IMPLEMENTASI JUAL BELI
SALAM
DAN
ISTISHNA
DITINJAU DARI PERSPEKTIF FIQIH
Disusun UntukMemenuhiTugas Mata Kuliah Fikih Kontemporer Perbankkan
Dosen: Imam Mustofa, S.H.I., M.SI
Disusun Oleh:
Indriani Setiawati 141264910
Kelas B
JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
Ketentuan Salam dan Istishna
A.Pendahuluan
Akad istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini
dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah
memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan
kepada produsen juga memberikan keuntungan kepada konsumen atau pemesan yang
memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak intermediasi dalam
hal ini.1
Dalam perkembangannya, ternyata akad istishna lebih mungkin banyak digunakan di
lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan karena barang yang
dipesan oleh nasabahatau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu
dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara
sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu
dipesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang
mengimplementasikan istishna’ bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi
masalah pengadaan barang yang belum tersedia.2
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah
islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bias mencapai belasan bahkan sampai
puluhan. Salah satunya adalah jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu
barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad
dilaksanakan. Dengan menggunakan akad ini kedua belah pihak mendapatkan
keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau gharar.3
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna
menghindari riba. Dan ini merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari'at jual-beli
salam sesuai larangan memakan riba.4
` 1M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004),
h. 148
2Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 113
3Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. Fiqih Muamalat.( Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), h.45
B.Salam
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank
akan menjualnya kepada rekan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau
secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah
ditambah keuntungan. Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak
harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.5 Harga jual dicantumkan
dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya
akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada
seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara
tunai atau secara cicilan.6
KHES pasal 103 ayat 1-3 menyebutkan syarat salam sebagai berikut :
1. Jual beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan kualitas barang sudah
jelas.
2. Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau timbangan atau meteran.
3. Spesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.7
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000
Tanggal 1 April 2000.
a. Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat.
2) Dilakukan saat kontrak disepakati.
3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). Contoh pembeli
mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi anda sebanyak 1 ton dengan
harga Rp 10 juta yang pembayarannya /uangnya adalah anda saya bebaskan
membayar utang anda yang dahulu (sebesarRp 2 juta)”. Pada kasus ini petani
memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya
akad salam tersebut.8
5 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, h. 294
6Khotibul Umam, Perbankan Syariah Dasar – Dasar Dan Dinamika Perkembangannya di Indonesia,
( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2016), h.113 - 114 7
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2016), h. 89
8Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, (JawaTimur: Pustaka Blog Agung, 2014),
b. Ketentuan Barang:
1) Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;
2) Penyerahan dilakukan kemudian
3) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan;
4) Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya
(qabadh). Ini prinsip dasar jual beli
5) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.9
c. Penyerahan Barang Sebelum Tepat Waktu:
1) Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas
yang disepakati;
2) Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual
tidak boleh meminta tambahan harga;
3) Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela
menerimanya, maka pembeli tidak boleh meminta pengurangan harga
4) Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan
syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan
5) Tidak boleh menuntut tambahan harga.10
Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu penyerahan atau
kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka pembeli
memiliki dua pilihan:
1. Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2. Menunggu sampai barang tersedia.11
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan
jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui
pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase
9Nurul Huda Mohamad, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis Dan Praktis, ( Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010), h. 50
10Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, ( Jakarta : Salemba Empat, 2013), h. 206
11
Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa. Tetapi jika lembaga ini yang dipilih
dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.12
d. Menentukan Waktu Penyerahan Barang
Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat berikut:
1) Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk beberapa
penundaan, selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual meninggal
dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam Ketentuan
Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal dan jatuh
pailit setelah menerima pembayaran tetapi belum menyerahkan barang yang dijual
kepada pembeli, barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan pembeli yang
ada di tangan penjual.
2) Menurut Syafi’ isalam dapat segera dan tertunda.
3) Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.13
C.Istishna
Menurut KHES pasal 20 ayat 10 istishna adalah jual beli barang atau jasa dalam
bentuk pemesanannya dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang di sepakati antara
pihak penjual. Didalam fatwa DSN MUI No 06 tentang transaksi Istishna’ dijelaskan
beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam akad istisna:
Ketentuan tentang pembayaran:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.14
Ketentuan tentang barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Penyerahannya dilakukan kemudian.
3. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
4. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
5. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.15
6. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
7. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang
12Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, ( Bandung : CV Pustaka Setia, 2001), h. 75
13 Ismail, Perbankan Syariah, ( Jakarta : Kencana, 2011), h. 152 14
Khotibul Umam, Perbankan Syariah..., h.115 15
8. Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan
jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan
tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari criteria
pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh
biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.16
Ketentuan Lain :
1. Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan pesanan hukumnya
mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan diatas berlaku pula
pada jual beli ishtisna.17
16
Siti Mujiatun, “ Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istishna”, Jurnal Rise tAkuntansi Dan Bisnis,Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Vol13/No. 2, September 2013
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim. Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan. Jakarta: RajagrafindoPersada, 2014.
Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, JawaTimur: Pustaka Blog Agung, 2014
Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. Fiqih Muamalat. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2010
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Figh Muamalah, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2010
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, Jakarta :Rajawali Pers, 2016 Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta :Kencana, 2011
Khotibul Umam, Perbankan Syariah Dasar – Dasar Dan Dinamika Perkembangannya di
Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2016
M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2004
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012
Nurul Huda Mohamad, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis Dan Praktis, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010
Siti Mujiatun, “ Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istishna”, Jurnal Riset
Akuntansi Dan Bisnis,Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Vol13/No. 2,
Semtember 2013
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Jakarta : Salemba Empat, 2013Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung : CV Pustaka Setia, 2001