PROFESIONALISME GURU
PADA ERA UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN
Oleh: Nanik Hindaryatiningsih
Abstrak
Pemberlakuan Undang-undang tentang Guru dan Dosen yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan kualitas guru dan tenaga kependidikan. Lahirnya Undang-undang tentang Guru dan Dosen ini juga dilandasi oleh keinginan untuk memperjelas kedudukan dan fungsi guru dan tenaga kependidikan, mempertegas prinsip profesionalisme, mempertegas kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, dan hal-hal lain yang terkait dengan hak dan kewajiban tenaga pendidik termasuk pengangkatan dan perlindungan guru dan tenaga kependidikan.
Idealnya, setelah adanya UU No. 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan profesionalisme guru semakin baik. Faktanya, profesienalisme guru masih rendah. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa profesionalisme guru masih rendah?. Bagaimana meningkatkan profesionalisme guru? Ini semua tergantung bagaimana mendapatkan guru profesional” dan “bagaimana memberdayakan guru sehingga mandiri dalam meningkatkan mutu pendidikan.” Selain itu, kembali kepada guru sebagai pendidik, yang sudah seharusnya selalu berpegang teguh pada prinsip “belajar seumur hidup.”
Kata Kunci : Undang-undang Guru dan Dosen, Profesionalisme Guru, Peningkatan Profesionalisme.
The implementation of law no. 14 of 2005 on teachers and lecturers is mainly intended to improve the quality of teachers and education personnel. The issuance of the law is also intended to have better understanding on the role and function, the principles of professionalism, the qualification, the competency, the certification, and other things related to rights and obligation of the teachers and education personnel , as well as their nomination and protection. The professionalism of teachers and education personnel is expected to be better after the issuance of Law no. 14 of 2005 and Government Regulation of Indonesia no. 19 of 2005 on the National Standard of Education. But why is the teachers professionalism is still not as expected? This question is related to how to have professional teachers and how to make the teachers have self-confidence in improving the quality of education. In addition, as the teachers, they should understand and practice the motto of “life-long learning”.
A. Pendahuluan
Akhir-akhir ini isu tentang
profesionalisme guru sangat gencar
dibahas melalui media cetak dan
diperbincangkan melalui media
elektronik oleh banyak kalangan.
Berdasarkan penelusuran penulis,
pembahasan tentang itu, misalnya
melalui koran Kompas dilakukan
pada beberapa kali terbitan antara
lain pada hari Selasa, 24 November
2009; pada hari Rabu, 25 November
2009; pada hari Senin, 2 Desember
2009; dan pada hari Senin, 8
Desember 2009. Kesimpulan yang
bisa ditarik dari perbincangan dan
pembahasan itu adalah ”guru
belum profesional.”
Mengapa masalah
profesio-nalisme guru mendapat perhatian
banyak pihak? Pengembangan
profesionalisme guru menjadi
perhatian secara global, salah satu
alasan yang dapat dikemukakan
karena guru memiliki tugas dan
peran bukan hanya memberikan
informasi-informasi ilmu
penge-tahuan dan teknologi, melainkan
juga membentuk sikap dan jiwa
yang mampu bertahan dalam era
hiperkompetisi. Tugas guru
adalah membantu peserta didik
agar mampu melakukan adaptasi
terhadap berbagai tantangan
kehidupan serta desakan yang
berkembang dalam dirinya.
Pemberdayaan peserta didik ini
meliputi aspek-aspek kepribadian
terutama aspek intelektual, sosial,
emosional, dan keterampilan.
Tugas mulia itu menjadi berat
karena bukan saja guru harus
mempersiapkan generasi muda
memasuki abad pengetahuan,
melainkan harus mempersiapkan
diri agar tetap eksis, baik sebagai
individu maupun sebagai
profesional.
Jawaban pertanyaan ini bisa
beragam, tetapi satu hal perlu
digarisbawahi bahwa masalah itu
bukanlah hal baru di negara kita.
Sebagai masalah, telah muncul
sejak pemerintah mulai
membangun sistem pendidikan
kembali ke permukaan dan dibahas
oleh berbagai pihak, mungkin
benar apa yang dinyatakan oleh
Surakhmad (2000: 15) bahwa
“selama perjalanan lebih dari
setengah abad pendidikan nasional,
mestinya Indonesia telah mampu
melahirkan angkatan guru yang
lebih sejahtera dan lebih
profesional. Akan tetapi, yang
terjadi justru kebalikannya. Untuk
hal ini kita tidak bisa menyalahkan
guru karena menurut Makagiansar
(2002: 62) bahwa:
…guru tidak hidup dalam keterasingan. Ia adalah bagian dari sistem pendidikan dan serentak dengan itu, ia juga bagian dari budaya profesional yang jika merundung kekakuan dan keengganan pada inovasi, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh guru kecuali tunduk pada nilai-nilai sistem dan subbudaya yang berlaku.
Tulisan ini disusun bukan
sebagai cetak biru pemecahan
masalah profesionalisme guru.
Tulisan ini hanya ingin menelisik
kebijakan pemerintah tentang
konsep guru professional setelah
terbitnya Undang-undang Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (selanjutnya disingkat UU
No. 14 Tahun 2005) dan upaya apa
yang perlu dilakukan
mening-katkan profesionalisme guru.
Dengan telah disahkannya UU No.
14 Tahun 2005 pada tanggal 30
Desember 2005, semua aspek yang
berkaitan dengan guru harus
mengacu pada undang-undang
tersebut.
A. Guru Profesional menurut
UU No. 14 Tahun 2005
Arti profesional menurut
UU No. 14 Tahun, yaitu:
“Profesional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran,
atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan
profesi” (Pasal 1 Ayat 4). Pada
bagian lain dinyatakan bahwa
guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan
kemam-puan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional (Pasal 8 UU
No. 14 Tahun 2005).
Mengacu pada kutipan
rumusan pasal di atas, guru
dituntut untuk memenuhi
persyaratan yang sangat vital dan
fundamental untuk menjadi guru
profesional. Persyaratan dimaksud
meliputi lima hal, yaitu: (1)
kualifikasi, (2) kompetensi, (3)
sertifikasi, (4) sehat jasmani dan
rohani, dan (5) memiliki
kemampu-an untuk mewujudkkemampu-an tujukemampu-an
pendidikan nasional. Uraian secara
umum kelima persyaratan tersebut,
sebagai berikut.
1. Kualifikasi Akademik
Kualifikasi sebagaimana
ter-tuang dalam Pasal 1 UU No. 14
Tahun 2005 adalah kualifikasi
akademik, yaitu ijazah jenjang
pendidikan akade-mik yang harus
dimiliki oleh guru. Ijazah tersebut
merefleksikan kemampuan yang
dipersyaratkan bagi guru untuk
melaksanakan tugas sebagai
pendidik pada jenjang, jenis, dan
satuan pendidikan atau
matapela-jaran yang diampunya sesuai
Standar Nasional Pendidikan (PP
No. 19 Tahun 2005). Kualifikasi
akademik guru diperoleh melalui
pendidikan tinggi program sarjana
(S1) atau program diploma empat
(D-IV) pada perguruan tinggi
yang menyelenggarakan program
pendidikan tenaga kependidikan
dan/atau program pendidikan
nonkependidikan. Kualifikasi
akademik guru bagi seseorang
yang akan menjadi guru harus
dipenuhi sebelum yang
bersangkutan diangkat menjadi
guru.
2. Memiliki Kompetensi
Kompetensi adalah
sepe-rangkat pengetahuan,
keteram-pilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dan dikuasai
oleh guru dalam melaksanakan
tugas keprofesionalannya. Selain
itu, kompetensi telah terbukti
merupakan dasar yang kuat dan
valid bagi pengembangan sumber
daya manusia. Berdasarkan Pasal
8 UU No. 14 Tahun 2005
kompetensi guru meliputi empat
yaitu kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik; (2)
kompetensi kepribadian, yaitu
kemampuan kepribadian yang
mantap, berakhlak mulia, arif, dan
berwibawa, serta menjadi teladan
bagi peserta didik; (3) kompetensi
sosial, yaitu kemampuan untuk
berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan efisien dengan
peserta didik, sesama guru, orang
tua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar; dan (4)
kompe-tensi professional, yaitu
kemampu-an penguasakemampu-an materi pelajarkemampu-an
secara luas dan mendalam.
3. Memiliki Sertifikat Pendidik
Sertifikasi adalah proses
pemberian sertifikat untuk guru.
Setifikat diberikan pada guru bila
yang bersangkutan telah memenuhi
persyaratan untuk diberikan
sertifikat pendidik. Sertifikat
pendi-dik diperoleh melalui program
pendidikan profesi yang
diseleng-garakan oleh perguruan tinggi yang
memiliki program pengadaan
tena-ga kependidikan yang
terakredita-si, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau masyarakat, dan
ditetapkan oleh pemerintah.
Program pendidikan profesi hanya
diikuti oleh peserta didik yang
telah memiliki kualifikasi
akade-mik sarjana (S-1) atau diploma
empat (D-IV). Untuk lulusan
program S-1 atau D-IV
kependi-kan dititikberatkependi-kan pada
pengua-tan kompetensi profesional,
sedangkan untuk lulusan program
S-1 atau D-IV nonkependidikan
dititikberatkan pada
pengemba-ngan kompetensi pedagogik.
4. Sehat Jasmani dan Rohani
Seorang yang berperan
sebagai guru harus memiliki
kesehatan jasmani dan rohani.
Oleh karena itu, seorang guru
tidak boleh memiliki cacad/
ketunaan secara jasmani seperti
tunarungu, tunanetra, tunadaksa,
dan tunagrahita. Selain itu,
seorang guru juga tidak boleh
memiliki tunamental (rohani)
seperti sakit jiwa atau kelainan
mental lainnya. Walaupun
demiki-an, khusus untuk
penyelengga-raan pendidikan inklusif atau
guru tentang kesehatan jasmani,
menda- patkan toleransi. Bagi guru
pada pendidikan seperti itu, yang
bersangkutan bisa memiliki
kon-disi ketunaan (rungu, daksa, dan
netra).
5. Memiliki Kemampuan
Mewujudkan Tujuan
Pendidikan Nasional
Penyelenggaraan pendidikan
setiap negara pasti mempunyai
tujuan. Tujuan tersebut akan
diusahakan untuk dicapai dan
untuk Indonesia tujuan pendidikan
nasional sebagaimana tercantum
dalam Pasal 3 Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 Tahun 2003, yakni:
”berkem-bangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung
jawab.” Untuk mewujudkan tujuan
tersebut diperlukan keberadaan
guru profesional. Oleh karena itu,
pengadaan guru baru hendaknya
disesuaikan dengan tuntutan
tujuan itu, sedangkan guru yang
sudah ada secara bertahap
ditingkatkan keprofesionalannya
agar siap mewujudkan tujuan itu.
B. Realitas Guru Profesional
Saat Ini
Beberapa tahun yang lalu
pemerintah telah berupaya untuk
meningkatkan profesionalisme
guru dengan meningkatkan
kualifikasi dan persyaratan jenjang
pendidikan yang lebih tinggi bagi
tenaga pengajar mulai tingkat
persekolahan sampai perguruan
tinggi. Program penyetaraan
Diploma II bagi guru-guru SD,
Diploma III bagi guru-guru SLTP
dan Strata I (sarjana) bagi
guru-guru SLTA. Meskipun demikian
penyetaraan ini tidak bermakna
banyak, kalau guru tersebut secara
entropi kurang memiliki daya
untuk melakukan perubahan.
Oleh karena itu, untuk lebih
meningkatkan profesionalisme
guru selain diadakannya
penyeta-raan guru-guru, upaya lain yang
program sertifikasi. Idealnya,
sete-lah adanya UU No. 14 Tahun 2005
dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional
Pendi-dikan yang berlaku selama lima
tahun lebih, profesionalisme guru
semakin baik. Ternyata, fakta di
lapangan belum seperti itu.
Menurut Suwignyo (Kompas, 25
November 2009) memang ada
sejumlah kemajuan kebijakan
pemerintah untuk
memprofesi-sionalkan guru sesuai amanah UU
No. 14 Tahun 2005, tetapi belum
tampak karakteristik
keunggulan-nya.
Apa yang dikatakan oleh
Suwignyo ada benarnya karena
setelah UU No. 14 Tahun 2005
diterapkan, persentase guru yang
dianggap belum layak mengajar
pada berbagai jenis dan jenjang
pendidikan masih sangat besar
jumlahnya. Dinianto (Pelita, 04
Februari 2010) yang mengutip
pernyataan Fasli Djalal (saat itu
sebagai Dirjen Dikdasmen) yang
dilansir salah satu harian ibukota
beberapa waktu lalu, bahwa
Indo-sia memiliki jumlah guru sekitar
2,6 juta yang tersebar di seluruh
wilayah Nusantara. Hampir
sete-ngah dari jumlah guru di
Indonesia tidak layak mengajar.
Kualifikasi dan kompetensinya
tidak mencukupi untuk mengajar
di sekolah. Lebih rinci disebutkan,
yang tidak layak mengajar atau
menjadi guru sekitar 912.505.
Terdiri atas 605.217 guru SD,
167.643 guru SMP, 75.684 guru
SMA, dan 63.961 guru SMK.
Pernyataan ini disampaikan
berke-naan dengan wacana guru
profesional, guru yang kompeten
sebagai syarat untuk memperoleh
tunjangan profesi guru dan
peningkatan kualitas pendidikan
di Indonesia.
Sulistiyo, Ketua Umum
Pengurus Besar Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI)
(Kompas, 25 November 2009)
mengingatkan guru untuk
intros-peksi diri apakah sudah
menjalankan tugasnya secara
profesional. Sebuah reposisi guru
sangat diperlukan karena
pengabdi pendidikan yang dicekoki
rutinitas, tapi harus menjadi
pendidik murni. Profesi guru harus
mendapatkan
kesempatan-kesempatan yang luas untuk
mengembangkan sendiri pola
pembelajarannya dan
meningkat-kan kualitas pribadi sehingga bisa
menghasilkan anak didik yang
cerdas dan bermoral. Atau seperti
yang ditegaskan oleh Napitupulu
(2009: 2) dalam rumusannya
ten-tang batasan pendidikan bahwa
“Pendidikan sebagai usaha yang
dijalankan dengan sengaja, teratur
dan berencana dengan maksud
mengubah tingkah laku manusia ke
arah yang diinginkan.
Banyak faktor yang menjadi
sebab rendahnya profesionalisme
guru antara lain; (1) masih banyak
guru yang tidak menekuni
profesinya secara utuh. Hal ini
disebabkan oleh banyak guru yang
bekerja di luar jam kerjanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari sehingga waktu untuk
membaca dan menulis untuk
meningkatkan diri tidak ada; (2)
belum adanya standar profesional
guru sebagaimana tuntutan di
negara-negara maju; (3)
kemung-kinan disebabkan oleh adanya
perguruan tinggi swasta sebagai
pencetak guru yang lulusannya
asal jadi tanpa mempehitungkan
outputnya kelak di lapangan
sehingga menyebabkan banyak
guru yang tidak patuh terhadap
etika profesi keguruan; (4)
kurangnya motivasi guru dalam
meningkatkan kualitas diri karena
guru tidak dituntut untuk meneliti
sebagaimana yang diberlakukan
pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga
mengemukakan bahwa ada lima
penyebab rendahnya
profesiona-lisme guru; (1) masih banyak guru
yang tidak menekuni profesinya
secara total, (2) rentan dan
rendah-nya kepatuhan guru terhadap
norma dan etika profesi keguruan,
(3) pengakuan terhadap ilmu
pendidikan dan keguruan masih
setengah hati dari pengambilan
kebijakan dan pihak-pihak terlibat.
Hal ini terbukti dari masih belum
mantapnya kelembagaan pencetak
kependidikan, (4) masih belum
smooth-nya perbedaan pendapat
tentang pro-porsi materi ajar yang
diberikan kepada calon guru, (5)
masih belum berfungsi PGRI
sebagai organisasi profesi yang
berupaya secara maksimal
meningkatkan profesionalisme
anggotanya. Kecenderungan PGRI
bersifat politis memang tidak bisa
disalahkan, terutama untuk
menjadi pressure group agar dapat
meningkatkan kesejahteraan
anggo-tanya. Namun demikian di masa
mendatang PGRI sepantasnya
mulai mengupayakan
profesiona-lisme para anggotanya. Dengan
melihat adanya faktor-faktor yang
menyebabkan rendahnya
profesio-nalisme guru, pemerintah berupaya
untuk mencari alternatif untuk
meningkatkan profesi guru.
C. Upaya Peningkatan
Profesio-lisme Guru
Fakta masih banyaknya guru
yang dianggap tidak layak
mengajar atau menjadi guru sesuai
penjelasan butir (C) di atas tentu
merisaukan hati kita. Untuk
menjawab permasalahan tersebut
perlu diciptakan suatu sistem
pembinaan profesional bagi guru
yang berfungsi memberi bantuan
agar mereka dapat meningkatkan
profesionalnya dengan berupaya
menyelesaikan masalah yang
hadapinya.
Untuk memiliki guru yang
profesional dapat ditempuh
dengan menjawab 2 pertanyaan
pokok yaitu “bagaimana
men-dapatkan guru profesional” dan
“bagaimana memberdayakan guru
sehingga mandiri dalam
mening-katkan mutu pendidikan.”
Kegiatan-kegiatan esensial untuk
meningkatkan profesionalisme
guru dalam peningkatan mutu
pendidikan yaitu: 1) rekrutmen
guru mulai dari perencanaan
guru, seleksi guru dan
pengangkatan guru, 2)
peningka-tan motivasi kerja guru, 3)
pengawasan kinerja guru, dan 4)
peningkatan kemampuan guru.
Butir 1 sampai dengan butir 3 bila
guru yang dimaksud adalah guru
pegawai negeri sipil, sepenuhya
sedang-kan butir 4 selain tugas pemerintah
juga ada pelibatan peran guru
untuk mewujudkannya. Dalam
kaitan dengan itu, ada beberapa
upaya yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Studi Lanjut Program Strata 2
Studi lanjut program Strata
2/Magister merupakan cara
pertama yang dapat ditempuh oleh
para guru dalam meningkatkan
kompetensi dan
profesionalis-menya. Ada dua jenis program
magister yang dapat diikuti, yaitu
program magister yang
menyeleng-garakan program pendidikan ilmu
murni dan ilmu pendidikan. Ada
kecenderungan para guru lebih
suka untuk mengikuti program
ilmu pendidikan untuk
mening-katkan kompetensi dan
profesiona-lismenya.
2. Kursus dan Pelatihan
Keikutsertaan dalam kursus
dan pelatihan merupakan cara
kedua yang dapat ditempuh oleh
guru untuk meningkatkan
kom-petensi dan profesionalismenya.
Walaupun tugas utama seorang
guru adalah mengajar, tetapi tidak
ada salahnya dalam rangka
peningkatan kompetensi dan
profesionalismenya juga perlu
dilengkapi dengan kemampuan
meneliti dan menulis artikel/
buku. Oleh karena itu, guru-guru
perlu juga mengikuti kursus atau
pelatihan tentang teori dan
metodologi penelitian pendidikan
dan penulisan artikel ilmiah.
Dengan mengikuti
pelatihan-pelatihan semacam itu, guru dapat
mengetahui dan mempraktikkan
penelitian pendidikan dan
menuliskannya dalam bentuk
laporan dan artikel yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, baik ilmiah maupun
administratif yang berkaitan
dengan profesinya sebagai guru.
3. Pemanfaatan Jurnal
Jurnal yang diterbitkan oleh
masyarakat profesi atau
pergu-ruan tinggi dapat dimanfaatkan
untuk peningkatan kompetensi
dan profesionalisme.
Artikel-artikel di dalam jurnal biasanya
berisi tentang perkembangan
Dengan demikian, jurnal dapat
digunakan untuk memutakhirkan
pengetahuan yang dimiliki oleh
seorang guru. Dengan memiliki
bekal ilmu pengetahuan yang
memadai guru dapat
mengem-bangkan kompetensi dan
profesio-nalismenya dalam mentransfer
ilmu kepada peserta didik. Selain
itu, jurnal-jurnal itu dapat dijadikan
media untuk mengomunikasikan
tulisan hasil pemikiran dan
penelitian guru yang dapat
digunakan untuk mendapatkan
angka kredit yang dibutuhkan pada
saat sertifikasi dan kenaikan
pangkat.
4. Seminar
Keikutsertaan dalam seminar
merupakan alternatif keempat yang
dapat ditempuh untuk
mening-katkan kompetensi dan
profesio-nalisme guru. Tampaknya hal ini
merupakan cara yang paling
diminati dan sedang menjadi trend
para guru dalam era UU No 14
Tahun 2005, karena dapat menjadi
sarana untuk mendapatkan angka
kredit. Melalui seminar, guru
mendapatkan informasi-informasi
“baru” yang berkaitan dengan
ilmu yang digelutinya. Cara itu
sah dan baik untuk dilakukan.
Walau demikian, di masa-masa
yang akan datang akan lebih baik
apabila guru tidak hanya menjadi
peserta seminar saja, tetapi lebih
dari itu dapat menjadi
penyeleng-gara dan pemakalah dalam acara
seminar. Forum seminar yang
diselengarakan oleh dan untuk
guru dapat menjadi wahana yang
baik untuk mengomunikasikan
berbagai hal yang menyangkut
bidang ilmu dan profesinya
sebagai guru.
E. Penutup
Kebijakan mengadakan UU
No. 14 Tahun 2005 merupakan
upaya untuk meningkatkan
profesionalisme guru yang
diharapkan dapat berdampak
pa-da peningkatan mutu pendidikan
di Indonesia. Profesionalisasi
ha-rus dipandang sebagai proses
yang terus menerus. Dalam proses
ini, pendidikan prajabatan,
penataran, pembinaan dari
organisasi profesi dan tempat kerja,
penghargaan masyarakat terhadap
profesi keguruan, peningkatan
kualitas calon guru dll secara
bersama-sama menentukan
pe-ngembangan profesionalisme
sese-orang termasuk guru.
Konsekuensi guru yang
profesional adalah yang
ber-sangkutan dituntut untuk selalu
dinamis mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan
informasi. Sebagai pendidik, sudah
seharusnya guru selalu berpegang
teguh pada prinsip “belajar seumur
hidup.” Oleh karena itu, guru harus
membangun dan mengembangkan
dirinya, sehingga dia mampu
menjadi pencetus ”teori-teori” baru
dalam konteks pembelajarannya
untuk peningkatan mutu
pendidikan. Komitmen tinggi dan
budaya maju perlu ditumbuh
kembangkan (Baedhowi, 2004)
diantara stakeholder bidang
pendidikan, karena faktor-faktor
inilah yang pada dasarnya
meru-pakan faktor utama penunjang
keberhasilan implementasi suatu
kebijakan. Dengan demikian,
ada-nya Undang-undang Guru dan
Dosen ini pendidikan di tanah air
akan semakin meningkat,
kese-jahteraan dan perlindungan
te-naga pendidik semakin terjamin,
dan tenaga pendidik semakin
Daftar Pustaka
Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara Pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
Baedhowi. 2004. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan: Studi Kasus di Kabupaten Kendal dan Kota Surakarta. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Dinanto, Siswadi. Profesionalisme Guru antara Kualitas, Gaji, dan Pengambian” dalamPelita, Kamis, 4 Februari 2010.
Makagiansar, Makaminan. 2002.Saling Asih, Saling Asuh, Saling Asah suatu Renungan Bebas. Jakarta: Unesco.
Napitulu, Washington P. 2009. Pendidikan Nasional Kurindukan.
Sulistyo. ”Guru Dituntut Perbaiki Kinerja” dalam Kompas, Rabu, 25
Surakhmad, Winarno. 2000. ”Masalah Ke(belum) terkaitan Kemampuan Profesional dan Kesejahteraan Guru” dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.