• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menggunakan objek novel Sherlock Holmes sudah pernah diteliti. Berikut ini adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. menggunakan objek novel Sherlock Holmes sudah pernah diteliti. Berikut ini adalah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya

Dari hasil penelusuran, bahwa penelitian yang mengangkat tentang karakterisasi pada novel Sherlock Holmes belum ada, tetapi penelitian yang menggunakan objek novel Sherlock Holmes sudah pernah diteliti. Berikut ini adalah data hasil penelitian yang ada.

2.1.1 Dian Rahmasari. Tahun 2012 Universitas Negeri Gorontalo. Skripsi yang berjudul Karakterisasi Tokoh Dalam Novel Putra Salju Karya Salman El-Bahry dengan permasalahan yang diangkat yaitu, ‘’bagaimana karakter tokoh dalam novel Putra Salju karya Salman El-Bahry. Hasil dalam penelitianini adalah deskripsi karakter tokoh-tokoh dalam novel Putra Salju karya Salman El-Bahry. Persamaan dalam penelitan ini adalah sama-sama menggunakan teori karakterisasi Minderop dalam penelitian, sedangkan perbedaan dalam penelitian ini adalah novel yang dikaji berbeda, Dian Rahmasari dengan novel Putra Salju, sedangkan peneliti meneliti novel Sherlock Holmes ‘Empat Pemburu Harta’.

2.1.2 Yufi Mahendra Wardana tahun 2012, Artikel blog yang berjudul Analisis Unsur Instrinsik Novel Luar Negeri Sherlock Holmes "The Adventure Of The Devil's Foot". Dengan permasalahan unsur intrinsik dalam novel Sherlock Holmes "The Adventure Of The Devil's Foot".Hasil penelitian ini berupa deskripsi unsur intrinsik yang ada

(2)

pada novel Sherlock Holmes "The Adventure of the Devil's Foot". Hasil penelitian di atas memiliki kesamaan dalam hal yang ingin dikaji, yaitu unsur intrinsik lebih khususnya beberapa tokoh dan penokohan yang berada dalam novel, tetapi dengan judul novel berbeda, yaitu Yufi meneliti novel Sherlock Holmes ‘The Adventure of the Devil's Foot’ (Jejak Iblis), sedangkan peneliti dengan judul Sherlock Holmes ‘The Sign Of Four’ (Empat Pemburu Harta).

2.2 Pengertian Karakterisasi

Karakterisasi, atau dalam bahasa Inggris characterization, berarti pemeranan, pelukisan watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi (Minderop, 2011:2). Watak-watak dari tokoh dalam cerita sangat berpengaruh pada jalan cerita. Hal ini sesuai dengan pendapat Wardani (2009:40) yang mengatakan bahwa jika dibicarakan tentang penokohan, pembaca dihadapkan pada deretan tokoh-tokoh atau pelaku. Karakterisasi berkaitan dengan watak tokoh-tokoh tersebut. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan karena tokoh-tokoh karena memiliki watak atau kepentingan yang berbeda. Karaterisasi menggunakan dua cara dalam karyanya, yaitu metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing).

2.2.1 Metode Langsung (Telling)

Metode langsung (telling) pemaparan dilakukan secara langsung oleh si pengarang. Metode ini biasanya digunakan oleh kisah-kisah rekaan jaman dahulu sehingga pembaca hanya mengandalkan penjelasan yang dilakukan pengarang

(3)

semata. Metode langsung mencakup : karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh, melalui penampilan tokoh, dan karakterisasi melalui tuturan pengarang (Minderop, 2011:8)

a) Karakterisasi menggunakan Nama Tokoh

Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali digunakan untuk memberikan ide atau penumbuhan gagasan, memperjelas, serta mempertajam perwatakan tokoh. Para tokoh diberikan nama yang melukiskan karakteristik yang membedakannya dengan tokoh lain. Nama tersebut mengacu pada karakteristik dominan si tokoh.

b) Karakterisasi melalui Penampilan Tokoh

Faktor penampilan para tokoh memegang peranan penting sehubungan dengan telaah karakterisasi. Penampilan tokoh yang dimaksud misalnya, pakaian apa yang dikenakannya atau bagaimana ekspresinya. Rincian penampilan memperlihatkan kepada pembaca tentang usia, kondisi fisik/kesahatan dan tingkat kesejahteraan si tokoh. Dari pelukisan ini tampak apakah si tokoh merupakan sosok yang kuat, terkadang lemah, relatif berbahagia, tenang atau kadangkala kasar. Sesungguhnya perwatakan tokoh melalui penampilan tidak dapat disangkal terkait pula kondisi psikologis tokoh dalam cerita rekaan.

c) Karakterisasi melalui Tuturan Pengarang

Metode ini memberikan tempat yang luas dan bebas kepada pengarang atau narator dalam menentukan kisahhannya. Pengarang berkomentar tentang watak

(4)

dan kepribadian para tokoh hingga menembus batas ke dalam pikiran, perasaan dan gejolak batin sang tokoh. Pengarang tidak sekedar menggiring perhatian pembaca terhadap komentarnya tentang watak tokoh tetapi juga mencoba membentuk persepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya.

2.2.2 Metode Tidak Langsung (Showing)

Metode tidak langsung atau metode dramatik merupakan metode yang mengabaikan kehadiran pengarang, sehingga para tokoh dalam karya sastra dapat menampilkan diri secara langsung melalui tingkah laku mereka. Dalam hal ini pembaca dapat menganalisis sendiri karakter para tokoh.

Karakterisasi melalui dialog terbagi atas apa yang dikatakan penutur, jati diri penutur, lokasi dan situasi percakapan, jati diri tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental para tokoh, nada suara, penekanan, dialek, dan kosa kata para tokoh (Minderop, 2011:8-9).

a) Karakterisasi melalui Dialog

Karakterisasi melalui dialog terbagi atas: apa yang dikatakan penutur, jati diri penutur, lokasi dan situasi percakapan, jati diri tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental para tokoh, nada suara, penekanan, dialek dan kosa kata para tokoh.

1) Apa yang dikatakan Penutur

Dialog tersebut merupakan sesuatu yang penting sehingga dapat mengembangkan peristiwa-peristiwa dalam suatu alur atau sebaliknya. Bila si penutur selalu berbicara tentang dirinya sendiri tersembul kesan ia seorang yang berpusat

(5)

pada diri sendiri dan agak membosankan. Jika si penutur selalu membicarakan tokoh lain ia terkesan yang senang bergosip dan suka mencampuri urusan orang lain.

2) Jati diri Penutur

Jati diri penutur di sini adalah ucapan yang disampaikan oleh seorang protagonis (tokoh sentral) yang seyogyanya dianggap lebih penting dari pada apa yang diucapkan oleh tokoh bawahan (minor), walaupun percakapan tokoh bawahan kerap kali memberikan informasi krusiel yang tersembunyi mengenai watak tokoh lainnya.

b) Lokasi dan Situasi Percakapan

Dalam kehidupan nyata, percakapan yang berlangsung secara pribadi dalam suatu kesempatan di malam hari biasanya lebih serius dan lebih jelas daripada percakapan yang terjadi di tempat umum pada siang hari. Bercakap-cakap di ruang duduk keluarga biasanya lebih signifikan daripada berbincang di jalan atau teater.

c) Jati diri Tokoh yang Dituju oleh Penutur

Penutur di sini berarti tuturan yang disampaikan tokoh dalam ceritera: maksudnya tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang tokoh lainnya.

d) Kualitas Mental Para Tokoh

Kualitas mental para tokoh dapat dikenali melalui alunan dan aliran tuturan ketika para tokoh bercakap-cakap. Misalnya, para tokoh yang terlibat dalam suatu diskusi yang hidup menandakan bahwa mereka memiliki sikap open-minded. Ada pula tokoh yang gemar memberikan opini, atau bersikap tertutup (close-minded)

(6)

e) Nada Suara, Tekanan Dialek dan Kosa Kata

Walaupun nada suara diekspresikan secara eksplisit atau emplisit dapat memberikan gambaran kepada pembaca watak si tokoh, apakah ia seorang yang percaya diri atau seorang yang pemalu. Penekanan suara memberikan gambaran penting tokoh memperlihatkan keaslian watak dan kondisi mental/emosi mereka. Dialek dan kosa kata dapat memberi gambaran kepada pembaca status sosial si tokoh (Pickering dan Hoeper dalam Minderop, 2005 :34-37)

f) Karakterisasi Melalui Tindakan Para tokoh

Untuk membangun watak dengan landasan tingkah laku, penting bagi pembaca untuk mengamati secara rinci berbagai peristiwa dalam alur karena peristiwa-peristiwa tersebut dapat mencerminkan watak para tokoh, kondisi emosi dan psikis yang tanpa disadari mengikutinya serta nilai-nilai yang ditampilkan. Bahasa tubuh (gesture) atau ekspresi wajah biasanya tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan ingkah laku; namun tidak selamanya demikian. Kadang-kala tingkah laku samar-samar atau spontan dan tidak disadari sering kali dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang kondisi batin, gejolak jiwa atau perasaan si tokoh. Untuk memahami watak tokoh lepas dari tingkah laku baik yang disadari atau tidak disadari, penting pula memahami motivasi tokoh berperilaku demikian, apa yang menyebabkan ia melakukan suatu tindakan (Pickering dan Hoeper dalam Minderop, 2005 :37-45).

(7)

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak cara untuk menggambarkan karakter tokoh yang berada dalam cerita. Karakter-karakter tokoh diciptakan untuk menggambarkan kenyataan yang berada di luar karya sastra. Sangidu (2005:39) mengatakan sastra diciptakan oleh pengarang berdasarkan realita (kenyataan) sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini didukung oleh pendapat Ahmad (1979:4) yang meyatakan bahwa novel benar-benar hidup, membantu kita membenih rasa cinta, rasa belas kasih, rasa benci, rasa sabar dan menonjolkan suatu hasrat: baik hasrat menerima ataupun menolak sesuatu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan, namun sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan. Penulis menggambarkan itu antara lain dari tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, yaitu melalui watak dan tingkah laku yang disampaikan melalui karakterisasi.

Dalam penelitian ini melihat dua metode dalam karakterisasi yaitu metode telling (langsung) dan showing (tidak langsung) yang digunakan pengarang dalam novel Sherlock Holmes Empat Pemburu Harta karya Sir Arthur Conan Doyle.

2.3 Tokoh

Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun juga gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara

(8)

ilmiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki kehidupan atau berciri hidup (Wiyatmi, 2006;30). Cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Berikut adalah jenis–jenis tokoh.

2.3.1 Berdasarkan Fungsinya a. Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang mempunyai peran penting dalam cerita. kriteria tokoh utama adalah (1) ditampilkan terus-menerus dalam cerita, sehingga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, (2) waktu yang digunakan untuk menceritakan tokoh itu lebih lama, (3) tokoh yang menjadi tumpuan berlakunya peristiwa-peristiwa walaupun ia tidak hadir dalam peristiwa itu, (4) paling banyak berhubungan dengan tokoh lain.

b. Tokoh Bawahan

Tokoh bawahan adalah tokoh yang bersifat menunjang tokoh utama. Tokoh bawahan bukan tokoh sentral. Mereka juga sering menjadi tokoh andalan untuk memberi gambaran lebih terperinci terhadap tokoh utama, walaupun kehadirannya tidak dominan.

(9)

2.3.2 Berdasarkan Peran Tokoh a. Tokoh Protagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi pembaca. Ia mendapat simpati yang banyak dari pembaca karena penampilannya membawakan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal.

b. Tokoh Antagonis

Tokoh antagonis adalah tokoh yang biasanya menjadi penyebab terjadinya konflik. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut, beroposisi dengan tokoh protagonist, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin.

2.3.3 Berdasarkan Cara Penampilan a. Tokoh Pipih

Tokoh pipih (sederhana) dikenal dengan cirri-ciri sebagai berikut.

1) Sedikit sekali berubah atau sama sekali tidak berubah. Dari awal sampai akhir cerita sifatnya tetap.

2) Hanya mempunyai satu sifat, sehingga mudah dikenal, sebab itu disebut dengan tokoh sederhana (Chatman dalam Tuloli, 2000:33). b. Tokoh bulat

Tokoh bulat atau kompleks memperlihatkan ciri-ciri penampilan sebagai berikut.

1) Selalu mengalami perubahan, dan ditampilkan berangsur-angsur dan berganti-ganti.

(10)

2) Sukar digambarkan karena memiliki tabiat dan motivasi yang kompleks, dan banyak menimbulkan kejutan.

3) Mempunyai sifat yang berbeda-beda (bervariasi), beberapa sifat itu bertentangan atau berkontradiksi (Chatman dalam Tuloli, 2000:33). 2.3.4 Berdasarkan Perkembangan Tokoh

a. Tokoh Berkembang

Tokoh berkembang adalah tokoh yang terjadi perubahan atau perkembangan pada dirinya yang meliputi tingkah laku, pikiran, niat serta sikapnya. Perubahan itu terjadi sebagai interaksi tokoh dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun alam sekitarnya.

b. Tokoh Statis

Tokoh statis adalah tokoh yang tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan dalam lingkungannya. Tokoh-tokoh bersifat statis terdapat pada penokohan hitam dan putih (jahat dan baik). Seorang tokoh yang dari awalnya berperan sebagai tokoh jahat atau baik dan tidak berubah sampai pada akhir cerita, dapat dikategorikan sebagai tokoh statis. Walaupun tidak semuanya tepat, sering tokoh statis dihubungkan dengan tokoh pipih, dan tokoh dinamis dengan tokoh bundar (bulat).

(11)

2.3.5 Berdasarkan Pencerminan a. Tokoh individual

Tokoh individual adalah tokoh yang mempunyai sifat yang unik, yaitu hanya khusus. Ia mempunyai sifat yang berbeda dengan manusia lain, sehingga tidak mencerminkan kelompok orang.

b. Tokoh Tipikal

Tokoh yang tipikal, adalah yang membawakan atau mencerminkan kehidupan kelompok tertentu. Tokoh tipikal bersifat universal. Tokoh yang terbaik adalah tokoh yang bisa menampilkan sifat individualnya dan juga mencerminkan kelompok tertentu (tipikal). Antara faktor rekaan dan faktor kehidupan yang realistis dapat dipadukan pada tokoh seperti ini.

2.4 Hakekat Nilai

Nilai digunakan untuk mewakili gagasan atau makna yang abstrak dan tak terukur dengan jelas. Nilai yang abstrak dan sulit diukur itu antara lain keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian, dan persamaan. Dikemukakan pula, sistem nilai merupakan sekelompok nilai yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya dalam sebuah sistem yang saling menguatkan dan tidak terpisahkan (Mulyana, 2004:8). Nilai yang merupakan pengertian yang umum dan universal menciptakan pengertian yang berbagai macam jika dilihat dari berbagai sudut pandang.

Nilai sebagai hal yang abstrak, yang harganya mensifati dan disifatkan pada sesuatu hal dan ciri-cirinya dapat dilihat dari tingkah laku, memiliki kaitan dengan

(12)

istilah fakta, tindakan, norma, moral, cita-cita, keyakinan dan kebutuhan. Sebenarnya, kaitan antara nilai dengan istilah-istilah itu lebih mencerminkan sebagai proses yang menyatu daipada sebagai dua istilah yang terpisahkan. Berikut adalah hubungan nilai dengan aspek lain yang membentuk satu pengertian nilai (Mulyana, 2004:12)

2.5 Hubungan Nilai dengan Aspek lainnya 2.5.1 Nilai dan Fakta

Nilai itu ada, tapi tidak mudah dipahami. Sifatnya abstrak dan tersembunyi di belakang fakta menjadi salah satu sebab sulitnya dipahami. Sebagai tema yang terkait dengan fakta, nilai lahir dari sebuah konsekuensi penyikapan atau penilaian atas sesuatu hal yang faktual. Dengan kata lain, ketika seseorang melihat suatu kejadian, merasakan suatu suasana, mempersepsi suatu benda, atau merenungkan suatu peristiwa, maka di sanalah kira-kira nilai itu ada. Jarak antara nilai dan fakta sifatnya relatif bergantung pada pengalaman dan pengetahuan seorang atas sesuatu fakta yang tengah dihadapi.

Salah satu contoh yang digunakan untuk menjelaskan nilai adalah dengan cara membandingkannya dengan fakta. Fakta adalah sesuatu yang ada atau tengah berlangsung begitu saja. Fakta dapat ditemui dalam konteks peristiwa yang unsur-unsurnya dapat diuraikan satu per satu secara rinci dan keadaan fakta pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Sementara itu, nilai menunjukkan pada suatu tema memikat atau menghimbau kita, ketika kita berada pada posisi sedang memaknai fakta tersebut. Nilai hadir dalam suasana apresiasi (penilaian) ketika setiap orang,

(13)

dengan beragam pengalaman dan pemamannya, merujuk pada kadar nilai yang berbeda.

2.5.2 Nilai dan Tindakan

Nilai merupakan sesuatu yang diinginkan sehingga melahiran tindakan pada diri seseorang. Nilai yang sesungguhnya hanya dapat lahir kalau diwujudkan dalam praktik tindakan. Sebuah nilai tidak dapat terwujud andaikata nilai itu dilakukan daripada hanya sebagai bentuk ucapan saja. Karena itu, dalam realitas sosial, ketia simbol-simbol nilai diangkat kepermukaan sebagai wacana aja, tanpa ada upaya untuk mewujudkannya. Cara itu tidak cukup meyakinkan orang lain terhadap pemilikan nilai yang sesungguhnya pada orang yang mengucapkannya.

Seseorang yang berkata bahwa segala perikehidupan harus dilandasi oleh rasa keikhlasan, padahal dalam tindaknya justru banyak menampilkan kaidah untung-rugi secara material, hal itu berarti tengah terjadi distorsi atau disorientasi nilai pada dirinya;apa yang ia katakan tidak sesuai dengan tindakannya. Manifestasi nilai terhadap tindakan diawali oleh serentetan proses psikologis sebelumnya seperti: hasrat (drive) sebagai keadaan organisme manusia yang memiliki inisiatif terhadap aktivitas secara umum;motif (motive) sebagai keadaan yang terarahkan pada tujuan suatu organisme yang terdiri atas dorongan hasrat; dan sikap (attitude) sebagai keadaan yang tersimpulkan sebagai kesiapan organism untuk melakukan perilaku. Baru setelah itu sampai pada nilai (value) sebagai tujuan di mana pola-pola sikap diatur.

(14)

2.5.3 Nilai dan Norma

Nilai dapat merujuk pada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan tersebut menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur dalam menilai sesuatu, maka itulah yang disebut norma. Nilai dan norma hanya memiliki harga jika diwujudkan dalam perilaku atau tindakan. Jadi, dapat dikatakan bahwa norma adalah standar-standar nilai kebajikan yang dibakukan, sedangkan nilai adalah harga yang dituju dari suatu perilaku sopan sesuai dengan aturan yang disepakati.

Nilai kesopanan berlaku lebih universal dari norma kesopanan. Artinya, istilah nilai kesopanan dapat muncul sejumlah aturan, kaidah, atau standar perilaku yang ditetapkan dalam beragam jenis norma kesopanan.

2.5.4 Nilai dan Moral

Moral bisa berarti adat kebiasaan atau cara hidup. Sebenarnya, moral terkait juga dengan kualitas baik-buruk. Tetapi ketika sifat baik-buruk itu dilekatkan pada moral, ia sudah menyatu dengan tindakan, sedangkan baik buruknya suatu nilai belum tentu diikuti oleh tindakan. Hal inilah yang membuat moral semakin memiliki arti. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Esten (1978:8) yang menyatakan bahwa sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral.

Perbedaan antar moral dengan nilai pada kada benar-salah (intelektual) dan indah-tidak indah (estetika) lebih mudah dibedakan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya moral terikat pada pertanggungjawaban pribadi seorang terhadap orang

(15)

lain sehingga kebebasan dan tanggung jawab menjadi sarat mutlak, nilai intelektual dan etis tidak demikian.

2.5.5 Nilai dan Etika

Etika merupakan suatu wilayah kajian tentang nilai baik-buruk. Sebagai ilmu, etika setara dengan logika yang mengkaji strktur berpikir logis dan estetika yang menjelaskan perolehan dan kualitas nilai indah-tidak indah. Objek kajian etika adalah segala perbuatan manusia yang dilakukan atas dasar kehendak atau tidak dengan kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan dengan sadar.

Berdasarkan definisi dan cakupan etika di atas, maka jelas bahwa nilai merupakan tema abstrak yang terkandung dalam etika. Nilai disini bukan nilai benar-salah atau indah-tidak indah, melainkan nilai buruk. Ada dua sumber nilai baik-buruk yang terdapat dalam etika, yaitu nilai normatif yang bersumber dari buah pikiran manusia dalam menata kehidupan sosial dan nilai preskriptif yang bersumber dari wahyu.

Kualitas kehendak dan adat kebiasaan yang diberi hukum baik-buruk oleh etika ini menandakan bahwa nilai dilibatkan dalam proses penilaian (valuing) yang berlangsung secara psikologis pada diri seorang. Adapun etika memutuskan baik-buruk terhadap adat kebiasaan seseorang, nilai diwakili oleh kaidah-kaidah normative yang diambil dari aturan agama, hokum positif, adat kebiasaan, dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa karya sastra dicipta oleh seorang pengarang. Ia tidak terlepas dari masyarakat dan

(16)

budayanya. Seringkali sastrawan sengaja menonjolkan kekayaan budaya masyarakat, suku bangsa, atau bangsanya (Pradopo, 2009:113).

Dari beberapa pembagian nilai di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam novel terdapat nilai-nilai yang berada pada karakter tokoh dalam cerita diantaranya nilai fakta, tindakan, norma, moral dan etika. Nilai-nilai dalam sastra mampu menimbulkan kesan bagi pembaca. Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra bila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu dapat menimbulkan kesan mendalam di hati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya sastra (Sadikin, 2011:6)

2.6 Pengertian Novel

Novel merupakan fragmen dari kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya (Esten, 1978:12). Tuloli (2000:17) berpendapat bahwa novel dianggap suatu ragam sastra yang panjang dan kompleks yang unsur-unsur utamanya adalah plot, perwatakan, latar, dan sudut pandang. Novel biasanya jika dilihat dari panjang cerita, berjumlah beratus-ratus halaman tetapi ada juga yang disebut novelette, yaitu karya sastra yang lebih pendek dari novel, tapi lebih panjang dari cerpen. Bisa dikatakan merupakan pertengahan diantara novel dan cerpen. Dari segi panjang cerita, novel (jauh) lebih panjang dari pada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai

(17)

permasalahan yang lebih kompleks. Hal ini mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu (Nurgiyantoro, 2007:11).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:531) novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Dengan demikian novel merupakan karya yang dalam penggambaran pengarang dimuat dengan kompleks lengkap dengan unsur-unsur yang saling berhubungan dan memuat hal-hal penting di dalamnya. Karya sastra yang kian banyak memancarkan tingkatan pengalaman jiwa dan merupakan kutuhan akan tinggi nilainya, ditambah lagi bila pengalaman itu lengkap, karya sastra jadi semakin hidup, besar dan agung, jadi kian tinggi mutunya (Pradopo, 2011:59).

2.7 Jenis-jenis Novel

Sebuah novel hadir dengan ciri dan gaya yang khas sehingga bisa terdapat banyak jenis novel. Menurut Sumarjdo dan Saini (1997:29-30) novel dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni novel percintaaan, novel petualangan, dan novel fantasi.

a) Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita dan pria sacara imbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan. Dalam jenis novel ini digarap hampir semua tema, dan sebagian besar novel termasuk jenis ini.

b) Novel petualangan sedikit sekali memasukkan peranan wanita. Jika wanita disebut dalam novel jenis ini, maka penggambarannya hampir stereotip dan kurang berperan. Jenis novel petualangan adalah ‘’bacaan kaum pria’’ karena tokoh-tokoh di

(18)

dalamnya pria dan dengan sendirinya melibatkan banyak masalah dunia lelaki yang tidak ada hubungannya dengan wanita. Meskipun dalam jenis novel petualangan ini sering ada percintaan juga, namun hanya bersifat sampingan belaka; artinya, novel itu tidak semata-mata berbicara persoalan cinta.

c) Novel fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak realistis dan serba tidak mungkin dilihat dari pengalaman-pengalaman sehari-hari. Novel jenis ini mempergunakan karakter yang tidak realistis, setting dan plot yang tidak wajar untuk menyampaikan ide-ide penulisnya. Jenis novel ini mementingkan ide, konsep, dan gagasan sastrawannya yang hanya dapat jelas kalau diutarakan dalam bentuk cerita fantastik, artinya menyalahi hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari.

Berdasarkan penjelasan di atas, sudah jelas bahwa jenis novel yang akan diteliti adalah novel bergenre petualangan, yaitu novel Sherlock Holmes Empat Pemburu Harta karya Sir Arthur Conan Doyle. Novel ini berisikan karangan yang mengajak pembaca untuk terjun kedalam cerita dan mengikuti perjalanan cerita Sherlock Holmes yang penuh teka-teki dan misteri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tarigan (1986:164) yang berpendapat bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representative dalam suatu keadaan yang sangat kacau atau kusut.

(19)

2.8 Pendekatan Struktural

Endraswara (2011:51) mengatakan bahwa pendekatan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Penelitian dilakukan secara objektif yaitu menekankan aspek intrinsik karya sastra. Keindahan teks sastrabergantung penggunaan bahasa yang khas dan relasi antar unsure yang mapan. Unsure-unsur itu tidak jauh berbeda dengan sebuah ‘’artefak’’ (benda seni) yang bemakna.

Hal di atas seperti pendapat Eagleton (2010:140-141) yang mengatakan bahwa sebuah analisis stukturalis akan mencoba mengisolasiperangkat aturan, yang mengkombinasikan tanda-tanda ini menjadi sebuah makna, yang mendasari system tersebut. Jadi, pendekatan struktural menekankan pada fungsi-fungsi atau pemaknaan dari unsur-unsur intrinsik karya sastra dan dalam penelitian ini, penelitian dipusatkan pada sifat, tingkah laku, sikap dan cara penggambarannya serta nilai-nilai yang terkandung pada karakter tokoh-tokoh itu sendiri yang ada pada novel Sherlock Holmes Empat Pemburu Harta karya Sir Arthur Conan Doyle. Berikut ini cara penerapan kajian struktural dengan karakterisasi tokoh:

a) Kajian diawali dengan mengidentifikasi unsur intrinsik berupa tokoh dan penokohan atau karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel Sherlock Holmes Empat Pemburu Harta karya Sir Arthur Conan Doyle.

b) Mencatat kutipan-kutipan dalam novel Sherlock Holmes Empat Pemburu Harta karya Sir Arthur Conan Doyle yang menggambarkan karakterisasi tokoh baik secara langsung (telling), maupun tak langsung (showing).

(20)

c) Menganalisis karakterisasi serta nilai-nilai yang ditimbulkan dari karakter tokoh-tokoh dalam novel Sherlock Holmes Empat Pemburu Harta karya Sir Arthur Conan Doyle

Referensi

Dokumen terkait

Pada bulan Desember 2011, diselenggarakan pelatihan peningkatan kapasitas dalam penanganan pengaduan dengan peserta terbanyak yakni 62 orang dari tingkat kabupaten (Dinas

Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 98 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2)

Di njau dari manajemen satuan pendidikan, maka penyusunan model inspirasi diversifi kasi kurikulum esensi dan muaranya adalah terwujudnya Kurikulum ngkat satuan

Berdasarkan hasil penelitian melalui studi kepustakaan dan pembahasan tentang mengkritisi implementasi Ensiklik Evangelium Vitae sebagai pedoman bioetika bagi

Model Stimulasi Kecerdasan Visual Spasial Dan Kecerdasan Kinestetik Anak Usia Dini Melalui Metode Kindergarten Watching Siaga Bencana Gempa Bumi Di Paud

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Menurut (Muawanah & Poernawati, 2015:407) “Beban (expenses) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau

Bab ini membahas tentang bagaimana tahapan siklus kehidupan suatu organisasi, ciri, karakteristik, dan masalah yang dihadapi masing-masing karakteristik tersebut.. 