• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Tindakan Laparoskopi yang Dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.Dr.Pirngadi Medan Periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Tindakan Laparoskopi yang Dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.Dr.Pirngadi Medan Periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2013"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Laparoskopi adalah suatu alat operasi yang penting dalam bidang

diagnostik dan terapeutik.6 Istilah laparoskopi digunakan sebagai cara untuk

melihat rongga perut dengan bantuan laparoskop melalui dinding perut

depan, yang sebelumnya telah dilakukan pneumoperitonium. Laparoskopi

sebenarnya telah lama dikenal dengan istilah yang beraneka ragam, antara

lain ventroscopy, peritoneoscopy, celioscopy, pelviscopy. Istilah yang terkenal pada saat ini adalah laparoskopi atau pelviscopy. Istilah pelviscopy

lebih dikenal di Jerman dibanding dengan negara lainnya, khusus dalam

bidang ginekologi. Selain untuk tujuan diagnostik, dengan kemajuan

mutakhir dalam bidang teknik sumber cahaya dingin, sistem optik,

instrumentasi, otomatisasi alat (CO2-pneu); teknik operasi yang lebih

disempurnakan, antara lain teknik hemostasis dengan koagulasi (heat

coagulation) tanpa aliran listrik frekwensi tinggi, endoloop serta endosuture;

saat ini dimungkinkan melakukan operasi ginekologi dengan teknik

laparoskopi. Bagi mereka yang sudah sangat berpengalaman dalam

melakukan operasi laparoskopi, hampir semua operasi ginekologi pada saat

ini telah dapat digantikan dengan teknik laparoskopi. Saat ini operasi

histerektomi pun telah dapat dilakukan dengan teknik laparoskopi.

Sedangkan aspirasi kista ovarium, salpingolisis pada perlengketan ringan

atau sedang, biopsi ovarium, fulgurasi susukan endometriosis, merupakan

tindakan yang tidak begitu sukar, dan dapat dilakukan sekaligus pada saat

operasi laparoskopi diagnostik.7

Abulkasim dari Kordoba (980 – 1037) dan selanjutnya Guilio Cesare

Aranzi (1530 – 1589) telah mengembangkan suatu alat untuk dapat melihat

dengan terang dalam rongga tubuh melalui refleksi cahaya alamiah atau

dengan menggunakan kamera.1

Phillip Bozzini (1905) dengan menggunakan pipa dan cahaya lilin,

melakukan pemeriksaan dalam uretra. Selanjutnya alat ini dimodifikasi oleh

Frechman Desormeaux (1853) yang dikenal dengan orang pertama sekali

dan sangat berjasa dalam memperkenalkan sistoskop sederhana (tanpa

(2)

Sejalan dengan perkembangan zaman, dengan ditemukannya lampu

listrik maka NItze (1879) merupakan orang yang pertama sekali

mengkombinasikan alat sistoskopi dengan menggunakan sumber cahaya

listrik.1

Von Ott (1909) merupakan orang yang pertama sekali melakukan

pemeriksaan inspeksi dengan endoskopi kedalam rongga abdomen dengan

cara membuat suatu mini laparotomi.1

Semm (1978) memperkenalkan dilakukan endokoagulasi dan

penggunaan teknik khusus seperti penjahitan didalam rongga perut. Semm

(1980) mulai memakai elektronik pada pneumoperitonium dan merupakan

orang yang pertama sekali melakukan appendiktomi dengan laparoskopi

pada tahun 1982.1

Kelling (1901) merupakan orang yang pertama sekali menggunakan

alat sistoskopi Nitze yang telah ia kembangkan untuk memeriksa organ

dalam rongga abdomen. Selanjutnya Kelling mendemonstrasikan pada

hewan percobaan dengan melakukan pneumoperitonium. Pada waktu itu

alat tersebut disebut dengan Celioskopi. Pada saat itu metode Kelling ini

hanya sedikit mendapat perhatian, tetapi kemudian Swede Jakobadeus

(1910) mengembangkan kembali ide Kelling ini dan kemudian

memperkenalkan suatu teknik baru yang dapat melihat rongga peritoneum

dengan alat optik yang disebut Laparoskopi.1

Nordentoft (1912), memperkenalkan suatu alat trokar endoskopi,

selanjutnya Korbsh (1921) memperkenalkan suatu jarum untuk induksi

pneumoperitonium.1

Goetz (1921), merupakan orang yang pertama membuat dan

memperkenalkan insuflator.1

Unverrich (1923), memperkenalkan metode laparoskopi dengan

sudut pandang yang lebih luas. Semenjak tahun 1920, laparoskopi sangat

menarik perhatian para klinikus, Kalk (1962) ahli hepatologi dari Jerman

merupakan orang yang pertama sekali membuat standarisasi laparoskopi

berdasarkan pengalaman pribadinya dan berhasil menetapkan sebagai

suatu prosedur rutin dalam ilmu penyakit dalam.1

Fervers (1933), merupakan orang yang pertama mendeskripsikan

(3)

untuk pertama kali peranan laparoskopi pada berbagai macam aplikasi

operasi.1

Dalam bidang ginekologi Palmer (Perancis), Decker (USA), dan

Frangenheim (Jerman) merupakan orang-orang yang sangat berjasa dalam

penetapan prosedur laparoskopi diagnostik dan terapeutik. Selanjutnya

Lindenschmidt (1963) mengembangkan teknik operasi digestif dengan

laparoskopi. Hopkin (1976) mengembangkan penggunaan sistem optik.

Hirschowitz (1958) mulai memakai teknik “fiber glass”.1

Di Jerman, Semm (1987) sejak tahun 1960 sampai dengan 1977,

dengan teknik yang lebih disempurnakan, melaporkan penurunan

morbiditas dan mortalitas yang bermakna pada operasi laparoskopi. Pada

tahun 1960 tercatat 834 prosedur operasi laparoskopi dengan tingkat

mortalitas 10%, dan kemudian di antara tahun 1975 – 1977 dengan

104.578 prosedur operasi laparoskopi tercatat tingkat mortalitas turun

menjadi 0,0009%. Penurunan angka mortalitas yang bermakna ini

disebabkan teknik operasi dan peralatan yang lebih sempurna. Beberapa

keuntungan yang diperoleh dengan melakukan teknik operasi laparoskopi

ini antara lain: sedikitnya hari perawatan, luka operasi kecil sehingga resiko

infeksi kecil dan kemungkinan terjadinya perlengketan lebih sedikit, dengan

demikian penyembuhan dapat lebih cepat, nyeri pasca operasi lebih ringan,

sisi kosmetik lebih baik dan lebih sedikit biaya.6,7,8,9

Pada umumnya perawatan pasca operasi laparoskopi lebih singkat

dibandingkan dengan operasi konvensional. Lama perawatan berkisar

antara 1 hingga 3 hari. Pada sterilisasi atau laparoskopi diagnostik dan

tindakan ringan lainnya pasien dapat pulang pada hari yang sama.8

Kerugiannya ialah operasi ini memerlukan instrumentasi khusus,

operasi ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman

melakukan operasi laparoskopi, dan terlatih untuk melakukan operasi ini.7

Istilah pelviscopy dipilih oleh Kurt SEMM pada tahun 1970 untuk membedakan antara prosedur laparoskopi ginekologi dengan internis yang

melakukan laparoskopi dengan skrining perut bagian atas dan biopsi hati.

SEMM berharap bahwa pengenalan istilah bedah baru akan membujuk

perusahaan asuransi kesehatan untuk membayar biaya yang lebih tinggi

(4)

berlangsung dalam German Society of Gynecology and Obstetrics selama lebih dari 30 tahun dari 1965 hingga 1995. Ginekolog sekarang ini telah

memperpanjang prosedur bedah mereka keluar dari panggul kecil ke

seluruh perut, dengan lymphadenectomi dan prosedur lainnya, laparoskopi

adalah istilah yang lebih tepat.9

Pada awal 1960-an, Kurt SEMM, sebagai asisten universitas

berbakat, telah mengabdikan hidupnya untuk laparoskopi. Dia telah

mengakui potensi teknik bedah ini untuk mengatasi keterbatasan dan efek

samping dari operasi laparotomi. Pada tahun 1958 ia menulis risalah

Masalah kontraksi persalinan di bawah pengaruh "oksitosin-oxytocinase"

metabolisme di bawah naungan pemenang Hadiah Nobel, Profesor Adolf

Butenandt. Tak lama setelah ini, Kurt SEMM meninggalkan lapangan

endokrinologis dan berdedikasi dalam banyak makalah ilmiah untuk

diagnosis dan terapi infertilitas.9

Berdasarkan pelatihan ganda Kurt SEMM sebagai pembuat alat dan

dokter, upaya pertamanya untuk mengatasi laparotomi difokuskan pada

pengembangan insufflator elektronik untuk CO2, manipulator uterus dan

patensi alat uji tuba. Presentasi pertama penemuannya pada pertemuan

ginekologi Jerman, Austria dan Swiss pada awal tahun 1960.9

SEMM terus menyajikan tekniknya ini di Jerman, Eropa dan di

Amerika Serikat. Pada awal 1970-an, meskipun sterilisasi dengan

laparoskopi diterima di Amerika Serikat, laparoskopi masih dianggap hanya

sebuah prosedur diagnostik. Di Departemen Obstetri dan Ginekologi,

Universitas Kiel, Jerman operasi bedah laparoskopi ginekologi, seperti

enukleasi kista ovarium, miomektomi, penatalaksanaan kehamilan ektopik,

adhesiolysis dan histeroskopi, secara rutin dilakukan. Hans Lindemann dan

Kurt SEMM mempraktekkan CO2 histeroskopi selama pertengahan tahun

tujuh puluhan (1973-1976).9

Operasi laparoskopi pada kehamilan ektopik pertama sekali

dilaporkan oleh Bruhart dkk. pada tahun 1980. Secara tradisional,

penatalaksanaan bedah pada kehamilan ektopik dilakukan dengan

laparotomi, namun pada saat ini laparoskopi mendapatkan popularitas yang

signifikan dalam diagnosis dan pengelolaan kehamilan ektopik. Peran

(5)

telah menambahkan pendekatan baru dalam modalitas diagnostik dan

terapeutik.10

Telah dilakukan penelitian cross sectional di Departement Obstetri

dan Ginekologi, Kathmandu Medical College Teaching Hospital, selama

jangka waktu setahun, dari 15 Oktober 2009 sampai 14 Oktober 2010.

Semua pasien dengan Kehamilan Ektopik diikutsertakan dalam penelitian

ini. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan penatalaksaan

Laparotomi dan Laparoskopi pada pasien dengan Kehamilan Ektopik.

Didapati hasil tidak ada komplikasi intraoperatif selama dilakukannya

laparoskopi, begitu juga sama halnya dengan laparotomi. Laparoskopi

sukses dilakukan tanpa ada satupun subjek penelitian yang dialihkan

menjadi laparotomi. Lamanya masa perawatan lebih singkat pada grup

pasien yang dilakukan laparoskopi dibandingkan pasien yang dilakukan

laparotomi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwasanya laparoskopi

merupakan tindakan yang aman pada penatalaksaan dari kehamilan

ektopik.10

Di negara Denmark, sekitar 94% Kehamilan Ektopik dilakukakan

tindakan operasi dengan menggunakan laparoskopi. Laparoskopi

salfingektomi adalah tindakan yang paling sering dilakukan.5

Tindakan laparoskopi telah banyak digunakan dalam penanganan

massa jinak di adneksa selama lebih dari 10 tahun (Canis dkk., 2002). Ada

beberapa penelitian prospektif yang membandingkan teknik laparoskopi ini

dengan laparotomi klasik hasilnya adalah laparoskopi dapat menggantikan

posisi operasi terbuka pada penanganan massa jinak adneksa (Yuen dkk,

1997). Selain itu, ada juga dilaporkan terdapatnya biaya yang lebih tinggi

pada laparoskopi oleh karena alat-alat laparoskopi, waktu operasi yang

lebih lama, tidak ada perbedaan yang bermakna pada biaya rumah sakit

pada laparoskopi dan laparotomi (Carley dkk, 2003).11

Meskipun demikian, ada beberapa keuntungan spesifik dari

laparoskopi seperti waktu operasi yang lebih singkat (Carley dkk, 2003),

tidak adanya pneumoperitonium, dimana hal ini menjadi kontraindikasi pada

pasien obesitas atau pada pasien dengan status fisik yang kritis (Marana,

(6)

Laparoskopi telah banyak digunakan pada penanganan tumor

ovarium sejak bertahun-tahun yang lalu. Telah dilaporkan keuntungan dari

laparoskopi adalah penurunan dari angka morbiditas, lama perawatan lebih

sedikit dan waktu penyembuhan yang lebih singkat. Meskipun demikian

masih sangat sedikit sekali penelitian yang membandingkan laparoskopi

dengan laparotomi. Meskipun ada penelitian acak tentang laparoskopi yang

dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil luaran,

tindakan pasca operasi, dan komplikasi antara laparoskopi dengan

laparotomi pada penelitian acak dan prospektif ini.12

Laparoskopi diagnostik telah digunakan oleh ahli ginekologi

reproduktif sekitar 87% di negara Amerika Serikat sebagai metode pilihan

dalam diagnosa infertilitas.13

Peraturan pada laparoskopi diagnostik pada infertilitas berdasarkan

dua hal utama. Yang pertama, apakah perlu dilakukan laparoskopi

diagnostik sebagai pilihan akhir selain terapi pengobatan dan apakah

meningkatkan tingkat kejadian kehamilan?. Yang kedua, apakah

laparoskopi di indikasikan setelah induksi ovulasi yang berkali-kali gagal

atau apakah perlu dilakukan teknik reproduksi buatan untuk meningkatkan

kejadian kehamilan?.13

Laparoskopi diagnostik pada lesi tuba dapat dilakukan dengan

laparoskopi sebagai terapeutik. Johhnson, dkk, melakukan dua penelitian

sistemik Cochrane merekomendasikan laparoskopi salfingektomi sebelum

dilakukannya tindakan IVF (In Vitro Fertilization), baik unilateral ataupun

bilateral, tergantung dari organ yang terlibat proses, dimana setelah itu

probabilitas untuk terjadinya kehamilan intra uterine meningkat sampai

95%.13

Munculnya kembali adhesi setelah laparoskopi adhesiolisis dapat

terjadi sekitar 12% sementara pada laparotomi dapat terjadi kembali sekitar

50%. Penelitian acak pertama oleh kelompok Canadian Collaboration

membandingkan kejadian infertilitas dengan endometriosis. Pada grup

pertama, laparoskopi reseksi atau ablasi dilakukan pada kasus minimal

(7)

laparoskopi diagnostik. Pada grup pertama mempunyai kenaikan

peningkatan terjadinya kehamilan sekitar 31% sementara pada grup kedua

hanya 18%.13

The European Society for Human Reproduction and Endocrinology (ESHRE), merekomendasikan tindakan laparoskopi sebagai protokol pada

tindakan bedah pada kasus wanita yang infertil dengan minimal atau mild

endometriosis.13

Selama lebih dari 20 tahun yang lalu tindakan laparoskopi untuk

koagulasi kortek ovarium pada pasien-pasien PCOS yang resisten clomifen

akan terjadi peningkatan ovulasi sekitar 92% dan terjadi peningkatan

kesempatan untuk terjadinya kehamilan sekitar 69%.13

Sebuah grup peneliti di Jerman meneliti wanita-wanita yang telah

menjalani laparoskopi miomektomi pada kasus-kasus infertilitas, didapati

peningkatan untuk terjadinyanya kehamilan setelah miomektomi sekitar

46%, tanpa ada kejadian rupture uteri yang terjadi ketika persalinan.

Mereka menyimpulkan bahwa laparoskopi dapat diikatakan mempunyai

komplikasi pasca operasi yang lebih sedikit dan laparoskopi merupakan

terapi pilihan pada pasien-pasien infertil dengan mioma uteri. Miomektomi

laparoskopi merupakan teknik operasi pada operasi reproduksi yang dapat

diterima diseluruh dunia.13

Nakagawa dkk. telah melakukan penelitian pada penggunaan

tindakan bedah laparoskopi pada pasien-pasien yang didiagnosa dengan

idiopatik infertilitas, dengan membandingkan dua grup : grup pertama,

pasien yang telah melakukan terapi reproduksi buatan tanpa dilakukannya

laparoskopi terlebih dahulu dan grup kedua dilakukan pada pasien-pasien

yang menjalani reproduksi buatan yang sebelumnya dilakukan laparoskopi

terlebih dahulu. Mereka menyatakan bahwasanya pada 87,2% dari seluruh

jumlah wanita tersebut pada laparoskopi didapati adanya suatu kelainan,

seperti: endometriosis, adhesi perituba dan obstruksi tuba. Setelah

dilakukannya laparoskopi sekitar 48,9% dari jumlah pasien mengalami

kehamilan, dengan jumlah peningkatan terjadinya kehamilan berkisar

antara 27,2% sampai 100% tergantung dari grup umur. Penulis

merekomendasikan laparoskopi haruslah dilakukan pada wanita-wanita

(8)

Di Amerika Serikat, tuba sterilisasi secara laparoskopi biasanya

dilakukan dengan koagulasi bipolar. Metode lainnya pada sterilisasi tuba

secara laparoskopi adalah koagulasi unipolar, parsial salfingektomi, dan

teknik mekanik dengan menggunakan spring clips atau silastic rings. Jika

dilakukan secara benar, teknik bipolar koagulasi lah yang memiliki

efektifitas paling tinggi dan dengan angka kegagalan jangka panjang yang

rendah.14

Operasi laparoskopi telah berevolusi menjadi konsep operasi invasif

yang minimal selama 3 dekade terakhir ini. Operasi dengan bantuan robotik

adalah inovasi paling akhir pada ranah operasi minimal invasif ini. Operasi

dengan bantuan robotik ini telah dilakukan pada operasi guinekologi,

operasi urologi, operasi jantung, dan operasi lainnya.15

Operasi laparoskopi dengan bantuan robotik memiliki beberapa

keuntungan antara lain: menampilkan gambaran secara 3 dimensi dan

menurunkan tingkat kelelahan operator. Kekurangannya ialah termasuk

biaya yang mahal dan waktu operasi relatif lebih lama.15

2.1. Indikasi

Dengan telah berkembangnya inovasi instrumentasi dan teknik operasi

seperti yang telah diutarakan diatas, indikasi untuk melakukan operasi

dengan teknik laparoskopi menjadi lebih luas. Tindakan operasi diagnostik

dengan hasil diagnosis yang jelas, yang telah didiskusikan dengan pasien

sebelumnya, dapat dilanjutkan dengan tindakan operatif tertentu.7

Indikasi pada laparoskopi diagnostik adalah :3

1. Infertilitas.

Adalah salah satu indikasi tersering pada laparoskopi diagnostik.

Dapat melihat kelainan struktural dari uterus, termasuk kelainan kongenital

(seperti uterus bikornu). Untuk diagnosa pasti endometriosis. Untuk melihat

apakah ada oklusi dari tuba fallopi. Laparoskopi diagnostik dapat membuat

suatu diagnosa dan penatalaksaan untuk operasi rekonstruksif.

2, Nyeri pelvis kronis

3. Chronic Pelvic Inflammatory Disease (PID)

(9)

Indikasi pada laparoskopi diagnostik urgent : 3

1. Acute Pelvic Inflammatory Disease

2. Kehamilan Ektopik

3. Kista ovarium terpelintir

2.2. Tujuan diagnostik7,16

1. Diagnosis diferensiasi patologi genitalia interna

2. Infertilitas primer dan sekunder

3. Second look operation, apabila diperlukan berdasarkan operasi sebelumnya

4. Mencari dan mengangkat translokasi AKDR

5. Pemantauan pada saat dilakukan tindakan histeroskopi

2.3. Tujuan terapi7,16,17 1. Miomektomi, histerektomi

2. Hemostasis perdarahan pada perforasi uterus akibat tindakan

sebelumnya

3. Penanganan PCOS

4. Penanganan Endometriosis

2.4. Tujuan operatif terhadap adnexa7,16 1. Fimbrioplasti, salpingostomi, salpingolisis

2. Endometriosis

3. Aspirasi cairan untuk diagnostik dan terapeutik

4. Salpingektomi pada kehamilan ektopik

5. Kontrasepsi mantap (penutupan tuba)

6. Rekonstruksi tuba atau reanastomosis tuba pasca tubektomi

2.5. Tujuan operatif terhadap ovarium7,8,16

1. Punksi folikel matang pada program fertilisasi in-vitro

2. Biopsi ovarium pada keadaan tertentu (kelainan kromososm atau

bawaan, curiga keganasan)

3. Kistektomi antara lain pada kista coklat (endometrioma), kista dermoid,

(10)

4. Ovariolisis, pada perlengketan ovarium

5. Ovarian drilling

2.6. Tujuan operatif terhadap organ dalam rongga pelvis7 1. Lisis perlekatan oleh omentum dan usus

2.7. Kontraindikasi absolut 3,7

1. Kondisi pasien yang tidak memungkinkan dilakukan anastesi

2. Kelainan darah berat, sehingga mengganggu fungsi pembekuan darah

3. Peritonitis akut, terutama yang mengenai abdomen bagian atas, disertai

dengan distensi dinding perut. Kelainan ini merupakan kontraindikasi

untuk melakukan pneumoperitonium.

4. Pasien dengan shok hipovolemik

5. Operator yang tidak berpengalaman atau kurangnya peralatan

2.8. Kontraindikasi relatif 3,7,17

1. Tumor abdomen yang telah sangat membesar, sehingga sulit untuk memasukkan trokar kedalam rongga pelvis. Trokar dapat melukai tumor tersebut.

2. Hernia abdominalis, ditakutkan melukai usus pada saat memasukkan trokar kedalam rongga pelvis, atau memperberat hernia pada saat dilakukan pneumo-peritonium. Pada saat ini, dengan modifikasi alat pneumo-peritonium otomatik, ketakutan ini dapat dihilangkan.

3. Hernia diafragmatika

4. Kelainan atau insufisiensi paru-paru, jantung, hepar atau kelainan pembuluh darah vena porta, goiter atau kelainan metabolisme lain yang sulit menyerap gas CO2.

5. Riwayat operasi sebelumnya yang berkali-kali. 6. Obstruksi usus atau ileus.

7. Pelvic abses

(11)

2.9. Komplikasi

Teknik laparoskopi dapat menimbulkan komplikasi yang sama

dengan operasi konvensional, misalnya perdarahan, cedera pada organ

dalam perut, komplikasi akibat proses pembiusan, infeksi (lebih kecil

dibandingkan konvensional), dan pada beberapa pasien harus dilanjutkan

dengan operasi konvensional.8

Sebuah meta-analisis dari 27 uji klinis secara acak yang

membandingkan laparoskopi operatif dengan laparotomi untuk kondisi

ginekologi jinak menemukan keseluruhan risiko komplikasi kecil (misalnya,

demam, luka atau infeksi saluran kemih) lebih rendah pada wanita yang

menjalani prosedur laparoskopi (RR 0,55, 95% CI 0,45-0,66). Sebagai

perbandingan, kedua kelompok memiliki risiko komplikasi utama yang

sama, seperti pulmonary embolus, transfusi, fistula, operasi tambahan yang

tidak direncanakan.6

Secara umum komplikasi dari tindakan laparoskopi, antara lain

adalah : komplikasi intestinal, komplikasi kandung kemih, komplikasi ureter,

(12)
(13)

Gambar dikutip dari Nezhat’s Operative Gynecologic Laparoscopy and Hysteroscopy

Gambar 1. Policystic Ovarian dengan pembuluh darah dipermukaannya

Gambar 2. Permukaan ovarium setelah drilling

Gambar 3. Endometriosis pada Gambar 4. Endometriosis pada

Gambar

Gambar dikutip dari Nezhat’s Operative Gynecologic Laparoscopy and Hysteroscopy

Referensi

Dokumen terkait

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN BUPATI BANTUL NOMOR 264 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN SEBAGIAN KEWENANGAN DI BIDANG

[r]

Perangkat Ajar Materi Vegetatif Buatan Pada Tumbuhan Di SMA Negeri 9 Kota Bengkulu Menggunakan 3DS MAX.. Bengkulu, Universitas

Therefore, since the level of customer involve- ment in purchasing hospitality and tourism products is relatively high, it might give the reason why loyalty programs offered in

Data Kondisi harga pangan strategis yang diperoleh dari enumerator ditingkat konsumen (pasar) dan ditingkat produsen (petani/penggilingan) dilaporkan secara mingguan. -

The types of food and beverage operations that are possible to serve both customers are full menu restaurants or lunchrooms that provide indoor or outdoor service with a

Abstrak: Perpaduan antara knowledge yang dimiliki, kapabilitas dan resources yang ada, digabungkan dengan strategi bisnis yang dimiliki telah menghasilkan competitive advantage

Namun dengan menggunakan kom pr esor sebagai alat bant u nafas pada saat m enyelam, sering t erjadi kerusakan pada m esin kompr esor dan kebocoran selang