Target

Sejalan dengan kebijakan mencapai Fast Track maka akselerasi kegiatan dilakukan semaksimum mungkin dengan melakukan mobilisasi berbagai sumber baik pemerintah maupun dukungan ekternal dalam mencapai target 90/90/90.

Di bawah ini adalah baseline dan target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2019:

Tabel 2. Target Program Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS

VARIABEL BASELINE 2013/2014 2019

1. Penurunan infeksi HIV baru 50%

a) Prevalensi HIV pada usia 15-49 tahun

0,43 <0,5%

b) Prosentase bayi yang HIV Positif

DO: jumlah bayi lahir dengan HIV Positif dibagi jumlah bayi lahir hidup dari ibu HIV X 100%

Seluruh bayi lahir HIV positif dibagi

total bayi lahir yang hiv positif

4,5% <1 %

c) Cakupan Populasi kunci yang melakukan tes HIV

• WPS =

53,491/228,253x10

(39)

VARIABEL BASELINE 2013/2014 2019

Jumlah populasi kunci yang di tes HIV dan menerima hasil pada tahun berjalan

DO: Jumlah populasi kunci yang di tes HIV pada tahun berjalan

DO: jumlah ibu hamil yang dites HIV dibagi jumlah seluruh ibu hamil x 100%

4,5% 70%

e) Cakupan tes Sifilis pada ibu hamil

DO: jumlah ibu hamil yang di-tes Sifilis dibagi jumlah ibu hamil X 100%

NA 70%

f) Cakupan tes sifilis pada Populasi kunci

DO: jumlah populasi kunci yang di-tes Sifilis dibagi jumlah populasi kunci X 100%

NA 70%

g) Persentase pasien TB yang dites HIV

DO: jumlah pasien TB yang hasil tes HIV tercatat diregister TB dibagi

DO: jumlah ODHA on ART dibagi ODHA yang memenuhi syarat

b) Prosentase ibu hamil HIV yang mendapatkan pengobatan ARV

DO: jumlah ibu hamil HIV yang mendapat ARV dibagi jumlah ibu

(40)

VARIABEL BASELINE 2013/2014 2019

yang mendapatkan ARV dibagi jumlah pasien koinfeksi TB-HIV x 100%

d) Cakupan pengobatan profilaksis ARV pada bayi

DO: jumlah bayi lahir dari ibu HIV mendapatkan ARV profilaksis dibagi jumlah bayi lahir hidup dari ibu HIV X 100%.

83,12% 100%

3. Penurunan diskriminasi terhadap ODHA

-

a) Proporsi kab/kota yang melaksanakan LKB

DO: Jumlah Kab/kota yg

melaksanakan LKB dibagi Jumlah kab/kota yang melaporkan kasus HIV dikali 100%

=90/247 x 100% = 36,4%

Gambar

Tabel 1. Tabel Indikator Pencapaian Pembangunan Kesehatan Nasional
Gambar 1. Estimasi infeksi HIV baru berdasarkan populasi kunci Tahun 2000-
Gambar 3. Estimasi Jumlah ODHA di Indonesia per Provinsi, tahun 2012
Gambar 4. Kaskade Pengobatan ARV
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsumsi protein pakan dengan kandungan protein susu, kadar laktosa susu dan produksi susu di

Konsep 3R adalah paradigma baru dalam pola konsumsi dan produksi di semua tingkatan dengan memberikan prioritas tertinggi pada pengelolaan limbah yang berorientasi pada

Dari penjelasan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwasannya metode demonstrasi adalah cara yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran yaitu dengan cara

Faktor Lingkungan Rumah dan Faktor Perilaku Penghuni Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sekaran.. xv + 126 halaman +

Secara Keseluruhan Website universitas sudah memenuhi aturan yang pertama “Golden Rules of User Interface Design” Theo Mandel dengan adanya Menu, Gambar Ikon, Jalan Pintas

Setelah mengikuti pembelajaran praktek kebidanan komunitas selama 3 minggu, mahasiswa diharapkan mampu mengelola, membina dan memberikan pelayanan kebidanan di komunitas dengan

Penurunan kredit korporasi ini sejalan dengan liaison yang dilakukan Bank Indonesia Provinsi Jambi bahwa terkait rencana investasi dan pengembangan usaha ke depan,

Berdasarkan studi, dapat disimpulkan bahwa pengenaan tarif 0,75% dari total peredaran usaha, sebagai angsuran PPh bagi WPOP pengguna norma dengan jumlah peredaran usaha sebesar