BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS BERDASARKAN HUKUM DI
INDONESIA
A. Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Bisnis
1. Bentuk - Bentuk Sengketa Bisnis
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai
macam bentuk kerjasama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin
meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak
yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang
melatar belakanginya, terutama karena adanya conflict of interest diantara para
pihak. Jadi, sederhananya segala permasalahan yang timbul diantara para pihak
ketika sedang menjalankan hubungan bisnis atau perdagangan disebut sengketa
bisnis.
Yang merupakan sengketa bisnis adalah ; 52
a. Sengketa Perburuhan
Sengketa Perburuhan atau perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan
Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (selanjutnya disingkat “UU Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial”) adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 53 Yang dimana yang dimaksud dengan buruh ialah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.54 Dan yang dimaksud pengusaha ialah Pengusaha
adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri atau perusahaan bukan miliknya atau orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di
luar wilayah Indonesia. 55
b. Sengketa Kontrak
Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,56 pengertian
perjanjian adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Subekti
berpendapat bahwa suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.57 Pada dasarnya setiap kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak
harus dapat dilaksanakan dengan dengan itikad baik. Namun, dalam praktiknya,
kontrak yang dibuatnya seringkali dilanggar.58
53
Indonesia, Penyelesaian Perselisishan Hubungan Industrial (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisishan Hubungan Industrial) LN Tahun 2004 Nmor 6, TLN Nomor 4356.
54Ibid
Hariadi, Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Bisnis,
http://www.gresnews.com/berita/tips/1451112-tips-penyelesaian-sengketa-dalam-kontrak-bisnis/0/
Sengketa kontrak disebabkan setidakya karena 2 (dua) hal :
1. Pelanggaran kontrak (wanprestasi) yang melputi tidak melaksanakan
prestasi sesuai kontrak, melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat
waktu, melaksanakan prestasi tetapi tidak sesuai dengan syarat yang
diperjanjikan. 59
2. Sengketa yang bersumber dari penafsiran kontrak yang berbeda.
b.1 E – Contract
Berdasarkan Pasal 1 ayat (17) Undang –Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Terhadap Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat “UU ITE”), kontrak
elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.60
Istilah online contract sebenarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum
yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari
sistem informasi berbasiskan komputer (computer based information system)
dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa
telekomunikasi (telecommunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh
keberadaan jaringan komputer global internet (network of network).61
Dalam praktek, terdapat dua macam kontrak Elektronik, yaitu : 62
59 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hlm 17 60
Indonesia, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik) LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 5952.
61 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004).
Hal 223.
1. Kontrak yang biasanya ada di dalam websites dan jasa online.
Kontrak jenis ini terbagi atas 2 (dua) jenis yaitu ;
a. Perjanjian yang ditutup dengan cara mengklik (clickwrap
agreement). Clikwrap agreement adalah suatu kontrak untuk
pembelian atau penggunaan barang atau jasa yang ditawarkan
oleh pedagang online. Pembeli online harus menyetujui
persyaratan persyaratan yang disebutkan dalam kontrak dengan
mengklik icon (yang biasanya berisi tulisan I agree, I accept,
Ok, Setuju) sebelum melengkanpi transaksinya.
b. Perjanjian yang ditutup dengan cara mem-browse (browsewrap
agreement). Browsewrap agreement ini berbeda dengan
clickwraps agreement, pengguna tidak diwajibkan mengklik
apapun sebelum melengkapi transaksinya. Dalam browsewrap
agreement, pembeli atau pengguna online menyetujui
persyaratan dalam kontrak dengan melihat isi dari situs yang
bersangkutan. Persyaratan biasanya dapat dibaca pada link yang
bertuliskan “Terms, Terms and Condition, Term og Service,
Ketentuan, Persyaratan)
2. Kontrak yang dibentuk secara sah melalui email. Jadi, disni para
pihak dalam hal ini melakukan perjanjian dengan memanfaatkan
komunikasi melalui email. Yang kemudian dalam hal ini dapat
dikombinasikan dengan alat komunikasi elektronik lainnya,
Kegiatan bisnis yang dilakukan baik dalam satu negara maupun yang
dilakukan antar negara ini tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan
para pihak sesuai dengan asas kesepakatan. Pada Pasal 1338 KUHPerdata
dikataka bahwa kesepakatan yang telah disetujui para pihak tentunya akan
mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.63
Namun demikian dalam prakteknya apa yang telah mereka sepakati itu,
kerapkali menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian bagi
salah satu pihak. Untuk menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka terdapat
dua jalan yang dapat ditempuh, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui jalur
alternatif. 64 Pada umumnya di dalam sebuah kontrak yang telah ditandatangani
bersama terdapat sebuah klausula yang menyatakan mengenai bagaimana
melakukan suatu penyelesaian atas suatu perselisihan atau sengketa yang akan
timbul dikemudian hari.
c. Persaingan Usaha
Pengertian persaingan usaha secara yuridis selalu dikaitkan dengan
persaingan dalam arti ekonomi yang berbasis pada pasar, dimana pelaku usaha
baik itu perusahaan maupun penjual dengan bebas berupaya untuk mendapatkan
konsumen guna mencapai tujuan usaha atau perusahaan yang didirikannya.65
Menurut kamus bisnis, yang dimaksud persaingan atau kompetisi adalah adalah
kondisi yang terjadi ketika sejumlah besar pembeli dan penjual
63R . Subekti – R. Tjitrosudibjo, op cit, Pasal 1338.
64 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015) hlm 77
65Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks.
memperdagangkan barang atau jasa. 66 Dalam kegiatan usaha, persaingan usaha merupakan hal yang wajar terjadi, namun dalam kegiatan usaha, sering terjadi
persaingan usaha tidak sehat antara sesama pelaku usaha dalam menjalannkan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan
cara – cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
67 Hal tersebut berdampak pada munculnya berbagai masalah atau perkara dalam
kegiatan usaha yang disebut dengan sengketa persaingan usaha.
d. Sengketa Konsumen
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) tidak dijelaskan
mengenai pengertian sengketa konsumen. Namun definisi sengketa konsumen
dapat ditemui pada Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yaitu Surat
Keputusan Nomor: 350 / MPP / Kep / 12 / 2001 tanggal 10 Desember 2001,
dimana pada Pasaal 1 ayat (8) dikatakan yang dimaksud dengan sengketa
konsumen adalah : 68
“Sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menutut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.”
66Kamus Bisnis http://kamusbisnis.com/arti/persaingan/ diakses Pada tanggal 04 Mei
2017 Pukul 07.00 WIB.
67Indonesia, (Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat) Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, LN Tahun 1999 Nomor 33,TLN Nomor 3817.
Menurut Praditya yang dimaksud sengketa konsumen adalah sengketa
berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen.69
Pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut “UU Konsumen”) gugatan atas
pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :70
a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan.
b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang
dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya.
d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
e. Sengketa Perbankan
Sengketa perbankan merupakan sengketa antara bank dengan pihak
nasabah.71 Sengketa yang terjadi antara bank dengan nasabahnya mencakup
69 Praditya, Penyelesaian Sengketa Konsumen, (Jakarta : Grafindo,2008), hlm 135 70
sengketa di bidang finansial, yakni tidak dipenuhinya tuntutan finansial dari
nasabah oleh bank. Pada Pasal 2 PBI Nomor 8/5/PBI/2006 yang dimaksud
tuntutan finansial adalah : 72
“Yang dimaksud dengan tuntutan finansial adalah potensi kerugian finansial nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian bank sebagaimana dimaksud pada Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah”.
Pada dasarnya sengketa bisnis antar para pihak umumnya terjadi
disebabkan 2 (dua) hal :
1. Pelanggaran Kontrak (wanprestasi). Prof. R. Subekti, SH, mengemukakan
bahwa “wanprestsi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4
macam yaitu ;
a. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai
mana yang diperjanjikan.
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
d. Selakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat
dilakukan.73
2. Salah satu pihak melakukan perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian material kepada pihak lain.74
71 Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Mediasi Perbankan,
https://www.academia.edu/21529772/PENYELESAIAN_SENGKETA_PERBANKAN_MELAL UI_MEDIASI_PERBANKAN?auto=download, diakses Pada tanggal 06 Mei 2017 Pukul 03.37.
72 Indonesia (Mediasi Perbankan), Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/5/PBI/2006
tentang Mediasi Perbankan
Menurut Priyatna Abdurrasyid, sengketa juga berhubungan dengan soal
sederhana atau kompleks dan melibatkan berbagai jenis persoalan, misalnya ;75
a. kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu
sendiri, atau dari data yang diberikan oleh pihak termasuk penjelasan
penjelasan tentang kenyataan data tersebut;
b. masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran
menyesatkan yang diberikan oleh para ahli hukum;
c. akibat perbedaan teknis, termasuk oerbedaan pendapat dari ahli teknik
dan orofesional dari para pihak;
d. perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalya dalla
penggunaan kata – katayang membingungkan atau adanya perbedaan
asumsi;
e. perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan, dan moralitas,
budaya, nilai - nilai dan sikap.
Konflik umumnya berawal dari perbedaan pandangan atau kepentingan
yang terjadi antara para pihak, yang kemudian dipertajam sehingga memunculkan
konflik yang sebenarnya.76 Didalam dunia bisnis, konflik berawal dari adanya
pertentagan kepentingan antara para pelaku bisnis. Konflik dalam dunia bisnis
selalu tidak menguntungkan dan kontra produktif dengan tujuan bisnis.77 Terlau
banyak energi dan sumber daya mubazir yang dikeluarkan para pihak untuk
mempertahankan kepentingan masing masing. Oleh karenanya sangatlah penting
74 Retnowulan Sutantio, Iskandar Oerip. Hukum Acara Perdata dalam Teori Dan Praktek, (Bandung : Alumni. 2000) hlm 23.
75Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Suatu
Pengantar), (Jakarta ; PT Fikahati dan BANI, 2002), hlm 5-6
76 Candra Irawan, op cit, hlm 2.
untuk menyelsaikan sengketa bisnis secara cepat dengan menggunakan lemabaga
atau paranata yang ada, baik itu secara formal (litigasi) ataupun non formal (non
litigasi).
2. Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan
Pada zaman dahulu, masyarakat dalam menyelesaikan sengketa
menggunakan paranata adat yang tersedia, melalui musyawarah adat,
menggunakan tetua adat sebagai mediator dan perdamaian adat.78 Pada zamannya
pranata adat sangatlah efektif. Namun seiring perkembangan zaman dan
perubahan perilaku masyarakat serta perpindahan masyarakat yang akhirnya
menyebabkan suatu suku, etnis, budaya berbaur dengan suatu yang suku, etnis,
dan budaya yang berbeda beda, maka cara penyelesaian sengketa dengan cara adat
ini mulai ditinggalkan. Yang dimana perubahan itu akibat logis dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan dalam segala
bidang dan tuntutan kehidupan dunia modern.79
Cara penyelesaian sengketa pasca pranata adat yang selama ini dikenal dan
digunakan masyarakat adalah Pengadilan. Dari sengketa keluarga (seperti
perceraian, pewarisan) sampai sengketa bisnis (seperti kontrak dan perbankan)
diserahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikannya atau disebut proses litigasi
Litigasi merupakan sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan. Peradilan merupakan lembaga resmi kenegaraan yang diberi
kewenangan untuk mengadili (menerima, memeriksa dan memutus) perkara
78Ibid, hlm 4.
berdasarkan kompetensi yang dimiliki.80 Dimana dalam proses mengadili, pengadilan harus tunduk pada ketentuan hukum acara peradilan yang telah
ditetapkan secara pasti oleh perundang-undangan. Pada umumnya, sengketa bisnis
dilakukan dengan pengajuan gugatan perdata dan dan mengikuti prosedur
berperkara sesuai dengan ketentuan acara perdata.
Penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan sering didasarkan pada
perjanjian antara para pihak. Biasanya saat menjalin kerjasama bisnis para pihak
akan membuat sebuah kontrak. Dan di dalam kontrak tersebut akan terkandung
klausula mengenai usulan penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi baik
itu melalui pengadilan maupun lewat jalan lain.
Ketika terjadi suatu sengketa dalam kegiatan bisnis maupun perdagangan,
umumnya langkah pertama yang dilakukan adalah negosiasi.81 Kedua belah pihak
membicarakan sengketa tersebut dan mencoba mencari jalan keluar. Ketika proses
negosiasi ini gagal barulah ditempuh cara lain seperti penyelesaian melalui
pengadilan, arbitrase, maupun jalan alternatif lainnya.
Namun dalam prakteknya, para pihak yang mengalami sengketa langkah
pertama yang digunakan adalah dengan negoisasi. Apabila dalam negoisasi tidak
menemukan jalan keluar, maka para pihak akan menggunakan Penyelesaian
Sengketa Alternatif. Dan pengadilan adalah cara penyelesaian terakhir apabila di
dalam Penyelesaian Sengketa Alternatif tetap tidak menemukan jalan tengah
untuk para pihak.
80“Penyelesaian Sengketa Dagang secara Litigasi”
https://www.academia.edu/5253455/HUKUM_DAGANG__Penyelesaian_Sengketa_Dagang_seca ra_Litigasi diakses Pada tanggal 02 Juni 2017, Pukul 04.13 WIB)
3. Cara - Cara Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan
Pada hakikatnya, penyeesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua
proses yaitu proses litigasi di dalam pengadilan dan proses penyelesaian sengketa
melalui kerjasama (koperatif) di luar pengadilan. 82
Namun perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Pengadilan ternyata
bukan lembaga penyelesaian sengketa yang tepat dan memiliki banyak
kelemahan, terutama menurut para pelaku bisnis.83 Tujuan APS adalah
terwujudnya “win-win solution” sebagai bentuk penyelesaian perkara, sementara
dalam hukum positif di Indonesia masih menganut sifat “win-lose solution”.
Dengan melihat fakta tersebut, maka peluang alternatif untuk penyelesaian
sengketa sangat diperlukan.84
Tetapi APS yang telah memasyarakat di kalangan praktisi secara
internasional juga menimbulkan pro dan kontra mengenai fungsi dan kewenangan
dari peradilan yang sebenarnya. Terdapat anggapan bahwa APS dapat menjadi
kompetisi dari sistem peradilan yang sudah ada. Namun sebagian kalangan
melihatnya APS sebagai peluang bagi kaum yang tidak mampu untuk
menyelesaikan perkara di pengadilan dimana menelan banyak biaya, dan APS
dianggap sangat cocok terutama untuk sengketa bisnis dimana prosesnya tidak
serumit dan memakan banyak waktu seperti di pengadilan. 85
82Nugroho Susanti Adi, op cit, hlm 3 83Candra Irawan, op cit, hlm 3. 84
Huala Adolf, Arbitase Komersial Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) hlm 13
Menurut Phillip D. BOSTWICK ADR itu adalah :86
“Sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan (A set of pratices and legal techniques that aim) :
a) Menyelesaikan sengketa hukum di luar Pengadilan semi
keuntungan para pihak (To permit legal disputes to be resolved
outside the courts for the benefits of all disputants)
b) Mengurangi biaya litigasi konvesional dan pengunduran waktu
yang biasa terjadi (To reduce the cost of conventional litigation
and the delay which it is ordinarily subjected)
c) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke
Pengadilan (To prevent legal disputes that would otherwise likely
be brought to the courts)”
B. Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan Berdasarkan
Hukum di Indonesia
1. Sumber Hukum Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan di
Indonesia
a. Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Sumber hukum penyelesaian sengketa dagang melalui pengadilan
terdapat pada Pasal Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan
Kehakiman), tersebut yang mengatakan ; 87
”Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
86 Bostwick, Gosing Private With the Judicial System, (New York : McGraw-Hill,1995),
hlm. 16.
87
Yang artinya keadilan merupakan hak bagi setiap orang dan
pengadilan wajib untuk memeriksa serta mengadili setiap sengketa yang
diajukan ke pengadilan, termasuk pula halnya dengan sengketa bisnis.
b. PERMA No 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana.
Pada Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana (selanjutnya disebut “Perma Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana”) dikatakan bahwa ;88
“Gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan dalam lingkup kewenangan peradilan umum”
Dalam PERMA Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana ini dijelaskan
Pada Pasal 1 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian gugatan
sederhana; 89
“Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling
banyak 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian sederhana”
Yang artinya, dalam hal sengketa bisnis dengan nilai gugatan materil
dengan nominal maksimal Rp 200,000,000 dapat mengajukan gugatannya ke
pengadilan dengan cara penyelesaian gugatan sederhana.
88Mahkamah Agung, (Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana) Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
3. Undang Undang 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
Pada Pasal 5 Undang Undang 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaia
Perselisihan Hubungan Industrial dikatakan bahwa ;90
“Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.”
Seperti yang diketahui bahwa sengketa perburuhan merupakan salah satu
sengketa bisnis, di mana di dalam undang undang ini jelas dikatakan bahwa
apabila melalui konsiliasi atau mediasi tidak mendapatkan mufakat, maka dalam
hal ini baik pihak buruh atau perusahaan yang bersengketa dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
4. Kontrak yang Dibuat Oleh Para Pihak
Di dalam KUHPerdata dikatakan bahwa kontrak yang dibuat sesuai secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.91 Pada
umumnya sebuah kontrak akan mencantumkan klausula yang menyatakan apabila
terjadi persengketaan dalam pelaksanaan kontrak akan diselesaikan melalui jalur
tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama. Jadi apabila di dalam kontrak para
pihak setuju untuk menggunakan jalur pengadilan, maka apabila terjadi sengketa
hal tersebut menjadi kewenangan pengadilan untuk menyelesaikannya.
90Indonesia, (Undang Undang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan), Undang
Undang Republik Indoneia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, LN Tahun 2004 Nomor 6, LTN Nomor 4356
Dan dalam hal ini M Yahya Harahap mengatakan mengenai pemilihan
penggunaan arbitrase harus diperhatikan betul mengenai rumusan klausulanya.
Apabila perjanjian ditetapkan terbatas pada sengketa sengketa tertentu yang
disebutkan secara rinci, maka arbitrase hanya berwenang terhadap sengketa yang
disebutkan dalam perjanjian, selebihnya segala bentuk sengketa di luar yang
disebutkan tetap menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.92 Dapat dilihat bahwa
Pengadilan Negeri memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa kontrak yang
merupakan bagian dari sengketa bisnis. Yang artinya, apabila sebuah kontrak
tidak menetapkan klausul mengenai jalur yang dipilih, apabila terjadi sengketa
maka pengadilan negeri lah yang berhak untuk memeriksa dan memutus perkara
tersebut.
5. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Di dalam Pasal 45 ayat (1) UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut “UU Perlindungan Konsumen”) dikatakan
bahwa;93
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”
Sengketa konsumen merupakan bagian dari bentuk sengketa bisnis. Akhir
akhir ini sengketa konsumen sering kita dengar seiring dengan meningkatnya
92Candra Irawan, op cit, hlm 16 93
penjualan melalui elektronik (e-commerce). Dalam Pasal 45 ayat (1) di atas
dijelaskan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan sengketanya
ke pengadilan.
2. Keunggulan dan Kelemahan Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui
Pengadilan
a. Keunggulan Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan
1. Pengadilan Lebih Memberikan Kepastian Hukum
Pengadilan merupakan lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan
untuk mengadili (menerima, memeriksa dan memutus) perkara . Hakim di dalam
proses peradilan memiliki tanggung jawab untuk melahirkan putusan – putusan
yang mencerminkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan94
2. Asas Persamaan di Mata Hukum
Susanti Adi Nugroho dalam bukunya mengatakan bahwa salah satu
kekurangan dari proses APS (mediasi) adalah mediasi sulit berjalan baik karena
para pihak sering berada dalam situasi atau posisi yang tidak seimbang atau berat
sebelah (misal jika salah satu pihak mempunyai posisi kedudukan yang jauh lebih
besar). Dalam hal ini mediator dihadapkan dalam posisi dilema ketika ia
mengetahui bahwa dengan posisi yang tidak seimbang ini maka arah penyelesaian
sengketa akan sangat tidak adil bagi salah satu pihak.95
94 Fence M Wantu, “Kendala Hakim Dalam Menciptakan Kepastian Hukm, Keadilan,
dan Kemanfaatan Di Peradilan Perdata”
https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/16092/10638, diakses Jumat 23 Juni 2017, Pk 15.32 WIB
Pada Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman di katakan bahwa ;
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
Peradilan di Indonesia mengenal asas “equality before the law” atau
persamaan di mata hukum yang artinya setiap orang sama di muka pengadilan.
Sehingga setiap orang yang membawa perkaranya ke muka pengadilan akan
mendapatkan perlakuan yang sama.
3. Small Claim Court
Peradilan telah memiliki suatu sistem yang kompatibel untuk sengketa
bisnis yaitu dengan menghadirkan small claim court. Dalam Black’s Law
Dictionary, Small Claim Court diartikan sebagai pengadilan yang bersifat
informal (di luar mekanisme peradilan pada umumnya) dengan pemeriksaan yang
cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang
yang nilai gugatannya kecil.96
Pada tanggal 7 Agustus 2015 ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana. Tujuan dikeluarkan PERMA ini adalah untuk mewujudkan
penyelesaian perkara dengan cepat, sederhana dan biaya ringan. Seperti yang
dijelaskan pada Pasal 1 ayat (1) PERMA tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana, dikatakan bahwa ;
“Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling
96 Henry Champell Black, Black’s Law Dicitionary, Eight Edition, (St Paul : West
banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian sederhana”97
Yang artinya, dalam hal sengketa bisnis dengan nilai gugatan materil dengan
nominal maksimal Rp 200,000,000 dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan
dengan cara penyelesaian gugatan sederhana.
Pada Pasal 5 ayat (3) PERMA Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
diakatakan bahwa ;
“Penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari sidang pertama.”
Yang artinya proses pengadilan dengan gugatan materil maksimal Rp
200,000,000 dapat diselesaikan dengan cepat sehingga tidak memakan waktu dan
biaya.
b. Kelemahan Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan
Pada dasarnya pengadilan harus mampu mewujudkan harapan masyarakat
untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, namun dalam prakteknya
masyarakat merasakan ketidakpuasaan dan kekecewaan terhadap lembaga
keadilan khususnya kalangan masyarakat bisnis yang mengeluh dengan kinerja
pengadilan.
Banyak sengketa bisnis yang diajukan ke pengadilan tidak menyelesaikan
masalah, bahkan justru memunculkan masalah baru, misalnya dengan sifat
pengadilan yang terbuka untuk umum malah menyebabkan tercemarnya nama
97 Indonesia (Mahkamah Agung), Peraturan Mahkamah Agung Tentang Tata Cara
perusahaan kepada publik.98 Dan juga kelemahan pengadilan lainnya adalah pemborosan biaya selama proses pengadilan berlangsung karena proses yang
lambat, dan tercium adanya indikasi ketidaknetralan hakim dalam mengadili
karena kolusi, korupsi, dan nepotisme.99
M. Yahya Harahap mengatakan beberapa kritik terhadap pengadilan yang
terjadi di beberapa negara, yaitu ;100
1. Penyelesaian sengketa lamabat.
Lambatnya pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tergambar seperti
yang terjadi di Jepang, rata- rata berlangsung antara 10 – 15 tahun, di Korea
Selatan antara 5 – 7 tahun, demikian juga di Indonesia, adri tingkat pertama
hingga kasasi rata – rata antara 7 – 12 tahun. Hal ini terjadi karena akibat tidak
adanya pembatasan mengenai jenis “perkara yang boleh diajukan kasasi, sehingga
semua perkara yang sudah diputus pada tingkat pertama, diajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Maka tidak terhindarkan terjadinya penumpukan perkara di
MA, yang mengakibatkan semakin lama suatu perkara dapat diselesaikan.
2. Biaya berperkara mahal
Berkaitan dengan lambatnya proses pengadilan, maka akan semakin besar
juga biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak yang bersengketa. Biaya yang
harus dikeluarkan terdiri dari penasihat hukum (lawyer), transportasi, pendaftaran
perkara, succes fee dan biaya lainnya
98 Candra Irawan, op cit, hlm 4 99Ibid
3. Peradilan pada umumnya tidak responsif
Tidak responsifnya pengadilan terhadap kepentingan umum ditandai
dengan ;
a. Seiring pengadilan mengabaikan kepentingan umum dan kebutuhan
masyarakat banyak ;
b. Pengadilan sering memberi perlakuan yag tidak adil atau unfair, karena
cenderung memberi kesempatan dan keleluasaan kepada lembaga besar
dan orang-orang kaya ;
c. Pengadilan kurang anggap (unresponsive) dalam melayani kepentingan
rakyat biasa dan kalangan orang miskin.101
4. Kemampuan hakim bersifat generalis
Hakim adalah sarjana hukum, dan memang itulah persyaratan yang harus
dipenuhi seseorang untuk dapat menjadi hakim. Sarjana hukum tentu saja
menguasai ilmu hukum, namun tentu juga tidak menguasai ilmu – ilmu lain yang
kurang relevansinya dengan hukum, seperti ilmu teknik, pertanian, kehutanan,
kimia, dan lainnya. Sementara itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah mendorong terjadinya permasalahan yang kompleks yang membutuhkan
cara penyelesaian berdasarkan keahlian profesional.102 Bagi hakim yang bertitel
sarjana hukum, pengetahuannya mengenai suatu sengketa hanya bersifat umum.
Meskipun hakim dapat memanggil saksi ahli, itu belum cukup, karena secara
substansial orang yang bukan mendalami ilmu tersebut tetap akan mengalami
kesulitan memahaminya.
Kekurangan lainnya adalah Pengadilan memposisikan para pihak sebagai
lawan bukan kawan, yang dimana para pihak akan menyerang dan saling
mempertahankan kepentinganya masing masing. Bukan titik temu yang saling
menguntungkan yang diharapkan, tetapi kemenangan yang diharapkan.
Pengadilan pada saat memutus perkara, menggunakan terminologi “win – lose”,
sehingga “win – win solution” tidak akan mungkin tercapai.103
3. Proses Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan di Indonesia
A. Pengadilan Biasa
Sengketa bisnis umumnya dilakukan melalui gugatan perdata dan
mengikuti prosedur berperkara sesuai ketentuan hukum acara perdata.
Tata cara berperkara perdata melalui beberapa tahap antara lain :104
1. Tahap pertama, menerima perkara :
a. Pengajuan (perkara) gugatan (Pasal 118 HIR)
Gugatan perdata dapat berbentuk ;
1) Gugatan wanprestasi (cidera janji) adalah gugatan yang disebabkan
salah satu pihak ingkar janji. Dasar dari gugatan wanprestasi adalah adanya
pelanggaran terhadap perjanjian (Pasal 1238 KUH Perdata). Jadi pertama harus
adanya kesepakatan perjanjian baik lisan atau tulisan (kontrak) yang disepakati
103Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya...
hlm 2
104
Roy R. Pangkey, Proses Beracara Perdata Dalam Pengadilan Negeri
kedua belah pihak sebelumnya.105 Lalu salah satu pihak ada yang melanggar perjanjian yang telah disepakati tersebut baik karena sengaja ataupun karena lalai.
Materi gugatan adalah ; a. menyatakan terjadi wanprestasi dan/atau b. Memenuhi /
melaksanakan perjanjian dan/atau c. Keharusan membayar ganti rugi terdiri
daribiaya, rugi, dan bunga (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata)106 dan/atau d.
Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi dan e. Membayar biaya
perkara.
2). Perbuatan melawan hukum adalah gugatan yang didasarkan karena
adanya tindakan dari pihak lain yang melakukan pelanggaran terhadap suatu
ketentuan/aturan hukum yang berakibat merugikan orang lain (Pasal 1365 KUH
Perdata). Seseorang dianggap melawan hukum apabila perbuatannya bertentangan
dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,
atau bertentangan dengan kesusilaan.107 Materi gugatan adalah tuntutan ganti
rugi.108
b. Pembayaran panjar biaya perkara
c. Pendaftaran perkara
d. Penetapan majelis hakim
e. Pengajuan panitera sidang
105 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 1966), hlm
39
106 Efendi Dumai, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi sebagai Dasar Gugatan ,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan, diakses Pada Tanggal 24 Juni 2017, Pk 08:10 WIB
f. Penetapan hari sidang (Pasal 122 HIR)
g. Pemangilan pengugat dan tergugat
2. Tahap kedua memeriksa perkara (Pasal 372 HIR) :
a. Pemeriksaan pendahuluan
b. Pembacaan gugatan
c. Jawaban gugatan
d. Replik
e. Duplik
f. Pembuktian (Pasal 137, 172 & 176 HIR)
3. Tahap ketiga menyelesaikan perkara (Pasal 178 HIR) :
a. Kesimpulan
b. Putusan hakim
B. Pemeriksaan Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Syarat penyelesaian gugatan sederhana adalah ;109
1. Sengketa cidera janji/wanprestasi dan atau Gugatan Perbuatan melawan
Hukum yang nilai gugatan materil maksimal 200 juta (Pasal 3 ayat (1) ;
2. Bukan perkara yang masuk dalam kompetensi Pengadilan Khusus;
(Pasal 3 ayat (2) huruf a) ;
3. Bukan sengketa hak atas tanah (Pasal 3 ayat (2) huruf b);
109 Indonesia (Mahkamah Agung), Peraturan Mahkamah Agung Tentang Tata Cara
4. Penggugat dan Tergugat masing-masing tidak lebih dari satu, kecuali
memiliki kepentingan hukum yang sama (Pasal 4 ayat (1));
5. Tempat tinggal Tergugat harus diketahui (Pasal 4 ayat (2));
6. Penggugat dan Tergugat harus berdomisili di Daerah Hukum
Pengadilan yang sama (Pasal 4 ayat (3)).
Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi maka perkara
tersebut tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme small claim court.
Prosedur penyelesaian Perkara Gugatan Sederhana menurut PERMA No.
2 Tahun 2015 :110
1. Pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan (Pasal 6 ayat (1));
a. Pendaftaran bisa dilakukan dengan pengisian blanko mengenai (Pasal
6 ayat (3)) ;
1) Identitas Penggugat dan Tergugat;
2) Penjelasan ringkas duduk perkara (Posita);
3) Tuntutan Penggugat (Petitum).
b. Penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah didelegasi
pada saat mendaftarkan gugatan sederhana (Pasal 6 ayat (4) ;
2. Pemeriksaan Kelengkapan Gugatan Sederhana ;
a. Panitera memeriksa berkas. Jika tidak memenuhi syarat, gugatan
dikembalikan (Pasal 7 ayat (2)).
b. Pendaftaran Gugatan dicatat dalam Buku Register Khusus Gugatan
Sederhana (Pasal 7 ayat (3)).
3. Membayar Panjar Biaya Perkara;
a. Panjar Biaya Perkara ditetapkan oleh ketua pengadilan (Pasal 8 ayat
(1));
b. Penggugat yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan bercara
secara cuma-cuma atau Prodeo (Pasal 8 ayat (3));
4. Penetapan Hakim Tunggal (Pasal 9 ayat (1)) dan penunjukan panitera
pengganti oleh panitera (Pasal 9 ayat (2)) (paling lambat 2 hari sejak
pendaftaran gugatan sederhana diterima dan dicatat dalam buku register
khusus gugatan sederhana (Pasal 10);
5. Pemeriksaan Pendahuluan:
a. Pemeriksaan materi Gugatan Sederhana oleh Hakim Tunggal (Pasal
11 ayat (1));
b. Hakim Tunggal menilai sederhana atau tidaknya pembuktian.
Apabila ; (Pasal 11 ayat (3))
1) Sederhana = Penetapan Hari Sidang;
2) Tidak Sederhana = Perkara dicoret dari Buku Register.
6. Penetapan hari sidang pertama oleh Hakim tunggal (Pasal 12);
a. Penggugat dan Tergugat harus hadir pada setiap Persidangan ;
1) Pada Persidangan Pertama Hakim wajib mengupayakan
perdamaian (Pasal 15 ayat (1)). Apabila pada persidangan pertama
;
a. Penggugat tidak hadir = gugatan gugur (Pasal 13 ayat (1));
b. Tergugat tidak hadir = dilakukan pemanggilan kedua (Pasal
13 ayat (2));
2) Pada Hari Sidang Kedua
a. Tergugat tidak hadir = Hakim memutus perkara tersebut
(Pasal 13 ayat (3)). Tergugat dapat ajukan keberatan (Pasal
13 ayat (5) )
3) Tergugat hadir pada sidang pertama, namun tidak hadir pada
sidang kedua tanpa alasan yang sah = gugatan diperiksa dan
diputus secara contradictoir (Pasal 13 ayat (4));
8. Mengenai Perdamaian, apabila ;
a. Damai tercapai = Hakim membuat putusan akta perdamaian
(berkekuatan hukum tetap) (Pasal 15 ayat (3));
b. Damai tidak tercapai = dilanjutkan dengan pembacaan gugatan
dam jawaban Tergugat (Pasal 16);
10. Putusan (Pasal 19)
11. Keberatan (Pasal 21)
12. Putusan Keberatan (berkekuatan hukum tetap) Putusan Keberatan
tidak dapat diajukan Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali (Pasal
30)
Yang membedakan persidangan Perkara Gugatan Sederhana dengan
Persidangan Biasa adalah :
1) Penyelesaian Gugatan Sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari
dihitung sejak hari sidang pertama (Pasal 5 ayat (3))
2) Hakim wajib berperan Aktif yang dilakukan dipersidangan (Pasal 14).
Kewajiban bagi Hakim untuk berperan aktif itu dalam bentuk ;
a. Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana
secara berimbang kepada para pihak;
b. Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk
menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian
di luar persidangan;
c. Menuntun para pihak dalam pembuktian, dan
d. Menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.
3) Dalam proses Pemeriksaan Gugatan Sederhana para pihak tidak dapat
mengajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik,
C. Putusan Sidang Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan
Berdasarkan Hukum di Indonesia
1. Sumber Hukum Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan di
Indonesia
a. Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1851
Penyelesaian sengketa melalui APS pada dasarnya adalah perdamaian.111
Oleh karena itu perlunya untuk memperhatikan ketentuan KUHPerdata mengenai
perdamaian pada Bab XVIII Pasal 1851 – 1864. Pada pasal 1851 dikatakan ;
“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.”112
Oleh karena perdamaian merupakan kehendak para pihak sendiri, maka
terhadap perdamaian tersebut sifatnya final. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
1858 ayat (1) KUHPerdata ;
“Segala perdamaian mempunyai di antara para pihak suatu kekuatan
seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan”113
Berdasarkan Pasal 1859 Perdamaian dapat batal apabila ;
“Namun perdamaian dapat dibatalkan bila telah terjadi suatu kekeliruan mengenai orang yang bersangkutan atau pokok perselisihan. Perdamaian
dapat dibatalkan dalam segala hal, bila telah dilakukan penipuan atau paksaan.”
111 Candra Irawan, op cit, hlm 15
2. Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentangg Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pasal 1 ayat (10) UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
dikatakan ;
“Alternatif Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”114
Dan pada Pasal 6 ayat UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ;
“(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada
itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di
Pengadilan Negeri.
(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam
suatu kesepakatan tertulis.
(3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para
pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan
seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator
tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak
dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
(5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh
semua pihak yang terkait.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan
itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.”115
Dengan kehadiran undang-undang ini semakin mengukuhkan keberadaan
APS sebagai lembaga/paranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan (extra
Indonesia meratifikasi konvensi ICSID (Convention on the Settlement OF
Investment Disputes Between States and National of Other States)
dilatarbelakangi oleh situasi nasional ketika itu. Dimana Indonesia sedang giat
untuk mengundang Penanam Modal Asing (PMA) untuk meningkatkan
perekonomian negara. Demi meningkatkan kepercayaan investor asing terhadap
iklim investasi dan kepastian hukum dalam berusaha, terutama dalam
menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul, maka diratifikasilah konvensi
ICSID ini.
Pengakuan dan persetujuan Pemerintah Indonesia atas konvensi ICSID,
sekaligus merupakan upaya meyakinkan Bank Dunia (World Bank) dan Bank
Internasional untuk rekonstruksi dan pembangunan (International Bank for
Reconstruction and Development) akan kesungguhan Pemerintah Indonesia untuk
menyelesaiakan sengketa penanaman modal melalui forum arbitrase, hal ini
memberi citra bahwa dalam masalah penanaman modal asing pihak Indonesia
tidak bermaksud untuk mau menang sendiri dengan mempertahankan dan
memberlakukan sistem tata hukum Indonesia.117
4. Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing di Indonesia
Keppres Nomor 34 Tahun 1981 memiliki jangkauan yang lebih luas
dengan mengakui seluruh putusan putusan arbitrase asing dan pelaksanaanya di
wilayah hukum Indonesia. Keppres ini pada dasarnya merupakan ratifikasi
terhadap isi konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan Dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertujuan mendorong
kerja sama internasional dalam meningkatkan kepedulian terhadap arbitrase dalam
menyelesaikan sengketa, mengakui dan melaksanakan setiap putusan arbitrase
asing di wilayah negara masing masing.
5. PERMA RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung ini dikeluarkan adalah untuk mengefektifkan
dan mengefisiensikan penyelesaian sengketa di pengadilan. Para pihak yang
bersengketa diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan persengketaanya
secara damai. Pada Pasal 4 UU Prosedur Mediasi di Pengadilan mengatakan
bahwa ;
“Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara
perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara
(partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini”118
Dalam hal ini pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di
pengadilan dipercaya dapat menjadi sebuah instrumen efektif untuk mengatasi
penumpukan perkara di pengadilan dan mediasi merupakan salah satu model
penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat dan murah, serta dapat
118Indonesia (Mahkamah Agung), PERMA Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh
keadilan atau penyelesaian yang memuaskan.119
6. Kontrak yang Dibuat Para Pihak
Di dalam Pasal 1338 KUHPerdata dikatakan bahwa kontrak yang dibuat
sesuai secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Pada umumnya sebuah kontrak akan mencantumkan klausula yang menyatakan
apabila terjadi persengketaan dalam pelaksanaan kontrak akan diselesaikan
melalui arbitrase, maka para pihak yang terikat untuk mematuhinya. Hal ini juga
yang dinyatakan dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal
3 bahwa ;
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”120
Dan dikuatkan dengan Pasal 11 bahwa ;
“(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”
“(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini.”121
Artinya apabila isi kontrak menyebutkan untuk menggunakan arbitrase,
maka sengketa yang terjadi menjadi kewenangan APS (arbitrase) untuk
119
Candra Irawan, op cit ,hlm 22.
menyelesaikannya. Dalam hal ada pihak yang mengajukan sengketa tersebut ke
Pengadilan Negeri, maka hakim dengan berdasarkan pada pasal diatas wajib
menolak dan menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili.
Namun menurut M Yahya Harahap kewenangan arbitrase harus dilihat
dari rumusan perjanjiannya, jika berbentuk umum seperti “segala atau setiap
sengketa yang timbul dari perjanjian ini, para pihak sepakat diselesaikan oleh
arbitrase”, maka berlaku kewenangan arbitrase. Namun jika klausula dalam
perjanjiannya ditetapkan secara terbatas pada sengketa – sengketa tertentu dan
terinci, maka arbitrase hanya berwenang terhadap sengketa yang disebutkan
dalam perjanjian, selebihnya tetap menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.122
2. Bentuk - Bentuk Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan
Berdasarkan Hukum di Indonesia
ADR atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakat para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli. Apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 1 ayat
(10) UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka cara penyelesaian
sengketa melaui ADR dibagi menjadi ; 123
1. konsultasi,
2. negosiasi,
122
M Yahya Harahap, Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU Nomor 30 Tahun 1999 (Jakarta : Jurnal Bisnis, 2002)
3. mediasi,
4. konsiliasi,
5. penilaian ahli.
Menurut Frans Hendra, ADR yang diatur dalam UU Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah terdiri dari beberapa jenis yaitu sebagai
berikut ;124
1. Mediasi
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator. Mediator adalah dimana sesorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk
berkomunikasi atara para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas
sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab
utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. 125
Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi menurut Black’s Law
Dictionary, yang menyatakan bahwa mediasi sebagai berikut ;
“A method of non-binding dispute resoltion involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution”126
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) PERMA Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan dikatakan bahwa ;
124 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia &
Internasional, (Jakarta : Sinar Grafiska Offset, 2011) hlm 7-8
125 John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, (Jakarta : Proyek Ellips, 1997)
hkm 42.
“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh
Mediator.”127
Prinsip mediasi adalah bersiat sukarela atau tunduk pada kesepakatan para
pihak, pada bidang perdata, sederhana, tertutup dan rahasia, serta bersifat
menengahi atau bersifat sebagai fasilitator.
Berbeda dengan arbitrase maupun litigasi yang memiliki putusan mengikat
dan berkekuatan eksekutorial, produk hukum dari suatu proses mediasi adalah
kespakatan para pihak yang berbentuk pejanjian. Dalam hal tercapai kesepakata,
maka menurut Pasal 6 ayat (7) dan ayat (8) UU Arbitrase dana Alternatif
Penyelesaian Sengketa , kesepakatan yang telah diraih dan dibuat dalam bentuk
tertulis mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik dan wajib
didaftarkan ke pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak
penandatanganan. 128 Pelaksanaan kesepakatan dalam alternatif penyelesaian
sengketa tersebut wajib dilakukan paling lambat 30 hari setelah didaftarkannya
kesepakatan ke pengadilan negeri. Dengan didaftarkannya suatu kesepakatan
tertulis mediasi ke pengadilan negeri, maka kesepakatan tersebut akan menjadi
suatu kesepakatan yang memiliki kekuatan eksekutorial.
2. Negosisasi
Negosiasi berasal dari kata negotiation yang berarti perundingan.
Sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut nesiator. Negosiasi
adalah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses
pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama
127
Indonesia (Mahkamah Agung), PERMA Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, op cit
yang lebih harmonis dan kreatif. 129. Sedangkan Black’s Law Dictionary mendifinisikan negosisasi sebagai ;
“a consensual bargaining process in which the parties attemp o reach agreement on a dispute or pottentially dispute matter. Negotiation also
involves complete autonomy for the parties involved, without the intervention of thirs parties”130
Secara sederhana, definisi dari negosisasi adalah suatu proses tawar –
menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui
proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan
penyelesaian atau jalan keluar atas suatu masalah yang berlangsung.
Berbeda dengan mediasi, komunikasi yang dilaksanakan dalam proses
negosisasi tersebut dibangun oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga
sebagai penengah. Kualitas dari sebuah negosiasi bergantung pada negosiator
yang melakukannya. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan negosiator adalah
pihak itu sendiri ataupun penerima kuasa yang mewakili pihak yang bernegosiasi.
Negosisasi biasanya dilakukan dalam perkara yang tidak terlalu rumit.
Suatu yang paling penting dalam proses negosiasi adalah itikad baik dari para
pihak untuk secara bersama sama duduk menyelesaikan masalah. Apabila para
pihak dapat duduk bersama dengan itikad baik dan niat untuk mencari suatu
kesepakatan, maka negosiasi akan menjadi suatu metode yang tepat, sederhana
dan menguntungkan kedua belah pihak.131
129 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2000) hlm 19
3.Konsultasi
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu
pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana
pihak konsultan memberikan pendapatnya pada klien sesuai dengan keperluan dan
kebutuhan klinenya.132 Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang
diberikan dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengenai
makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat pada Black's Law Dictionary
dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi (consultation) adalah ;
“Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject.”133
Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dictionary tersebut dapat
diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang
bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan
pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya
kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya
tersebut.
Didalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri
keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian
tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang
disampaikan oleh pihak konsultan tersebut.134 Ini berarti dalam konsultasi, sebagai
132Ibid
133Henry Champell Black, op cit, hlm 332 134
Adi Januarsa, Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Dan Berbagai Kelemahan Dalam,
suatu bentuk pranata alternative penyelesaian sengketa, peran dari konsultan
dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan sama
sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta
oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa
tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak
konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa
tersebut.
4. Konsiliasi
Konsiliasi adalah dimana penengah akan bertindak menjadi konsiliator
dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat
diterima.135 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan
suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahkan
tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi
sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan
dalam ketentuan Pasal 1 ayat (10) dan Alenia ke - 9 Penjelasan Umum UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsiliasi memiliki kesamaan
dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk
menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan.136
DAN_BERBAGAI_KELEMAHAN_DALAM, diakses Pada tanggal 09 Juni 2017, Pukul 00:44 WIB
135
Frans Hendra Winarta, op cit, hlm 8
136 Adi Januarsa, Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Dan Berbagai Kelemahan Dalam,
Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah metode ini
yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan
oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi
konsiliasi. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap,
yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang
diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini
akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada
tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.
5 Penilaian Ahli
UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan
suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahkan
tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa ini mengatur mengenai penilaian ahli. Namun, menurut
Frans Hendra Winarta Penilain ahli adalah pendapat para ahli untuk suatu hal
yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.
Didalam memberikan pendapat, di dalam beberapa kasus para ahli
dimintakan pendapat sesuai keahliannya, sebagai contoh untuk memberikan
penafsiran terhadap bagian perjanjian yang kurang jelas. Yang dimana tujuan dari
pendapat ahli adalah adanya penafsiran yang valid sehingga tidak ada lagi
perbedaan penafsiran di antara para pihak.137
6. Arbitrase
DAN_BERBAGAI_KELEMAHAN_DALAM, diakses Pada tanggal 09 Juni 2017, Pukul 00:44 WIB
137 Felix O. Soebagjo, Bentuk-bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Arbitrase berasalal dari bahasa latin yaitu arbitrate yang berarti kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijakansanaan. Pada Pasal 1 angka 1 UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dikatakan bahwa ;
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”138
Dapat dilihat bahwa di dalam Black’s Law Dictionary memasukkan
arbitrase ke dalam salah satu ADR, sedangkan dalam UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa membedakan arbitrase dengan ADR.139
3. Keunggulan dan Kelemahan
a. Keunggulan
Menurut Christoper W. Moor, terdapat beberapa kelebihan penggunaan
mekanisme ADR bila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui
lembaga pengadilan yaitu :
1) Sifat kesukarelaan dalam proses, di mana para pihak pecata bahwa
dengan menyelesaikan penyelesaian melalui alternatif penyelesaian
sengketa, akan mendapatkan penyelesaian yang lebih baik daripada
sistem litigasi, karena dalam prosesalternatif penyelesaian sengketa
tidak ada unsur pemaksaan.
2) Prosedur yang cepat, di mana prosedur alternatif penyelesaian
sengketa bersifat informal pihak – pihak yang terlibat mampu
menegosiasikan syarat – syarat penggunaanya.
3) Keputusannya bersifat non – judicial, karena kewenangan untuk
membuat keputusan ada pada pihak pihak yang bersengketa, yang
berarti pihak pihak yang terlibat mampu meramalkan dan
mengontrol hasil yang disengketakan.
4) Kontrol tentang kebutuhan organisasi di mana prosedur ADR
menempatkan keputusan di tangan orang orang yang mempunyai
posisi tertentu, baik untuk menafsirkan tujuan jangka pendek
maupun jangka panjang dari organisasi yang terlibat, maupun
menafsirkan dampak positif dan negatif dari setiap pilihan
penyelesaian sengketa. Pembuatan keputusan oleh para pihak ketiga
sering kali meminta bantuan seorang hakim, juri, atau arbiter untuk
membuat keputusan yang mengikat
5) Prosedur rahasia (confidential) prosedur ADR bisa memberikan
jaminan kerahasiaan yang sama besarnya bagi setiap pihak yang
terlibat. Pihak – pihak yang bersengketa bisa berpartisipasi dan
menjajaki pilihan penyelesaian sengketa yang potensial dan tetap
melindungi hak – hak mereka untuk mempresentasikan kasus terbaik
mereka pada kesempatan berikutnya tanpa harus takut bahwa data
yang dibeberkan dalam prosedur ini digunakan untuk menyerang
balik mereka.
6) Fleksibilitas dalam menentukan syarat – syarat penyelesaian masalah
yang komprehensif, di mana prosedur ini dapat menghindari kendara
7) Hemat biaya, karena dalam menyelesaiakn sengketa, semakin lama
penyelesaiannya maka akan semakin mahal biaya yag dikeluarkan.
Sebagai tambahan biaya yang lebih rendah untuk membayar pihak
netral, biasa bisa dikecilkan dengan membatasi pengeluaran untuk
penemuan (discovery), mempercepat waktu antara penyusunan file
dan penyelesaian masalah dan menghindari biaya – biaya
penundaan. Biaya yang disebut terakhir ini merupakan komponen
biaya yang paling mahal dalam kasus kasus hukum.
8) Tingginya kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, karena
putusan yang diambil yaitu keputusan yang didasarkan pada
keterlibatan kesepakatan para pihak yang bersengketa
9) Pemeliharaan hubungan, dengan ADR mampu mempertahankan
hubungan kerja atau bisnis yang sedang berjalan mauoun pada masa
yang akan datang.
10)Kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasilnya. Cara
penyelesaian melalui ADR lebih mudah memperkirakan keuntungan
dan kerugian dibandingkan jika sengketa tersebut diselesaikan
melalui proses litigasi
11)Keputusannya bertahan sepanjang waktu, karena jika dikemudian
hari kesepakatan yang telah dibuatannya itu menjadi suatu sengketa