• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL YUKIGUNI DAN BUDAYA GEISHA DI JEPANG. mengenal hytograf, orang Jepang dengan kanji-nya. (Mukarovsky, 1978 dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL YUKIGUNI DAN BUDAYA GEISHA DI JEPANG. mengenal hytograf, orang Jepang dengan kanji-nya. (Mukarovsky, 1978 dalam"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL YUKIGUNI DAN BUDAYA GEISHA DI JEPANG

2.1 Novel Yukiguni

2.1.1 Novel Sebagai Cerita Fiksi

Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra tulisan timbul setelah manusia mengenal tulisan. Orang Mesir mengenal hytograf, orang Jepang dengan kanji-nya. (Mukarovsky, 1978 dalam Media Kerja Budaya, 2004: 2).

Novel berasal dari bahasa Italia novella, yang dalam bahasa jerman Novelle, dan dalam bahasa Yunani novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjang cakupannya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus (Nurgiyantoro, 1995: 9)

Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Dalam pengertian kesusastraan juga disebut sebagai fiksi. Sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu dan tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu. Genre sastra yang umum dikenal adalah puisi, prosa dan drama. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Kehadiran novel sebagai bentuk cerita fiksi yang baru sangat digemari oleh masyarakat.

(2)

Sebuah novel menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Luar biasa karena dari kejadian ini terlahir konflik, suatu pertikaian, yang mengalir mengambil jurusan nasib mereka (Jassin, 1985: 78). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 694) Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Novel termasuk cerita fiksi yang kajiannya bukan cerita pentas, yang artinya lebih tepat dipahami dan dinikmati melalui kegiatan apresiatif. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang menggambarkan kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui unsur-unsur instrinsik, yaitu peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuannya tentu bersifat naratif.

Menurut Nurgiyantoro (1994: 2) istilah fiksi dalam pengertiannya berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan karena fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak mengarah pada kebenaran sejarah. Dengan demikian karya fiksi merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan atau khayalan. Sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Begitu juga halnya dengan novel. Novel mengandung nilai-nilai keindahan dan kehidupan yang dapat memberikan kenikmatan bagi para pembacanya serta mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat bermanfaat bagi pembacanya.

(3)

2.1.2 Unsur –Unsur dalam Novel

Novel adalah jenis cerita fiksi yang isinya mengungkapkan kembali permasalahan kehidupan yang luas melalui unsur -unsur yang saling berkaitan dan pesan-pesan kemanusiaan yang tidak berkesan menggurui sebab sangat halus dan mendalam. Novel dibentuk oleh berbagai unsur yang saling berkaitan dan saling menentukan yang kesemuanya membentuk novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna.

Unsur-unsur pembentuk novel terdiri dari unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik (unsur luar) adalah segala macam unsur yang berada di luar karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran sebuah karya sastra (Atar Semi, 1993: 35). Misalnya biografi pengarang, psikolog, keadaan di linkungan pengarang, faktor sosial ekonomi, faktor sosial budaya dan sebagainya. Sedangkan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya itu hadir (Nurgiyantoro, 1994: 23)

Nurgiyantoro (2005: 23) menyebutkan ada tujuh unsur dalam novel, yaitu plot/ alur cerita, tema, penokohan, latar/setting, sudut pandang, gaya bahasa dan suasana cerita. Ketujuh unsur instrinsik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1). Alur

Alur atau plot merupakan urutan atau rangkaian kejadian atau peristiwa dalam suatu karya fiksi yang memiliki tahapan -tahapan tertentu secara kronologis. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dari keseluruhan fiksi (Semi, 1988: 43).

(4)

Luxemburg (dalam Fananie 2002:93) menyebut alur/plot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Plot berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.

Nurgiyantoro (2000: 135), membedakan alur menjadi dua, yaitu (1) alur lurus, maju, atau dapat dinamakan alur progresif. Alur sebuah novel dapat dikatakan progresif jika peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologi, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti peristiwa-peristiwa oleh yang kemudian. (2) alur sorot balik, mundur, flash back, atau dapat disebut regresif, yaitu urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang bepelot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dilaksanakan. Karya yang berplot jenis ini dengan demikian langsung menyuguhkan adegan -adegan konflik, bahkan konflik yang beruncing.

2). Tema

Menurut Fananie (2002: 84) tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Lebih lanjut Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:67) menyatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.

Tema merupakan gagasan pokok yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra. Menurut Semi (1988: 42) kata tema seringkali disamakan dengan pengertian topik: padahal kedua istilah itu mengandung

(5)

pengertian yang berbeda. Kata topik berasal dari bahasa Yunani topoi yang berarti tempat. Topik dalam suatu tulisan atau karangan berarti pokok pembicaraan, sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi. Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut.

3). Penokohan dan perwatakan

Karakter atau penokohan merupakan penentuan tokoh-tokoh dalam suatu cerita yang terlibat dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Fananie (2002: 87) menyatakan bahwa kemampuan pengarang dalam mendeskrisikan karakter tokoh cerita yang yang diciptakan sesuai dengan tuntutan cerita dapat pula dipakai sebagai indikator kekuatan sebuah cerita fiksi. Maka dapat juga dikatakan bahwa tokoh cerita ialah individu orang -orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca di tafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

4). Latar/Setting

Pada hakikatnya setting tidak hanya sekadar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, yang berarti tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang akan diceritakan. Lattar/setting adalah keseluruhan lingkungan dalam cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi baik itu di lingkungan tempat, waktu, dan sosial.

(6)

Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan sebuah karya fiksi.

Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan . Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain.

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan waktu sejarah. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain.

Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan delam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.

5). Sudut pandang

Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan oleh pengarang untuk menyajikan tokoh dalam berbagai peristiwa dalam suatu cerita fiksi. Sudut pandang, point of view, mengarah pada cara sebuah cerita dikisahkan. Hal ini merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk

(7)

menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. (Nurgiyantoro, 2 005: 248)

6). Gaya

Gaya adalah cara atau teknik yang digunakan oleh pengarang untuk memilih serta menyusun ungkapan bahasa dalam suatu karya fiksi.

Stile (style, gaya bahasa) adalah cara mengucapkan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro mengungkapakan bahwa pada hakikatnya gaya merupakan teknik dimana teknik yang dimaksud adalah pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan (Nurgiyantoro, 2005: 276).

7). Suasana Cerita

Suasana cerita adalah cara yang digunakan pengarang untuk menggambarkan keseluruhan cerita dalam suatu karya fiksi berdasarkan urutan waktu. ( Nurgiyantoro, 2005: 91) mengartikan cerita sebagai sebuah cerita narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu. Cerita merupakan hal yang fundamental dalam karya fiksi. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tak mungkin terwujud, sebab cerita merupakan inti dalam sebuah karya fiksi itu sendiri. Baik tidaknya cerita yang disajikan, disamping akan memotivasi seseorang untuk membacanya, juga akan mempengaruhi unsur-unsur pembangun yang lain.

(8)

2.1.3 Novel Yukiguni

Ada dua orang tokoh penting dalam novel ini, yaitu Shimamura dan Komako. Yukiguni. (Daerah Salju) adalah satu novel Yasunari Kawabata yang paling terkenal dan kerap dibicarakan sebagai karya sastra klasik yang indah sepanjang masa. Novel Daerah Salju (Yukiguni) dianggap salah satu karya puncak dari Kawabata Yasunari yang telah memenangkan hadiah nobel sastra tahun 1968. Novel ini terdiri dari potongan-potongan cerita pendek penulis yang ditulis beberapa tahun sebelumnya, sejak 1935 hingga 1941. Lalu digabung dan dikembangkan oleh penulisnya menjadi novel tahun 1947 dengan berbagai revisi dari penulisnya. Yasunari kawabata memiliki suatu keunggulan dalam novel–novelnya. Kualitas cerita disusun dengan awal yang begitu rumit. Tokoh–tokoh yang pada awalnya dirasa tidak saling berkepentingan ternyata memiliki ujung-ujung kail yang mampu memancing pikiran pembaca untuk menerka dan menghubungkannya dengan tokoh lain. Yasunari Kawabata juga mampu menjelmakan keindahan kebudayaan dan mitologi dalam novel ini.

Novel yang melukiskan hubungan antara seorang lelaki dari kota besar Tokyo yaitu Shimamura dengan Komako seorang geisha yang dikunjunginya di Daerah Salju di bagian utara Pulau Honshu. Shimamura lelaki setengah baya, gemar sekali mengembara, mendaki gunung dan menulis tentang tarian-tarian yang belum pernah dilihat. Shimamura mempunyai pekerjaan yang tidak mengikat dan hidup dari warisan orang tuanya. Shimamura juga mempunyai anak dan istri. Oleh karena itu tidak mungkin menjalin hubungan dengan wanita lain dalam ikatan resmi. Akan tetapi Shimamura lama menginap di Daerah Salju seolah-olah lupa akan anak-istrinya. Bukan karena dia tidak bisa melepaskan diri dan juga buka karena tidak mau

(9)

berpisah dari Komako, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan Shimamura menunggu Komako dan sebaliknya meskipun Komako seorang geisha, namun kerap kali Komako juga sering datang mengunjungi Shimamura.

Dan semakin Komako menyerahkan diri dengan kemesraan, semakin kuat juga perasaannya menyalahkan diri sendiri seolah-olah dia tidak berjiwa. Boleh dikatakan Komako tetap merenung, menukik ke dalam kesepiannya. Shimamura tidak bisa mengerti mengapa Komako semakin mengeratkan diri kepadanya. Segala sesuatu dari Komako dapat dipahaminya, tetapi tidak ada satu pun yang dapat dipahami Komako dari diri Shimamura. Hingga pada akhirnya mereka menyadari kalau ternyata cinta mereka memang sudah gagal sejak pertama kali bertemu .

Persoalan cinta dalam novel Daerah Salju ibarat salju di gunung es yang putih bersih dan bila tertimpa cahaya matahari memantulkan cahaya kristal cemerlang namun menyimpan misteri dan dugaan di dalamnya. Novel ini menampilkan sensasi jiwa para tokoh yang terlibat di dalamnya dalam persoalan psikologi cinta yang tidak berakhir, namun ada pantulan gerak-gerik jiwa yang amat peka pada persoalan tersebut dan muncul pada keadaan yang tak terduga.

Bahasa mencerminkan secara langsung pikiran dan perasaan. Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek,

(10)

meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya Sumantri, 1998).

Begitu juga dengan AS. Laksana yang menerjemahkan cerita ini dengan sangat baik dan terdiri dari 190 halaman. Bahasanya terlihat indah meskipun terdapat kalimat-kalimat bermakna ganda sebagaimana puisi, namun dapat terdengar seolah-olah tidak ada yang kelihatan janggal, semuanya terucap mengalir dengan wajar dan enak. Nuansa adegan, perasaan dan pikiran masing-masing tokoh serta situasi yang sedang terjadi tidak ada yang luput. Begitu tenang dan pelan sehingga dapat terlihat jelas alur yang dibentuk oleh potongan-potongan cerita di dalamnya. Bahasa seperti itu dapat membuat jarak antara pembaca dengan novel tersebut semakin dekat, seolah-olah ikut terlibat langsung dalam cerita. Dengan demikian pembaca memperoleh gambar yg lengkap tentang tokoh, latar dan lingkungan..

2.2. Biografi Pengarang

Yasunari Kawabata (1899-1972) adalah seorang novelis Jepang terkemuka yang memenangkan Hadiah Nobel dalam sastra untuk mencontohkan pikiran Jepang dalam tulisan-tulisannya. Novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ini mampu menjelmakan keindahan kebudayaan dan mitologi di Jepang, sehingga selayaknyalah novel ini mampu meraih penghargan Nobel Sastra karena dianggap sebagai master piece.

Yasunari Kawabata lahir pada tanggal 14 Juni 1899 di daerah Konohana, Osaka. Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sejahtera. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya adalah seorang dokter terkemuka tetapi sangat

(11)

mencintai kesusastraan, yang bernama Eikichi. Minat ayahnya akan sastra turun kepada Kawabata.

Pada saat usia dua tahun, Kawabata kehilangan ayahnya. Ayahnya meninggal karena mengidap penyakit TBC. Setahun kemudian Kawabata menjadi anak yatim piatu karena disusul dengan kematian ibunya. Hal ini mengakibatkan Kawabata harus tinggal bersama kakek dan neneknya di daerah Mishima tepatnya di desa Toyohana, Osaka. Namun malang tak bisa dihindari, pada 1906 ketika kawabata berusia 7 tahun, kakek dan nenek Kawabata juga meninggal dunia.

Maka kemudian Kawabata kini tinggal bersama kakek dari ibunya. Kakeknya tuna netra sehingga kawabata melewati masa kanak-kanak dengan mengalami kesulitan dan tidak selayaknya dilalui oleh anak seusia dirinya. Kawabata mempunyai seorang kakak perempuan yang diasuh oleh seorang bibinya. Akan tetapi kakak perempuannya itu yang hanya sekali dijumpainya setelah kematian orang tua mereka, meninggal dunia ketika Kawabata berusia 10 tahun (Juli 1909), dan disusul dengan kematian kakeknya ketika ia berusia 15 tahun (Mei 1914).

Kematian kelurga Kawabata mengurangi masa kecilnya yang normal. Kawabata sering mengatakan bahwa dia belajar kesepian tanpa akar sejak awal. Sehingga dalam kehidupannya Kawabata menggambarkan dirinya sebagai anak tanpa rumah atau keluarga.

Setelah kehilangan semua sanak keluarga dekatnya, ia pindah dengan keluarga ibunya (Keluarga Kuroda). Namun, pada Januari 1916, ia pindah ke sebuah asrama dekat SMP yang hingga saat itu harus didatanginya bolak-balik dengan kereta

(12)

api. Setelah lulus dari SMP pada Mei 1917, persis sebelum ulang tahunnya yang ke-18, ia pindah ke Tokyo, dan berharap untuk lulus ujian masuk Dai-ichi Koto-gakko' (Sekolah Menengah Atas Nomor Satu), yang berada di bawah asuhan langsung Universitas Kekaisaran Tokyo. Kawabata berhasil lulus dalam ujian itu pada tahun yang sama dan kemudian masuk ke Fakultas Sastra Inggris. Pada Juli 1920 Kawabata lulus dari Sekolah Menengah Atas dan memulai pendidikannya di Universitas Kekaisaran Tokyo pada bulan yang sama.

Kemudian Kawabata melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris dan minatnya pada dunia sastra juga semakin besar. Sementara masih menjadi mahasiswa, Kawabata menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Tokyo, "Shin-shicho" (Arus Pemikiran Baru) yang telah mati lebih dari empat tahun. Di situ ia menerbitkan cerita pendeknya yang pertama, "Shokonsai Ikkei" ("Suasana pada suatu pemanggilan arwah"), sebuah karya yang hingga kini masih diakui nilai sastranya.

Lalu Kawabata pindah jurusan ke Sastra Jepang. Bersama teman-temann kuliahnya, Kawabata sering mendiskusikan karya-karya pengarang besar seperti Kikushikan Akutagawa Ryunosuke dan sastrawan besar lainnya. Ketika kuliah, ia beralih jurusan ke Sastra Jepang dan menulis skripsi yang berjudul, "Sejarah singkat novel-novel Jepang". Hingga pada akhirnya Kawabata lulus pada Maret tahun 1924.

Pada Oktober 1924, bersama Kataoka Teeppei, Yokomitshu Riichi, dan sejumlah penulis muda lainnya memulai sebuah jurnal sastra baru Bungei Jidai

(13)

mapan, khususnya aliran naturalis, sementara pada saat yang sama juga bertentangan dengan sastra kaum buruh atau aliran komunis atau sosialis. Ini adalah gerakan seni untuk seni, yang dipengaruhi oleh Kubuisme Eropa, eksperionisme, dan gaya modernis lainnya, yang disebut dengan Shinkankaku-ha, namun sering kali keliru karena ditafsirkan sebagai neo-imperionisme. Istilah Shinkankakuha yang digunakan Kawabata dan Yokomitsu untuk menggambarkan filsafatnya, tidak dimaksudkan sebagai versi baru atau pemulihan dari Imperionisme, dimana gerakan mereka dipusatkan pada upaya memberikan impresi baru atau, lebih tepatnya sensasi baru dalam penulisan sastra.

Kawabata mulai mendapatkan pengakuan dengan sejumlah cerita pendek tidak lama setelah ia lulus, dan memperoleh kemasyhuran dengan Izu no Odoriko

(Gadis Penari dari Izu) pada 1926, yaitu sebuah cerita yang menjelajahi erotisisme orang muda yang sedang berkembang. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema serupa. Kemudian setelah berakhirnya Perang Dunia II, suksesnya berlanjut dengan novel-novel seperti Seribu Bangau (sebuah cerita tentang cinta yang bernasib malang), Suara Gunung, Rumah Perawan, Kecantikan dan Kesedihan dan Ibu Kota Lama.

Buku yang ia sendiri anggap sebagai karyanya yang terbaik adalah Empu Go

(1951), yaitu sebuah kontras yang tajam dengan karya-karyanya yang lainnya. Yang mengisahkan setengah fiksi tentang sebuah pertandingan besar Go pada tahun 1938. Karya ini benar-benar dilaporkannya dalam kelompok surat kabar Mainichi. Ini adalah permainan terakhir dari karier Empu Shusai, dan ia dikalahkan oleh penantang mudanya, dan meninggal sekitar setahun kemudian. Meskipun pada

(14)

permukaannya cerita ini mengharukan, sebagai penceritaan kembali mengenai sebuah perjuangan puncak oleh sejumlah pembaca kisah ini dianggap sebagai paralel simbolis dari kekalahan Jepang pada Perang Duania II. Sehingga Kawabata merupakan kekuatan pendorong di balik penerjemahan sastra Jepang ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa barat lainnya.

Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah Yukiguni ( Daerah Salju )yang dimulai pada 1934, dan pertama kali diterbitkan secara bertahap sejak 1935 hingga 1937. Daerah Salju adalah sebuah cerita yang gamblang mengenai sebuah hubungan cinta antara seorang penulis amatir dari Tokyo dengan seorang geisha desa, yang berlangsung di sebuah kota dengan sumber air panas yang jauh di sebelah barat dari pegunungan Alpen Jepang. Novel ini memantapkan Kawabata sebagai salah satu pengarang terkemuka Jepang dan langsung menjadi sebuah klasik, yang digambarkan oleh Edward G. Seindensticker, yang merupakan adikarya Kawabata.

Pada tahun 1968 Kawabata pergi ke Stockholm untuk menerima hadiah nobel bidang kesusastraan atas hasil karyanya yang utama, yaitu Yukiguni ( Daerah Salju ). Di dalam pidatonya ketika menerima nobel tersebut, Kawabata mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang yang menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa Inggris sehingga ia bisa mendapatkan hadiah nobel tersebut. Kawabata juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap tindakan bunuh diri walaupun dalam karya-karyanya ada juga yang menceritakan mengenai orang yang bunuh diri karena masalah yang berat dan persaan yang bersalah. Akan tetapi hadiah nobel diterimanya justru ketika ia sudah lama tidak menulis karya kreatif yang baru.

(15)

Namun pada kenyataannya Kawabata tidak memegang setia perkataannya tersebut, karena Kawabata sendiri juga meninggal akibat bunuh diri tepatnya pada tanggal 16 April 1972 dengan meracuni dirinya dengan gas. Banyak anggapan yang muncul mengenai kematian Kawabata karena tidak meninggalkan catatan apapun, dan karena ia tidak pernah membahasnya secara sungguh-sungguh dalam tulisan-tulisannya, sehinnga apa yang menjai motif bunuh dirinya tetap tidak jelas. Seperti pohon pisang, setelah berbuah harus ditebang, daripada pembusukan, begitulah Kawabata mengakhiri nyawanya sendiri.

2.3 Sinopsis Novel Yukiguni

Novel Yukiguni ini menceritakan tentang liku-liku kehidupan yang ada di Jepang khususnya di penginapan di daerah pegunungan yang terdapat geisha atau wanita penghiburnya. Cerita ini berawal dari sebuah perjalanan seorang pria dari Tokyo bernama Shimamura. Shimamura adalah seorang pelancong dari kota besar Tokyo yang sering mengunjungi tempat-tempat favoritnya. Shimamura meninggalkan anak dan istrinya yang sebenarnya tidak tahu maksud perjalanan suaminya, yaitu untuk menemui seorang wanita, geisha yang bernama Komako yang dulu pernah mengisi hari-hari Shimamura di Daerah Salju di bagian utara Pulau Honshu. Cerita ini berawal dari perjalanan Shimamura ketika menuju ke penginapan di daerah pegunungan untuk menemui seorang geisha amatir bernama Komako.

Dalam kereta api Shimamura bertemu dengan sesosok wanita yang sedang bersama pria yang sedang sakit. Akhirnya setengah jam kemudian mereka tiba di

(16)

stasiun yang sama. Setelah itu Shimamura langsung menuju ke penginapan, dan di sana ia disambut oleh geisha. Dan ternyata Shimamura sudah akrab dengan keadaan di sana dan sudah mengenal beberapa geisha yang ada di sana.

Keesokan harinya, datanglah seorang wanita ke kamar Shimamura. Mereka bercerita-cerita dan mulai merasakan adanya rasa persahabatan di antara keduanya. Mereka membicarakan tentang tarian-tarian barat, sampai membicarakan seorang wanita geisha. Shimamura juga sambil menyesuaikan diri dengan warna terhadap sifat penduduk daerah yang dikunjunginya tersebut. Wanita itu sering ke kamar Shimamura dan mulai membicarakan banyak hal. Wanita itu mengatakan tentang hubungan mereka yang tidak bisa lebih dari sahabat. Dan Shimamura pun bingung dengan maksud wanita tersebut. Wanita itu menangis karena merasa penjelasannya tersebut ditertawakan oleh Shimamura.

Dan tiba-tiba wanita itu bercerita tentang catatan hariannya kepada Shimamura. Betapa terkejutnya Shimamura karena ia tahu bahwa ternyata wanita itu mencatat semua roman yang dibacanya sejak berumur lima belas atau enam belas tahun dan buku catatannya sudah mencapai sepuluh jilid. Kemudian Komako membacakan roman-romannya tersebut pada Shimamura dengan riangnya. Cerita wanita itu mengenai roman, tidak menyangkut sama sekali dengan istilah kesusastraan yang dipakai sehari-hari. Itu karena ia hanya menulis cerita tentang kehidupannya dari pertukaran majalah dengan penduduk kampung, sehingga ia membaca sendirian saja.

Wanita itu adalah seorang Geisha yang barnama Komako. Ia sering pergi ke acara perjamuan, tetapi tidak lupa untuk selalu menyempatkan diri ke kamar Shimamura. Wanita itu sering ke kamar Shimamura dan mandi di sana. Shimamura

(17)

merasakan bahwa Komako berbeda dengan wanita geisha yang lain. Ada sesuatu yang membuat Shimamura tertarik degan Komako. Seperti sebelumnya, setelah pulang dari pejamuan dengan keadaan mabuk, Komako datang terhuyung-huyung menuju ke kamar Shimamura. Disana, mereka bercerita tentang gadis yang ditemui Shimamura ketika dalam perjalanan didalam kereta, dan Komako minta pamit pulang begitu saja setelah mereka selesai bercerita. Ia pulang ke rumah guru tarinya yang dulunya juga tempat bekas memelihara ulat sutera. Dan keadaan bilik tersebut sangat menyedihkan dan tidak layak untuk ditempati.

Suatu hari Shimamura diajak melihat keadaan tempat tinggal Komako tersebut dan juga diajak ke kamar tempat si sakit anak dari guru tarinya. Kemudian Komako bercerita sedikit tentang anak guru tari tersebut. Dan di saat itu terdengar suara gadis yang suaranya tidak asing bagi Shimamura. Ternyata suara itu adalah suara gadis yang dilihatnya di dalam kereta yang merawat laki-laki yang sedang sakit, gadis itu adalah Yoko. Walaupun sudah keluar dari bilik, tetapi ingatan Shimamura tidak bisa lepas dari Yoko, gadis yang ditemuinya di dalam kereta yang diam-diam pernah diamatinya. Ia berjalan semakin cepat sambil memandangi gunung-gunung yang berderet dan pemandangan disekitarnya. Sampai di puncak pendakian ia bertemu dengan seorang wanita tukang pijit. Sambil dipijit, ia berbincang-bincang dengan wanita itu. Mereka membicarakan tentang geisha yang ahli dalam memainkan shamisen, yaitu alat musik yang seperti gitar tapi lebih kecil dengan tiga buah senar. Mereka juga bercerita tentang Komako yang kabarnya menjadi geisha karena kepentingan tunangannya. Pemijatan sudah selesai dan akhirnya mereka menghentikan pembicaraan, setelah itu mereka saling berpamitan dan melanjutkan aktifitasnya masing-masing.

(18)

Di rumah penginapan itu diselenggarakan pertemuan untuk merundingkan persiapan menyambut para tamu pemain ski. Sementara itu Shimamura merasa hampa dan sedih karena Komako nantinya juga akan ada di situ untuk melakukan perjamuan. Tetapi sepulang dari perjamuan Komako mendatangi bilik Shimamura dengan keadaan mabuk. Ia berbaring dan mulai bercerita tentang sepanjang bulan Agustus. Komako hanya menghabiskan waktunya tanpa melakukan apa-apa karena menderita kelemahan saraf. Komako merasa kawatir kalau nanti ia sampai gila.

Keesokan harinya ketika mereka terjaga dari tidur, tiba-tiba Shimamura teringat akan perkataan tukang pijit wanita yang menganjurkan Komako untuk balajar pada wanita itu saja. Komako bangkit dan menelepon supaya buku latihan

nagauta (nyanyian tradisional khas Jepang yang ketika dinyanyikan diiringi oleh shamisen) dan pakaian untuk salin diantarkan ke penginapan. Mengingat adanya telepon di rumah yang baru saja dikunjungi kemarin, Shimamura tiba-tiba teringat pada Yoko. Dan seketika itu juga Shimamura bertanya tentang kebenaran berita pertunangan Komako. Komako yang mendengarnya kemudian membatah berita tersebut, kemudian menceritakan cerita yang sebenarnya kepada Shimamura. Setelah itu Yoko datang mengantarkan pakaian salin Komako kemudian langsung pulang dan tidak mengatakan apa-apa.

Sejak saat itu walaupun Komako menginap, Komako tidak memaksakan diri untuk pulang sebelum fajar menyingsing. Terkadang ia bermain dengan memeluk anak gadis kecil di dalam kotatsu (alat pemanas bagian bawah tubuh). Kemudian Shimamura melihat Komako dan anak gadis tersebut, nampaklah juga orang yang berpakaian ski sedang bermai di ladang yang berada di ujung kaki gunung. Keesokan harinya Shimamura akan pulang, berangkat dengan kereta jam tiga sore. Sebelum

(19)

meninggalkan penginapan itu, Shimamura membayar uang penginapan. Komako mengantarkan Shimamura ke stasiun. Sambil menunggu kereta datang, tiba-tiba Yoko datang dengan tergopoh-gopoh dan langsung memeluk Komako. Yoko menyuruh Komako cepat kembali ke rumah karena anak guru tari tempat Komako tinggal, karena tunangannya dalam keadaan sekarat. Tetapi Komako tidak menghiraukannya. Komako malah ingin ikut Shimamura pulang dan tidak mau memnemui laki-laki yamg sakit itu. Dengan berdalih ia tidak mau melihat orang meninggal. Mereka terdiam dan tidak bisa mengucapkan apa-apa. Kemudian kereta datang, Komako mengucapkan selamat jalan pada Shimamura.

Tiba saatnya musim serangga bertelur. Sehingga banyak serangga yang masuk ke dalam rumah-rumah. Shimamura datang ke penginapan lagi. Ketika Shimamura sampai di tempat penerimaan tamu, ia diajak istri pemilik penginapan. Disana Shimamura bertemu dengan Komako lagi. Mereka berdebat sejenak tentang perpisahan mereka di waktu lalu. Komako sedikit protes pada Shimamura yang ingkar janji untuk datang pada tanggal yang dikatakan pada Komako. Dan Shimamura merasa bersalah karena ketidakdatangannya membuat Komako tidak menerima untuk marawat guru tarinya yang yang sakit paru-paru itu. Karena pada tanggal mereka janjian, kemudian di hari berikutnya Komako mendapat telegram dan akhirnya ia mau merawat guru tarinya tersebut dan akhirnya guru tarinya tersebut meninggal. Shimamura merasa bersalah dan meminta maaf pada Komako. Tiba-tiba Komako mengeluh sakit lambung dan meniarap ke pangkuan Shimamura. Semenjak Guru tarinya meninggal, Komako pindah rumah dan ia benar-benar menjadi wanita geisha.

(20)

Pembicaraan tentang guru tari itu berakhir, mereka berpindah membicarakan tentang Komako yang apabila ia sudah menikah nanti. Tiba-tiba Komako mengalihkan pembicaraan, ia Mengharap Shimamura akan tetap datang ke penginapan itu walaupun hanya setahun sekali. Komako mengatakan ia mungkin tidak akan bisa mempunyai anak. Komako pernah ingin dinikahi oleh orang yang berasal dari pelabuhan, tetapi ia tidak mau dan mengelak dengan beberapa cara. Keesokan harinya Komako bangun pagi dan segera pulang meninggalkan bilik Shimamura. Setelah Komako pulang, Shimamura berjalan-jalan ke kampung. Ia juga melihat aktifitas para penduduk saat itu. Sebelum berangkat, Shimamura membeli buku petunjuk tentang gunung-gunung di sekitar penginapan.

Sepulang dari jalan-jalan, ketika turun dari mobil, Shimamura disambut oleh Komako dan dihujani oleh rasa penasaran Komako dari manakah Shimamura pergi. Tiba-tiba mereka berdua melihat asap tebal dan nyala api membumbung di tengah kampung bawah. Rupanya yang terbakar adalah gudang ulat sutra. Komako ketakutan dan memeluk Shimamura. Kemudian mereka bergegas menuju tempat kebakaran itu. Pemadam kebakaran berdatangan berusaha memadamkan api yang berkobar. Di dalam api yang membara itu terlempak sesosok wanita, dan tubuhnya terhempas ke tanah. Semua orang terkejut dan memjerit. Ternyata tubuh itu adalah milik Yoko. Komako dan Shimamura terpaku dan merasa tidak percaya bahwa gadis itu adalah Yoko. Komako langsung berlari dan merangkul tubuh Yoko sambil menangis. Shimamura hanya bisa melihat keduanya dalam lingkaran para penduduk tanpa mengucap sepatah kata pun.

(21)

2.4 Setting Novel Yukiguni

Yasunari Kawabata banyak menggunakan bahasa kias simile atau perbandingan dalam menunjukkan setting dalam novel ini. Hal ini selain dimaksudkan untuk memudahkan penggambaran musim salju (latar atau setting) yang jelas, juga untuk membuat variasi dalam berbahasa serta mencapai efek estetis tertentu.

Yukiguni membawa kita pada sebuah daerah bersalju di Jepang sana dengan gunung-gunungnya. Bagaimana serangga berwarna kuning melesat-lesat di pintu masuk hutan pohon suji. Suasana di desa wisata itu dengan atap-atap rumah yang tertimbun salju. Yukiguni menggambarkan kehidupan masyarakat yang berada di daerah terpencil, desa. Hal ini digambarkan bahwa di Daerah Salju terdapat suatu kehidupan masyarakat Jepang di daerah terpencil, yaitu daerah salju yang berada di wilayah Jepang bagian barat. Daerah salju digambarkan sebagai tempat terpencil sehingga ketika hendak mengunjungi daerah tersebut, seseorang harus menempuh perjalanan yang jauh dengan mengendarai kereta api penumpang yang sudah usang, harus melewati terowongan baru sampai di daerah salju yang disekitarnya penuh dengan salju yang dingin.

Efek estetis yang didapatkan dengan penggunaan bahasa kias dan pilihan kata atau pilihan leksikal adalah memberi nuansa seni yang indah pada pembaca dalam membayangkan (mengimajinasikan) apa yang ditulis oleh pengarang untuk memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan pada waktu musim salju di Daerah Salju.

(22)

2.5 Kehidupan Geisha Dalam Masyarakat Jepang

Novel Yukiguniini memiliki beberapa peniruan atas kehidupan nyata tentang kehidupan geisha yang terjadi di dalam masyarakat Jepang. Geisha adalah seorang wanita penghibur profesional. Geisha bukanlah seorang pelacur atau prostitusi, sebagaimana layaknya yang terkesan dibenak orang selama ini Secara harafiah geishaberasal dari dua kata, yaitu: gei yang berarti seni dan sha yang berarti pribadi. Maka dapat dikatakan bahwa geisha itu adalah seseorang yang mempunyai pribadi atau berjiwa seni yang digunakan untuk menghibur, terutama kaum pria.

Seorang geisha harus mempunyai wawasan yang luas pada saat mereka masih dalam tahap pendidikan, yang disebut dengan maiko. Pada waktu senggang di sore hari mereka akan pergi ke toko buku, perpustakaan atau museum untuk menambah wawasan mereka, karena pada dasarnya mereka diwajibkan untuk banyak belajar. Para geisha akan diberi informasi tentang asal dan latar belakang tamu mereka dan juga banyak mencari hal menarik dari tamunya sehingga dapat membentuk percakapan yang cukup menarik dengan para tamunya, sehingga tamu tersebut bisa betah berada di sisinya.

Selama bertahun-tahun seorang calon geisha dididik untuk memiliki keterampilan tinggi dalam menari, memainkan tsutsumi (gendang kecil), memetik shamisen, memiliki keahlian kaligrafi, dan mengetahui seluk-beluk upacara minum teh. Masa-masa pendidikan itu ibarat kepompong yang menyiapkan ulat menjadi kupu-kupu. Sehingga bagi mereka yang tak berbakat akan terpental.

Untuk bisa menjadi geisha memerlukan pelatihan khusus dan memakan waktu yang tak singkat. Para wanita yang masih belajar manjadi geisha (disebut

(23)

maiko) akan dididik di sekolah khusus (O-chaya). Umumnya maiko ini berusia antara 15-20 tahun. Seorang maiko biasanya menjadi pendamping geisha sekaligus belajar seluk-beluk geisha. Setelah lulus, maiko bisa melanjutkan menjadi geisha ataukah berhenti.

Semakin tinggi kemampuannya, semakin sang geisha menjaga image dirinya dan mereka tidak mudah dibeli begitu saja. Geisha senior akan membimbing sang geisha magang agar ia selalu menjaga dunia penampilannya. Bagai seorang kakak, geisha senior membawa geisha junior keliling berbagai acara perjamuan, pesta, menonton drama kabuki, tamasya, agar wajahnya dapat dikenal oleh para pelanggan kaya. Di situlah ia belajar saling berkompetisi dengan geisha lain. Sebuah kehidupan keras tempat sesama geisha bisa saling menjatuhkan.

Erotisisme memang tidak terelakkan menjadi bagian yang melekat pada dunia geisha. Pada zaman Edo atau zaman Tokugawa (1600-1868), saat Jepang tertutup dari dunia luar, dunia kesenian tumbuh berkembang. Gulat dan geisha sering menjadi obyek gambar Ukiyo-e (kerajinan cetak atau cukil kayu yang sangat popular). Imajinasi erotik dunia hasrat yang paling liar dari geisha sering diungkap dalam seni kerajinan massal. Geisha juga adalah wakil terdepan dari dunia cita rasa di Jepang. Dalam hidupnya, seorang geisha akan mencari seorang danna (laki-laki yang nanti akan membiayai hidup dan kemewahannya). Para geisha terpandang memiliki danna dari kalangan pengusaha berpengaruh sampai jenderal-jenderal. Saat peralihan politik dari zaman Tokugawa ke Meiji, banyak geisha dekat dengan para tokoh. Saat itu berbagai rencana revolusi atau kerusuhan selalu disusun di rumah geisha.

(24)

Geisha dihargai karena dianggap bisa menyimpan rahasia pembicara-an-pembicaraan penting itu. Geisha, karena itu, bisa banyak memiliki kedekatan dengan para tokoh. Sebagai seorang penghibur yang profesional, geisha akan terlibat hubungan emosional dan ekonomi dalam memberikan pelayanan prima kepada tamu. Pada akhirnya keterlibatan fisik antara seorang pengibur dan tamunya, kembali terserah pada geisha itu sendiri.

Namun, dunia geisha pada saat ini menjadi berkurang kegiatannya dalam bidang seks. Pada saat ini lebih mengarah kepada pelestarian budaya, sehingga geisha pada saat ini pada umumnya merupakan para wanita yang terpelajar dan terampil dalam semua bidang terutama kesenian Negara Jepang, karena mereka adalah salah satu daya tarik bagi turis yang berkunjung ke Jepang.

Di Jepang kimono menjadi satu-satunya gaun perempuan, sehingga gaya berpakaian geisha adalah pelopor tren. Pada geisha terlihat seluruh keanggunan, keeleganan. Dapat terlihat dalam cara berbusana para geisha, akan dapat disaksikan bagaimana dari konde sampai kimono geisha berbeda dengan perempuan biasa. Motifnya, warna-warnanya lebih cerah, obi (kat pinggang kimono) yang agak tebal dan mempunyai ujung menggantung nyaris menyentuh lantai.

Lambat laun terjadi perubahan besar. Citra geisha pun semakin mengalami kemunduran kejayaan. Setelah perang banyak geisha kehilangan pamor, terusir dari rumah-rumah mewah. Banyak pelacur atau hostes di bar menyamar sebagai geisha. Para tentara Amerika yang menduduki di Jepang sedikit banyaknya memberi andil pada perubahan cara pandang ini, karena mereka semata-mata menempatkan geisha sebagai obyek seksual. Mereka membayangkan geisha sebagai semacam hiburan semata.

(25)

(dalamhttp://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/01/09/LYR/mbm.20060109. LYR117834.id.html)

Referensi

Dokumen terkait

Pada setiap pasien radioterapi yang memenuhi kriteria penelitian akan diberikan penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan. Bagi yang setuju untuk berpartisipasi

Analisis data yang digunakan dengan metode deskriptif meliputi petani, penggilingan padi, pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen akhir untuk mengetahui

Grafik pada gambar 4 menunjukkan skor ekspresi imunohistokimia IL-4 pada jenis tumor dari 6 sampel tumor jinak serosum yang memberikan hasil positif terhadap

Alur kerja pada proses ini ketika actor sudah melakukan login, actor memilih submenu data pegawai yang ada di menu master data, lalu sistem akan menampilkan form data

mempergunakan 7 termoelektrik dengan rangkaian seri, (b) mengetahui pengaruh debit aliran air terhadap selisih suhu antara sisi panas dan suhu sisi dingin dari peralatan

Berdasarkan simpulan, disarankan (1) guru Bahasa Indonesia diharapkan lebih memerhatikan penulisan huruf kapital, tanda koma, tanda titik, dan penulisan kalimat dalam karangan

Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data mengenai data Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Penerimaan Pinjaman Daerah, dan

As she clears out her old bedroom, Polly discovers that below her memories, in which she led an entirely normal and unremarkable life, there is a second set of memories, which