• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Asthma Control Test (ACT) Dengan Spirometri Sebagai Alat Pengukur Tingkat Kontrol Asma Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Asthma Control Test (ACT) Dengan Spirometri Sebagai Alat Pengukur Tingkat Kontrol Asma Chapter III V"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III METODOLOGI 3.1Desain penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional study) yang bersifat analitik untuk menilai hubungan nilai ACT dengan spirometri sebagai alat pengukur tingkat kontrol asma.

3.2 Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan

Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan dan tiap subyek telah menandatangani informed consent sebelum prosedur penelitian dilakukan.

3.2Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan di poliklinik pulmonologi dan alergi RS H. Adam Malik dan RS pirngadi Medan, mulai bulan agustus 2015 sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.4Populasi dan subjek penelitian

Populasi terjangkau adalah penderita asma bronkial yang merupakan pasien rawat jalan RS H. adam malik dan RS pirngadi medan. Subjek penelitian diambil secara consecutive sampling yaitu mengambil semua sampel yang memenuhi kriteria penerimaan sampai jumlah sampel penelitian tercapai, jumlah sampel pada penelitian ini 61 orang.

3.5Kriteria penerimaan dan penolakan Kriteria penerimaan

1. Pasien asma bronchial yang berusia >18 tahun

(2)

radiologi yang diketahui serta disetujui oleh Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan.

3. Tidak termasuk dalam kriteria penolakan.

Kriteria penolakan

1. Pasien yang memiliki penyakit paru lain seperti COPD, TB paru, bronkiektasis

2. Pasien gagal jantung kongestif

3. Pasien dengan tingkat asma akut berat 4. Wanita hamil

3.6 Cara Penelitian

3.6.1 Estimasi sampel penelitian

Rumus perhitungan besar sampel untuk untuk uji diagnostik adalah :

n = Besar sampel

p = sensitifitas alat yang diinginkan = 92 %. d = presisi penelitian ditetapkan 30%

α = tingkat kesalahan ditetapkan sebesar 5% sehingga Zα = 1.96 Jumlah sampel minimal = 61 orang

3.6.2 Cara memperoleh subyek penelitian

(3)

3.6.3 Prosedur penelitian

6.1 Anamnesa dan pemeriksaan fisik

Seluruh subjek dalam penelitian ini telah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik.

6.2 Pemeriksaan cek darah lengkap

Seluruh subjek dalam penelitian dilakukan pemeriksaan darah lengkap.

6.3 Pemeriksaan radiologi

Seluruh subjek penelitian dilakukan pemeriksaan foto thoraks untuk menyingkirkan adanya penyakit lain.

6.4 Pemeriksaan fungsi paru

Seluruh subjek penelitian juga dilakukan pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri untuk diagnosa asma bronkial dan menilai tingkat kontrol asma dan pasien tetap mendapat pengobatan yang biasa digunakan sehari-hari.

6.5 Pemeriksaan kontrol asma dengan ACT

Seluruh subjek dalam penelitian dinilai tingkat kontrol asma dengan kuesioner asthma control test yang terdiri dari 5 pertanyaan.

3.7 Defenisi Operasional

7.1 Asma bronkial merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas dengan gejala: sesak nafas, mengi, batuk dan dada terasa terhimpit yang bersifat episodik, terutama setelah terpapar dengan alergen, ataupun cuaca, adanya riwayat keluarga menderita asma ataupun penyaakit atopi. Pemeriksaan fisik dijumpai mengi pada auskultasi, dan konfirmasi diagnosa dengan spirometri yaitu peningkatan VEP1 ssebanyak >12% atau (>200ml) setelah pemberian bronkodilator hirup. Pasien asma adalah pasien yang didiagnosa asma oleh dokter spesialis penyakit dalam RSUP HAM.

(4)

tiga tingkatan yaitu terkontrol sempurna, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol.

7.3 Asthma Control Test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang penderita asma yang dikeluarkan oleh American Lung Association, terdiri dari 5 pertujuan, bertujuan memberi kemudahan kepada dokter dan pasien untuk mengevaluasi penderita asma yang berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya.

Quesioner Asthma control test

1. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering penyakit asma mengganggu anda dalam melakukan pekerjaan sehari-hari di kantor, disekolah atau dirumah ?

Nilai 1= selalu, 2= sering, 3= kadang-kadang, 4= jarang, 5= tidak pernah Interpretasi selalu= setiap waktu (all of the time), sering= hampir setiap waktu ( most of the time), kadang-kadang ( some of the time), jarang ( a little of the time), tidak pernah= tidak pernah

2. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering anda mengalami sesak nafas ? Nilai 1= Lebih dari 1 kali sehari, 2= 1 kali sehari, 3= 3-6 kali seminggu 4= 1-2 kali seminggu, 5= tidak pernah

3. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering gejala asma (bengek, batuk- batuk, sesak nafas, nyeri dada atau rasa tertekan di dada) menyebabkan anda terbangun di malam.

Nilai 1= 4 kali atau lebih seminggu, 2= 1-2 kali seminggu, 3= 1 kali seminggu, 4= 1-2 kali sehari, 5= Tidak pernah

4. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering anda menggunakan obat semprot darurat atau obat oral untuk melegakan pernafasan ?

Nilai 1= > 3 kali sehari, 2= 1-2 kali sehari, 3= 2-3 kali seminggu, 4= < 1 kali seminggu 5= Tidak pernah

5. Bagaimana penilaian anda terhadap tingkat control asma anda dalam 4 minggu terakhir?

(5)

Interpretasi nilai: asma terkontrol baik ≥ 20, terkontrol sebagian 16 -19, tidak terkontrol ≤ 15.

7.4 Spirometri merupakan alat diagnostik non invasive yang digunakan untuk pemeriksaan faal paru.16 Spirometri merekam secara grafis atau digital volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa. Spirometri yang digunakan adalah merk Schiller, type SP-1, S/N: 54011208 dan telah dikaliberasi oleh BPFK Medan Kemenkes RI tertanggal 20 februari 2015.

7.5. Asma eksaserbasi akut episode akut atau subakut dengan sesak yang memburuk secara progresif disertai batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus nafas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indicator yang lebih dapat dipercaya dibandingkan gejala.

7.6. COPD adalah penyakit paru kronis dengan karakteristik keterbatasan aliran udara persisten yang memiliki gejala klinis dyspnu, batuk kronik, produksi sputum, dan riwayat terpapar dengan faktro resikonya. Post bronkodilator spirometri menunjukkan FEV1/FVC <0,7

7.7. CHF adalah congestive heart failure (penyakit jantung kongestif) yang secara klinis memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kritria mayor dengan 2 kriteria minor.

Kriteria mayor terdiri dari: paroxysmal nocturnal dyspnea, distensi vena leher, ronki basah, kardiomegali yang dibuktikan dengan foto thoraks, edema paru akut, S3 gallop, peningkatan tekanan vena sentral (>16cmH20), refluks hepatojugular

(6)

Kriteria minor diperhitungkan bila tidak berhubungan dengan kondisi medis lainnnya (seperti hipertensi pulmonal, penyakit paru kronis, sirosis, asites, atau sindroma nefrotik)

3.8 Rencana Pengolahan dan Analisis Data a. Editing data

Dilakukan untuk:

1. memeriksa apakah semua pertanyaan sudah terisi jawabannya

2. memeriksa jawaban dan data responden apakah jelas dan dapat dibaca. Bila terdapat kekurangan, pewawancara akan mewawancarai ulang responden tersebut.

b. Coding

Diletakkan pada sisi kanan kuesioner untuk setiap variabel dan pertanyaan dalam kuesioner satu demi satu.

c. Data Entry

Yaitu memindahkan data dari tempat pengumpulan data ke dalam komputer. Program yang digunakan adalah SPSS versi 16. Entry data dilakukan pada lembar Data View, di mana setiap baris mewakili satu responden dan setiap kolom mewakili tiap variabel.

d. Data Cleaning

Data cleaning merupakan pengecekan kembali data entry dengan cara: 1. Mengetahui data missing

apakah ada data yang masih belum terisi 2. Mengetahui variasi data

(7)

e. Revisi Data

Kalau ada kesalahan, lihat lagi data asli dalam kuesioner, kemudian dilakukan revisi. Setelah melakukan tahap Data Cleaning dan revisi, berarti data sudah siap untuk dianalisis.

f. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisa bivariat merupakan analisis variabel-variabel yang diteliti (independen) yang diduga mempunyai hubungan dengan variabel terikat (dependen). Adapun dalam analisis ini menggunakan uji t-test bila distribusi data normal atau dengan uji Mann Whitney bila distribusi data tidak normal untuk 2 kategori. Sedangkan untuk lebih dari 2 kategori digunakan one way annova bila distribusi data normal atau kruskal-wallis bila distribusi data tidak normal. Besarnya penyimpangan yang diinginkan (α) adalah 0,05. Analisa korelasi antara variable menggunakan analisa pearson bila distribusi data normal atau analisa spearman bila distribusi data tidak normal. Besarnya penyimpangan yang diinginkan (α) adalah 0,05.

(8)

3.9Kerangka Operasional

Pasien rawat jalan

Asma bronkial

Spirometri Asthma Control Test (ACT) Anamnesa

Pemeriksaan Fisik Darah lengkap Foto thoraks Spirometri

Tingkat Kontrol Asma

Pasien tetap menggunakan obat yang biasa digunakan

Sesuai kriteria inklusi

(9)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Responden

Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang di RS HAM dan RS Pirngadi medan selama bulan agustus 2015 sampai bulan November 2015. Data penelitian yang diperoleh meliputi : jenis kelamin, umur, suku, pekerjaan, skor BMI, nilai FEV1, nilai FEV1/FVC, nilai FVC, nilai FEF 25-75% , nilai PEF dan nilai ACT. Selama periode penelitian diperoleh 61 subjek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 39 orang pasien (63,9%) adalah perempuan dan 22 orang pasien (36,1%) adalah laki-laki. dengan rerata umur 54,44 tahun.

Mayoritas responden bersuku Batak yaitu Sebanyak 27 subyek (44,3%), mandailing sebanyak 7 subyek (11,5%), minang sebanyak 7 subyek (11,5%), melayu sebanyak 4 subyek (6,6%) dan jawa sebanyak 3 subyek (4,9 %). Rerata BMI dari keseluruhan subyek adalah 26,82 kg/m2 dengan status preobes merupakan proporsi terbanyak sebanyak 41%. Sebanyak 25 subyek (41%) merupakan ibu rumah tangga.

Berdasarkan karakteristik demografi subjek penelitian diperoleh tidak ada perbedaan yang signifikan nilai ACT terhadap karakteristik subjek penelitian baik jenis kelamin, umur, suku, pekerjaan dan nilai BMI dimana pvalue >0.05

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Subyek Penelitian terhadap nilai ACT

Variabel Jumlah (%) sampel Rerata (±SD) skor ACT p*

Umur, rerata (SB) tahun

(10)

> 60 tahun 21 (34,4%) 16,10 (±5,069)

(11)

4.1.2 Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru 4.1.2.1 Spirometri

Hasil pemeriksaan fungsi paru terhadap seluruh subyek terdapat pada tabel 4.2. Rerata FEV1 yang tercatat adalah 60,03 %. Berdasarkan pengelompokan FEV1 diketahui hanya sebanyak 8 subyek (13.1 %) dengan asma terkontrol baik. Hal serupa diperoleh berdasarkan pengelompokan PEF (%) diketahui hanya 8 subjek (13.1%) dengan asma terkontrol baik. Berdasarkan pengelompokan FEF 25-75 % mayoritas subjek diperoleh obstruksi moderate sebanyak 26 subjek (42.6%). Menurut hasil FEV1/FVC diketahui dengan rerata 78.75 %. Rerata FVC (%) adalah 63,69%. .

Berdasarkan hubungannya dengan nilai ACT diperoleh perbedaan yang signifikan FEV1% terhadap nilai ACT (p 0.002), FEF 25-75 % terhadap nilai ACT (p0.047), PEF (%) terhadap nilai ACT (p 0.008) dan FEV1/FVC terhadap nilai ACT tidak berbeda signifikan (p 0.215).

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru dengan Spirometri terhadap nilai ACT

Parameter Jumlah (%) sampel Rerata (±SD) skor ACT

P value

FEV1 % prediksi, rerata (SB)

(12)

FEV1/FVC, rerata (SB)

• Untuk 2 kategori digunakan uji T test tidak berpasangan dan untuk lebih dari 2 kategori digunakan ANOVA

Gambar 4.1 Persentase kontrol asma berdasarkan FEV1 % prediksi

Terkontrol baik 13,1 %

Terkontrol sebagian 34.4 % Tidak terkontrol

52,5 % Terkontrol baik

Terkontrol sebagian

(13)

4.1.2.2 Asthma Control Test (ACT)

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap penderita asma yang menjadi subyek dalam penelitian ini diperoleh bahwa rerata ACT adalah 15,97. Menurut kategorisasi ACT diketahui bahwa subyek dengan asma yang terkontrol baik sebanyak 19 orang (31,1%)

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan ACT

Hasil Pemeriksaan ACT n = 61 Persentase

Rerata (SB) 15,97

Kategori ACT, n (%)

Terkontrol Baik 19 31,1 %

Terkontrol Sebagian 13 21,3 %

Tidak Terkontrol 29 47,5 %

Gambar 4.2 Persentase kategori ACT

31%

21% 48%

Terkontrol baik

Terkontrol sebagian

(14)

Gambar 4.3 Grafik perbandingan kontrol asma berdasarkan FEV1 % prediksi dan ACT

4.1.3 Nilai Diagnostik ACT untuk Memprediksi Tingkat Kontrol Asma

ACT dalam studi ini memiliki kemampuan untuk memprediksi tingkat kontrol asma. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 88,8% (95% CI: 76,6% - 100%; p = 0,001).

Gambar 4.4 Kurva ROC ACT untuk Memprediksi Tingkat Kontrol Asma

13,10%

31,10% 34.4%

21,30% 52,50%

47,50%

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00%

FEV1 % prediksi ACT

(15)

Gambar 4.5 Kurva sensitifitas dan spesifisitas ACT terhadap Tingkat Kontrol Asma

Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifisitas maka diperoleh nilai Cut Off untuk ACT adalah 21,5. Dengan menggunakan cut off point 21,5 maka didapatkan nilai sensitivitas ACT adalah 71,4% dan spesifisitas 96,3%.

Tabel 4.4 Sensitivitas, spesifisitas, positive dan negative predictive value dari ACT terhadap Tingkat Kontrol Asma

Nilai Prediksi Positif (NPP) ACT adalah sebesar 71,4% dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) adalah 96,3%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 19,3 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,3. Akurasi ACT terhadap pemeriksaan spirometri untuk menentukan subyek dengan asma yang terkontrol atau tidak adalah 93,44%.

Kontrol Asma Sensitifi

(16)

4.1.4 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi

Dengan menggunakan uji korelasi Pearson ditemukan korelasi yang signifikan antara ACT dan FEV1 % prediksi (p<0,001). Nilai korelasi yang diperoleh adalah 0,503 yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang sedang dengan FEV1, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh peningkatan FEV1 % prediksi.

Tabel 4.5 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi

FEV1

P r (korelasi)

ACT <0,001 0,503

(17)

4.1.5 Korelasi ACT dan FEV1 (L)

Dengan menggunakan uji korelasi Spearman ditemukan korelasi yang signifikan antara ACT dan FEV1 (L) (p<0,05). Nilai korelasi yang diperoleh adalah 0,319 yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang lemah dengan FEV1, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh peningkatan FEV1 (L).

Tabel 4.6 Korelasi ACT dan FEV1 (L)

FEV1 (L)

P r (korelasi)

ACT 0.012 0,319

(18)

4.1.6 Korelasi ACT dan FEF 25-75 %

Dengan menggunakan uji korelasi pearson diperoleh nilai korelasi ACT dan FEF 25-75 % adalah 0,243 (p 0.059) yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang lemah dengan FEF 25-75%, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh peningkatan FEF 25-75%.

Tabel 4.7 Korelasi ACT dan FEF 25-75 %

FEF 25 – 75 %

P r (korelasi)

ACT 0.059 0,243

(19)

4.1.7 Korelasi ACT dan PEF (%)

Dengan menggunakan uji korelasi Spearman ditemukan korelasi yang signifikan antara ACT dan PEF (p<0,05). Nilai korelasi yang diperoleh adalah 0,356 yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang lemah dengan PEF, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh peningkatan PEF.

Tabel 4.8 Korelasi ACT dan PEF (%)

PEF (%)

P r (korelasi)

ACT 0.005 0,356

(20)

4.1.8 Korelasi ACT dan FEV1% prediksi berdasarkan jenis kelamin 4.1.8.1 jenis kelamin laki-laki

Dengan menggunakan uji korelasi pearson ditemukan korelasi yang signifikan antara ACT dan FEV1 % prediksi (p<0,05). Nilai korelasi yang diperoleh adalah 0,653 yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang kuat dengan FEV1, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh peningkatan FEV1 % prediksi.

Tabel 4.9 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk jenis kelamin laki-laki

FEV1 % prediksi

P r (korelasi)

ACT 0.001 0,653

(21)

4.1.8.2 Untuk jenis kelamin perempuan

Dengan menggunakan uji korelasi Pearson ditemukan korelasi yang signifikan antara ACT dan FEV1 % prediksi (p<0,05). Nilai korelasi yang diperoleh adalah 0,397 yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang lemah dengan FEV1, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh peningkatan FEV1 % prediksi.

Tabel 4.10 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk jenis kelamin perempuan

FEV1 % prediksi

P r (korelasi)

ACT 0.012 0,397

(22)

Table 4.17 Korelasi antara nilai ACT dan spirometri

Nilai Korelasi Signifikan (p value)

FEV1 % prediksi 0,503 <0,001*

FEV1 L 0,319 0.012*

FEF 25-75% 0,243 0.059

PEF (%) 0.356 0.005*

Berdasarkan jenis kelamin

FEV1% prediksi laki-laki 0,653 0.001*

FEV % prediksi perempuan 0,397 0.012*

4.2 Pembahasan

Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang masih menjadi masalah kesehatan serius di seluruh dunia. Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.1

Asma merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran nafas pada penderita asma.1, 2, 6,7

(23)

sedangkan penurunan FVC (Forced Vital Capacity) menggambarkan derajat hiperinflasi paru.1, 2, 6, 7

Telah diketahui bahwa tidak ada kesembuhan untuk asma tetapi penyakit ini dapat dikontrol pada beberapa pasien. Penilaian kontrol asma untuk tujuan klinis sangat penting, meliputi gejala, perubahan fungsi paru, kualitas hidup dan kemampuan fisiologis tubuh. Pengukuran fungsi paru dapat dilakukan dengan spirometri, namun spirometri sebagai alat yang dapat menilai kontrol asma sering tidak tersedia di tempat layanan primer.28

Beberapa alat untuk menilai asma terkontrol secara subjektif yang sudah diakui seperti asthma control questioner (ACQ), asthma control test (ACT), asthma therapy assessment questionnaire (ATAQ) dan asthma control scoring system (ACSS). 7

Asthma control test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang penderita asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau tidak. Kuesioner ini terdiri dari 5 pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung Association bertujuan memberikan kemudahan dokter dan pasien untuk mengevaluasi asma penderita yang berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya. Berbeda dengan ACS, ACT tidak memakai kriteria faal paru untuk menilai kontrol asma. Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau lebih kecil 15 tidak terkontrol, jumlah nilai 16-19 terkontrol sebagian, jumlah nilai sama atau lebih besar 20 terkontrol baik.5

Analisis penelitian ini bertujuan melihat korelasi ACT dengan spirometri. Jumlah populasi pada penelitian ini sebanyak 61 orang dengan rerata umur 54,44 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh bora dkk dimana rerata umur 42,3 ± 11,4 tahun.38

(24)

2009, dengan 100 subjek penelitian terdiri dari 70% perempuan.32 Penelitian de sousa dkk juga mendapatkan hasil yang sama dengan mayoritas penderita asma berjenis kelamin perempuan yaitu 68 % dan 32 % laki-laki.39

Dalam kaitannya bahwa validitas suatu alat tergantung pada karakteristik demografi suatu populasi, berdasarkan penelitian ini diperoleh tidak ada perbedaan yang signifikan nilai ACT terhadap jenis kelamin, umur, suku, nilai BMI dan pekerjaan dimana p > 0.05. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sigari dkk menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan nilai ACT terhadap perbedaan karakteristik populasi seperti tingkat pendidikan, daerah perkotaan dan pedesaan, jenis kelamin dan kelompok umur. 35 Sehingga ACT dapat digunakan pada berbagai populasi yang berbeda.

Rerata BMI dari keseluruhan subjek adalah 26,82 kg/m2 dengan status preobesitas merupakan proporsi terbanyak sebanyak 41%. Sejumlah penelitian melaporkan terdapatnya hubungan antara asma dan obesitas dan apakah hubungan yang kuat didapatkan pada perempuan dibanding laki-laki masih kontroversial. Beckett dkk mendapatkan hubungan yang bermakna antara insiden derajat asma dengan BMI selama 10 tahun observasi, hubungan bermakna terbatas pada perempuan dan hubungan tidak tergantung aktifitas fisik.40

Berdasarkan nilai ACT sebanyak 47,5% tidak terkontrol, 21,3% terkontrol sebagian dan 31,1% mencapai terkontrol baik. Penelitian ini menggambarkan mayoritas subjek penelitian memiliki tingkat kontrol asma yang buruk. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan sigari dkk pada 150 subjek asma didapati 50,7 % tidak terkontrol, 35,3 % terkontrol sebagian dan 14 % terkontrol baik.35 Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan johnbull dkk pada 65 pasien asma, berdasarkan ACT mayoritas kontrol asma pasien terkontrol sebagian (43%) terkontrol baik 37% dan terkontrol buruk 20%.30

(25)

21 subjek ( 34.4%) dan asma terkontrol baik sebanyak 8 subjek (13.1 %). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sigari dkk berdasarkan hasil FEV1 % prediksi diperoleh 50 % subjek penelitian, terkontrol sebagian 28 % dan terkontrol baik 22 %. 35

Tingginya populasi pasien yang tidak terkontrol (47.5%) dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti penggunaan obat yang tidak efektif, penilaian dan pengobatan yang tidak adekuat, rendahnya kepatuhan dalam terapi, kurang disadarinya gejala kontrol asma yang buruk oleh pasien, kemungkinan terjadi resistensi terhadap pengobatan atau dapat juga disebabkan karena terdapatnya faktor resiko seperti preobesitas (41.% subjek penelitian) yang dapat memperburuk gejala dan efektifitas pengobatan.

Sebagai tambahan, penelitian terbaru menemukan bahwa mayoritas terapi pasien asma tidak adekuat karena overestimasi terhadap tingkat kontrol asma. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan zhou dkk dimana sebagian besar pasien overestimasi terhadap tingkat kontrol asmanya.

ACT dapat membantu pasien mencapai tingkat kontrol asma yang lebih baik sehingga pasien dapat membuat personal asthma action plans dan memonitor tingkat kontrol asmanya. Jika asma gagal mencapai terkontrol dengan regimen terapi yang dipakai, naikkan pengobatan sampai tingkat kontrol asma tercapai. Tingkat kontrol asma yang bertahan selama 3 bulan berturut-turut mengindikasikan penurunan dosis pengobatan. Sebagai tambahan ACT merupakan upaya memicu komunikasi antara pasien dan klinis, membantu pasien membangun kepercayaan terhadap pengobatannya dan meningkatkan kinerja dokter dan menilai hasil terapi. 41

Hubungan ACT dengan hasil spirometri

(26)

(p<0,001). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Nathan dkk yang meneliti 471 pasien asma juga mendapat korelasi sedang antara ACT dengan % prediksi FEV1 (r= 0,37), p= 0.0001).5

Hasil penelitian ini menggambarkan korelasi yang signifikan antar ACT dan spirometri. Berdasarkan penelitian sorkness dkk menemukan kombinasi nilai ACT dan % prediksi FEV1 memberikan prediksi yang lebih akurat untuk asma tidak terkontrol.42

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan johnbull dkk pada 65 pasien asma, didapati hubungan ACT dan % prediksi FEV1 diperoleh hubungan yang lemah (r=0.0220, p <0,078).30 Namun penelitian yang dilakukan zhou dkk dengan 403 pasien asma umur rata-rata 44 ± 13,7 tahun didapati hubungan yang kuat antara ACT dan % prediksi FEV1 (r=0.580) dimana terdapat semakin tinggi nilai ACT semakin tinggi juga nilai % prediksi FEV1.41

Analisis hubungan ACT dengan FEV1 (L) berdasarkan uji korelasi spearman diperoleh hubungan yang sedang (r= 0,319), secara statistik bermakna (p < 0.05). Hasil ini tidak berbeda jauh dari penelitian yang dilakukan lutfi dkk yang meneliti 100 pasien asma diperoleh korelasi yang sedang antara ACT dan FEV1 (L) (r 0.354, p 0.000).33

Analisis hubungan ACT dengan FEF 25-75 % berdasarkan uji korelasi pearson diperoleh hubungan yang lemah (r= 0,243). Hasil ini berbeda dari penelitian yang dilakukan lutfi dkk, diperoleh korelasi yang sedang antara ACT dan FEF 25-75% (r 0.401, p 0.000). 33

(27)

dkk pada 100 pasien asma didapati hubungan yang lemah antara ACT dan PEF (%) (r 0.298, p 0.003).32 Nilai PEF prediksi merupakan indikator yang baik untuk mengontrol asma, PEF baik untuk menilai serangan akut dan sebaiknya dinilai variabilitasnya. Pada penelitian ini subjek adalah pasien asma yang berobat di poliklinik rawat jalan dan dinilai PEF saat kunjungan, nilai PEF juga dipengaruhi oleh variasi diurnal sehingga waktu pemeriksaan mungkin dapat mempengaruhi hasil selain dari cara pasien melakukan maneuver. 32

Pada penelitian ini juga dianalisa hubungan ACT dengan hasil spirometri berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan uji korelasi pearson diperoleh hubungan ACT dan FEV1 % prediksi paling kuat pada jenis kelamin laki-laki dibanding perempuan (r 0.653 vs 0.397 ).

Pada analisis kemampuan ACT dalam memprediksi terdapatnya obstruksi, didapatkan nilai titik potong ( cut off point) ACT 21,5 dengan sensitifitas 71,4 % dan spesifisitas 96,3% dengan area under the curve 88,8%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian oleh mendoza dkk diperoleh sensitifitas ACT 92.3%, spesifisitas ACT 90,5% dengan area under curve 0.972 (97.2%). Nilai prediksi positif 98% dan nilai prediksi negative 79 %. Dengan sensitifitas dan nilai prediksi positif yang tinggi, ACT merupakan alat screening yang baik untuk menilai kontrol asma.31

4.3Keterbatasan

(28)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asthma control test dengan spirometri untuk mengukur tingkat kontrol asma, dimana semakin tinggi nilai ACT maka akan diikuti oleh peningkatan nilai FEV1. Sehingga ACT potensial digunakan dalam praktek klinik sehari-hari untuk menilai kontrol asma pada tempat pelayanan primer yang tidak tersedia fasilitas spirometri.

5.2 Saran

Gambar

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru dengan Spirometri terhadap nilai
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan ACT
Gambar 4.3 Grafik perbandingan kontrol asma berdasarkan FEV1 % prediksi
Gambar 4.5 Kurva sensitifitas dan spesifisitas ACT terhadap Tingkat Kontrol
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat Kontrol Asma Di Rumah Sakit Persahabatan Berdasarkan Asthma Control Test Beserta Hubungan dengan Tingkat Morbiditas dan Faktor Risiko.. Studi Longitudinal

Hubungan Antara Tingkat Kontrol Asma Dengan Kualitas Hidup Pasien Asma Umur Delapan Belas Sampai Dengan Lima Puluh Lima Tahun Di BBKPM Surakarta. Latar Belakang : Asma

Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kontrol Asma Pada Penderita Asma Umur Lebih Dari Atau Sama Dengan Delapan Belas Tahun Di BBKPM Surakarta. Universitas

Responden pada penelitian ini direkrut dari pasien – pasien asma yang berobat jalan yang memiliki keluhan sehingga hasil penilaian menggunakan kuesioner Asthma Control Test TM ini

Pada penelitian ini didapat hasil bahwa peserta senam asma yang mengikuti program senam asma lebih dari 2 tahun memiliki skor ACT (Ashtma Control Test) yang lebih

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang asma dengan tingkat kontrol asma pada penderita asma umur lebih dari atau sama dengan

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh teknik pernapasan buteyko terhadap kontrol asma bronkial yang di ukur dengan menggunakan ACT (Asthma Control Test)

Dari perbandingan tingkat kontrol asma pada daerah yang terpajan debu pabrik Semen Padang dengan daerah yang tidak terpajan dengan menggu- nakan kuesioner asthma control test