• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Bahasa Daerah Sebagai Sarana Pemba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Bahasa Daerah Sebagai Sarana Pemba"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pembangunan yang berwawasan kerakyatan, yang bertujuan menyejahterakan masyarakat, memerlukan sarana ampuh untuk mewujudkan tujuan itu. Bahasa daerah sebagai salah satu modal besar bangsa memegang peran penting untuk mempercepat keberhasilan pembangunan. Makalah ini bertujuan mendeskripsikan peran aktif bahasa daerah sebagai sarana pembangunan yang berwawasan kerakyatan. Peran bahasa daerah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai sarana efektif komunikasi pembangunan berwawasan kerakyatan dan penawar dampak negatif globalisasi. Pertama, bahasa daerah sebagai sarana komunikasi pembangunan masyarakat. Sejak beberapa dekade terakhir ini, khususnya ketika bangsa-bangsa di dunia memasuki era globalisasi, kaum terpelajar yang menjadi agen pembangunan sangat gemar menggunakan istilah yang sangat asing di telinga masyarakat awam dalam mengomunikasikan pesan-pesan pembangunan. Misalnya, banyak penyuluh pertanian gemar menggunakan istilah ‗intensifikasi‘ dan ‗ekstensifikasi‘ lahan pertanian; dokter atau sarjana kesehatan masyarakat menggunakan istilah ‗lahir

prematur‘, ‗nutrisi‘, dll. Masyarakat pengguna bahasa daerah yang lebih memahami dan menjiwai bahasa daerahnya hanya dapat mengagumi kehebatan sang sarjana, sementara pesan pembangunan tidak terkomunikasikan. Bila pesan pembangunan hendak dipahami dengan baik oleh masyarakat, maka pemberdayaan bahasa daerah mutlak diperlukan. Para agen pembangunan harus menggunakan bahasa daerah yang digunakan masyarakat pemangku kepentingan. Kedua, pengaruh era globalisasi dan dampak pengiringnya telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari kearifan budayanya sendiri. Kearifan budaya sendiri mulai diskeptiskan bahkan cenderung ditinggalkan. Dalam keadaan yang mengancam ini, kearifan lokal yang diperlukan dalam pembangunan yang berwawasan kemasyarakatan perlu diangkat ke permukaan untuk dijadikan sebagai pedoman dan penawar dampak negatif globalisasi.

Kata Kunci: peran bahasa daerah, pembangunan berwawasan kerakyatan, penawar dampak negatif globalisasi, kearifan lokal

1

Disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara, tanggal 18-20 Juli 2010.

2

Mashadi Said adalah dosen pada Program Magister Sastra, Universitas Gunadarma, Jakarta.

3

Farid Thalib adalah dosen pada Program Doktor Teknologi Informasi, Universitas Gunadarma, Jakarta.

4

(2)

2 Pendahuluan

Dampak tekanan arus globalisasi telah melanda bangsa-bangsa yang sedang berkembang dan telah menimbulkan perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai wilayah kehidupan, termasuk dalam bidang kebahasaan. Pertama, mari kita cermati pengaruh bahasa Inggris yang sedang mewarnai penggunaan bahasa Indonesia saat ini. Misalnya, dalam sebuah tabloid ibu kota yang terbit tanggal 15 Juni 2010, dijumpai bahasa Indonesia seperti ini:

―Mispersepsi dan misinterpretasi ini tentunya merugikan negara-negara Islam di dunia termasuk Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, di sisi lain nilai-nilai moderasi yang ada dan tumbuh berkembang di Indonesia belum sepenuhnya.‖

Dalam kutipan di atas, ada 4 kata asing yang digunakan oleh penulis, yaitu mispersepsi, misinterpretasi, mayoritas, dan moderasi. Keempat kata tersebut merupakan kata serapan yang kemungkinan besar sangat sulit dipahami masyarakat awam sebagai sasaran utama pembangunan nasional. Kata mispersepsi adalah dua gabungan dua morfem:

‗mis-‗ dan ‗persepsi.‘ Kedua morfem itu berasal dari bahasa Inggris. Morfem bebas

‗persepsi‘ telah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang berarti ‗kesan‘, ‗tanggapan‘, ‗pemahaman‘, ‗pengertian‘ (Endarmoko, 2007; Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), tetapi

morfem terikat ‗mis-‗ adalah awalan yang berasal dari bahasa Inggris yang bermakna ‗salah‘. Morfem ini belum resmi diserap ke dalam bahasa Indonesia. Begitu pula kata

‗misinterpretasi‘ dan ‗moderasi‘ sama sekali sangat asing di telinga masyarakat awam.

Akibatnya, kelompok sasaran yang tidak mengetahui bahasa Inggris pasti akan kewalahan memahaminya. Pertanyaan kita sekarang adalah: Mengapa penulis tersebut tidak menggunakan kata bahasa Indonesia yang lebih mudah dipahami oleh pembaca. Selanjutnya, mari kita tilik sejenak foto di bawah ini:

Foto oleh A. Banri, Juni, 2010

Pada foto di atas, terpampang di depan mata kita

Jawa Timur

Park

:

(3)

3 yang sesungguhnya ada bahasa Indonesianya, yaitu ‗taman‘. Perhatikan pula struktur bahasanya yang mengikuti struktur bahasa Inggris, yaitu hukum ―M + D‖. Pertanyaan kita

sekarang adalah ―mengapa pengambil kebijakan tidak menggunakan kosa kata dan struktur

bahasa Indonesia?‖ Padahal kalau dibuat ―Taman belajar dan bersantai Jawa Timur‖ akan lebih muda dipahami dan akan lebih melekat di hati para pengunjung? Apakah pengambil kebijakan bangga memamerkan kekayaan budaya orang asing, ketimbang kekayaan budaya sendiri? Apakah pengambil kebijakan ingin menunjukkan bahwa mereka

―mengglobal‖, atau ―menginternasional‖ sementara mereka menindas kebudayaan sendiri? Banyak pertanyaan yang bisa muncul dari situasi seperti ini. Namun, jawaban atas semua pertanyaan itu adalah sebagian masyarakat kita, khususnya para pengambil kebijakan dan agen perubahan, secara tidak sadar telah bertindak ceroboh yang justru melecehkan dan meremehkan budaya sendiri atau karena kurangnya kepercayaan diri bangsa kita?

Selanjutnya, banyak fakta yang menunjukkan ketidakpercayaan diri bangsa dalam bidang kebahasaan. Di Jakarta, misalnya, proyek bis lintas-jakarta diberi nama ―transjakarta‖

untuk nama bisnya dan ‖busway‖ untuk nama jalurnya. Bahkan ada kecenderungan

masyarakat Jakarta mengatakan ―mari kita naik busway‖. Jadi, mereka bukannya naik dan menggunakan bis, tetapi naik ke ―jalur bis‖ dan berkendara dengan ―jalur bis‖ (Said & Thalib, 2008).

Singkatnya, keadaan ini merupakan pertanda bahwa sebagai bangsa yang berdaulat yang memiliki kekayaan bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh nusantara mulai dibaikan dan identitas sebagai bangsa mulai terancam.

Pembangunan berwawasan kerakyatan

(4)

4 Terlepas dari kebijakan ekonomi global yang lebih berpihak pada kaum kapitalis, peran para agen pembangunan di lapangan masih sangat menentukan. Konsep pembangunan sebagai kegiatan terencana dan sistematis yang dilakukan untuk mengubah bentuk kehidupan lama ke bentuk kehidupan baru yang lebih berkualitas harus dapat diwujudkan dengan baik. Untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkualitas pada suatu masyarakat, model pembangunan mutakhir yang dapat digunakan adalah paradigma pembangunan ―berbasis lokal‖ yang berwawasan kemasyarakatan. Paradigma ini mengandung makna bahwa program pembangunan yang dilaksanakan di wilayah tertentu hendaknya memanfaatkan potensi setempat yang tersedia. Potensi itu dapat berupa benda, misalnya, dalam bentuk sumber daya alam (tanah, hutan, mineral, laut, sungai, flora, dan fauna) atau berupa bukan benda, misalnya sumber daya manusia dan kebudayaan (nilai, norma, kepercayaan, gagasan) masyarakat setempat (Mansoben, 2010).

Di samping potensi lokal yang disebutkan di atas, potensi lokal yang sering terlupakan adalah sarana komunikasi pembangunan, yaitu bahasa. Masyarakat, sebagai sasaran pembangunan sering tidak menangkap pesan-pesan pembangunan secara komprehensif karena mereka tidak memahami bahasa yang digunakan oleh para agen pembangunan (penyampai pesan). Ketidakpahaman masyarakat awam atas pesan pembangunan bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, agen pembangunan yang terdidik di kota atau yang berasal dari latar belakang bahasa yang berbeda menggunakan bahasa Indonesia yang sama sekali asing di telinga para anggota masyarakat sasaran pembangunan. Bahasa Indonesia yang digunakan penuh dengan istilah asing yang menyebabkan pesan yang hendak disampaikan tidak tersampaikan dengan baik. Misalnya, ‗intensifikasi‘,

‗ekstensifikasi‘, ‗nutrisi‘, ‗mayoritas‘, ‗intrusi‘, ‗drainase‘, ‗destinasi‘, ‗total‘, ‗kontribusi‘,

‗akuntabel‘, ‗first line‘, ‗second line‘, ‗front liner‘, ‗opini‘, ‗way of thinking‘, ‗way of life‘, ‗kredibel‘, ‗good governance‘ dan banyak lagi istilah yang benar-benar semakin menjauhkan masyarakat sasaran pembangunan dari pemahaman yang seharusnya. Kedua, agen pembangunan enggan mempelajari dan menggunakan bahasa daerah masyarakat sasaran. Dalam suatu kesempatan memberi kuliah di Universitas Indonesia, Ibu Mutia Hatta, mantan menteri Pemberdayaan Perempuan, bercerita seperti ini: ada agen pembangunan di Irian Jaya mengalami kesulitan menyampaikan pesan kepada masyarakat karena mereka tidak menguasai bahasa lokal5. Ini menunjukkan bahwa bahasa daerah sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan ke masyarakat harus mendapat tempat istimewa.

Dengan demikian, agar pesan pembangunan dapat terpahami dengan baik oleh masyarakat sasaran pembangunan di daerah, bahasa masyarakat sasaran harus digunakan oleh penganjur pembangunan. Penganjur pembangunan tidak boleh bangga dan puas dengan banyaknya istilah asing yang digunakannya, tetapi ia patut berbangga dan puas karena karena pesan pembangunan dapat terpahami dengan baik.

(5)

5 Bahasa Daerah sebagai Sarana Komunikasi Efektif

Dalam berbagai sumber dijelaskan bahwa komunikasi efektif adalah komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap pada orang yg terlibat dalam komunikasi. Dalam teori komunikasi, salah satu unsur penting dari 4 unsur—pesan, penyampai pesan, media, dan penerima pesan—yang terlibat dalam suatu komunikasi adalah media, yaitu bahasa yang digunakan. Artinya, bila pesan yang disampaikan diharapkan dipahami dengan baik oleh penerima pesan, maka syarat berikut haruslah menjadi perhatian.

a. Sarana komunikasi haruslah menggunakan bahasa yang dipahami masyarakat sasaran;

b. Bahasa yang digunakan haruslah jelas;

c. Kosa kata yang digunakan akrab dengan masyarakat sasaran;

d. tercapainya pengertian antara penyampai pesan dan masyarakat sasaran.

Bila kita bersepakat bahwa bahasa merupakan salah satu syarat berhasilgunanya komunikasi, maka agen pembangunan dituntut untuk menguasai bahasa yang digunakan oleh masyarakat sasaran. Bila masyarakat sasaran pembangunan hanya mampu memahami bahasa daerah, maka agen pembangunan harus bisa menggunakan bahasa yang digunakan masyarakat sasaran. Model komunikasi seperti ini telah lama digunakan oleh para penganjur agama yang bila hendak memasuki daerah tertentu, mereka berusaha mempelajari bahasa yang digunakan masyarakat bersangkutan dan berusaha melebur dengan budaya setempat. Model lain yang dapat digunakan adalah putra daerah—yang menguasai bahasa daerah— yang potensial dibina dan dididik untuk menjadi agen pembangunan yang nantinya akan memanfaatkan bahasa daerahnya secara efektif dalam komunikasi pembangunan.

Kearifan dalam Bahasa Daerah

Berbicara soal bahasa tidak hanya dapat dipandang sebagai sarana komunikasi, tetapi juga mengandung pesan moral, kebijaksanaan, pengetahuan setempat, atau kecerdasan setempat yang sering disebut sebagai kearifan lokal. Banyak kecerdasan setempat sulit diungkapkan dalam bahasa lain karena terkait dengan simbol-simbol lokal. Mari kita cermati syair Bugis yang mengandung pesan moral tentang pentingnya setiap individu untuk selalu mawas diri agar selalu memperbaiki niat dalam bertindak dan bersikap jujur dalam segala aspek kehidupan.

/duai kuala sappo/ /unganna panasae/ /belo kanukue/

(dua kujadikan perisai bunga nangka

hiasan kuku)

(6)

6

1) ―Dua hal yang kujadikan perisai‖. Perisai adalah pelindung, pembatas, penjaga diri, pemawas diri. Jadi, ungkapan itu berarti ―ada dua hal yang saya jadikan pemawas

diri‖.

2) ―Bunga nangka‖, atau bahasa Bugis ―unganna panasae atau bunga ―panasai” sinonim dengan kata ―lĕmpu.‖ Dalam bahasa Indonesia, ―Lĕmpu” berarti ―jujur‖ atau

―kejujuran‖. Jadi, ungkapan itu bermakna ―kejujuran‖.

3) ―Belo kanuku(hiasan kuku, pemerah kuku)‖, tetapi dalam aksara Bugis:

dapat diucapkan dengan /paccing/ yang berarti bersih atau tidak ternoda. Jadi, ―belo kanuku‖ bermakna ‗kesucian.‘

Dengan demikian, syair di atas mengandung pesan bahwa ada dua unsur pokok yang menjadi prinsip dalam kehidupan, yaitu berhati bersih, berpikir, bersikap, dan bertindak jujur dalam mengarungi kehidupan. Kejujuran dan kesucian merupakan dua hal yang jika selalu hadir dalam kehidupan setiap orang, maka kehidupan akan lebih baik (Said, 2007). Bertindak jujur disertai dengan niat baik merupakan unsur penting dalam kehidupan.

Pasal 32 UUD 1945 menyatakan: "Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia." Ini berarti bahwa masalah kebudayaan nasional adalah masalah kenegaraan, sehingga perlu ditangani secara sungguh-sungguh oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia guna membentuk suatu kebudayaan nasional modern. Memajukan kebudayaan nasional tersebut adalah melestarikan kearifan lokal bangsa. Melestarikan kearifan lokal bangsa, bukan merupakan usaha untuk menghantarkan kembali bangsa kita ke masa silam, melainkan untuk merevitalisasinya untuk dijadikan sebagai perisai dalam tantangan kehidupan global.

Menurut Said (2008), etos kebudayaan setiap etnik merupakan inti kebudayaan suku bangsa yang berkualitas tinggi, dinamis, dan menggambarkan identitas masyarakat pendukungnya yang menjadi modal dasar bagi pembangunan kebudayaan nasional Indonesia. Adapun syarat dalam penyeleksian etos kebudayaan etnik tersebut adalah: (1) mencerminkan kualitas, martabat, dan peradaban bangsa dan (2) komunikatif, yaitu dapat dihayati oleh pendukung kebudayaan etnik lainnya. Mari kita cermati syair Bugis yang mengandung kearifan Bugis yang tetap relevan dengan perkembangan zaman:

Rusa’ taro arung, tĕnrusa’ taro adĕ’ Rusa’ taro adĕ’, tĕnrusa’ taro anang Rusa’ taro anang, tĕnrusa’ taro to maega

(Batal ketetapan Raja, tidak batal ketetapan adĕ’ Batal ketetapan Adat, tidak batal ketetapan Kaum

Batal ketetapan Kaum, tidak batal ketetapan orang banyak)

(7)

7 kepemimpinan dengan sistem itu disebut dalam kearifan Bugis sebagai kepemimpinan ‘dari

bawah‘ yang dalam ungkapan Lontara’6

disebut:

‘Mangngĕllĕ pasang massolompawo

(Bagaikan air pasang yang tak terbendung).

Kearifan itu mengisyaratkan bahwa konsep kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan

‘rakyat‘. Rakyat memiliki kedudukan penting dalam kehidupan bernegara. Cermati pula kearifan Jawa berikut ini yang menunjukkan betapa pentingnya setiap individu untuk berbuat yang terbaik, baik terhadap diri sendiri, keluarga, sesama manusia, maupun pada lingkungan:

Memayu hayuning pribadi; bangsa Indonesia sedang mengalami keterasingan dari etos kebudayaannya sendiri. Ada kecenderungan bahwa mereka hanyut dan silau oleh kemajuan kehidupan material sebagai dampak negatif dunia kapitalis-monopoli yang menganut prinsip bahwa pelaku pembangunan

adalah ―aku‖, bukan ―aku dan Anda‖, yaitu ―Kita‖: ―keuntungan adalah milikku sendiri.‖

Berbagai kasus, khususnya penyelewengan keuangan negara, telah merebak dan menjadi biasa dalam kehidupan kenegaraan kita, sehingga bangsa kita, bukannya unggul dalam

bidang prestasi yang membanggakan, tetapi unggul dalam ―perampokan.‖7

Keadaan yang sangat memprihatinkan ini seharusnya mengusik setiap individu bangsa Indonesia, mulai dari pemimpin tertinggi sampai pada masyarakat awam untuk kembali pada hakikat kehidupan bernegara, yaitu terciptanya masyarakat yang damai dan sejahtera yang mendapat rida Tuhan.

Peran kearifan lokal dalam menata kehidupan kenegaraan tidak perlu dipertanyakan lagi. Misalnya, Jepang dengan semangat ―On, Giri, dan ―Gimu yang dimotori oleh semangat etos Bushido telah berhasil mengangkat derajat, harkat, dan martabat bangsa Jepang yang disegani masyarakat dunia. Kekuatan yang mendorong bangsa Jepang untuk meraih kemajuan itu, bukannya merupakan adopsi dari etos budaya luar, melainkan merupakan etos budaya asli bangsa Jepang sendiri.

Kenyataan tersebut merupakan suatu bukti bahwa keunggulan dan ketinggian martabat bangsa tidaklah harus dilakukan dengan hanya meniru kebudayaan dari luar, melainkan dapat juga dilakukan dengan merevitalisasi kekayaan budaya sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui penggalian kembali kearifan lokal yang merupakan etos kebudayaan asli bangsa Indonesia. Oleh karena itu, bisa jadi tingginya tingkat pengadopsian budaya asing yang melanda masyarakat Indonesia dewasa ini disebabkan oleh masih kurangnya informasi,

6Lo tara’ adalah adalah askah kla

sik Bugis yang mengandung kearifan lokal.

7 Pera poka adalah istilah

(8)

8 pemahaman, dan penghayatan terhadap kecerdasan lokal budaya sendiri. Kebudayaan asli bangsa Indonesia yang tersebar di seluruh persada nusantara, sesungguhnya masih sangat sesuai dengan perkembangan zaman (up-to-date) dan perlu diramu dalam diri bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia diharapkan tidak hanya mampu menampakkan ciri kepribadiannya yang khas, tetapi juga mampu menunjukkan keunggulan dan ketinggian harkat dan martabat bangsa. Menurut Magnis-Suseno (2003), tercapainya pembangunan dalam bidang kebudayaan nasional tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia, jati diri, dan kepribadian bangsa yang kuat.

Simpulan dan Saran

Dampak negatif globalisasi telah menampakkan coraknya dalam berbagai wilayah kehidupan. Generasi muda Indonesia mulai terasing dari budayanya sendiri. Mereka mulai menyangsikan identitas dirinya sebagai bangsa. Kebanggaan sebagai bangsa yang berperadaban tampaknya menyusut setiap hari. Dunia global dengan media komunikasi yang demikian canggihnya telah memungkinkan individu dari belahan dunia lain mengomunikasikan pesannya dalam waktu yang sangat cepat. Ngugi Wa Thiong‘o, seorang penulis asal Kenya, menengarai bahwa dunia Barat, khususnya Amerika Serikat sedang melemparkan bom budaya terhadap masyarakat dunia. Mereka telah berusaha menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi, sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari identitas budayanya sendiri. Selanjutnya, dia berpendapat bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa dulu dipaksakan melalui penjajahan dan kini dilakukan dengan modus operandi yang berbeda, yaitu atas nama globalisasi8.

Bahasa daerah yang di dalamnya terdapat kearifan dan nilai yang masih relevan dengan kehidupan mengakar di masyarakat harus diangkat ke permukaan, sehingga kekayaan peradaban bangsa yang tak pernah lekang dalam percaturan globalisasi dapat direvitalisasi untuk menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan sekaligus sebagai penawar dampak negatif globalisasi.

Daftar Pustaka

Astuti, S.I. (2010). Pendidikan holistik dan kontekstual dalam mengatasi krisis karakter di Indonesia. Jurnal Kependidikan.Edisi Khusus, Tahun XXIX, 41-58.

Berger, P. L., Berger, B., dan Kellner, H. Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia. Terjemahan oleh A. Widyartaya. (1992). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Endarmoko, E. (2008). Tesaurus bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

8

(9)

9 Magnis-Suseno, F. (2003). Etika Jawa: sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup

Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.

Mansoben, J.R .(2010). Kebudayaan dan pembangunan dalam kerangka Otonomi khusus. Simposium Nasional Papua: Menuju Pembangunan Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan. Kerjasama FISIP Universitas Indonesia, Jakarta dan FISIP Universitas Cenderawasih, Jayapura di Jakarta pada tanggal 7 – 9 April 2010. Diakses pada tanggal 28 Juni 2010 dari http://www.fisip.ui.ac.id/papua/images/oziodownload/mansoben.pdf Poole, R. Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-bayang Nihilisme. Terjemahan oleh

F.B. Hardiman. (1993). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Said, M. (2007). Konsep jati diri manusia Bugis: sebuah telaah falsafi tentang kearifan Bugis. Ciputat: Churia Press.

Said, M. dan Thalib, F. (2008). Model pemertahanan budaya nusantara dalam era globalisasi: membaur atau melebur? Prosiding Seminar antara bangsa dialek-dialek Austronesia di Nusantara III. Jabatan bahasa Melayu dan Linguistik, Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Brunei Darussalam, 24-26 Januari 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tambahan herbal jahe, kunyit dan salam untuk menurunkan kadar asam urat dan glukosa darah pada bebek.. Penelitian

Selain Pensi dan Langkitang, ada dua spesies moluska lain yang hidup bebas di Danau Maninjau dan di sungai-sungai kecil yang menjadi inletnya, yaitu tutut dan kijing

PT Adhi Karya (Persero) PN Adhi Karya berubah menjadi PT Adhi Karya (Persero) • Go Public 18 Maret 2004 • ADHI Perusahaan Konstruksi pertama yang Listing di Bursa

Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik

makna عدمجاجسللا م ج وليسللا ددج ج س ل مس artinya : tempat orang bersujud (shalat) di hari mereka berkumpul (hari Jum’at).[10] Dan istilah عدمجاجسللا ددججس ل

1) Memberitahukan dan meminta izin guru mitra terkait jadwal pelaksanaan siklus. 2) Menyusun jadwal dan persetujuan dengan teman sejawat untuk menjadi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengaruh kapasitas manajemen sekolah terhadap mutu pendidikan pada sekolah dasar negeri di kota

Disebagian perusahaan besar, pelaksana strategi adalah setiap orang dalam organisasi, seperti direktur fungsional, atau para direktur divisi dari unit bisnisnya, yang bekerja